BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Penyakit DBD Dengue Haemoragic Fever (DHF) yang lebih sering disebut dengan penyakit DBD merupakan penyakit infeksi akut menular ke manusia melalui perantara gigitan nyamuk Aedes yang mengandung virus dengue yang ditandai dengan demam dua sampai tujuh hari disertai manifestasi perdarahan, penurunan jumlah trombosit (100.000/mm3 atau kurang), dan peningkatan nilai hematokrit (20% atau lebih dari nilai baseline) (WHO, 2011) (Kemenkes RI, 2013). Manusia adalah reservoir utama bagi virus dengue dan setiap individu rentan mendapat penyakit DBD ini. Penyebab penyakit dengue termasuk dalam kelompok arbovirosis dengan famili flaviviridae yang terdiri dari empat jenis serotipe virus antara lain Denv-1, Denv-2, Denv-3, dan Denv-4. Keempat serotipe virus tersebut mempunyai kemampuan antigenisitas yang sama, tetapi dalam menimbulkan proteksi silang memiliki kemampuan yang berbeda meskipun baru beberapa bulan mengalami infeksi dari salah satu virus dengue tersebut (Beaumier dkk., 2008) (U.S. Department of Health, 2009) (WHO, 2011) (Kemenkes RI, 2013). Data dari seluruh dunia menunjukkan setiap tahunnya kawasan asia menempati peringkat pertama dalam jumlah penderita DBD. Penyakit dengue sebelumnya hanya dinilai menimbulkan masalah pada daerah perkotaan semata, namun saat ini penyakit tersebut juga menjadi ancaman bagi daerah pinggiran
Asia Tenggara. Menurut WHO (2009), diperkirakan bahwa terdapat kurang lebih seratus juta kasus demam dengue pertahun, dimana infeksi dengue merupakan salah satu penyebab utama rawat inap di rumah sakit dan kematian pada anakanak (Depkes RI, 2010) (Capeding dkk., 2013). Demam berdarah dengue di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1968 ketika terjadi KLB di Surabaya dan Jakarta. Sejak dilaporkan itu, kasus DBD meningkat terus bahkan sejak tahun 2004 kasus meningkat sangat tinggi. Distribusi kasus DBD per kelompok umur dari tahun 1993 sampai 2009 terjadi pergeseran dari kelompok kasus DBD terbesar adalah umur <15 tahun, namun tahun 1999 sampai 2009 kelompok umur terbesar yaitu ≥15 tahun. Persentase penderita laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu pada laki-laki (53,78%) dan perempuan (46,23%) (Depkes RI, 2010). Penyakit DBD yang ada di Indonesia terutama ditularkan oleh jenis nyamuk Aedes aegypti sebagai penular atau vektor DBD, namun spesies lain juga dianggap sebagai vektor sekunder seperti Aedes albopictus, Aedes scutelaris, Aedes polynesiensis, dan Aedes niveus. Penyebaran penyakit DBD umumnya dilakukan oleh nyamuk Aedes aegypti yang betina yang mampu mengigit berulang kali (multiple bite) mulai di pagi hari dan saat petang hari sehingga sangat efektif sebagai vektor penyakit DBD. Jenis nyamuk penular DBD ini terdapat pada tempat yang ketinggiannya di bawah dari 1.000 meter dari permukaan laut (Kemenkes RI, 2013). Beberapa hal yang mendukung terjadinya penularan dan semakin bertambahnya perkembangan penyakit DBD adalah pertumbuhan penduduk yang
tinggi, mobilitas penduduk sangat mudah, penyimpanan air bersih, sistem pengendalian nyamuk yang kurang efektif, perubahan iklim, serta lemahnya struktur kesehatan masyarakat. Selain faktor-faktor lingkungan dan perilaku tersebut, status imunologi individu, serotipe virus, usia dan riwayat genetik juga berpengaruh terhadap penularan penyakit DBD.
