BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Daerah Dalam kaitannya dengan tingkat pemerintah nasional, otonomi pemerintah daerah memanifestasikan diri dalam tiga bidang penting , yakni (F.C. Okoli, 2013): a) Hubungan Otoritas Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan lokal sangat penting. Pola hubungan ini adalah menempati posisi pertama yakni apa yang diperoleh pemerintah daerah. Seandainya yang dinikmati unit lokal berupa hibah dari otoritas atas wilayah tertentu dan berbagai fungsi, maka apa yang diperoleh pemerintah daerah adalah devolusi. Tapi di sisi lain andaikata yang dinikmati unit lokal berupa
hibah dari otoritas yang mana hanya cukup untuk pelaksanaan
fungsi dan layanan yang ditentukan, maka apa yang diperoleh pemerintah daerah adalah dekonsentrasi. b) Keuangan Keuangan adalah elemen penting lain dari otonomi. Andaikata unit lokal memiliki independensi (kemandirian) dan sumber pendapatan yang memadai untuk inisiasi dan pelaksanaan fungsi dan layanan yang ditentukan, maka pemerintah daerah benar-benar memperoleh otonomi. Di sisi lain seandainya unit lokal tidak mandiri secara finansial, maka tindakan independen tidak mungkin, dan apa yang diperoleh pemerintah daerah adalah otonomi administrasi lokal.
22
23 c) Personil Setiap pemerintah daerah harus mampu merekrut dan mempertahankan staf. Wewenang untuk "menyewa" adalah salah satu penentu otonomi organisasi dan kematangan. Hal yang dapat dan terbaik adalah setiap organisasi yang tergantung pada organisasi lain untuk personil, digambarkan sebagai perpanjangan dari organisasi lain, seperti loyalitas karyawan, yakni karyawan pasti akan pergi ke organisasi yang memiliki perhatian kepada mereka. Berdasarkan unsur-unsur otonomi yang dikemukakan di atas, agar berfungsi secara efektif dan efisien sebagai pemerintahan lokal, maka bagi pemerintah daerah yang diperlukan adalah tidak hanya sekedar otonomi tetapi benar-benar berotonomi. Sejalan dengan hal di atas maka menurut Oluwatobi Adeyemi (2013) tujuan utama pemerintah daerah dibentuk, adalah: (a) Untuk membuat layanan yang tepat dan kegiatan pembangunan yang bertanggung
jawab
dengan
keinginan
dan
inisiatif
lokal
dengan
mengembangkan atau mendelegasikan kepada badan-badan perwakilan lokal; (b) Untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan sendiri yang demokratis dekat dengan tingkat lokal masyarakat kita, dan untuk mendorong inisiatif dan potensi kepemimpinan; (c) Untuk memobilisasi sumber daya manusia dan material melalui keterlibatan anggota masyarakat dalam pembangunan daerah mereka; (d) Untuk menyediakan saluran dua cara komunikasi antara masyarakat setempat dan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
24 Dari tujuan di atas, esensi menciptakan pemerintah daerah untuk memberikan layanan menggunakan sumber daya manusia dan keuangan yang ada untuk memfasilitasi pembangunan sampai ke tingkatan yang paling rendah. Pemerintah daerah di Indonesia tercantum dalam UU.No 32 Tahun 2004, dimana dikemukakan bahwa pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran tertentu, pendapatan daerah berasal dari penerimaan dari dana perimbangan pusat dan daerah, juga yang berasal daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Untuk perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sebagaimana dikemukakan dalam UU. No. 32 Tahun 2004, dimaksudkan sebagai sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 2.2. Pendapatan Asli Daerah Pengertian PAD menurut UU. No. 28, Tahun 2009 yaitu pendapatan yang bersumber dari keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Menurut Nurcholis, Hanif (2007) PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan daerah, dan lainlain yang sah. Adapun sumber-sumber PAD menurut UU. No.32 Tahun 2004
25 yaitu dari: 1) Hasil pajak daerah, 2) Hasil retribusi daerah, 3) Hasil perusahaan milik daerah, 4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dengan memperhatikan beberapa pendapat di atas maka dapat dinyatakan bahwa PAD adalah semua penerimaan keuangan suatu daerah, dimana penerimaan keuangan itu bersumber dari potensi-potensi yang ada di daerah tersebut misalnya pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain, serta penerimaan keuangan tersebut diatur oleh peraturan daerah. 2.3. Teori Perpajakan Dalam membicarakan teori pajak ada beberapa materi yang dibicarakan, yakni definisi pajak, prinsip perpajakan di Indonesia, otonomi daerah dan kebijakan perpajakan di Indonesia, faktor-faktor penentu kepatuhan wajib pajak, pajak progresif dan penerapannya di Indonesia. 2.3.1 Definisi Pajak Berbicara pajak daerah tentu tidak bisa meninggalkan apa yang disebut dengan pajak karena pajak merupakan salah satu komponen dari penerimaan pemerintah, bahkan hampir 50 persen berasal dari pajak. Sebelum melangkah lebih jauh maka perlu diketahui apa sebenarnya definisi dari pajak. Menurut Rochmat Sumitro (1988) : ”Pajak adalah iuran rakyat pada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat di tunjukkan dan yang di gunakan untuk membayar pengeluaran umum”.“Dapat di paksakan” mempunyai arti, apabila utang pajak tidak di bayar,utang tersebut di tagih dengan
26 kekerasan, seperti surat paksa, sita, lelang dan sandera. dengan demikian, ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut. 1) Pajak di pungut berdasarkan Undang-Undang 2) Jasa timbal tidak di tunjukkan secara langsung 3) Pajak dipungut oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4) Dapat di paksakan (bersifat yuridis) 2.3.2 Pajak Dan Keseimbangan Pasar Pajak atas suatu barang menghasilkan suatu perubahan antara harga yang harus dibayar pembeli dengan harga yang diterima penjual. Ketika pasar bergerak menuju keseimbangan baru, pembeli membayar lebih mahal untuk mendapatkan barang dan penjual menerima lebih sedikit dari penjualan barang tersebut. Dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual sama – sama menanggung beban pajak.
Harga (Rp/Unit)
A
Pt (Harga setelah tax) B
Kurve Penawaran setelah pajak (tax) Et
E
Kurve Penawaran Sebelum pajak (tax)
Q
Kuantitas Barang (X/Unit)
P (Harga sebelum tax) C
0
Qt
Gambar 1: Keseimbangan Pasar Sebelum pajak dan Sesudah Pajak Keterangan :
27 Kondisi sebelum penerapan pajak >< Q = jumlah barang sebelum pajak P = harga barang sebelum pajak E = keseimpangan pasar sebelum pajak Surplus Konsumen: ∆ AEP Surplus Produsen ; ∆ CEP
Kondisi setelah pajak Qt = jumlah barang setelah pajak Pt = harga barang setelah pajak Et = keseimpangan pasar setelah pajak Surplus Konsumen: ∆ AEtPt Surplus Prosusen : ∆ BEtPt
Ketika pemerintah menerapkan pajak atas suatu barang, jumlah keseimbangan suatu barang tersebut bergeser dari E ke Et: 1) Surplus konsumen “sebelum pajak” memiliki luas ∆ AEP kemudian “setelah pajak” menurun menjadi luas ∆ AEtPt. 2) Surplus produsen “sebelum pajak”
memiliki luas ∆ CEP kemudian
“setelah pajak” menurun menjadi luas ∆ BEtPt. 3) Atau secara total (surplus konsumen + surplus produsen) “sebelum pajak” adalah luas ∆ AEC. 4) Dan secara total ( surplus konsumen + surplus produsen) “setelah pajak” menurun menjadi luas ∆ AEtB. Hasil pembahasan di atas menunjukkan bahwa dengan penerapan pajak maka kesejahteraan konsumen dan produsen semakin menurun, yang ditunjukkan melalui pengurangan surplus konsumen dan surplus produsen. Itu terjadi karena harga barang ditingkat pasar sebelum pajak adalah P (dengan keseimbangan pasar dititik E) kemudian naik menjadi harga pasar setelah pajak adalah Pt (dengan keseimbangan pasar di titik Et). Jadi setelah pajak harga pasar dari barang meningkat dari P ke Pt dan kuantitas barang ditingkat pasar turun dari Q menjadi Qt (Gambar 2.1) Berdasarkan analisis tersebut di atas dikatakan secara teoritis :
28
Pajak yang dikenakan pada barang mengurangi kesejahteraan para pembeli dan para penjual barang, dan penurunan surplus konsumen dan produsen biasanya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah, penurunan surplus total jumlah surplus konsumen, surplus produsen, dan pendapatan pemerintah dari pajak disebut kerugian beban baku akibat pajak.
