BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari School Based Management, istilah ini muncul pertama kali di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan
masyarakat
setempat.
MBS
merupakan
paradigma
baru
pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada pada tingkat sekolah dengan melibatkan masyarakat dalam rangka kebijakan pendidikan nasional. Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. MBS juga diartikan sebagai suau proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu. Ibrahim Bafadal (2009:82) mendefinisikan MBS sebagai “Proses manjemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, secara otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan
9
semua stakeholder sekolah”. Selanjutnya menurut Malen, Ogawa Krans (dalam Ali Idrus, 2009:25-26) “manejemn berbasis sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktural penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan”. MBS pada hakikatnya merupakan p0emberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri. Gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dalam Bahasa Inggris School-Based Management pada dewasa ini menjadi perhatian para pengelolaan pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan tingkat Sekolah. Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakin mengemuka setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti disyaratkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Produk hukum tersebut mengisyaratkan terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan dan melahirkan wacana akuntabilitas pendidikan. Gagasan MBS perlu dipahami dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya Sekolah, karena implementasi MBS tidak sekedar membawa perubahan dalam kewenangan akademik Sekolah dan tatanan pengelolaan Sekolah, akan tetapi membawa perubahan pula dalam pola kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan Sekolah.
10
MBS merupakan sistem pengelolaan persekolahan yang memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada institusi Sekolah untuk mengatur kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan Sekolah yang bersangkutan. Dalam MBS, Sekolah merupakan institusi yang memiliki full authority and responsibility untuk secara mandiri menetapkan program-program pendidikan (kurikulum) dan implikasinya terhadap berbagai kebijakan Sekolah sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai Sekolah. Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi di luar sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu sendiri. Dengan demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi kewenangan yang memandang Sekolah secara individual. Sebagai bentuk alternatif Sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi diberikan
agar
Sekolah
dapat
leluasa
mengelola
sumberdaya
dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan di samping agar Sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Secara umum manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan parsitipatif yang melibatkan secara langsung
11
semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program yang tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga, dengan pengambilan keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggungjawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah terhadap sekolahnya. Inilah esensi pengambilan keputusan partisipatif. Baik peningkatan otonomi sekolah maupun pengambilan keputusan partisipatif tersebut kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional yang berlaku.
2.1.1 Indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Adapun indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagai berikut: 1) Partisipasi masyarakat diwadahi melalui Komite Sekolah. 2) Transfaransi pengelolaan sekolah (program dan anggaran). 3) Program sekolah realistik – need assessment. 4) Pemahaman stakeholder mengenai Visi dan Misi sekolah 5) Lingkungan fisik sekolah nyaman, terawat. 6) Iklim sekolah kondusif 7) Berorientasi mutu, penciptaan budaya mutu. 8) Meningkatnya kinerja profesional kepala sekolah dan guru. 9) Kepemimpinan sekolah berkembang
12
demokratis – policy and decision making, planning and programming. 10) Upaya memenuhi fasilitas pendukung KBM
meningkat. 11) Kesejahteraan guru
meningkat 12) Pelayanan berorientasi pada siswa/murid. 13) Budaya konformitas dalam pengelolaan sekolah berkurang.
2.1.2 Alasan dan Tujuan Penerapan MBS MBS di Indonesia yang menggunakan model Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan sebagaimana diungkapkan oleh Nurkolis antara lain pertama, sekolah lebih mengetahui kekeuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat. Menurut bank dunia, terdapat beberapa alasan diterapkannya MBS antara lain alasan ekonomis, politis, professional, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektifitas sekolah. Menurut Direktorat Jenderal Pendidikian Dasar dan Menengah (dalam Ibrahim
Bafadal, 2009:82) MBS
bertujuan
untuk
“Memandirikan dan
memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekoloah Jadi tujuan penerapan MBS adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas
13
kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum. Bagi sumber daya manusia, peningkatan kualitas bukan hanya meningkatnya pengetahuan dan ketrampilannya, melainkan meningkatkan kesejahteraanya pula. Keuntungan-keuntungan penerapan MBS adalah: 1. Secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orangorang yang bekerja di sekolah. 2. Meningkatkan moral guru. 3. Keputusan yang diambil sekolah mengalami akuntabilitas. 4. Menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan di sekolah. 5. Menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah. Keputusan yang diambil pada tingkat sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpin. 6. Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas komunikasi tiap komunitas sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah.
