BAB II DASAR TEORI
2.1
Sistem Refrigerasi Refrigerasi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan saat ini
terutama bagi masyarakat perkotaan. Karena itu kita perlu mempelajari sistem kerja refrigerasi dan sekali gus mengenal komponen-komponen refrigerasi. Refrigerasi dapat berupa lemari es pada rumah tangga, mesin pembeku (freezer), pendingin sayur dan buah-buahan pada supermarket dan sebagainya. Peralatan ini dapat dijumpai mulai dari skala kecil pada rumah tangga hingga skala besar pada aplikasi di industri. Sistem refrigerasi kompressi uap juga digunakan pada aplikasi tata udara (air condition). Aplikasi tata udara untuk hunian manusia, mesin yang digunakan dapat ditemui mulai dari skala kecil seperti AC window dan AC spilit dan skala besar seperti air cooled chiller (Darwis Tampubolon/Robert Samosir, 2005). Pada dasarnya sistem refrigerasi dibagi menjadi dua, yaitu (Ambarita, Himsar, 2010) 1. Sistem refrigerasi mekanik Sistem refrigerasi ini menggunakan mesin-mesin penggerak atau dan alat mekanik lain dalam menjalankan siklusnya. Yang termasuk dalam sistem refrigerasi mekanik di antaranya adalah: a. Siklus Kompresi Uap (SKU) b. Refrigerasi siklus udara c. Kriogenik/refrigerasi temperatur ultra rendah d. Siklus sterling 2. Sistem refrigerasi non mekanik Berbeda dengan sistem refrigerasi mekanik, sistem ini tidak memerlukan mesin-mesin penggerak seperti kompresor dalam menjalankan siklusnya. Yang termasuk dalam sistem refrigerasi non mekanik di antaranya:
8
a. Refrigerasi termoelektrik b. Refrigerasi siklus absorbsi c. Refrigerasi steam jet d. Refrigerasi magnetic dan Heat pipe
Dewasa ini, penerapan siklus-siklus refrigerasi hampir meliputi seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari.Industri refrigerasi dan tata udara telah berkembang sangat pesat dan sangat variatif, demi memenuhi kebutuhan pasar yang sangat bervariasi (Ambarita, Himsar, 2010). 2.1.1 Siklus Kompresi Uap Dari sekian banyak jenis-jenis sistem refigerasi, namun yang paling umum digunakan adalah refrigerasi dengan sistem kompresi uap.Komponen utama dari sebuah siklus kompresi uap adalah kompresor, evaporator, kondensor dan katup expansi.
Gambar 2.1 Skema Siklus Kompresi Uap
(Ambarita, Himsar, 2010) Pada siklus kompresi uap, di evaporator refrigeran akan ‘menghisap’ panas dari lingkungan sehingga panas tersebut akan menguapkan refrigeran. Kemudian uap refrigeran akan dikompres oleh kompresor hingga mencapai tekanan kondensor, dalam kondensor uap refrigeran dikondensasikan dengan cara membuang panas dari uap refrigeran ke lingkungannya. Kemudian refrigeran akan
9
kembali di teruskan ke dalam evaporator. Dalam diagram P-h siklus kompresi uap ideal dapat dilihat dalam gambar berikut ini (Ambarita, Himsar, 2010).
Gambar 2.2 Diagram P – h Siklus Kompresi Uap Ideal
(Ambarita, Himsar, 2010) Proses-proses yang terjadi pada siklus kompresi uap seperti pada gambar 2.2 diatas adalah sebagai berikut (Ambarita, Himsar, 2010) : a. Proses kompresi (1-2) Proses ini dilakukan oleh kompresor dan berlangsung secara isentropik adiabatik. Kondisi awal refrigerant pada saat masuk ke dalam kompresor adalah uap jenuh bertekanan rendah, setelah mengalami kompresi refrigeranakan menjadi uap bertekanan tinggi. Karena proses ini berlangsung secara isentropik, maka temperatur ke luar kompresor pun meningkat. Besarnya kerja kompresi per satuan massa refrigeran dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: qw= h1– h2 dimana :
(2.1)
qw = besarnya kerja kompresor (kJ/kg) h1 = entalpi refrigeran saat masuk kompresor (kJ/kg) h2 = entalpi refrigeran saat keluar kompresor (kJ/kg)
10
b. Proses kondensasi (2-3) Proses ini berlangsung didalam kondensor. Refrigeran yang bertekanan tinggi dan bertemperatur tinggi yang berasal dari kompresor akan membuang kalor sehingga fasanya berubah menjadi cair. Hal ini berarti bahwa di dalam kondensor terjadi pertukaran kalor antara refrigeran dengan lingkungannya (udara), sehingga panas berpindah dari refrigeran ke udara pendingin yang menyebabkan uap refrigeran mengembun menjadi cair. Besar panas per satuan massa refrigeran yang dilepaskan di kondensor dinyatakan sebagai: qc = h2 – h3 dimana :
(2.2)
qc = besarnya panas dilepas di kondensor (kJ/kg) h1 = entalpi refrigeran saat masuk kondensor (kJ/kg) h2 = entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kJ/kg)
c. Proses expansi (3-4) Proses expansi ini berlangsung secara isoentalpi. Hal ini berarti tidak terjadi perubahan entalpi tetapi terjadi drop tekanan dan penurunan temperatur, atau dapat dituliskan dengan: h3 = h4
(2.3)
Proses penurunan tekanan terjadi pada katup expansi yang berbentuk pipa kapiler atau orifice yang berfungsi untuk mengatur laju aliran refrigeran dan menurunkan tekanan. d. Proses evaporasi (4-1) Proses ini berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan, temperatur konstan) di dalam evaporator. Panas dari lingkungan akan diserap oleh cairan refrigeran yang bertekanan rendah sehingga refrigeran berubah fasa menjadi uap bertekanan rendah. Kondisi refrigeran saat masuk evaporator sebenarnya adalah campuran cair dan uap, seperti pada titik 4 dari gambar 2.2 diatas.
