BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Konsepsi Tindak Pidana yang Dilakukan Anak Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002
definisikan
tentang
anak
Perlindungan
sebagai
seseorang
Anak
men-
yang
belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengartikan Perlindungan Anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, optimal
berkembang sesuai
kemanusiaan
dan
dengan
serta
berpartisipasi
harkat
mendapat
dan
secara
martabat
perlindungan
dari
kekerasan dan diskriminasi. Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak mengartikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pengertian lain dari anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak
mengemukakan
bahwa
anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 25
Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak mengartikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak meng-artikan anak nakal sebagai berikut: 1. Anak yang melakukan tindak pidana atau 2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pengertian anak dapat dilihat dalam perumusan
berbagai
peraturan
perundang-undangan
maupun pendapat para pakar dengan batasan yang dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Mengenai batas usia anak dan dewasa, Zakiah Daradjat berpendapat sebagai berikut : Batas usia anak dan dewasa juga remaja yang menyatakan bahwa masa sembilan tahun antara tiga belas sampai dua puluh satu tahun sebagai masa remaja (adolensi) yang merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa di mana anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka bukan lagi anak- anak bentuk badan sikap berpikir
26
dan bertindak tetapi bukan pula orang dewasa.1
Konvensi Hak Anak mendefinisikan anak secara umum
sebagai
manusia
yang
umurnya
belum
mencapai 18 tahun, namun demikian diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang ber-beda yang
mungkin
diterapkan
dalam
perundangan
nasional. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan tindak pidana. Anak yang berkonflik
dengan
Hukum
adalah
anak
yang
melakukan perbuatan yang dilarang di masyarakat; dan disebut sebagai “anak nakal”; sebagai pelaku tindak pidana, anak dipandang juga sebagai korban, setidaknya korban salah asuhan, korban ling-kungan yang tidak bersahabat, atau korban bujukan orang dewasa untuk melakukan kejahatan2. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka atau dituduh telah melanggar Undang-undang Hukum Pidana3. Fenomena anak konflik
hukum
di
masyarakat
diartikan
sebagai
perbuatan yang menyimpang, dengan memberikan anggapan negatif terhadap mereka. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku anak konflik hukum. 1 Djoko Prakoso, 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 84 2 H. Abdurrahman, 2004, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 137 3
Ibid
27
Faktor
yang
menonjol
antara
lain
dikarenakan
gagalnya orang tua atau masyarakat dalam memenuhi keinginan anak. Kondisi ini menimbulkan kecenderungan anak memenuhi
keinginan
kemampuan,
dan
sendiri
persepsi
yang
dengan
cara,
dianggap
tepat
baginya. Dalam penanganan anak konflik hukum sering dijumpai adanya Aparat Penegak Hukum masih kurang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, sebagaimana
dalam
perlindungan,
kaidah-kaidah
penghargaan, pengembangan, dan pemenuhan hak anak konflik hukum. Prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah: 1. 2. 3. 4.
Non diskriminasi Kepentingan yang terbaik bagi anak Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan Penghargaan terhadap pendapat anak
Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan
Anak
perlindungan
anak
terpenuhinya
hak-hak
tumbuh, optimal
bertujuan
berkembang sesuai
kemanusiaan,
anak dan
dengan
serta
menyebutkan untuk agar
bahwa
menjamin
dapat
hidup,
berpartisipasi
secara
harkat
mendapat
dan
martabat
perlindungan
dari
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
28
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Pengertian lain dari anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak
mengemukakan
bahwa
anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Hak dan kewajiban anak diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 19 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pasal 4 Undang-undang Perlindungan
Nomor
Anak
23
Tahun
mengemukakan
2002
tentang
bahwa
anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dan anak berhak atas suatu akta sebagai identitas diri dan status kewaganegaraan. Setiap anak juga berhak untuk beribadah
menurut
agamanya,
berpikir
dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua. Pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan 1. 2.
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh
29
orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap anak juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan
dan
jaminan
sosial
sesuai
dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadiannya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga
berhak
memperoleh
pendidikan
luar
biasa,
sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang setiap
Perlindungan anak
Anak
berhak
menyebutkan
menyatakan
dan
bahwa didengar
pendapatnya menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai
keseusilaan
Undang-undang
Nomor
Perlindungan Anak
dan 23
kepatutan. Tahun
Pasal
2002
11
tentang
menyatakan bahwa setiap anak
berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Sedangkan memperoleh
anak
penyandang
rehabilitasi,
cacat
bantuan
pemeliharaan taraf kesejehtaraan sosial 30
sosial
berhak dan
Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengemukakan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: 1. 2. 3. 4. 5.
penyalahgunaan dalam kegiatan pemilu; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; pelibatan dalam peperangan.
Perlindungan terhadap anak juga diatur di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak di dalam Pasal 2, bahwa: 1.
