11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Kelas Inklusif, Landasan Lahirnya dan Komponen Pendidikan Inklusif 1. Pengertian Kelas Inklusif Kelas dapat dipandang dari dua sudut yakni: a. Kelas dalam arti sempit Yaitu ruangan yang dibatasi oleh empat dinding tempat sejumlah siswa berkumpul untuk mengikuti proses mengajar belajar. b. Kelas dalam arti luas Yaitu suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah, yang sebagai satu kesatuan diorganisasi menjadi unit kerja yang secara dinamis menyelenggarakan kegiatan-kegiatan mengajar belajar yang kreatif untuk mencapai sauatu tujuan10 Pada masa sekarang ini pengertian kelas yang sesuai yakni pengertian kelas secara luas. Karena pada saat ini proses belajar mengajar tidak hanya di dalam ruangan akan tetapi
di luar ruangan dan dengan
mengguanakan metode pembelajaran yang kreatif. Inklusi atau Pendidikan Inklusif bukan nama lain untuk ‘pendidikan kebutuhan khusus’. Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang 10
Hadari Nawawi, Organisasi..., h.116
12
berbeda dalam mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah. Konsep pendidikan inklusif memiliki lebih banyak kesamaan dengan konsep yang melandasi gerakan ‘Pendidikan untuk Semua’ dan ‘Peningkatan mutu sekolah’. Pendidikan inklusif merupakan pergeseran dari kecemasan tentang suatu kelompok tertentu menjadi upaya yang difokuskan untuk mengatasi hambatan untuk belajar dan berpartisipasi.11 Definisi Pendidikan Inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara (terutama dari ‘Selatan’) pada tahun 1998. Definisi ini kemudian diadopsi dalam South African White Paper on Inclusive Education dengan hampir tidak mengalami perubahan: Definisi Seminar Agra dan Kebijakan Afrika Selatan tentang Pendidikan Inklusif yakni: •
Lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal. Mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
•
Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.
•
Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, kecacatan, status HIV/AIDS dll. Merupakan proses
11Sue
Stubbs, Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber, (Bandung: UPI Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ,2002), h. 38
13
yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya. •
Merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif.12 Pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang dilaksanakan di sekolah/
kelas reguler dengan melibatkan seluruh peserta didik tanpa kecuali13, meliputi: anak yang memiliki perbedaan bahasa, beresiko putus sekolah karena sakit, kekurangan gizi, tidak berprestasi, anak yang berbeda agama, penyandang HIV/ AIDS, anak berkebutuhan khusus, anak yang berbakat dan sebagainya. Mereka dididik dan diberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan cara yang ramah dan penuh kasih sayang tanpa diskriminasi. Dari pengertian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa kelas inklusif yaitu kelas dengan siswa yang hitrogen. Di kelas inklusif ini para siswa memilik kemampuan yang bermacam-macam. Karena para siswa di samping siswa
yang
normal
juga
terdapat
siswa
yang
memiliki
beragam
kelainan/penyimpangan, baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis ataupun siswa yang memiliki kecerdasan di atas siswa pada umumnya.
12
Ibid., h.39 Dede Kusnandar, Pentingnya Pendidikan Inklusif, http://dedekusn.com/pendidikan/pentingnya-pendidikan-inklusif/ 13
(26
Maret
2011),
14
2. Landasan Lahirnya Pendidikan Inklusif a. Landasan Filosofis Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika.14 b. Landasan Yuridis Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada peraturan standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu bekelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau pun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut.
14
BPP DEPDIKNAS, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta:2005), h.59
15
Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusi dijamin oleh beberapa pasal yaitu: •
Undang-undang dasar 1945. Pasal 31 (1) berbunyi, tiap-tiap warga Negara berhak mendaptkan pengajaran.
•
Undang-undang nomor 20 Tahun 2003, tentang pendidikan nasional, pasal
4
(1)
dinyatakan,
bahwa
pendidikan
di
Negara
ini
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai cultural, dan kemajemukan bangsa. Pasal 5 (2) menyatakan bahwa warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental dan atau social berhak memperoleh pendidikan khusus. Dalam penjelasan pasal 15 dinyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus tersebut dilakukan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus .pasal 11 yang menyatakan, bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara, tanpa diskriminasi. c. Landasan Pedagogies Telah dirumuskan bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan anak didik di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup.
16
Jelaslah melalui rumusan tersebut bahwa pada hakekatnya pendidikan itu perlu atau dibutuhkan oleh siapa saja dan dimana saja.15 Pada pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.16 Jadi,
melalui
pendidikan,
peserta
didik
berkelainan
atau
berkebutuhan khusus dibentuk menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil dicapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Walaupun
minoritas, mereka harus diberi
kesempatan belajar bersama teman sebayanya tanpa ada perbedaan. d. Landasan Empiris Penelitian tentang pendidikan inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an. Penelitian yang bersekala besar 15
Sapariadi, dkk, Mengapa Anak Berkebutuhan Khusus Perlu Mendapat Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h.25 16 Himpunan Peraturan Perundang-undangan, (Bandung: Fokusmedia, 2005),h.98
17
dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikaasi dan penempatan anak berkebutuhan khusus di sekolah, kelas atau tempat khsusus tidak efektif dan diskriminatif. Penelitian ini merekomendasikan agar pendidikan khsusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat, yang betul-betul dapat menentukan anak berkebutuhan khusus yang tergolong berat.17 Beberapa penelitian kemudian melakukan meta analisis (analisis lebih lanjut terhadap beberapa hasil penelitian yang telah ada) terhadap beberapa hasil penelitian sejenis. Hasil meta analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavel (1980) terhadap 50 buah penelitian, oleh Wang dan Baker (1994/1995) terhadap 11 buah penelitian, dan oleh Baker (1994) terhadap 13 penelitian, menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya. 3. Komponen Pendidikan Inklusif a. Kurikulum Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Melalui kurikulum Sumber Daya Manusia dapat diarahkan untuk mencapai kemajuan 17
pendidikan.
