BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Spermatozoa 2.1.1 Organ Reproduksi Mencit Jantan Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantong skrotum, epididimis dan vas deferens, sisa sistem ekskretori pada masa embrio yang berfungsi untuk transport sperma, kelenjar aksesoris, uretra dan penis. Selain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan. Epididimis adalah tuba terlilit yang panjangnya mencapai 20 kaki (4 m sampai 6 m). Epididimis terletak pada bagian dorsolateral testis, merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas sampai bagian bawah testis. Organ ini terdiri dari bagian kaput, korpus dan kauda epididimis. Bagian ini menerima sperma dari duktus eferen (Rugh, 1968). Spermatozoa bergerak dari tubulus seminiferus lewat duktus eferen menuju kepala epididimis. Epididimis merupakan pipa dan berkelok-kelok yang menghubungkan vas eferensia pada testis dengan duktus eferen (vas deferen). Kepala epididimis melekat pada bagian ujung dari testis dimana pembuluh-pembuluh darah dan saraf masuk. Badan epididimis sejajar dengan aksis longitudinal dari testis dan ekor epididimis selanjutnya menjadi duktus deferen yang rangkap dan kembali ke daerah kepala. Epididimis berperan sebagai tempat untuk pematangan spermatozoa sampai pada saat spermatozoa dikeluarkan dengan cara ejakulasi. Spermatozoa sebelum
7
8
matang ketika meninggalkan testikel dan harus mengalami periode pematangan di dalam epididimis sebelum mampu membuahi ovum (Frandson, 1992). Apabila spermatozoa terlalu banyak ditimbun, seperti oleh abstinensi (tak ejakulasi) yang lama atau karena sumbatan pada saluran keluar, sel epididimis dapat bertindak
phagocytosis
terhadap
spermatozoa.
Spermatozoa
itu
kemudian
berdegenerasi dalam dinding epididimis. Pada orang vasektomi, epididimis juga berperan untuk memphagositosis spermatozoa yang tertimbun terus-menerus (di samping makrofag). Terbukti spermatozoa yang diambil dari daerah kaput dan korpus tak fertil, sedang yang diambil dari daerah kauda fertil; sama halnya dengan spermatozoa yang terdapat dalam ejakulat (Yatim, 1994).
2.1.2 Spermatozoa Mencit Spermatozoa mencit adalah sel kelamin (gamet) yang diproduksi di dalam tubulus seminiferus melalui proses spermatogenesis, dan bersama-sama dengan plasma sperma akan dikeluarkan melalui sel kelamin jantan. Menurut (Rugh, 1968). Spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala yang bentuknya bengkok seperti kait, bagian tengah yang pendek (middle piece), dan bagian ekor yang sangat panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm, sedangkan panjang spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226 mm (122,6 mikron).
Kemampuan
bereproduksi dari hewan jantan dapat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sperma yang dihasilkan. Produksi sperma yang tinggi dinyatakan dengan volume sperma
9
yang tinggi dan konsentrasi spermatozoa yang tinggi pula. Sedangkan kualitas sperma yang baik dapat dilihat dari persentase spermatozoa yang normal dan motilitasnya (Hardjopranoto, 1995). Proses spermatogenesis dalam tubuh pria dewasa diatur dan dikontrol oleh sel sertoli. Dalam sel sertoli tikus dewasa, pembentukan spermatozoa terjadi selama 1920 hari. Dipengaruhi oleh FSH yang mengatur sel sertoli. Spermatogenesis adalah proses pembentukan sel sperma yang terjadi di epitelium (tubul) seminiferi dibawah kontrol hormon gonadotropin dari hipofisis (pituitari bagian depan). Tubuli seminiferi terdiri atas sel sertoli dan sel germinalis. Spermatogenesis terjadi dalam tiga fase, yaitu fase spermatogonial, fase meiosis, dan fase spermiogenesis yang membutuhkan waktu 13-14 hari (Yuwanta, 2004). Kesuburan seorang pria tidak hanya ditentukan oleh jumlah spermatozoa yang mampu dikeluarkannya. Air mani yang diejakulasi akan terdapat 400 juta spermatozoa. Walaupun jumlahnya besar, mengingat ukurannya yang begitu kecil, spermatozoa hanya membentuk sebagian kecil dari volume air mani. Sisanya adalah cairan yang disebut sperma, yang berasal dari berbagai kelenjar kelamin pria yaitu vesikel seminalis, prostat, dan kelenjar Cowper (Hutapea, 2002). Bentuk spermatozoa seperti cabang yang terdiri atas: Kepala : lonjong sedikit gepeng yang mengandung inti. Leher : penghubung kepala dan ekor.
10
Ekor : panjang sekitar 10 kali kepala, mengandung energi sehingga dapat bergerak.
