BAB II DASAR TEORI
BAB II DASAR TEORI 2.1 Material Magnetik Sifat magnet dari material ditentukan oleh beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut
2.1.1 Momen magnet Sifat magnetik dari bahan secara makroskopik timbul sebagai akibat dari adanya momen magnetik elektron. Tiap elektron dalam sebuah atom memiliki momen magnetik yang berasal dari dua sumber. Pertama berasal dari gerakan orbital mengelilingi inti (nucleus) atom, yang kedua berasal dari gerakan spin (putar) mengelilingi sumbunya. Jadi, setiap elektron dalam atom dapat dianggap sebagai sebuah magnet yang memiliki momen magnetik orbital dan spin. Untuk setiap elektron dalam sebuah atom, momen magnetik spin adalah ±mB (Bohr magneton) yang besarnya 9,27 x 10-21 A m2, dimana tanda + untuk arah spin ke atas dan – untuk arah ke bawah. Kontribusi dari momen magnetik orbital adalah mlmB, dimana ml angka kuantum magnetik elektron.
Gambar2.1 Momen magnetik yang dihasilkan oleh gerakan elektron, (a) orbital dan (b) spin[1]
Dalam setiap atom, momen orbital dari beberapa pasangan elektron dapat saling menghilangkan; hal yang sama terjadi pada momen spin (momen dengan arah ke
4
BAB II DASAR TEORI
atas akan menghilangkan momen dengan arah ke bawah). Momen magnetik netto dari atom merupakan jumlah dari momen magnetik masing-masing elektronnya, baik orbital maupun spin. Bagi atom yang memiliki kulit dan subkulit elektron yang lengkap, seluruh momen orbital dan spin akan saling menghilangkan. Maka, bahan yang terdiri dari atom-atom yang demikian tidak dapat dimagnetisasi secara permanen, antara lain gas inert seperti He, Ne, dan Ar, serta beberapa bahan ionik. Berdasarkan respons dari momen magnetik elektron dan atom tersebut terhadap medan magnetik dari luar, sifat kemagnetan bahan dapat diklasifikasikan menjadi diamagnetik, paramagnetik, ferimagnetik, antiferomagnetik, dan feromagnetik.
2.1.2
Magnetization Magnetization (M) menggambarkan sejauh mana material termagnetisasi
ketika material tersebut dikenakan medan magnet dari luar. Besarnya adalah momen magnet per satuan volume , M = m/v. Satuan dari M adalah emu/cm3
2.1.3
Magnetic Induction (Induksi Magnetik) Ketika material dikenai medan magnet luar sebesar H oersted maka
material akan termagnetisasi sebesar M. Karena besarnya medan magnet dinyatakan dalam garis gaya per cm2, maka ada H garis gaya per cm2 yang dihasilkan oleh medanmagnet luar. Saat material sudah termagnetisasi, ada 4πM garis gaya yang timbul pada material. Oleh karena itu, total garis gaya per cm2 yang terdapat pada material adalah H + 4πM. Jumlah garis gaya induksi per cm2 disebut dengan magnetic induction (induksi magnetik) B. Jadi B = H + 4πM. Satuan dari B adalah Gauss. 2.1.4
Susceptibility dan Permeability Sifat magnet dari material tidak hanya dikarakterisasi dengan besarnya M
tetapi juga bagaimana variasi M terhadap H. Rasio dari dua nilai tersebut disebut dengan susceptibility κ.
5
BAB II DASAR TEORI
κ = M/H 3
Satuannya adalah emu/cm Oe. Selain itu, nilai yang juga sering dipakai untuk menggambarkan sifat magnet adalah permeability µ. Permeability adalah rasio antara B terhadap H. µ = B/H. Karena B = H + 4πM, maka B/H = 1 + 4π(M/H) µ = 1 + 4πκ Berdasarkan nilai µ dan κ , sifat magnet dari beberapa material dapat dapat dikarakterisasi : 1. Ruang kosong, κ = 0, karena tidak ada material yang dimagnetisasi, µ = 1 2. Diamagnetic, κ kecil dan negative, dan µ lebih kecil dari 1 3. Paramagnetic dan antiferromagnetic, κ kecil dan positif, dan µ sedikit lebih besar dari 1. 4. Ferromagnetic dan ferrimagnetic, κ dan µ besar dan positif.
