47
BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Sebagai mana kita ketahui akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana perdagangan orang sangatlah komplek, artinya selain timbul dampak sosial di masyarakat juga menimbulkan dampak emosional terhadap para korban, diantaranya adalah perasaan kehilangan kendali dan kurangnya rasa aman. Kejadian yang traumatis merenggut perasaan kendali diri individu yang sering mengarah kepada perasaan tidak nyaman dan kurang aman yang menyeluruh dan mendalam, dimana korban terpisahkan dari sistem lingkungan dan kekerabatan dari keluarga. Hal yang paling penting ketika berhubungan dengan para korban dalam pemberian layanan ataupun pemulihan adalah menciptakan rasa aman bagi mereka. 58 Orang yang telah menjadi korban perdagangan orang dan kekerasan seksual biasanya memiliki rasa kepercayaan diri yang kurang.
59
Ini dapat
dimanifestasikan dalam berbagai macam tingkah laku seperti depresi, rasa malu, kelesuan, respon emosional yang keras, ketidakpekaan emosional, dan lain-lain. Stigma sosial dan rasa malu karena beberapa alasan, diantaranya pengalaman yang telah mereka lalui selama proses perdagangan orang, misalnya pemerkosaan, penyiksaan, pelecehan seksual, mereka tidak berhasil untuk mendapatkan uang
58
Hawani, Korban Trafficking yang menderita secara fisik dan psikis, 1997. hlm 4 http/www. Makalah-human-trafficking.com,diakses pada hari rabu, tanggal 12 Februari 2014, Jam 20.05 Wib. 59 Sayrifuddin Pettanasse, Kebijakan Criminal, Korban dan Kejahatan, agustus 2007, hlm 67.
Universitas Sumatera Utara
48
untuk keluarga mereka, bahkan korban merasa merekalah yang menyebabkan pelanggaran yang mereka alami tersebut. Respon emosional yang keras akibat trauma dengan kejadian yang dialami dapat muncul berbagai ragam respon emosional termasuk rasa marah, histeria, mudah menangis, sikap yang obsesif, dan lebih suka berdiam. Tetapi respon seperti itu tidak dapat langsung dibaca. Misalnya, jika seseorang tertawa ketika menceritakan tentang penyerangan seksual kepada mereka, hal ini bukan berarti bahwa orang itu merasa ceritanya lucu. Perdagangan orang biasanya melibatkan pengkhianatan kepercayaan atau manipulasi yang dilakukan oleh orang yang dipercaya para korban. 60 Respon sosial yang sering ditemukan pada korban kekerasan seksual adalah kecenderungan untuk memperlihatkan perilaku seksual. Hal ini dapat dimanifestasikan dalam bentuk menggoda, menyentuh, dan lain-lain. Dan ini biasanya terjadi pada kasus dimana korban adalah pekerja seks yang mengkonseptualkan jati diri mereka dalam bentuk-bentuk seksual. Respon ini terjadi karena sebelumnya para korban telah menerima interaksi sosial yang cukup baik dan dianggap layak untuk menerima hal tersebut, interaksi tersebut terjadi dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Sehingga ketika interaksi yang baik tersebut hilang atau tiba-tiba berubah, mereka berupaya untuk mengembalikan keadaan tersebut agar mendapat perhatian dan penghargaan kembali dengan cara yang salah, seringkali korban berfikir bahwa satu-satunya cara agar mereka dapat menghindar dari keadaan tersebut melalui perilaku seperti ini.
60
Ibid, hlm 69
Universitas Sumatera Utara
49
Dari penjelasan singkat diatas tergambarkan bahwa tindak pidana perdagangan orang sangatlah berdampak bagi kelangsungan korban dan masyarakat. Oleh karna itu timbullah suatu pertanyaan, mengapa peristiwa tindak pidana perdagangan orang terjadi ?. Sehubungan dengan itu dalam bab ini dibahas tentang faktor-faktor penyebab tindak pidana perdagangan orang. Sebelum menguraikan berbagai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang, maka penulis beranggapan sebagai kejahatan yang terorganisir perlu mengingat akan sebab-sebab kejahatan. Oleh karena itu penulis mencoba menguraikan sebab-sebab terjadinya kejahatan yang dilihat dari sudut pandang Kriminologi, sehingga nantinya kita dapat mengetahui bagaimana hubungannya dengan penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
C.
Faktor-faktor Kriminologi 1.
penyebab
TPPO
dilihat
dari
sudut
pandang
Pengertian Kriminologi Bagi orang yang baru pertama kali mendengar istilah kriminologi,
biasanya akan memiliki pemikiran sendiri tentang pengertian dari kata tersebut. Kebanyakan dari mereka memiliki persepsi yang salah tentang bidang ilmu pengetahuan ilmiah kriminologi ini. Sebagian besar orang memiliki persepsi bahwa kriminologi adalah suatu studi pendidikan ilmu hukum. Kata kriminologi yang berhubungan dengan kejahatan, serta merta dikaitkan dengan pelanggaran hukum pidana 61 . Ada juga yang mengaitkan kriminologi dengan pekerjaan detektif karena detektif bertugas untuk mengungkap suatu peristiwa kejahatan dan 61
Marjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : UI, 1994.
hlm 2.
Universitas Sumatera Utara
50
menangkap pelakunya. Hal ini tidak salah sepenuhnya, tetapi tidak dapat dikatakan benar. 62 Kriminologi dalam bahasa Inggris disebut criminology, bahasa Jerman kriminologie secara bahasa 63, berasal dari bahasa latin, yaitu kata ”crimen” dan ”logos”. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu. Dengan demikian kriminologi secara harafiah berarti ilmu yang mempelajari tentang penjahat. Di dalam kriminologi ada beberapa teori yang berpendapat mengenai sebab-sebab terjadinya kejahatan. 64 Teori ini adalah seperangkat konsep atau konstruk, definisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistematis suatu fenomena, dengan cara memperinci hubungan sebab-akibat yang terjadi. Dengan kata lain, teori merupakan serangkaian konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena sosial tertentu. Teori dalam kriminologi adalah penjabaran secara lebih merinci terhadap aliran yang telah ada. 65 Istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh Topinard, seorang sarjana Perancis, pada akhir abad ke sembilan belas. Namun demikian, bidang penelitian yang sekarang ini dikenal sebagai salah satu bidang yang berkaitan dengan ilmu kriminologi telah terbit lebih awal, misalnya karya-karya yang dikarang oleh: Cesare Beccaria (1738-1794), Jeremy Bentham (1748-1832), Andre Guerry, yang mempublikasikan analisa tentang penyebaran geografis kejahatan di Perancis tahun 1829, Adolphe Quetelet seorang Ahli matematika Belgia menerbitkan 62
http://zriefmaronie.blogspot.com/2012/02/pengantar-kriminologi.html, diakses pada hari Rabu, tanggal 19 Februari 2014, Jam 19.35 Wib. 63 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 2001. 64 Marjono, Op cit, hlm 3. 65 Edwin H.Sutherland, Asas-Asas Kriminologi,Bandung : Alumni, 1969 hlm 2.