2.1.3 Morfologi Spermatozoa Morfologi spermatozoa merupakan salah satu faktor penentu fertilitas spermatozoa. Bentuk-bentuk abnormalitas primer spermatozoa di dalam testis karena kesalahan spermatogenesis atau kesalahan spermiogenesis yang disebabkan karena keturunan, penyakit, defisiensi makanan, dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang buruk. Spermatozoa yang memiliki abnormalitas morfologik kemungkinannya tidak subur (Salisbury dan Vandemark, 1985). Spermatozoa mencit adalah sel kelamin (gamet) yang diproduksi di dalam tubulus seminiferus melalui proses spermatogenesis dan bersama-sama dengan plasma sperma akan dikeluarkan melalui sel kelamin jantan. Spermatozoa normal pada mencit terbagi atas bagian kepala yang bentuknya bengkok seperti kait dan bagian tengah yang pendek . Kepala spermatozoa mencit mempunyai panjang + 0,008 mm, adapun panjang keseluruhannya adalah + 0,1226 mm (Rugh, 1968). Kriteria spermatozoa yang baik antara lain sebagai berikut : a. pH Sperma Reactive Oxygen Species adalah radikal bebas yang berasal dari metabolisme oksigen yang dapat mengakibatkan kerusakan membran sel spermatozoa. Proses metabolisme secara terus-menerus akan menyebabkan penimbunan asam laktat yang selanjutkan akan menurunkan pH dan sebagai akibatnya motilitas spermatozoa akan menurun (Thuwanut et al., 2008). Daya tahan hidup
11
spermatozoa juga dipengaruhi oleh pH sperma. Perubahan pH kearah yang lebih asam terjadi akibat tertimbunnya asam laktat yang merupakan hasil metabolisme sel yakni pemecahan fruktosa (Sugiarti et al., 2004). Rata-rata pH sperma yang normal adalah 6,4-7,8 (Garner dan Hafez, 2008). b. Motilitas Spermatozoa Motilitas spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : waktu pemeriksaan setelah ejakulasi, waktu antara ejakulasi, temperatur, komposisi ionik, radiasi elektromagnetik, reactive oxygen species (ROS), viskositas, pH, tekanan osmotik, aspek imunologi, serta adanya faktor stimulasi dan inhibisi motilitas. Kerusakan spermatozoa yang disebabkan oleh ROS dapat menghambat reaksi akrosom dan kerusakan ekor yang sangat berpengaruh terhadap motilitas spermatozoa (Sanocka dan Kurpiz, 2004). Kadar ROS yang tinggi akan dapat merusak membran mitokondria sehingga menyebabkan hilangnya fungsi potensial mitokondria yang akan mengganggu motilitas spermatozoa karena energi motilitas sperma disuplai dalam bentuk ATP yang disintesis oleh mitokondria pada badan ekor (Aryosetyo, 2009). c. Morfologi Spermatozoa Molekul glikoprotein yang berada dipermukaan spermatozoa akan dikenali oleh sistem imun dan merupakan tanda bahwa sel tersebut (spermatozoa) harus dilenyapkan oleh tubuh. Ketika spermatozoa meninggalkan testis, perlindungan terhadap sistem imun menjadi berkurang sehingga banyak spermatozoa yang rusak atau mati. Selain sumber ROS yang berasal dari faktor enzimatis (internal)
12
diantaranya adalah pada sel leukosit. Pada kadar yang tinggi ROS berpotensi menimbulkan efek toksik, sehingga dapat berpengaruh pada kualitas dan fungsi spermatozoa (Hayati, 2011). Abnormalisasi spermatozoa dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu primer (mempunyai hubungan erat dengan kepala spermatozoa dan akrosom), sekunder (keberadaan droplet pada bagian tengah ekor) dan tersier (kerusakan pada ekor) (Ax et al., 2000).
2.1.4 Pemeriksaan Morfologi Spermatozoa Pemeriksaan morfologi spermatozoa ditujukan untuk melihat bentuk-bentuk spermatozoa yang didasarkan atas bentuk kepala dari spermatozoa. Seperti diketahui spermatozoa mempunyai beberapa macam bentuk. Dengan pemeriksaan ini diketahui beberapa banyak bentuk spermatozoa normal dan abnormal. Bentuk yang normal adalah spermatozoa yang kepalanya berbentuk oval dan mempunyai ekor yang panjang. Pemeriksaan morfologi ini dimulai dengan pembuatan preparat smear di atas objek glass, yang dibiarkan kering dalam temperatur kamar. Setelah preparat smear tersebut kering, maka selanjutnya dilakukan prosedur pewarnaan (Aryosetyo, 2009).