Oleh
karena
BPP.DEPDIKNAS, Jurnal Pendidikan, h.61
itu,
kurikulum
harus
terus
18
dikembangkan sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik, kebutuhan pembangunan nasional, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun kurikulum yang diterapkan pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif tetap menggunakan kurikulum nasional untuk satuan pendidikan yang bersangkutan, misalnya Kurikulum Taman Kanak-Kanak, sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan seterusnya. Hanya saja GBPP diperlukan format yang lebih sederhana.18 Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional (UUSPN) pada Pasal 1 butir 19 disebutkan: Bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran
untuk
mencapai
tujuan
pendidikan tertentu. Secara umum menurut Budiyanto dalam bukunya Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal, kerangka pendidikan inklusif rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum agar dapat dipergunakan bagi semua peserta didik, khususnya bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan pernyataan Salamanca adalah sebagai berikut:
18
Direktorat PLB, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Depdiknas, 2004), h.14
19
1) Kurikulum seyogyanya disesuaikan dengan kebutuhan anak, bukan sebaliknya. Oleh karena itu sekolah seyogyanya memberikan kesempatan kurikuler yang disesuaikan dengan anak yang memiliki bermacam-macam kemampuan dan minat. 2) Anak penyandang berkebutuhan khusus seyogyanya memperoleh dukungan pembelajaran tambahan dalam konteks kurikulum regular, bukan kurikulum yang berbeda. Prinsip yang dijadikan pedoman seyogyanya dapat memberikan bantuan dan dukungan tambahan bagi anak yang memerlukannya. 3) Perolehan pengetahuan bukan sekedar masalah pembelajaran formal dan teoritis. Pendidikan seyogyanya berisi hal-hal yang menimbulkan kesanggupan untuk mencapai standar yang lebih tinggi dan memenuhi kebutuhan individu demi memungkinkannya berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan. Pengajaran seyogyanya dihubungkan dengan hal-hal yang praktis agar mereka lebih termotivasi. 4) Untuk mengikuti kemajuan masing-masing anak, prosedur assessment harus dituju. Evaluasi format seyogyanya dimasukkan ke dalam proses pendidikan regular agar siswa dan guru senantiasa teri formasi tentang penguasaan
pelajaran
yang
sudah
dicapai
maupun
yang
mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan membantu siswa menghadapinya.
20
5) Bagi anak penyandang pendidikan khusus, seyogyanya disediakan dukungan yang berkesinambungan, yang berkisar dari bantuan minimal di kelas regular hingga program pelajaran tambahan di sekolah itu dan bila perlu, disediakan bantuan dari guru spesialis dan staf pendukung eksternal. 6) Teknologi
yang
tepat
dengan
biaya
terjangkau
seyogyanya
dipergunakan bila diperlukan untuk mempertinggi keberhasilan dalam kurikulum sekolah dan untuk membantu komunikasi, mobilitas dan belajar. Bantuan teknis dapat diberikan lebih ekonomis dan efektif bila disediakan dari sebuah pusat sumber yang didirikan di tiap wilayah, dimana terdapat seorang ahli yang dapat mencocokkan jenis alat bantu dengan kebutuhan individu dan menjamin pemeliharaannya. 7) Kapabilitas seyogyanya dibangun dan penelitian dilakukan pada tingkat nasional dan regional untuk mengembangkan system teknologi pendukung yang tepat untuk pendidikan kebutuhan khusus.19 b. Guru Guru atau pendidik dalam pengertian yang sederhana adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.20 Dalam pengertian lain, guru adalah orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik. Pribadi susila yang cakap adalah yang diharapkan
19 20
Budiyanto, Pengantar Pendidikan Inklusif,( DEPDIKNAS,2005), h.163-164 Syaiful Bahri Djamarah, Gurun dan Anak Didik, h.31
21
ada pada diri setiap anak didik. Tidak ada satu orang gurupun yang mengaharapkan anak didiknya menjadi sampah masyarakat.21 Dalam dunia pendidikan guru memiliki peran yakni anatara lain: 1) Guru sebagai demonstrator Melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang akan dicapai oleh siswa.22 2) Guru sebagai pengelola kelas Dalam peranannya sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan pendidikan. 23 3) Guru sebagai mediator dan fasilitator Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media
21 22
Ibid., h.34 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002),
h. 9 23
Ibid., h.10
22
pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa narasumber, buku teks, majalah, ataupun surat kabar.24 4) Guru sebagai evaluator Sebagai evaluator, guru berperan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang keberhaasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Terdapat dua fungsi dalam memerankan perannya sebagai evaluator. Pertama, untuk menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan atau menentukan keberhasilan siswa dalam menyerap materi kurikulum. Kedua, untuk menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang telah diprogramkan. Secara umum pada kelas inklusif di sekolah dasar terdiri dari guru kelas, guru mata pelajaran dan guru pembimbing khusus (GPK). a) Guru kelas Guru kelas adalah pendidik atau pengajar pada suatu kelas tertentu di sekolah dasar yang sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan, bertanggung jawab pada pengelolaan pembelajaran 24
Ibid., h.11
23
dan administrasi kelasnya. Kelas yang dipegang tidak menetap. Tiap tahun dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi sekolah. b) Guru mata pelajaran Guru mata pelajaran yaitu guru yang mengajar pada mata pelajaran tertentu sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan. Di sekolah biasanya guru mata pelajaran pendidikan agama Islam serta jasmani dan kesehatan dipegang oleh guru mata pelajaran, selain itu dipegang oleh guru kelas c) Guru pembimbing khusus Guru pembimbing khusus adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan khusus terkait dengan pendidikan luar biasa. Tugas pembimbing khusus antara lain: -
Menyusun assessment pendidikan bersama guru kelas dan guru mata pelajaran.