2.
3.
4.
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar; Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan negara yang baik dan berguna; Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan; dan Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang
tua
terhadap
berkewajiban
dan
penyelenggaraan
bertanggung perlindungan
jawab anak.
Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah terhadap anak diuraikan dalam Pasal 20 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan 31
bertanggung jawab menghormati, dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental anak. Negara dan pemerintah juga berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Pasal 25 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan
Anak
menyatakan
bahwa
kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran
masyarakat
dalam
penyelenggaraan
perlindungan anak. Perlindungan hukum bagi anak diatur dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yaitu sebagai berikut: 1.
2.
32
Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi tersebut dilakukan melalui: (a) Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;(b)Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi dan; (c)Perlibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swa-daya masyarakat dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual; (d) Setiap orang dilarang
menempatkan, membiarkan, melakukan menyuruh mela-kukan atau turut serta melakukan eks-ploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
Dalam terhadap
upaya
kepentingan
memberikan dan
hak-hak
perlindungan anak
yang
berhadapan dengan hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan perundangundangan terkait, antara lain Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Masalah
perlindungan
hak-hak
anak
yang
berhadapan dengan hukum, yang terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan bahwa: 1.
2.
3. 4.
5.
Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak; Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum; Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir; Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya;
33
6.
7.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Undang-undang
Nomor
3
Tahun
1997
menggunakan istilah “anak nakal” untuk mengartikan anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan terhadap anak nakal, maka menurut undang-undang ini tidak selalu anak pelaku tindak pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 24 Undangundang Nomor 3 Tahun 1997, bahwa tindakan yang dapat
dijatuhkan
kepada
anak
nakal,
berupa
pengembalian kepada orang tua, wali/orang tua asuh atau menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan
menyerahkannya
kepada
dan
latihan
kerja
atau
departemen
sosial
atau
organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor beberapa
pasal
23 Tahun 2002, ada
berhubungan
dengan
masalah
perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu: 1.
34
Pasal 1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
2.
3.
4.
5.
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari ke-kerasan dan diskriminasi. Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalah gunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi: (a) non diskriminasi; (b) kepentingan yang terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; (d) penghargaan terhadap pendapat anak Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Pasal 16, menentukan bahwa: (a) Setiap anak berhak memperoleh perlin-dungan dari sasaran penganiayaan, penyik-saan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; (b) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum; (c) Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apa-bila sesuai
35
6.
7.
8.
9.
36
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 17, menentukan bahwa: Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: (a) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan; (b) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; (c) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; (d) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum Pasal 18, menentukan bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pasal 59, menentukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lain-nya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran Pasal 64, menentukan bahwa: Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berhadapan dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui: (a) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan
martabat dan hak-hak anak; (b) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; (c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus; (d) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak; (e) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; (f) Pemberian jaminan untuk memper-tahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; (g) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk meng-hindari labelisasi.
Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan
“Pemerintah
dan
Anak,
Lembaga
dinyatakan
negara
bahwa:
lainnya
wajib
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat,
anak
yang
berhadapan
dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual,
anak
yang
diperdagangkan,
anak
yang
menjadi korban penyalah gunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang
terkait
kenakalan
di anak
dalam yang
penanganan harus
kasus-kasus
memperhatikan
perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan
37
hukum, yakni: (1) Polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut; (2) Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak; (3) Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihanpilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam
ins-titusi
penghukuman;
(4)
Institusi
penghukuman.4
B. Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Tugas dan wewenang Polri diatur dalam Pasalpasal Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara
Undang-undang
Republik
Nomor
2
Indonesia. Tahun
Pasal
2002
13
tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut: 1. 2. 3.
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003), hlm. 2 4
38
Dari wewenang adalah
pengaturan Kepolisian
melakukan
tersebut Negara
penyidikan
maka
tugas
Republik di
dan
Indonesia
mana
KUHAP
memberi definisi penyidikan sebagai “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya5. Dalam
melaksanakan
tugas
pokok
tersebut
menurut Pasal 14 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepolisian bertugas: 1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintahan sesuai kebutuhan; 2. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan; 3. membina masyarakat untuk mening-katkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan; 4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; 5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; 6. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentukbentuk pengamanan swakarsa;
Teguh Prasetyo, 2010. Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 65
5
39
7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; 8. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran, kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; 9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 10. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang; 11. memberikan pelayanan kepada masya-rakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian; serta 12. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
menjelaskan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah 1. 2. 3. 4. 5. 6.
40
menerima laporan dan atau pengaduan; membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menganggu ketertiban umum; mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrasi kepolisian; melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
7. 8. 9. 10. 11. 12.
13.
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; mencari keterangan dan barang bukti; menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; mengeluarkan surat izin dan atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan penga-dilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat lainnya; dan; menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Kemudian Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang untuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya Menyelenggarakan registrasi dan indentifikasi bermotor Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan Memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian
41
8.
Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional 9. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi dengan instansi terkait. 10. Mewakili pemerintahan Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian in-ternasional 11. Melakukan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
menjelaskan
bahwa
dalam
rangka
menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
berwenang
untuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
42
Melakukan penangkapan, penahanan penggeledahan dan penyitaan Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara Mengadakan penghentian penyidikan
9.
Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum 10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkap orang yang disangka melakukan tindak pidana 11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum 12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjelaskan tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut : 1. 2.
3. 4.
Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa Menghormati hak asasi manusia
43
Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
menyebutkan: 1. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. 2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
menyebutkan
bahwa
yang
dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dalam
bertindak
harus
mempertimbangkan
manfaat serta risiko dari tinda-kannya dan betul-betul untuk kepentingan umum. Dengan landasan inilah kepolisian
dapat
mene-rapkan
restorative
justice
sebagai alternatif penye-lesaian tindak pidana. Berdasarkan Modul Keadilan Restoratif, yang dikeluarkan
oleh
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia, peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam proses restorative justice terhadap tindak pidana antara lain sebagai berikut :
44
1.
Mempersiapkan pihak-pihak yang terlibat di dalam penyelesaian melalui restorative justice seperti korban, pelaku, keluarga pelaku, orang-orang penting lainnya yang perlu datang (siapa saja yang dirugikan oleh perbuatan pelaku) 2. Pihak-pihak yang perlu diperhitungkan namun tidak terlalu penting seperti pihak-pihak yang mendukung korban (yang dipersiapkan oleh korban) dan pihak-pihak yang mendukung pelaku (dipersiapkan oleh pelaku dan keluarga pelaku) 3. Hal-hal yang perlu diperhatikan seperti: (a) Memberi informasi kepada para pihak mengenai pertemuan; (b) Mendapatkan informasi dari para pihak yang akan membantu memfasilitasi pertemuan; (c) Menentukan tempat, ruang dan pengaturan tempat duduk dalam pertemuan tersebut; (d) Menyiapkan barang-barang lain yang mungkin diperlukan. 4. Mengecek bahwa para peserta akan hadir dan mempersiapkan bahwa ruangan benar-benar nyaman dan aman bagi semua pihak. 5. Menyiapkan daftar pertanyaan yang akan menjadi bahan pembicaraan dalam pertemuan tersebut.6
C.
Pendekatan Restorative Justice 1. Konsep Pendekatan Restorative Justice Pengertian Restorative justice menurut Marlina
adalah sebagai berikut : Proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk
6 Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2009, Modul Keadilan Restoratif, hlm.359
45
dalam satu pertemuan untuk bersamasama berbicara7.
Dari
pengertian
tersebut
maka
dapat
disimpulkan bahwa pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan
pada
keseimbangan
kondisi bagi
terciptanya
pelaku
tindak
keadilan pidana
dan serta
korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana
yang
berfokus
pada
pemidanaan
diubah
menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Prinsip yang dipaparkan oleh Tony Marshall dan Susan Sharpe adalah bahwa proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara8. Dalam pertemuan tersebut mediator
memberikan
kesempatan
kepada
pihak
pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelasjelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 25 8 Marlina, Ibid. h. 25 7
46
bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya
pihak
korban
dapat
memberikan
tanggapan atas penjelasan pelaku. Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan kerugian yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat mengharapkan
agar
pelaku
melakukan
suatu
perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali keguncangan/kerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya. Prinsip yang dikemukakan oleh Tony Marshall dan Susan Sharpe ini sebenarnya telah dipraktekkan selama ribuan tahun oleh masyarakat walaupun secara
nonformal.
Di
Indonesia
praktik
secara
restorative justice ini juga telah dilakukan yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan9. Tony
Marshall,
seorang
ahli
krimonologi
berkebangsaan Inggris dalam tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan:“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively Tony Marshall, dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2012, Modul Keadilan Restoratif, hlm.366 9
47
how to deal with the aftermath of the offence and its implication for the future” (restorative justice adalah sebuah
proses
dimana
para
pihak
yang
berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama
untuk
menyelesaikan
per-soalan
secara
bersama-sama bagaimana menye-lesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). Pandangan tahun
Michael
1999
Amerika,
Tonry,
terhadap
bahwa
melalui
kebijakan
restorative
penelitiannya
pemidanaan
justice
di
mempunyai
pengaruh besar karena kemampuan konsep tersebut memberikan manfaat kepada semua tahapan proses peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat dalam proses peradilan. Menurut Tony Marshall, ada 3 (tiga) konsep pemidanaan, yaitu: a. Structured sentencing (pemidanaan terstruktur); b. Indeterminate (pemidanaan yang tidak menentukan); dan c. Restorative / community justice (pemulihan/keadilan masyarakat). Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang
dikemukakan
tulisannya
oleh
“Restorative
Toni Justice
Marshal an
dalam
Overview”,
dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and Change” yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu : 48
a. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus; b. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan; c. Restorative Justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh; d. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal; e.
Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.
Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan
proses
peradilan
konvensional
merupakan
menentukan
kesalahan
konvensional.
Peradilan
pengadilan dan
yang
mengurus
kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang dilangsungkan oleh aturan yang sistemik. Praktik restorative justice yang ada sebenarnya merupakan sebagian dari tradisi dalam masyarakat atau hasil dari penelitian dan perjalanan panjang dari contoh yang diambil sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan
kasus
pidana
di
luar
peradilan.
Praktik-praktik yang ada tetap mempunyai dasar 49
prinsip restorative justice yang telah diakui di banyak negara yang mana dalam pelaksanaannya kini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara. Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika Serikat, Canada,
Australia,
dikelompokkan menjadi
dan
dalam
pioner
New
empat
Zealand
jenis
penerapan
dapat
praktik
restorative
yang justice
dibeberapa negara yaitu, Victim Offender Mediation (selanjutnya Group
disingkat
Conferencing
VOM),
Conferencing/Family
(selanjutnya
disingkat
FGC),
Circles dan Restorative Board/Youth Panels. Dalam dilakukan melalui
penanganan anak,
Putusan
memberikan
tindak
Mahkamah Nomor
pidana
Konstitusi
yang
Putusan
1/PUU-VIII/2010
pencerahan
baru
dalam
telah upaya
memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak terutama terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law) yakni melalui pendekatan restorative justice. Uji
materiil
yang
diajukan
oleh
KPAI
dan
Yayasan Pusat dan Kajian Anak Perlindungan Medan atas Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah terhadap 50
Konstitusi
Undang-undang
atas
Judicial
Pengadilan
review
Anak
ini
dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKPAM) telah menjatuhkan Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 Tanggal 24 Februari 2011, yang amar putusannya sebagai berikut : a.
Mengabulkan
permohonan
para
Pemohon
untuk sebagian; b.
Menyatakan frasa,"... 8 (delapan) tahun...," dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997
tentang
Pengadilan
Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa "...8 (delapan) tahun..." adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional),
artinya
inkons-
titusional, kecuali dimaknai "...12 (dua belas) tahun..."; c.
Menyatakan frasa,"... 8 (delapan) tahun...," dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997
tentang
Pengadilan
Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta 51
penjelasan khususnya (delapan)
tersebut
Undang-Undang terkait
dengan
tahun..."
tidak
frasa
"...8
mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally
unconstitutional),
artinya
inkonstitusional, kecuali dimaknai "...12 (dua belas) tahun..."; Dikaitkan
dengan
putusan
Mahkamah
Konstitusi tersebut Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurangkurangnya
12
(dua
belas)
tahun
tetapi
belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Kemudian apabila Si Anak melakukan tindak pidana pada batas umur sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan ketika diajukan ke sidang pengadilan anak yang bersangkutan melampaui batas 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai umur 21(dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. Apabila anak belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. Dan apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak masih dapat dibina oleh orang tua, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya, Namun jika menurut hasil pemeriksaan, 52
Penyidik berpendapat bahwa anak tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, Penyidik
menyerahkan
anak
tersebut
kepada
Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Jadi pada intinya Anak yang belum
berusia
12 (dua
belas) yang
melakukan tindak pidana tidak diajukan ke sidang pengadilan anak; Putusan
Mahkamah
Konstitusi
ini
pun
memutuskan bahwa mengenai penjatuhan pidana terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang
pengadilan
Anak
tidak
ada
perubahan. Penjatuhan Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: pidana penjara pidana kurungan, pidana denda; atau pidana pengawasan. Pidana tambahan dapat dijatuhkan yaitu berupa perampasan
barang-barang
tertentu
dan
atau
pembayaran ganti rugi. (Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah) Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan
penerapan
pendekatan
restorative
justice
dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum menyatakan bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: 53
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh; b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c.
Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi
Sosial
kemasyarakatan
yang
bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Penjatuhan tersebut dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. 2. Model Restorative Justice Model common
law
restorative sangatlah
justice
di
beragam10
negara-negara sebagaimana
dikemukakan oleh Jim Dignan bahwa penggunaan proses restorative justice di dalam kejahatan ringan yang dilakukan oleh anak muda adalah dengan cara penggunaan inisiatif polisi atau pun usaha untuk meminimkan penyelesaian di dalam pengadilan. Berkaitan dengan model restorative justice, Jim Dignan berpendapat bahwa ada 3 poin penting yang perlu dipikirkan yang secara lengkapnya adalah bahwa The first faultline related to the concept of restorative justice itself, and the way this has been defined by restorative justice advocates. It encompasses an important split between those who conceptualise restorative justice exclusively or primarily
Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, hlm. 127 10
54
in terms of an particulary kind of process and those for whom the concept also extends to outcomes of a particularly kind, irrespective of the decision making process that is involved. The second faultline relates to the focus of different restorative justice practices and the primacy or standing that is accorded to each of the main stakeholders, victim, offender, community and state, with regard to specific offences. And the third faultline relates to the kind of relationship that is envisaged between retorative justice initiatives, whatever form they take, that the regular criminal justice system. To some extent, as we shaal see, there may be an tendency for attitudes to polarise in a consistent direction or in the sam plane, across all three sets of faultline and, to that extent, the faultlines themselves may help to delineate a number of quite distinct lines of potential development for restorative justice to take in the future. Or so I shall be arguing.11 But first it is important to expose the three principal fault-lines themselves and the differences of opinion with which they are associated12. (Poin pertama terkait dengan konsep keadilan restoratif itu sendiri, dan cara ini telah didefinisikan oleh para pendukung keadilan restoratif. Hal ini meliputi perpecahan penting antara mereka yang membuat konsep keadilan restoratif secara eksklusif atau terutama
Ibid Jim Dignan, Restorative Justice and the Law; The Case for an integrated Systemic Approach, Paper yang dipresentasikan dalam The Fifth International Conference of the International Network for Research on Restorative Justice for Juveniles berjudul Positioning Restorative Justice diselenggarakan di Leuven tanggal 16-19 September 2001, hlm. 5-6 11 12
55
dalam hal jenis yang khususnya proses dan mereka yang konsep juga meluas ke hasil dari sangat baik, terlepas dari proses pengambilan keputusan yang terlibat. Poin kedua yang berhubungan dengan fokus praktek keadilan restoratif yang berbeda dan keutamaan atau berdiri yang diberikan kepada masingmasing pemangku kepen-tingan utama, korban, pelaku, masyarakat dan negara, yang berkaitan dengan pelanggaran tertentu. Dan poin ketiga berkaitan dengan jenis hubungan yang dipertimbangkan antara inisiatif keadilan retorative, bentuk apapun yang mereka ambil, bahwa sistem peradilan pidana biasa. Sampai batas tertentu, seperti yang dapat kita lihat, mungkin ada kecen-derungan sikap polarisasi dalam arah yang konsisten atau pada bidang yang sama, di semua tiga poin tersebut dapat membantu untuk menggambarkan sejumlah baris cukup berbeda dari potensi pengembangan keadilan restoratif untuk mengambil di masa depan. Tapi pertama-tama, penting untuk mengekspos tiga pokok poin itu sendiri dan perbedaan pendapat dengan mereka
Jim
Dignan,
menjelaskan
bahwa
restorative
justice pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda
dari
peradilan
pidana.
Yang
pertama
berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan dengan
„keadilan
distributif‟,
yang
penekanan
utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. 56
Dan yang ketiga adalah „keadilan restoratif‟, yang secara Eglash
luas
disamakan
dianggap
dengan
sebagai
prinsip
orang
restitusi.
pertama
yang
menghubungkan tiga hal tersebut dengan pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang berbahaya dari tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif melibatkan, baik korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya). Restorative justice dianggap sebagai salah satu cara untuk memediasi antara korban dan pelaku kejahatan
dalam
permasalahan,
usaha
yang
untuk
menyelesaikan
mendepankan
kepentingan
korban di atas yang lainnya. Namun demikian, berdasarkan hasil studi empiris yang telah dilakukan oleh pakar, masih terdapat banyak perdebatan tentang bentuk ideal dari restorative justice sebagai wadah mediasi antara korban dan pelaku yang menekankan kepentingan korban dari pada yang lain.
57
Lagi
pula,
dalam
ajaran
restorative
justice,
kejahatan jangan hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap negara dan kepentingan umum. Konflik juga merepresentasikan
terganggu
atau
terputusnya
hubungan antar individu dalam masyarakat. Hakim harus mampu menyelesaikan konflik secara adil dan memuaskan para pihak. Jim Dignan memberikan pandangan bahwa model restorative justice harus berkaitan dengan tiga poin
penting
yakni,
bahwa
pertama,
pendekatan
restorative justice harus berkaitan dengan konsep restorative justice itu sendiri, kedua, fokus pada praktek restorative justice di lapangan dan ketiga, hubungan antara inisiatif restorative justice dengan sistem peradilan pidana.13 Selain pandangan Jim Dignan mengenai model restorative
justice
tersebut,
Jon
Braithwaite
mempunyai pandangan adanya 2 model restorative justice yaitu partially integrated twin track model restorative justice dan a systemic model of restorative justice14.