2.1.5 Pewarnaan Eosin Nigrosin Sitrat Pada Spermatozoa Pengamatan spermatozoa atau viabilitas dapat dilakukan dengan metode pewarnaan diferensial menggunakan zat warna eosin saja atau dengan kombinasi eosin-nigrosin-sitrat. Eosin adalah zat warna khusus untuk spermatozoa, sedangkan
13
nigrosin hanya dipakai untuk pewarnaan dasar untuk memudahkan melihat perbedaan antara spermatozoa yang berwarna dan tidak berwarna. Prinsip metode pewarnaan eosin-nigrosin-sitrat adalah terjadinya penyerapan 15 zat warna eosin pada spermatozoa yang mati pada saat pewarnaan tersebut dilakukan. Hal ini terjadi karena membran pada spermatozoa yang mati tidak permeabel terhadap zat warna atau memiliki afinitas yang rendah sehingga menyebabkan spermatozoa yang mati berwarna merah (Sugiarti et al., 2004). Dalam percobaan dilakukan pengamatan pada sel sperma yang hidup dan mati dengan indikasi Eosin nigrosin. Sel sperma yang hidup akan berwarna putih terang (transparan) sedangkan yang mati berwarna merah. Sperma yang mati terjadi karena sperma mengalami kontak langsung dengan udara sehingga stres akibat oksidasi sperma. Penyimpanan dalam jangka waktu lama menyebabkan penurunan motilitas sperma akibat adanya asam laktat sisa metabolisme sel yang menyebabkan kondisi medium menjadi semakin asam karena penurunan pH dan kondisi ini dapat bersifat racun terhadap sepermatozoa yang akhirnya menyebabkan kematian sperma (Sugiarti et al., 2004). Evaluasi terhadap kualitas sperma beku ini dilakukan setelah adanya pencairan kembali (post thawing). Adapun yang sering dijadikan indikator fertilitas spermatozoa adalah motilitasnya. Dimana pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pergerakan ekor spermatozoa. Untuk penilaian viabilitas spermatozoa digunakan teknik pewarnaan eosin nigrosin. Sesuai standar WHO, teknik pewarnaan ini memberikan hasil yang valid dilakukan tinjauan ulang terhadap data motilitas yang
14
diperoleh. Teknik pewarnaan eosin nigrosin ini merupakan teknik yang sederhana. Dimana dalam hal ini zat warna eosin akan diserap oleh spermatozoa yang mati sehingga akan bewarna merah atau merah muda akibat permeabilitas dinding sel yang meningkat ketika spermatozoa tersebut mati. Sedangkan nigrosin akan mewarnai latar dari spermatozoa (Arifiantini et al., 2012). Selain itu, perlu diketahui pula bahwa pewarnaan spermatozoa yang dilakukan tersebut berfungsi untuk membantu pengamatan morfologis dan morfometri spermatozoa. Pewarna eosin merupakan senyawa yang bersifat asam yang mampu berpendar karena mengandung brom dan dapat mewarnai sitoplasma. Pewarnaan eosin nigrosin tersebut merupakan pewarnaan double staining yang berfungsi memberi efek kontras sehingga batas-batas antar sel dapat diamati dengan jelas (Arifiantini et al., 2012).
2.1.6 Penilaian Morfologi Spermatozoa pengamatan morfologi spermatozoa mencit dan kategorinya berdasarkan (Fitirani, 2010) adalah sebagai berikut: 1. Spermatozoa normal Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah foto literatur . Spermatozoa termasuk normal karena memiliki kait yang tidak terlalu panjang ataupun terlalu pendek, kepala memiliki bentuk dasar membulat dan sedikit lonjong, ekor tidak mengalami patah ataupun terlipat.
15
Gambar 2.1 Spermatozoa Normal (Fitirani, 2010)
2. Spermatozoa tanpa pengait dikepalanya Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah foto literatur . Spermatozoa termasuk abnormal karena spermatozoa tidak memiliki pengait di kepalanya.
Gambar 2.2 Spermatozoa Tanpa Pengait Dikepalanya (Fitirani, 2010)
3. Spermatozoa dengan pengait yang sangat pendek Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah foto literatur. Spermatozoa termasuk abnormal karena spermatozoa memiliki pengait yang sangat pendek hingga hampir tidak ada.
16
Gambar 2.3 Spermatozoa Dengan Pengait yang Pendek (Fitirani, 2010)
4. Spermatozoa dengan leher patah Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah foto literatur. Spermatozoa termasuk abnormal karena mengalami pematahan di bagian leher ataupun ekor.
Gambar 2.4 Spermatozoa Dengan Leher Patah (Fitirani, 2010)
5. Spermatozoa berekor ganda Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah foto literatur. Spermatozoa termasuk abnormal karena memiliki ekor yang bercabang atau spermatozoa berekor ganda.
17
Gambar 2.5 Spermatozoa Berekor Ganda (Fitirani, 2010)
2.2 Radikal Bebas 2.2.1 Definisi Radikal Bebas Radikal bebas adalah kumpulan atom atau molekul dengan elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluar sehingga berusaha menarik elektron dari molekul lainnya. Sifat radikal bebas yaitu tidak stabil dan sangat reaktif. Radikal bebas yang mengambil elektron dari molekul yang stabil, menyebabkan molekul tersebut kehilangan satu elektron sehingga menjadi radikal bebas yang baru (PhamHuy et al., 2008). Radikal bebas diproduksi secara endogen (oleh mitokondria, membran plasma, retikulum endoplasma, inti sel) serta diperoleh secara eksogen (dari asap rokok, radiasi sinar ultraviolet, pestisida) (Suryohudoyo, 2000). Oksidan adalah senyawa yang dapat menarik elektron atau senyawa penerima elektron, serta bereaksi dengan komponen yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan sel sehingga dapat mengganggu integritas sel. Radikal bebas dan oksidan memiliki aktivitas yang
18
sama dengan proses yang berbeda. Oksidan bersumber dari proses fisiologis dalam tubuh, proses peradangan, obat-obatan, polutan (Winarsi, 2007).
2.2.2 Sumber Radikal Bebas Radikal bebas dihasilkan oleh tubuh (radikal bebas endogen) ataupun dari alam sekitar (radikal bebas eksogen), dengan reaktivitas yang berbeda tergantung dari sifat reaktivitas molekul yang bereaksi dengan sel tubuh (Lingga, 2012). Radikal bebas bersumber dari (Pham-Huy et al., 2008): a.