11
Besarnya kalor yang diserap oleh evaporator adalah:
qe = h1 – h4 dimana :
(2.4)
qe = besarnya panas yang diserap di evaporator (kJ/kg) h1 = entalpi refrigeran saat keluar evaporator (kJ/kg) h2 = entalpi refrigeran saat masuk evaporator (kJ/kg) Selanjutnya, refrigeran kembali masuk ke dalam kompresor dan
bersirkulasi lagi. Begitu seterusnya sampai kondisi yang diinginkan tercapai.Untuk menentukan harga entalpi pada masing-masing titik dapat dilihat dari tabel sifat-sifat refrigeran.
Setelah melakukan perhitungan untuk beberapa jenis refrigerant yang sering dipakai di Indonesia, didapat nilai COP (Coefficient of Performance) sebagai fungsi temperatur kondensasi ditampilkan pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Nilai COP dari beberapa jenis refrigerant (Ambarita, Himsar, 2010).
2.2
Ejector Refrigeration System Refrigerasi ejektor tampaknya menjadi sistem yang paling sesuai untuk
pendinginan skala besar di saat energi dan situasi lingkungan. Hal ini dapat memanfaatkan tingkat rendah limbah panas dari proses industri untuk menghasilkan pendingin yang berguna. Sebuah refrigerasi ejektor sistem memiliki 12
konstruksi sederhana, beberapa bagian yang bergerak dan tidak ada korosi kimia. Selain itu, air, zat yang paling ramah lingkungan dapat digunakan sebagai fluida kerja. Salah satu titik lemah adalah COP rendah dan kapasitas pendinginan. Jika masalah ini dapat diselesaikan, sebuah ejector refrigation akan menjadi pesaing serius untuk jenis pendingin (K. Chunnanond S. Aphornratana, 2003). Teknologi ejector refrigeration pertama kali dikembangkan oleh Le Blance dan Charles Parsons sekitar 1901 (K. Chunnanond S. Aphornratana, 2003). Gambar 2.3 menunjukan skema dari siklus ejector refrigeration, boiler, ejector dan pompa digunakan sebagai pengganti kompresor pada siklus kompresi uap. Prosesnya berawal dari tekanan dan temperatur tinggi yang dihasilkan dari boiler disebut dengan primary fluid atau motive fluid yang masuk ke ejector dengan kecepatan supersonic sehingga menghasikan tekanan yang rendah dari fluida refrigeran didalam evaporator dan mengakibatkan refrigeran menguap pada temperatur rendah lalu masuk ke ejector dan disebut secondary fluid kemudian kalor yang diserap evaporator merupakan kapasitas dari refrigerasi (K. Chunnanond S. Aphornratana, 2003). Jadi dapat dilihat performansi refrigerasi dari siklus ini tergantung pada kemampuan ejector meningkatkan flow rate refrigerasi yang melalui evaporator atau parameter ini biasa disebut entrainment ratio.
Gambar 2.3 Siklus Ejector Refrigeration (K. Chunnanond S. Aphornratana, 2003) 13
Tabel 2.2 Tabel perbandingan biaya operasi antara siklus kompresi uap dan siklus ejector refrigeration (Nguyen V.M, 2000).
2.2.1 Bagian-Bagian Ejector Ejector mempunyai empat bagian utama yaitu primary nozzle, mixing chamber (suction chamber), constan-area section (throat) dan subsonic diffuser. Pada Gambar 2.4 menjelaskan bagian-bagian dari ejector.
