BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.
Teori Belajar Dienes (Teori Permainan) Terinspirasi dari Jean Piaget, Zoltan Dienes (1981) kemudian
merumuskan teorinya yang dikenal dengan teori Dienes. Teori Dienes memusatkan perhatian pada cara-cara pengajaran matematika terhadap anak-anak sedemikian rupa, sehingga menarik perhatian bagi anak-anak yang mempelajari matematika. Menurut Dienes (dalam Suherman, 2003; Ruseffendi, 2006) bendabenda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika. Makin banyak bentukbentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal- hal yang bersifat logis dan sistematis dalam konsep yang dipelajarinya. Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan- hubungan diantara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan diantara strukturstruktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk konkret, akan dapat dipahami dengan baik. Menurut Dienes (dalam Ruseffendi) konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu: a. Permainan Bebas (Free Play) Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-
5
konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi. b. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games) Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti polapola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal- hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam- macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning). c. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities) Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok).
6
d. Permainan Representasi (Representation) Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini. Segitiga Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga 0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ….. diagonal ……. Diagonal e. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization) Simbolisasi termasuk
tahap
belajar konsep
yang
membutuhkan
kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak. f. Permainan dengan Formalisasi (Formalization) Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampumerumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut. Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan
7
peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam- macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep. Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbedabeda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara
penuh
tentang
variabel- variabel
matematika.
Variasi
matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep yang lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut.
2.2.
Hasil Belajar
2.2.1
Definisi Belajar Menurut Slameto (2010:2), belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Sudjana (2005), mengatakan bahwa belajar dan mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur yang dapat dibedakan, yakni tujuan pengajaran (instruksional), pengalaman (proses) belajar mengajar, dan hasil belajar.
8
Menurut Syamsudin (2000), mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu. Gagne (dalam Nurul A, 2006) mengungkapkan bahwa belajar adalah suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman. Karena itu belajar dicirikan dengan tiga hal yaitu: a. Belajar adalah perubahan tingkah laku. b. Perubahan terjadi karena latihan dan pengalaman, bukan karena pertumbuhan. c. Perubahan tersebut harus bersifat parmanen dan tetap ada dalam waktu yang cukup lama. Dari pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan suatu usaha individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku secara keseluruhan yang terjadi karena pengalaman yang telah dialami melalui interaksi dengan lingkungannya dalam suatu proses belajar mengajar. Bukti bahwa seseorang telah belajar ialah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut, baik dalam aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), maupun dalam ketrampilannya (psikomotorik). 2.2.2. Pengertian Hasil Belajar Perubahan akan terjadi pada setiap individu yang melakukan kegiatan belajar, perubahan tersebut baik perubahan pengetahuan, sikap maupun ketrampilan. Dalam lembaga pendidikan formal, nilai suatu pembelajaran dinamakan hasil belajar, dan tinggi rendahnya hasil belajar diukur dan dinyatakan dalam bentuk nilai atau angka. Keberhasilan belajar dapat dilihat dan diketahui berdasarkan perubahan perilaku setelah diadakan kegiatan belajar, sebagaimana dikemukakan oleh Winkel (2005), bahwa hasil belajar mencakup tiga kemampuan, yaitu: a. Kemampuan kognitif, yaitu hasil belajar yang berkenaan dengan pemahaman pengetahuan dan pengertian pada suatu materi yang meliputi: 1) Pengetahuan, yaitu kemampuan mengingat kembali hal- hal yang pernah dipelajari; mencakup fakta, prinsip dan metode yang diketahui. 2) Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna atau arti dari suatu konsep sehingga dapat menguraikan isi pokok dari suatu makna.