2.1.5 Domain dan Hysteresis Semua bahan feromagnetik dan ferimagnetik pada temperatur di bawah Tc terdiri dari daerah-daerah volume kecil dimana terdapat pensejajaran yang saling memperkuat dari semua momen magnetik, Daerah ini disebut domain yang termagnetisasi sampai titik jenuhnya. Domain dari material ini akan tersusun pada arah yang mudah untuk terjadinya magnetisasi. Arah penyusunan domain magnet dapat terjadi secara teratur maupun random dan domain yang bersebelahan dipisahkan oleh dinding domain, dimana arah dari momen secara bertahap berubah (Gambar 2.11).
6
BAB II DASAR TEORI
Gambar 2.2 Perubahan bertahap pada orientasi dwikutub magnetik atom pada dinding domain[1]
Umumnya, domain berukuran mikroskopik, dan untuk bahan polikristalin tiap butir dapat terdiri dari beberapa buah domain. Jadi secara makroskopik, sebuah bahan terdiri dari banyak sekali domain, yang semuanya mungkin memiliki orientasi magnetisasi yang berbeda. Besarnya magnetisasi M untuk keseluruhan bahan adalah jumlah vektor magnetisasi dari semua domain, dimana besarnya kontribusi setiap domain ditentukan oleh fraksi volumenya. Untuk contoh bahan yang tidak dimagnetisasi, jumlah vektor magnetisasi dari semua domain adalah nol. Kerapatan flux (induksi) B dan kuat medan H tidak proporsional pada magnet fero dan magnet feri. Jika bahan yang awalnya dalam keadaan tidak dimagnetisasi (B=0) diberi medan luar H, besaran B bervariasi sebagai fungsi dari H (Gambar 2.9). Kurva bergerak mulai dari titik 0, begitu H dinaikkan maka B mulai naik perlahan-lahan, lalu lebih cepat, akhirnya mendatar dan tidak tergantung lagi pada H. Harga maksimum B disebut kerapatan flux jenuh, Bs, dan magnetisasinya adalah magnetisasi jenuh, Ms.
7
BAB II DASAR TEORI
Gambar 2.3 Perubahan konfigurasi domain bahan feromagnetik dan ferimagnetik (yang awalnya dalam keadaan tidak dimagnetisasi) selama proses magnetisasi [1]
Begitu medan H diberikan, domain berubah bentuk dan ukuran karena gerakan dinding domain. Secara skema, perubahan struktur domain dari beberapa titik sepanjang kurva B – H dapat dilihat pada Gambar 2.12. Mula-mula momen domain orientasinya acak sehingga tidak ada B (atau M) netto. Kemudaian domain yang orientasi arahnya paling mendekati/ hampir sejajar dengan arah medan H tumbuh membesar, sementara yang orientasi arahnya paling berbeda mengecil. Proses ini berlanjut dengan kenaikan kuat medan H sampai akhirnya contoh bahan secara makroskopik menjadi domain tunggal, yang hampir sejajar dengan arah medan. Kejenuhan tercapai apabila domain ini, dengan gerakan rotasi, betul-betul sejajar dengan arah medan. Dari titik jenuh S, begitu medan H dikurangi dengan membalikkan arah medan, kurva tidak kembali mengikuti jalan semula (tidak reversible). Disini terjadi efek hysteresis dimana B turun dengan laju yang lebih lambat. Pada medan H = 0 (titik R pada kurva), terdapat medan B yang tersisa yang disebut remanensi atau induksi remanen atau kerapatan flux remanen, Br, pada kondisi seperti ini bahan tetap termagnetisasi walaupun tanpa medan luar H.
8
BAB II DASAR TEORI
Untuk menurunkan medan B di dalam contoh bahan menjadi nol (titik C), medan H sebesar –Hc harus diberikan dengan arah yang berlawanan dengan arah semula; Hc disebut koersifitas atau gaya koersif. Dengan melanjutkan pemberian medan luar dengan arah yang berlawanan, kejenuhan kembali dicapai (kebalikan dari kejenuhan tadi) pada titik S’. Pembalikkan arah medan yang kedua kalinya dari titik S’ ke titik jenuh semula (titik S) akan membentuk hysteresis loop yang simetri, dimana diperoleh juga remanensi negatif (-Br) dan koersifitas (Hc).
Gambar 2.4 Kurva hysteresis bahan feromagnetik dan ferimagnetik[1] Sementara untuk material paramagnetik dan diamagnetik tidak menunjukkan kurva B-H tidak menunjukkan sifat hysteresis, dan sedikit berbeda dengan material yang berada pada ruang vakum.