2.2 Diagnosis DBD Infeksi virus dengue pada umumnya tidak akan semua menunjukkan manifestasi DBD berat, ada yang hanya mengalami demam yang ringan dan akan bisa sembuh sendirinya atau bahkan ada yang tidak pernah menunjukkan gejala sakit (asymtomatic) (Frans, 1991). Menurut WHO, virus dengue akan mengalami masa inkubasi di dalam darah seseorang selama tiga sampai tiga sampai empat hari (rata-rata empat sampai enam hari) dan muncul gejala-gejala awal penyakit yang akut seperti; meningkatnya suhu badan secara mendadak, kepala pusing, otot dan sendi terasa nyeri, tidak ada nafsu makan, ruam-ruam pada kulit dan berbagai gejala yang tidak spesifik. Berat ringan gejala tersebut bervariasi dan biasanya berlangsung selama beberapa hari (WHO, 2011). WHO telah merekomendasikan kriteria penegakkan diagnosis dengue berdasarkan klinis dan laboratorium untuk menjadi acuan para klinisi dalam mendiagnosis dan mengklasifikasikan kasusnya (WHO, 2009) (Kemenkes RI, 2013). Tidak semua kasus infeksi dengue dapat diketahui dari gejala klinis,
namun konfirmasi laboratorium perlu untuk memastikan penyakit DBD yang tersangka DBD (Capeding dkk., 2013) Penegakkan diagnosis dengue seperti berikut ini. 1.
Diagnosis suspek infeksi dengue Diagnosis suspek infeksi dengue ditegakkan apabila ditemukan kriteria yaitu; demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung selama dua sampai tujuh hari, serta adanya manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji tourniquet/rumple leede positif).
2.
Diagnosis Demam Dengue (DD) Demam dengue biasanya merupakan demam tinggi mendadak dengan suhu ≥390C, disertai keluhan nyeri kepala, nyeri belakang bola mata, nyeri otot dan tulang, ruam kulit, kadang-kadang ada perdarahan yang tidak lazim, peningkatan hematokrit 5% sampai 10%. Terdapat sekurangkurangnya satu dari kriteria berikut ini yaitu pemeriksaan antibodi IgM positif, positif antigen virus dengue, positif pemeriksaan PCR, dan kasus berlokasi di suatu daerah dan dalam waktu bersamaan terdapat kasus konfirmasi DD atau DBD.
3.
Diagnosis DBD Penegakkan diagnosis DBD diperlukan minimal ada kriteria klinis 1 dan 2, serta dua kriteria laboratorium (U.S. Department of Health, 2009) (WHO, 2009) (Kemenkes RI, 2013). Kriteria atau manifestasi klinis DBD antara lain demam mendadak, tinggi tanpa sebab yang jelas yang secara terus menerus berlangsung selama dua
sampai tujuh hari, terdapat beberapa gejala perdarahan spontan berbentuk perdarahan bawah kulit, mimisan, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna. Terdapat uji tourniquet yang positif dan resiko terjadinya syok ditandai dengan nadi yang cepat dan lemah serta penyempitan tekanan nadi (20 mmHg atau kurang) atau nadi tidak teraba, kaki dan tangan terasa dingin, kulit lembab dan penderita menjadi gelisah. Kriteria pemeriksaan laboratorium dalam penegakkan diagnosis DBD yaitu ada penurunan jumlah trombosit (trombositopenia 100.000/mm3 atau kurang), biasanya terjadi di hari sakit ketiga sampai kedelapan hari, terjadinya hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih yang merupakan bukti adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan bocornya plasma, pada kasus berat yang disertai dengan disfungsi hati. Waktu tromboplastin parsial memanjang pada setengah sampai sepertiga kasus DBD. Hasil laboratorium lainnya adalah kadar komplemen serum menurun, hipoproteinemia, hiponatremia, dan peningkatan kadar SGOT ringan. Asidosis metabolik nitrogen urea darah meningkat sering kali dijumpai pada kasus penyakit yang disertai syok berkepanjangan
2.3 Derajat Beratnya DBD Lama dan derajat keparahan penyakit DBD beragam untuk setiap individu. Masa penyembuhan bisa terjadi cepat, namun seringkali bisa cukup panjang. WHO pada tahun 1997 membagi derajat DBD dalam empat stadium dan sudah diperbaharui dengan kriteria dengue WHO tahun 2009 yang manifestasi klinisnya
