BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Motivasi Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Banyak individu secara salah memandang motivasi sebagai sebuah sifat pribadi, beberapa individu memilikinya dan yang lain tidak. Dalam praktiknya, manajer yang tidak berpengalaman sering menyebut karyawan mereka yang terlihat kurang termotivasi sebagai karyawan malas. Pendapat demikian memberi asumsi bahwa karyawan tersebut malas atau kurang termotivasi. Tiga elemem utama yang berkaitan dengan definisi adalah intensitas, arah, dan ketekunan. Intensitas berhubungan dengan seberapa giat seseorang berusaha. Ini adalah elemen yang paling bayak mendapat perhatian ketika membicarakan tentang motivasi. Namun, intensitas yang tinggi sepertinya tidak akan menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. Dengan demikian, suatu organisasi harus mempertimbangkan kualitas serta intensitas upaya secara bersamaan. Terakhir, motivasi memiliki dimensi ketekunan. Dimensi ini merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang bisa mempertahankan usahanya. Individuindividu yang termotivasi bertahan melakukan suatu tugas dalam waktu yang cukup lama demi mencapai tujuan mereka (Robbins,2008:222).
2.1.2 Teori Kognitif Psikologi kognitif menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor internal tersebut berupa kemampuan untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Teori kognitif menjelaskan bahwa perubahan persepsi dan pemahaman setiap orang terjadi setelah memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Berdasarkan teori kognitif, proses belajar seseorang mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang telah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman sebelumnya (Praditaningrum,2012).
2.1.3 Pengertian Auditing Menurut Agoes (2012:4) auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Menurut Jusup (2014:10) Pengauditan adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara obyektif untuk menentukan tingkat kepatuhan antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah
ditetapkan
dan
mengkomunikasikan
hasilnya
kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan. Menurut Jusup (2014:14) pada umumnya pengauditan dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu : 1) Audit Laporan Keuangan Audit laporan keuangan adalah jenis laporan audit yang digunakan untuk menentukan apakah laporan keuangan sebagai informasi kuantitatif yang telah ditetapkan sesuai dengan kriteria tertentu yang telah diterapkan. 2) Audit Kepatuhan Audit kepatuhan adalah jenis audit yang digunakan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit telah mengikuti aturan yang telah diberikan oleh pihak yang berwenang didalam pelaksanaannya. 3) Audit Operasional Audit operasional adalah jenis audit yang digunakan untuk mengkaji setiap bagian dari prosedur dan metode yang telah dijalankan oleh suatu organisasi dengan tujuan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dari penerapan prosedur tersebut.
2.1.4 Pengertian Auditor Jusup (2014:24) menyatakan bahwa sebutan auditor digunakan bagi orang yang melakukan salah satu tahapan dalam suatu audit. Jusup (2014:16) membedakan auditor menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Auditor Independen (Akuntan Publik) Tanggungjawab utama auditor independen atau lebih umum disebut akuntan publik adalah melakukan fungsi pengauditan atas laporan keuangan yang diterbitkan entitas. Menurut Undang-undang No 5 tahun 2011, akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari menteri keuangan untuk memberikan jasa akuntan publik di Indonesia. Bidang jasa akuntan publik dibagi menjadi dua jenis yakni jasa astestasi dan jasa non-astetasi. Jasa atestasi yang diberikan oleh akuntan publik meliputi: jasa audit umum atas laporan keuangan, jasa pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif, jasa pemeriksaan atas pelaporan informasi keuangan proforma, jasa review atas laporan keuangan, dan jasa astetasi lainnya sebagaimana tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Jasa non-atestasi yang diberikan oleh akuntan publik yakni mencakup jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, manajemen, kompilasi, perpajakan, dan konsultasi sesuai dengan kompetensi Akuntan Publik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Auditor independen, sesuai sebutannya, harus independen terhadap klien pada saat melaksanakan audit maupun saat pelaporan hasil audit. 2) Auditor Pemerintah Auditor pemerintah adalah auditor yang bertugas melakukan audit atas keuangan negara pada instansi-instansi pemerintah. Pasal 23 ayat 5 Undangundang Dasar 1945 mrngatur tentang pemeriksaan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan oleh suatu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil audit yang dilakukan oleh BPK disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai alat kontrol atas pelaksanaan keuangan negara. Selain BPk, auditor pemerintah di Indonesia juga mengenal adanya Badan Pengasawan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang merupakan internal auditor
pemerintah
yang
independen
terhadap
jajaran
organisasi
pemerintahan. 3) Auditor Internal Auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam suatau perusahaan yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi. Umumnya pemakai jasa auditor intern adalah Dewan Komisaris atau Direktur Utama perusahaan.
