36
BAB II GREEN BANKING DALAM KEBIJAKAN PERKREDITAN DI INDONESIA
A. Bank, Lingkungan, dan Pembangunan Berkelanjutan Trilogi
pembangunan
adalah
wacana
pembangunan
nasional
yang
dicanangkan oleh pemerintahan orde baru di Indonesia dalam sebagai landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi, dan sosial dalam melaksanakan pembangunan negara. Trilogi pembangunan terdiri dari: 1. Stabilitas nasional yang dinamis; 2. Pertumbuhan ekonomi tinggi; 3. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari trilogi pembangunan adalah perbankan. Peran yang strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien, yang dengan berasaskan demokrasi ekonomi mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Memperhatikan peranan lembaga perbankan yang demikian strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, dan dalam rangka lebih meningkatkan kualitas peranan perbankan tersebut, bank tidak dapat melepaskan diri dar kualitas
25 Universitas Sumatera Utara
37
lingkungan hidup sebagai akibat daripada pembangunan khususnya di bidang industri. Bank, lingkungan, dan pembangunan merupakan tiga unsur penting yang kualitasnya selalu diharapkan untuk terus meningkat. Kualitas dan kinerja bank tentulah akan ikut menentukan kondisi perekonomian Negara ini, lebih khusus lagi dapat memberi kontribusi yang besar terhadap pembangunan dalam arti yang luas, karena bank adalah agen pembangunan (agent of development). Dengan begitu pembangunan diharapkan dapat terus berjalan sesuai dengan target-target yang diharapkan oleh seluruh stakeholder bangsa ini. Tentunya yang diharapkan adalah pembangunan yang berkelanjutan (suistanable development). Ironisnya antara bank, lingkungan dan pembangunan sering berada dalam stigma yang kontradiktif. Persoalannya adalah, pembangunan yang diupayakan melalui industrialisasi acapkali menimbulkan persoalan dalam bidang lingkungan dengan menimbulkan akibat perusakan dan pencemaran lingkungan. Upaya mencegah kontradiksi antara pembangunan dan pelestarian lingkungan ini cenderung ditonjolkan, dengan dalih bahwa memadukan dua kepentingan tersebut akan menimbulkan industri yang berbiaya tinggi. Salah satu akibat dari kegiatan pembangunan diberbagai sektor adalah dihasilkannya limbah yang semakin banyak, baik jumlah maupun jenisnya limbah tersebut telah menimbulkan pencemaran yang merusak fungsi lingkungan hidup. Menyadari akan adanya dampak akibat maraknya pembangunan seperti tersebut di atas, tentunya diperlukan adanya pengelolaan lingkungan hidup yang bai.
Universitas Sumatera Utara
38
Oleh karena itu, menjadi kewajiban pemerintah untuk menggariskan kebijaksanaan lingkungan dan menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan.
B. Aktivitas Perbankan dalam Pemberian Kredit Bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.36 Dalam menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank, kepercayaan masyarakat tersebut wajib dilindungi dan dipelihara. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Perbankan yang menetapkan antara lain bahwa bank dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha lainnya, wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang dipercayakan dananya kepada bank. Dalam kehidupan sehari-hari, istilah kredit bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat. Ini menandakan bahwa istilah kredit telah dikenal dan jauh melanda kehidupan ekonomi kita. Dilihat dari asal katanya kata kredit berasal dari bahasa Latin, yaitu credere, yang artinya kepercayaan. Kepercayaan yang dimaksud adalah kepercayaan dalam penundaan pembayaran, baik penundaan utang-piutang maupun penundaan jual beli. Debitur tidak wajib membayar utangnya secara langsung atau tunai, melainkan ia diberikan kepercayaan oleh undang-undang dalam perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara bertahap atau mencicil. Karena utang tersebut dibayar dengan cara
36
Hermansyah, Op.Cit. hal. 8
Universitas Sumatera Utara
39
dicicil, maka resiko selama utang tersebut belum dilunasi harus ditanggung oleh si pemberi kredit.37 Secara umum kredit diartikan sebagai “the ability to borrow on the opinion cenceived by the lender that he will be repaid.”38 Levy merumuskan arti hukum dari kredit adalah sebagai berikut: “Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak menggunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman tersebut di belakang hari.”39 Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud kredit adalah: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam maminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa di dalamnya terkandung kewajiban untuk mengembalikan pinjaman. Dari adanya kewajiban ini dapat ditafsirkan bahwa kredit hanya akan diberikan pada pihak yang dipercaya yang mampu mengembalikan kreditnya di kemudian hari sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati sebelumnya.
37
Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Solusi Hukum (Legal Action) dan Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hal. 2 38 Bouviers Law Dictionary, A-K West Publishing Company, 1914, hal. 725, dikutip dari: Mariam D. Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1989), hal. 21 39 Levy, Rekening Courant, 1873, hal. 192, dikutip dari: Mariam D. Badrulzaman, Ibid, hal.22
Universitas Sumatera Utara
40
Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang ada dalam kredit adalah sebagai berikut, yaitu:40 a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang akan diberikan dalam bentuk uang, barang, ataupun jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa datang; b. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam waktu itu tergantung pengertian nilai agio dari uang yaitu uang yang ada sekarang nilainya lebih tinggi dari nilai uang yang akan diterima pada masa yang akan datang; c. Degree of Risk, yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang akan memisahkan antar pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan, semakin tinggi pula tingkat resikonya, karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko. Dengan adanya resiko inilah maka timbul jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang, atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang setiap kali kita jumpai dalam praktik perkreditan. Dari uraian di atas cukup jelas bahwa kredit merupakan hubungan yang berdasarkan atas kepercayaan terhadap penundaan pembayaran yang membutuhkan jangka waktu tertentu. Sebagai akibat penundaan pembayaran tersebut, maka timbul suatu resiko. Untuk itu dalam pelaksanaan pemberian kredit bank selalu berupaya melakukan kehati-hatian (prudent banking). Setiap perjanjian tentu mengandung adanya prestasi dan kontraprestasi. Oleh karena itu, dalam perjanjian kredit sejak saat adanya kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak (bank dan nasabah debitur) telah menimbulkan hubungan hukum atau menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai kesepakatan yang telah mereka sepakati.