lebih banyak untuk membantu menegakkan diagnosis dan mengidentifikasi penentuan derajat penyakit ini yang bermanfaat secara klinis maupun epidemiologis dalam penanganan awal di rumah sakit (WHO, 2009) (Kemenkes RI, 2013). Derajat penyakit DBD diklasifikasikan menjadi empat derajat berikut ini. Derajat I yaitu Demam disertai gejala klinis yang tidak khas dan satu-satunya gejala perdarahan yaitu uji tourniquet positif. Derajat II yaitu gejala yang muncul seperti dialami pada derajat I ditambah adanya perdarahan spontan biasanya di kulit, perdarahan gusi dan atau perdarahan lainnya. Derajat III yaitu derajat I ataupun II serta adanya kegagalan sirkulasi, yaitu dengan tanda denyut nadi yang lemah dan lebih cepat, perbedaan tekanan nadi sistolik dan diastolik sama atau kurang dari 20 mmHg (hipotensi) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab, sianosis di sekitar mulut, dan kelihatan penderita gelisah. Derajat IV yaitu seperti dengan derajat III, ditambah juga adanya syok yang berat (profound shock) dengan nadi tidak dapat teraba dan tidak dapat terukurnya tekanan darah (WHO, 2009) (Kemenkes RI, 2013). DSS dimasukan pada tingkat DBD derajat III dan derajat IV. DSS merupakan kasus DBD yang gawat darurat yaitu adanya kegagalan sirkulasi yang dapat ditunjukan dari denyut nadi yang lemah dan lebih cepat, disertai hipotensi dengan tanda kulit yang teraba dingin dan lembab serta penderita tampak gelisah hingga terjadinya syok/renjatan berat (denyut nadi menjadi tidak teraba, dan tekanan darah tidak terukur) (Sharma SK, 2003) (WHO, 2009) (Kemenkes RI, 2013).
Kebocoran plasma merupakan patogenesis utama menimbulkan syok (shock) dan kematian. Syok pada penderita DBD dikenal dengan sebutan Dengue Shock Syndrome (DSS) yaitu terjadinya kegagalan sirkulasi darah karena plasma darah merembes keluar dari pembuluh darah yang mengakibatkan darah semakin mengental yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, kulit dingin dan lembab, serta pasien menjadi gelisah (WHO, 2009). Pasien yang mengalami syok harus berada dalam pengawasan yang ketat, karena menghadapi risiko kematian apabila mereka tidak mendapatkan pengobatan segera yang memadai.
2.4 Tatalaksana DBD/DSS Obat atau vaksin dengue yang spesifik belum ada hingga sekarang, namun bila pasien berobat dini, dan mendapat penatalaksanaan yang adekuat, umumnya kasus-kasus penyakit ini dapat diselamatkan (Kemenkes RI, 2013). Secara umum, tidak perlu merawat semua pasien yang dicurigai menderita DBD oleh karena tergantung dari derajat penyakit infeksi virus dengue. Tatalaksana DBD yang efektif membutuhkan tenaga medik yang terlatih, serta di tunjang oleh fasilitas laboratorium, farmasi yang memadai. Dalam kasus DBD yang derajat I dan II, pemberian terapi cairan intravena bagi pasien rawat jalan dilakukan selama 12 sampai 14 jam. Pasien yang menunjukkan kenaikan kadar hematotkrit, jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm3 atau menunjukkan perdarahan yang spontan selain dari petekia harus dirawat. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi dan apabila ditemukan
tanda/gejala syok diperlukan perawatan yang intensif untuk mengurangi angka kematian (WHO, 2009). Kunci keberhasilan tatalaksana DBB/DSS terletak pada keterampilan petugas medik dan paramedik untuk dapat mewaspadai dan menanggulangi masa peralihan dari fase demam menuju fase kritis, mengingat perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Fase perjalanan penyakit DBD menurut (WHO, 2009) seperti berikut ini. 1.
Fase demam Fase demam bisa terjadi dalam dua sampai tujuh hari dengan suhu tubuh antara 39oC sampai 40oC. Gejala yang biasanya menyertai fase demam yaitu penderita mengeluh tidak nafsu makan, mual, nyeri konjungtiva, wajah kemerahan dan sakit kepala. Pada kasus ringan atau sedang, seluruh gejala
akan
berkurang
setelah
suhu
turun.
Perubahan
tersebut
mengindikasikan berkurangnya secara perlahan gangguan sirkulasi darah sebagai akibat bocornya plasma. 2.