Pajak menimbulkan kerugian beban baku karena pajak menyebabkan konsumsi pembeli lebih sedikit dan prosuksi penjual juga lebih sedikit, dan perubahan pada perilaku ini menyusutkan ukuran pasar di bawah tingkat yang memaksimumkan surplus total.
2.2.3 Prinsip Pajak Di Indonesia
Ada 3 prinsip pajak yang secara umum telah terpublikasikan, yaitu : 1) Prinsip Pengenaan Pajak Berdasarkan Undang-Undang Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa semua pajak harus ditetapkan dengan undang-undang. Ketentuan ini memerlukan suatu penafsiran yang jelas karena harus diketahui ketentuan yang bagaimana dimaksud yang harus ditetapkan dengan undang-undang. Pajak menyangkut masalah yang luas sehingga perlu diketahui yang mana merupakan ketetapan yang harus dimasukkan dalam undang undang. Pajak mencakup berbagai masalah jenis pajak, siapa yang akan dikenakan, berapa beban yang harus dipikul, apa sangsi jika terjadi pelanggaran, bila harus dibayar dan dilaporkan, cara pembayaran, biaya yang boleh dikurangkan, pengecualian, dan banyak hal lain. Prinsip pengenaan pajak yang baik adalah : a) Distribusi dari beban pajak harus adil, setiap orang harus membayar sesuai dengan peraturan.
29 b) Pajak–pajak harus sedikit mungkin mencampuri keputusan-keputusan ekonomi apabila keputusan-keputusan ekonomi tersebut telah pajak harus seminimal mungkin. c) Pajak-pajak haruslah memperbaiki ketidak efisienan yang terjadi di sektor swasta, apabila instrument pajak dapat melakukannya. d) Struktur pajak haruslah mampu digunakan dalam kebijakan fiscal untuk tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi. e) Sistem pajak harus dimengerti oleh wajib pajak. f) Administrasi pajak dan biaya pelaksanaanya harus sedikit mungkin. g) Kepastian. h) Dapat dilaksanakan, dapat diterima. 2.4. Otonomi Daerah dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia Untuk beberapa daerah yang terbilang siap secara sumber daya alam maupun sumber daya manusia, otonomi benar – benar menjadi arena pembuktian bahwasanya mereka sanggup untuk mengelola daerah sendiri dengan mengurangi campur tangan pusat. Ironisnya hampir di sebagian besar daerah di Indonesia belum memiliki prasyarat kesiapan tersebut, sehingga akhirnya mereka justru tenggelam di dalam euforia otonomi itu sendiri. Banyak kebijakan yang bersifat merugikan dan sangat prematur hanya demi mengejar otonomi versi mereka. Karenanya peran pusat dirasa masih sangat diperlukan dewasa ini. Hanya saja ada beberapa elaborasi dan penyesuaian dibeberapa aspek sehingga peran pemerintah itu nantinya juga tetap berada dikoridor hukum, selaras dengan napas otonomi daerah. Peran tersebut antara lain berupa penciptaan kondisi yang kondusif bagi
30 perkembangan pajak dan retribusi dengan tetap memperhatikan landasan hukum yang sudah disepakati bersama. Bila dilihat kebijakan perpajakan dari sisi penciptaan khususnya, maka dapat dikemukakan materi pajak yang direncanakan akan diserahkan kepada daerah, yakni: 1) Penyerahan beberapa pajak yang masih dipegang oleh Pusat kepada Daerah dengan tetap mempertimbangkan faktor efisiensi ekonomi, mobilitas obyek pajak serta fungsi stabilitasi dan distribusi pajak itu sendiri. Adapun pajakpajak tersebut antara lain : 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dapat dialihkan ke Daerah dimana Daerah diberi wewenang untuk menetapkan dasar penggenaan pajak dan tarif sampai batas tertentu meskipun adminstrasinya masih dilakukan oleh Pusat. 2. Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi yang sekarang dibagi hasilkan, dapat dialihkan dalam bentuk piggy back di mana Daerah seyogyanya diberikan wewenang untuk mengenakan opsen sampai batas tertentu di bawah wewenang penuh Pemerintah Kabupaten/Kota. 2) Memberikan batas toleransi maksimum terhadap pembatalan penciptaan pajak baru oleh Daerah selama kurun waktu tertentu. Misalnya jika selama 1 tahun Daerah telah mencapai batas toleransi jumlah Perda yang dibatalkan maka Daerah tersebut tidak dapat mengajukan permohonan Perda penciptaan pajak baru. Ini juga terkait dengan usulan revisi UU No. 34 tahun 2000 butir yang memberikan kesempatan Daerah untuk menciptakan jenis pajak baru.
31 3) Memperluas basis penerimaan pajak melalui identifikasi pembayar pajak baru/potensial serta meningkatkan efisiensi dan penekanan biaya pemungutan. Diharapkan biaya pengenaan pajak jangan sampai melebihi dana yang dapat diserap dari pajak itu sendiri. 2.5. Pajak Progresif Dan Penerapannya Di Indonesia Pada bagian ini dibahas beberapa materi yang terdiri dari; 1) definisi pajak progresif, penerapan pajak progresif di berbagai Negara,
2.5.1. Definisi Pajak Progresif Bilamana masalah kompleksnya penerapan pajak ini dimaknai secara mendalam, maka masalah pengenaan pajak progresif pun nampak semakin rumit untuk diterapkan di berbagai Negara. Dalam konteks pajak progresif berikut dicoba diketengahkan beberapa definisi, sebagai berikut. Definisi sistem pajak progresif biasanya dimulai dengan ide pajak proporsional, di mana setiap orang membayar bagian pajak yang sama dari pendapatan pajak. Atas dasar itu, pajak progresif adalah salah satu di mana pangsa penghasilan yang dibayar pajak, meningkat dengan penghasilan. Sedangkan pajak regresif adalah salah satu di mana pangsa penghasilan yang dibayar pajak menurun dengan penghasilan. (Picketyy, Thomas dan E. Saez, (2007)). Selanjutnya Pickeyty dkk. mengutarakan bahwa pengenaan pajak ini dalam kenyataan tentu saja sangat kompleks. Kebanyakan aturan akan memiliki efek yang berbeda disemua distribusi pendapatan. Secara umum pengenaan sistem pajak progresif dibatasi jika penghasilan setelah pajak lebih merata dibandingkan laba sebelum pajak, dan pajak regresif jika penghasilan setelah pajak kurang
32 merata dibandingkan sebelum
pajak penghasilan. Selanjutnya dikatakan juga
bahwa ketimpangan dan progresifitas pajak memiliki banyak sisi dan harus diekplorasi bersama langkah-langkah yang berbeda tergantung pada masalah tertentu yang ingin diujikan. Sebagai contoh, seorang analisis dapat melihat dampak dari pajak pada tingkat kemiskinan atau ukuran ketimpangan seperti Koefisien Gini. Menurut The Economics Time-India (2015) definisi; pajak progresif adalah mekanisme perpajakan di mana otoritas pajak membebani lebih banyak pajak saat pendapatan wajib pajak meningkat. Pajak dikumpulkan dari setiap wajib pajak berpenghasilan lebih tinggi dan
pajak
dari
wajib
pajak
berpenghasilan kurang pajaknya lebih rendah. Pemerintah menggunakan mekanisme pajak progresif dengan ketentuan sebagai berikut. Pajak progresif didasari keyakinan bahwa orang-orang yang berpenghasilan lebih harus membayar lebih. Bagi pembayar pajak yang pendapatannya melebihi pendapatan patokan, maka nilai pajak baru (lebih tinggi dari sebelumnya) dibebankan kepadanya. Diamond, Peter A dan E. Saez, (2011) menampilkan kasus untuk pajak berdasarkan hasil terbaru dalam teori optimalisasi pajak. Anggapan mereka apakah dengan perpajakan progresif yang optimal, pajak harus dikenakan atas laba dan pendapatan modal. Pendapat mereka bahwa berdasarkan hasil penelitian yang mendasar yang relevan untuk kebijakan hanya jika : (a) itu didasarkan pada mekanisme ekonomi yang secara empiris relevan dan menempati urutan pertama untuk masalah ini, (b) itu cukup kuat untuk perubahan dalam asumsi pemodelan,