40
Thomas Yatno, Dasar-dasar Perkreditan, (Jakarta: Gramedia: 2003), hal. 14
Universitas Sumatera Utara
41
Bank sebagai kreditor berkewajiban untuk memberikan kredit sesuai dengan jumlah yang disetujui, dan atas prestasinya tersebut bank berhak memperoleh pelunasan kredit dan bunga dari debitur sebagai kontraprestasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam perjanjian kredit terdapat perjanjian yang menentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima oleh nasabah. Setelah diketahui secara jelas penggunaan uang itu, maka bank akan memasukkan tujuan tersebut ke dalam jenis kredit yang akan diberikannya. Tujuan penggolongan kredit tersebut tidak lain adalah untuk memudahkan sistem manajemen administrasi perbankan serta pelaporan kepada bank sentral. Menurut Badriyah Harun, jenis-jenis kredit perbankan adalah sebagai berikut:41 1. Berdasarkan Penggunaannya a. Kredit Modal Kerja Yaitu kredit jangka pendek yang diberikan untuk membiayai kebutuhan modal kerja dari suatu perusahaan. Umumnya disediakan dalam bentuk rekening koran. Agunannya lebih ditekankan pada barang yang lebih mudah dicairkan dalam waktu singkat, persyaratan kredit memerhatikan perkembangan usaha agar jangan sampai penarikan total kredit mematikan usaha yang bersangkutan. Contohnya: KUPEDES, KUT (Kredit Usaha Tani), KUR (Kredit Usaha Rakyat), Kredit Ekspor, Kredit Perkebunan Swasta Nasional, KUD (Koperasi Unit Desa) dan sebagainya. 41
Badriyah Harun, Op.Cit., hal. 4
Universitas Sumatera Utara
42
b. Kredit Investasi Yaitu kredit jangka menengah dan jangka panjang dalam rangka membiayai pengadaan aktiva tetap suatu perusahaan. Umumnya berjangka menengah atau panjang. Kebutuhan kredit dihitung dari barang modal yang diperlukan, rehabilitasi, dan juga modernisasi barang. Penetapan jangka waktu disesuaikan dengan jadwal ketika investasi tersebut telah menghasilkan. Plafon yang disediakan untuk usaha berskala kecil sampai dengan Rp.500 juta sedangkan untuk usaha berskala menengah di atas Rp.5 miliar. Contohnya: KIK (Kredit Inkubasi Kecil), Perkebunan Inti Rakyat (PIR), PIR Transmigrasi dan sebagainya. c. Kredit konsumsi Yaitu kredit pengembaliannya tidak berdasarkan pada barang yang dibeli, melainkan pada penghasilan nasabah debiturnya. Contohnya KPR, Kredit Profesi Guru, Kredit Laptop Mahasiswa, dan lain-lain. 2. Berdasarkan Jangka Waktunya a. Jangka pendek (short term loan) Yaitu kredit yang jangka waktunya paling lama 1 tahun, bentuknya dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembelia, dan kredit wesel, juga dapat berupa kredit modal kerja. b. Jangka Menengah (medium term loan) Yaitu kredit yang jangka waktunya antara 1 sampai 3 tahun. Bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah.
Universitas Sumatera Utara
43
c. Jangka Panjang Yaitu kredit yang jangka waktunya lebih dari 3 tahun. Biasanya berupa kredit investasi yang bertujuan untuk menambah modal perusahaan dalam rangka melakukan rehabilitasi, ekspansi, dan pendirian proyek baru. 3. Berdasarkan Sektor Perekonomian a. Kredit Pertanian Yaitu kredit yang diberikan kepada petani persawahan, perkebunan, dan perikanan. b. Kredit Perindustrian Yaitu kredit yang diberikan kepada industri kecil maupun menengah. c. Kredit Pertambangan Yaitu kredit yang disalurkan untuk aneka tambang. d. Kredit Ekspor Impor Yaitu kredit yang diberikan kepada eksportir maupun importir barang. e. Kredit koperasi Yaitu kredit yang diberikan khusus kepada koperasi. f. Kredit Profesi Yaitu kredit yang diberikan kepada beraneka macam profesi, seperti guru dan dosen.
Universitas Sumatera Utara
44
4. Berdasarkan Jaminan a. Kredit Jaminan Orang Yaitu kredit yang diberikan berdasarkan jaminan orang ketiga sebagai pihak penjamin. b. Kredit Jaminan Efek Yaitu kredit yang diberikan dengan agunan efek-efek dan surat-surat berharga lainnya. c. Kredit Jaminan Barang Yaitu kredit yang diberikan dengan jaminan barang tetap, barang bergerak, dan logam mulia. d. Kredit Jaminan Dokumen Yaitu kredit yang diberikan dengan jaminan dokumen transaksi, seperti Letter of Credit (L/C). e. Kredit Tanpa Jaminan Materiil (Kredit Blanko) Yaitu kredit yang diberikan tanpa jaminan materiil (agunan fisik), melainkan berdasarkan kepercayaan pada nasabah kredit yang telah teruji kebonafiditas, kejujuran, dan ketaatannya, baik dalam usaha perbankan maupun dalam usaha lain. Kredit tanpa jaminan ini memiliki resiko yang besar bagi bank. Dengan demikian, seluruh harta debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan pembayaran utang.
Universitas Sumatera Utara
45
5. Berdasarkan Golongan Ekonomi a. Kredit Golongan Ekonomi Lemah Yaitu kredit yang disalurkan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah seperti (KUT, KUK (Kredit Usaha Kecil), dan sebagainya. b. Kredit Golongan Ekonomi Menengah dan Konglomerat Yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha besar dan menengah. 6. Berdasarkan Penarikan dan Pelunasan a. Rekening Koran Yaitu kredit yang dapat ditarik dan dilunasi setiap saat, besarnya sesuai dengan kebutuhan. Penarikan dapat dilakukan dengan cek, bilyet giro atau pembukuan, sedangkan pelunasannya dapat dilakukan dengan setoran-setoran. Bunga dihitung dari besaran kredit. Kredit rekening koran dapat ditarik setelah besaran kredit disetujui. b. Kredit berjangka Yaitu kredit yang sekaligus sebesar plafonnya. Pelunasannya dilakukan setelah jangka waktunya habis. Pelunasannya dapat dilakukan secara cicilan atau sekaligus, tergantung pada perjanjian yang dibuat para pihak. 7. Berdasarkan Kelembagaannya a. Kredit Perbankan Yaitu kredit yang diberikan oleh bank milik pemerintah maupun swasta kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumsi.
