8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Teori Etika Brooks (2007) menyatakan bahwa etika merupakan cabang dari filsafat
yang menyelidiki penilaian normatif tentang apakah suatu perilaku sudah benar atau sudah sesuai dengan yang seharusnya dilakukan. Kebutuhan akan etika muncul dari keinginan untuk menghindari permasalahan-permasalahan di dunia nyata. Etika merupakan tatanan moral yang telah disepakati bersama dalam suatu profesi
dan
ditujukan
untuk
anggota
profesi.
Duska
et
al.
(2003)
mengembangkan tiga teori etika, ketiga teori tersebut digunakan untuk mengembangkan penelitian ini, yaitu: 1) Utilitarianism Theory Teori ini membahas mengenai optimalisasi pembuatan keputusan individu untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan dampak negatif. Terdapat dua macam utilitarisme. 2) Deontologi Theory Teori ini membahas mengenai kewajiban individu untuk memberikan hak kepada orang lain, sehingga dasar untuk menilai baik atau buruk suatu hal harus didasarkan pada kewajiban, bukan konsekuensi perbuatan. Deontologi menekankan bahwa perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik, melainkan karena kewajiban yang harus dilakukan (Bertens, 2000).
8
9
3) Virtue Theory Teori ini membahas watak seseorang yang memungkinkannya untuk bertingkah laku baik secara moral. Terdapat dua bagian virtue theory, yaitu: a. pelaku bisnis individual, seperti: kejujuran, fairness, kepercayaan dan keuletan. b. taraf perusahaan, seperti: keramahan, loyalitas, kehormatan, rasa malu yang dimiliki oleh manajer dan karyawan. Etika menjadi salah satu panduan bagi profesi di bidang akuntansi dalam mempertanggungjawabkan segala aktivitasnya (Januarti, 2011), termasuk dalam aktivitas pembuatan suatu keputusan, dengan harapan keputusan-keputusan yang dibuat tersebut merupakan keputusan yang etis.
2.1.2
Keputusan Etis Keputusan etis (ethical decision) merupakan keputusan yang baik secara
legal maupun moral yang dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986). Jones (1991) menyatakan ada 3 unsur utama dalam pembuatan keputusan etis. Pertama adalah moral issue, yang menyatakan seberapa jauh ketika seseorang melakukan tindakan, jika dia secara bebas melakukan itu, maka akan mengakibatkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Kedua adalah moral agent, yaitu seseorang yang membuat keputusan moral (moral decision). Dan yang ketiga adalah keputusan etis (ethical decision) itu sendiri, yaitu sebuah keputusan yang secara legal dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas.
10
Trevino (1986) menyatakan bahwa pembuatan keputusan etis seseorang akan sangat tergantung pada faktor-faktor individu. Adapun faktor-faktor individu mempengaruhi pembuatan keputusan etis yaitu idealisme (Shaub et al. 1993; Januarti, 2011; Abdurrahman dan Yuliani, 2011; Uyar dan Ozer,2011), komitmen profesional (Abdurrahman dan Yuliani,2011) dan skeptisme profesional (Gusti dan Syahril, 2008).
2.1.3
Idealisme Finn et al. (1988) mengembangkan penelitian Hunt dan Vitell (1986)
dengan menggunakan skala idealisme dan relativisme dari Forsyth (1980), dimana lingkungan budaya dan pengalaman pribadi diasumsikan membentuk orientasi etika. Forsyth (1980) dan Shaub et al. (1993) mengidentifikasi idealisme dan relativisme sebagai prediktor penting penilaian moral. Sikap idealis diartikan sebagai sikap tidak memihak dan terhindar dari berbagai kepentingan.
2.1.4
Komitmen Profesional Aranya et al. (1981) serta Aranya dan Ferris (1984) mendefinisikan
komitmen sebagai berikut: 1) sebuah kepercayaan, penerimaan tujuan dan nilai organisasi dan/atau profesi, 2) kesediaan mengerahkan usaha untuk organisasi dan/atau profesi, 3) keinginan mempertahankan keanggotaan dalam organisasi dan/ atau profesi. Kwon dan Banks (2004) menyatakan bahwa komitmen profesional diperkirakan oleh dukungan untuk kelompok, sikap positif terhadap profesi dan
11
karakteristik
pekerjaan.
Penjelasan
tentang
komitmen
profesional
juga
diungkapkan oleh Jeffrey dan Weatherholt (1996), komitmen profesional yang kuat akan mengarahkan auditor untuk taat pada aturan.
2.1.5
Skeptisme Profesional Kee dan Knox’s (1976) dalam model “Professional Scepticism Auditor”
menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1)
Faktor-faktor kecondongan etika Faktor-faktor kecondongan etika memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Etika sebagai suatu aturan atau standar yang menentukan tingkah laku para anggota dari suatu profesi. Pengembangan kesadaran etis/moral memainkan peranan kunci dalam semua area profesi akuntan (Louwers, 1997), termasuk dalam melatih sikap skeptisisme profesional akuntan.