33 (c) recep kebijakan diimplementasikan (yaitu; diterima secara sosial dan tidak terlalu rumit). Mereka mengatakan telah mendapatkan tiga rekomendasi kebijakan dari penelitian dasar yang cukup baik yang memenuhi kriteria ini. Pertama, bagi yang berpenghasilan sangat tinggi harus dikenakan tarif pajak marginal yang tinggi dan meningkat sesuai dengan pendapatan. Kedua, keluarga berpenghasilan rendah harus didorong untuk bekerja dengan subsidi pendapatan,
kemudian
secara bertahap – harus dikenakan dengan tarif pajak marginal implisit tinggi. Ketiga, pendapatan modal harus dikenakan pajak. Menurut Sommerfeld, (1992) pajak progresif diartikan sebagai pajak yang dikenakan berdasarkan atas kenaikan tarif pajak yang meningkat atas jumlah dasar pajak. Istilah "progresif" mengacu pada cara tarif pajak diberlakukan yakni dari rendah ke tinggi. dengan hasil bahwa tarif pajak rata-rata wajib pajak adalah kurang dari tarif pajak marjinal (sesuai dengan kemampuan) seseorang dan istilah ini dapat diterapkan pada pajak individu atau sistem pajak secara keseluruhan baik dalam tahun, multi-tahun, atau seumur hidup. Pajak progresif yang dikenakan dalam upaya untuk mengurangi pajak insiden dengan kemampuan orang untuk membayar yang lebih rendah, dikarenakan pajak tersebut diarahkan kepada mereka yang memiliki kemampuan membayar lebih tinggi. Istilah pajak progresif ini sering diterapkan dan mengacu pada pajak penghasilan pribadi, di mana orang-orang dengan pendapatan kurang membayar persentase yang lebih rendah dari pendapatan yang dikenakan pajak, ketimbang mereka dengan pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini juga dapat diterapkan pada penyesuaian dari basis pajak dengan menggunakan pembebasan pajak, kredit
34 pajak, atau pajak selektif yang menciptakan efek distribusi progresif. Sebagai contoh, kekayaan atau properti pajak, pajak penjualan atas barang mewah, atau pembebasan pajak penjualan atas kebutuhan dasar. Penetapan pajak semacam ini dapat diduga memiliki efek progresif karena akan meningkatkan beban pajak keluarga
berpenghasilan
lebih
tinggi
dan
mengurangi
pada
keluarga
berpenghasilan rendah. Sedangkan menurut Dinas Pendapatan Provinsi Bali (2014) pajak progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dengan kenaikkan persentase untuk setiap jumlah tertentu. Adapun dasar hukum yang digunakan dalam penerapan pajak progresif ini adalah: a.
Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah.
b. Keputusan Kadispenda. Nomor 973/1072/Dispenda, tanggal 26 Agustus 2011 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) BBNKB dan Pajak Air Permukaan di Provinsi Bali. Kemudian surat edaran Gubernur Bali Nomor 119/1718/Dispenda , tanggal 16 April 2011 tentang Sosialisasi Pajak Kendaraan Bermotor khususnya menyatakan bahwa pajak kendaraan bermotor ditetapkan secara progresif berdasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama sesuai kartu keluarga dengan besaran tarif sebagai berikut:
35 a. Kepemilikan pertama sebesar 1,5 persen. b. Kepemilikan kedua sebesar 2 persen. c. Kepemilikan ketiga sebesar 2, persen. d. Kepemilikan keempat sebesar 3 persen. e. Kepemilikan kelima dan seterusnya sebesar 3,5 persen. f. Pajak kendaraan bermotor umum / angkutan umum sebesar 1 persen. g. Pajak kendaraan bermotor ambulans, pemadam kebakaran, lembaga sosial keagamaan dan kendaraan bermotor pemerintah/pemerintah daerah , TNI, Polri sebesar 0,5 persen. Dikecualikan pengenaan pajak secara progresif, yaitu: a) Kepemilikan kendaraan bermotor plat merah b) Kepemilikan kedaraan bermotor roda dua. Sebagai objek pajak progresif yaitu kendaraan bermotor plat hitam / pribadi roda 4, mencakup jenis: sedan, jeep, minibus-bus dan sejenisnya, Pick-up double cabin. 2.5.2. Penerapan Pajak Progresif Di Berbagai Negara Masalah pajak kendaraan bermotor roda empat adalah sangat kompleks. Hal ini terungkap bila dikaitkan dengan masalah yang ada di negara yang berkenaan dengan pengenaan pajak atas kendaraan bermotor roda empat khususnya. Penerapan perpajakan kendaraan roda empat di Eropa misalnya. Di Eropa perpajakan diterapkan pada kendaraan bermotor di Code EU1 sangat pelik karena sistem yang diterapkan di Negara anggota Uni Eropa dapat menjadi kompleks dalam diri mereka sendiri dan sangat berbeda dari satu negara ke Negara lain di Eropa. Oleh karena itu tidak selalu masalah pajak yang dikenakan
36 dihitung secara efisien untuk kendaraan yang paling mencemari atau bagi mereka yang dapat mempengaruhi lingkungan atau kesehatan. Dalam tulisan ini kami menyajikan ulasan perhitungan pajak kendaraan di negara-negara Uni Eropa. ulasan ini menganalisis tiga jenis pajak: (1) Pajak pembelian (pajak pendaftaran, biaya dan VAT2 ); (2) Properti pajak atas kendaraan (Pajak Tahunan, Pajak Road atau Pajak Sirkulasi), (3) Pajak atas penggunaan kendaraan (pajak bahan bakar dan PPN). Peneliti ini kemudian melakukan perbandingan pajak mobil yang sama di negara-negara Uni Eropa yang berbeda. Selain itu, beberapa skenario tentang jarak yang setiap mobil dapat melintasi dalam satu tahun disurvei. akhirnya, beberapa saran yang disajikan untuk menghitung pajak tersebut pada kemungkinan cara yang lebih rasional, termasuk aspek lingkungan, untuk studi di masa depan. Berdasarkan hasil studi ini, pajak tahunan kendaraan diperkenalkan sebagai berikut; sebagai contoh pajak sirkulasi dan pajak bahan bakar dan pajak pendaftaran. Belanda, Austria, Denmark, Bulgaria, Yunani, dan Italia memiliki pajak kendaraan tahunan yang berlebihan (Pajak Sirkulasi dan Pajak Bahan Bakar) dibandingkan negara-negara lain. Kemudian studi ini juga menyatakan bahwa, ketika kendaraan mengemudi jarak yang sama, dan emisi CO2 yang tetap, dan konsumsi bahan bakar tahunan mereka mirip, sekitar 14 negara yang diteliti berada di atas dari pajak rata-rata tahunan. Menurut perhitungan sebelumnya, ketika konsumsi kendaraan mengarah ke lebih rendah, penggunaan jalan lebih banyak dan emisi CO2 yang dihasilkan lebih dari sebuah kendaraan konsumsi
37 yang tinggi. Padahal, pajak bahan bakar per 1000 g CO2 pengendara lebih meningkat, namun tingkat kenaikan tidak proporsional. Misalnya, kendaraan merek Fiat 500 drive 45 persen lebih dari Ford Fiesta, tetapi hanya membayar 3 persen lebih dari pajak bahan bakar rata-rata. Sebagai kesimpulan, peneliti menyarankan bahwa perhatian serius harus diberikan kepada beberapa faktor seperti proporsi pajak tahunan dengan penggunaan jalan dan rasio pajak tahunan per 1000 g CO2 dalam studi masa depan. (Siamak Z. Lázaro V. Cremades, 2012). 2.5.3. Penerapan Pajak Progresif Di Indonesia Pajak mempunyai peranan penting dalam kehidupan bernegara, tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan negara namun juga memiliki fungsi distribusi pendapatan. Pajak progresif adalah pajak yang sistem pemungutannya dengan cara menaikkan persentase kena pajak yang harus dibayar sesuai dengan kenaikan objek pajak. Secara teori, pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ini sendiri masuk dalam mekanisme Traffic Demand Management (TDM) yang terdiri dari 2 aspek besar yaitu aspek pengenaan fiskal dan non-fiskal. Aspek pengenaan fiskal dapat berwujud road congestion charge, sistem sticker, high parking charge serta vehicle licensing tax. Sementara aspek pengenaan non-fiskal dapat berupa high occupancy vehicle termasuk kebijakan 3-in-1, pembatasan umur kendaraan, kebijakan pengaturan pelat nomor kendaraan serta manajemen infrastruktur yang memadai. Beberapa prinsip dasar yang harus dijalankan di dalam mekanisme penerapan PKB ini antara lain aturan harus mudah, murah dan dapat dipahami, adil bagi seluruh kelompok masyarakat, apa dan siapa yang hendak diatur harus