Universitas Sumatera Utara
46
b. Kredit likuiditas Yaitu kredit yang diberikan oleh bank sentral kepada bank-bank yang beroperasi
di
Indonesia,
untuk
digunakan
sebagai
dana
membiayai
perkreditannya. Dana likuiditas ini dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan bank karena adanya ketidaksesuaian antara dana masuk dengan dana keluar. Biasanya dana masuk lebih kecil dari dana keluar (mismatch) yang diperkirakan akan dapat menyebabkan saldo negatif. Kredit likuiditas ini hanya tertuju pada bank yang memenuhi persyaratan, misalnya secara nyata berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia bahwa bank yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek, memiliki agunan yang cukup, apabila diperlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi bank tersebut. c. Kredit langsung atau Kredit Program Yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada pemerintah maupun lembaga semi pemerintah, misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan pengadaan pangan. d. Kredit Pinjaman antar Bank Yaitu kredit yang diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana. 8. Berdasarkan Objek yang Ditransfer a. Kredit Uang Yaitu kredit yang ditransfer oleh bank dalam bentuk uang dan pengembaliannya dalam bentuk uang pula.
Universitas Sumatera Utara
47
b. Kredit bukan Uang Yaitu kredit yang ditransfer bukan dalam bentuk uang yang melainkan barang atau jasa dan pengembaliannya dalam bentuk uang. 9. Kredit Berdasarkan Waktu Pencairannya a. Kredit Tunai Pencairan kredit dilakukan dengan tunai atau pemindahbukuan ke dalam rekening bank debitur. b. Kredit Non-Tunai Pencairan kredit tidak dibayar secara tunai, melainkan menunggu suatu peristiwa atau keadaan sebagaimana ditunjuk dalam perjanjian kredit. Misalnya, pembayaran Letter of Credit yang merupakan jaminan kepada penjual atau pengirim barang di mana bank akan membayar sejumlah uang jika dokumen-dokumen tertentu telah dipenuhi oleh penjual atau pengirim barang. 10. Berdasarkan Cara Penarikannya a. Kredit Sekali Jadi Yakni kredit yang pencairan dalam dilakukan sekaligus misalnya secara tunai ataupun pemindahbukuan. b. Kredit Rekening Koran Yakni kredit yang dilakukan berulang-ulang sesuai dengan batas maksimum plafon kredit yang disediakan.
Universitas Sumatera Utara
48
c. Kredit Bertahap Yaitu kredit yang pencairan dananya dilakukan secara bertahap. d. Kredit Tiap Transaksi Yaitu penarikan kredit yang diberikan untuk transaksi tertentu. 11. Berdasarkan Negara Asal Kreditur a. Domestik Yaitu kredit yang debitur atau kreditur utamanya berasal dari dalam negeri. b. Luar Negeri Yaitu kredit yang debitur atau kreditur utamanya berasal dari luar negeri. 12. Berdasarkan Jumlah Krediturnya a. Tunggal Yaitu kredit yang krediturnya hanya satu orang atau satu badan hukum saja. b. Sindikasi Yaitu kredit yang krediturnya terdiri dari beberapa orang atau badan hukum. Bank selalu melakukan penilaian berdasarkan prinsip=prinsip yang disebut formula 8 P. Formula 8 P tersebut dijabarkan sebagai berikut:42 1. Party atau para pihak yang mengadakan perjanjian saling mengenal karakter satu dengan lainnya. Tidak hanya bank yang harus mengenal nasabah yang akan mengajukan kredit, tetapi calon nasabah debitur juga harus memerhatikan kondisi kesehatan perbankan. Baik berdasarkan berita dari media, surat pembaca, ataupun sengaja mencari informasi tentang kondisi kesehatan bank yang dituju. 2. Personality, yaitu suatu usaha pihak bank untuk mencari data tentang kepribadian peminjam seperti riwayat hidup (kelahiran, pendidikan, pengalaman, usaha atau pekerjaan dan sebagainya), hobinya, keadaan keluarga (istri, anak), social standing 42
Badriyah Harun, Ibid. hal. 13
Universitas Sumatera Utara
49
3.
4.
5.
6. 7.
8.