2.1.5 Gender Gender sering diidentikkan dengan perbedaan biologis atau perbedaan antara laki-laki dan wanita. Secara etimologis kata gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Gender dapat diartikan sebagai pembedaan peran antara laki-laki dan wanita yang tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis atau seksualnya, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya (Berninghausen dan Kerstan, 1992 dalam Zulaikha, 2006). Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku,
mentalis, dan karakteristik emosional laki-laki dan wanita yang berkembang dalam masyarakat (Fitrianingsih, 2011). Dalam literatur psikologis kognitif dan pemasaran dinyatakan bahwa wanita dikenal lebih efisien dan efektif dalam memproses informasi saat adanya kompleksitas tugas dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan pria. Selain itu, laki-laki relatif kurang mendalam dalam menganalisis inti dari suatu keputusan. Wanita pada umumnya memiliki tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi daripada laki-laki, sehingga membuat adanya perbedaan persepsi etika pada saat proses pengambilan keputusan.
2.1.6 Kompleksitas Tugas Akuntan selalu dihadapkan pada tugas-tugas yang banyak, berbeda-beda dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Kompleksitas tugas didefinisikan sebagai tugas yang terdiri atas bagian-bagian yang banyak, berbeda-beda dan saling terkait satu sama lain (Engko dan Gudono, 2007). Kompleksitas tugas juga didefinisikan sebagai persepsi individu tentang kesulitan suatu tugas yang disebabkan oleh terbatasnya kapasitas dan daya ingat serta kemampuan untuk mengintegrasikan masalah yang dimiliki oleh seorang pembuat keputusan. Sanusi dan Iskandar, (2011) menyatakan bahwa kompleksitas tugas merupakan tugas yang tidak terstruktur, membingungkan dan sulit. Karakteristik tugas yang tidak terstruktur berdampak pada pertimbangan audit (Rong-Ruey, dkk., 2006). Oleh karena itu dalam pelaksanaan tugasnya, auditor junior sebagai anggota suatu timaudit memerlukan keahlian, kemampuan dan tingkat kesbaran yang tinggi. Ketika melakukan tugas yang lebih kompleks, auditor tidak cukup termotivasi
oleh mereka yang tinggi self-efficacy untuk bekerja lebih keras atau untuk menunjukkan penilaian audit kinerja yang lebih baik. Chung dan Monroe (2001) mengemukakan bahwa kompleksitas tugas dalam pengauditan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1) Banyaknya informasi yang tidak relevan dalam artian informasi tersebut tidak konsisten dengan kejadian yang akan diprediksikan. 2) Adanya ambiguitas yang tinggi, yaitu beragamnya outcome (hasil) yang diharapkan oleh klien dari kegiatan pengauditan. Wood (1986) dalam Sari, dkk. (2009) menggambarkan kompleksitas tugas dalam dua aspek: Pertama, kompleksitas komponen, yang berkaitan dengan jumlah informasi yang akan diproses dan langkah yang harus dijalankan dalam melakukan tugas. Kedua, kompleksitas koordinatif mengacu pada jumlah koordinasi dibutuhkan untuk melakukan tugas dan hal ini menjadi lebih kompleks ketika langkah-langkah di salah satu bagian dari tugas memiliki ketergantungan tinggi pada langkah yang diambil sebelumnya, ketika beberapa langkah terkait harus dilakukan sekaligus, dan ketika mundur / maju penalaran diperlukan. Terkait dengan kegiatan pengauditan, tingginya kompleksitas audit ini bisa menyebabkan
akuntan
berperilaku
disfungsional
sehingga
menyebabkan
penurunan kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment.