Radikal bebas dari dalam tubuh karena proses enzimatik, yaitu dari proses pembakaran sel pada proses respirasi sel, proses pencernaan dan proses metabolisme.
b.
Radikal bebas dari dalam tubuh karena proses non enzimatik, yaitu dari reaksi oksigen dengan senyawa organik dengan cara ionisasi dan radiasi.
c.
Radikal bebas dari luar tubuh, seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar ultraviolet, aktivitas olahraga berlebih.
2.2.3 Sifat Radikal Bebas Sifat radikal bebas yaitu reaktivitas tinggi karena cenderung menarik elektron serta membentuk radikal bebas baru (chain reaction) mengubah suatu molekul dengan mengambil elektron dari molekul lain di sekitarnya (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Dampak terbentuknya senyawa radikal baru, yang mengubah suatu senyawa menjadi radikal bebas baru sehingga terjadi reaksi rantai (Winarsi, 2010). Radikal
19
bebas sangat tidak stabil dan berumur singkat. Radikal bebas merusak sel dengan membentuk ikatan kovalen dengan komponen membran yang merubah struktur reseptor, oksidasi gugus tiol pada komponen membran yang mengganggu transport lintas membran, reaksi peroksidasi lipid dan kolesterol membran yang mengandung Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Kondisi tersebut dapat menyebabkan kerusakan membran sel yang mengubah fluiditas, struktur dan fungsi membran yang menyebabkan kematian sel. Radikal hidroksil sangat berbahaya karena reaktivitas yang sangat tinggi, merusak 3 jenis senyawa yang berfungsi untuk mempertahankan integritas sel, yaitu: asam lemak tak jenuh, DNA, dan protein. Kerusakan asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel mengakibatkan rapuhnya dinding sel, serta merusak dinding dalam pembuluh darah sehingga kolesterol mengendap dan menimbulkan aterosklerosis (Halliwell dan Gutteridge, 2007).
2.2.4 Tahapan Pembentukan Radikal Bebas Pembentukan radikal bebas melalui tiga tahap antara lain (Wickens, 2001) : a. inisiasi (tahap awal terbentuknya radikal bebas, menjadikan senyawa non radikal menjadi radikal: RH + O2 Cu
R’ + H2O),
b. tahap propagasi (tahap pemanjangan rantai radikal bebas, di mana terjadi reaksi rantai dengan molekul lipid lain yang menyebabkan radikal bebas bertambah banyak: R’ + O2 RO2’; RO2’ + RH R’ + ROOH),
20
c. tahap terminasi (radikal bebas bereaksi dengan radikal bebas lain atau dengan scavenger: R’1 + R’2 R1 : R2). Proses reduksi oksigen melalui 4 elektron transfer dengan 4 tahapan di mana setiap tahapan melibatkan 1 elektron transfer. 2.2.5 Radikal Bebas dan Oksidan Senyawa-senyawa maupun reaksi-reaksi kimia yang cenderung menghasilkan spesies oksigen yang potensial toksik atau ROS disebut dengan prooksidan. Radikal bebas adalah kumpulan atom atau molekul dengan elektron yang tidak berpasangan pada orbit paling luar, termasuk atom hidrogen, logam-logam transisi dan molekul oksigen sehingga berusaha menarik elektron dari molekul lainnya. Dengan adanya “elektron tidak berpasangan” maka radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat aktif. Tidak semua spesies oksigen reaktif adalah radikal bebas seperti H2O2 (Hidrogen Peroksida), O (Single oksigen) dan lain-lain (Mose, 2001). Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab atau mendasari berbagai keadaan patologis. Senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena mempunyai reaktivitas sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel, yaitu : 1.
Asam lemak terutama asam lemak tak jenuh ganda yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel.
2.
DNA yang merupakan piranti genetik dari sel.
21
3.
Protein yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi, dan pembentuk matriks serta sitoskeleton. Oksidan dapat mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan
komponen-komponen sel yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, baik komponen struktural (misalnya molekul-molekul penyusun membran) maupun komponen fungsional (misalnya enzim-enzim dan DNA). Oksidan dapat merusak sel dari berbagai sumber, yaitu : 1.
Berasal dari tubuh sendiri, senyawa-senyawa yang berasal dari proses biologik normal (fisiologis)
2.
Berasal dari proses peradangan
3.
Berasal dari luar tubuh, misalnya obat-obatan dan senyawa pencemar (polutan)
4.
Radiasi (Suryohudoyo, 2000) Shu (2007), menyatakan bahwa radikal bebas dari phyrethroid dapat
menyebabkan kerusakan pada membran sel Leydig, sehingga dapat mengganggu biosintesis testosteron dengan cara mengurangi pengiriman kolesterol sel mitokondria serta menurunkan konversi kolesterol menjadi pregnenolone. Pregnenolone dikatalisis oleh cytochrome P450 side-chain cleavage (P450scc) yang menyebabkan menurunnya produksi testosteron.