38 jelas, tidak mudah mengindar dari kebijakan, diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat serta fleksibel dalam pelaksanaannya. Artinya kebijakan tersebut harus economically acceptable, technically accpetable serta socially acceptable. Tanpa itu semua, maka sebagus apapun jenis kebijakan yang sudah disiapkan, tidak akan implementatif dan berdaya guna secara optimal. Dalam sistem perpajakan di Indonesia, paling tidak, terdapat 2 (dua) jenis pajak yang menerapkan sistem pajak progresif, yaitu (i) Pajak Penghasilan; dan (ii) Pajak Kendaraan Bermotor (Kementrian Keuangan RI, 2014). (1) Pajak Penghasilan orang pribadi Pajak ini merupakan salah satu instrumen untuk mengatasi ketimpangan distribusi pendapatan antara masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan yang berpenghasilan rendah. Kemiskinan, baik relatif dan mutlak, menimbulkan beberapa kendala bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat suatu negara. Kesenjangan sosial di antara anggota masyarakat yang paling miskin dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan ekonomi bagi bangsa secara keseluruhan. Sehingga kesulitan yang dialami oleh anggota masyarakat termiskin pada akhirnya dirasakan oleh seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan fungsi distribusi pendapatan, tarif pajak penghasilan pribadi di Indonesia mengenakan tarif pajak progresif dimana masyarakat yang berpenghasilan tinggi akan dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Pengenaan tarif pajak progresif ini sekaligus merupakan wujud dari teori daya pikul dimana pajak dibebankan kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan ekonominya.
39 Tarif pajak penghasilan orang pribadi yang berlaku saat ini di Indonesia adalah sebagai berikut: (UU.NO36 tahun 2008) 1. Penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, 5 persen. 2. Di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta, 15 persen. 3. Diatas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta 25 persen. 4. Diatas Rp 500 juta 30 persen. Tarif pajak penghasilan orang pribadi meningkat seiring dengan meningkatnya penghasilan. Prinsip yang mendasari pajak progresif adalah bahwa mereka yang memiliki kemampuan lebih (kaya) harus menanggung beban yang lebih besar dari total penerimaan pajak negara dari mereka yang kurang mampu. Jadi orang pribadi berpenghasilan rendah tidak hanya membayar pajak lebih sedikit, tetapi mereka membayar persentase yang lebih kecil dari pendapatan mereka dalam bentuk pajak. Dari berbagai jenis pajak, pajak penghasilan progresif inilah yang paling sejalan dengan tujuan meningkatkan kesetaraan pendapatan. (2) Pajak Progresif Kendaraan Bermotor Roda Empat Kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya. Mengenai penerapan pajak progresif terhadap Pajak Kendaraan Bermotor dapat dijelaskan sebagai berikut. Wajib pajak. Sebagai contoh untuk penerapan pajak progresif atas pajak kendaraan bermotor di DKI Jakarta, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan (3) peraturan daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2010 tentang
40 pajak kendaraan bermotor (Perda. DKI No. 8 Tahun 2010), wajib pajak pajak progresif terhadap pajak kendaraan bermotor adalah orang pribadi yang memiliki kendaraan bermotor. Objek pajak. Pasal 6 ayat (2) UU. No. 28, Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah (UU No. 28 Tahun 2009) mengatur bahwa pajak progresif dikenakan terhadap kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama. Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan menjadi kendaraan roda kurang dari 4 (empat) dan kendaraan roda 4 (empat) atau lebih. Sebagai contoh, orang pribadi yang memiliki 1 (satu) kendaraan bermotor roda 2 (dua), 1 (satu) kendaraan bermotor roda 3 (tiga) dan 1 (satu) kendaraan bermotor roda 4 (empat), masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. 2.6. Faktor-Faktor Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak 1) Pengertian Kepatuhan Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Kemudian menurut yang dikutip oleh Gunadi (2005),
kepatuhan pajak adalah kesediaan
wajib pajak untuk memenuhi
kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman, dalam penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.
41 Kemudian kepatuhan yang dikatakan oleh Norman D. Nowak (2004) merupakan “suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin dalam situasi sebagai berikut: a) Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. c) Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. d) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya Kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakan meliputi kepatuhan formal dan kepatuhan material (http://pascasarjana-stiami.ac.id/2010/12). Kepatuhan formal dapat diidentifikasi dari kepatuhan dalam penyampaian surat pemberitahuan. Apabila wajib pajak telah melaporkan surat pemberitahuan maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, namun isinya belum tentu memenuhi ketentuan material. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar surat pemberitahuan sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu akhir. Batas akhir pelaporan SPT masa adalah tanggal 20 bulan berikutnya, sedangkan untuk pelaporan SPT Tahunan paling lambat Bulan Maret tahun berikutnya untuk orang pribadi dan Bulan April tahun berikutnya untuk wajib pajak badan. Kepatuhan formal dan material ini lebih jelasnya diidentifikasi kembali dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000. Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000. kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari: a.Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis
42 pajak dalam 2 tahun terakhir, b.Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, c.Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir; dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5 persen, d. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Dengan dasar beberapa pengertian kepathan wajib pajak di atas dapat kembali dinyatakan bahwa seorang wajib pajak dapat dikatakan patuh apabila telah menyelesaikan kewajiban perpajakannya. Dan dapat dikatakan telah menyelesaikan kewajiban perpajakannya, apabila telah selesai melaporkan SPT dan
prosedurnya
yangberlaku.