-
Membangun sistem organisasi antara guru, pihak sekolah dengan orang tua siswa
-
Memberikan bimbingan kepada anak berkelainan, sehingga anak mampu mengatasi hambatan/ kesulitannya dalam belajar.
-
Memberikan bantuan kepada guru kelas dan guru mata pelajaran agar dapat memberikan pelayanan pendidikan khusus kepada anak yang luar biasa yang membutuhkan.
24
c. Anak didik Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang
atau
sekelompok
orang
yang
menjalankan
kegiatan
pendidikan.25 Anak didik bukan binatang akan tetapi manusia yang punya akal. Anak didik menempati kedudukan yang menempati posisi yang menentukan dalam interaksi pendidikan. Guru tidak berarti bila tanpa kehadiran anak didik sebagai subjek pembinaan. Dalam perspektif pedagogis, anak didik adalah sejenis mahluk yang menghajatkan pendidikan, dalam artian anak didik disebut sejenis “homo educandum”. Pendidikan merupakan suatu keharusan yang diberikan kepada anak didik. Anak didik sebagai manusia yang perlu dibina dan di bimbing oleh guru. Potensi anak didik yang bersifat laten perlu diaktualisasikan agar anak didik tidak dikatakan lagi sebagai “animal educable”, sejenis binatang yang memungkinkan untuk dididik, tetapi anak didik harus dianggap sebagai manusia secara mutlak .26 Sebagai makhluk manusia, anak didik memiliki karakteristik. Menurut Sutari Imam Barnadib, Suwarno, dan Siti Mechati, anak didik memiliki karakteristik tertentu, yakni: -
Belum memiliki pribadi yang dewasa susila sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik (guru);
25 26
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik, h.51 Ibid., h.52
25
-
Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik;
-
Memiliki sifat-sifat dasar manusia yang sedang berkembang secara terpadu yaitu kebutuhan biologis, rohani, sosial, inteligensi, emosi, kemampuan bicara, anggota tubuh untuk bekerja (kaki, tangan, jari), latar belakang sosial, latar belakang biologis (warna kulit, bentuk tubuh, dan lainnya), serta perbedaan individual. Dalam kelas inklusif terdapat siswa yang normal dan berkebutuhan
khusus.
Anak berkebutuhan khusus yaitu anak yang memiliki
karakteristik khusus. Keadaan khusus membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. Oleh karena itu pada kelas inklusif ini tidak ada pemisahan anak yang tumbuh secara normal dan anak yang berkebutuhan khusus (ABK). Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang memiliki karakteristik khusus. Keadaan khusus membuatnya mereka berbeda dengan anak pada umumnya. Pemberian predikat “berkebutuhan khusus” tentu saja tanpa selalu menunjukkan pada pengertian lemah mental atau tidak identik juga dengan ketidakmampuan emosi atau kelainan fisik. Anak yang termasuk ABK, antara lain tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
26
tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, serta anak dengan gangguan kesehatan.27 Adapun Jenis anak berkebutuhan khusus (ABK) dapat dipahami dengan pemaparan berikut ini: 1. Tunarungu Tunarungu merupakan istilah umum yang digunakan untuk menyebut kondisis seseorang yang mengalami gangguan dalam indra pendengaran.
28
Dalam pengertian lain dijelaskan bahwa anak tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran permanen maupun temporer (tidak permanen).29 Tunarungu
diklasifikasikan
berdasarkan
tingkat
gangguan
pendengaran yaitu gangguan pendengaran sedang (27-40 dB), gangguan pendengaran ringan (41-55 dB), gangguan pendengaran sedang (56-70 dB), gangguan pendengaran berat (71-90 dB), gangguan pendengaran ekstrem/ tuli (di atas 91 dB). Pada anak tunarungu, tidak hanya gangguan pendengaran saja yang menjadi kekurangannya akan tetapi mereka juga mengalami kesulitan bicara.