(pergaulan dalam masyarakat tentang diri si peminjam), serta hal-hal lain yang erat hubungannya dengan kepribadiaan si peminjam. Purpose atau tujuan yang hendak dicapai dalam rangka peminjaman kredit. Tujuan menjadi pembeda yang tegas antara kredit dan utang, sebab dalam kredit, bank memiliki kewajiban yang harus mengawasi nasabahnya dalam menggunakan kreditnya agar jangan sampai kredit yang diberikan menimbulkan masalah di kemudian hari. Payment atau pembayaran yang akan dikembalikan oleh nasabah. Bank harus melihat pendapatan nadabahnya, bagaimana nasabah tersebut dapat membayar kredit dengan lancar, tentu juga dipengaruhi oleh pendapatannya. Profitability atau perolehan laba yang akan diperoleh oleh bank. Kredit merupakan salah satu cara bank untuk memperoleh laba atau keuntungan yang diambil dari bunga maupun bagi hasil atau yang sejenisnya. Dengan demikian, bank harus mempertimbangkan perolehan laba yang hendak diperoleh. Protection atau perlindungan yang berupa jaminan nasabah apabila terjadi sesuatu hal di luar yang telah direncanakan dan diperjanjikan oleh para pihak. Personality atau kepribadian nasabah berdasarkan tingkah laku dan kepribadian nasabah pada kegiatan sehari-hari maupun masa lalunya. Termasuk juga emosi, sikap, dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah. Prospect atau nilai usaha nasabah di masa yang akan datang, menguntungkan atau tidak. Bila bank tidak mampu melihat prospek ini, di kemudian hari apabila tidak terdapat prospek usaha pada usaha yang dibiayai dengan kredit, maka bukan hanya bank yang akan menghadapi resiko kesulitan mengadakan tagihan, tetapi juga nasabah yang menjalankan usahanya akan kesulitan dalam membayar tagihannya. Selain itu untuk menilai kemampuan dan kesanggupan debitur dalam
melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:43 a. Watak (character), yang dimaksud watak disini adalah kepribadian moral dan kejujuran pemohon kredit. Apakah ia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik, yang timbul dari persetujuan kredit yang akan diadakan. Dalam hal ini termasuk juga menyelidiki asal-usul kehidupan pribadi, dan latar belakang, serta kredibilitas pemohon. b. Kemampuan (capacity), adalah kemampuan mengendalikan, memimpin, menguasai bidang usahanya, kesungguhan dan melihat perspektif masa depan, sehingga usaha pemohon berjalan dengan baik dan memberikan untung. c. Modal (capital), pemohon diisyaratkan wajib memiliki modal sendiri. Kredit dari bank berfungsi sebagai tambahan. Adanya modal sendiri menunjukkan bahwa 43
Mariam D. Badrulzaman, Op.Cit., hal. 71-72
Universitas Sumatera Utara
50
pemohon adalah pengusaha, yang untuk mengembangkan usahanya perlu mendapat bantuan dari pihak bank. d. Jaminan (colleteral), jaminan disini berarti kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan, kalau penerima kredit tidak melunasi utangnya. Faktor jaminan ini adalah security factor atas kredit yang diberikan. e. Kondisi ekonomi (condition economy), yang dimaksud adalah situasi ekonomi pada waktu tertentu, dimana kredit itu diberikan oleh bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi tersebut memungkinkan pemohon mendapat keuntungan dengan mempergunakan kredit tersebut. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, analisis kredit seperti tersebut di atas mengandung tiga faktor pokok, yaitu:44 a. Faktor subjektif (moral); b. Faktor objektif yang berkenaan dengan organisasi administrasi, modal dan keadaan ekonomi; c. Faktor yuridis yang berkenaan dengan struktur yuridis dari badan usaha penerima kredit. Prinsip kehati-hatian lainnya pada bank ada yang dikenal dengan prinsip 3 R, yaitu:45 1. Returns atau hasil yang diperoleh debitur ketika kredit itu dimanfaatkan. Bank harus mempertimbangkan apakah kredit yang diajukan akan membawa manfaat sehingga debitur mampu mengembalikan kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, dan sebagainya. 2. Repayment atau pembayaran kembali. Bank harus memerhatikan kemampuan membayar kredit debitur sesuai dengan waktu yang disediakan. 3. Risk bearing ability atau kemampuan debitur menanggung apabila terjadi hal-hal di luar dugaan kedua belah pihak sehingga menyebabkan kredit menjadi macet. Jika dari hasil analisa yang dilakukan petugas bank debitur dianggap telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan sehingga dimungkinkan untuk memperoleh
44 45
Ibid, hal. 72 Badriyah Harun, Op.Cit., hal. 14
Universitas Sumatera Utara
51
fasilitas kredit, maka pemberian fasilitas kredit itu dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis antara pihak bank sebagai kreditur dan pihak pemohon kredit sebagai debitur yang dinamakan perjanjian kredit bank atau biasanya disingkat dengan sebutan perjanjian kredit. Menurut Prof. Subekti, S.H., suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.46 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut dinamakan perikatan.47 Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sebagai dasar hukum perjanjian kredit dapat dilihat pada perjanjian pinjam mengganti (Pasal 1754 KUH Perdata), karena substansi pasal tersebut menyebutkan bahwa: “Perjanjian pinjam mengganti ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengambil sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” Isi pasal tersebut di atas dapat dikaitkan dengan isi Pasal 1 Angka 11 Undangundang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyebutkan bahwa kredit 46
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta:Intermasa, 1979), hal. 1 Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur atau si berhutang; lihat Subekti, Ibid. 47
Universitas Sumatera Utara
52
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam di dalam definisi atau pengertian kredit sebagaimana Pasal 1 Angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tersebut di atas, dapat mempunyai beberapa maksud sebagai berikut:48 1. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk pinjam-meminjam. Dengan demikian bagi hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga (tentang perikatan) pada umumnya dan Bab ketiga belas (tentang pinjam-meminjam) KUH Perdata khususnya. 2. Maksud yang lain dari pembentuk undang-undang yang dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 1 Angka 11 Undang-undang Perbankan itu ialah bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Walaupun para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian, khusus dalam perjanjian kredit substansi lebih didominasi oleh salah satu pihak dalam hal ini bank. Perjanjian kredit pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam prakteknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku, dimana dalam perjanjian tersebut pihak debitur 48
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 199
Universitas Sumatera Utara
53
hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar. Karena dalam Standard Contract bentuk dan isi perjanjian ditentukan secara sepihak, maka penggunaan perjanjian kredit ini tidak mengikuti asas konsensualisme, yaitu asas kesepakatan, dimana asas ini menetapkan terjadinya suatu perjanjian setelah tercapainya kata sepakat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, sebagaimana telah diketahui, kata sepakat diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Dengan tercapainya kata sepakat, telah menunjukkan pada saat itu suatu perjanjian mulai berlaku dan mengikat para pihak. Dengan demikian syarat sahnya perjanjian pada pasal 1320 KUH Perdata dipandang tidak ada. Akibat tidakdipenuhi syarat tertentu, perjanjian tidak sah, dan dapat dibatalkan, tetapi dalam praktek perbankan belum pernah terjadi perjanjian kredit maupun perjanjian-perjanjian lainnya yang menggunakan standard contract yang dibatalkan dengan putusan pengadilan. Meskipun secara teori perjanjian tidak sah, karena perjanjian tidak dibatalkan, maka perjanjian menjadi tetap dan mengikat kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan. Menurut Gatot Supramono, perjanjian kredit terjadi pada saat pemohon kredit menyatakan persetujuannya setelah ia mempelajari isi perjanjian sebagaimana standard contract yang disodorkan kepadanya. Di sinilah bank dan pemohon kredit telah tercapai kata sepakat baik berdasarkan teori kepercayaan (vertrouwentheori) maupun teori penerimaan (ontvangstheori). Sejak saat itu kedua belah pihak sudah terikat, walaupun perjanjian kredit secara tertulis belum ditandatangani. Perjanjian kredit secara tertulis sebenarnya hanya merupakan formalitas, berfungsi untuk kepentingan pembuktian dan kepentingan administrasi.49
49
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit. (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 46
Universitas Sumatera Utara
54
Sutan Remy Sjahdeini juga menyatakan bahwa “Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.”50 Oleh karena itu, dalam praktek perjanjian kredit ini diklasifikasikan sebagai Perjanjian Baku atau Perjanjian Standar (standard contract atau contract of adhesion) uang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya oleh bank. Dengan demikian, maka nasabah sebagai calon debitur hanya mempunyai pilihan antara menerima seluruh isi atau klausul-klausul itu baik sebagian atau seluruhnya, yang berakibat nasabah tidak akan menerima kredit tersebut. Meskipun bank diwajibkan untuk membuat perjanjian kredit apabila akan memberikan kredit, tapi saat sekarang belum ada ketentuan khusus yang menyangkut isi atau substansi perjanjian kredit, hal tersebut diserahkan kepada praktek perbankan. Dalam praktek perbankan, baik perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan ataupun secara notariil (dengan akta notaris). Pada intinya yaitu untuk menegaskan dan melindungi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit tersebut. Pada praktek perbankan, perjanjian yang dibuat secara tertulis dibedakan menjadi dua bentuk perjanjian, yaitu:
a. Akta di Bawah Tangan Akta di bawah tangan artinya bahwa akta atau perjanjian tersebut dibuat tanpa peran pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta. Biasanya telah berbentuk draft 50
Ibid. hal. 74
Universitas Sumatera Utara
55
yang lebih dahulu disiapkan sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada calon nasabah debitur untuk disepakati. Perjanjian yang telah dibakukan memuat segala macam persyaratan-persyaratan dan ketentuan-ketentuan, biasanya berbentuk formulir yang tidak pernah diperbincangkan atau dinegosiasikan terlebih dahulu kepada calon nasabah. Bila calon nasabah debitur tidak berkenan terhadap klausul yang terdapat di dalamnya, maka tidak terdapat kesempatan untuk melakukan protes atas klausul yang tidak diperkenankan oleh nasabah tersebut, karena perjanjian tersebut telah dibakukan oleh lembaga perbankan yang bersangkutan dan bukan oleh petugas perbankan yang berhadapan langsung dengan calon nasabah debitur, sehingga seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mau tidak mau, calon nasabah yang hendak mengajukan kredit harus menyetujui segala syarat dan ketentuan yang telah diajukan oleh bank sebagai kreditur. Beberapa pakar hukum menolak keberadaan perjanjian baku ini karena dinilai:51 1. Kedudukan pengusaha (bank) dalam perjanjian baku sama seperti pembentuk undang-undang. Dengan demikian perjanjian baku bukanlah merupakan perjanjian, melainkan undang-undang yang dibuat oleh swasta; 2. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa; 3. Pada negara yang menganut sistem hukum kebiasaan tidak tertulis sebagai sumber hukumnya, perjanjian baku dianggap bertentangan dengan hati nurani. Oleh karena itu, perjanjian baku dianggap meniadakan pengadilan. Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku sebagai suatu perjanjian, hal ini karena:52 51
Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 265
Universitas Sumatera Utara
56
1. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vetrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu; 2. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yan membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya. 3. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan (gebruk) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Dengan demikian, keabsahan perjanjian baku terletak pada persetujuan kedua belah pihak guna menunjang dan menjamin keberlangsungan usaha. Meskipun pada umumnya di dalam perjanjian baku terdapat syarat-syarat yang tidak setara antara pihak yang telah mempersiapkan (bank) dengan pihak yang disodorkan (nasabah debitur), biasanya nasabah debitur menerimanya dengan segala konsekuensi yang dapat timbul di kemudian hari. Dengan sendirinya pihak yang telah mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang menguntungkan dirinya dan membebani pihak lain dengan kewajiban-kewajiban yang tidak setara. b. Akta Autentik Akta autentik adalah surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandatangani, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak untuk dijadikan sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, akta autentik berupa akta yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh/ atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuat. Dengan kata lain, undang-undang mengatakan bahwa bentuk akta sudah ditentukan 52
Ibid., hal. 266
Universitas Sumatera Utara
57
oleh undang-undang, dibuat oleh dan/atau pegawai umum, yang biasanya disebut notaris. Perjanjian kredit yang berbentuk akta autentik pada umumnya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang. Biasanya dikhususkan kepada kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit sindikasi. Dalam prakteknya, meskipun akta tersebut dibuat oleh dan/atau dihadapan notaris, namun segala syarat dan ketentuan yang terdapat dalam akta sudah dibuat oleh bank, kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan ke dalam akta. Menurut Robert Burges, perjanjian kredit yang baik seyogianya sekurangkurangnya berisi klausul-klausul seperti berikut:53 1. 2. 3. 4.
5.
6. 7.
Klausul-klausul tentang maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit, dan batas izin kredit; Klausul-klausul tentang bunga, commitment fee, dan denda kelebihan tarik; Klausul tentang kuasa bank untuk melakukan pembenahan atas rekening giro dan rekening pinjaman nasabah debitur; Klausul tentang representations and warranties, yaitu klausul yang berisi pernyataan nasabah-nasabah debitur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan, dan harta kekayaan nasabah debitur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut; Klausul tentang conditions presedent, yaitu klausul tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah debitur sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebut dan nasabah debitur berhak untuk pertama kalinya untuk menggunakan kredit tersebut; Klausul tentang agunan kredit dan asuransi barang-barnag agunan; Klausul tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan hubungan rekening koran bagi perjanjian kredit yang bersangkutan;
53
Robert Burges, Law of Loans and Borrowing, (London: Sweet and Maxwel, 1989), hal. 6006. Dikutip dari: Sutan Remy Sjahdeini, Ibid. hal. 197
Universitas Sumatera Utara
58
8.