Universitas Sumatera Utara
51
sebuah karya ambisius tentang penyebaran sosial kejahatan di Perancis, Belgia, Luxemburg, dan Belanda pada tahun 1835 dan terakhir Cesare Lambroso (18351909) serta muridnya Enrico Ferri (1856-1928) menggunakan metode antropologi ragawi atau antropobiologi mengembangkan teori kriminalitas berdasarkan biologis. Kriminologi kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, yang mana dalam perkembangannya, kriminologi modern terpisah-pisah melandaskan diri pada salah satu cabang ilmu pengetahuan ilmiah tertentu, yaitu sosiologi, hukum, psikologi, psikiatri, dan biologi. 66 Dari uraian diatas, banyak ahli yang mengemukakan pendapat mereka tentang pengertian kriminologi secara khusus antara lain : a. W.A Bonger (1970) Memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya”. 67 Bonger dalam memberikan batasan kriminologi, membagi kriminologi ke dalam dua aspek: 1) Kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil penelitiannya disimpulkan manfaat praktisnya 2) Kriminologi teoritis, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengelamannya seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki
66
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Medan : USU Press, 2007, hlm 26 dan bahan mata kuliah Politik Hukum Pidana pada hari Jum’at tanggal 13 Desember 2013. 67 W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982, hlm 8.
Universitas Sumatera Utara
52
sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku pada kriminologi. Dalam kriminologi teoritis, Bonger memperluas pengertian dengan mengatakan baahwa kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan (Bonger, 1970:27). a)
Antropologi kriminologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat dilihat dari segi biologisnya yang merupakan bagian dari ilmu alam
b) Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi sosial) c)
Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatn dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada aspek kepribadiannya.
d) Psi-patologi-kriminal dan neuro-patologi-kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau sakit sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilah psikiatri. • Penologi,
yaitu
berkembangnya
ilmu
pengetahuan
penghukuman,
arti
tentang
tumbuh
penghukuman,
dan
manfaat penghukuman. • Kriminologi
praktis,
yaitu
berbagai
kebijakan
yang
dilaksanakan oleh birokrasi dalam menanggulangi kejahatan.
Universitas Sumatera Utara
53
• Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan yang dipergunakan untuk menyelidiki terjadinya suatu peristiwa kejahatan. Bonger,
dalam
analisanya
terhadap
masalah
kejahatan,
lebih
mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara kejahatan dengan kemiskinan.
b. Wood Menurut
beliau
bahwa
istilah
kriminologi
meliputi
keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahatnya termasuk didalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat itu dan para penjahatnya. Yang termasuk didalamnya antara lain adalah : 68 1) Keseluruhan ilmu tentang kejahatan 2) Berdasarkan kepada teori/pengalaman yang diperoleh dari ilmu kejahatan 3) Melihat kejahatan dan penjahat 4) Reaksi dari masyarakat berupa pandangan, perbuatan atau tindakan seperti penaggulangan dan pencegahan.
c. Micheal Adler Menurut Micheal bahwa kriminologi adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari penjahat lingkungan mereka dan cara mereka
68
Edwin H.Sutherland, Op cit, hlm 7.
Universitas Sumatera Utara
54
secara resmi diperlakukan oleh lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota masyarakat.
d. Edwin H. Sutherland Edwin dikenal sebagai bapak kriminologi modern karena dia lah yang pertama sekali menghubungkan masalah kejahatan itu dengan masyarakat. Dalam hal ini Edwin melihat dari segi sosiologi. Menurut Edwin H. Sutherlan menyatakan kriminologi adalah criminology is the body of knowledge regarding crime as a social phenomena yang artinya keseluruhan pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Beliau juga mengatakan bahwa selama masyarakat masih ada perbuatan kejahatan juga akan tetap ada. Berlandaskan pada definisi diatas, Sutherland dan Cressey menjelaskan bahwa kriminologi terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu: 69 1) Sosiologi hukum yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhi perkembangan hukum pidana 2) Etiologi kriminal yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebab-sebab kejahatan 3) Penologi dimana termasuk metode pengendalian sosial yaitu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah lahirnya hukuman, perkembangannya serta arti dan kaedahnya.
69
Ibid, hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
55
e. Constant Menurut beliau kriminologi sebagai ilmu pengetahuan empirik yang bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbuatan jahat dan penjahat. Seorang ahli statistik yang bernama A.E.Quetelet tertarik kepada seorang manusia yang melakukan perbuatan yang tidak baik, diamana dia terkait dengan alat-alat yang digunakan, sehingga ia berkesimpulan bahwa dalam setiap perbuatan yang sama dimana dalam hal ini pembunuhan bahwa alat yang dilakukan untuk melakukan perbuatan itu hampir sama. Jadi dalam mempelajari kejahatan dari segi sosial maka selama ada masyarakat kejahatan akan tetap ada, ini berarti masalah kejahatan tidak akan pernah habis dikikis dalam rangka penanggulangan kejahatan itu pendapat ini sejalan dengan pendapat Edwin H. Sutherland.
f. Haskell dan Yablonsky Beliau menekan definisi kriminologi pada muatan penelitiannya dengan mengatakan bahawa kriminologi secara khusus adalah merupakan disiplin ilmiah tentang pelaku kejahatan dan tindakan kejahatan yang meliputi : 70 1) Sifat dan tingkat kejahatan 2) Sebab musabab kejahatan dan kriminalitas 3) Perkembangan hukum pidana dan sistem peradilan pidana 4) Ciri-ciri kejahatan 5) Pembinaan pelaku kejahatan
70
Mulyana Kusuma, Analisa Krimiologi tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1991, hlm 13.
Universitas Sumatera Utara
56
6) Pola-pola kriminalitas 7) Dampak kejahatan terhadap perubahan sosial.
g. Vernon Fox Yang mana Vernon memberikan definisi kriminologi secara komperhensif dibandingkan dengan definisi-definisi sebelumnya di atas. Ia mengatakan bahwa kriminologi merupakan kajian tentang tingkah laku jahat dan sistem keadilan. Ini merupakan kajian tentang hukum, dan pelaku pelanggaran hukum. 71 Pemahaman terhadap gejala tersebut membutuhkan pemahaman terhadap seluruh ilmu-ilmu tingkah laku, ilmu alam, dan sistem etika dan pengendalian yang terkandung dalam hukum dan agama. Kriminologi merupakan tempat pertemuan berbagai disiplin ilmu yang memberikan pusat perhatian pada kesehatan mental dan kesehatan emosi individu dan berfungsinya masyarakat secara baik. Tingkah laku jahat dapat diterangkan melalui pendekatan sosiologis, psikologis, medis dan biologis, psikiatris dan psiko-analisa, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain pendekatan sosial dan tingkah laku.
h. Prof. Muhammad Mustofa Dalam bukunya Kriminologi, mengatakan bahwa definisi kriminologi yang dikaitkan dengan pengembangan kriminologi di Indonesia adalah yang berakar pada sosiologis. 72 kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan ilmiah tentang, perumusan sosial pelanggaran hukum, penyimpangan sosial, kenakalan, 71
Ibid, hlm 15. Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung : Mandar Maju, 1995, hlm 11. 72
Universitas Sumatera Utara
57
dan kejahatan dimana munculnya suatu peristiwa kejahatan, serta kedudukan dan korban kejahatan dalam hukum dan masyarakat serta pola reaksi sosial formal, informal, dan non-formal terhadap penjahat, kejahatan, dan korban kejahatan.
2.