benar
Prosedur
sesuai yang
dengan
harus
peraturan
dijalankan
perundang-undangan
seoarang
wajib
pajak
meliputimembuat NPWP, menghitung pajak yang terutang, membuat SSP dan membayar pajak di Bank Persepsi (bank yang ditunjuk) atau kantor pos, kemudian melaporkan SPT. 2) Beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak Sumarni Lombantoruan, dkk, (2013) Johanes Paulus Koromath, Siti Aisah Bauw menyatakan bahwa yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak antara lain; variabel pengetahuan perpajakan dan pelayanan
43 fiskus berpengaruh positif, namun variabel sanksi denda tidak berpengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak (WP) dalam membayar pajak. Rahmat Alfian (2011) menyatakan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi pada kantor pelayanan pajak Pratama Surabaya krembangan masih rendah. Kondisi tersebut terlihat dari rasio wajib pajak yang membayar pajak yang fluktuatif. Berdasarkan penelitian Margareth Ros Pratama (2012) menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan pelayanan kantor pelayanan pajak tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi sedangkan pemahaman peraturan perpajakan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib . Karena pemahaman peraturan perpajakan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib hendaknya kantor pelayanan pajak memberikan sosialisasi peraturan peraturan pajak kepada wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan penelitian Debby Farihun Najib (2013) menunjukkan bahwa pemahaman self assessment dan informasi pelayanan perpajakan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam membayar pajak penghasilan. 2.7. Teori Perilaku Konsumen 1) Pengertian Perilaku Konsumtif Para ahli medefinisikan perilaku konsumen, sebagai berikut ;
44 (a) Gerald Zaldman dan Melanie Wallendorf (1979) menjelaskan bahwa : “Consumer behavior are acts, process and sosial relationship exhibited by individuals, groups and organizations in the obtainment, use of, and consequent experience with products, services and other resources”. (Perilaku konsumen adalah tindakan - tindakan, proses, dan hubungan sosial yang dilakukan individu, kelompok, dan organisasi dalam mendapatkan, menggunakan suatu produk atau lainnya sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan, dan sumber - sumber lainya). (b) David L. Loudon dan Albert J. Della Bitta (1984) mengemukakan bahwa : “Consumer behavior may be defined as decision process and physical activity individuals engage in when evaluating, acquaring, using or disposing of good and services”. (Perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas fisik individu ketika terlibat dalam mengevaluasi, memperoleh, menggunakan atau membuang barang dan jasa) Perilaku konsumen merupakan sebuah studi tentang proses pengambilan keputusan pada individu, kelompok atau organisasi maupun masyarakat luas untuk menggunakan atau tidak terhadap suatu produk (barang, jasa dan ide). (Rini Dwiastuti, dkk, 2012). 2) Beberapa faktor yang mempengaruhi prilaku konsumtif Perilaku konsumen dalam membeli barang dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan dikategorikan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal yang meliputi kebudayaan, kelas sosial, kelompok referensi, keluarga, serta demografi. Faktor internal antara lain meliputi motivasi, harga diri, gaya hidup serta konsep diri. Pada umumnya keluarga yang
45 berpenghasilan rendah, proporsi yang besar dari pendapatanya akan digunakan sebagai kebutuhan makan, dan kebutuhan pokok lainya: diantaranya pakaian, perumahan, pendidikan dan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan lain yang bisa mensejahterakan keluarga itu sendiri. Hal ini sejalan dengan dengan pendapatnya Ernest Engel di dalam buku Makro Ekonomi yang mengemukakan hukum” hubungan antara pendapatan dan konsumsi”, bahwa makin besar pendapatan maka makin besar bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi, terutama makanan dan sebaliknya (Samuelson, 1995). Dalam hal ini prilaku konsumsi dipandang dalam sosiologi bukan sebagai sekedar pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia tetapi berkait pada aspek-aspek sosial budaya. Dimana prilaku konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas atau gaya hidup yang dapat berubah, sebab difokuskan pada kualitas simbolik dari barang dan tergantung pada persepsi tentang selera dari orang lain. Prilaku konsumsi yaitu dengan mengkonsumsi suatu produk bukan dalam rangka kegunaan (utility), tetapi lebih berat pada pertimbangan nilai (value) yang melekat pada produk itu. Suatu produk bukan lagi dilihat pada fungsi substansialnya, tetapi lebih ditekankan pada makna yang melekat pada produk tersebut. Produk disini telah telah berubah menjadi suatu yang telah memiliki makna simbolik. Dalam mengkonsumsi suatu produk, orang lebih mementingkan “image” yang melekat pada produk itu dari pada kegunaanya. Produk itu lebih dan dilihat dari hubunganya dengan citra, kemewahan dan kenikmatan baru, sehingga semakin langka dan terbatas suatu produk, semakin tinggi pula makna simbolik yang melekat benda itu. Jika saja
46 tingkat pendapatan (income) yang diperoleh memang memadai untuk memenuhi godaan untuk membeli produk simbolis yang ditawarkan, tentu saja tidak ada persoalan. Akan tetapi jika pendapatan (income) sangat terbatas sedangkan nafsu untuk membeli dalam rangka mengisi prilaku konsumsi yang tidak mampu untuk diredam tetntunya akan menjadi suatu persoalan bagi masing-masing individu. Watternberg (2005) berpendapat bahwa konsep diri juga merupakan suatu aspek penting pada konsumen terutama konsumen remaja karena pada masa ini mulai mengembangkan identitas diri dan penilaian diri ini diketahui yakni minat dalam diri sendiri dan minat tersebut diekspresikan melalui perilaku membeli. Jayasree Krishnan (2011) dalam studi yang dilakukan dengan
menekankan
pentingnya gaya hidup dan pengaruhnya pada perilaku pembelian konsumen. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris hubungan antara konsumen, gaya hidup umum dan pola konsumsi mereka. Ukuran AIO digunakan untuk mengidentifikasi dimensi gaya hidup konsumen. Penelitian ini menegaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara gaya hidup konsumen dan merek produk yang digunakan oleh mereka. Dengan mempelajari temuan itu disimpulkan bahwa konsumen sering memilih produk, jasadan kegiatan lainnya lebih karena mereka berhubungan dengan tertentugaya hidup. Produk ini bangunan blok gaya hidup, pemasaranOleh karena itu harus, memiliki ide yang lengkap ini gaya hidup berubah begitu untuk segmen mereka dan memposisikan produk mereka berhasil. Menurut Handi Irawan (2011) perilaku konsumen Indonesia dikategorikan menjadi sepuluh, yaitu:
47 (1) Berpikir jangka pendek, ternyata sebagian besar konsumen Indonesia hanya berpikir jangka pendek dan sulit untuk diajak berpikir jangka panjang, salah satu cirinya adalah dengan mencari yang serba instant. (2) Tidak terencana. Hal ini tercermin pada kebiasaan impulse buying, yaitu membeli produk yang kelihatannya menarik (tanpa perencanaan sebelumnya). (3) Suka berkumpul bersama. Masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan suka berkumpul (sosialisasi). Salah satu indikator terkini adalah situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter sangat diminati dan digunakan secara luas di Indonesia. (4) Gagap teknologi. Sebagian besar konsumen Indonesia tidak begitu menguasai teknologi tinggi. Hanya sebatas pengguna biasa dan hanya menggunakan fitur yang umum digunakan kebanyakan pengguna lain. (5) Berorientasi pada kontek. Konsumen kita cenderung menilai dan memilih sesuatu dari tampilan luarnya. Dengan begitu, konteks-konteks yang meliputi suatu hal justru lebih menarik ketimbang hal itu sendiri. (6) Suka buatan Luar Negeri. Sebagian konsumen Indonesia juga lebih menyukai produk luar negeri daripada produk dalam negeri, karna bias dibilang kualitasnya juga lebih bagus dibanding produk di Indonesia (7) Beragama (religious). Konsumen Indonesia sangat peduli terhadap isu agama. Inilah salah satu karakter khas konsumen Indonesia yang percaya pada ajaran agamanya. Konsumen akan lebih percaya jika perkataan itu dikemukakan oleh seorang tokoh agama, ulama atau pendeta. Konsumen juga suka dengan produk yang mengusung simbol-simbol agama.
48 (8) Gengsi. Konsumen Indonesia amat getol dengan gengsi. Banyak yang ingin cepat naik “status” walau belum waktunya. Saking pentingnya urusan gengsi ini, mobil-mobil mewah pun tetap laris terjual di negeri kita pada saat krisis ekonomi sekalipun. Menurut Handi Irawan D, ada tiga budaya yang menyebabkan gengsi. Konsumen Indonesia suka bersosialisasi sehingga mendorong orang untuk pamer. Budaya feodal yang masih melekat sehingga menciptakan kelas-kelas sosial dan akhirnya terjadi “pemberontakan” untuk cepat naik kelas. Masyarakat kita mengukur kesuksesan dengn materi dan jabatan sehingga mendorong untuk saling pamer. (9) Budaya lokal (strong in subculture). Sekalipun konsumen Indonesia gengsi dan menyukai produk luar negeri, namun unsur fanatisme kedaerahan-nya ternyata cukup tinggi. Ini bukan berarti bertentangan dengan hukum perilaku yang lain. (10) Kurang peduli lingkungan. Salah satu karakter konsumen Indonesia yang unik adalah kekurangpedulian mereka terhadap isu lingkungan. Tetapi jika melihat prospek kedepan kepedulian konsumen terhadap lingkungan akan semakin meningkat, terutama mereka yang *tinggal di perkotaan begitu pula dengan kalangan menengah atas relatif lebih mudah paham dengan isu lingkungan. Lagi pula mereka pun memiliki daya beli terhadap harga premium sehingga akan lebih mudah memasarkan produk dengan tema ramah lingkungan terhadap mereka.