9
3) Penerapan, yaitu kemampuan menerapkan dan mengabstraksikan suatu konsep atau ide dalam situasi yang baru. 4) Analisis, yaitu kemampuan untuk merinci satu kesatuan ke dalam bagianbagian, sehingga organisasinya dapat dipahami dengan baik. 5) Sintesis, yaitu kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal dan dapat mempertanggungjawabkan berdasarkan kriteria itu. b. Kemampuan Afektif, yaitu tahap-tahap perubahan sikap, nilai dan kepribadian setelah mendapatkan pengetahuan dari proses belajar meliputi: 1) Penerimaan, yaitu kepekaan dalam meneriman rangsangan dan kesediaan untuk memperhatikan rangsangan itu. 2) Partisipasi, yaitu kesediaan untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan. 3) Penentuan sikap, yaitu kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu. 4) Organisasi, yaitu kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan. 5) Pembentukan pola hidup, yaitu kemampuan untuk menghayati nilai- nilai kehidupan sedemikan, sehingga menjadi milik pribadi dan menjadi pegangan nyata. c. Kemampuan Psikomotor, yaitu kesatuan psikis yang dimanifestasikan dalam tingkah laku fisik (sekumpulan ketrampilan dalam bidang tertentu), yang meliputi: 1) Persepsi, yaitu kemampuan membedakan antara dua perangsang atau lebih berdasarkan ciri-ciri khas pada masing- masing rangsangan. 2) Kesiapan, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam keadaan akan memulai suatu gerakan atau serangkaian gerakan. 3) Gerakan terbimbing, yaitu mencakup kemampuan untuk melakukan suatu rangkaian-rangkaian gerak-gerik sesuai dengan contoh yang diberikan.
10
4) Gerak terbiasa, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu rangkaian gerak-gerik dengan lancar, karena telah dilatih secukupnya tanpa lagi memperhatikan lagi contoh. 5) Gerakan
kompleks,
yaitu
kemampuan
untuk
melaksanakan
suatu
ketrampilan dengan lancar, cepat dan efisien. 6) Penyesuaian pola gerakan, yaitu kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak- gerik dengan kondisi setempat atau dengan menunjuk suatu taraf ketrampilan yang telah mencapai kemahiran. 7) Kreativitas, yaitu kemampuan untuk melahirkan pola gerak- gerik yang baru atas dasar inisiatif sendiri. Indikator hasil belajar berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku siswa terdiri atas tiga kemampuan, yaitu kemampuan kognitif, yang diartikan sebagai hasil belajar berkenaan dengan pemahaman pengetahuan peserta didik dalam mempelajari Matematika, kemampuan afektif yang diartikan sebagai hasil belajar yang merupakan tahapan perubahan sikap, nilai dan kepribadian peserta
didik
dalam
mengikuti pembelajaran,
psikomotorik
merupakan kesatuan yang dimanifestasikan dalam perilaku atau tingkah laku berupa sekumpulan ketrampilan. 2.2.3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Proses belajar mengajar diharapkan dapat memberikan keberhasilan yang
memuaskan bagi sistem pengajaran, guru dan terutama peserta didik. Akan tetapi pada kenyataannya dalam usaha pencapaian tujuan tersebut, terkadang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hambatan inilah yang harus diketahui agar dapat dihindarkan sehingga tidak menimbulkan kegagalan. Menurut Muhibbin Syah (2002), faktor- faktor yang mempengaruhi belajar dibedakan menjadi tiga yaitu: a. Faktor internal (faktor- faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik), di antaranya: 1) Aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) diantaranya kondisi kesehatan, daya pendengaran dan penglihatan, dan sebagainya. 2) Aspek psikologis yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran peserta didik, diantaranya yaitu kondisi rohani peserta didik,
11
tingkat kecerdasan/intelegensi, sikap, bakat, minat, dan motivasi peserta didik. b. Faktor Eksternal (faktor-faktor yang berasal dari luar diri peserta didik), diantaranya: 1) Lingkungan sosial, seperti para guru, staff administrasi, dan teman-teman sekelas, masyarakat, tetangga, teman bermain, orangtua dan keluarga peserta didik itu sendiri. 2) Lingkungan non sosial, seperti gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat keluarga peserta didik dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan peserta didik. c. Faktor Pendekatan Belajar, dapat dipahami sebagai cara atau strategi yang digunakan peserta didik dalam menunjang efektivitas belajar dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu.