22
2.3 Pelatihan Fisik 2.3.1 Olahraga Apabila dilakukan dengan takaran yang benar, olahraga dapat meningkatkan kebugaran fisik (Sharkey, 2003). Olahraga dengan intensitas rendah dapat meminimalkan produksi radikal bebas berlebihan serta meningkatkan jumlah antioksidan endogen (Cooper, 2001). Aktivitas fisik seperti olahraga meningkatkan pengeluaran energi, dengan memperhatikan frekuensi (3-4x seminggu), intensitas 7287% dari denyut jantung maksimal, serta tipe olahraga (15 menit pemanasan, 30-60 menit kombinasi latihan aerobik dan otot, 10 menit pendinginan). Tujuan dari prinsip FITT (Frequency, Intensity, Type, Time) adalah untuk mencapai efek pelatihan. Frekuensi olahraga yang ideal adalah 3-5 kali/minggu, dengan intensitas denyut nadi saat olahraga 75% (220-umur), waktu olahraga kurang dari 300 menit/minggu, serta jenis olahraga seperti berenang, sepeda statis (Pangkahila, 2010). Aktivitas fisik dibagi menjadi 2 yaitu aerobik yang menghasilkan 38 molekul ATP per molekul glukosa dan anaerobik yang menghasilkan 2 molekul ATP. Sumber energi untuk aktivitas fisik aerobik berasal dari pembakaran karbohidrat, lemak dan protein yang menghasilkan Adenosine Triphosphate (ATP). Saat kontraksi otot, tambahan ATP didapatkan dari pemindahan fosfat berenergi tinggi dari kreatinin fosfat ke ADP, fosfolirasi oksidatif dan proses glikolisis (Sherwood, 2001). Sumber energi untuk aktivitas fisik anaerobik berasal dari proses hidrolisis phosphocreatine dan glikolisis glukosa, yang terjadi tanpa oksigen, serta menghasilkan asam laktat yang dapat menimbulkan nyeri otot dengan stres fisik (Hernawati, 2009).
23
2.3.2 Pelatihan Fisik Berlebih Penyebab terjadinya aktivitas berlebih karena terlalu banyaknya volume, intensitas, durasi, serta frekuensi pelatihan yang terlalu sering (Hatfield, 2001). Aktivitas fisik berlebih meningkatkan konsumsi oksigen pada otot skeletal yang mengakibatkan peningkatan stres oksidatif (Maffetone, 2007). Overtraining disebabkan latihan atau olahraga yang melebihi kemampuan tubuh untuk melakukan pemulihan, yang merupakan kumpulan dari gejala fisik, emosi, perilaku yang dapat menetap (Howitt, 2008). Tingginya kadar oksigen memicu meningkatnya kadar Reactive Oxygen Species (ROS). Reperfusion Injury terjadi ketika kadar oksigen dan nutrisi tidak cukup, yang menyebabkan kerusakan jaringan dan peningkatan kadar radikal bebas (Maffetone, 2007). Aktivitas fisik yang berlebih juga menyebabkan terbentuknya radikal bebas (Adiputra, 2008). Kadar radikal bebas yang berlebih menyebabkan kerusakan DNA, terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan sitosol yang merusak membran dan organel, serta menyebabkan modifikasi protein teroksidasi (Kumar et al., 2005). Aktivitas fisik berlebih menyebabkan peningkatan biomarker stres oksidatif, seperti meningkatnya jumlah leukosit, isoprostan urin, glutation peroksidase, glutation teroksidasi, serta juga menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen pada otot skeletal (Murray et al., 2009). Akibat dari aktivitas fisik berlebih yaitu penurunan kondisi fisik, penimbunan lemak dan massa otot berkurang, kadar hormon kortisol lebih tinggi daripada testosteron, sulit tidur, mudah merasa lemas dan cepat tersinggung, sakitnya sendi
24
dan tulang, penurunan imunitas tubuh. Tanda dan gejala aktivitas fisik berlebih yaitu meningkatnya denyut jantung saat istirahat, menurunnya berat badan dan massa otot, penurunan kapasitas maksimal kerja, berkurangnya nafsu makan, kelelahan yang menetap, kaku dan nyeri pada otot dan sendi, konstipasi atau diare, gangguan haid, makan dan tidur, emosi tidak stabil, mudah stres, depresi, konsentrasi menurun, penurunan performance, meningkatnya kortisol dan SHBG, menurunnya testosteron, glikogen otot, hemoglobin, besi dan ferritin. Overtraining diatasi dengan cara pemijatan agar otot yang tegang menjadi relaks dan untuk mencegah cidera karena overuse, dengan cara bergantian penggunaan air pancuran hangat dan dingin, konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, protein, omega 3, 6 dan 9 asam lemak esensial, serta konsumsi suplemen (Maffetone, 2007).