49 2.7. Keaslian Penelitian Penelitian yang terkait dengan penerapan pajak progresif di berbagai negara telah banyak dilakukan, dan beberapa hasil penelitian yang dimaksud diberikan sebagai berikut: Pajak progresif menurut Andrew Hanson (2012) dibenarkan secara ekonomi dan moral untuk beberapa lasan sebegaia berikut: (1) Efisiensi yakni dengan pertimbangan berapa jumlah optimal barang dan jasa public, yang harus disediakan pemerintah? Jika pemerintah membuat aturan yang mengatakan setiap orang harus membayar bagian yang sama dari pendapatan mereka, maka pendapatan mereka akan dibatasi pada tingkat terendah yang mampu membayar pekerja produktif. (2) Kebahagian
maksudnya
para
pendukung
pajak
progresif
sering
mengatakan “ orang kaya mampu untuk membayar lebih “. Apa yang benar-benar berarti bagi mereka adalah, bahwa $ 100 ini lebih berarti bagi orang yang menghasilkan $ 5000 setahun, daripada yang dilakukan mreka untuk orang menghasilkan $ 500.000 per tahun. Tindakaan ini berarti pula memungkinkan orang miskin untuk menjaga bagian yang lebih besar dari pendapat mereka yang secara alami menghasilkan nilai bahagia yang lebih daripada membuat orang membayar pajak yang sama. (3) Keadilan maksudnya sebagian besar orang yang berpendapatan layak, maka akan ada kasus yang baik yakni mereka seharusnya dapat menabung lebih banyak. Namun orang yang pendapatannya tidak layak secara moral, hasil pendapatan mereka hampir semua digunakan orang ini terutama
50 karena faktor di luar kendali mereka. Sebagai contoh, semiskin orang Amerika lebih kaya secara absolut dari orang India terkaya. Ini bukan karena; orang Amerika memiliki akses ke satu set lembaga yang luar biasa dan orang Amerika memiliki spesialisasi dan perdagangan skala besar dalam sebatas Negaranya. Pajak progresif yang diterapkan di Negara maju dan Negara berkembang mempunyai hubungan yang menarik dilihat dalam konteks pembangunan ekonominya. Livingston, M.A., (2006)
dalam analisisnya mengatakan;
dibeberapa kalangan yang ada, ide siklus hidup pajak menjadi popular di mana progresivitas menjadi perhatian pada tahap awal pembangunan nasional dan agak kurang mendesak ketika sebuah Negara telah mencapai tahapan yang lebih matang. Jika sekarang benar-benar Negara China dan India memasuki masa progresivitas yang lebih besar, sementara Negara-negara Barat, Jepang dan lainlain mungkin sekarang bergerak kearah system pajak progresif yang mendatar atau bahkan kurang progresif. Satu masalah terkait dengan analisis ini adalah bahwa mereka mengabaikan keberadaan pertukaran antar Negara dan perbedaan tersebut mengakibatkan kecenderungan memunculkan konvergensi dalam kebijakan pajak. Oleh karenanya, dipertanyakan apakah China dan India mampu mempertahankan system pajak progresif ketika dan jika mereka melihat Negara maju kehilangan minat dalam kosnesp itu, atau mereka akan menyesuaikan dengan norma global yang baru. Moyes, dkk,. (1988) menyatakan bahwa pajak progresif ini diperkirakan akan mampu mengurangi ketimpangan pendapatan. Hal ini terutama berlaku jika
51 pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah progresif seperti pembayaran transfer dan jaring pengaman sosial. Namun, efek yang timbul mungkin diredam jika harga yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan terjadinya
penggelapan pajak. Ketika ketimpangan pendapatan rendah,
permintaan total atau agregat akan relatif tinggi, karena banyak orang yang menginginkan barang dan jasa atau konsumen biasa akan mampu membelinya. Tingginya kadar ketimpangan pendapatan dapat memiliki efek negatif pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang, lapangan kerja, dan konflik kelas. Pajak progresif sering disarankan sebagai cara untuk mengurangi penyakit sosial yang terkait dengan ketimpangan pendapatan yang tinggi. Perbedaan antara indeks Gini (alat pengukur ketimpangan distribusi pendapatan) untuk distribusi laba sebelum pajak dan indeks Gini setelah pajak merupakan indikator untuk efek pajak tersebut. Ekonom Becker Gery S,. dkk., (1970) menyatakan, bahwa sementara tarif pajak progresif menaikkan pajak atas penghasilan yang tinggi memiliki tujuan dan efek yang sesuai untuk mengurangi beban bagi yang berpenghasilan rendah, meningkatkan kesetaraan pendapatannya. Becker Gery S selanjutnya mengkaitkan masalah pajak ini dengan masalag tingkat pendidikan, di mana disebutkan bahwa tingkat pendidikan yang semakin tinggi
sering tergantung pada biaya dan
pendapatan keluarga, yang bagi masyarakat miskin, mengurangi kesempatan mereka untuk tingkat pendidikan. Meningkatkan pendapatan bagi kesetaraan ekonomi miskin mengurangi ketimpangan pencapaian pendidikan. Dan kebijakan
52 pajak dapat menyertakan fitur progresif yang memberikan insentif pajak untuk pendidikan, seperti kredit pajak dan pembebasan pajak untuk beasiswa dan hibah. Sebuah efek yang berpotensi merugikan perencanaan dari pajak progresif adalah bahwa dapat dilakukan dengan mengurangi insentif untuk pencapaian pendidikan.
Dengan berkurangnya pendapatan pekerja berpendidikan tinggi
setelah pajak, pajak progresif dapat mengurangi insentif bagi warga negara untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi, sehingga menurunkan tingkat keseluruhan modal manusia dalam suatu perekonomian. Namun, efek ini dapat dikurangi dengan subsidi pendidikan yang didanai oleh pajak progresif. Secara teoritis, dukungan publik untuk belanja pemerintah pada peningkatan pendidikan yang lebih tinggi ketika diberlakukan perpajakan yang progresif, terutama ketika distribusi pendapatan tidak merata. Kunert dan Kuhfeld (2007) mengulas pajak progresif ini dari sisi transportasi. Mereka menyatakan bahwa kebijakan transportasi yang diadopsi oleh negara-negara atau yurisdiksi lokal, pajak kendaraan bisa menjadi bukan pajak ganda yakni beban pajak dikenakan pada saat pembayaran pembelian dan pendaftaran (misalnya, pajak omset, pajak pendaftaran, biaya pendaftaran). Atau, bisa dibebankan secara berkala untuk kendaraan sebagai pajak atas kepemilikan atau penguasaan (misalnya, pajak kendaraan, pajak asuransi). Selain akuisisi dan pajak kepemilikan, pajak bahan bakar, dan pajak pertambahan nilai juga dikenakan di berbagai Negara-negara Eropa dan Asia. Pajak atau biaya ini mungkin merupakan beban yang signifikan pada akuisisi dan kepemilikan kendaraan baru oleh pengendara. Sebuah pajak kendaraan juga bisa ditafsirkan
53 sebagai instrumen kebijakan yang dirancang untuk mengurangi emisi dan kemacetan, pengurangan penggunaan kendaraan pribadi; apalagi itu bisa menggantikan kendaraan pribadi dengan jasa angkutan umum. Chan Ngee Choon (2013) dalam Published the Straits Times menyatakan sistem pajak progresif adalah salah satu di mana orang kaya membayar persentase yang lebih tinggi dari pendapatan di pajak dari seseorang yang kurang mampu. Mereka di bawah ambang batas pendapatan mungkin tidak membayar pajak. Dengan dasar konsep itu dia menyatakan pada anggaran 2013 melihat peluang untuk pengenalan pajak kekayaan pada mobil mewah dan rumah. Sistem pajak semakin progresif, tetapi pemerintah juga harus meningkatkan pengeluaran sosial dan transfer untuk mengurangi kesenjangan pendapatan. Sebagai perekonomian terbuka, Singapura memiliki keseimbangan antara menjaga daya saing pajak internasional dan mencapai kesetaraan dalam negeri dalam kebijakan fiskal. Anggaran 2013 sehingga bertujuan untuk pertumbuhan yang berkualitas dan masyarakat yang inklusif. Sebagai kesenjangan pendapatan telah naik tipis, kebijakan fiskal merupakan salah satu alat untuk mempersempit kesenjangan tersebut. Mempersempit kesenjangan pendapatan dilakukan pada kedua ujungnya: menargetkan
rendah
untuk
pekerja
berpenghasilan
menengah
dengan
mendistribusikan pendapatan, dan menurunkan pendapatan sekali pakai di akhir yang lebih tinggi dengan mengenakan pajak pendapatan dan kekayaan yang lebih tinggi. Anggaran 2013 tidak memperkenalkan sesuatu sebagai kontroversial, tentu saja. Tapi itu tidak membuat baik penggunaan pajak kekayaan untuk