27
Satmoko Budi Santosos, Sekolah Alternatif, h.127 Smart, Anak Cacata Bukan Kiamat Metode Pembelajaran & Terapi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Katahati, 2010), h.34 29 Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif, h.129 28Aqila
27
Agar terus bisa berkomunikasi anak tunarungu harus menggunakan bahasa isyarat. Walaupun mereka mempunyai kekurangan akan tetapi mereka juga mempunyai bakat yang bisa digali dan dikembangkan. 2. Tunanetra Tunanetra merupakan sebutan individu yang mengalami gangguan pada indra penglihatan. Pada dasarnya tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, yaitu buta total, dan kurang penglihatan (low vision). Buta total bila tidak dapat melihat dua jari di depan mukanya atau hanya melihat sinar atau cahaya yang lumayan dipergunakan untuk orientasi mobilitas. Mereka tidak bisa menggunakan huruf lain selain huruf barel. Sedangkan yang disebut low vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu, mata harus didekatkan, atau mata harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya, atau mereka yang memiliki pandangan kabur ketika melihat objek. Untuk mengatasi permasalahan penglihatannya, pada penderita low vision ini menggunakan kacamata.30 3. Tunadaksa Tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang yang memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti tangan, kaki, atau bentuk tubuh. Dengan kata lain tunadaksa merupakan istilah lain dari dari tunafisikberbagai jenis gangguan fisik yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami 30
Aqila Smart , Anak Cacat Bukan Kiamat, h.36
28
hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya.31 Namun, tidak semua anak-anak tunadaksa memiliki keterbelakangan mental. Malah, ada yang memiliki kemampuan daya pikir lebih tinggi dibandingkan anak normal pada umumnya. Bahkan, tidak jarang kelainan yang dialami oleh penyandang tunadaksa tidak membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa dan pertumbuhan fisik serta kepribadiannya. Demikian pula ada diantara anak tunadaksa hanya mengalami sedikit hambatan sehingga mereka dapat mengikuti pendidikan sebagaimana anak normal lainnya. Ada beberapa penggolongan tunadaksa. Menurut Djadja Raharja, tunadaksa digolongkan menjadi dua golongan. Golongan pertama tunadaksa murni. Golongan ini umumnya tidak mengalami gangguan mental atau kecerdasan, poliomyelitis serta cacat ortopedis lainnya. Golongan yang kedua adalah tunadaksa kombinasi. Golongan ini masih ada yang normal. Namun, kebanyakan mengalami gangguan mental, seperti anak cerebal palsy.32 Ada beberapa macam penyebab yang menjadikan seseorang menjadi tunadaksa. Salah satu contohnya adalah kerusakan yang terjadi pada jaringan otak. Seperti yang telah diketahui, otak yang mengendalikan semua kerja sistem pada tubuh. Jika jaringan otak rusak, jaringan yang lainpun ikut rusak.
31 32
Ibid., h.44 Ibid., h.45
29
Selain karena rusaknya jaringan otak, tunadaksa juga bisa disebabkan oleh rusaknya jaringan sumsung tulang belakang. Yaitu pada sistem musculus skeletal. 4. Tunagrahita Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut anak atau orang yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata atau bisa saja disebut dengan retardsi mental. Tunagrahita ditandai dengan keterbatasan inetegensi dan ketidak cakapan dalam ineraksi sosial.33 Berdasarkan tinggi rendahnya kecerdasan intelegensi yang diukur dengan menggunakan tes Stanford Binet dan skala Wescheler (WISC), tunagrahita digolongkan menjadi empat golongan: •
Kategori ringan (Moron atau Debil) Pada kategori ringan memiliki IQ 50-55 sampai 70. Berdasarkan tes Binet kemampuan IQ-nya menunjukkan angka 68-52, sedangkan dengan tes WISC, kemampuan IQ-nya 69-55. Biasanya, anak ini mengalami kesulitan di dalam belajar. Dia lebih sering tinggal dikelas dibandingkan naik kelas.
•
Kategori sedang (Imbesil) Bisanya memiliki IQ 35-40 sampai 50-36, sedangkan tes WISC 54-40. Pada penderita sering ditemukan kerusakan otak dan penyakit lainnya. Ada kemungkinan penderita juga mengalami disfungsi saraf yang
33
Ibid., h.49
30
mengganggu keterampilan motoriknya. Pada jenis ini, penderita dapat di deteksi sejak lahir karena pada masa pertumbuhannya penderita mengalami keterlambatan verbal dan sosial. •
Kategori berat (severe) Kategori ini memiliki IQ 20-25 sampai 35-45. Menurut hasil tes Binet IQ-nya 32-20, sedangkan menurut tes WISC, IQ-nya 39-25, penderita mengalami abnormalits fisik bawaan dan control sensori motor yang terbatas.
•
Kategori sangat berat (Profound) Pada kategori ini penderita memiliki IQ yang sangat rendah. Menurut hasil skala Binet IQ penderita di bawah 19, sedangkan menurut tes WISC IQ-nya di bawah 24. Banyak penderita yang mengalami cacat fisik dan kerusakan saraf. Tidak jarang pula penderita yang meninggal.
