BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HOPITESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Signaling Theory Menurut Wolk et al. (2001) dalam Thiono (2006:4), signaling theory menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar. Perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (investor, kreditor). Kurangnya informasi pihak luar mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi diri dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan mengurangi asimetri informasi. Salah satu cara untuk mengurangi asimetri informasi adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar. Salah satunya berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya dan akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang. Signaling theory mengemukakan bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan bersangkutan lebih baik daripada perusahaan lain.
12
Informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan sinyal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi (Jogiyanto, 2010:392). Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Pada saat informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah menerima informasi tersebut, pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai sinyal baik (good news) atau sinyal buruk (bad news). Jika pengumuman informasi tersebut sebagai sinyal baik bagi investor, maka terjadi perubahan dalam volume perdagangan saham.
2.1.2 Trade Off Theory Trade off theory merupakan model struktur modal yang mempunyai asumsi bahwa struktur modal perusahaan merupakan kesinambungan antara keuntungan penggunaan utang dengan biaya financial distress dan agency cost. Esensi trade off theory dalam struktur modal adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan utang. Sejauh manfaat lebih besar, tambahan utang masih diperkenankan. Apabila pengorbanan karena penggunaan utang sudah lebih besar, maka tambahan utang tidak diperkenankan. Trade off theory telah mempertimbangkan berbagai faktor seperti corporate tax, biaya kebangkrutan dan personal tax dalam menjelaskan mengapa suatu perusahaan memilih struktur modal tertentu. Kesimpulannya adalah penggunaan utang akan meningkatkan nilai perusahaan tetapi hanya sampai pada titik tertentu. Setelah titik tersebut, penggunaan utang justru dapat menurunkan nilai perusahaan. Walaupun model trade off theory tidak dapat menentukan secara
13
tepat struktur modal yang optimal, namun model tersebut memberikan kontribusi penting yaitu: 1) Perusahaan yang memiliki aset tinggi, sebaiknya menggunakan sedikit utang. 2) Perusahaan
yang
membayar
pajak
tinggi
sebaiknya
lebih
banyak
menggunakan utang dibandingkan perusahaan yang membayar pajak rendah.
2.1.3 Pengertian Bank Ditinjau dari asal mulanya dikenal, bank berasal dari sebuah kata Italia “banco” yang artinya meja atau tempat menukarkan uang. Pengertian ini kemudian berkembang menjadi tempat penyimpanan uang sesuai dengan kegiatan bank pada saat itu. Pengertian bank mulai berubah seiring dengan semakin modernnya perkembangan dunia perbankan. Pengertian bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Menurut Kasmir (2012:24), bank diartikan sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan. Menurut Simorangkir (2004:10), bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa. Pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga ataupun dengan jalan mengedarkan alat-alat pembayaran baru berupa giral.
14
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pengertian bank telah mengalami evolusi, sesuai dengan perkembangan bank itu sendiri. Kedua, fungsi bank pada umumnya adalah 1) menerima berbagai bentuk simpanan dari masyarakat; 2) memberikan kredit bagi masyarakat yang membutuhkan; serta 3) memberikan jasa-jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
2.1.4 Jenis-jenis Bank Jenis-jenis perbankan di Indonesia dapat ditinjau dari berbagai segi antara lain (Kasmir, 2012:20): 1) Dilihat dari segi fungsinya Berdasarkan UU RI No.10 Tahun 1998 maka jenis perbankan terdiri dari: a) Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. b) Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran. Artinya, kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum.
15
2) Dilihat dari segi kepemilikannya, di bagi menjadi: a)
Bank Milik Pemerintah merupakan bank yang akte pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah, sehingga seluruh keuntungan bank ini dimiliki oleh pemerintah pula.
b) Bank Milik Swasta Nasional merupakan bank yang seluruh atau sebagian besarnya dimiliki oleh swasta nasional serta akte pendiriannya pun didirikan oleh swasta, begitu pula pembagian keuntungannya diambil oleh swasta pula. Dalam Bank Swasta Milik Nasional termasuk pula bankbank yang dimiliki oleh badan usaha yang berbentuk koperasi. c)
Bank Milik Asing merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing maupun pemerintah asing suatu negara.
d) Bank Milik Campuran merupakan bank yang kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta nasional. Di mana kepemilikan sahamnya secara mayoritas dipegang oleh warga Negara Indonesia. 3) Dilihat dari segi status a) Bank Devisa merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi keluar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan, misalnya misalnya transfer ke luar negeri, travelers cheque, pembukaan dan pembayaran Letter of Credit (L/C). b) Bank non devisa, merupakan bank yang mempunyai ijin untuk melaksanakan transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksanakan transaksi seperti bank devisa. Bank non devisa melakukan transaksi dalam batas-batas suatu negara.