2.3.
Matematika
2.3.1. Pengertian Matematika Andi Hakim Nasution (1982), mengatakan bahwa istilah matematika berasal dari kata Yunani, mathein atau manthenein yang berarti mempelajari. Kata ini memiliki hubungan yang erat dengan kata Sanskerta, medha atau widya yang memiliki arti kepandaian, ketahuan, atau intelegensia. Dalam bahasa Belanda, matematika disebut dengan kata wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar (hal ini sesuai dengan arti kata mathein pada matematika). Dienes mengatakan bahwa matematika adalah ilmu seni kreatif. Oleh karena itu, matematika harus dipelajari dan diajarkan sebagai ilmu seni. (Ruseffendi, 1988). Bourne juga memahami matematika sebagai konstruktivisme sosial dengan penekanannya pada knowing how, yaitu pelajar dipandang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan pengertian knowing that yang dianut oleh kaum absoluitis, di mana pebelajar dipandang sebagai mahluk yang pasif dan seenaknya dapat diisi informasi dari tindakan hingga tujuan. (Romberg, T.A. 1992).
12
Johnson & Rising (dalam Russefendi, 1972) mengatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefenisikan dengan cermat, jelas dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, berubah bahasa simbol mengenai ide daripada bunyi. Matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori- teori dibuat secara deduktif berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya; matematika adalah ilmu tentang keteraturan pola atau ide; dan matematikan itu adalah seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan keharmonisannya. Menurut Reys, dkk (1984), matematika adalah telahaan tentang pola hubungan, suaut jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat. Kline (1973) mengatakan baha matemika bukan tentang pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama
untuk
membantu
manusia
dalam
memahami
dan
menguasai
permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Matematika yang dimaksud dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah adalah Matematika Sekolah (Wahyudin, 1999), yaitu matematika yang diajarkan disekolah. Matematika merupakan suatu alat komunikasi yang tangguh, singkat, padat, dan tak memiliki arti ganda. Selain itu, matematika juga mengembangkan kemampuan berpikir logis dan akurasi. Alasan lainya matematika diajarkan di sekolah yaitu kepentingan dan kegunaannya bagi berbagai bidang studi lain, seperti fisika, sains pengobatan serta biologi, geografi dan ekonomi, studi-studi bidang bisnis dan manajemen, operasi industri dan perdagangan, baik dalam segi perkantoran maupun bagi produksi dan pemasarannya.
2.4.
Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Matematika di SD
2.4.1. Fungsi Pembelajaran Matematika di SD Fungsi mata pelajaran matematika sebagai berikut: alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan.
13
1) Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaanpersamaan, atau tabel-tabel dalam model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya. Bila siswa dapat melakukan perhitungan, tetapi tidak tahu alasannya, maka tentu ada yang salah dalam pembelajarannya atau ada sesuatu yang belum dipahaminya. 2) Belajar matematika bagi para siswa, juga merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan diantara pengertian-pengertian itu. Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan abstraksi. Dengan pengamatan terhadap contoh-contoh dan bukan contoh, diharapkan siswa mampu menangkap pengertian suatu konsep. 3) Fungsi matematika sebagai ilmu atau pengetahuan, dan tentunya pengajaran matematika di sekolah harus diwarnai oleh fungsi yang ketiga ini. Guru perlu menunjukkan betapa matematika selalu mencari kebenaran, dan bersedia meraat kebenaran yang sementara diterima, bila ditemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang pola pikir yang sah. Mengacu pada Garis-Garis
Besar Program Pengajaran (GBPP)
matematika, bahwa tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi dua hal yaitu: 1. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien. 2. Mempersiapkan agar siswa dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari- hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tahun 2006 disebutkan bahwa fungsi mata pelajaran matematika di SD adalah wahana meningkatkan ketajaman penalaran siswa yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan
14
permasalahan sehari-hari, dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol yang tersusun. Sedangkan menurut KTSP tujuan matematika sebagai mata pelajaran di SD adalah sebagai berikut (Depdiknas, 2004): 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau alogaritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan penyataan matematika. 3. Memecahkan masalah meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
2.5.