5. Tunalaras Tunalaras merupakan sebutan untuk individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan control sosial. Penderita biasanya menunjukkan prilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku disekitarnya.34 Secara garis besar, anak tunalaras dapat diklasifikasikan
34
Ibid., h.53
menjadi
anak
yang
mengalami
kesukaran
dalam
31
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak mengalami gangguan emosi. 35 6. Autis Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang yang didapatkannya sejak lahir atau balita, yang membuat dirinya tidak dapat berhubungan sosial atau komunikasi secaara normal. Ditinjau dari segi bahasa autis berasal dari bahasa Yunani yang berarti sendiri. Hal ini dilatarbelakangi karena anak autis pada umumnya hidup dengan dunianya sendiri.36 Dalam pengertian lain menjelaskan bahwa autisme adalah disabilitas perkembangan neurologis yang mempengaruhi kemampuan orang untuk berkomunikasi, memahami bahasa, dan berinteraksi dengan orang lain. Anakanak autis akan cenderung mengasingkan diri dari situasi sosial. Secara intelektual, sebagian mungkin mengalami reterdasi mental, tetapi sebagian lainnya mungkin cerdas dan bahkan sangat cerdas.37 Secara neurologi atau berhubungan dengan sistem persarafan, autis dapat diartikan sebagai anak yang mengalami hambatan perkembangan otak, terutama pada area bahasa, sosial dan fantasi. 38
35
Ibid., h.55 Ibid., h.56 37 Daniel Muijs dan David Reynolds, Effective Teaching Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.237 38 Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat, h.57 36
32
7. Down syindrome Down syndrome merupakan salah satu bagian tunagrahita. Down syndrome merupakan kelainan kromosom, yakni terbentuknya kromosom 21. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Ciri-ciri down syndrome tampak nyata dilihat dari fisik penderita, misalkan tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia. Maka, anak down syndrome ini juga dikenal dengan sebutan Mongoloid. Gejala adanya down syndrome ini bisa tampak atau tidak tampak sama sekali. Selain ciri-ciri diatas, down syndrome juga dapat dilihat dari lapisan kulit penderita yakni tampak keriput meskipun usianya masih muda. 8. Kemunduran (retardaksi) mental Retardaksi mental adalah keadaan ketika intelegensi individu mengalami kemunduran atau tidak dapat berkembang dengan baik39. Retardaksi mental juga disebut oligofrenia (oligo artinya ‘kurang’ atau ‘sedikit’ dan fren artinya ‘jiwa’ atau ‘tuna-mental’). Kemunduran mental bukanlah penyakit yang berbahaya meskipun kemunduran mental merupakan hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberi gambaran keterbatasan terhadap intelektualnya dan fungsi adaptif.
39
Ibid., h.64
33
Kemunduran juga terjadi dengan atau tanpa gangguan kejiwaan atau cacat fisik. Klasifikasi retardaksi mental menurut DSM-IV-TR, yaitu: •
Retardaksi Mental Berat Sekali IQ di bawah 20 atau 25. Sekitar 1 sampai 2% dari orang yang terkena retardaksi mental.
•
Retardaksi Mental Berat IQ sekitar 20-25 sampai 35-40. Sebanyak 4% dari orang yang terkena retardaksi mental.
•
Retardaksi Mental Sedang IQ sekitar 35-40 sampai 50-55. Sekitar 10% dari orang yang terkena retardaksi mental.
•
Retardaksi Mental Ringan IQ sekitar 50-55 sampai 70. Sekitar 85% dari orang yang terkena retardaksi mental. Pada umumnya, anak-anak dengan retardaksi mental ringan tidak dikenal sampai anak tersebut menginjak tingkat pertama atau kedua di sekolah.40
40
Ibid., 65-66
34
B. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Kelas Inklusif 1. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Menurut Oemar Hamalik, Pembelajaran ialah kombinasi yang tersususun dan meliputi manusia, material, fasilitas perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.41 Dalam UU No.20 tahun 2003 BAB I Pasal 1 ayat (20) tentang sisdiknas pembelajaran adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pengertian lain menjelaskan pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu proses terjadinya perubahan tingkah laku.42 Belajar juga dapat di artikan sebagai proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keteranpilan dan sikap.43 Pendidikan secara umum adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka dalam pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang berkesinambungan dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan.44 Sementara Zakiyah Darajat mendefinisikan pendidikan agama Islam sebagai bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan 41
Oemar Malik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.57 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, h.57 43 Baharudin dan Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, h.11 44 Syaful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h.22 42
35
ajaran-ajaran Islam secara menyeluruh. Serta menjadikan ajaran agama Islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan dunia akhirat.45 Pendidikan agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam mengahadapi tantangan, hambatan dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.46 2. Dasar dan Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Secara yuridis, dasar pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah telah tercermin dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab V tentang peserta didik Pasal 12 ayat (1): “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidkan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama” Secara mendasar pendidikan agama Islam adalah Al-Quran, AsSunnah dan Ijtihad. Selanjutnya penulis akan menjelaskan masing-masing landasan pendidikan agama Islam di atas :
45 46
Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, h.86 Depdiknas, Peraturan ..., h.1
36
a. Al-Quran Al-Quran adalah firman Allah berupa wahyu yang di sampaikan oleh jibril kepada Nabi Muhammad SAW.47
Di dalam Al-Quran