2.1.7 Self-Efficacy Self-efficacy dinyatakan sebagai kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menjalankan sebuah tugas pada sebuah tingkat tertentu. Self-efficacy adalah salah satu dari faktor yang mempengaruhi aktifitas pribadi terhadap pencapaian tugas
(Bandura, 1986 dalam Praditaningrum, 2012). Bandura (1993) menyatakan bahwa self-efficacy adalah kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menjalankan sebuah tugas pada sebuah tingkat tertentu, yang mempengaruhi aktifitas pribadi terhadap pencaapaian tujuan. Bandura (1997) dalam Trianevant (2014) mengemukakan bahwa selfefficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi dan indikator, yaitu: 1) Tingkat (Level) Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki selfefficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya. 2) Keluasan (Generality) Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki selfefficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan tugas. 3) Kekuatan (Strenght)
Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Self-efficacy menjadi dasar darinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.
2.1.8 Audit Judgment Professional audit judgment merupakan hal yang sangat penting dalam pekerjaan audit. Semua proses pekerjaan audit sangat tergantung pada audit judgment. Audit judgment adalah kebijakan auditor dalam menentukan pendapat mengenai hasil auditnya yang mengacu pada pembentukan suatu gagasan, pendapat atau perkiraan tentang suatu objek, peristiwa, status, atau jenis peristiwa lain.
Wedemeyer
(2010)
menggunakan
istilah
audit
judgment
untuk
menggambarkan setiap keputusan atau evaluasi yang dibuat oleh auditor, yang mempengaruhi atau mengatur proses dan hasil audit laporan keuangan. Sementara itu Wibowo (2011) menyatakan bahwa audit judgment merupakan sebagai proses kognitif yang merupakan perilaku pemilihan keputusan. Kristianti (2012) mengemukakan bahwa judgment merupakan suatu pertimbangan pribadi atau cara pandang auditor dalam menanggapi informasi berhubungan dengan tanggung jawab dan risiko audit yang akan dihadapi auditor, yang akan mempengaruhi pembuatan opini akhir auditor terhadap laporan keuangan suatu entitas. Tanggungjawab yang besar seorang auditor yang sedang melaksanakan tugas audit terletak pada kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang
tepat berdasarkan pertimbangan atas keterangan dan bukti-bukti yang ada. Proses audit memerlukan penggunaan pertimbangan hampir pada setiap tahap audit. Pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak hanya berpengaruh pada jenis opini yang diberikan auditor, tetapi juga berpengaruh dalam hal efisiensi pelaksanaan tugas audit (Jamilah, dkk., 2007).