Fase kritis Fase kritis adalah fase peralihan antara keadaan demam sampai keadaan tidak demam biasanya saat suhu turun (defervescence), yang umumnya terjadi pada hari ketiga sampai kelima fase demam dengan suhu tubuh pada fase ini antara 37,5oC sampai 38oC atau berada dibawahnya. Pada fase ini bisa terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran plasma sehingga kondisi pasien memburuk, namun apabila tidak terjadi kebocoran plasma maka kondisi penderita
akan semakin baik. Kondisi kebocoran plasma yang berkepanjangan dan keterlambatan penanganan dapat menyebabkan penderita mengalami syok. Syok berlangsung dalam waktu yang singkat, namun apabila syok tidak tertangani maka kondisi penderita dapat memburuk dan menjadi kompleks dengan adanya asidosis metabolis, perdarahan saluran cerna atau dari organ lain. Pasien yang mengalami syok menghadapi risiko dapat meninggal dalam waktu 12 sampai 24 jam kemudian apabila mereka tidak mendapat pengobatan segera yang memadai. 3.
Fase penyembuhan Fase peyembuhan DBD dengan atau tidak disertai syok berlangsung singkat. Penderita yang telah melewati fase kritis, dan memasuki fase penyembuhan perembesan plasma berhenti saat terjadi reabsorbsi atau penyerapan kembali cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravascular. Pasien akan sembuh dua sampai tiga hari dan secara bertahap kondisi penderita akan semakin baik, apabila pengeluaran urin cukup, nafsu makan mulai meningkat, dan tanda-tanda vital yang stabil.
2.5 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian DSS Potter & Ferry’s menyebutkan bahwa faktor risiko adalah suatu situasi, kebiasaan, atau variabel yang lain yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok mengalami kejadian sakit atau mendapatkan kecelakaan (Crisp ddk.,
2012). Beberapa teori dan penelitian terkait dengan faktor risisko kejadian DSS adalah sebagai berikut ini. 2.5.1
Umur Umur secara kronologis merupakan satuan waktu yang mengukur
perhitungan usia dimulai dari sejak kelahiran individu sampai dengan waktu perhitungan umur. Kondisi status kesehatan tidak terlepas dari umur individu tersebut. Penyakit DBD bisa terjadi pada semua umur. Tren kasus DBD per kelompok umur telah mengalami pergeseran dari kasus DBD pada kelompok umur kurang dari 15 tahun lebih banyak terjadi pada tahun 1993 sampai tahun 1998. Sedangkan dalam 10 tahun terakhir (1999 sampai 2009), DBD memiliki kecendrungan proporsi yang lebih besar pada kelompok usia produktif karena mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dan mengikuti arus perkembangan transportasinya yang lebih lancar pada kelompok ini, sehingga lebih besar kemungkinannya untuk terjangkit virus dengue (Kemenkes RI, 2010a). Hasil dari penelitian Harisnal (2012) di RSUD Ulin dan RSUD Ansari Saleh Banjarmasin, menyatakan bahwa umur ≤5 tahun dan umur 6-14 tahun tidak berisiko secara signifikan dengan kejadian DSS (OR= 0,84; 95%CI= 0,4081,748). Penelitian yang lain juga menyebutkan umur balita dan umur anak sekolah tidak berhubungan secara statistik dengan kejadian DSS (OR= 0,21; 95%CI= 0,018-2,50) (Setiawati, 2011). Hasil penelitian tersebut didukung juga dengan penelitian lain di RSUD Kota Semarang yang menyatakan tidak ada hubungan
antara umur dan DSS (OR= 0,81; 95%CI= 0,335-1,981) (Silvarianto, 2013). Anders dkk. (2011) di Ho Chi Minh City Vietnam, menggambarkan bahwa anak yang pada umur 6 tahun sampai 10 tahun tidak berisiko mengalami DSS (OR= 0,52; 95%CI= 0,36-0,375). Walaupun demikian kematian karena DBD lebih tinggi terjadi pada anak yang lebih kecil umurnya, sesuai dengan hasil penelitian yang disampaikan oleh Moraes dkk. (2013) bahwa umur <4 tahun merupakan faktor risiko yang independen berpengaruh terhadap terjadinya DSS (OR= 1,83; 95%CI= 1,17-1,73). Umur merupakan variabel penting dari seseorang sebagai aspek fundamental yang berkaitan dengan interaksi virus dengan manusia pada penyakit DBD. Perbedaan hasil di atas, menggugah saya untuk meneliti pengaruh variabel umur dengan kejadian DSS di RSUD Wangaya Kota Denpasar. 2.5.2
Jenis kelamin Berdasarkan data dari Kemenkes Subdit Arbovirosis tahun 2010, terlihat
bahwa jauh lebih banyak kasus DBD pada laki-laki dengan umur >15 tahun sebanyak 21,13%, sedangkan kematian terbanyak pada perempuan umur >15 tahun pada perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Beberapa peneliti pernah melaporkan infeksi dan keganasan penyakit DBD pada jenis kelamin laki dengan perempuan, dan banyak jenis kelamin perempuan dengan DSS menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi daripada laki-laki. Hasil penelitian (Anders dkk., 2011), yang menggambarkan bahwa anak perempuan berisiko lebih tinggi mengalami kejadian DSS sebesar 1,19 kali dibandingkan anak laki-laki (OR= 1,19; 95%CI= 1,14-1,24) dan anak perempuan