Gambar 2.5 Kurva B – H Untuk Material Paramagnetik dan diamagnetik[14]
9
BAB II DASAR TEORI
2.1.6 Magnetocrystalline Anisotropy Pada material kristalin magnetik, sifat magnetiknya akan bervariasi bergantung pada arah kristal yang mempunyai momen magnetik hal yang seperti ini disebut dengan magnetocrystalline anisotropi. Gambar 2.5 berikut ini menunjukkan efek dari sifat ini terhadap cobalt yang mempunyai struktur hexagonal. Material ini akan mudah untuk dimagnetisasi pada arah [0001] atau searah sumbu c, dan sulit untuk dimagnetisasi pada arah [1010] atau dasar bidang (tegak lurus arah sumbu c).
Gambar 2.6 Magnetocrystalline anisotropy material Cobalt[12]
2.2 Klasifikasi Material Magnetik Semua unsur dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat magnetnya menjadi lima kategori yang bergantung pada magnetic suscepctibility –nya. Tipe magnet yang paling umum adalah diamagnetik dan paramagnetik, untuk lebih jelasnya lihat tabel periodik berikut :
10
BAB II DASAR TEORI
Gambar 2.7 Tabel periodik yang menunjukkan sifat magnet unsur-unsur pada temperatur kamar[12]
Material yang bersifat feromagnetik dan antiferomagnetik hanya ditemukan sedikit didalam unsur murni. Untuk material yang mempunyai sifat ferimagnetik hanya ditemukan dalam senyawa, seperti campuran oksida yang disebut juga ferrit yang merupakan asal kata dari ferrimagnetik 2.2.1 Diamagnetik Material diamagnetik mempunyai susceptibility magnetik yang kecil dan bernilai negatif. Diamagnetik merupakan sifat magnet yang paling lemah, yaitu tidak permanen dan hanya muncul selama berada dalam medan magnet luar. Besarnya momen magnetik yang diinduksikan sangat kecil, dan dengan arah yang berlawanan dengan arah medan luar. Permeabilitas mr lebih kecil dari satu dan suseptibilitas magnetiknya negatif, sehingga besaran B dalam bahan diamagnetik lebih kecil daripada dalam vakum. Suseptibilitas volume Xm untuk bahan padat diamagnetik sekitar -10-5. Jika disimpan diantara kutub-kutub sebuah magnet listrik yang kuat, bahan diamagnetik akan ditarik ke arah daerah dimana medannya lemah.
11
BAB II DASAR TEORI
Gambar 2.8 susunan momen dipol material diamagnetik tanpa medan magnet (a) dan dengan medan magnet (b) [1]
2.2.2 Paramagnetik Material paramagnetik mempunyai nilai suscetibilitas magnet yang kecil tapi bernilai positif. Dengan adanya medan dari luar, pada bahan paramagnetik, dwikutub atom yang bebas berotasi akan mensejajarkan arahnya dengan arah medan (Gambar 2.6b). Kemudian permeabilias relatif mr (yang lebih besar dari satu) dan suseptibilitas magnetik akan sedikit naik. Magnetisasi bahan ini akan muncul jika ada medan dari luar.
Gambar 2.9 susunan momen dipol material paramagnetik tanpa medan magnet (a) dan dengan medan magnet (b) [1]
2.2.3 feromagnetik. Bahan logam tertentu memiliki momen magnetik permanen tanpa adanya medan magnetik dari luar, dan memperlihatkan magnetisasi yang besar. Ini merupakan sifat dari feromagnetik, antara lain terdapat pada logam-logam transisi Fe, Co, Ni dan beberapa logam tanah jarang (Rare Earth, RE) seperti Gd. Suseptibilitas magnetiknya dapat mencapai setinggi 106; maka H<<M, hubungan B dengan M adalah sebagai berikut:
12
BAB II DASAR TEORI
Momen magnetik permanen pada bahan feromagnetik disebabkan oleh momen magnetik karena gerak spin elektron. Kontribusi dari momen magnetik orbital tetap ada walaupun relatif kecil dibandingkan dengan momen spin. Disamping itu, pada bahan feromagnetik, interaksi gabungan menyebabkan momen magnetik spin netto dari atom yang berdekatan menjadi sejajar satu dengan yang lainnya, walaupun tanpa ada medan dari luar (Gambar 2.4). Pensejajaran momen ini terbentuk pada daerah yang relatif luas dari kristal yang disebut domain. Magnetisasi maksimum atau magnetisasi jenuh (saturation magnetization) Ms dari bahan feromagnetik adalah besarnya magnetisasi apabila dwikutub magnetik dalam bahan padat tersebut seluruhnya sejajar dengan medan dari luar; besarnya kerapatan flux adalah Bs. Magnetisasi jenuh Ms adalah perkalian antara momen magnetik netto tiap atom dengan jumlah atom yang ada. Untuk Fe, Co, dan Ni, momen magnetik netto per atom masing-masing adalah 2,22 , 1,72 , dan 0,60 Bohr magneton.