16
4) Dilihat dari segi cara menentukan harga a) Bank yang berdasarkan prinsip konvensional, menetapkan bunga sebagai harga jual baik untuk produk simpanan seperti giro, tabungan maupun deposito. Demikian pula harga beli untuk produk pinjamannya (kredit) juga ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. b) Bank berdasarkan prinsip syariah, yang menerapkan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain baik dalam hal untuk menyimpan dana, pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya.
2.1.5 Pendapatan Bank Tujuan utama bank melaksanakan kegiatan penggunaan atau penanaman dana adalah untuk memperoleh penghasilan berupa pendapatan. Pendapatan bank mutlak harus ada untuk menjamin kontinuitas bank bersangkutan. Menurut Hasibuan (2009:99) bank dikatakan memperoleh pendapatan apabila jumpah penghasilan yang diterima lebih besa daripada jumlah pengeluaran (biaya) yang dikeluarkan. Pendapatan yang diperoleh bank akan bepeluang meningkatkan perolehan laba dan akan mempengaruhi persentase kinerja yang dicapai suatu bank. Pendapatan yang diperoleh bank atas produk dan jasa yang diberikan kepada masyarakat menurut Kasmir (2012:136) dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: 1) Pendapatan bunga (interest income) Pendapatan yang dipeoleh dalam bentuk bunga adalah pendapatan yang diperoleh dalam bentuk bunga atas pemberian kredit sebagai penyalur dana
17
kepada masyarakat baik perorangan maupun bandan usaha serta pendapatan dana kepada bank lain. 2) Pendapatan non bunga (fee-based income) Pendapatan yang diperoleh dari pendapatan provisi, fee atau komisi non bunga dan pemasaan produk maupun transaksi jasa perbankan.
2.1.6 Nilai Perusahaan Nilai perusahaan dapat didefinisikan sebagai nilai wajar perusahaan yang menggambarkan persepsi investor terhadap emiten bersangkutan. Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2004), nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Keown et al. (2007) menyatakan bahwa nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar. Harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli diartikan sebagai harga pasar atas perusahaan itu sendiri. Di bursa saham, harga pasar berarti harga yang bersedia dibayar oleh investor untuk setiap lembar saham perusahaan. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan yang selalu dikaitkan dengan harga saham. Nilai perusahaan merupakan gambaran dari kesejahteraan pemegang saham. Semakin tinggi nilai perusahaan maka dapat menggambarkan bahwa semakin sejahtera pula pemiliknya. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukkan kemakmuran pemegang saham juga tinggi.
18
Menurut Kallapur dan Trombley (1999) nilai perusahaan merupakan variabel yang tidak dapat diobservasi, sehingga untuk mengukur nilai perusahaan diperlukan suatu proksi. Proksi nilai perusahaan ada 3 (tiga) di antaranya: 1) Proksi Berdasarkan Harga (Price Based Proxies) Proksi berbasis harga mendasarkan pada perbedaan antara aset dan nilai perusahaan sehingga proksi ini sangat tergantung pada harga saham. Proksi berbasis harga dapat berupa: a) Tobin’s Q yang merupakan perbandingan antara nilai pasar perusahaan terhadap nilai buku total aset. b) Price to Book Value (PBV). PBV merupakan perbandingan antara harga pasar per lembar saham terhadap nilai bukunya. c) Return on Asset (ROA). ROA merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak terhadap total aset perusahaan. d) Return on Equity (ROE). ROE merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak terhadap total ekuitas perusahaan. 2) Proksi Berdasarkan Investasi (Investment Based Proxies) Proksi berbasis investasi menunjukkan tingkat aktivitas investasi yang tinggi secara positif berhubungan dengan kesempatan investasi perusahaan. Proksi berbasis investasi dapat berupa Return on Investment (ROI) yang merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak terhadap nilai investasi perusahaan.