berisiko terjadi kematian akibat mengalami DSS yaitu 1,57 kali dibandingkan anak laki-laki (OR=1,57; 95%CI= 1,14-2,17). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian Harisnal (2012) bahwa jenis kelamin perempuan lebih berisiko 3,2 kali mengalami kejadian DSS (OR= 3,25; 95%CI= 1,178-8,970). Namun dari hasil penelitian lain, tidak ada perbedaan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin anak perempuan dengan anak laki-laki terhadap kejadian DSS (OR= 0,36; 95%CI= 0,03-4,24) (Setiawati, 2011). Silvarianto (2013) juga menyimpulkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan DSS (OR= 0,74; 95%CI= 0,311-1,178). Berdasarkan perbedaan data di atas, menarik untuk dilihat lebih lanjut jenis kelamin apakah yang lebih berhubungan dengan kejadian DSS di RSUD Wangaya Kota Denpasar. 2.5.3
Lama demam sebelum Masuk Rumah Sakit (MRS) Perjalanan penyakit DBD tidak spesifik, dan lama sakit sebelum masuk
rumah sakit (pre hospital) menentukan perjalanan penyakit DBD berada pada fase pasien mengalami demam, fase syok atau kritis, atau fase pemulihan penyembuhan. Lama dan derajat keparahan penyakit DBD beragam untuk setiap individu, masa penyembuhan bisa terjadi cepat namun sering juga cukup panjang (Kemenkes RI, 2013). Pola demam penyakit DBD seperti pelana kuda, orang tua sering mengasumsikan sudah sembuh saat suhu tubuh menurun dari semula tingi sehingga pengobatannya terabaikan sehingga dapat memasuki fase kritis. Purnomo menggambarkan pola demam penyakit DBD seperti berikut ini.
Gambar 2.1 Pola Demam Penyakit DBD Sumber: Purnomo, 2010 Gambar 2.1 menunjukkan bahwa demam yang terjadi pada infeksi ini timbul secara mendadak pada hari ke 1-3 penderita mengalami panas badan dapat mencapai suhu > 39oC. Hari ke 4-5 demam turun secara mendadak juga yang sering dikira penderita sudah sembuh, tapi justru pada hari itu penderita memasuki fase kritis. Penderita DBD yang datang ke rumah sakit sering mengalami keterlambatan sehingga sudah masuk dalam tahap fase kritis yang kemungkinan syok menjadi lebih tinggi. Pada tahap kritis penyakit DBD adalah ketika masa penurunan suhu, munculnya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi yang mencerminkan kebocoran plasma. Penggantian cairan yang tepat dan segera dengan pemberian larutan isotonik, plasma adalah tindakan yang dapat menghindarkan terjadinya syok (Kemenkes RI, 2013). Hasil penelitian Harisnal (2012), menyebutkan bahwa pasien yang mengalami lama sakit sebelum dirawat ≥4 hari di rumah sakit sebanyak 59% mengalami DSS yang secara statistik bermakna (OR= 3,15; 95%CI= 1,1798,397). Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian yang dilaksanakan oleh
Hadinegoro (2013) menyampaikan bahwa fase syok terjadi pada sakit hari ketiga sampai hari kelima. Namun penelitian lain menyebutkan lama demam di rumah tidak ada hubungan dengan terjadinya DSS dengan OR sebesar 0,001 (Setiawati, 2011). Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan masih adanya perbedaan, dan secara faktual perjalanan penyakit DBD berlangsung akut yang secara teoritis dapat melewati fase kritis yang berlangsung cepat juga, oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui hubungan riwayat infeksi DBD dengan kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar. 2.5.4
Riwayat infeksi DBD sebelumnya Infeksi DBD primer dan sekunder dapat mengakibatkan timbulnya
perdarahan gastrointestinal yang berat. Virus yang masuk dalam darah manusia akan memperbanyak diri dan sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi sedangkan virus akan menjadi antigennya (Depkes RI, 2004). Menurut U.S. Department of Health (2009), individu yang sudah terinfeksi virus dengue untuk pertama kali, maka akan terbentuk zat anti yang spesifik di dalam tubuhnya sesuai dengan tipe virus dengue yang menginfeksi tetapi tidak kebal dengan serotipe virus dengue lainnya. Selama ini diduga bahwa derajat beratnya penyakit DBD dijelaskan dengan adanya peningkatan dari multiplikasi virus di dalam makrofag sebagai akibat infeksi dengue sebelumnya. Suvatte merumuskan dugaan infeksi sekunder dan dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini.