2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Kompleksitas Tugas pada Audit Judgment Kompleksitas muncul dari ambiguitas dan struktur yang lemah, baik dalam tugas-tugas utama maupun tugas-tugas lain yang terlibat. Sehingga kompleksitas secara relatif lebih tinggi untuk tugas-tugas yang tidak terpola, dan relatif lebih rendah untuk tugas-tugas yang sudah terpola dan terstruktur. Dalam kasus lingkungan audit, penting untuk mempelajari kompleksitas tugas karena kompleksitas tugas dapat berdampak pada kinerja audit judgment, dan pemahaman mengenai kompleksitas tugas-tugas audit yang berbeda dapat membantu para manajer membuat tugas lebih baik dalam pelatihan pengambilan keputusan. Menurut Wood (1986) dalam Engko dan Gudono (2007) tugas-tugas yang sulit dan kompleks membutuhkan lebih banyak sumber daya pribadi (misalnya, kapasitas pengolahan informasi, usaha, dan ketekunan). Kompleksitas tugas yang melebihi sumberdaya seseorang, akan menyebabkan kinerja menurun. Hasil penelitian Chung dan Monroe (2001) mengatakan bahwa kompleksitas tugas yang tinggi berpengaruh terhadap judgment yang diambil oleh auditor. Selain itu, tugas yang cukup rumit dapat memicu kekhawatiran kegagalan dan keyakinan karyawan yang lebih rendah pada kemampuan mereka untuk
menyelesaikan tugas. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H1 : Kompleksitas tugas berpengaruh negatif pada audit judgment.
2.3.2 Pengaruh self-efficacy pada audit judgment Bandura (1993) menyatakan bahwa self-efficacy adalah kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menjalankan sebuah tugas pada sebuah tingkat tertentu, yang mempengaruhi aktifitas pribadi terhadap pencapaian tujuan. Hasil penelitian oleh Nadhiroh (2010) menunjukkan bahwa self-efficacy tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment. Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanusi dan Iskandar, (2011) menunjukkan bahwa auditor yang memiliki self-efficacy tinggi menunjukkan penilaian audit yang lebih baik daripada auditor dengan self-efficacy rendah. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Trianevant (2014). Berdasarkan uraian di atas, maka model penelitian ini menduga bahwa self-efficacy berpengaruh positif dengan kinerja auditor dalam pembuatan audit judgment. Maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H2 : Self-efficacy berpengaruh positif pada audit judgment
2.3.3 Gender Memoderasi Pengaruh Kompleksitas Tugas pada Audit judgment Pembuatan judgment seorang auditor antara pria dan wanita dapat berbeda. Pria pada umumnya tidak menggunakan seluruh informasi yang tersedia dalam mengolah suatu informasi, sehingga keputusan yang diambil menjadi kurang
komprehensif (Jamilah, dkk., 2007). Sedangkan wanita dalam mengolah suatu informasi cenderung lebih teliti dan menggunakan informasi yang lebih lengkap. Wanita memiliki daya ingat yang tajam terhadap suatu informasi yang baru serta memiliki pertimbangan moral yang lebih tinggi daripada pria (Jamilah, dkk., 2007). Dengan pembebanan tugas yang kompleks kepada auditor, akan mempengaruhi baik auditor pria maupun wanita dalam menghasilkan judgment. Auditor wanita cenderung lebih teliti dan tidak tergesa-gesa dalam mengolah informasi yang ada sehingga saat tugas yang diberikan kepada auditor adalah tugas yang sulit dan kompleks, maka akan melemahkan judgment yang dihasilkan oleh auditor namun tidak bagi auditor wanita.Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari Chung dan Monroe (2001) dan sesuai dengan temuan literature psikologis kognitif dan pemasaran bahwa wanita lebih efisien dan efektif dalam memproses suatu informasi ketika menghadapi kompleksitas tugas dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3 : Gender memperlemah pengaruh kompleksitas tugas pada audit judgment.
2.3.4 Gender Memoderasi Pengaruh Self-efficacy pada Audit judgment Gender merupakan pembedaan peran antara laki-laki dan wanita yang tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis atau seksualnya, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya. Wanita pada umumnya memiliki tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi daripada laki-laki, sehingga membuat
adanya perbedaan persepsi etika pada saat proses pengambilan keputusan. Pertimbangan moral yang berbeda antara wanita dan laki-laki diduga dapat mempengaruhi kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menjalankan sebuah tugas pada sebuah tingkat, yang mempengaruhi aktifitas pribadi terhadap pencapaian tujuan. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4 : Gender memperkuat pengaruh self-efficacy pada audit judgment.