Gambar 2.10 susunan momen dipol untuk material feromagnetik tanpa ataupun dengan adanya medan magnet dari luar[1]
2.2.4. Antiferomagnetik Gabungan momen magnetik antara atom-atom atau ion-ion yang berdekatan dalam suatu golongan bahan tertentu menghasilkan pensejajaran anti parallel. Gejala ini disebut antiferomagnetik, antara lain terdapat MnO, bahan keramik yang bersifat ionik yang memiliki ion-ion Mn2+ dan O2-. Tidak ada momen magnetik netto yang dihasilkan oleh ion O2-, hal ini disebabkan karena adanya aksi saling menghilangkan total pada kedua momen spin dan orbital. Tetapi ion Mn2+ memiliki momen magnetik netto yang terutama berasal dari gerak
13
BAB II DASAR TEORI
spin. Ion-ion Mn2+ ini tersusun dalam struktur kristal sedemikian rupa sehingga momen dari ion yang berdekatan adalah antiparalel (Gambar 2.9). Karena momen-momen magnetik yang berlawanan tersebut saling menghilangkan, bahan MnO secara keseluruhan tidak memiliki momen magnetik.
2.2.5 Ferimagnetik Beberapa bahan keramik juga memperlihatkan magnetisasi permanen, disebut ferimagnetik. Bahan keramik magnetik ini secara umum disebut ferit. Sifat-sifat magnetik secara makroskopik dari magnet fero dan magnet feri adalah sama; perbedaanya terletak pada sumber magnetik netto. Prinsip dasar ferimagnetik dapat dilihat pada ferit kubik yang memiliki struktur kristal yang mirip mineral spinel, sehingga sering disebut ferit spinel. Bahan ionik ini dinyatakan dengan rumus kimia M.Fe2O4 atau MO.Fe2O3, dimana Disamping ferit kubik / spinel terdapat dua macam ferit yang lain, yaitu ferit hexagonal dan garnet, yang juga memiliki sifat ferimagnetik. Rumus kimia ferit hexagonal adalah MO.6 Fe2O3 atau M.Fe12O19, dimana M ion logam tanah jarang seperti Sm, Eu, Gd atau Y. Yttrium Iron Garnet (Y3Fe5O12) yang biasa disebut YIG merupakan ferit yang umum dari jenis ini. Magnetisasi jenuh bahan ferimagnetik tidak setinggi seperti pada bahan feromagnetik. Walaupun demikian, sebagai bahan keramik, konduktivitas listriknya yang rendah diperlukan sekali dalam beberapa penggunaannya. Secara umum sifat-sifat material magnetik dapat di simpulkan dalam tabel berikut ini:
14
BAB II DASAR TEORI
Gambar 2.11 Klasifikasi material magnetik berdasarkan susunan momen dipol atau spin[8]
Gambar 2.12 Hubungan temperatur dengan susceptibility untuk beberapa material magnetik[4]
15
BAB II DASAR TEORI
Sebagian besar material magnetik sangat bergantung pada temperatur. Material feromagnetik dan ferimagnetik jika temperaturnya dinaikkan sifat magnetnya
akan
berubah
menjadi
paramagnetik.
Sedangkan
material
antiferomagnetik jika temperaturnya dinaikkan pada temperatur yang lebih rendah (Temperatur neel) material ini juga akan berubah menjadi bersifat paramagnetik. Sedangkan material diamagnetik sifat magnetiknya tidak dipengaruhi temperatur. 2.2.6 Bahan Magnetik Lunak dan Magnetik Keras Bentuk dan ukuran kurva hysteresis untuk bahan-bahan feromagnetik dan ferimagnetik memiliki arti yang sangat penting dalam praktek. Daerah yang berada di dalam loop menunjukkan kehilangan energi magnetik per satuan volume bahan per siklus; kehilangan energi ini diwujudkan dalam bentuk panas yang dapat menaikkan temperatur bahan. Berdasarkan sifat hysteresisnya, kedua bahan feromagnetik dan ferimagnetik diklasifikasikan menjadi bahan magnetik lunak dan bahan magnetik keras. Bahan magnetik lunak digunakan pada alat yang bekerja dalam medan magnetik bolak-balik dimana kehilangan energinya harus rendah, misalkan untuk inti (core) transformator. Jadi, daerah yang berada di dalam hysteresis loop harus relatif kecil; pada Gambar 2.15 diperlihatkan dengan loop yang kurus. Sebagai konsekuensinya, bahan magnetik lunak harus memiliki permeabilitas awal yang tinggi dan koersifitas yang rendah. Bahan yang memiliki sifat-sifat demikian dapat mencapai magnetisasi jenuh dengan pemberian medan luar yang relatif rendah (mudah dimagnetisasi dan didemagnetisasi).
