5
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Rumput Laut (Seaweeds) 2.1.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut Rumput laut tergolong tanaman tingkat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati, tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Rumput laut tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya. Selain pada benda mati, rumput laut pun dapat melekat pada tumbuhan lain secara epifitik (Anggadiredja et al., 2006). Menurut Othmer (1968) dalam Anggadiredja et al. (2006), secara taksonomi rumput laut dikelompokkan ke dalam Divisio Thallophyta. Berdasarkan kandungan pigmennya, rumput laut dikelompokkan menjadi empat kelas : Rhodophyceae (ganggang merah), Phaeophyceae (ganggang cokelat), Chlorophyceae (ganggang hijau), dan Cyanophyceae (ganggang biru-hijau). Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor oseanografi (fisika, kimia, dan pergerakan atau dinamika air laut) serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi dari sekitarnya secara difusi melalui dinding thallusnya. Perkembangbiakan dilakukan dengan dua cara, yaitu secara vegetatif dengan thallus dan secara generatif dengan thallus diploid yang
6
menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif dikembangkan dengan cara stek sementara perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora, baik alamiah maupun budidaya. Faktor biologi utama yang menjadi pembatas produktivitas rumput laut yaitu faktor persaingan dan pemangsa dari hewan herbivora. Selain itu dapat pula dihambat oleh faktor morbiditas dan mortalitas rumput laut itu sendiri. Morbiditas dapat disebabkan oleh penyakit akibat dari infeksi mikroorganisme, tekanan lingkungan perairan (fisika dan kimia perairan) yang buruk, serta tumbuhnya tanaman penempel (parasit). Sementara mortalitas dapat disebabkan oleh pemangsaan hewan-hewan herbivora (Anggadiredja et al., 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertumbuhan dan penyebaran rumput laut seperti halnya biota perairan lainnya sangat dipengaruhi oleh toleransi fisiologi dari biota tersebut untuk beradaptasi terhadap faktor-faktor lingkungan seperti substrat, salinitas, temperatur, intensitas cahaya, tekanan, dan nutrisi. Secara umum, rumput laut dijumpai tumbuh di daerah perairan yang dangkal (intertidal dan sublitoral) dengan kondisi dasar perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran keduanya. Rumput laut memiliki sifat benthic (melekat) dan disebut juga benthic algae. Disamping itu, rumput laut juga hidup sebagai fitobentos dengan cara melekatkan thallusnya pada substrat pasir, lumpur berpasir, karang, fragmen karang mati, kulit kerang, batu atau kayu.
7
2.1.2. Alga Merah (Rhodophyta) Ganggang merah atau Rhodophyta adalah salah satu kelas dari ganggang berdasarkan zat warna atau pigmentasinya. Warna merah pada ganggang ini disebabkan oleh pigmen fikoeritrin dalam jumlah banyak dibandingkan pigmen klorofil, karoten, dan xantofil. Ganggang ini pada umumnya bersel banyak (multicelluler) dan makroskopis. Ganggang ini dapat mencapai panjang antara 10 sentimeter sampai 1 meter dan berbentuk benang atau lembaran. Ismail (1995), menambahkan beberapa ciri alga merah antara lain : sekitar 3000 spesies alga merah (Divisi Rhodophyta) terdapat di laut, pigmen yang dominan adalah fikoeritrin, dinding sel dari selulosa, makanan simpanan utama adalah kanji floridean, sangat peka terhadap cahaya, pigmen merah mampu menyerap cahaya biru dan ungu, kebanyakan ditemukan di air dalam, Thallus tidak menunjukkan variasi yang besar dari segi ukuran dan struktur, kebanyakan berfilamen tetapi ketebalan dan lebar filamen sangat berbeda serta biasa ditemukan menggumpal di pantai pada saat air surut. Ganggang merah berkembangbiak secara vegetatif dan generatif. Perkembangbiakan
vegetatif
ganggang
merah
berlangsung
dengan
pembentukan spora haploid yang dihasilkan oleh sporangium atau thallus ganggang yang diploid. Spora ini selanjutnya tumbuh menjadi ganggang jantan atau betina yang sel-selnya haploid.
8
Perkembangbiakan generatif ganggang merah dengan oogami, pembuahan sel kelamin betina (ovum) oleh sel kelamin jantan (spermatium). Alat perkembangbiakan jantan disebut spermatogonium yang menghasilkan spermatium yang tak berflagel. Sedangkan alat kelamin betina disebut karpogonium, yang menghasilkan ovum. Hasil pembuahan sel ovum oleh spermatium adalah zigot yang diploid. Selanjutnya, zigot itu akan tumbuh menjadi ganggang baru yang menghasilkan aplanospora dengan pembelahan meiosis. Spora haploid akan tumbuh menjadi ganggang penghasil gamet. Jadi pada ganggang merah terjadi pergiliran keturunan antara sporofit dan gametofit (Anonim, 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ganggang merah dapat menyediakan makanan dalam jumlah banyak bagi ikan dan hewan lain yang hidup di laut. Jenis ini juga menjadi bahan makanan bagi manusia misalnya Chondrus crispus (lumut Irlandia) dan beberapa genus Porphyra. Chondrus crispus dan Gigortina mamilosa menghasilkan karagen yang dimanfaatkan untuk penyamak kulit, bahan pembuat krem, dan obat pencuci rambut. Ganggang merah lain seperti Gracilaria lichenoides, Eucheuma spinosum, Gelidium dan Agardhiella menghasilkan bahan bergelatin yang dikenal sebagai agar-agar. Gelatin ini digunakan oleh para peneliti sebagai medium bakteri, untuk pengental dalam banyak makanan, perekat tekstil dan sebagai obat pencahar (laksatif), atau makanan lainnya. Eucheuma spinosum banyak dibudidayakan masyarakat karena merupakan bahan pembuat agar-agar (Anonim, 2010).