Ruang Lingkup Kriminologi Secara singkat dapat diuraikan, objek ruang lingkup kriminologi yaitu :
a. Kejahatan Berbicara tentang kejahatan, maka sesuatu yang dapat kita tangkap secara spontan adalah tindakan yang merugikan orang lain atau masyarakat umum, atau lebih sederhana lagi kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma. Seperti apakah batasan kejahatan menurut kriminologi. Banyak para pakar mendefiniskan kejahatan dari berbagai sudut pandang. Pengertian kejahatan merupakan suatu pengertian yang relatif, suatu konotasi yang tergantung pada nilai-nilai dan skala sosial. 73 Kejahatan yang dimaksud disini adalah kejahatan dalam arti pelanggaran terhadap undang-undang pidana. Disinilah letak berkembangnya kriminologi dan sebagai salah satu pemicu dalam perkembangan kriminologi. Mengapa demikian, perlu dicatat, bahwa kejahatan dedefinisikan secara luas, dan bentuk kejahatan tidak sama menurut tempat dan waktu. Kriminologi dituntut sebagai salah satu bidang ilmu yang bisa memberikan sumbangan pemikiran terhadap kebijakan hukum pidana. Dengan mempelajari kejahatan dan jenis-jenis yang telah dikualifikasikan, diharapkan kriminologi dapat mempelajari pula tingkat
73
W.A Bonger, Op cit, hlm 16.
Universitas Sumatera Utara
58
kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang dicantumkan dalam undang-undang pidana. 74
b. Pelaku Sangat sederhana sekali ketika mengetahui objek kedua dari kriminlogi ini. Setelah mempelajari kejahatannya, maka sangatlah tepat kalau pelaku kejahatan tersebut juga dipelajari. Akan tetapi, kesederhanaan pemikiran tersebut tidak demikian adanya, yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku kejahatan untuk dapat dikategorikan sebagai pelaku adalah mereka yang telah ditetapkan sebagai pelanggar hukum oleh pengadilan sebagaimana diuraikan dalam tinjauan pustaka tentang pelaku tindak pidana perdagangang orang. 75 Objek penelitian kriminologi tentang pelaku adalah tentang mereka yang telah melakukan kejahatan, dan dengan penelitian tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum yang berlaku dengan muaranya adalah kebijakan hukum pidana baru.
3.
Aliran-Aliran Kriminologi (Mazhab Criminologi)
a. Aliran Klasik Dalam aliran klasik, yang menjadi dasar pemikiran adalah bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang memiliki “kehendak bebas (free will)”, yang dimaksud dengan memiliki kehendak bebas adalah dalam bertingkah laku, manusia mempunyai kemampuan dalam memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya. Pelopor aliran ini adalah Cessare Becaria (1738-1794) 74 75
Ibid, hlm 17. Wirjono Op cit, hlm 131.
Universitas Sumatera Utara
59
berpendapat bahwa manusia mempunyai sifat kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup (Hedonisme) dan Jeremi Betham (1748-1832) dengan pendapatnya ecology cukure compesition of populition. Aliran ini mengihalmi lahirnya penerapan persamaan dihadapan hukum dan keseimbangan antara hukuman dan kejahatan diterapkan secara murni pada masa itu. Aliaran klasik ini cenderung menempatkan pidana sebagai satu-satunya jalan keluar mengatasi pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang telah disepakati masyarakat atau perjanjian masyarakat. Sebagai cerminan dari aliran ini, timbul teori dalam pemidanaan yang berorientasi pada teori relatif (deterrence). Dimana Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan
sebagai sarana
pembalasan masyarakat. 76
b. Aliran Neo Klasik Aliran ini menjaikan ajaran aliran klasik sebagai kiblatnya. Namun kemudian para sarjana aliran neo klasik. Hal ini disebabkan mazhab klasik. Hal ini
disebabkan
mazhab
klasik
dianggap
menimbulkan
ketidakadilan.
Pemberlakuan hukuman yang diterakan kepada pelaku kejahatan yang telah dewasa menurut hukum tidak dibedakan kepada pelaku kejahatan yang masih anak-anak. Penerapan hukuman ini dianggap merupakan ketidakadilan, sebab
76
Mulyana Op cit, hlm 23.
Universitas Sumatera Utara
60
aspek mental dan kesalahan tidak diperhintungkan aspek-aspek kondisi mental pelaku dan lingkungan dalam penerapan hukuman. 77
c. Aliran Positifis Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Cassare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (18521934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx. Akhirnya perkembangan filsafat di atas membawa pengaruh bagi lahirnya paham behaviorism,
experimental
psychology,
psychological
psychology
dan
objectivity. 78 Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan
bahwa
seseorang
melakukan
kejahatan
bukan
berdasarkan
kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor 77
Ibid, hlm 32. Mahmud Muliady, bahan makalah mata kuliahPolitik Hukum Pidana, Slide 42, pada hari Jum’at tanggal 18 Oktober 2013, Jam 14.00 Wib. 78
Universitas Sumatera Utara
61
lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi dan perbaikan si pelaku. Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia kriminal dengan yang bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang. Lambrosso mendapat julukan bapak kriminologi modren bukan karena born criminal, yang ditemukannya karena ia merupakan orang pertama yang meletakkan metode ilmiah dalam mencari penjelasan tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan yang melihatnya dari berbagai faktor. Lambrosso juga membantah tentang sifat free will yang dimiliki oleh manusia. Aliran positif ini berpendapat bebas manusia itu tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Secara singkat , aliran ini berpegang teguh pada keyakinan bahwa kehidupan seseorang oleh hukum sebab akibat. Ketiga tokoh ini menolak doktrin free will dan menggantinya dengan konsep determinisme. Dimana Aliran ini terbagi atas dua pandangan, yaitu ; 1) Determinisme Biologis, teori ini mendasari pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada pada dirinya. 2) Determinisme Cultural, teori ini mendasari pemikiran mereka pada pengaruh sosial, dan budaya dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. 79
79
Ibid, slide 45
Universitas Sumatera Utara
62
4.
Sebab-Sebab Kejahatan dari Perpektif Kriminologi Mengenai sebab-sebab kejahatan, ada beberapa teori yang memiliki
pemikiran yang berbeda. Secara garis besar teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan dapat dibagi kedalam tiga persfektif, yaitu : 80 a. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif psikologis dan biologi Mengenai teori ini, kejahatan lebih di titikberatkan pada perbedaanperbedaan yang terdapat pada individu . 2) Teori psikologis Teori ini merupakan teori yang menghubungkan sebab-sebab kejahatan dengan kondisi jiwa seseorang. Dari perspektif psikologi para pakar berpendapat bahwa kejahatan terjadi selalu bervariasi yang dilihat dari sisi psikologis yang diantaranya cacat dalam kesadaran, ketidak matangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu, perkembangan orang yang lemah. Mereka mengkaji bagaimana agresi dipelajari, situasi apa yang mendorong kekerasan atau reaksi delinkuen, bagaimana kejahatan berhubungan dengan faktor-faktor kepribadian, serta asosiasi antara beberapa kerusakan mental dan kejahatan. Beberapa teori mengenai kejahatan dari aspek psikologis dapat dilihat antara lain sebagai berikut : a) Teori psikoanalisa yang dikembangkan oleh Sigmun Freud, teori ini menyebutkan bahwa seseorang melakukan perbuatan yang terlarang
80
RomliOp cit, hlm 27.