16
BAB II DASAR TEORI
Gambar 2.13 Kurva magnetisasi bahan magnetik lunak dan keras[1].
Magnetisasi jenuh ditentukan oleh komposisi bahan. Sebagai contoh, pada ferit kubik, substitusi ion logam valensi dua seperti Ni2+ untuk Fe2+ dalam FeO.Fe2O3 akan mengubah besaran magnetisasi jenuh. Akan tetapi, suseptibilitas (Xm) dan koersifitas (Hc) yang juga mempengaruhi bentuk kurva hysteresis, lebih banyak ditentukan oleh variabel struktur daripada komposisi. Cacat struktur seperti terdapatnya rongga atau partikel fasa nonmagnetik di dalam bahan cenderung untuk menahan / membatasi gerak dinding domain, sehingga akan meningkatkan koersifitas.
2.3 Magnetik Ferrite Magnet jenis ini termasuk didalamnya oksida ferrite dengan tipe XO6Fe2O3, dengan X adalah unsur berat seperti Ba, Sr dan O. Magnetik remanen – nya termasuk rendah dan energi maksimum produk juga rendah. magnet jenis ini juga menunjukkan kestabilan dalam jangka panjang yang baik dan ketahanan korosi karena semuanya terbuat dari oksida[10]
17
BAB II DASAR TEORI
2.4 Hexagonal ferrite (M –Type Ferrite) Hexagonal ferrite mempunyai struktur kristal dengan sistem hexagonal. Struktur ini mempunyai sifat magnetocrystalline anisotropy yang baik, hingga hexagonal ferrite berbeda dengan dengan cubic ferrite dan spinel. Hexagonal ferrite dapat diklasifikasikan kedalam empat fasa yaitu M, Z, Y, dan W yang dibedakan oleh komposisi dan struktur. (tabel 2.1) Material hexagonal ferrite yang paling penting adalah BaO-6Fe2O3 atau disebut juga dengan barium ferrite yang mempunyai struktur magnetoplumbite sehingga material hexagonal ferrite kadang-kadang disebut juga magnetoferrites. Tabel 2.1 Jenis-Jenis material Hexaferrites[10]
Hexagonal ferrite dapat juga diklasifikasikan menjadi isotropi dan anisotropi berdasarkan arah susunan butir yang random atau teratur. Dengan mengaplikasikan medan magnet, efek dari butir yang teratur dapat dilihat pada kurva B-H. Dari kurva dapat disimpulkan bahwa energi magnetisasi turun dengan partikel yang lebih terorientasi selama proses pabrikasi. Selain faktor anisotropi ini, ukuran partikel dan fraksi volume dari fasa ferrite juga mempengaruhi energi magnetisasi.
Gambar 2.14 kurva demagnetisasi untuk material hexagonal ferrite yang terorientasi (anisotropy) atas dan random (isotropy) bawah.[3]
18
BAB II DASAR TEORI
Salah satu sifat hexagonal ferrite yang penting adalah mempunyai nilai konstanta anisotropy kristal yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk memproduksi magnet dengan medan koersivitas yang tinggi. Sifat hexagonal ferrite lainnya adalah mempunyai densitas rendah, proses manufaktur yang mudah, raw material mudah, dan biaya produksi per unit yang rendah menjadikan magnet jenis ini menjadi magnet permanen yang paling penting. Material ini biasa digunakan untuk aplikasi pada medan demagnetisasi yang tinggi seperti flat loudspeaker, compact DC motor, magnetic recording materials dan lain-lain.