Ridwan Mansyur, Op Cit, hlm. 130 Braithwaite, The Political agenda of republican criminology, paper yang dipresentasikan pada British Criminological Society Conference, York tanggal 27 Juli 1991, Jim Dignan, Restorative Justice and The Law: The Case for an Integrated Systemic Approach, Paper yang dipresentasikan dalam The Fifth International Conference of the International Network for Research on Restorative Justice for Juveniles berjudul Positioning Restorative Justice diselenggarakan di Leuven tanggal 16-19 September 2001, hlm. 18-21 13 14
58
Model pertama yakni partially integrated twin track model restorative justice oleh John Braithwaite digambarkan dalam diagram sebagai berikut :
ASSUMPTION Incompetent or irrational Rational actor
INCAPACITATI
DETERRENCE
Virtuous actor
RESTORATIVE JUSTICE
Gambar 2.1. Model 1 dari Restorative Justice Jon Braithwaite Di dalam model pertama ini, John Braithwaite menggambarkan
bahwa
proses
restorative
justice
berjalan beriringan dengan ukuran kemampuan dan pencegahan, dan bukannya berjalan bersamaan dalam satu
prinsip
restorative
justice.
Maka
dari
itu,
fundamental restorative justice hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan yang benar-benar menginginkan adanya perbaikan sehingga dimungkinkan adanya negosiasi demi restorative justice berlandaskan itikad baik, sehingga tidak semua pelaku kejahatan dapat masuk ke dalam model ini untuk menuju negosiasi yang berasaskan restorative justice.
59
Sedangkan model restorative justice kedua dari Jon
Braithwaite
digambarkan
di
dalam
gambar
berikut:
ASSUMPTION Incorrigible actor who is Determined to inflict serious Harm on others
INCAPACITATION
Serious or persistence Repeat offender
COURT IMPOSED PRESUMPTIVE RESTORATIVE
Recalcitrant offender Or unwilling victim
Most offenders
COURT IMPOSED
INFORMAL RESTORAIVE JUSTICE PROCESS OR REPARATIVE OUTCOMES
Gambar 2.2. Model 2 dari Restorative Justice Jon Braithwaite Di dalam model kedua ini menggambarkan model alternatif. Model ini lebih cenderung mengarah kepada
kepuasan
dari
korban
dan
bukannya
penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang dilakukan pada sistem peradilan pidana pada model kedua ini pertama kali dapat dilakukan di kepolisian maupun badan yang berwenang seperti kejaksaan atau pun pengadilan. Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan maafnya kepada korban atau 60
pun
bentuk-bentuk
perbaikan
bagi
korban
yang
disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Bagi pelaku kejahatan yang rasional, ada kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam bernegosiasi. Oleh karena itu, John Braithwaite telah mengantisipasinya active
dengan
deterrence.
menggunakan
Prinsip
ini
pada
prinsip intinya
mengingatkan kepada pelaku kejahatan bahwa apabila negosiasi
gagal,
pelaku
kejahatan
tersebut
akan
kembali ke proses penahanan. Jalan keluar bagi pelaku kejahatan adalah penahanan. Kelemahan dari model ini adalah lebih cenderung mengarah pada penghukuman
bagi
pelaku
kejahatan
dari
pada
penyelesaian berdasarkan restorative justice15. Kedua model ini dapat berjalan beriringan atau pun sebegai alternatif pilihan bagi para pihak. Namun bagi pelaku kejahatan yang tergolong residivis tetap harus menggunakan daya paksa yang dilakukan oleh pengadilan melalui putusan yang bersifat restorasi. Jalan terakhir bagi pelaku kejahatan yang memang terlalu sering melakukan kejahatan serupa dan tidak menginginkan perbaikan baik bagi dirinya maupun korban,
maka
hanyalah
penahanan
yang
dapat
diberikan.16 Selanjutnya
berdasarkan
komparasi
implementasi mediasi penal dari beberapa negara,
15 16
Ibid, hlm, 18-21 Ibid, hal. 18-21
61
Barda
Nawawi
mengelompokkan
mediasi
penal
menjadi enam model yaitu sebagai berikut:17 a. Informal Mediation Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana
(criminal
normalnya
justice
yaitu:
personnel)
(1)Jaksa
dalam
Penuntut
tugas Umum
mengundang para pihak untuk penyelesaian informal dengan tujuan untuk tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan;(2) Pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer) yang berpendapat bahwa
kontak
dengan
korban
akan
mempunyai
pengaruh besar bagi pelaku tindak pidana;(3) Pejabat polisi
menghimbau
perselisihan
keluarga
yang
mungkin dapat menenangkan situasi tanpa membuat penuntutan pidana;(4) Hakim dapat juga memilih upaya
penyelesaian
di
luar
pengadilan
dan
melepaskan kasusnya; Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum. a. Traditional village or tribal moots Menurut model ini seluruh masyarakat bertemu untuk
memecahkan
konflik
kejahatan
di
antara
warganya. Model ini di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan/pedalaman. Model ini mendahului keuntungan bagi masyarakat luas. Model
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Governance, Jakarta, 27 Maret 2007
17
62
ini mendahului model Barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan
berbagai
keuntungan
dari
pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum. 2. Victim offender mediation Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan
proses
penuntutan,
baik
tahap
pada
tahap
kebijaksanaan
pembiasaan polisi,
tahap
pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan) dan ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk residivis. 3. Reparation negoitation programmes Model
ini
semata-mata
untuk
menak-
sir/menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat peme-riksaan
di pengadilan.
Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi 63
antara para pelaku tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiil. Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja yang dengan demikian dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/ kompensasi. 4. Community panels or courts Model
ini
merupakan
program
untuk
membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan
pada
prosedur
masyarakat
yang
lebih
fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi
atau
negosiasi.
Pejabat
lokal
dapat
mempunyai lembaga/badan tersendiri untuk mediasi itu. 5. Family and community group conferences Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam
Sistem
Pera-dilan
Pidana.
Tidak
hanya
melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para
pendukung
diharapkan
korban.
menghasilkan
Pelaku
dan
kesepakatan
keluarga yang
komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga agar si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.
64
3.
Mediasi
sebagai
Bentuk
Penerapan
Restorative Justice Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) menurut Wicipto
Setiadi
adalah
mekanisme
penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Dalam konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan lain-lain. Selain itu APS
dapat
diartikan
sebagai
forum
penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dan arbitrase18. Salah satu metode APS yang dikenal dan diakui hingga berada di dalam Sistem Peradilan adalah mediasi.
Mediasi
dikenal
sebagai
media
untuk
menyelesaikan permasalahan. Mediasi dapat diartikan beragam. Hal tersebut tampak pada pandangan beberapa ahli
mediasi
yang
mengartikan
mediasi
seperti
J. Foberg dan A. Taylor yang mengatakan bahwa proses yang dilakukan olah para pihak, bersama dengan sengketa
pendukung untuk
netral,
mengembang-kan
mempertimbangkan kesepakatan
yang
yang
alternatif dapat
mengisolasi
isu
pilihan-pilihan, dan
mencapai
meng-akomodasikan
keinginan mereka19.
Wicipto Setiadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam http://www.legalitas.org,, diakses 30 Februari 2014 19 J. Foberg dan A. Taylor, 1984, Mediation: A Comprehensive Guide to Resolving Conflict Without Litigation, hlm. 7 18
65
Sedangkan Laurence Bolle mengartikan mediasi sebagai proses pembuatan keputusan yang mana para pihak dibantu oleh pihak ketiga, mediator berusaha untuk meningkatkan proses pembuatan keputusan dan untuk membantu para pihak dalam mencapai hasil yang mereka setujui20 Peraturan Perempuan
Menteri
dan
Negara
Perlindungan
Pemberdayaan Anak
Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum mengatur tentang penanganan pendekatan keadilan restoratif bagi anak yang melakukan tindak pidana dengan jenis-jenisnya sebagai berikut : Mediasi korban dengan pelaku Tujuan mediasi adalah menyelesaikan sengketa melalui
proses
kesepakatan
perundingan
para
pihak
guna
dengan
memperoleh dibantu
oleh
mediator. Sebagai mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. a. Musyawarah Keluarga Dimaksudkan
untuk
menyelesaikan
perkara
anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga pelaku dan keluarga korban dengan difasilitasi oleh
Laurence Bolle, 1966, Mediation: Principle, Process, Practice, hlm. 1
20
66
fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam musyawarah keluarga perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Keterlibatan pihak-pihak terkait yang meliputi korban, pelaku, keluarga dan orang-orang yang dekat dengan anak; (2) Pihak lain yang perlu dilibatkan yaitu pihak yang mendukung korban dan pihak yang mendukung pelaku; (3) Hal-hal lain yang perlu diperhatikan antara lain memberikan informasi kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan mekanisme pertemuan;
b. Musyawarah Masyarakat Dimaksudkan
untuk
menyelesaikan
perkara
anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga pelaku,
keluarga
korban
dan
tokoh
masyarakat/agama dengan difasilitasi oleh seorang fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam
musyawarah
masyarakat
perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) Keterlibatan pihak-pihak terkait meliputi korban, pelaku, keluarga dan orang-orang yang dekat dengan anak, tokoh masyarakat/agama dan siapa saja yang dirugikan oleh perbuatan tersebut;(2) Pihak lain yang perlu dilibatkan yaitu pihak yang mendukung korban dan pihak yang mendukung diperhatikan