2.2 Karakteristik MBS Levacic (dalam Ibrahim Bafadal, 2009:82) mengedepankan tiga karakteritik kunci MBS sebagai berikut: 1. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para stakholoder sekolah. 2. Domain peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum. 3. Walaupun seluruh domain manajemen peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah
14
regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab sekolah. Pendidikan dirancang dan dikembangkan sebagai suatu sistem. Sebagai sistem pendidikan terdiri dari sejumlah komponen yang saling tergantung, teroganisasi dan bergerak bersama ke arah tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Komponen-komponen tersebut terdiri dari komponen masukan (input), komponen proses (through-put), dan komponen keluaran (output) (Teguh Winarno, 2004: 4-6)
2.2.1 Input Komponen input terdiri dari tiga jenis, yaitu Raw input (masukan mentah/dasar), instrumental input (masukan instrumental/alat), dan environmental input (masukan lingkungan). Masukan input bagi pendidikan adalah siswa-siswa dengan segala karakteristiknya seperti usia, jenis kelamin, kondisi fisik – biologis, bakat, intelegensi baik pada bidang kognitif (IQ) maupun pada bidang afektif/emosi (EQ) minat, motivasi, latar belakang sosial ekonomi dan budaya. Instrumental input meliputi kurikulum, guru, kepala sekolah, pegawai, sarana dan prasarana, strategi dan metode, dana, waktu belajar, dan organisasi sekolah. Environmental input meliputi partisipasi orangtua, instansi terkait terutama para stakeholders (Pembina) pendidikan, dan masyarakat.
2.2.2 Proses (through – put) Komponen proses ini tidak lain adalah proses pendidikan. Proses pendidikan ini menyangkut bagaimana mengelola dan menginteraksikan Raw-
15
input, instrumental input dan Enviromental input secara efektif dan efisien sehingga output (lulusan) dari suatu lembaga pendidikan memiliki ragam dan tingkat pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang sesuai dengan yang telah dirumuskan dalam tujuan-tujuan pendidikan. Yang dimaksud komponen proses ini adalah pembelajaran. Pembelajaran mempunyai sejumlah komponen yaitu tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, bahan dan alat pembelajaran dan evaluasi. Pembelajaran ini harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan kualitatif (peningkatan) tingkah laku siswa dari sebelum memasuki situasi pembelajaran dan kualitas tingkah laku siswa yang lebih baik setelah mereka memasukinya. Keberhasilan pembelajaran ini banyak ditentukan oleh seberapa jauh efektivitas dan efisiensi manajemennya. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik proses sebagai berikut : a. Proses belajar mengajar yang efektifitasnya tinggi. b. Kepemimpinan sekolah yang kuat. c. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib. d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif. e. Sekolah memiliki budaya mutu. f. Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis. g. Sekolah memiliki kewenangan/kemandirian. h. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat. i. Sekolah memiliki keterbukaan manajemen.
16
j. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah. k. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. l. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. (Nurkholis, 2003:65)
2.2.3 Hasil yang diharapkan (Output) Hasil yang diharapkan dari suatu system pendidikan adalah dihasilkannya lulusan (output) yang memiliki ragam dan tingkat pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap (out comes) yang sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dan sesuai pula dengan harapan lembaga pendidikan. Output bisa berupa prestasi akademik seperti, lomba karya ilmiah remaja, lomba bahasa Inggris, Matematika, cara berpikir kritis, nalar, rasional,induktif, deduktif, dan ilmiah. Juga prestasi non akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, solidaritas yang tinggi, kedisiplinan, kesenian, prestasi olahraga, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama dan kepramukaan.