Gambar 2.15 Struktur kristal hexaferrites[10] Dari gambar (2.13) struktur kristal hexagonal ferrite diatas, Gambar a dengan struktur S menunjukkan gambar spinel kubik dengan axis [111] vertikal dan gambar R atau struktur hexagonal, dengan formula (BaFegOn), mengandung 6 ion Fe3+, lima didalam octahedral sites, dan satu dikelilingi oleh lima ion oksigen. Fasa M ditunjukkan oleh susunan struktur S dan R sepanjang sumbu C(Caxis), Dengan urutan
RSR*S* (tanda * menunjukkan rotasi sebesar 180°
19
BAB II DASAR TEORI
disepanjang sumbu C. Gambar c mengandung dua molekul BaFe12O19, dengan parameter latis a = 0.589 nm dan c = 2.32 nm. 2.5 Solid Solution CaAl4Fe8O19 CaAl4Fe8O19 merupakan solid solution yang memiliki struktur hexagonal magnetoplumbite dengan parameter latis a = 5.83 A dan c = 22.14 A. Campuran ini juga mempunyai sifat semikonduktor dengan energi aktivasi q = 0.86 eV. Selain itu material ini bersifat paramagnetik dengan curie molar constant 31.03. (Kulkarni & Prakash 1993) Subtitusi Ba2+ dengan Ca2+ pada senyawa hexaferrite magnetoplumbite BaFe12O19 akan menghasilkan CaFe12O19 tanpa perubahan yang berarti pada dimensi latis. Selain itu penelitian lain dapat menghasilkan CaAl12O19 (calcium hexa aluminate) yang juga mempunyai struktur mirip magnetoplumbite. CaAl4Fe8O19 merupakan Solid Solution dari fasa CaFe12O19 dan CaAl12O19 dengan sifat magnetik diantara kedua Campuran tersebut. CaFe12O19 merupakan fasa ferrimagnetik dengan temperature curie 718 K (Ichinose dan kurihara 1963) dan CaAl12O19 merupakan fasa non magnetik (Borkar 1987) 2.6 Teknologi Ceramic Powder Processing Secara umum, tahapan-tahapan pembuatan keramik dengan memakai teknologi ceramic powder processing adalah sebagai berikut:
Powder Preparation
Forming
Sintering
OK NO Characterizatio
Product
Gambar 2.16 Tahapan utama dalam ceramic powder processing[11]
Aspek yang sangat berpengaruh terhadap hasil akhir dari proses yang menggunakan teknologi ini adalah pada saat tahap powder preparation. Hal inilah
20
BAB II DASAR TEORI
yang dijadikan alasan utama mengapa pada makalah tugas akhir ini fokus pengerjaannya diarahkan kepada tahap powder preparation. Pada tahap ini serbuk disiapkan untuk tahapan proses selanjutnya seperti proses forming dan sintering. Tahapan utama didalam preparasi serbuk adalah sebagai berikut: A. Milling Proses milling seperti Ball mill dan vibromill telah digunakan secara luas dalam pemrosesan Advance ceramic. Ball milling merupakan proses grinding berdasarkan tumbukan antar bola-bola penumbuk
yang akan menghasilkan
ukuran partikel sesuai dengan yang diinginkan dan menghilangkan gumpalan pada serbuk halus. B. Kalsinasi Tujuan dari kalsinasi adalah untuk memulai proses pembentukan kisi-kisi ferit. Ini merupakan proses interdifusi bahan oksida tambahan menjadi seragam secara kimiawi ataupun seragam struktur kristal. Tahap kalsinasi ini berguna untuk mengurangi penyusutan pada tahap sintering sehingga memudahkan kita untuk mengontrol dimensi. Selain itu proses ini juga berguna untuk menghomogenisasi material. Pada tahap kalsinasi ini serbuk dapat menjadi lebih kasar dan warna dapat berubah dari merah menjadi abu-abu ataupun hitam.
21
BAB II DASAR TEORI
2.7 Dasar Teori Karakteriasi
2.7.1 Dasar teori XRD Difraksi sinar X untuk serbuk digunakan untuk identifikasi fasa kristalin yang tidak diketahui dari suatu material. Aplikasi XRD yang digunakan pada penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengidentifikasi terbentuknya SnO2 dari proses sol-gel. A. Prinsip Difraksi Sinar X Sinar X adalah bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik, dihasilkan dari benda yang ditumbuk oleh elektron. Panjang gelombang sinar X dari 10-10 sampai 10-8 m, dan hanya 0.3-2.5 Angstrom yang digunakan untuk difraksi sinar X. Sinar X memiliki daya penetrasi yang besar, sehingga sinar X dapat mengetahui periodisitas kristal.