pelaku;(3) antara
Hal-hal lain
lain
yang
memberikan
perlu
informasi 67
kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan mekanisme pertemuan. Mekanisme penanganan dengan pende-katan keadilan restoratif yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Negara
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah sebagai berikut : a. Penyidik,
penuntut
umum
dan
hakim
dalam
menyelesaikan perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif harus mempertimbangkan halhal sebagai berikut:(1) Kategori tindak pidana; (2) Umur anak;(3) Hasil penelitian kemasyarakatan dari
Balai
Pemasyarakatan;(4)
Kerugian
yang
ditimbulkan;(5) Tingkat perhatian masyarakat; (6) Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. b. Tahapan dalam musyawarah 1)
Tahap menggali informasi a)
Informasi
pelaku:
(1)
Fasilitator
mengadakan perte-muan dengan pelaku dengan melibatkan pihak terkait (keluarga dan orang-orang yang dekat dengan pelaku, pembimbing ke-masyarakatan BAPAS dan pekerja sosial tanpa melibatkan korban dan keluarga
korban;(2)
perkenalan;(3)
Penyambutan
Fasilitator
dan
membacakan
krono-logi perkara dengan rinci; (4) Pelaku 68
memberikan kesempatan untuk merespons kronologi
perkara
tersebut
dan
pelaku
dapat menerima atau menolak bertanggung jawab atas perbuatan tersebut;(5) Bila anak mengakui
perbuat-annya
bertanggung perka-ra
jawab
bisa
maka
dilanjutkan
dan
mau
penyelesaian dengan
mu-
syawarah;(6) Namun apabila anak tidak mengakui perbuatannya maka musyawarah tidak bisa dilanjutkan dan kasus harus dikem-balikan ke proses formal;(7) Usaha harus dilakukan untuk mendorong agar anak mengatakan apa sebenarnya yang terjadi. b)
Informasi korban: (1)Fasilitator mengadakan pertemuan melibatkan
dengan pihak
korban
terkait
dengan
(keuarga
dan
orang-orang yang dekat dengan pelaku, pembim-bing kemasyarakatan BAPAS dan pekerja sosial) tanpa melibatkan pelaku dan keluarga
pelaku;
(2)
Korban
diberi
kesempatan bicara tentang apa yang telah terjadi bagaimana ia dirugikan dan apa yang dianggap perlu untuk dilakukan oleh pelaku
agar
dapat
mengganti
kesa-
lahannya; (3) Pertimbangan keluarga.
69
Keluarga
masing-masing
pihak
diberi
kesempatan untuk berunding dan harus menjawab pertanyaan sebagai berikut : a)
2)
Bagaimana anak dapat mengganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban, keluarga dan masyarakat; b) Rencana apa yang anak dapat lakukan bersama keluarganya untuk mencegah pengulangan perbuatan tersebut. Negosiasi dan perjanjian Fasilitator diperlukan untuk me-meriksa hal-hal
sebagai berikut : a)
Apakah rencana ini telah me-menuhi kebutuhan korban; b) Apakah rencana ini telah meme-nuhi kebutuhan masyarakat; c) Apakah rencana ini telah realistis dan dapat dicapai; d) Apakah rencana ini dilakukan dalam jangka waktu yang relevan; Apakah rencana ini dapat diukur; e) f) Apakah rencana ini layak dan proporsional; g) Apakah rencana ini melindungi hak anak dan memajukan perkembangan anak; h) Apakah rencana ini memprediksi antisipasi apa yang akan dilakukan bila rencana ini berhasil atau tidak berhasil. Setelah memeriksa rencana tersebut maka fasilitator
mulai
melakukan
perundingan
dengan
melibatkan keluarga pelaku, keluarga korban (untuk musyawarah
70
keluarga).
Untuk
musyawarah
masyarakat
perlu
juga
melibatkan
tokoh
masyarakat/tokoh agama. Keputusan
hasil
musyawarah
harus
mendapatkan persetujuan korban dan keluarganya serta
persetujuan
anak
sebagai
pelaku
dan
keluarganya. Hasil
kesepakatan
keadilan
restoratif
dapat
berupa hal-hal sebagai berikut : a. Perdamaian
dengan
atau
tanpa
ganti
kerugian; b. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali. c. Keikutsertaan
dalam
pendidikan
atau
pelatihan ke lembaga pendidikan, lembaga penyelenggara
ke-sejahteraan
sosial
atau
lembaga kesejahteraan sosial; d. Pelayanan masyarakat. 4. Prinsip-prinsip Restorative Justice a. Membuat
pelanggar
untuk
memperbaiki
bertanggung
jawab
kerugian
yang
ditimbulkan oleh kesalahannya. b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk
membuktikan
kualitasnya
di
samping
kapasitas mengatasi
dan rasa
bersalahnya secara konstruktif. c. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah dan teman sebaya.
71
d. Menciptakan
forum
untuk
bekerja
sama
dalam menyelesaikan masalah. e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dan reaksi sosial yang formal.
72