Kajian yang Relevan Hamidah, Nimah (2006). Penerapan Teori Dienes untuk Mengatasi
Kesulitan Belajar Soal Cerita Operasi Campuran di Kelas III SDN Capang I Purwodadi Pasuruan. Pertama,
faktor
yang
mempengaruhi
kesulitan
belajar
yaitu
penggunaan model pembelajaran yang konvensional" Kedua, pembelajaran soal cerita pada pokok bahasan operasi hitung campuran melalui model pembelajaran yang bervariasi dapat meningkatkan semangat belajar siswa" Ketiga, melalui penerapan teori Dienes dalam pembelajaran soal cerita operasi campuran dapat mengatasi kesulitan belajar siswa sehingga meningkatkan hasil belajar siswa dari 61,5 menjadi 85,5.
15
Penelitian Ika Anggraheni (2011). Berjudul “Penerepan metode bermein sambil belajar sains untuk mengembangkan kemampuan koknitif anak kelompok A TK Dharma Wanita Persatuan III Beji Pasuruan”. Hasil penelitian ini menujukkan pelaksanaan metode bermain sambil belajar sains kelompok A TK Dharma Wanita Persatuan III Beji dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa, terbukti dari hasil yang di peroleh siswa dengan rata-rata hasil tes mulai dari pra tindakan (42,56) dengan presentase (8%) meningkat siklus I pertemuan pertama (54,08) dengan presentase (20%) dan meningkat lagi siklus I pertemuan ke dua (76.08%) dengan presentase 100%
2.6.
Kerangka Berpikir Penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Sebagaimana pada umumnya
penelitian eksperimen, maka tahap pertama yang dilakukan sebelum melakukan tahap-tahap berikutnya dalam penelitian adalah penentuan subyek penelitian. Pada penelitian ini siswa SD kelas IV SD Negeri Seraten 01 sebagai kelas eksperimen, sedangkan SD Negeri Candirejo 02 sebagai kelas control yang akan dijadikan sebagai subyek penelitian. Siswa akan dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok control. Sebelum kelompok eksperimen diajarkan dengan metode belajar Dienes, kedua kelompok terlebih dahulu diuji sebagai tes awal. Setelah dilakukan tes awal, kedua kelompok baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol akan diberi pelajaran matematika. Pada kelompok eksperimen diberi pelajaran matematika dengan metode belajar dari teori belajar Dienes (permainan) dan pada kelompok kontrol diberi pelajaran matematika dengan metode ceramah. Setelah itu kedua kelompok diuji kembali dengan tes akhir atau tes setelah perlakuan yang disebut juga dengan post test. Setelah hasil pos test diperoleh kemudian dianalisis untuk dilihat adakah pengaruh teori belajar Dienes terhadap hasil belajar matematika siswa SD kelas IV SD Negeri Seraten 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Se marang.
16
Post test
Pembelajaran
Kelas Pre test
kontrol
seperti biasa yang dilakukan guru kelas (ceramah)
Terdapat
pengaruh
yang
signifikan dengan penggunaan model
pembelajaran
dengan
teori
Dienes dimana hasil
belajar kelas eksperimen lebih
Kelas
Pre test
eksperimen
Pembelajaran
tinggi dari kelas kontrol
dengan Model teori bermain Dienes
Post test
Bagan 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian
2.7.
Hipotesa Berdasarkan uraian di atas dapatlah dirumuskan hipotesis eksperimen
sebagai berikut: pembelajaran Teori Dienes efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran Matematika di kelas IV SD Negeri Sraten 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Pada Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012
17