9
2.1.3. Taksonomi Eucheuma cottonii Dalam dunia perdagangan nasional dan internasional, nama Kappaphycus alvarezii umumnya lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii, sedangkan di kalangan akademisi digunakan nama Kappaphycus alvarezii karena hasil penelitian membuktikan bahwa rumput laut ini banyak menghasilkan karagenan jenis Kappa. Adapun taksonomi dari Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut (Yani, 2010) : Divisio
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Sub Klas
: Florideophycidae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Soliericeae
Genus
: Eucheuma
Spesies
: Eucheuma cottonii
Gambar 2.1 Eucheuma cottonii di Teluk Gerupuk
10
Ciri-ciri morfologi Eucheuma cottonii yaitu thallus silindris, permukaan licin, substansi thalli ”cariilagineus” (lunak seperti tulang rawan), warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Penampakan thalli bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks, memiliki duri-duri atau benjolan-benjolan yang tidak tersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerah basal (pangkal). Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk (DKP, 2005). 2.1.4. Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii Faktor utama penunjang keberhasilan budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang tepat. Pertumbuhan rumput laut sangat ditentukan oleh kondisi ekologi setempat. Penentuan lokasi harus disesuaikan dengan metode budidaya yang akan digunakan. Penentuan lokasi yang salah akan berakibat fatal bagi usaha budidaya yang dilakukan. Dalam pemilihan lokasi untuk budidaya rumput laut, ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor resiko, kemudahan (aksesibilitas), dan faktor ekologis. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan saling berpengaruh (DKP, 2005). Selain lokasi budidaya, juga perlu dipertimbangkan metode budidaya yang akan digunakan. Metode budidaya rumput laut perlu disesuaikan dengan kondisi lahan budidaya, misalnya pada perairan dangkal bisa
11
menggunakan metode jaring lepas dasar bentuk tabung. Jika gerakan air cenderung tenang dapat menggunakan metode budidaya dasar laut. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, DKP (2005), menjelaskan beberapa metode budidaya rumput laut yang umum dilakukan di Indonesia yaitu sebagai berikut : metode lepas dasar, metode rakit apung, metode rawai, metode jalur, dan metode keranjang. a) Metode Lepas Dasar Metode ini dilakukan di atas dasar perairan yang berpasir atau pasir berlumpur. Hal ini penting untuk penancapan patok. Patok terbuat dari kayu yang kuat dengan diameter sekitar 10 cm sepanjang 1 meter yang salah satu ujungnya runcing. b) Metode Rakit Apung Metode rakit apung adalah cara pembudidayaan rumput laut dengan menggunakan rakit terbuat dari bambu atau kayu. Metode ini cocok digunakan pada perairan berkarang dengan pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Metode ini cocok digunakan pada kedalaman lebih dari 2 meter. Keuntungan pemeliharaan dengan metode ini adalah mudah dilakukan, gangguan hama sedikit, pemilihan lokasi lebih fleksibel dan intensitas cahaya matahari lebih besar. Kelemahan metode ini adalah biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan relatif tinggi, tanaman sering muncul ke permukaan terutama pada saat laut kurang berombak sehingga
12
dapat menyebabkan cabang-cabang tanaman menjadi pucat karena kehilangan pigmen. c) Metode Rawai (long line) Metode rawai adalah metode budidaya dengan menggunakan tali panjang yang dibentangkan. Metode ini banyak diminati oleh masyarakat karena alat dan bahan yang digunakan lebih tahan lama, lebih murah dan mudah didapat. d) Metode Jalur (kombinasi) Metode menggunakan kombinasi antara metode rakit dan metode rawai. Kerangka metode ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar. Pada kedua ujung setiap bambu dihubungkan dengan tali sehingga membentuk persegi panjang dengan ukuran 5x7 meter per petak, satu unit terdiri dari 7-10 petak. Pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar seberat 100 kg. e) Metode Keranjang (kantong jaring) Metode ini menggunakan kantong jaring sebagai wadah produksi. Kantong jaring tersebut digantungkan pada tambang apung (long line) atau rakit. Metode ini menggunakan solusi budidaya rumput laut dalam mengatasi masalah serangan predator ikan baronang dan penyu. Persyaratan aplikasi metode ini adalah adanya arus laut yang kuat (0,25 – 0,4 m/det) sehingga memungkinkan sirkulasi air laut menembus kantong dan biomassa rumput laut didalamnya. Apabila arus kurang kuat dapat menyebabkan rumput laut di dalam kantong akan mati dan
13
membusuk. Hal ini disebabkan sirkulasi air tidak cukup untuk mensuplai oksigen dan nutrien ke dalam biomassa rumput laut di dalam kantong. 2.2. Ikan Kerapu 2.2.1. Biologi dan Ekologi Ikan Kerapu Ikan kerapu merupakan jenis ikan yang hidup di perairan terumbu karang, yang dalam dunia internasional dikenal dengan nama grouper, trout atau coral reef fish. Ikan ini mempunyai sekitar 46 spesies yang tersebar di berbagai jenis dan habitat. Dari seluruh spesies yang ada, ikan kerapu dikelompokkan dalam tujuh genus di mana tiga diantaranya adalah genus yang sudah dibudidayakan dan termasuk jenis komersial yaitu genus Cromileptes, Plectropomus dan Epinephelus. Dalam salah satu laporan penelitian, dijelaskan bahwa dalam siklus hidupnya pada umumnya kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m. Telur dan larvanya bersifat pelagis, sedangkan kerapu muda dan dewasa bersifat demersal. Habitat favorit larva dan kerapu tikus muda adalah perairan pantai dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun (Anonim, 2006). Kerapu Bebek atau Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis), Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus), Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) adalah jenis-jenis kerapu yang banyak terdapat di Indonesia dan memiliki nilai ekonomis tinggi serta sangat potensial untuk dikembangkan. Diantara jenis-jenis kerapu ini,
14
Kerapu Bebek mempunyai harga yang paling tinggi di pasaran (LAPAN, 2004).
Kerapu Tikus atau Kerapu Bebek Cromileptes altivelis
Kerapu Sunu Plectropomus leopardus
Kerapu Macan Ephinephelus fuscoguttatus
Kerapu Lumpur Epinephelus tauvina
Kerapu Malabar Epinephelus malabaricus/ Estuarine grouper
Kerapu Ketang Epinephelus lanceolatus /Giant grouper
Gambar 2. 2 Jenis Ikan Kerapu yang Telah Dibudidayakan (LAPAN, 2004) Spesies kerapu komersial Cromileptes altivelis merupakan jenis kerapu yang saat ini paling mahal. Jenis kerapu ini disebut juga polka dot grouper atau hump backed rocked atau dalam bahasa lokal sering disebut ikan Kerapu Bebek/Tikus. Ciri-ciri tubuh adalah berwarna dasar abu-abu dengan bintik hitam. Ikan yang muda merupakan ikan hias laut yang
15
mempunyai bintik lebih besar serta lebih sedikit dibandingkan ikan yang lebih tua. Daerah habitatnya tersebar di Kepulauan Seribu, Kepulauan Riau, Bangka dan Lampung. Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus) yang dikenal sebagai coral trout atau spotted coral grouper sering ditemukan hidup di perairan berkarang. Warna tubuh merah atau kecoklatan sehingga disebut juga kerapu merah, di mana warnanya bisa berubah apabila dalam kondisi stres. Mempunyai bintik-bintik biru bertepi warna lebih gelap. Daerah habitatnya tersebar di perairan Kepulauan Karimunjawa, Kepulauan Seribu, Lampung Selatan, Kepulauan Riau dan Bangka Selatan (LAPAN, 2004). Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) atau brown marbled grouper mempunyai warna dasar hitam berbintik-bintik rapat yang berwarna gelap sehingga disebut juga kerapu hitam, sirip dada kerapu macan berwarna kemerahan, sedangkan bagian pinggir sirip-sirip lainnya berwarna cokelat kemerahan. Kerapu Lumpur atau green grouper (Epinephelus tauvina) mempunyai warna dasar abu-abu muda dengan bintik coklat dan mempunyai lima pita vertikal berwarna gelap. Kedua spesies ini paling banyak dikenal dan dibudidayakan karena laju pertumbuhannya yang cepat dan benih relatif lebih banyak ditemukan. Daerah habitat banyak ditemukan di Teluk Banten, Segara Anakan, Kepulauan Seribu dan Lampung (Sunyoto, 1993). Disamping keempat spesies tersebut, terdapat juga beberapa spesies kerapu lain yang sudah dibudidayakan yaitu Kerapu Malabar (Epinephelus
16
malabaricus), Kerapu Batik (Epinephelus microdon) dan Kerapu Kertang (Epinephelus lanceolatus). 2.2.2. Budidaya Kerapu dengan Keramba Jaring Apung (KJA) Kontruksi KJA yang terbaik adalah terdiri dari keramba-keramba jaring yang dipasangkan pada rakit terapung. Untuk membuat KJA, pertama adalah pembuatan rakit apung yang bahan bakunya bisa dari kayu, bambu, pipa besi atau paralon dan dilengkapi pelampung untuk mengapungkannya. Pelampung yang digunakan biasanya adalah : drum plastik, drum oli atau pelampung stereofoam. Ukuran rakit bervariasi, umumnya dibuat 8 m × 8 m per unit dengan 4 petak keramba jaring berukuran 3 m × 3 m × 3 m dibawahnya. Dalam satu lokasi biasanya terpasang beberapa unit rakit, dimana salah satunya dilengkapi rumah jaga untuk memudahkan pekerjaan perawatan dan pengawasan di lokasi. Selanjutnya yaitu pembuatan dan penyiapan 3 macam keramba jaring, yaitu untuk pendederan (pemeliharaan yang dimulai saat benih ikan kerapu berukuran 2–3 cm dengan bobot ratarata 1,2 gram), penggelondongan (dimulai saat ukuran mencapai 25 – 50 gram/ekor) dan pembesaran dimulai saat ukuran mencapai 75 – 100 gram/ekor (Trubus, 2000).
17
Gambar 2. 3 Keramba Jaring Apung di Teluk Gerupuk 2.3. Parameter Perairan Berikut ini adalah beberapa parameter yang penting dalam kegiatan budidaya rumput laut dan ikan kerapu dalam keramba jaring apung. 2.3.1. Kedalaman Kedalaman merupakan salah satu faktor penting dalam usaha budidaya laut karena berkaitan dengan penetrasi cahaya, sebaran nutrien dan oksigen yang berguna bagi pertumbuhan. Selain itu kedalaman juga menentukan jenis metode budidaya yang akan digunakan pada budidaya rumput laut, sedangkan untuk budidaya kerapu kedalaman merupakan faktor yang sangat penting untuk kemudahan pemasangan dan penempatan keramba jaring dan membantu proses budidaya yang akan dilakukan. Kedalaman air yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah antara 2-15 m pada saat surut terendah untuk metode apung. Hal ini akan menghindari rumput laut mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada waktu surut terendah dan memperoleh
18
(mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari secara langsung pada waktu air pasang (DKP, 2005). Pada budidaya ikan kerapu, kedalaman perairan ideal menggunakan keramba jaring apung adalah 5 – 15 meter. Perairan yang terlalu dangkal, kurang dari 5 meter, dapat berpengaruh terhadap kualitas air karena penumpukan sisa makanan dan kotoran ikan yang membusuk. Selain itu, pada perairan dangkal sering terjadi kerusakan jaring akibat serangan ikan perusak seperti buntal (Diodon sp). Sebaliknya pada perairan yang curam dan dalam sangat menyulitkan untuk penempatan keramba jaring apung, terutama untuk menentukan panjang jangkar yang dibutuhkan (Akbar dan Sudaryanto, 2002). 2.3.2. Oksigen Terlarut (DO) Kadar oksigen terlarut atau DO (Dissolved Oxygen) dapat dijadikan ukuran untuk menentukan mutu air. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 ppm. Selebihnya bergantung kepada ketahanan organisme, derajat aktivitasnya, kehadiran pencemar, suhu air dan sebagainya. Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan, sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri.
19
Hal ini disebabkan karena oksigen terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Romimohtarto, 2003). Menurut Dahuri et al., (2001), konsentrasi dan distribusi oksigen di laut ditentukan oleh kelarutan gas oksigen dalam air dan proses biologi yang mengontrol tingkat konsumsi dan pembebasan oksigen. Proses fisik juga mempengaruhi kecepatan oksigen memasuki dan terdistribusi di dalam laut. Menurut Jeffries dan Mills (1996), kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35 %) dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Namun pada hakikatnya difusi oksigen dari atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air. Oleh karena itu, sumber utama oksigen di perairan adalah fotosintesis (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Untuk kepentingan perikanan, perairan sebaiknya memiliki kadar oksigen tidak kurang dari 5 mg/l. Swingle (1969) dalam Effendi (2003) mengemukakan
hubungan
antara
kadar
oksigen
terlarut
dengan
kelangsungan hidup ikan di kolam seperti disajikan pada Tabel 2. 1. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman,
tergantung
pada
percampuran
(mixing)
dan
pergerakan
(turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Untuk pertumbuhan rumput laut dibutuhkan
20
jumlah oksigen terlarut dalam perairan sebanyak 2 – 4 mg/l, tetapi pertumbuhan lebih baik jika oksigen terlarut berada di atas 4 mg/l (Indriani dan Sumiarsih, 1991). Tabel 2. 1. Pengaruh Kadar Oksigen Terlarut Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan Oksigen Terlarut (mg/l)
Kelangsungan Hidup Ikan
< 0,3
Hanya sedikit jenis ikan dapat bertahan pada masa pemaparan singkat (short exposure)
0,3 – 1,0
Pemaparan lama (prolonged exposure) dapat mengakibatkan kematian ikan
1,0 – 5,0
Ikan dapat bertahan hidup tetapi pertumbuhan terganggu
Kisaran nilai yang disukai oleh hampir semua organisme akuatik Sumber : Swingle (1969) dalam Effendi (2003) > 5,0
2.3.3. Salinitas Salinitas adalah konsentrasi dari total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1988). Dengan kata lain salinitas merupakan konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat dalam air laut. Konsentrasi ini pada umumnya sebesar 35 % dari berat seluruhnya dan biasanya lebih sering disebut bilangan perseribu atau 0/00 atau permil (Hutabarat dan Evans, 1985). Hampir semua organisme laut hanya dapat hidup pada daerah-daerah yang mempunyai perubahan salinitas yang sangat kecil. Salinitas lebih stabil di lautan terbuka, walaupun di beberapa tempat kadang-kadang mereka menunjukkan adanya fluktuasi perubahan. Salinitas suatu perairan dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya (muara sungai atau gurun pasir), musim, serta interaksi antara laut dengan
21
daratan / gunung es. Kisaran salinitas air laut berada antara 0 – 40 0/00, yang berarti kandungan garam berkisar antara 0 – 40 g/kg air laut. Secara umum, salinitas permukaan perairan Indonesia rata-rata berkisar antara 32 – 34 0/00. Menurut Aslan (1998), kisaran salinitas yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah 30 – 37 0/00 (Dahuri et al., 2001). Dalam budidaya ikan kerapu, perairan yang berdekatan dengan muara tidak dianjurkan untuk lokasi budidaya ikan kerapu. Pada lokasi ini salinitasnya sangat berfluktuasi karena dipengaruhi masuknya air tawar dari sungai. Fluktuasi tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan dan nafsu makan ikan. Selain itu lokasi yang berdekatan dengan muara sering mengalami stratifikasi perbedaan salinitas yang dapat menghambat masuknya oksigen dari udara ke air. Adapun salinitas perairan yang ideal untuk budidaya ikan kerapu adalah 30 – 33 ‰ (Akbar dan Sudaryanto, 2002). 2.3.4. Suhu Suhu merupakan ukuran energi gerakan molekul. Pada perairan samudera, suhu bervariasi secara horizontal sesuai dengan garis lintang dan juga secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken, 1992). Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh radiasi matahari, posisi matahari, letak geografis, musim, kondisi awan, serta proses interaksi antara air dan udara seperti alih panas (heat), penguapan, dan hembusan angin
22
(Dahuri et al. 2001). Selain itu menurut Effendi (2003), suhu suatu badan air juga dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Suhu yang terlalu rendah akan menyebabkan aktifitas biokimia dalam
thallus
terhenti,
terganggunya
tahap-tahap
reproduksi
dan
terhambatnya pertumbuhan, sedangkan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan rusaknya enzim dan hancurnya mekanisme biokimia. Perbedaan suhu air yang terlalu besar antara siang dan malam hari dapat juga mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Hal ini sering terjadi di perairan
yang
terlalu
dangkal.
Peningkatan
suhu
mengakibatkan
peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya (Haslam, 1995). Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan 10 °C suhu perairan meningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 - 3 kali lipat. Peningkatan suhu ini dibarengi dengan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan, sehingga keberadaan oksigen di perairan kadangkala tak mampu memenuhi peningkatan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme akuatik untuk metabolisme dan respirasi. Dekomposisi bahan organik oleh mikroba juga
23
menunjukkan peningkatan dengan semakin meningkatnya suhu. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah sekitar 20 - 30 °C (Effendi, 2003). Perairan laut cenderung bersuhu konstan. Perubahan suhu yang tinggi dalam suatu perairan laut akan mempengaruhi proses metabolisme, aktivitas tubuh dan syaraf ikan. Suhu perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar antara 27 – 29 °C (Akbar dan Sudaryanto, 2002). Sedangkan untuk rumput laut biasanya tumbuh sesuai pada kisaran suhu 28 – 30 0C (Aslan, 1998) atau berkisar antara 26-30 0C (Anggadiredja et al, 2006). 2.3.5. Kecerahan Berkas cahaya yang jatuh ke permukaan air, sebagiannya akan dipantulkan dan sebagian lagi akan diteruskan ke dalam air. Jumlah cahaya yang dipantulkan tergantung pada sudut jatuh dari sinar dan keadaan perairan. Air yang senantiasa bergerak menyebabkan pantulan sinar menyebar ke segala arah. Sinar yang melewati media air sebagian di absorbsi dan sebagian di scatter (Sidjabat, 1976). Penetrasi cahaya menjadi rendah apabila tingginya kandungan partikel tersuspensi di perairan dekat pantai, akibat aktivitas pasang surut dan juga tingkat kedalaman (Hutabarat dan Evans, 1985 ; Sastrawijaya, 2000).
Pada pengukuran intensitas cahaya, ada dua variabel yang dapat di ukur yaitu kekeruhan dan kecerahan. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan
24
disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1976 ; Davis dan Cornwell, 1991). Kekeruhan atau turbiditas disebabkan oleh adanya partikel tersuspensi dan terlarut dalam air, seperi jasad renik, lumpur, bahan organik, tanah liat dan zat koloid serta benda terapung lainnya yang tidak mengendap dengan segera. Kekeruhan dapat mempengaruhi pernapasan ikan, proses fotosintesa dan produktivitas primer. Dalam budidaya ikan, nilai kekeruhan (turbidity) berkisar antara 2-30 NTU (Nephlelometric Turbidity Unit). Padatan tersuspensi yang tinggi akan mengganggu pernapasan ikan karena partikel-partikel tersebut dapat menutupi insang. Padatan tersuspensi perairan untuk usaha budidaya laut adalah berkisar antara 5-25 ppm (Akbar dan Sudaryanto, 2002). Padatan tersuspensi berkorelasi positif terhadap kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, maka nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Akan tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti tingginya nilai kekeruhan. Misalnya, air laut memiliki padatan terlarut tinggi tetapi tidak berarti memiliki kekeruhan yang tinggi. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan (Effendi, 2003).
25
Kekeruhan sangat berkaitan dengan kecerahan. Kecerahan adalah tingkat daya penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam air, dimana nilainya berbanding terbalik dengan nilai kekeruhan. Tingkat penetrasi cahaya yang masuk keperairan tentunya akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis dan respirasi rumput laut. Perairan dengan kekeruhan kurang dari 5 NTU termasuk ke dalam perairan jernih. NTU (Nephelometric Turbidity Unit) adalah satuan yang biasa yang digunakan untuk menyatakan nilai kekeruhan perairan (Effendi, 2003) Lebih lanjut dikatakan bahwa kecerahan perairan juga merupakan salah satu indikator dalam penentuan lokasi budidaya ikan kerapu dengan KJA. Perairan dengan tingkat kecerahan sangat rendah menandakan bahan organik terlarut sangat tinggi yang berarti perairan tersebut cukup subur dan tidak baik digunakan. Perairan yang sangat subur akan mempercepat perkembangan organisme penempel seperti lumut, cacing dan kerangkerangan. Perairan dengan tingkat kecerahan sangat tinggi (jernih) sangat baik untuk lokasi budidaya dan kecerahan yang cocok untuk budidaya ikan kerapu dengan KJA harus lebih dari dua meter. Menurut Mubarak et al. (1990), tingkat kejernihan air sebaiknya tidak kurang dari 5 meter dengan jarak pandang horizontal. Air yang keruh mengandung partikel halus yang melimpah yang akan menutupi thallus tanaman sehingga menghambat penyerapan makanan dan cahaya untuk proses fotosintesis.