2.3.3 Hubungan Aktivitas Berlebih dengan Radikal Bebas Aktivitas berlebih memicu meningkatnya pembentukan radikal bebas yang melebihi kemampuan pertahanan tubuh, sehingga terjadi kerusakan sel. Tandanya terlihat ketika terjadi peradangan jaringan saat olahraga yang menghabiskan tenaga (Cooper, 2001). Saat berolahraga, radikal bebas terbentuk melalui proses pelepasan elektron di mana konsumsi oksigen meningkat (Sauza, 2005). Selain itu, radikal bebas juga terbentuk melalui fenomena reperfusion injury, dimana ketika kita berolahraga terjadi pengalihan aliran darah ke otot skeletal. Hal ini menyebabkan organ yang tidak terlibat ketika berolahraga menjadi kekurangan oksigen, sehingga terjadi perubahan irreversibel enzim xanthine dehidrogenase menjadi xanthine
25
oxidase. Setelah aktivitas, terjadi proses reperfusi yang menyebabkan darah mengalir cepat sehingga kebutuhan oksigen terpenuhi kembali. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas (Cooper, 2001). Peningkatan radikal bebas akibat aktivitas berlebih disebabkan oleh peningkatan konsumsi oksigen 100-200 kali lebih besar dibandingkan saat istirahat; keadaan hipoksia dan reperfusi jaringan otot; kerusakan jaringan yang mengaktifkan sel inflamasi seperti neutrofil; meningkatnya konsentrasi katekolamin akibat autooksidasi katekolamin; meningkatnya temperatur yang membentuk superoksida pada mitokondria
jaringan
otot;
autooksidasi
oxyhemoglobin
yang
membentuk
methemoglobin yang menghasilkan superoksida; cidera otot menyebabkan terjadinya proses inflamasi; peningkatan proteolisis dan gangguan kalsium yang menjadi sumber terbentuknya ROS (Wellman dan Bloomer, 2009).
2.4 Antioksidan 2.4.1 Definisi Antioksidan Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron yang memperlambat proses oksidasi di mana terjadi pengurangan elektron, serta mampu meredam dampak negatif oksidan pada tubuh dan mencegah terjadinya stres oksidatif. Oksidasi adalah reaksi pengikatan oksigen, pelepasan hidrogen, pelepasan elektron (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Antioksidan dapat meredam dampak negatif oksidan, enzim dan protein pengikat logam (Pangkahila, 2007). Antioksidan mencegah reaksi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Trilaksani, 2003). Bersifat antioksidatif berarti dapat
26
mendonasikan satu atau lebih elektron (electron donors), yang mengubah senyawa oksidan menjadi stabil (Winarsi, 2007).
2.4.2 Jenis Antioksidan Antioksidan dibagi menjadi 2 kategori: a.
Antioksidan enzimatis, merupakan antioksidan yang terdapat dalam tubuh (antioksidan endogenous), contohnya seperti SOD (Superoksida Dismutase), glutation peroksidase, katalase. Cara kerjanya dengan melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif oleh radikal bebas oksigen.
b.
Antioksidan non enzimatis (antioksidan eksogenous) yang ditemukan pada sayuran dan buah, yang terbagi menjadi antioksidan larut dalam lemak (seperti flavonoid, karotenoid, bilirubin) dan antioksidan larut air (seperti asam askorbat, asam urat). Melatonin merupakan antioksidan yang larut dalam lemak dan juga larut dalam air.
Antioksidan dibagi menjadi 2 golongan dalam mencegah dampak negatif oksidan (Murray et al., 2009), yaitu : a.
Antioksidan pencegah Antioksidan ini mencegah terjadinya radikal hidroksil, di mana pembentukan radikal hidroksil memerlukan logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan ion superoksid. Penimbunan ion superoksid (O2-) dapat dicegah dengan enzim superoksid dismutase (SOD), enzim katalase mengkatalisir H2O2 menjadi H2O dan O2, enzim peroksidase meredam H2O2 menjadi H2O.
27
b.
Antioksidan pemutus rantai Merupakan golongan antioksidan eksogen (vitamin E, vitamin C, beta karoten) dan antioksidan endogen (glutation, sistein). Sifat dari vitamin E dan beta karoten adalah lipofilik yang berperan untuk mencegah peroksidasi lipid pada membran sel. Vitamin C, glutation dan sistein bersifat hidrofilik yang berperan di sitosol. Berdasarkan sumbernya, antioksidan dikategorikan menjadi antioksidan
sintetik yang berasal dari hasil sintesis pada industri (Butil Hidroksi Anisol, Butil Hidroksi Toluen) dan antioksidan alami yang berasal dari senyawa fenolik atau polifenolik (seperti flavonoid, vitamin C, vitamin E, karotenoid) (Trilaksani, 2003). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dikategorikan menjadi antioksidan primer (yaitu SOD, katalase, glutation peroksidase, melatonin), antioksidan sekunder (yaitu vitamin C, E, beta karoten, flavonoid; termasuk sebagai antioksidan eksogenous atau non enzimatis), antioksidan tertier (yaitu enzim DNA repair). Antioksidan primer atau antioksidan enzimatis mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru atau memutus reaksi polimerisasi dengan mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi kurang reaktif. Antioksidan sekunder atau antioksidan eksogenous atau non enzimatik bekerja dengan menangkap radikal bebas kemudian mencegah reaktifitas amplifikasinya. Antioksidan tersier memperbaiki biomolekuler yang rusak karena reaktifitas radikal bebas (Winarsi, 2007).
28
2.4.3 Efek Antioksidan Antioksidan memperlambat oksidasi lipid melalui ikatan dengan oksigen, mengikat radikal bebas, menghambat katalis, stabilisasi hidroperoksid. Antioksidan bereaksi dengan fatty acid peroxy radicals untuk membentuk radikal antioksidan yang stabil. Antioksidan juga dapat menjadi prooksidan yang menyebabkan oksidasi dalam tubuh, seperti vitamin C, D, E, β karoten, teh hijau, ubiquinone, curcumin, zinc (Mc. Nulty et al., 2006).