2)
Faktor-faktor situasi Faktor-faktor situasi berperngaruh secara positif terhadap skeptisisme profesional auditor. Faktor situasi seperti situasi audit yang memiliki risiko tinggi (situasi irregularities) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya.
3)
Pengalaman Pengalaman yang dimaksudkan disini adalah pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan. Butt (1988)
12
memperlihatkan dalam penelitiannya bahwa auditor yang berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman. Jadi seorang auditor yang lebih berpengalaman akan lebih tinggi tingkat skeptisisme profesionalnya dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman. Berkaitan dengan skeptisisme ini, penelitian yang dilakukan Kee dan Knox’s (1976) menggambarkan skeptisisme profesional sebagai fungsi dari disposisi etis, pengalaman dan faktor situasional. Shaub dan Lawrence (1996) mengindikasikan bahwa auditor yang menguasai situasi yang kurang lebih terkait dengan etika profesional dapat melaksanakan skeptisisme profesionalnya dengan optimal.
2.1.6
Teori Perkembangan Moral Kognitif Kohlberg (1969) melakukan penelitian terhadap perkembangan pemikiran
remaja dan young adults. Kohlberg meneliti cara berpikir anak-anak melalui pengalaman mereka yang meliputi pemahaman konsep moral, misalnya konsep justice, rights, equality, dan human welfare. Riset awal Kohlberg dilakukan pada tahun 1963 pada anak-anak usia 10-16 tahun. Berdasarkan hasil riset tersebut Kohlberg kemudian mengemukakan teori perkembangan moral kognitif (Cognitive Moral Development). Riset Kohlberg berfokus pada perkembangan moral kognitif anak muda, yang menguji proses kualitatif pengukuran respon verbal dengan menggunakan Kohlberg’s
Moral
Judgement
Interview
(MJI).
Berdasarkan
prospektif
perkembangan moral kognitif, kapasitas moral individu menjadi lebih
13
sophisticated dan kompleks jika individu tersebut mendapatkan tambahan struktur moral kognitif pada setiap peningkatan level pertumbuhan perkembangan moral. Pertumbuhan eksternal berasal dari rewards dan punishment yang diberikan, sedangkan pertumbuhan internal mengarah pada prinsip dan keadilan universal (Kohlberg, 1969). Terdapat enam tingkatan dalam teori perkembangan moral kognitif Kohlberg. Dalam dua tahap pertama dari perkembangan moral (preconventional), orang-orang (biasanya anak-anak) membuat keputusan moral berdasarkan imbalan atau hukuman. Pada tahap ketiga dan keempat (conventional) seseorang sudah memperhatikan aturan-aturan sosial dan kebutuhan sesama. Sedangkan tahap kelima dan keenam (post-conventional) menunjukkan tahapan perkembangan moral dimana kebaikan bagi masyarakat telah dimasukkan ke dalam pemikiran moral seseorang. Tahapan perkembangan moral seseorang disajikan pada Tabel 2.1.
14
Tabel 2.1 Tahapan Cognitive Moral Development Kohlberg
LEVEL
HAL YANG BENAR
Level 1: Pre-Conventional Tingkat 1: Orientasi ketaatan dan hukuman (Punishment and Obedience Orientation)
Menghindari pelanggaran aturan untuk menghindari hukuman atau kerugian. Kekuatan otoritas superior menentukan “right”.
Tingkat 2: Pandangan individualistik (Instrumental Relativist Orientation)
Mengikuti aturan ketika aturan tersebut sesuai dengan kepentingan pribadi dan membiarkan pihak lain melakukan hal yang sama. “right” didefinisikan dengan equal exchange, suatu kesepakatan yang fair.
Level 2: Conventional Tingkat 3: Mutual ekspektasi interpersonal, hubungan dan kesesuaian (“good boy or nice girl” Orientation)
Memperlihatkan stereotype perilaku yang baik. Berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan pihak lain.
Tingkat 4: Sistem sosial dan hati nurani (Law and Order Orientation)
Mengikuti aturan hukum dan masyarakat (sosial, legal, dan sistem keagamaan) dalam usaha untuk memelihara kesejahteraan masyarakat.
Level 3: Post-Conventional Tingkat 5: Kontrak sosial dan hak individual (Social-contract Legal Orientation)
Mempertimbangkan kebaikan masyarakat, akan tetapi masih menekankan aturan dan hukum.
Tingkat 6: Prinsip etika universal (Universal Ethical Principle Orientation)
Bertindak sesuai dengan pemilihan pribadi prinsip etika keadilan dan hak (perspektif rasionalitas individu yang mengakui sifat moral).