19
3) Proksi Berdasarkan Pengukuran Varians (Variance Measurement) Proksi berbasis varians mendasarkan pada ide bahwa pilihan akan menjadi lebih bernilai sebagai variabilitas dari return dengan mendasarkan pada peningkatan aset. Proksi berbasis varians dapat berupa variance return dan beta asset. Di dalam penelitian ini nilai perusahaan diukur dengan Tobin’s Q. Tobin’s Q atau yang biasa juga disebut Q ratio diperkenalkan pertama kali oleh James Tobin pada tahun 1969. Tobin adalah ekonom Amerika yang berhasil meraih nobel di bidang ekonomi dengan mengajukan hipotesis bahwa nilai pasar suatu perusahaan seharusnya sama dengan biaya penggantian aset perusahaan tersebut sehingga menciptakan keadaan ekuilibrium.
2.1.7 Leverage Leverage adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya baik jangka pendek maupun jangka panjang, atau mengukur sejauh mana perusahaan dibiayai dengan utang (Wiagustini, 2010:76). Aspek leverage mempunyai beberapa implikasi diantaranya: 1) Kreditur mengharapkan dana yang disediakan pemilik perusahaan sebagai margin keamanan, bila pemilik menyediakan sebagian kecil modalnya maka risiko bisnis sebagian besar ditanggung oleh kreditur. 2) Meskipun
pengadaan
dana
melalui
mengendalikan perusahaan.
20
utang,
pemilik
masih
dapat
3) Apabila perusahaan mendapatkan keuntungan lebih dari dana yang dipinjamnya dibanding bunga yang harus dibayar, maka pengembalian kepada pemilik dapat diperbesar. Perusahaan yang memiliki rasio leverage rendah menghadapi risiko kerugian yang lebih kecil pada saat perekonomian sedang menurun, tetapi memiliki tingkat return yang rendah pada saat perekonomian tinggi. Sebaliknya perusahaan yang memiliki rasio leverage tinggi menghadapai risiko kerugian besar tetapi kesempatan mendapatkan keuntungan juga tinggi. Konsep leverage dapat dibagi menjadi 3 (Sartono, 2008) yaitu: 1) Operating Leverage Perusahaan dapat dikatakan menggunakan operating leverage apabila memiliki biaya operasi tetap atau biaya modal tetap. Perusahaan yang menggunakan operating leverage mengharapkan bahwa penjualan akan meningkatkan perubahan laba sebelum bunga dan pajak. 2) Financial Leverage Financial leverage adalah penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap dengan harapan akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar daripada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham. 3) Combined Leverage Combined leverage terjadi apabila perusahaan memiliki operating leverage maupun financial leverage dalam usahanya untuk meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham.
21
2.1.8 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara antara lain logaritma natural total aset (Nasution dan Setiawan, 2007 dan Kimathi et al., 2015), logaritma natural total penjualan (Nuryaman, 2008), kapitalisasi pasar (Halim, dkk. 2005). Foedz (1994) dalam Mardiyah (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori yaitu perusahaan besar (large firms), perusahaan sedang (medium firms), perusahaan kecil (small firms). Penentuan ukuran perusahaan ini adalah berdasarkan kepada total aset perusahaan. Perusahaan yang berukuran besar memiliki basis pemegang kepentingan yang lebih luas, sehingga berbagai kebijakan perusahaan besar akan berdampak lebih besar terhadap kepentingan publik dibandingkan dengan dengan perusahaan kecil. Bagi investor, kebijakan perusahaan akan berimplikasi terhadap prospek cash flow di masa yang akan datang. Sedangkan bagi regulator (pemerintah) akan berdampak terhadap besarnya pajak yang akan diterima, serta efektivitas peran pemberian perlindungan terhadap masyarakat secara umum.