26
Dalam usaha perikanan, cahaya merupakan faktor penting bagi kehidupan ikan dalam pemangsaan, tingkah laku reproduksi, mencari perlindungan, orientasi migrasi, pola pertumbuhan (Bal and Rao, 1984 ; Brotowidjoyo et al, 1995), dan fase metabolisme ikan (Brown and Gratzek, 1980). Kecerahan perairan yang baik untuk budidaya perikanan berkisar antara 5-10 meter (Bakosurtanal, 1996 ; Wibisono, 2005).
2.3.6. Derajat Keasaman (pH) Menurut Nybakken (1992), kadar pH perairan merujuk kepada aktivitas ion hidrogen di dalamnya dan digambarkan sebagai logaritma dari timbal balik aktivitas ion hidrogen dalam mol per liter pada temperatur yang ditentukan. Istilah pH digunakan secara luas untuk menyatakan kondisi asam atau basa suatu larutan. Selanjutnya dikatakan juga bahwa jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan tolak ukur keasaman. Pada umumnya nilai pH rendah bersamaan dengan rendahnya kandungan mineral yang ada atau sebaliknya, dimana mineral tersebut digunakan sebagai nutrien di dalam siklus produksi perairan dan pada umumnya perairan yang alkali lebih produktif daripada perairan yang asam. Ketika pH bernilai antara 0 sampai 7, hal ini berarti suatu larutan berada pada kisaran asam, dan sebaliknya ketika pH bernilai antara 7 sampai 14, hal tersebut menunjuk pada kisaran basa. Nilai pH perairan pada umumnya berkisar antara 6,5 sampai 9,0 (Canter and Hill, 1981).
27
Tabel 2. 2. Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan Nilai pH Pengaruh Umum
6,0 - 6,5
• Keanekaragaman plankton dan benthos mengalami sedikit penurunan. • Kelimpahan total, biomassa dan produktivitas tidak mengalami perubahan.
5,5 - 6,0
• Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan benthos semakin nampak. • Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan berarti. • Algae hijau berfilamen mulai nampak pada zona litoral.
5,0 - 5,5
• Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan benthos semakin besar. • Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan benthos. • Algae hijau berfilamen semakin banyak. • Proses nitrifikasi terhambat.
4,5 - 5,0
• Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan benthos semakin besar. • Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan benthos. • Algae hijau berfilamen semakin banyak. • Proses nitrifikasi terhambat.
Sumber : Novotny dan Olem (1994) dalam Effendi (2000) Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH pada kisaran 7,0 – 8,5. Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Tabel 2. 2 menyajikan pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Kisaran pH yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah yang cenderung basa (Aslan, 1998). Djurjani (1999),
28
menyatakan bahwa rumput laut pada umumnya dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH antara 6,5 – 9,5. Kondisi perairan dengan pH netral sampai sedikit basa sangat ideal untuk kehidupan ikan air laut. Suatu perairan yang ber-pH rendah dapat mengakibatkan aktivitas pertumbuhan menurun atau ikan menjadi lemah serta lebih mudah terinfeksi penyakit dan biasanya diikuti dengan tingginya tingkat kematian. Ikan kerapu akan sangat baik pertumbuhannya bila dipelihara pada air laut dengan pH berkisar antara 8,0 sampai 8,2 (Akbar dan Sudaryanto, 2002). 2.3.7. Kecepatan Arus Arus merupakan perpindahan massa air dari satu tempat ke tempat lain yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti gradien tekanan, hembusan angin, perbedaan densitas, atau pasang surut. Arus yang relatif kuat di sebagian besar perairan di dunia diakibatkan oleh angin dan pasang surut. Pola sirkulasi arus di suatu perairan akan sangat menentukan arah dan sebaran dari materi yang terkandung (dibawa) oleh badan air yang mengalir bersama arus tersebut (Nontji, 1993). Koesoebiono (1981), menyatakan bahwa adanya arus di laut juga sangat berperan dalam penyebaran unsur hara, pergerakan massa air ini membawa nutrien pada massa air yang terangkut dari suatu daerah ke daerah yang lain. Pergerakan air yang cukup besar dapat menunjang proses
29
difusi dan absorpsi unsur dalam proses fotosintesis serta keluarnya hasilhasil metabolisme organisme. Kisaran arus yang alami untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma sp antara 0.2 – 0.4 m/det. Dengan kondisi seperti ini, akan mempermudah penggantian dan penyerapan hara yang diperlukan oleh tanaman, tetapi tidak sampai merusak tanaman (Anggadiredja et al., 2006). Pada budidaya kerapu, perairan terbuka yang mengalami hempasan gelombang besar dan angin yang kuat tidak disarankan sebagai lokasi pembesaran. Lokasi demikian dapat merusak konstruksi sarana pembesaran (rakit) dan dapat mengganggu aktivitas budidaya seperti pemberian pakan. Tinggi gelombang yang disarankan untuk pembesaran kerapu bebek tidak lebih dari 0,5 meter (Akbar dan Sudaryanto, 2002). Kecepatan arus dan arah arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air untuk mengeliminasi dan mengangkut bahan pencemar serta perkiraan pergerakan bahan pencemar mencapai lokasi tertentu. Satuan kecepatan arus adalah meter per detik (m/detik). Jika air tidak mengalir akan mengakibatkan de-oksigenasi (kekurangan oksigen terlarut), timbulnya serangan penyakit, tertimbunnya hasil pembusukan dan menyebabkan air jadi kotor serta penebalan endapan. Tetapi, dalam budidaya ikan perlu diperhatikan pula arah dan kekuatan arus air, di mana arus yang kuat akan menimbulkan gelombang yang tinggi sehingga akan menganggu dan merusak keramba jaring yang dipakai. Oleh karena itu jumlah keramba dan peletakan keramba jaring apung di suatu