2.5 Kelenjar pineal Kelenjar pineal (juga disebut badan pineal, epiphysis cerebri, epiphysis, conarium atau "Mata ketiga") adalah sebuah kelenjar endokrin pada otak vertebrata. Semua hewan vertebrata memiliki kelenjar endokrin yang sama dan melepaskan hormon yang berfungsi untuk pertumbuhan, reproduksi, serta tanggapan lainnya. Berikut adalah beberapa kelenjar utama kelenjar endokrin diantaranya hipotalamus, kelenjar pineal, anterior kelenjar pituitar, posterior kelenjar hipofisis, kelenjar gondok (tiroid), kelenjar paratiroid, timus, kelenjar adrenal, pankreas, ovarium. Kelenjar pineal berukuran kecil memiliki warna kemerahan abu-abu dan seukuran kacang polong. Ini dianggap sebagai organ yang agak misterius, karena fungsinya ditemukan terakhir dari kelenjar endokrin (Sivan, 2005). Kelenjar
pineal
memproduksi
berbagai
macam
hormon,
termasuk
memproduksi hormon melatonin. Produksi hormon melatonin ditentukan oleh jumlah cahaya yang diterima. Kelenjar pineal memiliki kepekaan terhadap cahaya serta
29
mengatur siklus tidur dan bangun pada seseorang. Fungsi melatonin merupakan kebalikan dari fungsi serotonin. Mayoritas manusia maupun hewan umumnya aktif bergerak serta berpikir pada siang hari. Pikiran yang aktif pada siang hari akan menyebabkan meningkatkan jumlah hormon serotonin yang diperlukan oleh tubuh. Ketika malam hari, saat pikiran mulai kurang aktif, membuat kadar serotonin dalam tubuh mulai berkurang dan tubuh terutama kelenjar pineal mulai memproduksi melatonin (Sivan, 2005).
2.6 Melatonin 2.6.1 Sintesis Melatonin Melatonin (N-asetil-5-metoksitriptamin) merupakan hormon indolamin yang disintesis dari asam amino L-triptofan terutama di kelenjar pineal dan beberapa jaringan ekstra pineal seperti gastrointestinal dan limfosit (Kaczor, 2010; SancezBarzelo, et al., 2003 ; Carranza - Lira dan Lopes, 2000). Pada manusia, kelenjar pineal terletak di sistem saraf pusat, tepatnya di belakang ventrikel III, dibentuk oleh 2 tipe sel utama yaitu pinealosit dan neuroglial. Pinealosit berperan dalam sekresi indolamin (melatonin) dan peptida (seperti arginin vasotosin) (Brzezinski, 1997). Melatonin pertama kali diidentifikasi dari ekstrak kelenjar pineal sapi pada tahun 1959 (Carranza-Lira dan Lopes, 2000). Biosintesis melatonin dimulai dari konversi triptofan menjadi 5-hidroksitriptofan dengan bantuan enzim triptofan hidroksilase, selanjutnya 5-hidroksitriptofan akan di dekarboksilasi menjadi serotonin oleh enzim 5-hidroksitriptofan dekarboksilase. Melatonin akan di sintesis dari
30
serotonin dengan bantuan 2 enzim yaitu arilalkilamin N-asetiltransferase yang akan mengubah serotonin menjadi N-asetil serotonin dan hidroksiindol-O-metiltransferase yang akan merubah N-asetil serotonin (AA-NAT) menjadi N-asetil-5-hidroksi triptamin (melatonin). Kedua enzim ini banyak terdapat di kelenjar pineal (Brzezinski, 1997).
2.6.2 Sekresi Melatonin Kelenjar pineal mamalia memiliki reseptor neuroendokrin. Impuls cahaya dari retina akan disampaikan ke kelenjar pineal melalui nukleus suprachiasmaticus di hipotalamus
melalui
sistem
saraf
simpatis
dengan
norepinefrin
sebagai
neurotransmiter. Efek pada kelenjar pineal adalah pada pengaturan sintesis dan sekresi melatonin. Sintesis dan sekresi melatonin distimulasi oleh suasana gelap dan diinhibisi oleh suasana terang. Selama ada cahaya, fotoreseptor di retina akan mengalami hiperpolarisasi yang akan menghambat sekresi norepinefrin. Sistem retinohipotalamus-pineal akan dihambat sehingga melatonin disekresi dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada saat tidak ada cahaya, fotoreseptor mensekresi norepinefrin yang akan mengaktivasi sistem retino-hipotalamus-pineal. Reseptor alfa dan beta adrenergik bertambah di glandula pinealis. Kontak antara norepinefrin dan reseptornya akan mengaktivasi enzim arilalkilamin N-asetiltransferase (AA-NAT). Enzim inilah yang akan menginisiasi sintesis melatonin dan sekresinya (Kaczor, 2010).
31
Melatonin selanjutnya akan masuk ke aliran darah melalui difusi pasif. Pada manusia, peningkatan sekresi melatonin segera terjadi pada saat onset gelap dan mencapai puncaknya pada tengah malam (antara jam 2 sampai jam 4), kemudian secara bertahap akan mengalami penurunan (Brzezinski, 1997). Konsentrasi terendah melatonin didapatkan pada pukul 07.00 - 09.00 pagi. Konsentrasi melatonin serum sangat dipengaruhi oleh usia. Bayi kurang dari tiga bulan mensekresi sedikit melatonin, dan akan meningkat pada bayi yang lebih besar dan mencapai puncaknya pada anak usia 1-3 tahun (325 pg/mL). Pada usia ini mulai terbentuk ritme sirkardian dimana sekresi di siang hari lebih kecil dibanding malam hari. Setelah usia 3 tahun, sekresi melatonin mulai menurun secara bertahap sehingga pada manusia dewasa muda, rata-rata konsentrasi melatonin serum hanya 10-60 pg/mL saja (Brzezinski, 1997).