2.1.9 Risiko Kredit Pengertian kredit menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, adalah penyediaan uang atau tagihan dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
22
Pengertian risiko kredit berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum adalah risiko akibat kegagalan debitur dan atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank. Risiko kredit timbul akibat debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada bank yang mengakibatkan bank menderita kerugian. Aset perbankan yang diperhitungkan dengan bobot persentase tertentu sebagai faktor risiko adalah Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Ketentuan persentase faktor risiko pada masing-masing aset sebagai dasar perhitungan ATMR telah ditentukan melalui Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/23/DPNP tanggal 29 September 2003. Pada aturan tersebut, kredit yang diberikan kepada pihak lain termasuk ke dalam kelompok aset yang mempunyai bobot risiko 100 persen. Hal ini berarti bahwa risiko kredit merupakan risiko tertinggi dalam perbankan. Pengukuran risiko berhubungan dengan pengukuran return, karena bank menghadapi risiko yang mungkin timbul disebabkan dalam rangka mendapatkan return (Mawardi, 2005) Rasio keuangan yang digunakan dalam mengukur risiko kredit adalah Non Peforming Loan (NPL). NPL menunjukkan kemampuan bank dalam mengelola kredit bermasalah, sehingga semakin tinggi rasio NPL maka semakin buruk kualitas kredit bank atau mengindikasikan bahwa tingkat risiko atas pemberian kredit pada bank tersebut cukup tinggi. Bank sebaiknya mengontrol kebijakan kreditnya untuk menekan rasio NPL (Lata, 2014). Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat
23
Kesehatan Bank Umum menyatakan bahwa apabila nilai NPL lebih tinggi dari 5%, maka bank dikatakan tidak sehat.
2.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, tinjauan pustaka, dan penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini, maka dapat dinyatakan rumusan hipotesis sebagai berikut:
2.2.1 Pengaruh Leverage terhadap Nilai Perusahaan Leverage merupakan kebijakan perusahaan dalam menentukan proporsi pendanaan utang untuk membiayai kebutuhan perusahaan. Menurut Brigham dan Houston (2007:523) semakin bertambahnya utang maka risiko keuangan yaitu biaya kebangkrutan juga akan meningkat, namun masih bisa ditutupi dengan penghematan pajak apabila pemanfaatan utang tersebut belum mencapai titik optimal. Berdasarkan trade off theory posisi utang yang optimal adalah penambahan manfaat dari utang yang seimbang dengan biaya kebangkrutan yang timbul, sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. Tetapi apabila jumlah utang masih bertambah, sehingga manfaat dari utang lebih kecil seiring semakin meningkatnya biaya kebangkrutan, akan memperbesar risiko keuangan dan akan menimbulkan kondisi kesulitan serta menurunnya nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo dan Aisjah (2012) menyatakan bahwa leverage berpengaruh negatif pada nilai perusahaan. Hasil ini konsisten dengan penelitian Afza dan Tahir (2012), Chen (2011) dan Susanti (2010) yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh negatif pada nilai perusahaan.
24
Penggunaan utang dalam membiayai investasi perusahaan akan memunculkan risiko keuangan. Risiko keuangan merupakan kemungkinan yang akan terjadi apabila perusahaan tidak dapat menutupi biaya yang timbul akibat utang yang berupa bunga (Susanti, 2010:33). Penggunaan utang pada tingkat dimana pembayaran angsuran dan beban bunga lebih besar daripada manfaat utang, maka akan menurunkan nilai perusahaan karena akan meningkatkan risiko perusahaan dan dapat menyebabkan financial distress (Agustina, 2008:66). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H1: Leverage berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan
2.2.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan Moh’d et al. (1998) mengemukaan bahwa perusahaan yang berukuran besar akan lebih mudah mengakses pendanaan melalui pasar modal. Kemudahan ini merupakan informasi baik bagi pengambilan keputusan investasi dan juga dapat merefleksikan nilai perusahaan di masa yang akan datang. Ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan yang dapat dinyatakan dengan total aset atau total penjualan bersih. Semakin besar total aset maupun total penjualan, maka semakin besar pula ukuran suatu perusahaan. Hasnawati dan Sawir (2015) menemukan dalam penelitiannya bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif pada nilai perusahaan. Sejalan dengan Moeljadi dan Supriyati (2014), Prasetyorini (2013), Sujoko dan Soebiantoro (2007), serta Rachmawati dan Triatmoko (2007) menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif pada nilai perusahaan. Hal ini menunjukan bahwa semakin besar ukuran perusahaan, maka semakin banyak investor yang akan menaruh