2.3 Implemetasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 2.3.1
Syarat Syarat Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu pembaruan dalam rangka
meningkatkan kualitas dan demokratisasi pendidikan. Sebagai suatu terobosan baru Manajemen Berbasis Sekolah dalam pelaksanaannya tentu tidaklah mudah, banyak hal yang perlu dipersiapkan. Terkait dengan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah, ada empat faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Kekuasaan yang dimiliki madrasah/sekolah
17
Dalam Manajemen Berbasis Sekolah, kepala sekolah mempunyai kekuasaan yang kebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan yang sesuai dengan tu7juan yang diharapkan. 2) Pengetahuan dan keterampilan Sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia yang diwujudkan melalui pelatihan dan semacamnya. 3) Sistem informasi yang jelas Sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah perlu memiliki informasi yang jelas tentang program pendidikan yang transparan, karena dari informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi sekolah. 4) Sistem penghargaan Sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen Berbasis Sekolah perlu menyusun sistem penghargaan bagi warga yang berprestasi, ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan produktivitas warga sekolah. Dengan demikian hanya dengan adanya kewenangan dalam pengelolaan sekolah, sistem pengembangan sumber daya manusia, tranparansi, serta upaya pemberian penghargaan bagi yang berprestasi, pelaksanaan manjemen berbasis sekolah dapat berjalan efektif dan efisien. Hamsah B, Uno (2010:90-92) menyebutkasn 7 kewenangan tingkat sekolah dalam pelaksanaan manjemen berbasis sekolah yaitu: 1. Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. 2. Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas, jumlah guru, dan tenaga administratif yang ada. 3. Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah.
18
4. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk b uku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standard an ketentuan yang ada. 5. Penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, denga mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. 6. Proses pengajaran dan pembelajaran 7. Urusan teknisi edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan urusan sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan setiap satuan pendidikan. Penerapan MBS dilandasi oleh peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku di Indonesia, yaitu: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1) 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3) 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab VIII, Pasal 49, Ayat (1) 4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah 5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan 6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
19
2.3.2 Tahapan-Tahapan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah antara lain: 1) Tahap sosialisasi merupakan tahap penting mengingat luasnya wilayah nusantara terutama daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh media informasi, baik cetak maupun elektronik. Dalam mengefektifkan pencapaian tujuan perubahan, diperlukan kejelasan tujuan dan cara yang tepat, baik menyangkut aspek proses maupun pengembangan. 2) Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep manjemen berbasis madrasah tidak mengandung resiko. Efektifitas model uji coba memerlukan persyaratan dasar, yaitu: akseptabilitas, akuntabilitas, reflikabilitas,
dan
sustainabilitas.
Akseptabilitas
artinya
adanya
penerimaan dari para tenaga kependidikan, akuntabilitas artinya bahwa konsep manajemen berbasis madrasah dapat dipertanggungjawabkan, reflikabilitas
artinya
model
manajemen
berbasis
madrasah
yang
diujicobakan dapat direflikasi di madrasah lain sehingga perlakuan yang diberikan kepada madrasah uji coba dapat dilaksanakan di madrasah lain, sementara
sustainabilitas
artinya
program
tersebut
dapat
dijaga
kesinambungannya setelah dilakukan uji coba. 3) Tahap pelaksanaan merupakan tahap untuk melakukan berbagai diskusi, antara kelompok kerja manajemen berbasis madrasah dengan berbagai unsure terkait (guru, kepala sekolah, pengawas, tokoh agama, pengusaha, dan para akademisi).
20
4) Tahap
diseminasi
merupakan
tahapan
memasyarakatkan
model
manajemen berbasis madrasah yang telah diujicobakan ke berbagai madrasah,
agar
dapat
mengimplementasikan
manajemen
berbasis
madrasah secara efektif dan efisien.