Gambar 2.4 Bagian-bagian Ejector (Meyer J, 2006)
14
Berdasarkan
posisi
dari
ujung
nozzle,
desain
ejector
dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori. Yang pertama untuk posisi ujung nozzle pada constant-area mixing
disebut “constan-area mixing ejector”, sehingga
primary flow dan secondary flow bertemu di constant-area section. Untuk posisi ujung nozzle terletak di suction chamber yaitu didepan constant-area section disebut “constant-pressure mixing ejector”, sehingga percampuran antara primary flow dan secondary flow terjadi di suction chamber dengan tekanan konstan. Dan constant-pressure ejector mempunyai kinerja yang lebih baik serta lebih banyak digunakan daripada constant-area ejector (Meyer J, 2006). Perbedaan dari dua kategori ejector tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Klasifikasi ejector berdasar posisi nozzle (K. Chunnanond S. Aphornratana, 2003) 2.2.2. Karakteristik Operasi Ejector Gambar 2.6 menunjukan profil kecepatan dan tekanan sepanjang ejector, dapat dilihat uap bertekanan tinggi (P) yang di sebut primary fluid masuk dan dipercepat melalui nozzle (i), kemudian keluar dengan kecepatan supersonic (ii). Dan menghasilkan tekanan rendah yang kemudian menarik uap dari evaporator yang disebut secondary flow (S) dan kemudian bersama primary fluid masuk ke mixing chamber yang akhirnya masuk ke throat (iv) dan terjadi normal shock (v) sesaat sebelum keluar melalui subsonic diffuser.
15
Gambar 2.6 Profil Tekanan dan Kecepatan Kepanjang Ejector (Meyer J, 2006) 2.2.3 Performance Ejector Refrigeration System
Gambar 2.7 P-h Diagram Ejector Refrigeration System (K. Piantong, Wirapan Soehanan, M. Behnia, T. Sriveerakul, S. Aphornratana, 2007) Gambar 2.7 merupakan P-h diagram ejector refrigeration system. Pada sistem refrigerasi ini, ejector berfungsi sebagai pengganti kompresor yaitu menaikkan tekanan serta mensirkulasikan refrigerant dari evaporator menuju kondenser. Dengan demikian bahwa ejector membawa atau mengambil uap refrigeran dari evaporator. Kemampuan ejector untuk mengambil uap refrigeran 16
(secondary flow) dapat dinyatakan dengan entrainment ratio perbandingan antara laju aliran massa dari evaporator
(ω )
yaitu
(secondary flow m& s )
(
)
dengan laju aliran massa dari boiler yang melalui nozzle primary flow m& p (K. Piathong, Wirapan Soehanan, M. Behnia, T Sriveerakul, S. Aphornratana, 2007).
ω=
m& s m& p
(2.5)
Kemudian COP dari sistem ini dapat dilihat pada Persamaan 2.8.
(2.6)
Jadi COP dari sistem
%
. !". # " . $ #
!".# $ #
(2.7)
(2.8)
Jadi semakin besar nilai entrainment ratio maka dapat meningkatkan nilai kapasitas pendinginan sehingga nilai COP juga akan meningkat. Selain itu ada dua parameter lagi yang biasa digunakan untuk menunjukan performa dari ejector, yaitu compression ratio (El-desouky. Hisham, 2001) dapat dilihat pada Persamaan 2.9 dan expansion ratio (El-desouky. Hisham, 2001) dapat dilihat pada Persamaan 2.10.
CR =
Pc Pe
EXR =
Pb Pe
(2.9)
(2.10)
Pada constant-pressure ejector diasumsikan bahwa aliran primary dan secondary bercampur pada mixing chamber dengan tekanan yang konstan. Disini timbul dua fenomena choking, yang pertama pada aliran primer yang melintas 17
keluar nozzle, dan choking yang kedua pada aliran yang dibawa yaitu akibat percepatan dari aliran sekunder menjadi supersonik di constant-area section. Dan entrainment ratio yang dihasilkan bervariasi menurut perubahan back pressure dengan secondary pressure (Pe) dan primary pressure (Pm) tetap. Sehingga kinerja dari ejector dapat dibagi menjadi tiga mode operasional, mengacu pada back pressure (Pc) (Huang B.J, Chang J.M., C.P Wang and V.A. Petrenko, 1999). Gambar 2.8 merupakan garis kondisi operasi pada sebuah ejector, sehingga dapat diketahui bahwa pada takanan back pressure berapa kinerja terbaik dari ejector: 1. Double-choking atau critical mode pada Pc ≤ Pc*, yaitu primary flow dan secondary flow keduanya choking dan entrainment ratio adalah konstan, ω = konstan. 2. Single-choking atau subcritical mode pada Pc* < Pc < Pco, yaitu hanya primary flow saja yang terkena choke and ω berubah menurut back pressure (Pc). 3. Back-flow atau malfunction mode pada Pc ≥ Pco, yaitu primary flow dan secondary flow keduanya tidak ada choke dan aliran secondary membalik (malfunction), ω ≤ 0.