Gambar 2.17 Difraksi Sinar X Pada Kristal[4]
Apabila sebuah gelombang sinar X diarahkan pada material kristalin, maka fenomena yang dapat teramati adalah difraksi dari sinar X dengan sudut
22
BAB II DASAR TEORI
bervariasi tergantung pada gelombang pertama. Hukum yang digunakan pada difraksi sinar X adalah hukum Bragg, yaitu : nλ = 2d sin θ
Fenomena yang teramati oleh hukum Bragg ditunjukkan pada gambar dibawah ini. Secara eksperimen hukum Bragg dapat diamati melalui dua cara. Dengan menggunakan sinar X dengan panjang gelombang ( λ ) tertentu dan mengukur θ, sehingga kita dapat menentukan lebar d dari beberapa bidang kristal, metoda ini disebut dengan analisa struktur. Metoda yang lain adalah menggunakan kristal dengan lebar (d) bidang diketahui, lalu mengukur θ, sehingga dapat menentukan panjang gelombang ( λ ) dari radiasi yang digunakan, metoda tersebut dinamakan X-ray spectroscopy. Pola sinar X dari bahan-bahan kristalin dapat disebut sebagai sidik jari (finger print), setiap material (secara terbatas) memiliki pola difraksi yang unik. Dengan menggunakan metoda difraksi serbuk ini, sebenarnya parameter yang diukur adalah lebar dari kisi-kisi mineral yang diketahui dari pada menentukan struktur dari mineral tersebut. B. Analisa Kualitatif Menggunakan Difraksi Sinar X Analisa kualitatif untuk menentukan struktur kristal dari suatu material menggunakan difraksi sinar X dilakukan dengan cara membandingkan pola difraksi senyawa yang tidak diketahui dengan pola difraksi material yang kita miliki. Permasalahan yang dihadapi adalah dibutuhkannya suatu sistem klasifikasi dari pola difraksi yang diketahui sehingga pola difraksi yang tidak ketahui dapat diindentifikasi dengan cepat. Pada tahun 1936 Hanawalt mengembangkan sistem yang digunakan untuk mengidentifikasi pola difraksi dari kristal tersebut. Setiap pola serbuk dikarakterisasi berdasarkan posisi garis 2θ dan posisi relatif dari garis intensitas I. Karena lebih dari satu material memiliki nilai d yang sama atau hampir sama untuk garis terkuat atau terkuat kedua. Hanawalt memutuskan untuk melakukan karakterisasi pada setiap material untuk nilai d dari tiga garis terkuat, sehingga
23
BAB II DASAR TEORI
dinamakan d1, d2, dan d3. Garis d1, d2, dan d3 secara berurutan adalah garis terkuat, kedua terkuat, dan ketiga terkuat. Dengan menggunakan data tambahan yaitu intensitas relatif sudah dapat dilakukan karakterisasi pada pola yang tidak diketahui dan menggunakan hubungan dengan pola yang sudah dapat. Sejak tahun 1969 dibentuk Joint Committee in Powder Diffraction Standards (JCPDS) yang bertugas untuk mengumpulkan data difraksi dari material-material yang ada. Sampai dengan tahun 1976 telah dikumpulkan sebanyak 26.000 pola difraksi dalam bentuk Powder Diffraction File (PDF). Material-material yang termasuk dalam PDF tersebut adalah unsur, paduan, senyawa anorganik, mineral, senyawa organik dan senyawa organometalik. Lembaga yang lain yaitu International Center for Diffraction Data telah menerbitkan pola difraksi serbuk sebanyak 60.000 senyawa, dan sekarang tersedia dalam bentuk CD.
2.7.2 Dasar Teori SEM/EDS SEM/EDS banyak digunakan untuk mengkarakterisasi material (logam, keramik dan polimer). SEM merupakan perkembangan dari mikroskop optik (max pembesaran 1000) sehingga dapat mencapai perbesaran maximum sampai 150000 x (tergantung pada kondisi spesimen dan SEM pada saat itu). SEM banyak digunakan untuk aplikasi sebagai berikut: 1. Pemeriksaan struktur mikro spesimen metalografi dengan magnifikasi (perbesaran) yang jauh melebihi mikroskop optik biasa. 2. Pemeriksaan permukaan patahan dan permukaan yang memiliki kedalaman tertentu yang tidak mungkin diperiksa dengan mikroskop optik. 3. Evaluasi orientasi cristal dari permukaan spesimen metalografi seperti, butir individual, fasa presipitat, dan dendrit (struktur khas dari proses pengecoran logam). 4. Analisis unsur pada objek dalam range micron pada permukaan bulk spesimen. Misalnya, inklusi, fasa presipitat.
24
BAB II DASAR TEORI
5. Distribusi komposisi kimia pada permukan bulk spesimen sampai jarak mendekati 1 micron. Persyaratan spesimen SEM untuk material konduktif diperlukan persiapan metalografi standar seperti sudah dipolish dan dietsa. Untuk non-konduktif harus dicoating terlebih dahulu dengan karbon dan emas supaya terbentuk lapisan tipis yang konduktif.