2.3.3 Strategi Kesuksesan Implementasi MBS Konsep dasar MBS, menggambarkan bahwa keberhasilan sekolah dalam mengimplementasikan MBS seharusnya mengacu kepada prinsip dan karateristik MBS. Dalam MBS terdapat empat kewenangan (otonomi) dan tiga prasyarat yang bersifat
organisasional
yang
seharusnya
dimiliki
sekolah
dalam
mengimplementasi MBS. Pemahaman terhadap prinsip MBS, dan karakteristik MBS akan membawa sekolah kepada penerapan MBS yang lebih baik. Pada akhirnya
mutu
pendidikan
yang
diharapkan
dapat
tercapai
dan
di
pertanggungjawabkan, karena pelaksanaannya secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Menurut Slamet P.H (dalam Mulyasa, 2007:26) pelaksanaan MBS merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggun jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan MBS adalah sebagai berikut : 1. Mensosialisasikan konsep MBS 2. Melakukan analisis 3. Merumuskan tujuan situsional
21
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situsional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. 5. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT. 6. Memilih langkah-langkah pemecahan masalah atau tantangan. 7. Membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. 8. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Nurkholis (2003 : 132). Mengemukakan sembilan strategi keberhasilan implementasi MBS, yaitu: 1. Sekolah harus memiliki otonomi terhadap 4 hal yaitu dimilikinya otonomi di dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan, pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian, serta pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Mulyasa (2005 : 41) menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi sekolah adalah kebijakan pengembangan kurikulum yang mengacuh kepada standar kompetensi, komptensi dasar dan standar isi, serta pembelajaran beserta sistem evaluasinya, sepenuhnya menjadi wewenang sekolah, yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa masyarakat yang dilakukan secara fleksibel. Dengan demikian, otonomi sekolah yang dilakukan secara benar dalam kerangka inplementasi MBS diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. 2. Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan pembelajaran dan non pembelajaran. 3. Adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. Kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Dalam MBS kepala sekolah berperan sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Oleh karena itu pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas jenjang kepangkatan. Kepala sekoah merupakan “sosok kunci” (the key person) keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dalam kerangka inplementasi MBS Mulyasa (2002: 98). Oleh karena itu, dalam implementasi MBS kepala sekolah harus memiliki visi, misi dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan profesional dalam mewujudkan melalui perencanaan kepemimpinan manajerial, dan supervisi pendidikan.
22
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang efektif. Semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguhsungguh. Adanya panduan dari Departemen Pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Sekolah harus transparan dan akuntabel yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawaban tahunan. Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah khususnya pada peningkatan prestasi belajar siswa. Implementasi diawali dengan sosialisasi konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, pembangunan kelembagaan. Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila
didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoprasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu mengkaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua yang tinggi). MBS merupakan strategi peningkatan kualitas pendidikan melalui otoritas pengambilan keputusan dari pemerintah daerah ke sekolah. Dalam hal ini sekolah dipandang sebagai unit dasar pengembangan yang bergantung pada redistribusi otoritas
pengambilan
keputusan
di
dalamnya
terkandung
desentralisasi
kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk membuat keputusan. Dengan demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi kewenangan yang memandang Sekolah secara individual. Sebagai bentuk alternatif Sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi diberikan agar Sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan disamping agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
23
Merupakan suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada Sekolah dan mendorong Sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam memenuhi kebutuhan mutu Sekolah atau untuk mencapai sasaran mutu Sekolah. Keputusan partisipatif yang dimaksud adalah cara pengambilan keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga Sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkonstribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat sekolah setempat. Karena siswa biasanya datang dari berbagai latar belakang kesukuan dan tingkat sosial, salah satu perhatian sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan (peluang yang sama untuk memperoleh kesempatan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik) Di lain pihak, sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah. Ciri-ciri MBS, bisa diketahui antara lain dari sudut sejauh mana sekolah dapat mengoptimalkan kemampuan manajemen sekolah, terutama dalam pemberdayaan sumber daya yang ada menyangkut Sumber Daya Kepala Sekolah dan Guru, partisipasi masyarakat, pendapatan daerah dan orang tua, juga anggaran sekolah Konsekuensi penerapan manajemen berbasis Sekolah (MBS) menjadi tanggung jawab dan ditangani oleh sekolah secara profesional. Aspek-aspek yang menjadi bidang garapan sekolah meliputi: a. Perencanaan dan evaluasi program sekolah,
24
b. Pengelolaan kurikulum yang bersifat inklusif, c. Pengelolaan proses belajar mengajar, d. Pengelolaan ketenagaan e. Pengelolaan perlengkapan dan peralatan, f. Pengelolaan keuangan g. Pelayanan siswa h. Hubungan Sekolah-masyarakat i. Pengelolaan iklim Sekolah.
2.3.4 Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi MBS Menurut Nurkholis (2003: 264) ada enam faktor pendukung keberhasilan implemnetasi MBS, keenamnya mencakup political will, finansial, sumber daya manusia, budaya sekolah, kepemimpinan, dan keorganisasian.vKeberhasilan implementasi MBS di Indonesia tidak terlepas dari dasar hukum implementasi MBS yang tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah. Walaupun boleh dikatakan penerapan MBS lebih dahulu terjadi dibandingkan dengan dasar hukum pelaksanaannya, namun dukungan yang nyata dari pemerintah melalui kebijakankebijakan yang dikeluarkan menjadi dasar bagi sekolah untuk lebih leluasa dalam mengembangkan pedidikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Salah satu contoh dukungan pemerintah dalam pelaksanaan MBS, adalah adanya panduan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Dalam buku Pedoman Manajemen Berbasis Sekolah dikaitkan bahwa keberhasilan pelaksanaan MBS sangat dipengaruhi oleh berbagai fakta, baik
25
faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor pendukung tersebut pada garis besarnya mencakup sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, gerakan peningkatan kualitas pendidikan dan gotong royong kekeluargaan, potensi sumber daya manusia, organisasi formal dan internal, organisasi profesi serta dukungan dunia usaha dan dunia industri. a) Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan Pemerintah dan seluruh stake holder pendidikan perlu terus melakukan sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan di berbagai wilayah kerjanya, baik dalam pertemuan-pertemuan resmi maupun melalui orientasi dan workshop. b) Gerakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan Pemerintah Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan, baik secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah diamanatkan dalam Undang-undang Sisdiknas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan kualitas pendidikan kepada setiap jenis dan jenjang pendidikan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan. c) Gotong Royong Dalam Kekeluargaan Gotong royong dan kekeluagaan dapat menghasilkan dampak positif (synergistyc effect) dalam berbagai aktifitas. Gotong royong dan kekeluargaan yang membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih dapat dikembangkan dalam mewujudkan Kepala Sekolah yang profesional, menuju terwujudnya visi pendidikan menjadi aksi nyata di Sekolah. Kondisi ini dapat ditumbuhkembangkan melalui jalinan kerjasama dan keeratan hubungan
26
dengan msyarakat dan dunia kerja, terutama yang berada di lingkungan Sekolah. d) Potensi Kepala Sekolah. Kepala Sekolah memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan secara optimal. Setiap kepala Sekolah harus memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Perhatian tersebut harus ditunjukan dalam keamanan dan kemampuan untuk mengembangkan diri dan Sekolahnya secara optimal. e) Organisasi Formal dan Optimal Pada sebagian besar lingkungan pendidikan sekolah di berbagai wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke umumnya telah memiliki organisasi formal terutama yang berhubungan dengan profesi pendidikan seperti Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (Pokjamas), Kelompok Kerja Sekolah (KKM), Musyawarah Kepala Sekolah (MKM), Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah. Organisasi-organisasi tersebut sangat mendukung MBS untuk melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan kualitas pendidikan diwilayah kerjanya. f) Organisasi Profesi Organisasi profesi pendidikan sebagai wadah untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan seperti Pokjawas, KKM, Kelompok Kerja guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Peduli Guru (FPG), dan ISPI (Ikatan
27
Sarjana Pendidikan Indonesia) sudah terbentuk hampir diseluruh Indonesia, dan telah menyentuh berbagai kecamatan. g) Harapan Terhadap Kualitas Pendidikan MBS sebagai paradigma baru manajemen pendidikan mempunyai harapan yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, serta komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatakan mutu sekolah secara optimal. Tenaga kependidikan memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa peserta didik dapat mencapai prestasi yang optimal meskipun dengan segala keterbatasan sumber daya pendidikan yang ada di Sekolah. h) Input Manajemen Paradigma baru manajemen pendidikan perlu ditunjang oleh input manajemen yang memadai dalam menjalankan roda Sekolah dan mengelola Sekolah secara efektif. Input manajemen yang telah dimiliki seperti tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung implementasi, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas dari warga Sekolah dalam bertindak, serta adanya sistem pengendalian mutu yang handal untuk meyakinkan bahwa tujuan yang telah dirumuskan dapat diwujudkan di Sekolah.
2.4 Faktor Penghambat Implementasi MBS Implementasi MBS adalah sebuah keputusan politis yang sangat menjanjikan, namun demikian bukan berarti dalam pelaksanaannya sama sekali tidak ada kendala, kendala tersebut antara lain:
28
1. Pertama, dalam penerapan MBS, prasyarat awal yang dibutuhkan jelas adalah dukungan mutu guru dan kesadaran masyarakat yang benar-benar tinggi tentang arti dan fungsi sekolah. Masalahnya, selama ini harus diakui bahwa dalam dua hal terpenting di atas, kita sesungguhnya masih sangat lemah. 2. Kebiasaan birokrasi pendidikan di masa lalu yang seringkali menikmati berbagai fasilitas atau kemudahan dari sekolah adalah kendala lain yang hingga kini masih sulit dihilangkan. 3. Sejauh mana masyarakat benar-benar siap untuk duduk sebagai anggota dewan sekolah harus diakui masih menjadi tanda tanya. Tak sedikit orang tua siswa menganggap sekolah formal sebagai hal yang tidak penting dan sama sekali tidak signifikan untuk mendukung anak dalam mencari pekerjaan yang baik. Oleh karena itu, akan lebih baik jika persiapan yang matang terhadap program MBS pada sekolah-sekolah yang mengimplementasikannya dilakukan terlebih dahulu sebelum benar-benar menerapkannya, karena sebaik apapun suatu program, akan kurang nilainya jika tidak di dukung kualitas sumber daya manusia unggul.
2.5 Ukuran Keberhasilan Implementatasi MBS Salah satu ukuran penting yang dapat dilihat dan dirasakan masyarakat terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah adalah prestasi belajar siswa. Ukuran keberhasilan implementasi MBS tidak terlepas dari tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, khususnya pilar kedua dan ketiga, yaitu pemerataan dan
29
peningkatan akses serta kebersihan MBS dapat dilihat dari kemampuan sekolah dan daerah dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Dari segi indikator aspek peningkatan mutu, keberhasilan implemnetasi MBS dapat dilihat dari meningkatnya prestasi akademik maupun non akademik sedangkan indikator tata layanan pendidikan ditunjukkan oleh sejauh mana peningkata layanan pendidikan di sekolah itu terjadi. Layanan yang lebih baik kepada siswa melalui pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kondisi sekolah, akan menyebabkan proses pembelajaran akan menjadi efektif. Serta siswapun menjadi lebih aktif dan kreatif karena mereka berada dalam lingkungan belajar yang menyenangkan.
2.6 Komponen-Komponen dalam Implementatasi MBS Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (2011:191) mengemukakan komponen-komponen MBS adalah: 2.6.1 Manajemen Kurikulum Manajemen kurikulum adalah sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif, komprehensif, sistematik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum. Dalam pelaksanaannya manajemen kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan konteks MBS dan KTSP. Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum yang standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat
30
mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Oemar. Hamalik (2008:102) menyebutkan empat unsur pokok dalam suatu kurikulum yaitu “ Tujuan, isi pelajaran (content atau material) dan metode, evaluasi (assessment), dan umpan balik”. Manajemen kurikulum dan program pengajaran meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru, peserta didik dan seluruh sivitas akademika atau warga sekolah. Kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru meliputi : a. Pembagian tugas guru yang dijabarkan dari struktur program pengajaran dan ketentuan tentang beban mengajar wajib bagi guru. b. Tugas guru dalam mengikuti jadwal pelajaran, jadwal tugas guru ada tiga, yaitu : a) Jadwal pelajaran kurikuler dengan memperhatikan ketentuanketentuan akademik seperti : (1) Keseimbangan berat ringan bobot pelajaran tiap hari (2) Pengaturan mata pelajaran mana yang perlu didahulukan / ditengah / akhir pelajaran. (3) Mata pelajaran bersifat praktikum / PKL /PPL b) Jadwal pelajaran non kurikuler, disusun sesuai situasi dan kondisi individual/kelompok peserta didik. c) Jadwal pelajaran ekstra kurikuler disusun luar jam pelajaran kurikuler dan program kokurikuler, biasanya bersifat pengembangan ekspresi, hobi, bakat, minat, serta prestasi seperti, seni tari, musik, pecinta alam, palang