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus
Anamestic antibody response Kompleks virus-antibodi Aktivasi komplemen Komplemen Anafilatoksin (C3, C5a) Permeabilitas kapiler meningkat
Histamin dalam urin meningkat Ht meningkat
>30% pada kasus syok 24-48 jam
Perembesan plasma
Natrium menurun
Hipivolemia
Cairan dalam rongga serosa
Syok Asidosis
Anoksia Meninggal
Gambar 2.2 Patogenesis Terjadinya Syok pada DBD Sumber: Suvatte, 1997 Faktor virus serta respon anti bodi terlibat dalam pathogenesis DBD (Beaumier dkk., 2008). Menurut WHO (2009), infeksi sekunder atau infeksi berulang oleh serotipe virus dengue yang lain memperberat keparahan penyakit DBD. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa kasus DBD yang berat sangat berkaitan dengan serotipe virus Dengue 3 dan merupakan serotipe virus dengue yang paling banyak penyebarannya disusul oleh Dengue 2, Dengue 1, dan Dengue 4 (Kemenkes RI, 2010a). Penderita yang sudah sembuh dari infeksi salah
satu jenis virus akan memberi kekebalan seumur hidupnya tapi tidak memberi kekebalan dari infeksi jenis virus dengue lainnya serta bisa terinfeksi oleh virus dengue dengan jenis atau tipe yang berbeda (Kemenkes RI, 2011). Prevalensi dari DSS pada infeksi sekunder di RS Sanglah pada 62 anak yang DBD adalah 16,7% (Arhana, 2006). Hasil penelitian Silvarianto, (2013) di RUD Kota Semarang menunjukkan bahwa riwayat pernah terinfeksi penyakit DBD berhubungan dengan kejadian DSS (OR= 8,23; 95%CI= 2,837-23,909). Namun hasil berbeda juga secara statistik disebutkan bahwa jenis infeksi tidak bermakna mempengaruhi kejadian DSS setelah dianalisis multivariat (OR= 1,37; 95%CI= 0,584-3,229) (Elmy dkk., 2009). Penelitian dari (Setiawati, 2011) dengan desain penelitian cross sectional menyatakan bahwa riwayat menderita DBD sebelumnya tidak berhubungan signifikan dengan kejadian DSS dengan OR sebesar 0,001. 2.5.5
Hematokrit Indikasi adanya kebocoran plasma dapat dilihat dari pemeriksaan
Hematokrit. Peningkatan hematokrit ≥20% mengindikasikan adanya peningkatan permiabilitas pembuluh darah sebagai bukti sudah dicurigai adanya kebocoran plasma dari pembuluh darah yang dapat menyebabkan syok, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala (Kemenkes RI, 2010a). Menurut
WHO (2009), yang harus diperhatikan bahwa jumlah
hematokrit dipengaruhi juga oleh penggantian cairan tubuh secara dini dan juga karena adanya perdarahan. Pada pasien DBD dengan perdarahan dan hemokonsentrasi akan mengalami tanda syok lebih dini, tetapi dengan manajemen
cairan yang tepat dan adekuat akan dapat mencegah perkembangan ke arah syok (Anders dkk., 2011). Harisnal (2012), menyampaikan bahwa penderita DBD yang mengalami peningkatan hematokrit ≥25,97% dapat terjadi DSS 7,8 kali dibandingkan yang dengan yang mengalami peningkatan hematokrit <25,97% (OR= 7,8; 95%CI= 2,748-22,500). Penelitian lain yang menunjukkan adanya pengaruh hematokrit dengan terjadinya DSS dengan OR sebesar 2,46 (95%CI= 1,85-3,28) (Moraes dkk., 2013). Berdasarkan data dari rekam medik RSUD Wangaya tahun 2013-2014, bahwa rata-rata kadar hematokrit pada penderita DBDsebesar 42,11%. Kadar hematokrit yang tinggi diasosiasikan dengan kebocoran plasma. Kurangnya penelitian yang menyediakan informasi tentang nilai hematokrit MRS pada penderita DBD, layak menjadi perhatian dalam penelitian ini agar mengetahui hubungan indikasinya dengan kejadian DSS. 2.5.6
Trombosit Hasil pemeriksaan darah untuk penyakit karena infeksi virus dengue yang