terkandung dua prinsip yakni aqidah yang berhubungan dengan keimanan dan syari’ah berkaitan dengan amal. Ajaran tentang amal lebih banyak dibahas di dalam Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan. Sebab semua amal perbuatan manusia mencakup hubungan dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam dan lingkungannya, serta dengan mahluk lainnya termasuk amal sholeh (syari’ah). Istilah-istilah yang biasa digunakan untuk membicarakan syari’ah ini adalah (a) Ibadah untuk perbuatan yang langsung berhubungan dengan Allah, (b) Mu’amalah untuk ibadah yang perbuatan yang berhubungan selain dengan Allah, (c) Akhlak untuk tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti dalam pergaulan. Pendidikan merupakan salah satu tidakan atau usaha untuk membentuk manusia, maka pendidikan termasuk dalam ruang lingkup mu’amalah. Di dalam Al-Quran terdapat banyak ajaran yang berkaitan dengan pendidikan. Oleh karena itu pendidikan agama Islam harus menggunakan Al-Quran sebagai sumber yang utama dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam. 47
Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, h.19
37
b. As-Sunnah As-Sunnah adalah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rosulullah SAW. Yang dimaksud dengan pengakuan Rosulullah ialah kejaidian atau perbuatan orang lain yang diketahui Rosulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau pertbuatan itu berjalan.48
As-Sunnah
merupakan landasan kedua sesudah Al-Quran yang di dalamnya berisi aqidah dan syari’ah. c. Ijtihad Ijtihad adalah berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam untuk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syari’at Islam di dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Aquran dan Sunnah. Ijtihad dalam hal ini meliputi semua aspek kehidupan termasuk juga pendidikan akan tetapi tetap berpedoman dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Sementara tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam menurut sisdiknas adalah: 1) Menumbuhkembangkan aqidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanaan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT; 48
Ibid.,
38
2) Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah,cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonsian secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.49 3. Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Kelas Inklusif Metode yaitu cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang disusun tercapai secara optimal.50 Dalam penggunaan metode guru diharapkan menyesuaikan siswa yang diajaranya apalagi pada kelas inklusif. Metode pembelajaran yang bisa digunakan dalam pembelajaran di kelas inklusif anatara lain: a. Metode Proyek Metode proyek atau unit ialah cara penyajian pelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah, kemudian dibahas dari berbagai segi yang berhubungan sehingga pemecahannya secara keseluruhan dan bermakna.51 Metode proyek merupakan suatu cara mengajar yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk menggunakan unit-unit kehidupan
49 50
Depdiknas, Peraturan...., hal.2 Wina Sanjaya, Strategi.., h.145 51 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik, h.233
39
sehar-hari sebagai bahan pelajarannya. bertujuan agar anak didik tertarik untuk belajar.52 Pembelajaran dengan metode proyek dilakukan dengan cara menghubungkan pengetahuan peserta didik dengan tema pelajarannya. metode ini dapat memantapkan pengetahuan yang diperoleh peserta didik serta mampu menyalurkan minat, dan melatih peserta didik menelaah suatu materi pelajaran dengan wawasan yang lebih luas. b. Metode Eksperimen Metode Eksperimen adalah adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan.53 Dengan metode ini diharapkan anak didik terlibat
langsung
eksperimen,
dalam
menemukan
merencanaklan fakta,
eksperimen,
mengendalikan
melakukan
variabel
dan
memecahkan masalah. Dan juga anak didik diharapkan tidak menerima begitu saja fakta-fakta yang di temukan dalam proses percobaan. c. Metode Pemberian tugas dan Resitasi Metode pemberian tugas adalah suatu pekerjaan yang harus anak didik selesaikan tanpa terikat dengan tempat. Sedangkan resitasi adalah suatu persoalan yang bergayut dengan masalah pelaporan anak didik setelah mereka selesai mengerjakan suatu tugas. Tugas yang diberikan
52 53
Ibid., Ibid., h.234
40
bermacam-macam, tergantung dari kebijakan guru, yang penting adalah tujuan pembelajaran tercapai. d. Metode Diskusi Metode diskusi adalah metode pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu permasalahan. Tujuan utama metode ini adalah untuk memecahkan suatu permasalahan, menjawab pertanyaan, menambah dan memahami pengetahuan siswa, serta untuk membuat suaatu keputusan.54 e. Metode Bermain Peran Metode bermain peran adalah suatu cara penguasaan bahan pelajaran
melalui
pengembangan
dan
penghayatan
anak
didik.Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan oleh anak didik dengan memeranknnya sebagai tokoh hidup atau mati. 55 f. Metode Sosiodrama Metode Sosiodrama ialah cara mengajar yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk melakukan kegiatan memainkan peran tertentu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat (kehidupan sosial). Pada prinsipnya metode sosiodrama hampir sama dengan metode bermian peran. Dalam pemakaiannya sering disilih gantikan56.
54
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, h.154 Syaiful bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik, h.237 56 Ibid., h.238 55
41
g. Metode Demonstrasi Metode demonstrasi ialah suatu metode yang digunakan untuk memperlihatkan sesuatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran. Metode ini menghendaki guru lebih aktif daripada anak didik. Akan tetapi bisa sebaliknya, apabila yang melakukan
demonstrasi
adalah
murid
perseorangan
atau
secara
kelompok.57 h. Metode Karyawisata Metode karyawisata ialah suatu cara penguasaan bahan pelajaran oleh para anak didik dengan jalan membawa mereka langsung keobyek yang terdapat di luar kelas atau dilingkungan kehidupan nyata, agar mereka dapat mengamati atau mengalami secara langsung.58 Metode karyawisata diterapkan antara lain karena obyek yang akan dipelajari hanya terdapat ditempat tertentu: selain itu pengalaman langsung dapat membuat setiap anak didik lebih tertarik kepada pelajaran yang disajikan sehingga anak didik lebih ingin mendalami ikhwal yang diminta dengan mencari informasi dari buku-buku sumber lainnya serta menumbuhkan rasa cinta kepada alam sekitar sebagai ciptaan Tuhan. Metode karyawisata juga berfungsi sebagai hiburan kepada anak didik dan rekreatif.
