BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Kemitraan dan pola-pola kemitraan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan disebutkan kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan merupakan salah satu instrumen yang strategis bagi pengembangan usaha kecil, tetapi ini tidak berarti bahwa semua usaha kecil bisa segera secara efektif dikembangkan melalui kemitraan. Bagi pengusaha informal atau yang sangat kecil skala usahanya dan belum memiliki dasar kewirausahaan yang memadai, kemitraan dengan usaha besar belum tentu efektif karena belum tercipta kondisi saling membutuhkan. Yang terjadi adalah usaha kecil membutuhkan usaha besar sedangkan usaha besar tidak merasa membutuhkan usaha kecil. Usaha kecil yang demikian barangkali perlu dipersiapkan terlebih dahulu, misalnya dengan memperkuat posisi transaksi melalui wadah koperasi atau kelompok usaha bersama (prakoperasi) dan pembinaan kewirausahaan. Dengan memahami berbagai aspek kewirausahaan dan bergabung dalam wadah koperasi, usaha-usaha yang sangat kecil atau informal tersebut secara bersama-sama akan memiliki kedudukan dan posisi transaksi yang cukup kuat
15
untuk menjalin kemitraan yang sejajar, saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan dengan usaha besar mitra usahanya. Banyak program pemerintah dan pola-pola kemitraan yang dibuat demi usaha kecil. Hal ini bertujuan untuk mendorong dan menumbuhkan usaha kecil tangguh dan modern. Usaha kecil sebagai kekuatan ekonomi rakyat dan berakar pada masyarakat dan usaha kecil yang mampu memperkokoh struktur perekonomian nasional yang lebih efisien. Pola-pola kemitraan tersebut disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 antara lain: 1) Kerjasama keterkaitan antar hulu-hilir (forward linkage) Pembangunan industri dasar dengan skala besar yang dilakukan untuk mengolah langsung sumber daya alam termasuk sumber energi yang terdapat di suatu daerah, perlu dimanfaatkan untuk mendorong pembangunan cabangcabang dan jenis-jenis industri yang saling mempunyai kaitan, yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi kawasan-kawasan industri. Kerjasama keterkaitan hulu hilir harus berlangsung dalam iklim yang positif dan konstruktif, dalam arti bersifat saling membutuhkan dan saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam melakukan kerja sama antara perusahaan industri. Pemerintah memanfaatkan peranan koperasi, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, serta asosiasi/federasi perusahaan-perusahaan industri sebagai wadah untuk meningkatkan pengembangan bidang usaha industri.
16
2) Kerjasama keterkaitan antar hilir-hulu (backward linkage) Pertumbuhan ataupun pemerataan ekonomi dengan penerapan kerjasama keterkaitan hilir hulu yang tepat guna sejauh mungkin dapat menggunakan bahan-bahan dalam negeri adalah untuk meningkatkan nilai tambah, memelihara keseimbangan antara peningkatan produksi dan kesempatan kerja, serta pemerataan pendapatan, dalam rangka usaha memperbesar nilai tambah
sebanyak-banyaknya,
maka
pembangunan
industri
harus
dilaksanakan dengan mengembangkan keterkaitan yang berantai ke segala jurusan secara seluas-luasnya yang saling menguntungkan kelompok industri hilir, keterkaitan antara kelompok industri hulu atau dasar. Kerjasama keterkaitan hilir hulu harus berlangsung dalam iklim yang positif dan konstruktif, dalam arti bersifat saling membutuhkan dan saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam melakukan kerja sama antara perusahaan industri. Pemerintah memanfaatkan peranan koperasi, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, serta asosiasi/federasi perusahaan-perusahaan industri sebagai wadah untuk meningkatkan pengembangan bidang usaha industri. 3) Kerjasama dalam Pemilik Usaha Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik
17
sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya. 4)
Kerjasama dalam bentuk bapak dan anak-angkat Pada dasarnya pola bapak angkiat adalah refleksi kesediaan pihak yg mampu atau besar untuk membantu pihak lainyang kurang mampu atau kecil pihak yang memang memerlukan pembinaan. Oleh karena itu pada hakikatnya pola pendekatan tersebut adalh cermin atau wujud rasa kepedulian pihak yang esar terhadap yang kecil. Pola bapak angkat dalam pola pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) umumnya banyak dilakukan BUMN dengan usaha mikro dan kecil.
5) Kerjasama dalam bentuk bapak angkat sebagai pemodal ventura Merupakan bentuk kerjasama dalam bentuk suatu investasi melaui pembiayaan berupa penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan swasta (anak perusahaan) sebagai pasangan usaha (investee company) untuk jangka waktu tertentu. 6) Pola inti plasma Adalah merupakan hubungan kemitraan antara Usaha Kecik Menengah dan Usaha Besar sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil Menegah yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Dalam hal ini, Usaha Besar
18
mempunyai tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) untuk membina dan mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai mitra usaha untuk jangka panjang. 7) Subkontrak Pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya. Atau bisa juga dikatakan, subkontrak sebagai suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara Usaha Besar dan Usaha Kecil Menegah, di mana Usaha Besar sebagai perusahaan induk (parent firma) meminta kepada UKM selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk. Selain itu, dalam pola ini Usaha Besar memberikan bantuan berupa kesempatan perolehan bahan baku, bimbingan dan kemampuan teknis produksi, penguasaan teknologi, dan pembiayaan. 8) Pola dagang umum Pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya. Dengan demikian maka dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh
19
usaha menengah atau usaha besar mitranya. Bisa juga dikatakan bahwa pola dagang umum mengandung pengertian hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra memasok kebutuhan perusahaan mitra. 9) Waralaba Adalah bentuk hubungan kemitraan antara pemilik waralaba atau pewaralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee) dalam mengadakan persetujuan
jual beli hak monopoli untuk menyelenggarakan usaha
(waralaba). Kerjasama ini biasanya didukung dengan pemilihan tempat, rencana bangunan, pembelian peralatan, pola arus kerja, pemilihan karyawan, konsultasi, standardisasi, pengendalian, kualitas, riset dan sumber-sumber permodalan. 10) Keagenan Adalah hubungan kemitraan antar kelompok mitra dengan perusahaan mitra dimana kelompok diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha pengusaha mitra. Keagenan merupakan hubungan kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar, yang di dalamnya UMKM diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Besar sebagai mitranya. Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan, di mana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga.
20
2.1.2 Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) Program Kemitraan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan yang selanjutanya disebut PKBL adalah merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada masyarakat. Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN diwilayah usaha BUMN tersebut melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN (http://www.btdc.co.id). Sumber dana program kemitraan berasal dari: 1) Penyisihan laba setelah pajak BUMN Pembina; 2) Jasa Administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dari dana Program Kemitraan; 3) Pelimpahan dana Program Kemitraan dari BUMN lain, jika ada; 4) Penyaluran dana dari BUMN Pembina lain. Sumber dana program bina lingkungan berasal dari: 1) Penyisihan laba setelah pajak BUMN Pembina; 2) Hasil bunga deposito dan/atau jasa giro dari dana program bina lingkungan. Usaha yang berhak memperoleh bantuan dana pembinaan PKBL adalah usaha kecil yang memiliki aseest atau kekayaan bersih maksimal Rp 200 juta (diluar tanah dan bangunan) .dan memiliki omzet atau hasil penjualan maksimal Rp 1 milyar setahun, memiliki ijin usaha serta berpotensi untuk dikembangkan
21
Adapun bentuk-bentuk program kemitraan adalah: 1) Pemberian pinjaman dalam bentuk modal kerja dan/atau pembelian Aktiva Tetap Produktif Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). 2) Pinjaman khusus bagi UMKM yang telah menjadi binaan yang bersifat pinjaman tambahan dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha UMKM Binaan. 3) Program pendampingan dalam rangka peningkatan kapasitas (capacity building) UMKM binaan dalam bentuk bantuan pendidikan/pelatihan, pemagangan, dan promosi. 4) Capacity Building diberikan di bidang produksi & pengolahan, pemasaran, SDM, dan teknologi. Dana capacity building bersifat hibah dan hanya dapat diberikan kepada UKM yang telah menjadi Mitra Binaan BUMN yang bersangkutan. PKBL dilaksanakan dengan dasar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN serta Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 yang menyatakan maksud dan tujuan BUMN tidak hanya mengejar keuntungan, melainkan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat. Program Kemitraan bertujuan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui dukungan terhadap modal serta pelatihan SDM yang profesional dan terampil agar dapat mendukung pemasaran dan kelanjutan usaha di masa depan.
22
Bina Lingkungan digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia melalui pengembangan sarana dan prasarana umum. Selama ini, Program Bina Lingkungan sudah diselenggarakan dalam bentuk : bantuan pendidikan, bantuan pelatihan, bantuan sarana ibadah, bantuan kesehatan, bantuan sarana dan prasarana umum, bantuan pelestarian lingkungan dan bantuan BUMN Peduli. Usaha yang dapat dibina adalah usaha yang produktif di semua sektor ekonomi (industri, perdagangan, pertanian/perkebunan, perikanan, jasa lainnya) dengan ketentuan : 1) Memiliki kriteria sebagai usaha kecil (termasuk usaha mikro), yaitu memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.1 milyar; 2) Milik Warga Negara Indonesia; 3) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; 4) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi; 5) Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan; 6) Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun; 7) Belum memenuhi persyaratan perbankan (non bankable).
23
2.1.3 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor UMKM terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Mengingat pengalaman yang telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UMKM, terlebih lagi unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya (Putra, 2013:458). Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah, lembaga keuangan maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UMKM. Pemerintah bekerjasama dengan lembaga keuangan perlu meningkatkan perannya dalam pemberian kredit untuk memberdayakan UMKM disamping mengembangkan kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya (Papalangi, 2013:1213). Berdasarkan hal ini, penting untuk dijelaskan usaha-usaha apa saja yang termasuk ke dalam Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Definisi
24
UMKM menurut Undang-Undang UMKM Republik Indonesia nomor 20 tahun 2008 (dalam Adawiyah, 2012:5) adalah sebagai berikut. 1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana di atur dalam Undang-Undang ini. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut. (1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). 2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut. (1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
25
3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut. (1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah).
2.1.4 Kredit 1) Pengertian kredit Istilah kredit yang pada saat ini dipergunakan dalam istilah perbankan berasal dari bahasa latin yaitu ”credere” yang berarti ”kepercayaan”, atau ”credo” yang berarti ”saya percaya”. Dalam pengertian bahwa dalam hal seseorang
memperoleh
kredit,
berarti
orang
tersebut
memperoleh
kepercayaan (Hadiwijaya, 2008:14). Kredit adalah pemberian prestasi dengan dengan balas prestasi yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Dalam kehidupan ekonomi modern prestasi yang dimaksud adalah uang, dengan demikian transaksi
26
kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa mendatang (Simorangkir, 2009:32). Definisi kredit menurut Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (dalam Papalangi, 2013:1215). Definisi kredit ini, merupakan pengertian kredit yang digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan kredit perbankan di Indonesia. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dikatakan kredit adalah pemberian pinjaman dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Nasabah menyelesaikan pinjamannya kepada perusahaan sebagai pemberi pinjaman (kreditur), dengan cara mengembalikan uang pinjaman dan membawa sewa modalnya berdasarkan ketentuan yang berlaku. 2) Tujuan pemberian kredit Menurut Kasmir (2010:95) tujuan utama pemberian suatu kredit: (1) Mencari keuntungan Keuntungan pemberian kredit tersebut terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh suatu lembaga keuangan sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah.
27
(2) Membantu usaha nasabah Tujuan
lainnya
adalah
untuk
membantu
usaha
nasabah
yang
memerlukan dana, baik dana untuk investasi maupun dana untuk modal kerja. (3) Membantu pemerintah Pemerintah mengharapkan dengan semakin banyak kredit yang disalurkan oleh lembaga keuangan, maka akan membawa pengaruh yang baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor. 3) Fungsi kredit Kasmir (2010:96) menyebutkan fungsi kredit adalah sebagai berikut. (1) Meningkatkan daya guna uang Jika uang hanya disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna.pemberian kredit diharapkan akan menyebabkan uang tersebut menjadii berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh penerima kredit. (2) Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang Uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya sehingga suatu daerah yang kekurangan dana dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.
28
(3) Meningkatkan daya guna barang Kredit yang diberikan oleh lembaga keuangan akan dapat digunakan oleh debitur untuk mengolah barang yang tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat. (4) Meningkatkan peredaran barang Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari suatu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar. (5) Alat stabilitas ekonomi Kredit dikatakan sebagai alat stabilisasi ekonomi karena dengan kredit yang diberikan dapat meningkatkan kesempatan berusaha di segala bidang kehidupan sehingga akan meningkatkan stabilitas ekonomi. (6) Meningkatkan kegairahan berusaha Pemberin kredit tentunya akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha, terutama jika nasabah yang memang ingin merintis suatu usaha yang modal usahanya tidak mencukupi. (7) Meningkatkan pemerataan pendapatan Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik, terutama dalam meningkatkan pendapatan. Contohnya bila kredit diberikan untuk membangun pabrik, maka pabrik tersebut membutuhkan tenaga kerja sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran.
29
4) Unsur-unsur kredit Menurut
Kasmir
(2010:103-105),
adapun
unsur-unsur
yang
terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut. (1) Kepercayaan, merupakan suatu keyakinan pemberian kredit bahwa kredit yang diberikan akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu dimasa yang akan datang. (2) Kesepakatan, merupakan suatu kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajiban masing-masing. (3) Jangka waktu, merupakan masa pengembalian kredit yang telah disepakati. (4) Risiko, merupakan suatu kemungkinan tidak tertagihnya pinjaman atau macetnya pengembalian kredit. (5) Balas jasa, merupakan suatu keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa, yang kita kenal dengan nama bunga. 5) Jenis-jenis kredit Kasmir
(2010:109-112)
menyatakan
secara
teoritis
terdapat
bermacam-macam kredit berdasarkan jenisnya, adalah sebagai berikut. (1) Jenis kredit berdasarkan tujuan penggunaannya a)
Kredit investasi, merupakan kredit jangka panjang yang biasanya digunakan untuk keperluan perluasan atau membangun usaha.
b) Kredit modal kerja, merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya.
30
c)
Kredit konsumtif, merupakan kredit yang dipergunakan untuk kebutuhan sendiri bersama keluarga.
(2) Jenis kredit berdasarkan jangka waktu a)
Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang berjangka waktu selamalamanya 1 tahun (kurang dari 1 tahun).
b) Kredit jangka menengah, yaitu kredit yang berjangka waktu antara 1 sampai 3 tahun. c)
Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang jangka waktunya lebih dari 3 tahun.
(3) Jenis kredit berdasarkan cara pemakaiannya a)
Kredit rekening koran bebas, yaitu nasabah diperbolehkan untuk melakukan penarikan uang sekaligus asal tidak melebihi jumlah maksimum yang disetujui.
b) Kredit rekening terbatas, yaitu nasabah tidak diperbolehkan untuk melakukan
penarikan
uang
sekaligus,
tetapi
secara
teratur
disesuaikan dengan kebutuhan. c)
Installment credit, yaitu penarikan tidak diijinkan sekaligus, akan tetapi untuk penarikannya diatur sesuai dengan schedule tertentu.
2.1.5 Efektivitas Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil
31
kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya (Siagian, 2012:24). Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya (Abdurahmat, 2008:92). Pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian efektivitas menurut Hidayat (2005:35) yang menjelaskan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai, dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya. Efektivitas diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif. Pengertian efektivitas menurut Saksono (2006:47) adalah seberapa besar tingkat kelekatan output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari sejumlah input. Berdasarkan pengertian-pengertian efektivitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Mengetahui efektif atau tidaknya program pemberian kredit digunakan rasio efektivitas. Menurut Sugiyono (2012:66), rasio efektivitas mempergunakan metode statistik sederhana dengan formula sebagai berikut. Realisasi Efektivitas =
x 100% Target
32
Keterangan: Efektivitas = ukuran berhasil atau tidaknya program pemberian kredit (%) Realisasi
= pencapaian pelaksanaan program pemberian kredit dilihat dari input, proses dan output.
Target
= target yang direncanakan pada pelaksanaan program pemberian kredit dilihat dari input, proses dan output. Pengukuran tingkat efektivitas pada variabel input, proses, dan output
dilakukan pada masing-masing indikator. Setelah mendapatkan tingkat efektivitas dari masing-masing indikator pada variabel input, proses, dan output selanjutnya dilakukan pengklasifikasian tingkat efektivitas sesuai dengan kriteria berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 690.900.327 Tahun 1996 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Keuangan. 1) Koefisien efektivitas bernilai kurang dari 60% = tidak efektif 2) Koefisien efektivitas dari 60%-79,99% = kurang efektif 3) Koefisien efektivitas dari 80%-89,99% = cukup efektif 4) Koefisien efektivitas dari 90%-100% = efektif 5) Koefisien efektivitas bernilai di atas 100% = sangat efektif.
2.1.6 Pendapatan Pendapatan bagi sejumlah pelaku ekonomi merupakan uang yang telah diterima oleh pelanggan dari perusahaan sebagai hasil penjualan barang dan jasa. Menurut Baridwan (2009:30) menyatakan bahwa pendapatan adalah aliran masuk harta-harta (aktiva) yang timbul dari penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh suatu unit usaha selama satu periode tertentu. Menurut PSAK No.23 paragraf
33
6 Ikatan Akuntan Indonesia (2010:233) menyatakan bahwa pendapatan adalah arus kas masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan selama satu periode bila arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Pendapatan terbagi menjadi dua macam, yaitu pendapatan perorangan dan pendapatan disposable. Pendapatan perorangan adalah pendapatan yang dihasilkan oleh atau dibayarkan kepada perorangan sebelum dikurangi dengan pajak penghasilan. Pendapatan disposable merupakan jumlah pendapatan saat ini yang dapat dibelanjakan atau ditabung oleh organisasi, yaitu pendapatan perorangan dikurangi dengan pajak penghasilan (Lestari, 2012). Menurut Nafarin (2011:15) definisi pendapatan adalah arus masuk harta dari kegiatan perusahaan menjual barang dan jasa dalam suatu periode yang mengakibatkan kenaikan modal yang tidak berasal dari kontribisi penanaman modal. Pendapatan dari kegaiatan perusahaan dagang dasarnya adalah suatu proses mengenai arus penciptaan barang dan jasa oleh perusahaan selama jangka waktu tertentu. Sunuharyo (2007:52), dilihat dari pemanfaatan tenaga kerja, pendapatan yang berasal dari balas jasa berupa upah atau gaji disebut pendapatan tenaga kerja (labour income), sedangkan pendapatan dari selain tenaga kerja disebut dengan pendapatan bukan tenaga kerja (non labour income). Dalam kenyataannya membedakan antara pendapatan tenaga kerja dan pendapatan bukan tenaga kerja tidaklah selalu mudah dilakukan. Konsep perhitungan pendapatan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan.
34
1) Pendekatan produksi (production approach), yaitu dengan menghitung seluruh nilai tambah produksi barang atau jasa yang dihasilkan dalam ukuran waktu tertentu. 2) Pendekatan pendapatan (income approach), yaitu dengan menghitung seluruh nilai balas jasa yang diterima pemilik faktor produksi dalam ukuran waktu tertentu. 3) Pendekatan pengeluaran (expenditures approach), yaitu dengan menghitung seluruh pengeluaran dalam kurun waktu tertentu. Tolak ukur dari majunya sebuah perekonomian masyarakat adalah dengan cara melihat seberapa besar jumlah pendapatan yang mampu dihasilkan. Besar kecilnya pendapatan yang mampu dihasilkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) akan mempengaruhi kelangsungan usaha industri tersebut. Perolehan pendapatan yang besar melalui hasil penjualan produksi yang mampu dicapai menjadi tolak ukur bahwa UMKM mampu bersaing di pasaran. Omset yang tinggi secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap tingkat produksi yang mampu dihasilkan. Semakin meningkatnya jumlah produksi maka akan mempengaruhi permintaan terhadap tenaga kerja yang diperlukan.
2.1.7 Tenaga kerja Tenaga kerja merupakan salah satu indikator perekonomian yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu daerah. Indikator tenaga kerja adalah penduduk usia kerja (http://bali.bps.go.id, 2014). Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan
35
atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun-64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun karena anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja. Menurut Irawan (2005:25) klasifikasi tenaga kerja dibedakan berdasarkan penduduknya, batas kerja dan kualitasnya. 1) Berdasarkan penduduknya (1) Tenaga kerja, adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat bekerja dan sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja, mereka yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja yaitu mereka yang berusia antara 15 tahun sampai dengan 64 tahun. (2) Bukan tenaga kerja, adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan tidak mau bekerja, meskipun ada permintaan bekerja. Menurut UndangUndang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003, mereka adalah penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia di bawah 15 tahun dan berusia di atas 64 tahun. Contoh kelompok ini adalah para pensiunan, para lansia (lanjut usia) dan anak-anak.
36
2) Berdasarkan batas kerja (1) Angkatan kerja, adalah penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan. (2) Bukan angkatan kerja, adalah mereka yang berumur 10 tahun ke atas yang kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Contoh kelompok ini adalah: anak sekolah dan mahasiswa, para ibu rumah tangga dan orang cacat, dan para pengangguran sukarela. 3) Berdasarkan kualitasnya (1) Tenaga kerja terdidik, adalah tenaga kerja yang memiliki suatu keahlian atau kemahiran dalam bidang tertentu dengan cara sekolah atau pendidikan formal dan nonformal. Contohnya: pengacara, dokter, guru, dan lain-lain. (2) Tenaga kerja terlatih, adalah tenaga kerjayang memiliki keahlian dalam bidang tertentudengan melalui pengalaman kerja. Tenaga kerja terampil ini dibutuhkan latihan secara berulang-ulang sehingga mampu menguasai pekerjaan tersebut. Contohnya: apoteker, ahli bedah, mekanik, dan lain-lain. (3) Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih, adalah tenaga kerja kasar yang hanya mengandalkan tenaga saja. Contoh: kuli, buruh angkut, pembantu rumah tangga, dan sebagainya
37
Berikut ini disebutkan beberapa masalah ketenagakerjaan di Indonesia (Irawan, 2005:94). 1) Rendahnya kualitas tenaga kerja Kualitas tenaga kerja dalam suatu negara dapat ditentukan dengan melihat tingkat pendidikan negara tersebut. Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, tingkat pendidikannya masih rendah. Hal ini menyebabkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi rendah. Minimnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadaprendahnya kualitas hasil produksi barang dan jasa. 2) Jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan kesempatan kerja Meningkatnya jumlah angkatan kerja yang tidak diimbangi oleh perluasan lapangan kerja akan membawa beban tersendiri bagi perekonomian. Angkatan kerja yang tidak tertampung dalam lapangan kerja akan menyebabkan
pengangguran.
Padahal
harapan
pemerintah,
semakin
banyaknya jumlah angkatan kerja bisa menjadi pendorong pembangunan ekonomi. 3) Persebaran tenaga kerja yang tidak merata Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia berada di Pulau Jawa. Sementara di daerah lain masih kekurangan tenaga kerja, terutama untuk sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan.Dengan demikian di Pulau Jawa banyak terjadi pengangguran, sementara di daerah lain masih banyak sumber daya alam yang belum dikelola secara maksimal.