perlu diketahui adalah jumlah trombosit darah. Penurunan jumlah trombosit atau trombositopenia merupakan jumlah trombosit ≤100/cm3. Penurunan jumlah trombosit darah merupakan indikasi diagnosa DBD sehingga setiap penderita dilaksanakan pemeriksaan lengkap darah dilihat nilai trombositnya (WHO, 2009). Penyebab trombositopenia pada DBD masih kontroversial. Menurut hasil penelitian Mayetti (2010), menyampaikan bahwa kadar trombosit <50/cm3 merupakan faktor risiko terjadinya syok pada DBD (RR= 1,81; 95%CI= 1,41-
2,34).
Harisnal
(2012)
menjelaskan
bahwa
jumlah
trombosit
≤50/cm3
berhubungan dengan kejadian DSS dengan OR sebesar 4 (95%CI= 1,85-8,63). Sedangkan hasil penelitian lain disebutkan trombositopenia tidak selalu berhubungan dengan derajat DBD (OR= 0,95; 95%CI= 0,44-2,07) (Widajanti dkk., 2003). Berdasarkan teori dan dari hasil penelitian-penelitan tersebut di atas, kadar trombosit juga tidak selalu bisa diandalkan menunjukkan kondisi beratnya penyakit DBD. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui trombosit MRS terhadap kejadian DSS pada penderita DBD yang rawat inap di RSUD Wangaya.
2.5.7
Kelas perawatan Kelas perawatan yaitu ruang rawat inap berdasarkan perawatan yang
ditempati pasien DBD di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Jenis pelayanan yang diberikan pasien rawat inap memiliki standar pelayanan minimal. Menteri Kesehatan Republik Indonesia (1997), melakukan upaya pengaturan besaran tarif rumah sakit yang diperhitungkan atas dasar unit cost, dengan memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat, rumah sakit setempat serta kebijaksanaan subsidi silang. tentang rumah sakit. Menurut Fahlafi (1994), karakteristik sosial ekonomi pada pasien rawat inap berhubungan dengan pemilihan kelas perawatan. Penetapan tarif kelas perawatan sangat menentukan permintaan dari kelompok berpendapatan rendah dibandingkan kelompok berpendapatan tinggi. Beban ekonomi dan sosial dari penderita atau keluargannya dapat merupakan hambatan untuk segera berobat atau mendapat pertolongan di rumah sakit.
Penderita DBD yang dirawat di RSUD Wangaya yang sebagian besar menggunakan layanan perawatan kelas III, perlu mendapat perhatian untuk mengurangi resiko terjadinya DSS pada pasien DBD. Sementara peneliti belum menemukan penelitian tentang pengaruh kelas perawatan terhadap kejadian DSS. 2.5.8
Jaminan kesehatan Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit berkaitan erat dengan perilaku
pencarian pengobatan, seperti pemanfaatan Jaminan kesehatan di fasilitas kesehatan yang ada. Proses dalam mencari bantuan pelayanan kesehatan memiliki kompleksitas yang cukup tinggi karena variasi pengetahuan, biaya yang dapat dijangkau, keinginan pemenuhan kebutuhan, orientasi kepuasan, tuntutan masyarakat dan lain-lain. Menurut penelitian Anny (2012) bahwa akses layanan, persepsi mutu layanan, dan persepsi manfaat program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) tidak berhubungan dengan minat pemanfaatan dengan nilai p >0,05, namun semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin rendah minat pemanfaatan program JKBM. Indikasi adanya keterkaitan secara tidak langsung pemanfaatan jaminan kesehatan daerah oleh masyarakat yang kondisi ekonominya kurang, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui hubungannya dengan kejadian DSS pada penderita DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar.