BAB II GEOLOGI REGIONAL
Pada bab ini akan dibahas mengenai kondisi geologi regional daerah penelitian, terutama geologi Cekungan Sumatra Selatan. 2.1 Sumatra Sumatra, dengan area seluas 473.606 km2 merupakan pulau terluas di Kepulauan Indonesia dan terbesar kelima di dunia. Pulau ini memanjang 1.760 km dari baratlaut ke tenggara, dan lebarnya mencapai 400 km. Tulang punggung pulau ini dibentuk oleh Pegunungan Barisan, yang memanjang pada seluruh panjang pulau dalam bentuk sabuk yang sempit, paralel, dan umumnya berjarak hanya beberapa puluh kilometer dari pantai baratdaya. Puncak-puncak utamanya (yang umumnya merupakan gunungapi Kuarter atau Resen) umumnya menjulang lebih dari 2.000 mdpl, dan memuncak di G. Kerinci pada ketinggian 3.805 mdpl. Sungai-sungai pendek dan terjal mengaliri bagian barat lereng Pegunungan Barisan, membentuk lembah-lembah dalam, sementara sungai-sungai yang mengalir ke timur mengalir jauh membentuk meander menuju pantai timur di Selat Malaka (Barber dkk., 2005). Pulau Sumatra diinterpretasikan terbentuk akibat collision dan suturing dari mikrokontinen pada akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984). Pada saat ini, lempeng Samudra Indonesia tersubduksi ke bagian bawah Lempeng Kontinental Eurasia dengan arah N20oE dan kecepatan antara 6 dan 7 cm/tahun. Zona konvergensi oblique ini ditandai dengan Sistem Palung-Busur Sunda yang memanjang lebih dari 5000 km, dari Myanmar di utara hingga pada wilayah tumbukan Lempeng Australia dengan Indonesia Timur di selatan (Hamilton, 1979). Konfigurasi cekungan di Sumatra secara langsung berkaitan dengan kehadiran busur depan yang bersifat nonvolkanik dan busur belakang yang bersifat vulkanik. Darman dan Sidi (2000) membagi Sumatra menjadi 5 bagian, yaitu: 1. Sumatra outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sumatra dan yang memisahkan dari lereng trench. 2. Cekungan fore-arc Sumatra, 8
terbentang antara akresi non-vulkanik punggungan outer-arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-arc Sumatra. 3. Cekungan back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada bagian bawah dari Bukit Barisan. 4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian sumbu dari pulaunya dan terbentuk terutama pada Perm-Karbon hingga Mesozoik. 5. Sumatra intra-arc basin, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-arc dan back-arc basin. Berikut adalah gambar yang menunjukkan cekungan-cekungan busur belakang, busur depan, dan antarbusur Sumatra.
Gambar 2.1. Sketsa cekungan-cekungan back arc, fore arc, dan intra arc di Sumatra (Barber dkk., 2005). 9
2.2 Cekungan Sumatra Selatan Cekungan Sumatra Selatan berada di timur Pegunungan Barisan dan memanjang ke arah laut ke utara dan dianggap sebagai cekungan busur belakang yang dibatasi oleh Pegunungan Barisan di baratdaya, dan Dangkalan Sunda berumur Pra-Tersier di timur laut (De Coster, 1974). Cekungan Sumatra Selatan terbentuk selama ekstensi berarah timur-barat pada akhir Pra-Tersier hingga awal Tersier (Daly, 1987). Eubank dan Makki (1981) menyatakan bahwa ekstensi busur belakang diakibatkan oleh sel konveksi dan diapirisme pada mantel yang disebabkan subduksi Lempeng India. Namun, Morley (2002) berpendapat bahwa pembentukan cekungan di Sumatra disebabkan oleh subduction roll-back dengan tenggelamnya Lempeng India, mendorong seluruh sistem subduksi ke depan, menyebabkan ekstensi pada busur depan maupun busur belakang. Masalah lainnya, dengan hipotesis ini, adalah hubungan pembentukan cekungan sedimentasi di busur belakang Sumatra dan kaitannya dengan sistem subduksi pada saat ini, menunjukkan bahwa cekungan-cekungan ini tidak terbatas di Sumatra, tetapi membentuk sebuah jaringan extensional rift basins, yang berawal pada awal Tersier dan terbentuk pada saat yang sama di seluruh kawasan Asia Tenggara. Menurut Tapponnier dkk. (1986) ekstrusi ke arah tenggara dari Asia Tenggara yang mengikuti tumbukan Benua India dengan batas sebelah selatan Eurasia, yang terjadi pada Eosen, menyebabkan terbentuknya sesar-sesar geser yang membentuk pull apart basins di Sumatra. Barber dkk. (2005) menyatakan bahwa cekungan terbentuk pertama kali sebagai extensional rift yang dikontrol oleh orientasi lineasi basemen Pra-Tersier. 2.2.1 Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan Berikut adalah stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan berdasarkan periode waktu pengendapannya. Stratigrafi dari berbagai versi peneliti dapat dilihat pada Gambar 2.2. 2.2.1.1 Kapur Batuan berumur Pra-Tersier yang terlipat secara kompleks di Pegunungan Gumai terdiri dari dua satuan, yaitu Formasi Saling dan Formasi Lingsing, hubungan antara keduanya tidak jelas. Formasi Saling terutama terdiri dari breksi volkanik yang terpilah buruk, tuf dan aliran lava basaltis-andesitis, teralterasi secara hidrotermal menjadi greenstone. Pada Formasi ini terdapat tiga perselingan batugamping reefal abu-abu, dengan fosil berumur 10
Mesozoikum seperti koral Lovcenipora dan gastropoda Nerinea. Batuan Formasi Saling mungkin berumur Jurasik Akhir - Kapur Awal dan terendapkan pada lingkungan busur kepulauan volkanik yang berasosiasi dengan fringing reefs (Darman dan Sidi, 2000).
Gambar 2.2. Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan (Barber dkk., 2005). Formasi Lingsing terutama terdiri dari batulanau atau batusabak berlapis tipis, berwarna abu-abu hingga hitam, dengan perselingan minor batu andesitis-basaltis hijau, rijang beradiolaria dan beberapa puluh meter lapisan yang kaya dengan batugamping yang mengandung foraminifera Orbitolina berumur Kapur Awal, tetapi tanpa koral. Batuan Formasi Lingsing diperkirakan sebagai fasies laut dalam berumur Kapur Awal (Darman dan Sidi, 2000). Barber dkk. (2005) mengusulkan bahwa kedua Formasi tersebut berkomposisi Oceanic Island Arc Assemblage, dengan Formasi Lingsing menempati posisi lebih distal daripada Formasi Saling. Kedua Formasi diintrusi oleh granodiorit pada Kapur Akhir atau awal Tersier. Pulunggono dan Cameron (1984) menganggap Pegunungan Gumai yang berumur Pra-Tersier sebagai
bagian
dari basemen Woyla, dan
diinterpretasikan sebagai sebuah kemungkinan komplek subduksi berumur Kapur. 11
2.2.1.2 Tersier Terdapat beberapa formasi batuan yang terendapkan selama Tersier di Cekungan Sumatra Selatan, yaitu: 1. Formasi Lahat Formasi ini menutupi batuan Pra-Tersier secara tidak selaras. Formasi Lahat memiliki ketebalan hingga 3.350 m dan terdiri dari seri breksi volkanik andesitis, tuf, endapan lahar dan aliran lava, dengan lapisan batupasir kuarsa di bagian tengah. Pada formasi ini ditemukan beberapa kayu tersilisifikasi, namun fosil tidak hadir sehingga umurnya belum dapat dipastikan (Musper, 1937). Menurut Wahab dan Purnomo (1982), formasi ini diendapkan pada lingkungan air tawar, mungkin setara dengan Formasi Andesit Tua di Sumatra dan Jawa. Di Jawa, Formasi Andesit Tua berumur Oligosen, menutupi lapisan endapan laut berumur Eosen Tengah dan Eosen Akhir. Ketiga anggota Formasi Lahat dapat dibedakan, dari tua ke muda, yaitu: a. Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari: 1. Tuf andesitis, breksi dan beberapa lapisan lava. Lapisan lava terlihat berkurang ke arah utara. Ketebalan anggota ini bervariasi dari 0 – 800 m; 2. Anggota Batupasir Kuarsa. Anggota ini selaras, atau dengan sebuah ketidakselarasan minor di atas Tuf Kikim Bawah, atau mungkin secara langsung menutupi batuan PraTersier. Lapisan ini dapat dipetakan seluruhnya di antiklin Gumai. Bagian dasarnya adalah konglomerat dengan ketebalan 0,5 - 3 m, diikuti dengan konglomerat yang lebih halus dan batupasir. Struktur silang-silur sangat umum dijumpai dan hampir semua butiran adalah kuarsa polikristalin yang mungkin berasal dari batuan granitis, namun ditemukan juga fragmen batuan volkanis kriptokristalin gelap. Ketebalan bervariasi antar 75 - 200 m (Musper, 1937). b. Anggota Tuf Kikim Atas, terletak selaras di atas batupasir kuarsa, dan dengan sebuah transisi bertahap dengan seri batuan volkanis andesitis kehijauan. Ukuran butirannya lebih halus daripada anggota Tuf Kikim Bawah. Tuf berbutir halus dan berlapis baik dengan berselang-seling 12
batulempung tufaan berbutir kasar mirip lahar. Aliran lava sangat jarang, kebanyakan material merupakan endapan volkanik yang telah terendapkan kembali. Ketebalan berkurang ke arah baratlaut dari 2.500 menjadi 309 m, mengindikasikan pusat erupsi berada di suatu tempat di tenggara (Musper, 1937). 2. Formasi Talang Akar Formasi ini terdiri dari barupasir delta, batulanau, serpih yang secara berangsur ke arah cekungan menjadi batupasir marine (Wahab dan Purnomo, 1982). Formasi Talang Akar diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Lahat setelah masa hiatus umur Oligosen Tengah, dan pada Oligosen Akhir diendapkan sedimen pada topografi yang rendah. Variasi lingkungan pengendapannya berkisar dari lingkungan sungai teranyam dan sungai bermeander yang berangsur berubah menjadi lingkungan delta front dan lingkungan prodelta (Darman dan Sidi, 2000). Menurut Pannetier (1994), di Subcekungan Palembang, Cekungan Sumatra Selatan, sebuah horizon dengan fragmen-fragmen volkanik hadir pada Formasi Talang Akar yang berumur Oligosen-Miosen Awal, diperkirakan merupakan hasil erosi material volkanik tersebut juga terendapkan di Cekungan Sumatra Selatan. Pengendapan Formasi Talang Akar masih dipengaruhi oleh topografi basemen, yang mengakibatkan variasi ketebalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Formasi Talang Akar dipisahkan menjadi dua anggota: Gritsand (GRM) dan Transitional (TRM). Di daerah Jambi pembagian ini tidak terlalu jelas. Di Sub-cekungan Palembang Selatan, GRM merupakan endapan kontinental yang terdiri dari lapisan-lapisan batupasir yang tebal, berbutir kasar – sangat kasar dengan perselingan serpih dan lanau. Ketebalannya sangat bervariasi dan dapat mencapai ribuan meter (Wahab dan Purnomo, 1982). Di daerah Limau, TRM diendapkan sebagai batupasir serpih, yang secara vertikal berangsur dari seri batupasir-batulanau batubaraan ke batupasirbatulanau marine, dengan semakin berkurang kandungan pasir dan ditemukan mineral glaukonit. Ketebalannya bervariasi dari 60 – 370 meter (Jackson, 1960 op. cit. Wahab dan Purnomo, 1982). Di Sub-cekungan Jambi, GRM 13
diendapkan pada lingkungan fluviatil atau delta plain (Harrison, 1975 op. cit. Wahab dan Purnomo, 1982) dengan ketebalan bervariasi antara 10 – 450 meter. TRM juga lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi laut dan deltaic. Ketebalannya bervariasi antara 20 – 550 meter (Wahab dan Purnomo, 1982). 3. Klastik Pra-Baturaja Di Cekungan Sumatra Selatan sebuah sedimen klastik yang sangat kompleks dan bervariasi ditemukan di antara Endapan Volkanis Lahat dan endapan laut Miosen Akhir (Formasi Baturaja atau Formasi Telisa). Seri yang tebal ditemukan dalam graben berarah dominan utara-selatan (Benakat gully, Palung Lematang), yang terbentuk pada Oligosen. Bagian basal terdiri dari sedimen volkaniklastik dan lempung lakustrin yang dinamakan sebagai Formasi Lemat, dan juga sebuah fasies distal Formasi Lahat atau satuan lebih muda yang kaya dengan runtuhan (debris) dari Formasi Lahat. Bagian atas seri pengisian graben adalah Formasi Talang Akar yang diendapkan pada lingkungan
fluvial
dan
deltaic,
terutama
berumur
Oligosen
Akhir.
Ketebalannya 800-1000 m (Darman dan Sidi, 2000). Musper (1937) menyebut adanya interval tipis klastik dengan lapisan kayu tersilisifikasi pada dasar Satuan Klastik Pra-Baturaja. Ketebalan sekitar 20 – 30 m. Pada penampang, di daerah Cawang Saling dijumpai seri transgresif, dengan konglomerat terpilah buruk pada dasarnya yang terdiri dari kuarsa berukuran pebble, batuan volkanik dan kayu tersilisifikasi, dan batupasir berstruktur silang-silur dan batulempung, yang semuanya menghalus ke atas (fining-upward), diikuti oleh batupasir karbonatan setebal 1 m dengan foraminifera laut dangkal yang berumur Miosen Awal. 4. Formasi Baturaja Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Talang Akar dengan ketebalan 200. Litologi terdiri dari batugamping terumbu, kalkarenit dengan sisipan serpih gampingan (Gafoer dkk., 1992). Batugamping ditemukan di tempat yang berbeda-beda di dekat dasar Formasi Telisa/Gumai yang biasanya berkedudukan pada Formasi Baturaja. Biasanya berkembang 14
pada fasies laut dangkal pada bagian yang lebih bawah dari serpih Formasi Telisa dan seharusnya ditetapkan sebagai anggota dari formasi ini. Permukaan singkapan dari batugamping Formasi Baturaja ditemukan di berbagai tempat di sekitar Pegunungan Gumai. Umur formasi ini adalah Miosen Awal (Darman dan Sidi, 2000). 5. Formasi Telisa/Gumai Suatu Seri tebal batulanau laut dalam dan napal berumur Miosen Awal di Sumatra Selatan dan Tengah dijelaskan dalam dua nama formasi yang berbeda. Nama Formasi Gumai didasarkan pada penampang sepanjang pegunungan Gumai, sementara nama Formasi Telisa didasarkan pada Sungai Telisa dekat Surolangun, Jambi. Formasi ini dicirikan oleh sebuah seri tebal batulempung abu-abu gelap, biasanya dengan foraminifera planktonik umumnya membentuk laminasi tipis berwarna putih. Tuf keputihan dan lapisan batupasir turbidit coklat berkomposisi material andesitis dan tufaan dijumpai secara lokal. Lapisan berwarna coklat dan nodul karbonatan lentikuler dengan diameter mencapai 2 m sangat umum pada bagian atas formasi (Tobler, 1906 op. cit. Darman dan Sidi, 2000).
Gambar 2.3 Tektonostratigrafi Cekungan Sumatra Selatan (Kingston, 1988). 15
Ketebalan Formasi Telisa/Gumai sangat bervariasi, dari beberapa ratus meter hingga 3.000 m. Formasi ini terutama dikontrol oleh subsiden diferensial (Gambar 2.3); dan di dalam area cekungan yang tebal, Formasi Telisa/Gumai setara secara lateral (marine lateral equivalent) dengan bagian atas Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Palembang Bawah (Tobler, 1906 op. cit. Darman dan Sidi, 2000). Umur formasi ini bervariasi. Di tempat batugamping Formasi Baturaja tidak hadir, akan dijumpai lapisan basal Formasi Telisa/Gumai yang merupakan zona N4 (Miosen Awal). Ketika bagian bawah Formasi Baturaja tebal, lapisan paling tua Formasi Telisa/Gumai memiliki fauna zona N6 atau N7 (Miosen Awal). Bagian paling atasnya juga bervariasi, dari zona N8 (Miosen Awal bagian atas) hingga zona N10 (Miosen Tengah), bergantung pada posisi dalam cekungan dan tempat batas formasi ditarik. (Tobler, 1910 op. cit. Darman dan Sidi, 2000). 6. Formasi Palembang (Formasi Air Benakat, Muara Enim, dan Kasai). Formasi ini merupakan tahap regresif dari pengisian Cekungan Sumatra Selatan yang menunjukkan shallowing-upward dari laut dangkal, melalui endapan pantai sampai lapisan fluvial pada anggota yang paling atas. Secara detail formasi ini terdiri dari banyak parasekuen transgresif-regresif. Ketiga anggotanya dibedakan sebagai berikut: a. Anggota Palembang Bawah ( Formasi Air Benakat) Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Telisa/Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan, setempat mengandung lignit, dan di bagian atas tufaan sedangkan bagian tengah kaya fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100 - 1000 m dan berumur Miosen Tengah Miosen Akhir (Darman dan Sidi, 2000).
16
b. Anggota Palembang Tengah (Formasi Muara Enim) Satuan ini ditandai oleh keberadaan lapisan batubara yang menerus secara lateral pada bagian bawah maupun atas. Ketebalan di sekitar wilayah Muara Enim dan Lahat sekitar 500 - 700 m, dan 15%-nya merupakan batubara. Ketika lapisan ini menipis, lapisan batubaranya juga menjadi sangat tipis bahkan tidak hadir, hal ini mengindikasikan kecepatan subsiden berperan penting dalam pengendapan dan pengawetan batubara (Darman dan Sidi, 2000).
Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi Tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non-marine. Ketebalan formasi ini 500 – 1000 m, terdiri dari batupasir, batulempung, batulanau, dan batubara. Batupasir pada formasi ini mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Pada bagian dasar, terdapat batang-batang pohon, yang menunjukkan sebagian besar batubara merupakan autochtonous. Tiga spesies yang teridentifikasi menunjukkan batubara tersebut terbentuk di upland forest, tidak dijumpai vegetasi rawa mangrove. Formasi Muara Enim berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal (Musper, 1933 op. cit. Darman dan Sidi, 2000).
c. Anggota Palembang Atas (Formasi Kasai) Sebagian besar sedimen permukaan di Cekungan Sumatra Selatan merupakan satuan ini, namun karena lunak, singkapan cenderung buruk. Bagian bawah dicirikan oleh tepra riolitis berbutir halus, tuf batuapung kuning-putih (dengan kristal kuarsa dan biotit, serta batupasir tufaan) dengan ketebalan 250 – 350 m. Batubara tidak ditemukan. Bagian atas satuan masih mengandung tuf batuapung kaya kuarsa, tetapi juga mengandung batupasir berbutir kasar berlapis silang-silur dan lapisan konglomerat kaya batuapung, ketebalan 300 – 500 m. (Darman dan Sidi, 2000).
17
Produk erosi dari formasi yang lebih tua (Formasi Telisa, Lahat, Saling, dan seterusnya) seringkali ditemukan pada formasi ini, menunjukkan gejala pengangkatan (uplift) dan erosi yang signifikan dari Pegunungan Gumai selama periode tersebut. Sebagian besar anggota Palembang Atas dianggap sebagai endapan synorogenic, yaitu fasies pengendapannya berupa fluvial dan kipas aluvial dengan jatuhan debu nonandesitis. Fosil jarang dijumpai namun setempat dijumpai beberapa moluska air tawar dan fragmen tumbuhan yang telah dilaporkan (Musper, 1933 op. cit. Darman dan Sidi, 2000). Umur satuan ini adalah Pliosen Akhir hingga Pleistosen Awal (AMI Study Group, 1994). 2.2.1.3 Satuan Berumur Kuarter Satuan-satuan
ini
tidak
dipengaruhi
oleh
perlipatan
Plio-Pleistosen,
dikelompokkan di bawah istilah Kuarter. Lapisan-lapisan ini mungkin menutupi Formasi Palembang atau formasi-formasi lebih tua, dan biasanya dapat dibedakan dari Lapisan Palembang dengan kehadiran batuan volkanik andesitis dan basaltis berwarna gelap. Volkanisme andesitis Kuarter sangat banyak di Pegunungan Barisan, bagian selatan daerah Lahat di antara Sungai Lematang dan Enim, tempat produk-produk intrusi dan ekstrusi
membentuk kelompok perbukitan
Bukit Asam, Serelo, dan Jelapang. Batuan lainnya, berumur Kuarter, berupa liparit (ignimbrit), mengisi lembah-lembah di wilayah Pasumah, di bagian selatan Pegunungan Gumai. Tuf andesitis dan endapan lahar di wilayah Pasumah, terbentuk dari
gunungapi-gunungapi di Pegunungan Barisan seperti Gunung
Dempo, endapan teras dijumpai sepanjang sungai-sungai utama, seperti Sungai Lematang (Darman dan Sidi, 2000). 2.2.2 Struktur Cekungan Sumatra Selatan Daerah Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan muka berumur Tersier, yang terbentuk sebagai akibat dari adanya interaksi antara Sunda Shield (sebagai bagian dari Lempeng Kontinen Asia) dan Lempeng Oseanik India (Wahab dan Purnomo, 1982). Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, di sebelah baratdaya dibatasi daerah singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timurlaut oleh 18
Sunda Shield, ke arah baratlaut oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara oleh Tinggian Lampung (Wahab dan Purnomo, 1982). Menurut De Coster (1974), sedikitnya telah terjadi tiga episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur Cekungan Sumatra Selatan: orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik akhir Kapur - awal Tersier, dan orogenesa Plio-Pleistosen.
Gambar 2.4. Stuktur yang mengontrol Cekungan Sumatra Selatan (Barber dkk., 2005). Pada episode awal, endapan-endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, seringkali terpatahkan dan terlipat menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batholit granit membentuk pola dasar struktur cekungan. Pada episode tektonik akhir Kapur, gaya-gaya tensional membentuk graben dan horst, dengan arah 19
umum utara-selatan dan baratlaut-tenggara. Kombinasi orogenesa Mesozoik, hasil pelapukan batuan-batuan Pra-Tersier, dan gaya-gaya tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol sedimentasi pra-Formasi Talang Akar (Wahab dan Purnomo, 1982). Pola struktur lainnya di Cekungan Sumatra Selatan adalah struktur berarah baratlaut-tenggara (pola Sumatra) sebagai hasil orogenesa Plio-Pleistosen. Pola struktur ini dapat dibedakan dari pola tua yang berarah NNE-SSW. Pola muda sejajar dengan arah Pulau Sumatra (Wahab dan Purnomo, 1982). Pola struktur Cekungan Sumatra Selatan dapat dilihat pada Gambar 2.4. Manifestasi struktur pola Sumatra di Cekungan Sumatra Selatan berupa perlipatan yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya kompresi PlioPleistosen. Struktur geologi berarah utara-selatan (pola Sunda) juga terlihat di Cekungan Sumatra Selatan. Pola Sunda yang pada awalnya dimanifestasikan dengan sesar normal (graben), pada periode tektonik Plio-Pleistosen teraktifkan kembali sebagai sesar mendatar yang sering kali memperlihatkan pola perlipatan di permukaan (Pulunggono dan Cameron, 1984).
20