Gambar 2.18 Interaksi antara Elektron dengan Benda Kerja [6]
Hasil interaksi yang keluar dari dalam material ditangkap oleh tiga detektor : a. Detektor SE (Secondary Electron) : menghasilkan image b. Detektor BSE (Back Scattered Electron) : menghasilkan image dan menampilkan perbedaan kontras berdasarkan perbedaan berat massa atom. c. Detektor X-ray : Identifikasi unsur kimia (EDS) yang terdapat dalam material. EDS
(Energy
Dispersive
Spectrometry)
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi komposisi elemental (per unsur) dari material yang dapat terlihat oleh SEM (Scanning Electron Microscopy). EDS dapat digunakan untuk analisa
25
BAB II DASAR TEORI
semikuantitatif unsur-unsur dari material. Jadi secara umum EDS dapat digunakan untuk menganalisa kontaminan seperti inklusi, antarmuka, analisa partikel, pemetaan unsur (Elemental mapping), analisis deposit korosi, analisis ketidakmurnian (sampai ketelitian diatas 2% berat). EDS juga dapat digunakan untuk verifikasi material, analisa pelapisan, dan mengetahui secara semikuantitatif banyaknya inklusi pada suatu produk. EDS merupakan suatu sistim peralatan dan software tambahan yang dipasangkan pada suatu mikroskop elektron. Teknik ini memanfaatkan X-ray yang dihasilkan oleh spesimen selama spesimen dibombardir oleh primary electron, hal ini digunakan untuk mengkarakterisasi komposisi unsur pada volume tertentu. Saat spesimen dibombardir oleh elektron, maka mengakibatkan adanya elektron yang keluar dari atom penyusun permukaan material sehingga terjadi kekosongan. Karena terjadi kekosongan elektron pada kulit/orbital elektron tadi maka elektron dari kulit terluar akan mengisi kekosongan tersebut. Untuk menjaga kesetimbangan energi antara dua elektron (elektron yang keluar dari orbital atom dan elektron pengisi kekosongan dari kulit orbital yang lebih berada diluar) akan dihasilkan X-ray Fluorescense. Detektor dari EDS akan mengukur jumlah X-ray Fluorescence yang dihasilkan versus energinya. Energi dari X-ray Fluorescence merupakan karakteristik khusus suatu elemen atau unsur tertentu. 2.7.3 Dasar Teori Thermogravimetric analysis dan Differential Thermal Analysis (TGA-DTA) TGA Merupakan suatu teknik karakterisasi dengan cara mengukur berat sampel dalam bentuk solid maupun liquid secara kontiniu sebagai fungsi dari temperatur ataupun fungsi waktu pada temperatur yang diinginkan. Prinsip pengujian TGA ini adalah sampel dipanaskan dengan kecepatan 5-10 0C per menit mulai dari temperatur kamar sampai temperatur yang diinginkan, rata-rata 1000 – 2000
0
C. Prinsip lainnya adalah sampel dipanaskan dengan cepat sampai
temperatur yang diinginkan pengurangan berat diukur berdasarkan fungsi waktu.
26
BAB II DASAR TEORI
pengujian TGA dapat dilakukan dengan kondisi udara vakum maupun dialiri gas reaktif atau stabil .pengujian TGA dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari pola dekomposisi dan degradasi material, tingkat kestabilan material pada temperatur dan waktu tertentu sesuai dengan lingkungan kerja material tersebut. Material yang
menunjukkan
transisi
magnetik
juga
bisa
dikarakterisasi
dengan
menggunakan TGA. Differential Thermal Analysis (DTA)
digunakan untuk mendeteksi
perubahan fisik (seperti evaporasi) maupun kimiawi (Dekomposisi) yang berhubungan dengan penyerapan maupun pelepasan panas. Proses DTA mengukur perbedaan temperatur antara bahan inert sebagai referensi dan sampel yang diuji yang dipanaskan dengan kecepatan pemanasan tertentu.. perbedaan panas antara sampel dan referensi diukur dan diplot terhadap temperatur maupun waktu. Pengujian DTA juga dapat dilakukan pada kondisi vakum maupun dialiri gas inert. Kedua prinsip pengujian diatas (TGA-DTA) dapat digabungkan sekaligus sehingga lebih ekonomis karena hanya butuh satu kali pemanasan dan kontrol atmosfir. Keuntungan lainnya kedua alat ini digabung adalah bisa langsung mengklarifikasi perubahan fisik maupun kimiawi yang terjadi pada saat terjadi perubahan berat.
Gambar 2.19 Skema Peralatan TGA-DTA[7]
27