Sumber : Kohlberg (1969)
15
2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014,
Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Maka dari itu, dalam menjalankan jasa profesionalnya tentu keputusan-keputusan yang dibuat oleh Konsultan Pajak harus berdasarkan pada peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. Hal tersebut juga berlaku pada salah satu jenis audit, yaitu audit kepatuhan. Audit kepatuhan adalah audit yang mencakup penghimpunan dan pengevaluasian bukti dengan tujuan untuk menentukan apakah kegiatan finansial maupun operasi tertentu dari suatu entitas sesuai dengan kondisi-kondisi, aturan-aturan, dan regulasi yang telah ditentukan (Halim,
2008).
(correctness),
Ukuran misalnya:
kesesuaian
audit
SPT-Tahunan
kepatuhan
dengan
adalah
ketepatan
Undang-Undang
Pajak
Penghasilan. Maka dari itu, dipandang relevan untuk menggunakan penelitianpenelitian tentang pembuatan keputusan etis auditor sebagai refrensi dalam penelitian pembuatan keputusan etis konsultan pajak. Shaub et al. (1993) meneliti pengaruh orientasi etika pada komitmen profesi dan organisasi, serta sensitivitas etika dengan teknik analisis Multivariate Analysis of Variance (Manova). Hasil penelitiannya adalah orientasi etika mempengaruhi sensitivitas etika, komitmen profesi dan organisasi. Fallah (2006) meneliti tentang pengaruh budaya etis organisasi dan orientasi etis terhadap sensitivitas etika. Metode pengumpulan sampel yang
16
digunakan dalam penelitian ini adalah survey. Sampel berjumlah 116 aparatur Bawasda di Provinsi Papua. Teknik analisis yang digunakan adalah Path Analysis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa budaya etis organisasi berpengaruh pada idealisme dan tidak pada relativisme, sedangkan relativisme berpengaruh signifikan pada sensitivitas etika dan idealisme tidak berpengaruh terhadap sensitivitas etika. Gusti dan Syahril (2007) meneliti pengaruh hubungan skeptisisme profesional auditor, situasi audit, etika, pengalaman serta keahlian audit dengan ketepatan pemberian opini auditor oleh akuntan publik. Populasinya adalah Kantor Akuntan Publik yang berada di wilayah Sumatera. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Linear Berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa skeptisme profesional dan situasi audit berpengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini audit, sedangkan etika, pengalaman dan keahlian audit tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini audit. Aziza dan Salim (2007) meneliti tentang pengaruh orientasi etika pada komitmen dan sensitivitas etika auditor. Sampel dalam penelitian ini adalah auditor di wilayah Bengkulu dan Sumatera Selatan. Teknik analisis data yang digunakan adalah Path Analysis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orientasi etika berpengaruh signifikan terhadap komitmen dan sensitivitas etika, sedangkan komitmen profesional dan organisasional tidak berpengaruh terhadap sensitivitas etika. Januarti (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh pengalaman
17
auditor, komitmen profesional, orientasi etis, dan nilai etika pada persepsi dan pertimbangan etis. Sampel penelitian berjumlah 183 auditor BPK di Jakarta dan Semarang. Teknik analisis yang digunakan adalah Regresi Linear Berganda. Hasilnya adalah orientasi etis berpengaruh signifikan terhadap persepsi dan pertimbangan etis, sedangkan pengalaman, komitmen profesional, dan nilai etika organisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap persepsi dan pertimbangan etis. Abdurrahman dan Yuliani (2011) meneliti tentang determinasi pembuatan keputusan etis auditor internal, dengan sampel penelitian auditor internal pada BUMN dan BUMD di Magelang dan Tumanggung. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Linear Berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orientasi etika (yang diukur dengan indikator idealisme), komitmen profesional dan independensi berpengaruh signifikan terhadap pembuatan keputusan etis, sedangkan pengalaman auditor tidak berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etis. Uyar dan Ozer (2011) mengembangkan penelitian tentang pengaruh orientasi etika pada pembuatan keputusan etis dan komitmen profesional, yang merupakan studi empiris pada akuntan di Turki. Teknik analisis data yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa akuntan yang memiliki idealisme yang tinggi cenderung untuk tidak membuat keputusan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dibandingkan dengan akuntan yang memiliki sikap relativis. Ashari (2013) meneliti tentang pengaruh persepsi tentang korupsi pada skeptisme profesional, dukungan anti korupsi, sensitivitas etika dan penilaian
18
risiko. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bawasda di wilayah Republik Indonesia. Teknik analisis data yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persepsi tentang korupsi berpengaruh terhadap perilaku antikorupsi, dukungan antikorupsi berpengaruh terhadap penilaian risiko, sensitivitas etika berpengaruh terhadap persepsi tentang korupsi, skeptisme profesional tidak berpengaruh terhadap sensitivitas etika dan skeptisme profesional berpengaruh terhadap penilaian resiko.