Universitas Sumatera Utara
63
disebabkan hati nurani atau super ego yang dimilikinya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan dari Idnya. b) Teori
Perkembangan
dikekemukakan
oleh
Moral psikolog
(moral
developmen
Lawrence Kohlberg,
theory), teori
ini
menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan terkait dengan tahapan-tahapan pertumbuhan moralnya. Pemikiran moral tumbuh dalam tiga tahapan, yaitu : 81 • Tahap pra-konvensional yaitu pada anak usia 9-11 tahun • Tahap tingkatan konvensional yaitu pada usia remaja • Tahap Poskonvensional yaitu pada umumnya setelah usia 20 tahun c) Teori Pembelajaran Sosial (Social learning theory), dikemukakan oleh Albert Bandura, Gerard Patterson, Ernes Burgess, dan Ronald Akers. Teori ini berpendapat bahwa perilaku delikuen dipelajari melalui proses psikologis yang sama sebagai mana semua perilaku nondelikuen. Dengan kata lain adannya kecenderungan mempelajari segala perilaku yang terjadi atau adanya proses peniruan perilaku yang terjadi disekitarnya. 3) Teori Kejahatan dari Perspektif Biologis Pada teori ini memandang bahwa kejahatan memiliki hubungan dengan bentuk tubuh manusia. Tokoh utama dalam teori ini adalah
81
Ibid, hlm 29.
Universitas Sumatera Utara
64
Lombrosso dengan Theory Born Criminal-nya.
82
Born crimninal
mengatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera dalam sifat bawaan dan otaknya, dibandingkan mereka yang bukan penjahat. Lambrosso menyatakan sering kali para penjahat memiliki rahang yang besar dan gigi taring yang kuat, suatu sifat yang pada umumnya dimiliki makhluk carnivore yang merobek dan melahap daging mentah. Selain Theory Born Criminal, Lambrosso menambahkan dua kategori lain, yaitu Insane criminals dan criminoloids. Inisane criminal bukanlah penjahat sejak lahir, melainkan disebabkan perubahan dalam otak mengganggu kemapuan mereka untuk membedakan anatara benar dan salah. Sedangkan criminoloids mencangkup suatu kelompok ambiguous termasuk penjahat kambuhan (habitual criminals), pelaku kejahatan nafsu dan berbagai tipe lain.
b. Teori-teori kejahatan yang menjelaskan dari perspektif sosiologis Dari teori sosiologis mencari alasan-alasan dalam hal angka kejahatan didalam lingkungan sosial. Pada teori ini dapat dikelompokan menjadi tiga kategori umum, yaitu strain, cultural deviance atau penyimpangan budaya dan social control atau kontrol sosial. 1.
Teori strain Teori ini memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial
(social forces) yang menyebabkan orang melakukan perbuatan kriminal. 82
W.A Bonger Op cit, hlm 22.
Universitas Sumatera Utara
65
Para penganut teori strain berpendapat bahwa anggota masyarakat mengikuti satu set nilai budaya, seluruh anggita masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi , dimana orang-orang dari kelas bawah tidak mempunyai saran-sarana yang sah(legitimate mens) untuk mencapai tujuan tersebut. Akhirnya mereka yang berasal dari kalangan kelas bawah menggunakan sarana-sarana yang tidak sah (ilegitimate means) untuk mencapai tujuan mereka didalam keputusan dan frustasinya. 2.
Teori Pentimpangan Budaya Teori ini juga sama dengan teori strain, lebih memusatkan
perhatian pada
kekuatan-kekuatan sosial yang menyebabkan orang
melakukan aktivitas criminal. Teori penyimpangan budaya ini mengklaim bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbedan, yang senderung konflik dengan nilai-nilai kelas menengah. Konsekuensi dari pendapat teori ini adalah apabila orang-orang dari kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional. 3.
Teori Kontrol Sosial Teori ini mempunyai pendekatan yang berbeda dengan Strain dan
penyimpangan budaya, yaitu berdasarkan asumsi bahwa motivasi kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsengkuensi yang harus ditanggung adalah teori control social ini mencoba menemukan
Universitas Sumatera Utara
66
jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Teori ini mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturannya yang efektif. 83
c. Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari sudut pandang lain atau presfektif lain Teori dalam perspektif lainnya merupakan alternative penjelasan terhadap kejahatan yang berbeda dari teori-teori lain yang sudah ada. Pada teori ini, berusaha membuktikan bahwa orang berbuat kriminal bukan karena cacat atau kekerangan internal tetapi karena apa yang dilakukannya oleh orang-orang yang berada dalam kekuasaan, khususnya mereka yang berada dalam sistem peradilan pidana. Menurut teori ini seseorang tidak akan dikatakan sebagai seorang penjahat apabila hukum tidak menjadikan perbuatan tersebut menjadi suatu perbuatan criminal. Ada tiga teori yang dilahirkan dari perspektif ini yaitu : 84 1) Labeling Theory Teori ini memandang para kriminal hukum sebagai orang yang bersifat jahat yang terlibat dlam perbuatan-perbuatan bersifat salah tetapi mereka adalah individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat yang diberi oleh status pengadilan ataupun masyarakat.
83 84
Ibid, hlm 29. Edwin H.Sutherland, Op cit, hlm 31.
Universitas Sumatera Utara
67
2) Conflict Theory Teori ini lebih jauh mempertanyakan proses pembuatan hukum itu sendiri. Bahwa kejahatan itu tergangung terhadap berbagai kelompok kepentinganyang berusaha mengontrol pembutan dan penegakan hukum itu diciptakan oleh yang berkuasa untuk melindungi kepentigankepentingannya. 3) Radical Theory atau critical criminology Theory radical ini berbeda dengan teori konflik. Pada teori ini menganggap hanya ada satu segmen yang mendominasi yaitu the capitalist ruling class yang menggunakan hukum pidana untuk memeksakan moralitasnya kepada semua orang yang adadiluar mereka dengan tujuan untuk melindungi harta kekayaan mereka mendefenisikan setiap perbuatan yang mengancam status quo ini sebagai kejahatan. Dari penjelasan diatas tentang sebab-sebab kejahatan dari sudut pandang kriminologi memberikan sesuatu gambaran bahwa tindak pidana perdagangan orang dapat terjadi karena berbagai sebab, misalnya pendapat Bonger dan para ahli lainnya tentang kriminologi dengan menitik beratkan pada pendekatan sosiologis, yang menyatakan bahwa kejahatan dapat timbul akibat dari kemiskinan, hal ini sejalan dengan faktor-faktor menyebab TPPO yang dijelaskan selanjutnyapada bab ini yaitu faktor ekonomi yang inti permasalahannya adalah kemiskinan. 85
85
Ibid, hlm 33.
Universitas Sumatera Utara
68
Sedangkan bila kita melihat disisi lain tentang aliran-aliran kriminologi, seperti halnya aliran klasik, yang menjadi dasar pemikiran adalah bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang memiliki “kehendak bebas (free will)”oleh Cessare Becaria (1738-1794) dan Jeremi Betham (1748-1832), yang dimaksud dengan memiliki kehendak bebas adalah dalam bertingkah laku, manusia mempunyai kemampuan dalam memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya, aliran ini mencerminkan bagaimana manusia mempunyai kebebasan berkehendak dimana dapat berbuat jahat atau berbuat kebaikan, hal tersebut sejalan dengan faktor penyebab terjadinya PTPPO pada poin penegakan hukumyang dibahas selanjutnya dalam bab ini, penulis berpendapat bahwa penegak hukum mempunyai free will dalam menegakkan hukum, walaupun ancaman dari perbuatan yang dilakukan selalu ada namun hal tersebut tidak menjamin kehendak bebas dapat sejalan sebagai mana mestinya. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan pelaku TPPO dimana sebelum dia melakukan perbuatannya dia mengetahui akibat dan sanksi yang akan terjadi bila dia melakukannya. Kemudian aliran neo-klasik lahir akibat paham ketidakadilan yang dilahirkan oleh aliran klasik. Hal ini tercermin dalam penghukuman sipelaku atau pemidanaannya. Setelah aliran neo-klasik muncul lah aliran positifis, yang melihat kejahatan
secara
empiris
dengan
menggunakan
metode
ilmiah
untuk
mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan, oleh Cassare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan
Universitas Sumatera Utara
69
Raffaele Garofalo (1852-1934). Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan
bahwa
seseorang
melakukan
kejahatan
bukan
berdasarkan
kehendaknya (free wiil) karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak atau psikis pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan atau sosialnya. Penulis berpendapat bahwa aliran positifis ini berkaitan terhadap faktor penyebab TPPO yang dilihat dari faktor “sosial budaya” sebagai mana diterangkan selanjutnya pada bab ini. Dimana selain memperhatikan psikis dan biologis pelaku, juga memperhatikan faktor sosiologis pelaku. Seperti social forces atau pengaruh darikekuatan-kekuatan yang menyebabkan orang melakukan perbuatan kriminal (theory strain), cultural deviance atau penyimpangan budaya dan social control atau kontrol sosial. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Edwin H. Sutherlan yang menyatakan kriminologi adalah criminology is the body of knowledge regarding crime as a social phenomena yang artinya keseluruhan pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial.
D.
Berbagai Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang Secara garis besar dalam Keputusan Presiden Reprublik Indonesia Nomor
88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak menyebutkan faktor-faktor terjadinya perdagangan orang yaitu : 86 a.
Kemiskinan 86
Keppres No 88 Tahun 2002 tentang RAN Penghapusan Perdagangan Perempuan dan
Anak.
Universitas Sumatera Utara
70
b.
Ketenaga Kerjaan
c.
Pendidikan
d.
Migrasi
e.
Kondisi melemahkan ketahanan keluarga
f.
Sosial Budaya
g.
Media massa Dari uraian singkat Keppres diatas memberikan gambaran secara mendasar
tentang faktor-faktor terjadinya perdagangan manusia, yang diuaraikan sebagai berikut :
1.
Faktor Ekonomi Faktor ini dilatar belakangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada
atau tidak memadai dengan besarnya jumlah penduduk, sehingga kedua hal inilah yang menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan meskipun harus ke luar dari daerah asalnya dengan resiko yang tidak sedikit. 87 Kemiskinan yang begitu berat dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk melakukan migrasi ke dalam dan ke luar negeri guna menemukan cara agar dapat menghidupi diri mereka dan keluarga mereka sendiri. Kebijakan internasional globalisasi ekonomi, juga berarti globalisasi pasar kerja yang membuka peluang adanya permintaan dan pemenuhan pasokan tenaga
87
Hamim,Anis dan Agustinanto, Mencari Solusi Keadilan Bagi Perempuan Korban Perdagangan;Sulistyowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor, 2008, hlm 60.
Universitas Sumatera Utara
71
kerja dengan upah murah. Didukung oleh kemajuan teknologi transportasi, proses migrasi dari satu negara ke negara lain semakin pesat. Sementara kebijakan di bidang ketenagakerjaan, keimigrasian, dan kependudukan yang diharapkan dapat menjadi kontrol untuk melindungi pekerja migran dan pencari kerja ternyata belum memberikan hasil yang maksimal, belum lagi oknum-oknum aparat yang menyalahgunakan kewenangannya. berbagai perbuatan melawan hukum seperti pemalsuan dokumen, mulai dari KTP, surat jalan sampai dengan paspor banyak terjadi. Di samping kemiskinan, kesenjangan tingkat kesejahteraan antar negara juga menyebabkan perdagangan orang. 88 Negara-negara yang tercatat sebagai penerima para korban perdagangan orang dari Indonesia relatif lebih kaya dari indonesia seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Saudi Arabia. Ini karena mereka memiliki harapan akan lebih sejahtera jika bermigrasi ke negara lain. Kemiskinan bukan satu-satunya indikator kerentanan seseorang terhadap perdagangan orang. Karena masih ada jutaan penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan tidak terjadi korban perdagangan orang, akan tetapi ada penduduk yang relatif lebih baik dan tidak hidup dalam kemiskinan malah menjadi korban perdagangan orang. Hal ini disebabkan mereka bermigrasi untuk mencari pekerjaan bukan semata karena tidak mempunyai uang, tetapi mereka ingin memperbaiki keadaan ekonomi serta menambah kekayaan materiil, kembali lagi dengan sifat manusia pada dasarnya yang tidak pernah puas akan apa yang telah dia miliki (matreralisme). Kenyataan ini didukung oleh media yang
88
Farhana, Op cit, hlm 51.
Universitas Sumatera Utara
72
menyajikan tontonan yang glamour dan konsumsif, sehingga membentuk gaya hidup yang materialisme dan konsumsif. Materialis adalah stereotip yang selalu ditujukan kepada mereka yang memiliki sifat menjadikan materi sebagai orientasi atau tujuan hidup. 89 Dengan demikian, pengaruh kemiskinan dan kemakmuran dapat merupakan salah satu faktor terjadinya perdagangan orang. Oleh karena itu, kemiskinan dan keinginan untuk memperbaiki keadaan ekonomi seseorang masih menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam rangka meminimalisir angka kemiskinan dan dampaknya terhadap TPPO.
2.
Faktor Sosial Budaya Dalam sisi manapun faktor sosial budaya sangatlah berdampak, baik
dalam pembangunan perekonomian suatu negara, peningkatan sumber daya manusia (SDM), pemberlakuan supermasi hukum dan sebagainya. Hal serupa juga terjadi dalam tindak pidana perdagangan orang. Faktor Sosial Budaya memberikan pengaruh atau peluang terjadinya TPPO, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karna itu penulis menguraikan dampak dari faktor sosial budaya dalam berbagai sudut pandang sebagai berikut : a. Ketidakadaan Keseteraan Gender Hal tersebut merupakan suatu cerminan nilai sosial budaya patriarki yang kuat ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara walaupun pada era modren saat ini selalu diangkat 89
Dadang Hawari, Kekerasan Seksual (Stress pasca trauma), makalah disampaikan pada lokakarya kekerasan Seksual Pada Anak dan Remaja, Jakarta. 2011.
Universitas Sumatera Utara
73
kepermukaan tentang emansipasi wanita. Hal ini ditandai dengan adanya pembakuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelola rumah tangga, dan pendidikan anak-anak di rumah, serta pencari nafkah tambahan dan jenis pekerjaannya pun serupa dengan tugas di dalam rumah tangga, misalnya menjadi pembantu rumah tangga dan pengasuh anak. Selain peran perempuan tersebut, perempuan juga mempunyai peran beban ganda subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan 90, yang kesemuanya itu berawal dari diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan mereka tidak atau kurang memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan, serta tidak atau kurang memperoleh manfaat pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki. Kenyataan lain adanya ketidaksetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan yang membuat perempuan terpojok dan terjebak pada persoalan perdagangan orang. Hal ini terjadi misalnya pada perempuan yang mengalami perkosaan dan biasanya sikap atau respon masyarakat umumnya tidak berpihak pada mereka. Perlakuan masyarakat itu yang mendorong perempuan yang memasuki dunia eksploitasi seksual komersial.
91
Sebenarnya, keberadaan
perempuan di dunia eksploitasi seksual komersial lebih banyak bukan karena kemauan sendiri, tetapi kondisi lingkungan sosial budaya dimana perempuan itu berasal sangat kuat mempengaruhi mereka terjun ke dunia eksploitasi sosial terutama untuk dikirim ke kota-kota besar. 92
90
Liza Hadiz, Ideologi Jender di Balik Defenisi Legal-Formal : Analisis Sosiologis Tehadap Defenisi Perrkosaan didalam hukum, hukum dan pembangunan No 1 Tahun XXIII Pebruari 1993, hlm 13. 91 Hamim, Anis dan Agustinanto, Op cit, hlm 64. 92 Terence H. Hull Endang S., Gavin W. Jones, Op cit, I, hlm 19.
Universitas Sumatera Utara
74
Dengan demikian, ketimpangan gender dalam masyarakat cukup tinggi. Dalam studi yang dilakukan Bappenas dan Unicef dinyatakan bahwa kemauan politis untuk mengimplementasikan isu-isu yang berkaitan dengan gender masih sangat lemah. Banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berbagai macam bentuknya merupakan isu yang sangat membutuhkan perhatian serius. Di samping itu, dengan masih berlangsung di dunia termasuk Indonesia bahwa pandangan laki-laki hanya melihat perempuan sebagai objek pemenuhan nafsu seksual laki-laki 93 , semakin menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan terhadap eksploitasi seksual oleh laki-laki.
b. Kebiasaan terhadap peran anak dalam keluarga Sudah hal yang wajar bila mana kepatutan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang anak, namun yang sering terjadi kewajiban tersebut membuat anakanak rentan terhadap perdagangan (trafficking). Dalam prateknya anak memenuhi kewajibannya dengan menjadi buruh atau pekerja anak, dengan cara mencari pekerjaan didalam negeri dan juga bermigrasi. Hal serupa juga terjadi akibat jeratan hutang sehingga dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga. Praktek menyewakan tenaga anak atau anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat khususnya para korban. Anak yang ditempatkan sebagai buruh
93
Sulistyawati Manto, Perempuan dan Hukum, Nazaid Obor Indonesia. 2006, hlm 31.
Universitas Sumatera Utara
75
karena jeratan hutang, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan. 94
c. Perkawinan Dini Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi. Mengawinkan anak dalam usia muda telah mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial, karena tingkat kegagalan pernikahan semacam ini sangat tinggi, sehingga terjadi perceraian dan rentan terhadap perdagangan orang. Setelah bercerai harus menghidupi diri sendiri walaupun mereka masih tergolong anak-anak. 95 Pendidikan rendah karena setelah berhenti sekolah dan rendahnya keterampilan mengakibatkan tidak banyak pilihan yang tersedia dan segi mental, ekonomi dan sosial tidak siap untuk hidup mandiri, sehingga cendereng memasuki dunia pelacuran sebagai salah satu cara yang paling potensial untuk mempertahankan hidup.Pernikahan dini seringkali mengakibatkan ketidaksiapan anak menjadi orang tua, sehingga anak yang dilahirkan rentan untuk tidak mendapat perlindungan dan seringkali berakhir pula dengan masuknya anak ke dalam dunia eksploitasi seksual komersial.
94
Ibid, hlm 21. http://zulianaistichomah.wordpress.com/2013/04/12/implementasi-uu-perlindungananak-dan-uu-tindak-pidana-perdagangan-orang-terhadap-kasus-perdagangan-anak-child-traffiking/ diakses pada hari minggu tgl 2 februari 2014 Jam 22:03 Wib. 95
Universitas Sumatera Utara
76
d. Kehancuran Keluarga Keluarga yang hancur (broken home) dan tidak memiliki fungsi serta tujuan keluarga sebagai mana mestinya merupakan salah satu penyebab tindak pidana perdagangan orang.
96
Kekerasan dalam keluarga, kehancuran akibat
perceraian, kesibukan dunia pekerjaan sehingga hanya menyisihkan waktu sedikit untuk keluarga merupakan hal yang mendorong maraknya keluarga diambang kehancuran. Ketiadaan fungsi keluarga sebagai lahan perhatian dan kasih sayang yang selayaknya didapatkan hilang begitu saja, akbitnya membuat anak ataupun anggota keluarga mencari perhatian dan kasih sayang tersebut diluar pagar keluarga, dimana menurutnya aman bagi dirinya dan dapat menghindar dari semua masalah yang dialaminya. 97
3.
Faktor Pendidikan yang minim dan tingkat buta huruf tinggi Pendidikan merupakan hal yang penting diera modren saat ini, ketika kita
tidak dapat bersaing dalam ilmu pengetahuan dan teknologi maka sudah sangat jelas kita akan ketinggalan dan perubahan akan kesejahteraan hidup sangatlah lambat. Kaitannya dalam perdagangan orang dimana dengan pendidikan yang terbatas atau buta aksara kemungkinan besar akan menderita keterbatasan ekonomi dan mereka juga tidak akan mempunyai pengetahuan serta kepercayaan diri untuk mengajukan pertanyaan tentang ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan kondisi kerja mereka. 98 Selain itu, mereka akan sulit mencari pertolongan ketika
96
http://arum-pertiwi.blogspot.com/2013/04/faktor - terjadinya - human - trafficking dan.html, diakses pada hari Rabu, tanggal 2 februari 2014 minggu, jam 22:35 Wib. 97 Kuntjoro, Op cit, hlm 13. 98 Rachmad Syafaat, Op cit, hlm 16.
Universitas Sumatera Utara
77
mereka kesulitan saat berimigrasi ataupun mencari pekerjaan. Kesulitan mengakses sumber daya yang tersedia, tidak dapat membaca atau mengerti brosur iklan. Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian (skill) dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian. Dampak lain yang ditimbulkan misalnya, seorang pekerja migran yang tidak dapat membaca atau buta huruf, dalam melakukan perjanjian kerja sering kali dibacakan secara lisan, dalam pembacaan tersebut berbeda dengan apa yang ada lama perjanjian kerja (contract) dimana secara lisan dijanjikan akan mendapat jenis pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen, namun kontrak yang mereka tanda tangani mencantumkan ketentuan kerja serta kompensasi yang jauh berbeda, bahkan sering kali mengarah ke eksploitasi. 99
4.
Faktor Penegakan Hukum Hal yang ingin dicapai dalam penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah atau tatanantatanan sosial masyarakat kedalam aturan-aturan hukum yang ada atau aturan hukum yang telah terkodifikasikan, yang bersumber dari norma-norma dan tatanan-tatanan sosial mayarakat. Sehingga menciptakan rasa aman dan teratur dalam masyarakat. Dimana hal ini tidak terlepas dari fungsi dasar hukum pada
99
http://arum-pertiwi.blogspot.com/2013/04/faktor - terjadinya - human - trafficking dan.html, diakses hari Minggu, tanggal 2 feb 2014, Jam 22:35 Wib.