30
wilayah perairan harus memperhatikan kondisi aliran air laut (Trisakti et al., 2002). Kecepatan arus yang ideal untuk budidaya ikan kerapu dengan KJA yaitu antara 15 – 30 cm/detik. Arus air lebih dari 30 cm/detik dapat mempengaruhi posisi jaring dan sistem penjangkaran. Kuatnya arus dapat menyebabkan bergesernya posisi rakit. Sebaliknya, arus air yang terlalu kecil dapat mengurangi pertukaran air keluar masuk jaring. Hal ini akan berpengaruh pada ketersediaan oksigen terlarut dan penyakit, terutama parasit akan mudah menyerang ikan kerapu (Akbar dan Sudaryanto, 2002).
2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.4.1. Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi : (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan menipulasi data, (d) keluaran (Aronoff, 1989). Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat digunakan untuk memproses data georeferensi dan memberikan jawaban yang meliputi pertanyaan, pernyataan, fakta-fakta tentang sesuatu yang terdapat di lokasi, distribusi
31
seleksi fenomena, gambaran kejadian yang terjadi sebelumnya, gambaran atas peristiwa yang spesifik, atau hubungan dan sistematis pola suatu wilayah (Lo, 1996). Pada perkembangan selanjutnya, SIG berfungsi sebagai suatu sistem pendukung pengambilan keputusan yang didalamnya mengintegrasikan data keruangan untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan (Cowen, 1988). Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) menjanjikan pengelolaan sumber daya dan pembuatan model terutama model kuantitatif menjadi lebih mudah dan sederhana. SIG merupakan suatu cara yang efisien dan efektif untuk mengetahui karakteristik lahan suatu wilayah dan potensi pengenibangannya. Aplikasi SIG untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut telah banyak digunakan seperti penyusunan basis data wilayah pesisir dan evaluasi kesesuaian lahan pesisir (Tahir et al., 2002) monitoring dan manajemen shoreline (Li, 1998), dan perencanaan zone (Bhardwaj, 2007). 2.4.2. Komponen SIG Menurut Prahasta (2005), SIG terdiri dari beberapa komponen yaitu : perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi, serta manajemen. Komponen penting dalam SIG terbagi atas lima komponen yakni pelaksana, perangkat keras, perangkat lunak, prosedur dan data. Secara global kelima komponen tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga komponen yakni sistem komputer (perangkat keras, perangkat lunak, dan prosedur); data dan organisasi/pelaksana.
32
Perangkat Keras (Komputer)
SIG
Data & Informasi Geografis (Data, Tabel, dll)
Manajemen (Pengguna)
Perangkat Lunak (Software)
Gambar 2.4 Komponen - komponen SIG (Prahasta, 2005) 2.4.3. Keunggulan SIG Berbasis Komputer Menurut Salamun (2001), beberapa keunggulan pengolahan data berbasis komputer yang erat kaitannya dengan SIG antara lain : 1. Penyimpanan data (data digital) lebih terjamin (secure) dan mudah diatur dibanding dengan penyimpanan data konvensional. 2. Penggunaan data yang sama (dari suatu kumpulan peta) dapat dikurangi sebab data digital punya basis data sehingga data yang disimpan dalam basis data dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan dalam aspek yang berbeda. Kualitas data digital grafis jauh lebih konsisten. 3. Pekerjaan revisi menjadi lebih mudah (karena dapat dilakukan secara terpisah) serta cepat (karena basis data digital mampu menangani data dalam jumlah banyak). Produktivitas para pelaksana yang bekerja dalam
33
proses
pengumpulan,
pengelolaan,
analisis
dan
distribusi
akan
bertambah. 4. Analisis, pencarian dan penyajian data menjadi lebih mudah sebab dalam SIG data mempunyai klasifikasi yang jelas. Dengan demikian akan mudah mencari jawaban untuk hal-hal seperti keterdekatan, ada apa (daerah pertanian, pemukiman, budidaya), informasi tentang potensi lahan atau daerah mana yang potensial dijadikan areal pengembangan perkotaan, dsb. 5. Data base yang terintegrasi dengan data spasialnya (peta) merupakan fasilitas yang sangat dibutuhkan saat ini terutama bagi pengambil kabijakan dalam suatu wilayah. 2.4.4. Manfaat SIG untuk Kegiatan Budidaya Dahuri et al. (2001) menyatakan bahwa SIG merupakan alat yang dapat digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan. Penggunaan SIG, dapat mempermudah dan mempercepat dalam melakukan analisis keruangan (spatial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir. Analisis kesesuaian lahan ditentukan melalui sistem pembobotan dan skoring terhadap faktor pembatas/parameternya. Sistem pembobotan terhadap faktor pembatas merupakan kriteria potensi lahan yang ditentukan berdasarkan tingkat dominasi dari faktor pembatas terhadap peruntukan lahan. Jadi pembobotan dimaksudkan untuk memberikan perbedaan besar
34
kecilnya pengaruh parameter yang satu dengan yang lainnya terhadap tingkat kesesuaiannya.