38
4) Pengangguran Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia banyak mengakibatkan industri di Indonesia mengalami gulung tikar. Akibatnya, banyak pula tenaga kerja yang berhenti bekerja. Selain itu, banyaknya perusahaan yang gulung tikar mengakibatkan semakin sempitnya lapangan kerja yang ada. Di sisi lain jumlah angkatan kerja terus meningkat. Dengan demikian pengangguran akan semakin banyak.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Dampak program kemitraan terhadap pendapatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Penelitian Setiawan (2009) ditemukan bahwa bantuan pinjaman atau dana perkuatan bagi usaha mandiri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mampu menambah omset penjualan dan keuntungan, semakin besar jumlah pinjaman akan meningkatkan keuntungan UMKM. Hasil penelitian Putra (2013) dilihat dari hasil perhitungan variabel input, variabel proses, dan variabel output bahwa tingkat keberhasilan program bantuan KUR di Kota Denpasar tergolong berhasil dan efektif. Hasil analisis menunjukan bahwa program bantuan KUR berdampak positif terhadap pendapatan UMKM di Kota Denpasar. Gubert (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa perusahaan-perusahaan mencatat ratarata kinerja pendapatan yang lebih baik daripada perusahaan tanpa pendanaan melalui pembiayaan kredit. Hasil penelitian Surya (2011) meneumukan bahwa kinerja dana bergulir PNPM Mandiri ini dapat dilihat dari tingkat kinerja keuangan usaha mikro dan
39
kecil sebelum dan sesudah mendapat bantuan. Hasil penelitian ditemukan terjadi peningkatan kinerja keuangan sesudah menerima dana bergulir sehingga dapat meningkatkan laba dan penjualan. Liu dan Yu (2008) menemukan bahwa pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui pembiayaan kredit bagi UMKM di daerah pedesaan dan terbelakang secara ekonomi bisa membantu meningkatkan pendapatannya. Atmaja (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa Program Kemitraan Bina Lingkungan PT Perkebunan Nusantara di Pekanbaru mempunyai dampak positif terhadap peningkatan pendapatan Usaha Mikro dan Kecil masyarakat di Pekanbaru. Hasil penelitian Siregar (2014) menunjukkanbahwa program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Perkebunan Nusantara III memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan mitra CSR dan juga memberikan dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja mitra CSR. Berdasarkan hasil kajian penelitian terdahulu, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: Diduga Program Kemitraan PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) dapat meningkatkan pendapatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Badung.
2.2.2 Dampak program kemitraan terhadap penyerapan tenaga kerja Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Temuan penelitian Suprianto (2006) menunjukkan bahwa penanggulangan kemiskinan dengan cara mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui pemberian kredit memiliki potensi yang cukup baik, karena
40
ternyata sektor UMKM memiliki kontribusi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Penelitian Ayodeji (2010) menunjukkan pemberian kredit oleh pihak perbankan akan meningkatkan aktivitas usaha UMKM sehingga pada akhirnya menambah lapangan kerja baru. Penelitian
Ghatak
(2011)
menemukan
bahwa
pemberian
kredit
berpengaruh positif bagi usaha mikro, kecil dan menengah untuk berperan penting dalam penciptaan lapangan kerja di India. Mazanai (2012) menemukan bahwa akses terhadap pembiayaan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai mesin pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi pada umumnya. Pernyataan ini dipertegas hasil penelitian Zaman (2011) yang menemukan bahwa dalam strategi kebijakan, pengembangan berkelanjutan UMKM melalui pemberian kredit adalah sebagai salah satu kendaraan untuk pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Hasil penelitian Semara Putra (2013) menemukan bahwa program bantuan KUR berdampak positif terhadap kesempatan kerja UMKM di Kota Denpasar. Siregar (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Perkebunan Nusantara III memberikan dampak positif terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja mitra CSR. Berdasarkan hasil kajian penelitian terdahulu, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: Diduga Program Kemitraan PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Badung.
41