31
merah remaja, dokter kecil, pramuka serta penunjang proses belajar mengajar lainnya. c. Tugas guru dalam kegiatan proses belajar mengajar meliputi : a) Membuat persiapan/perencanaan pengajaran b) Melaksanakan pengajaran c) Mengevaluasi hasil pengajaran
2.6.2 Manajemen Peserta Didik / Siswa Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, sehingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Manajemen siswa menunjuk pada kegiatan-kegiatan di luar kelas dan di dalam kelas. Kegiatan diluar kelas meliputi : a. Penerimaan siswa baru. a) Menyusun panitia beserta program kerja b) Pendaftaran calon siswa (pengumuman, tempat, waktu, syarat dan sebagainya) c) Seleksi, disesuaikan dengan kebutuhan jumlah tempat duduk yang tersedia di kelas I d) Pengumuman calon yang diterima (termasuk cadangan jika diperlukan) e) Registrasi (pencatatan peserta didik baru yang positif masuk)
32
b. Pencatatan peserta didik baru dalam buku induk dan buku klapper. a) Membuat format buku Klapper dan buku induk b) Data yang diisikan (identitas, orang tua/wali, alamat, pekerjaan orang tua/wli siswa) Kelengkapan data : fotokopi surat/akta kelahiran, surat keterangan sehat dan sebagainya. c) Buku Klapper mengutamakan pengisiannya berdasarkan abjad. c. Pembagian seragam sekolah dan tata tertib sekolah beserta sangsi terhadap d. Pembinaan siswa, dan pembinaan kesejahteraan siswa. a) Kesejahteraan mental (penyediaan tempat sembahyang, BP) b) Kesejahteraan fisik (UKS, keamanan, kenyamanan dan sebagainya) c) Kesejahteraan akademik (perpustakaan, lab, tempat belajar yang memadai, bimbingan belajar, penasehat akademik) d) Kegiatan ektra kurikuler (pengembangan bakat, minat, prestasi, hobi, seni dan sebagainya) Kegiatan- kegiatan di dalam kelas meliputi : a. Pengelolaan kelas b. Interaksi belajar mengajar yang positif c. Pemberian pengajaran remidi, bagi yang lambat belajar d. Presensi secara kontinu e. Perhatian terhadap pelaksana tata tertib kelas f. Pelaksanaan jadwal pelajaran secara tertib g. Pembentukan pengurus kelas h. Penyediaan media belajar sesuai kebutuhan
33
2.6.3 Manajemen Tenaga Pendidik dan Kependidikan Ada dua kelompok ketenagaan di sekolah yaitu : 1) Tenaga edukatif atau akademik, yaitu guru. Ada guru tetap, guru tidak tetap dan guru bantu. 2) Tenaga non edukatif atau pegawai tata usaha. Ada pegawai tetap dan pegawai honorer/tidak tetap. Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus (2009:145) menyatakan manajemen tenaga kependidikan mencakup “(1) prencanaan pegawai, (2) pengadaan pegawai, (3) pembinaan dan pengembangan pegawai, (4) promosi dan mutasi, (5) pemberhentian pegawai, (6) kompensasi, dan (7) penilaian pegawai”. Pengelolaan ketenagaan juga meliputi (1) analisis kebutuhan, (2) perencanaan pegawai, yang merupakan kegiatan untuk menentukan kebutuhan pegawai baik secara kuantitatif maupun
kualitatif
untuk
sekarang
dan
masa
depan.
(3)
rekrutmen
pegawai/pengadaan pegawai merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pegawai
pada
suatu
lembaga,
baik
jumlah
maupun
kualitasnya.
(4)
pengembangan, (5) hadiah dan sangsi (reward and punishment), (6) hubungan kerja, (7) evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran.