54 meningkatkan beban pajak pada rumah mewah dan mobil. Secara keseluruhan, anggaran 2013 Singapura menetapkan progresivitas pajak yang lebih besar. Suits, Daniel B. (2014) pajak progresif adalah pajak yang meningkat tarif pajak sebagai pajak jumlah dasar meningkat. Istilah "progresif" mengacu pada cara tarif pajak berlangsung dari rendah ke tinggi, dengan hasil bahwa tarif pajak rata-rata wajib pajak adalah kurang dari tarif pajak marjinal seseorang. Istilah ini dapat diterapkan pada pajak individu atau sistem pajak secara keseluruhan; tahun, multi-tahun, atau seumur hidup. Pajak progresif yang dikenakan dalam upaya untuk mengurangi insiden pajak orang dengan kemampuan membayar yang lebih rendah, karena pajak tersebut menggeser kejadian semakin kepada mereka dengan kemampuan membayar yang lebih tinggi. Kebalikan dari pajak progresif adalah pajak regresif, di mana tarif pajak relatif atau beban berkurang sebagai kemampuan individu untuk membayar kenaikan. Dikatakan pula oleh penyaji, Pajak progresif sering disarankan sebagai cara untuk mengurangi penyakit sosial yang terkait dengan ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi, sebagai struktur pajak mengurangi ketimpangan, namun ekonom tidak setuju pada efek jangka panjang ekonomi dan kebijakan pajak. Pajak progresif juga telah dikaitkan secara positif dengan kebahagiaan, yang subjektif kesejahteraan bangsa dan kepuasan warga dengan barang publik, seperti pendidikan dan transportasi. Mohanad Ismael (2011) perpajakan adalah alat tidak dapat dihindari dalam perekonomian kontemporer digunakan untuk pengeluaran publik
yang pada
gilirannya bertujuan untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial utama. Secara khusus, pajak penghasilan individu telah menjadi sumber terbesar bagi pemerintah
55 AS sejak pertengahan abad terakhir dengan rata-rata 8 persen dari PDB Amerika dan mewakili sekitar 45 persen dari Federal Pajak Penghasilan tahun 2008. Dikemukakan juga oleh penulis, sebagian besar negara OECD menerapkan pajak penghasilan dengan fitur progresif di mana tarif pajak meningkat karena jumlah dasar pengenaan pajaknya semakin tinggi. Oleh karena itu, peneliti berpikir bahwa mempertimbangkan kebijakan pajak progresif merupakan strategi yang cocok untuk menjaga kesenjangan yang wajar antara agen kaya dan miskin. Bahl, Murray (1990) meneliti kepatuhan para pembayar pajak di Jamaika. Penelitian dilakukan terhadap 1.345 perusahaan (dengan total karyawan berjumlah 69.724 orang) dengan objek penelitian berupa pemotongan Pajak Penghasilan oleh perusahaan untuk tahun 1984. Penelitian dilakukan secara acak (random) terhadap 10.000 wajib pajak orang pribadi (individual taxpayers). Pajak penghasilan di Jamaika memberi kontribusi penerimaan negara sebesar 28,9 persen dan 90 persen dari jumlah tersebut diperoleh melalui pemotongan oleh pemberi kerja . Tarif pajak di Jamaika berjenjang dan progresif, yaitu 30, 40, 45, 50, dan 57,5 persen. Pemerintah Jamaika memberlakukan aturan bahwa perusahaan yang tidak melaporkan dengan benar perhitungan dan pemotongan pajak atas penghasilan karyawannya, akan diperiksa oleh Dinas Pajak Jamaika. Bahl dan Murray juga menemukan bahwa hanya 8 persen wajib pajak yang menghitung dan membayar pajak penghasilan dengan benar, dan 26 persen melakukan lebih bayar, sedang sisanya sebesar 66 persen kurang bayar. Bahl dan Murray menyimpulkan bahwa wajib pajak akan lebih patuh (lebih menentang) terhadap sistem pajak bila tarif pajaknya semakin rendah (tinggi). Namun untuk
56 meningkatkan kepatuhan wajib pajak, diperlukan perubahan komprehensif yang meliputi perubahan tarif pajak , dasar pengenaan pajak, dan perbaikan administrasi perpajakan (tax administrative reform). Jackson, McKee (1992)
menemukan bahwa 52 pembayar pajak di
Amerika Serikat merasa bahwa perlakuan IRS terhadap mereka tidak konsisten pada kondisi yang relatif sama. Dia menggunakan penelitian laboratorium dengan sampel yang terdiri atas 25 percobaan yang masing-masing terdiri atas 15 orang mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pengantar Ekonomi. Penelitian dilakukan dengan memberikan pendapatan kepada masing-masing sampel dan mereka diminta untuk melaporkan pendapatannya tersebut. Peneliti juga menggunakan tarif pajak, kemungkinan peserta untuk diperiksa, dan bila ketahuan curang maka mereka akan didenda. Dia menunjukkan bahwa sanksi untuk diperiksa berpengaruh terhadap peningkatan kepatuhan seorang Wajib Pajak. Namun ada hal yang menarik dari hasil penelitian tersebut yaitu apabila wajib pajak menerima imbal balik dari Pemerintah berupa barang publik, tingkat kepatuhan justru menurun meskipun dalam jumlah yang kecil. Di Jepang, reformasi perpajakan dilakukan dengan menetapkan tarif tunggal pajak menjadi 20 persen pada tahun 1989 (Harta, 1992). Selain itu, tarif pajak penghasilan diturunkan dari tingkat tertinggi sebesar 88 persen menjadi 65 persen. Penerimaan pajak langsung tersebut secara total sedikit menurun, tetapi penerimaan pajak tidak langsung justru meningkat Akuntabilitas tajam. Dia juga menyimpulkan bahwa semakin tinggi tarif pajak, orang cenderung mengecilkan penghasilan yang dilaporkan kepada otoritas pajak. Berdasarkan data dan
57 informasi mengenai kepatuhan wajib pajak dan hasil evaluasinya, diperoleh hasilhasil sebagai berikut: wajib pajak yang memiliki penghasilan yang semakin besar cenderung lebih patuh, penerapan tarif yang lebih rendah mendorong kepatuhan wajib pajak ketimbang penerapan tarif pajak yang tinggi, penerapan sanksi perpajakan mendorong kepatuhan wajib pajak, persepsi wajib pajak mengenai penggunaan uang pajak secara transparan dan akuntabilitas oleh Pemerintah mendorong
kepatuhan
wajib
pajak,
perlakuan
perpajakan
yang
adil
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Penelitian dari Muliari Ni Ketut dkk., (2009) meneliti tentang pengaruh persepsi tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak pada kepatuhan wajib pajak orang pribadi di kantor palayanan pajak pratama, Denpasar Timur. Hasil penelitiannya menyatakan kesadaran wajib pajak merupakan sebuah itikad baik seseorang untuk memenuhi kewajiban membayar pajak berdasarkan hati nurani yang tulus iklas. Semakin tinggi kesadaran wajib pajak maka pemahaman dan pelaksanaan kewajiban perpajakan mereka akan semakin membaik, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan mereka dalam membayar pajak. Pajak penghasilan individu di Italia adalah progresif dengan kata lain, semakin tinggi pendapatan semakin tinggi tingkat hutang pajak. Pada tahun 2014 tarif pajak bagi seorang individu adalah antara 23 - 43 persen, Selain pajak langsung (IRPEF), ada juga pajak daerah dari 1,2 -2,03 persen dan pajak kota 0,1 - 0.8 persen. Tingkat standar pajak perusahaan Italia (Ires) pada tahun 2014 adalah 27,5 persen. Selain itu, pajak daerah (IRAP) dikenakan pada tingkat umum 3,9 persen, sehingga tarif pajak yang berlaku 31,4 persen. Demikian pula di Italia
58 seorang individu bertanggung jawab atas pajak atas penghasilan sebagai karyawan dan penghasilan sebagai orang wiraswasta. Pajak akan dibayarkan atas penghasilan yang diperoleh di Italia dan luar negeri oleh seorang individu yang memenuhi uji dari "penduduk tetap" Italia. Seorang warga asing yang dipekerjakan di Italia membayar pajak hanya atas penghasilan yang diperoleh di Italia.Salah satu dari dua tes harus dilalui untuk dianggap sebagai warga Italia: kehidupan berpusat di Italia, atau yang terdaftar dalam. Daftar Penduduk sebagai hidup lebih dari 183 hari setahun di Italia. Hal ini penting untuk menunjukkan dalam hal penghasilan kena pajak dari luar Italia, bahwa "kredit pajak" diberikan untuk pajak dipotong di luar Italia. Dalam kasus pendapatan dari gaji, majikan wajib untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar setiap bulan. Seseorang wiraswasta harus prabayar pajak penghasilan yang akan diperhitungkan pada pengajuan
pengembalian
tahunan.