2.5. Daya Dukung Lingkungan Perairan Dewasa ini pemakaian daya dukung lingkungan dalam perencanaan suatu design budidaya laut terus berkembang. Melihat perkembangan sektor budidaya laut saat ini dan yang akan datang, maka dalam mengembangkan suatu kawasan perairan sebagai lahan untuk budidaya diperlukan model-model estimasi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah. Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa perairan pesisir memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Konsep daya dukung yang digunakan dalam pengembangan budidaya laut adalah konsep daya dukung ekologis. Daya dukung ekologis yaitu tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau wilayah sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis. Daya dukung lingkungan perairan didefinisikan sebagai suatu yang berhubungan erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan adalah nilai suatu mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem (Poernomo, 1997). Pengertian ini apabila diterapkan sebagai daya dukung lingkungan pesisir menjadi kemampuan badan air atau perairan di kawasan pesisir dalam menerima limbah organik. Termasuk didalamnya adalah
35
kemampuan mendaur ulang atau mengasimilasi limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan. Konsep daya dukung perairan telah lama dikenal dan dikembangkan dalam lingkungan budidaya, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya baik ikan maupun rumput laut maka nilai daya dukung merupakan faktor penting dalam menjamin siklus produksi dalam jangka waktu yang lama. Inglis et al. (2000), menjelaskan empat tipe daya dukung lingkungan yang sesuai dengan budidaya kawasan pesisir. Daya dukung tersebut adalah (1) daya dukung fisik (physical carrying capacity), (2) daya dukung produksi (production carrying capacity), (3) daya dukung ekologi (ecological carrying capacity), dan (4) daya dukung sosial (social carrying capacity). Daya dukung fisik suatu kawasan berhubungan dengan ukuran dan jumlah area yang dapat diakomodasi dalam suatu ruang fisik yang layak. Pembatas ruang ini ditentukan oleh geografi fisik kawasan tersebut, perencanaan, dan kebutuhan bagi pengembangan kawasan. Daya dukung produksi merujuk pada kelimpahan stok yang mengikuti panen yang kontinyu dan maksimal. Dalam daya dukung jenis ini fokusnya diarahkan pada penentuan panen optimum berjangka panjang (long-term) yang akan ditopang oleh kawasan itu. Pengaruh komponen-komponen ekosistem dipandang sebatas pengaruh potensial. Hal ini berbeda dengan daya dukung ekologi suatu kawasan. Pusat perhatian utama manajemen dalam penentuan daya dukung ekologi adalah pengaruh sekitar ekosistem terhadap kelimpahan stok.
36
Daya dukung ekologi sendiri dapat dijelaskan sebagai tingkat pengembangan kawasan sedemikian rupa hingga dampak ekologis kawasan tidak lagi dapat diterima. Dengan kata lain, daya dukung ekologi merupakan tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat di akomodasi oleh suatu kawasan atau area sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis. Demikian pula daya dukung sosial lebih merujuk pada dampak sosial. Ringkasnya, daya dukung sosial merupakan tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan area akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan (Inglis et al., 2000).
2.6. Estimasi Daya Dukung Lingkungan Perairan Estimasi daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang budidaya laut merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan seberapa besar jumlah yang boleh ditanam atau dipelihara dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degradasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya. Atau jika telah ditentukan banyaknya ikan budidaya dalam satu keramba jaring apung, estimasi ini akan menunjukkan berapa unit keramba jaring apung yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan. Jadi untuk sampai pada perhitungan estimasi dibutuhkan data-data menyangkut keberlangsungan budidaya salah satunya adalah dengan perhitungan luasan area yang cocok untuk budidaya sesuai persyaratan. Arah dari pengkajian daya dukung lingkungan bukanlah sebatas mengoptimalkan hasil. Tapi lebih dari itu, penghitungannya dalam rangka untuk mencapai hasil optimal dengan tetap menjaga kelestarian area dan lingkungannya.
37
Berkaitan dengan hal ini Furuya (2000), mengatakan pencapaian kelestarian pantai termasuk kekontinyuan budidayanya memerlukan ekosistem yang sehat. Dalam hal menentukan daya dukung lingkungan untuk kawasan budidaya laut, maka konsep tersebut bisa diterapkan. Pentingnya daya dukung lingkungan dalam hal budidaya rumput laut dan budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung memberikan estimasi akan pelestarian lingkungan, misalnya berapa unit rakit yang boleh digunakan dalam luasan area yang telah ditentukan. Dengan demikian kegiatan budidaya dan pelestarian lingkungan dapat diterapkan bersama. Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung lingkungan perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan skala usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen. Sistem budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya berkelanjutan dan bertanggungjawab (sustainable and responsible aquaculture).