57 58
Ibid., h.239 ibid., h.240
42
i. Metode Tanya Jawab Metode tanya jawab ialah suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui bentuk pertanyaan yang perlu dijawab oleh anak didik. Dengan metode ini
dapat melatih siswa mengamati, menginterpretasi,
mengklasifikasikan,
membuat
kesimpulan,
menerapkan
dan
mengkomunikasi.59 j. Metode Latihan Metode latihan disebut juga metode training, yaitu cara mengajar untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Juga, sebagai sarana untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik. selain itu metode ini dapat digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan, ketetapan, kesempatan, dan keterampilan.60 k. Metode Bercerita Metode bercerita ialah suatu cara mengajar dengan bercerita. Pada hakikatnya metode bercerita sama halnya dengan metode ceramah. karena informasi yang disampaikan melalui penuturan atau penjelasan lisan dari seseorang kepada orang lain.61 Dalam metode bercerita, baik guru maupun anak didik dapat berperan sebagai penutur. Guru dapat meminta salah satu siswa untuk menceritakan suatu peristiwa atau topik. 59
Ibid., h.241 Ibid., h.242 61 Ibid., h.243 60
Ketika guru menggunakan
43
metode bercerita hal-hal yang perlu diterapkan adalah kejelasan arah dan tujuan cerita, bentuk penyampaian dan sistematika cerita, tingkat kemampuan dan perkembangan anak (sesuai dengan usia anak), situasi dan kondisi kelas, dan penyimpulan hasil cerita. l. Ceramah Metode Ceramah merupakan metode tradisioanal karena metode ini telah dipakai sejak dulu sebagai alat komunikaasi lisan antara guru dan anak didik dalam interaksi edukatif. metode ini menuntut guru lebih aktif dari pada anak didik. Dalam masa sekarang ini, Metode Ceramah tidak bisa di tinggalkan begitu saja dalam pembelajaran apalagi di daerah pedesaan yang masih minim fasilitas belajar dan tenaga guru.62 4. Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Kelas Inklusif Secara umum media merupakan kata jamak dari “medium” yang berarti pranata atau pengantar.
Dalam pembelajaran, Rossi Breidle
mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan seperti radio, televisi, buku, koran, majalah, dan sebagainya. Menurut Rossi alat-alat semacama radio dan televisi kalau digunakan dan diprogram untuk pendidikan maka merupakan media pembelajaran.63
62 63
Ibid., h.244 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran.., h.163
44
5. Sumber Belajar Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. Sumber belajar mencakup apa saja yang dapat digunakan untuk membantu tiap orang untuk belajar dan manampilkan kompetensinya. Sumber belajar meliputi, pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan latar. Menurut Dirjen Dikti, sumber belajar adalah segala sesuatu dan dengan mana seseorang mempelajari sesuatu. Degeng menyebutkan sumber belajar mencakup semua sumber yang mungkin dapat dipergunakan oleh si-belajar agar terjadi prilaku belajar.64 6. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Kelas Inklusif Secara umum, evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau, berharga atau tidak dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan erat dengan keputusan nilai (value judgment).65 Dalam hubungannya dengan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, evaluasi lebih diarahkan pada upaya untuk mengetahui dengan jelas dan
64
Singgih Prihadi, Pusat Sumber Belajar : Definisi dan Manfaatnya, (28 Juni 2011), http://singgiheducation.blogspot.com/2009/11/pusat-sumber-belajar-definisi-dan.html. 65 Mimin Haryati, Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), h.15
45
obyektif terhadap keberhasilan pembelajaran yang telah dicapai oleh peserta didik setelah mereka mengikuti kegiatan pembelajaran. Evaluasi merupakan salah satu unsur penting dalam rangkaian proses pembelajaran, karena dengan penilaian, maka guru dapat mengetahui sejauh mana penguasaan materi peserta didik, efektifitas metode yang disampaikan, keberhasilan materi yang disampaikan dan juga dengan evaluasi akan dapat memperbaiki proses pembelajaran. Berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran dalam mencapai tujuannya adalah dilihat setelah evaluasi terhadap produk yang dihasilkan. Jika hasil suatu pembelajaran sesuai dengan yang diprogramkan, maka pembelajaran tersebut dinilai berhasil tetapi jika sebaliknya maka dinilai gagal. Dalam hubungannya ini, A. Tabrani Rasyan dkk. Sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa evaluasi pembelajaran mempunyai beberapa fungsi, yaitu: a. Untuk
mengetahui
tercapai
tidaknya
tujuan
instruksional
secara
komprehensif yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor b. Sebagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya di mana segisegi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi yang dapat merugikan sebanyak mungkin dihindari c. Bagi pendidik, evaluasi berguna untuk mengukur keberhasilan proses pembelajaran. Bagi peserta didik, berguna untuk mengetahui bahwa pelajaran yang diberikan telah dikuasainya. Dan bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil atau tidaknya program-program yang dilaksanakan
46
d. Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses pembelajaran dan mengadakan program remedial bagi peserta didik e. Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar f.