2.6.3 Reseptor Melatonin Reseptor melatonin merupakan reseptor terikat membran plasma. Reseptor yang sudah diketahui adalah ML1 dan ML2. ML1 merupakan reseptor dengan afinitas tinggi di banding ML2. ML1 bisa mengikat melatonin dengan konsentrasi beberapa pikomolar dan ML2 baru sensitif dengan konsentrasi melatonin beberapa nanomolar (Brzezinski, 1997). Reseptor ML1 dan ML2 termasuk superfamili guanosine triphospat binding protein (G protein coupled receptor). Komplek melatonin-reseptor ML1 akan menginhibisi aktivitas adenilat siklase pada sel target. Reseptor ini terlibat dalam
32
regulasi fungsi retina, ritme sirkadian, dan reproduksi. Dengan pemeriksaan PCR dari klon mamalia dan juga manusia, ditemukan bahwa reseptor ML1 memiliki 2 sub tipe yaitu Mel1a dan Mel1b. Reseptor Mel1a diekspresikan pada hipofisis pars tuberalis dan nukleus suprachiasmaticus (tempat regulasi reproduksi dan ritme sirkadian). Reseptor Mel1b diekspesikan terutama di retina. Kompleks melatonin dan reseptor ML2 akan menstimulasi hidrolisis fosfoinositol. Tetapi distribusinya belum diketahui (Brzezinski, 1997). Efek
intraseluler
melatonin
adalah
melalui
interaksi
dengan
kalmodulin+kalsium yang akan mengaktivasi berbagai enzim seperti fosfodiester dan adenilat siklase. Melatonin juga diketahui merupakan ligan bagi orphan reseptor (α dan β) yang merupakan famili dari reseptor nuklear retinoid Z. Reseptor ini berperan dalam transduksi sinyal dalam nukleus sel target (Brzezinski, 1997).
2.6.4 Aktivitas Melatonin Sebagai Antioksidan Melatonin diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antimitotik, antiestrogenik, pro diferensiasi dan anti metastatik, modulasi sistem imun, pengatur ritme tidur dan ritme sirkardian, maturasi sistem reproduksi. Proses pembersihan radikal bebas yang dilakukan oleh melatonin terjadi secara tidak langsung, melalui peranannya dalam pengaturan fungsi antioksidan dan enzim prooksidan lainnya (Hardeland, 2005). Kerusakan akibat radikal bebas dapat dikurangi dari aksi antieksitasinya, kontribusinya terhadap pengaturan fase sirkadian internal dan perannya dalam meningkatkan metabolisme mitokondrial. Dalam hal ini melatonin
33
mencegah kebocoran elektron dan menguatkan aktivitas kompleks I dan IV. Melatonin juga menunjukkan efek potensial terhadap antioksidan lainnya seperti askorbate dan trolox. Oksidasi melatonin menunjukkan arti penting pada proses produksi
metabolit
biologis
aktif
lainnya
seperti
N1-acetyl-N2-formyl-5-
methoxykynuramine (ANFK) dan N1-acetyl-5-methoxykynuramine (AMK) yang juga diketahui memiliki karakteristik proteksi. Dalam hal ini AMK bereaksi dengan oksigen reaktif dan spesies nitrogen, melindungi mitokondria, menghambat serta menurunkan aktifitas siklooksigenase 2. Maka melatonin terbukti memiliki sifat pro obat juga. Spermatozoa sangat rentan terhadap serangan Reactive Oxygen Species (ROS) seperti anion superoksida dan hydrogen peroksida sebagai konsekuensi dari proses lipid peroksidasi. Kerentanan spermatozoa dari stres oksidatif karena struktur dari membran sel spermatozoa sangat tinggi jumlah asam lemak tak jenuh khususnya docosahexaenoic
(DHA),
dimana
penting
dalam
mempertahankan
proses
spermatogenesis dan fluiditas membran spermatozoa matur (Sanocka dan Kurpisz, 2004). Melatonin merupakan suatu neurohormon yang diproduksi kelenjar pineal, ternyata memiliki efek sebagai antioksidan. Dalam suatu percobaan in vivo, efek antioksidan melatonin lebih superior dibandingkan antioksidan klasik seperti vitamin C, E, dan beta karoten. Selain itu tidak seperti antioksidan lain, melatonin tidak berubah menjadi pro-oksidan (Korkma et al., 2009). Melatonin merupakan antioksidan yang paten karena sifatnya yang larut dalam lemak dan air sehingga dapat
34
berdistribusi luas dalam tubuh (Tomas-apiko dan Coto-Montes, 2006). Melatonin dapat menurunkan terjadinya stres oksidatif melalui
dua cara yaitu menetralisir
radikal bebas seperti O2-, OH, H2O2, ONOO-, 1O2, LOO, NO (Reiter et al., 2003) dan dengan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan seperti SOD, GPx, CAT (Anisimov, 2006).