2.6.4 Manajemen Keuangan Manajemen anggaran/biaya sekolah/pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan/diusahakan secara sengaja dan sungguh-sungguh, serta pembinaan secara kontinu terhadap biaya operasional
34
sekolah/pendidikan sehingga kegiatan operasional pendidikan semakin efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolah
yang
paling
memahami
kebutuhannya,
sehingga
desentralisasi
pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan “(income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
2.6.5 Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Manajemen sarana dan Prasarana pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguhsungguh serta pembinaan secara kontinu terhadap benda-benda pendidikan agar senantiasa siap pakai dalam proses belajar mengajar sehingga proses belajar mengajar semakin efektif dan efisien guna membantu tercapainya tujuan pendidikan. Pengelolaan sarana dan prasarana sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling mengetahui
kebutuhan
fasilitas,
baik
kecukupan,
kesesuaian,
maupun
kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
35
2.6.6 Manajemen Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara\ sengaja dan sungguhsungguh serta pembinaan secara kontinu untuk\ mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya serta dari publik pada khususnya sebagai kegiatan operasional sekolah agar semakin efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pendidikan. Depdiknas (dalam Mulyasa, 2009: 128-129) mengemukakan indikator hubungan sekolah dan masyarakat dalam manajemen sekolah antara lain: 1. Sekolah senantiasa menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang tua. 2. Sekolah berusaha melibatkan peran orang tua siswa dalam pelaksanaan program-program sekolah. 3. Prosedur-prosedur untuk melibatkan para orang tua siswa dalam kegiatankegiatan sekolah disampaikan secara jelas dan dilaksanakan secaa konsisten. 4. Orang tua siswa di sekolah memmpunyai kesempatan-kesempatan untuk mengunjungi sekolah guna mengobservasi program pendidikan . 5. Pada pertemuan antara orang tua sekolah sekolah tingkat kehadiran orang tua sangat tinggi. 6. Ada kerja sama yang baik antara guru dan orang tua siswa, sehubungan dengan pemantauan pekerjaan rumah (PR). 7. Orang tua dan masyarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan di sekolah. 8. Para guru sering berkomunikasi dengan para orang tua siswa tentang kemajuan siswa. 9. Sebagian besar orang tua siswa memahami dan ikut mempromosikan program pembelajaran di sekolah. 10. Masyarakat melalalui komite sekolah aktif melaksanakan peran dan fungsi sesuai aturan. Jadi dengan adanya hubungan sekolah dan masyarakat dapat menambah jalinan yang harmonis keduanya, juga dapat menjadikan sekolah sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan bagi masyarakat, sedangkan masyarakat dapat sebagai sumber informasi dan inspirasi bagi sekolah serta sebagai lapangan pengabdian bagi para siswa.
36
2.7 Kajian Penelitian yang Relevan Penelitian tentang pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebelumnya sudah pernah diteliti oleh Agfa Sofya Ardjun pada tahun 2006 di SMA Negeri Kabila. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah sebagai leadership dan manajerial telah mengembangan MBS secara bertahap dengan memperhatikan peluang dan tantangan yang dimiliki sekolah. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dalam rangka implementasi MBS di SMA Negeri Kabila, kepala sekolah telah melakukan berbagai upaya berupa peningkatan mutu dan profesionalitas para guru dan pada aspek lain pula dalam rangka meningkatkan
kinerja guru kepala
sekolah sering memberikan
penghargaan kepada guru dan siswa yang berprestasi baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga dengan gaya-gaya seperti ini akan dapat membangkitkan semangat dan kinerja guru dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawab. Dalam
rangka
pengembangan
MBS
di
SMA
Negeri
Kabila
mengeindikasikan ada beberapa peluang dan tantangan. Peluang yang ada diantaranya adalah banyak guru yang telah mengikuti berbagai pelatihan dan kursus baik tingkat regional maupun nasional, serta kualifikasi guru rata berpendidikan S-1. peluang ini tentunya menjadi modal dasar di SMA Negeri Kabila disamping tersedinya sarana dan prasarana yang representatif. Namun demikian disamping peluang tersebut pula peneliti menemukan beberapa kendala di lapangan, misalnya adanya beberapa guru yang jarak sekolah dan rumah terhitung cukup jauh, sehingga hal ini menjadi kendala dalam penerapan tingkat
37
disiplin secara menyeluruh. Masalah lainnya yang menjadi kendala dalam penerapan MBS di SMA Negeri Kabila adalah belum bersinerginya secara menyeluruh pihak sekolah dan komite dalam sosialisasi MBS, sehingga kadang antara orang tua dan pihak sekolah terjadi kesimpangsiuran dalam menerima informasi.
38