Untuk menempatkan peserta didik dalam situasi belajar mengajar yang tepat
g. Untuk mengenal latar belakang peserta didik yang mengalami kesulitankesulitan belajar.66 Selama proses pembelajaran, guru dapat melaksanakan evaluasi kepada peserta didik dengan tiga tahap, yaitu dapat dilaksanakan sebelum, selama dan setelah materi disajikan. Pelaksanaan evaluasi yang diberikan sebelum materi disajikan (pretes) dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan persepsi eserta didik terhadap materi yang akan disampaikan, sehingga mudah bagi guru menentukan dari mana materi harus diberikan kepada peserta didik agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik.67 Pelaksanaan evaluasi yang diberikan selama materi disajikan (sedang berlangsung) biasanya melalui tes lisan, dengan tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk membangkitkan motivasi anak pada permasalahan yang
66
Abuddin Nata, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 187-
67
Soetomo, Dasar-Dasar ……, h. 70
189
47
sedang di bahas atau untuk mengetahui apakah materi yang disampaikan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan anak. Di samping itu, guru juga bisa mengevaluasi performance siswa dalam mempresentasikan hasil kerjanya serta memberikan penilaian sikap selama pembelajaran. Sedangkan evaluasi yang diberikan setelah berakhirnya penyajian materi (post-tes) mempunyai tujuan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah disajikan dan juga untuk keperluan memperbaiki proses pembelajaran. Untuk mengadakan evaluasi terhadap proses belajar-mengajar, guru dapat menggunakan beberapa alat evaluasi. Namun pada garis besarnya dari berbagai alat evaluasi itu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: a. Evaluasi Tes Evaluasi dengan tes ini untuk menilai tentang kemampuan hasil belajar dan tingkat kecerdasan peserta didik. Dalam pelaksanaannya, guru dapat melakukannya dengan tiga cara, yaitu: dengan tes tertulis, tes lisan dan tes perbuatan. Masing-masing cara pelaksanaan tes tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Tes tertulis diberikan untuk menilai kemampuan hasil belajar peserta didik dari materi yang luas dan menyangkut dari segi afektif, psikomotor dan kognitif. Tes lisan biasanya dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan hasil belajar peserta didik secara mendalam dan biasanya dilaksanakan sebagai pendamping tes tertulis. Sedangkan tes
48
perbuatan dilaksanakan khususnya untuk mengukur kemampuan segi psikomotor peserta didik misalnya tes untuk berwudlu, sholat, melafalkan bacaan-bacaan Qur'an dan sebagainya. b. Penilaian Dengan Non-tes Dalam mengevaluasi kemampuan hasil belajar peserta didik, sikap peserta didik dan tingkah laku peserta didik, di samping guru dapat menggunakan dengan tes, maka guru dapat pula menggunakan alat nontes. Penilaian dengan non-tes dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan pengamatan, daftar cek, skala penilaian, wawancara, kuesioner dan sebagainya. Secara umum evaluasi dengan non-tes biasanya untuk menilai tentang sikap, tingkah laku dan kepribadian peserta didik secara menyeluruh.
C. Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Kelas Inklusif Dalam setiap pembelajaran terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran tersebut. Sehingga pembelajaran bisa berjalan dengan lancar bahkan bisa sebaliknya yakni menghambat pembelajaran. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran yaitu factor guru, siswa, sarana dan prasarana serta lingkungan.
49
1. Faktor Guru Dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya berperan sebagai model atau teladan bagi siswa yang diajarinya, tetapi juga sebagai pengelola pembelajaran
(meneger
of
learning).
Dengan
demikian,
efektivitas
pembelajaran ada di pundak guru. Menurut
Dunkin
(1974)
ada
sejumlah
aspek
yang
dapat
mempengaruhi kualitas proses pembelajaran dilihat dari factor guru, yaitu teacher formatif experience, teacher training experience, and teacher properties.68 Teacher formatif experience, meliputi jenis kelamin serta semua pengamalan hidup guru yang menjadi latar belakang social mereka. Sedangkan teacher training experience, meliputi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru. Adapun teacher properties merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki oleh seorang guru terhadap provesinya, sikap guru kepada siswa, kemampuan atau intelegensi guru, motivasi dan kemampuan mereka baik kemampuan dalam pengelolaan pembelajaran. 2. Faktor Siswa Seperti halnya guru, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran dilihat dari aspek siswa meliputi aspek latar belakang siswa
68
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, h.53
50
yang menurut Dunkin disebut pupil formative experiences serta faktor sifat yang dimiliki siswa (pupil properties).69 3. Faktor Sarana dan Prasarana Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alatalat pembelajaran, perlengkapan sekolah, dan lain sebagainya. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang
secara tidak langsung dapat
mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.70 Terdapat
beberapa
keuntungan
bagi
sekolah
yang
memiliki
kelengkapan sarana dan prasarana. Pertama, kelengkapan sarana dan prasarana dapat menumbuhkan gairah dan motivasi guru mengajar. kedua, kelengkapan sarana dan prasarana dapat memberikan berbagai pilihan pada siswa untuk belajar. 4. Faktor Lingkungan Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu faktor organisasi kelas dan faktor iklim sosial-psikologis.71
69
Ibid., h.54 Ibid., h.55 71 Ibid., h.56 70
51
Faktor organisasi kelas yang di dalamnya meliputi jumlah siswa dalam suatu kelas merupakan aspek penting yang bisa mempengaruhi proses pembelajaran. Sedangkan iklim sosial-psikologis secara internal adalah hubungan antara orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah, misalnya iklim social antara siswa dengan siswa, antara siswa dengn guru, antara guru dengan guru, bahkan antara guru dengan pimpinan sekolah. Faktor sosialpsikologis eksternal adalah keharmonisan hubungan antara pihak sekolah dengan dunia luar, misalnya hubungan sekolah dengan orang tua siswa, hubungan sekolah dengan lembaga-lembaga masyarakat, dan lain sebagainya.