Uang
muka
ditentukan
berdasarkan
pengembalian yang dibuat untuk tahun sebelumnya. (Italy Income Taxes and Tax Laws ,2015). Total jumlah kena pajak umumnya dikenakan tarif pajak progresif. Sistem pajak Italia menyediakan enam kategori berikut pendapatan: Pendapatan kerja, Pendapatan usaha, Pendapatan wirausaha, Pendapatan real estate, Pendapatan investasi, Capital gain. Penghasilan kena pajak yang kotor ditentukan oleh jumlah penghasilan kena pajak dari kategori di atas dikenakan pajak biasa. (Luca Barbera, WWTS – Corporate, 2014/2015). Menurut Oliver Wendell Holmes, pajak adalah harga yang kita bayar untuk masyarakat beradab, maka progresivitas pajak sangat menentukan bagaimana harga yang bervariasi antara individu. Struktur pajak progresif adalah
59 satu di mana seorang individu atau kewajiban pajak keluarga sebagai bagian dari pendapatan meningkat dengan pendapatan. Jika, misalnya, pajak untuk keluarga dengan penghasilan $ 20.000 adalah 20 persen dari pendapatan dan pajak untuk keluarga dengan penghasilan sebesar $ 200.000 adalah 30 persen dari pendapatan, maka struktur pajak atas rentang pendapatan bersifat progresif. Salah satu struktur pajak yang lebih progresif daripada yang lain jika tarif pajak rerata naik cepat dengan pendapatan. ( http://www.worldwide-tax.com/italy/italy_tax.asp, 2015). Dinilai oleh tarif pajak penghasilan atas saja, progresivitas pajak di Amerika Serikat menurun tajam pada tahun delapan puluhan. Pada tahun 1980 tarif pajak tertinggi mencapai 70 persen. Pemulihan Ekonomi Pajak Act of 1981 mengurangi tingkat yang sampai 50 persen, dan Reformasi Pajak tahun 1986 jauh berkurang ke 33 persen. Meskipun tingkat tertinggi sejak saat itu telah menyikut kembali ke sekitar 34 persen, masih kurang dari setengah apa itu pada tahun 1980. negara-negara maju lainnya telah ditiru Amerika Serikat dalam mengurangi Hasil penelitian dari Yadnyana dkk, (2011) mengungkap pengaruh peraturan pajak serta sikap wajib pajak pada kepatuhan wajib pajak koperasi di Kota Denpasar. Dikatakan dalam hasil penelitian mereka bahwa kepatuhan pajak adalah suatu sikap terhadap fungsi pajak, berupa konstelasi dari komponen yang disebut kognitif, efektif dan konatif yang berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berprilaku terhadap makna dan fungsi pajak. Kepatuhan pajak merupakan salah satu penunjang yang dapat meningkatkan PAD. Dedi, Kepala Cabang Pelayanan Dispenda Provinsi Jawa Barat wilayah Kabupaten Bandung II, menyatakan di daerahnya sekitar 76.000 an kendaraan
60 bermotor roda dua dan rodan empat belum membayar pajak . Dan jumlah kendaraan yang termasuk kendaraan tidak melakukan daftar ulang mencapai 70% itu merupakan kendaraan roda dua, dan sisanya kendaraan adalah roda empat. Dedi menambahkan tingkat ketaatan warga dalam membayar pajak kendaraan tergolong tinggi karena data warga yang membayar pajak kendaraan dan yang melakukan balik nama kendaraan masih lebih besar. Setiap bulannya, rerata pertumbuhan kendaraan di Kabupaten Bandung mencapai 3.500 unit sepeda motor dan 500 – 1000 unit kendaraan roda empat. Kontribusi pajak dari lima jenis pajak yang dikelola samsat,baik PKB, BBNKB I dan BBNKB II, PBBKB air permukaan mencapai Rp 320 milyar selama 2013. Pengaruh kesadaran wajib pajak, pengetahuan pajak, sanksi perpajakan dan akuntabillitas pelayanan publik pada kepatuhan wajib pajak kendaraan bermotor diteliti oleh Budiarta dkk (2013), Dalam hasil penelitiannya dikemukakan kesadaran wajib pajak, pengetahuan pajak, sanksi perpajakan dan akuntabilitas pelayanan public berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak kendaraan bermotor pada kantor bersama samsat di Kota Singaraja.
Dikatakan pula bahwa kesadaran dalam diri wajib pajak
khususnya mengenai pajak kendaraan bermotor merupakan partisipasi dari masyarakat untuk menunjang pembangunan daerah, sehingga kondisi tersebut ke depan perlu ditingkatkan. Demikian pula dikemukakan perlunya secara rutin memberikan penyuluhan tentang pentingnya manfaat pajak, agar ada peningkatan pengetahuan wajib pajak mengenai manfaat pajak.
61 Jati, dkk (2012) dalam penelitiannya menghasilkan temuan variabel kesadaran wajib pajak, kewajiban moral, kualitas pelayanan dan sanksi perpajakan berpenngaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak kendaraan bermotor di kantor bersama samsat, Kota Denpasar. Dalam upaya peningkatan penerimaan pajak diharapkan pihak dinas pendapatan selalu berupaya meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kantor samsat serta meningkatkan ketegasan sanksi perpajakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Sanksi perpajakan yang akan diterima wajib pajak adalah faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kepatuhan wajib pajak kendaraan bermotor. Audit pajak dan sanksi/denda yang ditetapkan oleh otoritas pajak merupakan motivator utama dari kepatuhan wajib pajak . hal tersebut diungkap oleh Wite dkk (1985). Disamping itu dinyatakan pula bahwa audit dan sanksi merupakan kebijakan yang efektif untuk mencegah ketidakpatuhan. Untuk mencegah ketidak patuhan serta mendorong wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpjakan maka harus diberlakukan sanksi tegas dalam rangka memajukan keadilan dan efektifitas system pajak. Hasil penelitian beberapa peneliti di atas lebih banyak berbicara tentang keterkaitan teori ekonomi di dalam memberikan penjelasan tentang hubungan negatif antara pajak dan pertumbuhan ekonomi. Pajak penghasilan membuat disinsentif untuk mendapatkan penghasilan kena pajak. Individu dan perusahaan memiliki insentif untuk terlibat dalam kegiatan yang meminimalkan beban pajak mereka. Saat kegiatan mereka rendah kemudian dikenakan pajak yang lebih
62 tinggi, individu dan perusahaan akan mengganti kegiatannya ke usaha yang kurang produktif, yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang rendah. Penelitian yang dilakukan saat ini lebih banyak melihat dari pengaruh pajak progresif terhadap perilaku konsumtif wajib pajak, basis pajak, kepatuhan wajib pajak, dan perkiraan pendapatan daerah. Dengan demikian ada bagian yang tidak sama dengan peneliti terdahulu, yakni yang mengupas tentang pengaruh pajak progresif terhadap kinerja pemerintah daerah terutama Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Bali.