Universitas Sumatera Utara
78
umumnya yaitu memberikan Keadilan, Kepastian Hukum, serta Kemanfaatan Hukum. 100 Penegakan hukum terangkat kepermukaan akibat ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah, tatanan-tatanan sosial dan pola perilaku masyarakat. Sehingga pengaturan yang bertendensi penegakan hukum diperlukan untuk mewujudkan keserasian tersebut. Namun dalam melakukan penegakan hukum tidaklah selayaknya membalikkan telapak tangan dengan mudahnya. Banyak faktor-faktor yang mengahambat dan mempengaruhi penegakan hukum sulit untuk mencapai pada titik pencapaian yang telah ditentukan atau dihapkan. Dalam hal ini penegakan hukum yang dimaksud berhubungan dengan tindak pidana perdagangan orang. Dari uraian singkat diatas, tergambarkan betapa pentingnya penegakan hukum bagi kelangsungan hidup manusia khususnya dalam tindak pidana perdagangan orang. Oleh karna itu penulis menguraikan hal-hal yang mempengaruhi penegakan hukum dari berbagai sudut pandang, sebagai berikut :
a. Akibat Hukumnya Sendiri Sebelum disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, tidak ada peraturan perundang-undangan yang dengan tegas mengatur hal ini. Kebanyakan pelaku perdagangan orang yang tertangkap pun tidak semuanya dijatuhi hukuman yang setimpal dengan jenis dan akibat kejahatan tersebut, akibat lemahnya piranti atau
100
Soejono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, cet Kelima, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, hlm 5.
Universitas Sumatera Utara
79
payung hukum yang tersedia. Selama itu ketentuan hukum positif yang mengatur tentang larangan perdagangan orang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Pasal 297 KUHP. 101 Pasal tersebut tidak menyebutkan dengan jelas tentang defenisi perdagangan orang, sehingga tidak dapat dirumuskan dengan jelas unsur-unsur tindak pidana yang dapat digunakan penegak hukum untuk melakukan penuntutan dan pembuktian adanya tindak pidana. Pasal ini dapat dikatakan mengandung diskriminasi terhadap jenis kelamin karena pasal ini menyebutkan hanya wanita dan anak laki-laki di bawah umur, artinya hanya perempuan dewasa dan anak laki-laki yang masih di bawah umur yang mendapat perlindungan hukum. Juga inteprestasi hukum yang berkembang terhadap Pasal 297 KUHP menyempitkan makna tindak pidana tentang perdagangan orang, khusus perempuan dan anak. Dengan tidak jelasnya definisi tentang perdagangan orang dakam Pasal 297 KUHP, maka terjadi interprestasi hukum yang sempit. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan KUHP yang disusun R. Sugandhi, yang menyatakan bahwa perdagangan wanita dan ank laki-laki di bawah umur hanya sebatas pada eksploitasi pelacuran dan pelacuran paksa. Akan tetapi, interprestasi ini adalah interprestasi tiak resmi. Berarti penjelasan ini bukan penjelasan dari negara yang merupakan penjelasan dari KUHP. Adapun asas Hukum Pidana menentukan bahwa Hukum Pidana menganut sistem interprestasi negatif yang berarti tidak boleh ada interprestasi lain selain yang ada dalam KUHP itu sendiri. Pasal ini juga bersifat umum, sehingga tidak
101
Lihat Pasal 297 KUHP.
Universitas Sumatera Utara
80
mampu mewadahi kasus yang sifatnya lebih spesifik, karena di lapangan banyak ditemukan bentuk-bentuk kejahatan lebih spesifik yang tidak mampu dijerat oleh pasal tersebut. Contohnya adalah modus jeratan utang. Banyak perempuan dan anak harus menjadi pekerja seks komersial karena terjerat utang pada majikan atau germo. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 102 juga terkait dengan perdagangan manusia. Ketentuan hukum dalam undang-undang ini menunjukkan kemajuan ketentuan pidana dengan mengikut perkembangan kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat dan tidak ada diskriminasi perlindungan hukum dari tindak pidana terhadap jenis kelamin atau usia, karena perdagangan manusia mencakup semua orang termasuk laki-laki dan anak meliputi anak laki-laki dan perempuan. Ketentuan dalam undang-undang ini juga memberikan ruang lingkup perlindungan yang lebih luas terhadap segala bentuk tindak pidana yang biasanya merupakan bagian eksploitasi dalam perdagangan orang seperti penyekapan. Tetapi definisi perdagangan orang dalam undang-undang ini tidak ada. 103 Disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 83 telah mencantumkan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau dijual. Akan tetapi, undang-undang ini juga sama seperti halnya dalam KUHP tidak merinci apa yang dimaksud dengan perdagangan anak dan untuk tujuan apa anak itu dijual. Namun demikian, undang-
102
Lihat UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. http://jayantidewi-Human-Trafficking/ Perdagangan Manusia .blogspot.com/, diakses pada hari Minggu tanggal 2 feb 2014 minggu, Jam 22:37 Wib. 103
Universitas Sumatera Utara
81
undang ini cukup melindungi anak dari ancaman penjualan anak dengan memberikan sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan KUHP yang ancamannya 0-6 tahun penjara, sedangkan Undang-Undang Perlindungan Anak mengancam pelaku kejahatan perdagangan anak 3-15 tahun penjara dan denda antara Rp 60 juta sampai Rp 300 juta. Undang-Undang ini sering digunakan sebagai dasar untuk menangkap pelaku perdagangan orang. Penerapan pasal-pasal tersebut bukan berarti secara otomatis menyelesaikan masalah. Sejumlah kekurangan yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut tidak jarang membuat para pelaku perdagangan manusia lolos dari hukum yang seharusnya diterima.
b. Akibat Penegak Hukum Penegakan hukum di dalam masyarakat selain dipengaruhi oleh peraturan atau kaidah-kaidah, juga ditentukan oleh para penegak hukum atau pengembala hukum 104, sering terjadi beberapa peraturan tidak dapat terlaksana dengan baik karena ada penegak hukum yang tidak melaksanakan suatu peraturan dengan cara sebagaimana mestinya. Terjadinya korupsi dalam pengurusan-pengurusan dokumen misalnya pemalsuan informasi pada dokumen-dokumen resmi seperti KTP, akta kelahiran, dan paspor. Akibatnya anak maupun orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak memiliki akta kelahiran amat rentan terhadap eksploitasi. Orang yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahirannya sering kali kehilangan perlindungan yang diberi hukum karena dimata negara secara teknis mereka tidak ada. Rendahnya registrasi kelahiran, khususnya di kalangan masyarakat desa, memfasilitasi 104
Farhana, Op cit, hlm 66.