9.
10.
11. 12.
13.
14.
Klausul tentang affirmative covenants, yaitu klausul yang berisi janji-janji nasabah debitur untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku; Klausul tentang negative convenants, yaitu klausul yang berisi janji nasabah debitur untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku; Klausul tentang financial covenants, yaitu klausul yang berisi janji nasabah untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu; Klausul tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan, dan penyelesaian kredit; Klausul tentang events of default, yaitu klausul yang menentukan suatu peristiwa-peristiwa yang apabila terjadi, memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh outstanding kredit; Klausul tentang arbitrase, yaitu klausul yang mengatur penyelesaian perbedaan pendapat dan perselisihan diantara para pihak melalui suatu badan arbitrase, baik badan arbitrase ad hoc atau badan arbitrase institusional; Klausul-klausul bunga rampai atau miscelleneous provisions atau boiler plate provisions, yaitu klausul-klausul yang berisi syarat-syarat dan ketentuanketentuan secara khusus di dalam klausul-klausul lain. Termasuk di dalam klausul-klausul ini adalah yang disebut pasar tambahan, yaitu klausul yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tambahan yang belum diatur di dalam pasal-pasal lain atau berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan khusus yang dimaksudkan sebagai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain yang telah tercetak di dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian baku. Mengenai isi atau klausula perjanjian kredit atau pengakuan hutang ini ada
suatu hal yang benar-benar harus diperhatikan dan dilakukan setiap akan diadakan akad kredit, yaitu “review isi perjanjian” yang akan ditandatangani. Pentingnya Review atas isi perjanjian tersebut, mengingat bahwa : a. Dalam setiap pembuatan draft perjanjian kredit atau pengakuan hutang baik di bawah tangan maupun oleh notaris, akan selalu terdapat kemungkinan adanya kesalahan.
Universitas Sumatera Utara
59
b. Bahwa apabila terdapat kesalahan terhadap isi perjanjian tersebut, baik kesalahan tulisan maupun mateirnya, oleh debitur dapat saja dijadikan alasan dalam perselisihan nantinya. Dari paparan seperti tersebut di atas nampak jelas bahwa terdapat beberapa prinsip yang harus dipegang oleh bank dalam rangka mempertimbangkan penilaian sampai dengan tahapan pemberian kredit terhadap para nasabah yang mengajukan permohonan kredit. Apabila dilihat dari pemberian kredit bank secara keseluruhan, terdapat beberapa tahap yang harus ditempuh, menurut Potan Arif Harahap tahapan-tahapan tersebut meliputi :54 1. Tahap permohonan kredit; 2. Tahap pertimbangan/penilaian pemohon; 3. Tahap pemberian kredit; 4. Tahap pengawasan kredit; 5. Tahap pelunasan kredit. Tahap-tahap tersebut di atas dilakukan secara runtun dan dengan prinsip kehati-hatian agar kredit yang dikucurkan pada nasabah betul-betul sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, sehingga dapat terhindar dari resiko kegagalan atau kemacetan kredit. Tahap-tahap prosedur perkreditan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :55
54
Potan Arif Harahap, Aspek Hukum Peran Serta Bank dalam Pengelolaan Lingkungan, makalah yang diajukan sebagai persyaratan dalam mata kuliah Hukum Lingkungan, Fakultas Pasca Sarjana Bidang Ilmu Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1985), dikutip dari : Koesnadi Hardjasoemantri, Op.cit, hal. 363.
Universitas Sumatera Utara
60
1. Tahap Permohonan Kredit Disamping pemohon mengemukakan alasan permohonan kredit, jumlah kredit yang dibutuhkan, cara pembayaran kembali dan jaminan yang harus diserahkan yang disertai dengan studi kelayakan serta neraca dan laporan tahunan, maka seyogianya juga menguraikan apakah usahanya baik sekarang atau yang akan datang akan mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan. Jika ya, apa usaha dan rencana untuk mengatasi hal tersebut dan apakah biaya untuk keperluan tersebut termasuk dalam jumlah kredit yang dimohon. 2. Tahap Pertimbangan / Penilaian Pemohon Dalam melakukan penilaian tidak cukup hanya dengan mengandalkan analisis angka-angka yang disajikan oleh pemohon dan pemeriksaan lapangan mengenai barang-barang jaminan yang akan diserahkan. Bank juga harus mengecek kebenaran atas keterangan tentang ada atau tidaknya kemungkinan pencemaran atau perusakan lingkungan dengan meminta pendapat departemen, jawatan atau badan pemerintah yang bersangkutan, serta mengadakan pemeriksaan lapangan. Untuk melaksanakan semuanya itu tentunya pertimbangan atau penilaian akan tergantung kepada pengetahuan petugas bank mengenai dampak lingkungan. Dengan demikian mereka harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup. 3. Pemberian Kredit
55
Ibid., hal. 363-366.
Universitas Sumatera Utara
61
Bila permohonan disetujui, diadakan suatu akad kredit. Dalam perjanjian tersebut harus juga dicantumkan klausul yang mewajibkan debitur untuk mengelola lingkungan hidup. Dalam pencantuman jumlah kredit yang disediakan, jika perlu dipecah menjadi dua : a) Jumlah yang diperlukan untuk usahanya; b) Jumlah yang diperlukan untuk membiayai alat-alat untuk mengatasi pencemaran atau perusakan lingkungan. Jangka waktu pembayaran kembali kedua jumlah tersebut tidak perlu sama, syarat pembayaran kredit untuk membiayai alat-alat mengatasi pencemaran dapat ditetapkan lebih lunak. 4. Pengawasan kredit Sebagai konsekuensi dari ketentuan dalam perjanjian kredit yang membedakan kewajiban kepada debitur untuk bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan hidup, debitur selain mengirimkan laporan berkala tentang produksi, penjualan, dan keadaan barang jaminan, seyogyanya juga diharuskan membuat laporan tentang dampak lingkungan, yang kemudian dicek di lapangan oleh bank. 5. Perlunasan Kredit Masalah pelunasan kredit, tepat atau sebelum waktunya melunasi, jangan dijadikan sebagai ukuran untuk menilai debitur sebagai nasabah yang baik. Kalau ternyata ia tidak memenuhi kewajiban dalam pengelolaan lingkungan hidup,
Universitas Sumatera Utara
62
konditenya dalam administrasi bank harus dicatat sebagai kurang baik, sehingga harapannya untuk memperoleh kredit diwaktu yang akan datang akan berkurang. Dari uraian tentang tahap-tahap prosedur Sistem Perkreditan berwawasan lingkungan di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tahap-tahap tersebut sama dengan tahapan kredit pada umumnya. Hanya saja di dalam prosedur sistem kredit berwawasan lingkungan mempunyai kekhususan tertentu yang tidak dimiliki oleh prosedur kredit pada umumnya.