25
perhatian pada perusahaan tersebut, sehingga menjadi penyebab naiknya harga saham perusahaan di pasar modal. Sesuai dengan signaling theory, investor akan menangkap sinyal dari perusahaan yang mempublikasikan informasi keuangan, sehingga investor menganggap, perusahaan memiliki nilai yang lebih besar. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H2: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan
2.2.3 Kemampuan Risiko Kredit Memoderasi Pengaruh Leverage terhadap Nilai Perusahaan Risiko kredit merupakan suatu risiko yang timbul akibat kegagalan atau ketidakmampuan nasabah dalam mengembalikan jumlah pinjaman yang diterima beserta bunganya sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. Risiko ini akan semakin tinggi apabila bank tidak mampu meningkatkan atau memperbaiki kualitas kredit yang disalurkan, karena pada dasarnya bank menanamkan sejumlah dana dalam bentuk kredit dengan harapan dapat meningkatkan laba. Apabila risiko kredit yang dimiliki suatu bank semakin tinggi, maka hal tersebut akan dianggap sebagai sinyal negatif bagi investor karena bank tidak mampu mengelola kredit yang disalurkan dengan baik, sehingga akan berdampak pada nilai perusahaan. Penggunaan utang dalam membiayai investasi perusahaan menimbulkan risiko keuangan. Risiko keuangan merupakan kemungkinan yang akan terjadi apabila perusahaan tidak dapat menutup beban bunga. Menurut Isshaq et al. (2009:493) risiko keuangan dapat diukur dengan menggunakan leverage yang merupakan perbandingan antara proporsi utang dengan total ekuitas dalam
26
struktur modal perusahaan. Trade off theory menyatakan bahwa penggunaan utang akan meningkatkan nilai perusahaan tetapi hanya sampai titik tertentu, setelah melewati titik tersebut penggunaan utang justru akan menurunkan nilai perusahaan karena kenaikan laba dari penggunaan utang tidak sebanding dengan biaya financial distress dan cost agency. Penelitian yang dilakukan oleh Sofyaningsih dan Hardiningsih (2011), Fitri (2010), serta Sujoko dan Soebiantoro menemukan bahwa leverage berpengaruh negatif pada nilai perusahaan. Hasil ini mendukung trade off theory yang menyatakan bahwa jumlah utang yang semakin meningkat akan menurunkan nilai perusahaan. Apabila leverage perusahaan tinggi, kemudian risiko kredit yang dimiliki juga tinggi, maka nilai perusahaan akan semakin merosot karena investor akan menganggap terlalu berisiko apabila berinvestasi pada perusahaan yang memiliki leverage dan risiko kredit tinggi. Hal ini disebabkan oleh risiko kredit yang merupakan risiko terbesar dalam perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H3: Risiko kredit mampu memperkuat pengaruh leverage terhadap nilai perusahaan
2.2.4 Kemampuan Risiko Kredit Memoderasi Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan Risiko kredit umumnya timbul dari berbagai kredit yang masuk dalam kategori bermasalah atau Non Performing Loan (NPL). Keberadaan NPL dalam jumlah yang cukup tinggi dapat menimbulkan kesulitan sekaligus menurunkan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Bank yang tidak sehat akan dinilai negatif oleh investor sehingga dapat menurunkan nilai perusahaan.
27
Ukuran perusahaan merupakan besarnya kekayaan yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aset. Apabila aset yang dimiliki pihak bank mengalami peningkatan, maka terdapat peluang dalam penempatan dana di sektor kredit. Ukuran perusahaan yang besar akan lebih diperhatikan oleh investor, karena perusahaan besar cenderung memiliki kondisi yang lebih stabil. Kestabilan tersebut akan menarik investor untuk memiliki saham perusahaan yang bersangkutan. Peningkatan permintaan saham akan memacu peningkatan harga saham di pasar modal, sehingga akan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Maryam (2014), Tanuwijaya (2014) serta Sofyaningsih dan Hardiningsih (2011) menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif pada nilai perusahaan. Hasil ini menunjukan bahwa investor mempertimbangkan
ukuran
perusahaan
dalam
membeli
saham.
Ukuran
perusahaan dapat dijadikan patokan bahwa perusahaan tersebut mempunyai kinerja yang bagus. Namun apabila investor juga mempertimbangkan risiko kredit sebagai salah satu faktor dalam berinvestasi, maka hal ini dapat memperlemah pengaruh ukuran perusahaan pada nilai perusahaan. Meskipun aset tinggi namun apabila perusahaan juga memiliki risiko kredit yang tinggi, makan investor akan lebih berhati hati dalam menginvestasikan dananya. Risiko kredit yang tinggi menunjukan bahwa kualitas kredit yang dilakukan semakin buruk, sehingga berdampak pada penurunan nilai perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H4: Risiko kredit mampu memperlemah pengaruh ukuran perusahaan terhadap nilai perusahaan
28