Universitas Sumatera Utara
82
perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli untuk memalsukan umur khususnya bagi perempuan yang belum cukup umur agar mereka dapat bekerja di luar negeri. Selain pemalsuan dokumen para korban, tindak pidana perdagangan orang juga rentang terjadi akibat para penegak hukum korupsi dalam menjalani tugas dan wewenangnya. Sebagai mana kita ketahui pada saat ini masalah utama di setiap jenjang adalah korupsi (corruption), yang mana kerap terjadi di lingkungan pegawai negeri, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Misalnya yang berhubungan dengan kepolisian, seperti diberikan perihal tugas polisi yang menolak memulai penyidikan atau menghentikan penyidikan setelah menerima uang, perlakuan buruk petugas polisi kepada korban, serta keterlibatan polisi dalam praktik-praktik perdagangan orang dan pemerasan pengelola rumah pelacuran atau bordil, mucikari, dan para pelacur oleh polisi. 105 Adapun berkenaan dengan kejaksaan, seperti yang diberikan mencakup informasi tentang jaksa yang menghentikan proses penuntutan, mengajukan dakwaan dengan menggunakan ketentuan pidana dengan ancaman yang lebih rendah dari yang sebenarnya dapat diajukan, menuntut penjatuhan pidana yang lebih rendah dalam persidangan. Hal yang sama juga terjadi di lembaga peradilan, dimana masih hangatnya kasus Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, yang tersandung kasus korupsi. Walaupun tidak ada kaitannya dalam kasus perdagangan orang, namun dapat tergambarkan bahwa kurangnya kesadaran hakim akan tugas dan wewenangnya
105
Ibid, hlm 67.
Universitas Sumatera Utara
83
sebagai penegak hukum, pengambil kuputusan, dan Tuhan bagi mereka yang diputuskan bersalah di pengadilan. Kasus lain yang sering kita dengar seperti hakim yang membebaskan atau melepas terdakwa ataupun menjatuhkan pidana lebih rendah tergantung pada bayaran yang diterima. Seakan-akan tidak mau kalah pegawai negeri sipil dilingkungan tertentu juga ikut berperan untuk korupsi sebagaimana diurai sebelumnya didalam pembuatan dokumen-dokumen penting. Namun tidak hanya itu kasus lain misalnya pemerasan buruh migran yang mendarat di terminal 3 bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, sejumlah LSM mengungkap kecurigaan akan adanya kolusi antara pegawai-pegawai Departemen Tenaga Kerja dengan Perusahan Penyalur Jasa Tenaga Kerja. Dari penjelasan diatas tergambarkan bahwa masih kurangnya penegakan hukum dilembaga-lembaga negara, kurangnya asas tranparansi berkenaan dengan aturan-aturan serta prosedur yang berlaku, termasuk juga tidak adanya akuntabilitas dari pejabat negara khususnya dilingkungan penegak hukum serta petugas lainnya, dimana hal ini tercermin dengan tidak tersedianya mekanisme kontrol, pengawasan, dan penerimaan pengaduan baik internal maupun eksternal. Akibatnya, banyak korban yang tidak mau menyelesaikan masalah melalui proses hukum. Hal ini memberikan peluang terhadap praktik pedagangan orang (human trafficking) yang semakin meningkat.
5.
Faktor Sarana dan Koordinasi Sarana atau fasilitas juga mempengaruhi penegak hukum, hal ini terlihat
bahwa penegak hukum tidak akan dapat menjalankan pekerjaannya tanpa sarana
Universitas Sumatera Utara
84
dan fasilitas. Sarana yang penulis maksud disini selain gedung, peralatan, teknologi, kendaraan dan sebagainya yang paling penting adalah sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, teguh terhadap kode etik, keagamaan yang tinggi, dan bijaksana. Bilamana SDM yang direkrut memenuhi kriteria tersebut untuk jadi penegak hukum alhasil negara ini akan terlepas dari kemiskinan. 106 Koordinasi juga sangat menentukan penegakan hukum dapat terwujud dengan baik 107 , bila mana kordinasi kurang antar lembaga negara khususnya lembaga penegak hukum maka yang terjadi seperti halnya perbedaan interpretasi para penegak hukum tentang defenisi perdagangan orang, dimana hal tersebut sangat berpengaruh terhadap penuntutan, pembuktian, dan penghukuman. Dan sering terjadi kasus kejahatan perdagangan orang lepas dari penuntutan karena adanya perbedaan interpretasi. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman dan keahlian penegak hukum dalam menangani kasus perdagangan manusia, sehingga berdampak luas dalam memprosesnya. Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, seperti halnya polisi kurangnya keinginan untuk mengetahui hasil putusan hakim sehubungan dengan kasus-kasus yang diajukannya ke kejaksaan dan pengadilan dan untuk melakukan upaya hukum tinggi. Demikian juga kejaksaan kurangnya rasa keinginan untuk mengetahui dan menganalisis kembali putusan pengadilan, seakan-akan setiap putusan pengadilan diterima
106
http://sosbud.kompasiana.com/2013/09/22/pemberantasan-trafficking-di-indonesia594786.html diakses pada hari minggu, tanggal 9 Februari 2014, Jam 23:45 Wib. 107 Arief Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998, hlm 56.
Universitas Sumatera Utara
85
bulat-bulat walaupun berbeda didalam tuntutan. Keadaan ini sangat menghambat proses monitoring dan evaluasi penegakan hukum. 108
6.
Faktor Media Massa (press) Dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang seharusnya media
massa memberikan kontribusi yang siknifikan dan transparansi terhadap kasuskasus perdagangan orang. Namun sangat disayangkan dimana media massa pada saat ini masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang human trafficking dan belum memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan human trafficking dan kejahatan susila lainnya.
7.
Faktor Masyarakat Kesadaran masyarakat terhadap hukum belum terbangun dengan baik.
Disamping itu, sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hukum dan aparat penegak hukum. 109 Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketaatan dalam hukum dan jaminan pelaksanaan hak asasi manusia khususnya dalam pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Pemahaman masyarakat tentang tindak pidana perdagangan orang masih sangat rendah, sehingga terkadang perbuatan yang
108
Mudjiono, Sistem hukum dan tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1997, hlm
24. 109
Ibid, hlm 26.
Universitas Sumatera Utara
86
mereka lakukan termasuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang mereka tidak menyadarinya ataupun seseorang yang mengetahui tentang itu tidak melaporkannya,
demikian
pulak
telah
menjadi
korban
namun
tidak
melaporkannya. Hal ini semua terjadi akibat kurangnya pemahaman masyarakat akan tindak pidana perdagangan orang, yang selayaknya dilindungi oleh hukum. Faktor-faktor yang diuraikan diatas merupakan faktor-faktor terjadinya perdagangan orang, namun perlu diketahui bahwa faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri. Dengan kata lain , faktor-faktor yang berhubungan dengan faktor lain akan menghasilkan kejahatan. Satu sama lain akan selalu berkaitan, seperti halnya sebab dari suatu akibat yang disebut multifactor theory. Sebagai contoh faktor ekonomi dengan faktor penegakan hukum, sebagai masyarakat yang berkekurangan dibidang ekonomi akan berusaha untuk memperbaiki kondisi keuangannya, sebagian masyarakat memilih untuk bekerja di luar negeri untuk jadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) namun dengan menjadi TKI banyak dokumendokumen yang harus dilengkapi, ketika dokemun tersebut dalam pengurusannya tidak sesuai dengan aturan hukum yang dilakukan oleh penyalur tenaga kerja, maka berakibat pada penyimpangan-penyimpangan, yang memberikan peluang terjadinya tindak pidana perdagangan orang 110 . Seperti halnya dengan faktorfaktor lain yang saling berhubungan dan mempunyai keterkaitan satu sama lain.
110
Chairul Bariah Mozasa, Op cit, hlm 9.
Universitas Sumatera Utara