C. Pengaturan Green Banking dalam Perkreditan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pemerintah dalam Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal yang sama dipertegas lagi pada tahun 1982, dimana Indonesia untuk pertama kalinya mengundangkan suatu undang-undang yang sangat penting mengenai pengelolaan lingkungan hidup, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya Undang-Undang ini telah diganti dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan kemudian kembali diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPLH), dimana dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah yang terdapat pada Bab IX
Universitas Sumatera Utara
63
UUPPLH. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehatihatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Sampai sebelum dikeluarkannya peraturan pertama yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang menyinggung mengenai keharusan bagi bank untuk memperhatikan AMDAL, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/9/UKU tanggal 25 Maret 1989 perihal “Kredit Investasi dan Penyertaan Modal”, telah bertahun-tahun lamanya perbankan Indonesia tidak menyadari bahwa melalui proyek-proyek yang dibiayai oleh perbankan dengan kredit yang jumlahnya triliunan rupiah itu telah ikut berdosa besar sehubungan dengan terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Betapa tidak, bank-bank dalam memberikan kredit-kredit tersebut tidak pernah merasa perlu untuk ikut peduli mengenai kemungkinan proyek-proyek tersebut akan merusak atau mencemari lingkungan hidup. Tidak mengherankan apabila sehubungan dengan kebijakan perkreditan dari perbankan itu, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, yang ada pada waktu itu dijabat oleh Prof. Dr. Emil Salim, dalam ceramah beliau kepada para peserta Sespibank (Sekolah Staf dan Pimpinan Bank) Angkatan IV dan Staf Pengajar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia mengemukakan antara lain sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
64
Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang mulai sadar bahwa bank memegang peranan dalam perusakan lingkungan. Dalam tahun 1990-an dunia perbankan akan menghadapi masyarakat yang makin krisis. Masalah lingkungan akan mendesak bank untuk meninjau kembali apakah kebijakan perkreditannya telah tepat dan tidak menyebabkan rusaknya lingkungan. Sejak tahun 1993, yaitu tahun yang telah ditetapkan oleh Presiden sebagai tahun lingkungan hidup, perbankan Indonesia/Bank Indonesia memeriksa kembali apakah kebijakan perkreditan perbankan Indonesia sudah sepenuhnya menunjang pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka menopang pembangunan yang berkesinambungan. Artinya, perlu diperiksa apakah kebijakan perkreditan bank Indonesia dari segala dimensinya telah berwawasan lingkungan (green banking). Oleh karena itu kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup telah merupakan kebijakan pemerintah, maka perbankan Indonesia berkewajiban juga untuk menunjang kebijakan ini. Kebijakan perbankan merupakan tanggung jawab Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang antara lain bertugas mengatur dan mengawasi bank sebagaimana hal itu ditentukan dalam Pasal 8 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. sebelum berlakunya Undang-Undang tentang Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/9/UKU tanggal 25 Maret 1989 perihal Kredit Investasi dan Penyertaan Modal yang antara lain menentukan tentang keharusan bank untuk memperhatikan AMDAL dalam pemberian kreditnya. Terakhir Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank
Universitas Sumatera Utara
65
Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 No. 12 Tambahan Lembaran Negara No. 4471). Peraturan Bank Indonesia tersebut telah diatur pelaksanaannya dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional perihal Penilaian Kualitas Aktivan Bank Umum. Dalam Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran tersebut ditentukan bahwa dalam menilai prospek usaha, bank perlu memperhatikan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Selanjutnya, dalam Surat Edaran tersebut di atas telah diberikan petunjuk atau ketentuan mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal bank melakukan penilaian prospek usaha debitur dalam rangka upaya yang dilakukan oleh debitur dalam rangka mengelola lingkungan hidup, khususnya debitur berskala besar yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup. Dalam Surat Edaran tersebut dikemukakan bahwa ketentuan mengenai hal-hal yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup yang ditentukan dalam Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia di atas adalah sejalan atau merupakan pelaksanaan dari Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yang antara lain menyatakan bahwa salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyaluran penyediaan dana adalah hasil Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi. Di dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut dikemukakan bahwa “Kewajiban AMDAL ini juga
Universitas Sumatera Utara
66
tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL”. Pernyataan yang dicantumkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut merupakan pernyataan kesadaran dan pengakuan serta penegasan bahwa kewajiban yang tercantum dalam UUPPLH juga merupakan kewajiban bank yang harus dipatuhi. Ada 4 (empat) alasan mengapa perbankan Indonesia harus menempuh kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan. Alasan yang pertama adalah yang berkaitan dengan : 1. Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Sehingga “Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
Universitas Sumatera Utara
67
perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui saluran sarana hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat di bidang lingkungan hidup.”56 UUD 1945 tersebut dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999, dimana Pasal 9 ayat (3) berbunyi bahwa : “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. 2. Ketentuan Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68 dan Pasal 70 ayat (1) UUPPLH. Untuk jelasnya di bawah ini dikutipkan bunyi lengkap pasal-pasal tersebut : Pasal 65 (1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. (4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Pasal 67 Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 68 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban : a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan; 56
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi ke-3, Surabaya : Airlangga University Press, hal. 275.
Universitas Sumatera Utara
68
b. hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; c. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan d. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Pasal 70 (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Menurut Pasal 65 UUPPLH bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Menurut Pasal 67 dan Pasal 68 UUPPLH tersebut bahwa setiap orang bukan saja mempunyai hak tetapi juga
mempunyai
kewajiban
melestarikan
fungsi
lingkungan
hidup
serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan Pasal 70 ayat (1) UUPPLH menerangkan bahwa dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana dalam Pasal 65 dan Pasal 67 UUPPLH, masyarakat memiliki kesempatan yang luas untuk berperan serta dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan pasal 1 Angka 32 UUPPLH dinyatakan bahwa yang dimaksud “setiap orang” adalah “orang perseorangan” atau “badan usaha”, baik yang “berbadan hukum” maupun yang “tidak berbadan hukum”. Oleh karena bank adalah badan hukum, maka bank juga mempunyai kewajiban berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan Pasal 74 UndangUndang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dimana bank sebagai badan hukum yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas) mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dikenal dengan CSR (Corporate Social Responsibility),
Universitas Sumatera Utara
69
sehingga dapat dikatakan bahwa bank merupakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, artinya bahwa bank merupakan perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber data alam. Dengan demikian jelas bahwa di Indonesia, pengelolaan lingkungan hidup demi pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bukan kewajiban orang tertentu, atau badan usaha tertentu saja tetapi kewajiban siapapun yang berada di Indonesia. Berlakunya ketentuan dalam UUPPLH tersebut telah mendapat penekanan dalam Undang-Undang Perbankan, yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan pasal 8 Undang-Undang tersebut. Menurut penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan. Selanjutnya sebagaimana telah diterangkan dimuka bahwa penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan itu telah mendapat penekanan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang antara lain mengatur
Universitas Sumatera Utara
70
tentang perlunya bank umum untuk memperhatikan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup, hal ini dapat dilihat pada : 1. Pasal 11 ayat (1), yang berbunyi : (1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a. meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut : a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Debitur dalam huruf e ini adalah debitur yang wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Penjelasan Umum, yang berbunyi : … Dalam penetapan kualitas kredit, Bank wajib memperhatikan faktor prospek usaha, kinerja, dan kemampuan membayar debitur. Mengingat pentingnya upaya memelihara lingkungan hidup, dalam penilaian prospek usaha, Bank perlu memperhatikan pula upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup…. Peraturan Bank Indonesia tersebut tidak hanya berlaku bagi bank-bank umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, tetapi juga berlaku pada bankbank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Untuk bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah berlaku ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Surat Edaran
Universitas Sumatera Utara
71
Nomor 8/22/DPbS tanggal 18 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Terkait dengan usaha nasabah yang dapat berpengaruh terhadap lingkungan hidup serta dapat berdampak terhadap kegiatan usaha dan kondisi keuangan nasabah, Bank dalam menilai prospek usaha nasabah perlu memperhatikan upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006, salah satu kriteria dalam penilaian prospek usaha adalah upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka mengelola lingkungan hidup, khususnya nasabah berskala besar yang kegiatan usahanya memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Pasal 8 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang antara lain menyatakan bahwa salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan pembiayaan adalah hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau berisiko tinggi. Kewajiban AMDAL ini juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana yanga telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL. AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Universitas Sumatera Utara
72
Hasil AMDAL diperlukan untuk memastikan kelayakan proyek yang dibiayai dari aspek lingkungan. Kegiatan berdampak penting yang dilakukan tanpa AMDAL dapat membawa dampak yang merugikan dikemudian hari karena tidak adanya perencanaan pengelolaan lingkungan yang memadai oleh nasabah sehingga tidak akan diketahui dampak yang mungkin timbul dari kegiatan usaha nasabah. Hal ini selanjutnya dapat berdampak kepada kelangsungan usaha dan kemampuan nasabah untuk mengembalikan pembiayaan. Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, AMDAL merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan atau kegiatan. Alasan kedua ialah berkaitan dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2), Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 88 UUPPLH tentang keharusan nasabah debitur sebagai penanggungjawab usaha dan atau kegiatan untuk membayar ganti rugi karena melakukan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh proyek yang dibiayai oleh bank. Apabila nasbah debitur tiba-tiba harus memikul biaya pembersihan yang besar sekali atas proyek tersebut dan lingkungannya yang rusak atau tercemar dan membayar ganti rugi, maka crediworthiness dari nasabah debitur dapat merosot secara drastis dan dapat mengancam kemampuannya untuk membayar kembali kredit tersebut. Dalam rangka bank melaksanakan kewajiban hukumnya untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup dan dalam rangka melindungi kreditnya, maka kemungkinan ini harus dapat dicegah oleh bank. Alasan ketiga adalah sehubungan dengan kemungkinan dilakukannya penghentian usaha atau pencabutan izin usaha terhadap perusahaan nasabah debitur
Universitas Sumatera Utara
73
oleh pihak yang berwenang karena proyek nasabah debitur telah melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan hidup (sanksi administratif). Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 76 UUPPLH bahwa dimungkinkan bagi Menteri, Gubernur atau Walikota menetapkan sanksi administratif seperti teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan. Bila hal itu terjadi, maka bank yang membiayai perusahaan tersebut dapat mengalami ancaman kerugian berupa terjadinya kemacetan kredit karena izin pembangunan proyek atau izin usaha perusahaan dicabut. Alasan keempat adalah sehubungan dengan kemungkinan merosotnya nilai agunan yang rusak atau tercemar. Apabila bank membiayai suatu proyek, maka proyek itu, termasuk tanah dimana proyek itu didirikan, akan diikat oleh bank sebagai agunan kredit. Apabila proyek tersebut melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan terhadap tanah di atas mana proyek itu didirikan, maka harga tanah yang rusak atau tercemar itu akan merosot sekali. Akibatnya adalah bahwa agunan atas kredit kepada nasabah debitur untuk membiayai pendirian dan atau operasi proyek yang rusak atau tercemar itu akan hanya menjadi agunan yang tidak berharga.
Universitas Sumatera Utara