Gambar 2.8 Kondisi operasi ejector refrigeration system (Huang B.J, Chang J.M., C.P Wang and V.A. Petrenko, 1999) 18
2.3
ALIRAN KOMPRESIBEL Ketika suatu fluida bergerak dengan perubahan densitas secara signifikan
maka aliran tersebut dikatakan aliran kompresibel. Ada dua fenomena yang mungkin terjadi pada aliran kompresibel. Yang pertama adalah choking, dimana laju aliran masa pada duct dibatasi oleh konsdisi sonik. Dan yang kedua shock waves, dimana properti berubah pada aliran supersonik. 2.3.1 Mach Number Parameter yang menjadi acuan utama untuk menentukan suatu aliran kompresibel atau tidak, dilihat dari nilai Mach Number (Ma), yang didefinisikan sebagai rasio antara kecepatan aliran lokal terhadap kecepatan suara lokal (White, Frank, 1988). Ma =
V c
(2.11)
Rentang nilai Mach Number dapat diklasifikasikan sebagai berikut (White, Frank, 1988) : a. Ma < 0.3: aliran dikatakan inkompresibel, dimana perubahan densitas daiabaikan. b. 0.3 < Ma < 0.8: aliran subsonik, dimana perubahan densitas sangat penting tetapi tidak ada shock. c. 0.8 < Ma < 1.2: aliran transonik, yaitu daerah antara subsonik dan supersonik dimana shock pertama kali muncul. d. 1.2 < Ma < 3.0: aliran supersonik, terdapat gelombang shock. e. 3.0 < Ma: aliran hipersonik, dimana shock dan aliran berubah secara kuat. Sedangkan kecepatan suara untuk pada gas ideal sendiri merupakan fungsi dari temperatur dan didefinisikan sebagai berikut:
19
c = kRT
Dimana:
(2.12)
V = kecepatan aliran (m/s) c = kecepatan suara (m/s) cp k = rasio spesifik panas k = c v
Sedangkan untuk kecepatan suara pada beperapa material umum dapat dilihat pada Tabel 2.3 (White, Frank, 1988).
Tabel 2.3 Kecepatan Suara pada Beberapa Material 2.3.2 Teori Gas Ideal Penemuan teori gas ideal diawali pada tahun 1662 Robert Boyle melakukan experiment dan menghasilkan bahwa tekanan suatu gas berbanding terbalik dengan volumenya. Kemudian pada tahun 1802, J. Charles and J. Gay-
20
Lussac, melakukan experiment dan menghasilkan bahwa volume gas pada tekanan rendah berbanding lurus dengan temperaturnya yaitu (Changel, 2005): T P = R v
(2.13)
Pv = RT
(2.14)
Atau
Kemudian untuk keadaan gas pada dua keadaan yang berbeda dapat ditulis sebagai berikut : P1v1 P2 v 2 = T1 T2
Dimana:
(2.15)
p = tekanan (Pa) v = densitas (m3/kg) T = temperatur (K) R adalah konstanta gas R =
Ru Mm
(Nm/kgK), perbandingan antara
konstanta gas universal Ru=8314 (Nm/kmol.K) dengan massa molekul gas Mm dapat dilihat pada Tabel A-1. 2.3.3 Aliran Isentropik dengan Perubahan Area Efek perubahan area dalam aliran isentropik berpengaruh khususnya pada tekanan dan kecepatan. Perubahan area (dA) tersebut dapat mengubah nilai tekanan (dp) dan kecepatan (dV) baik positif maupun nagatif.
[
dA dp = 1− M 2 2 A ρV
]
(2.16)
21
Pada Persamaan 2.21 jika Ma<1, area berubah akan menyebabkan tekanan berubah sesuai tanda perubahan area (jika dA positif berarti dp positif untuk Ma<1). Untuk Ma>1, maka perubahan area berlawanan dengan perubahan tekanan.
[
dA − dV = 1− M 2 A V
]
(2.17)
Pada Persamaan 2.22 jika Ma<1, perubahan area menyebabkan kecepatan berubah berlawanan tanda (jika dA positif berarti dV negatif untuk Ma<1). Untuk Ma>1, perubahan area menyebabkan perubahan kecepatan sesuai dengan tanda (White, Frank, 1988). Gambar 2.10 menjelaskan tentang nozzle dan diffuser terhadap bilangan Mach.
Gambar 2.9 Efek bilangan mach pada nozzle dan diffuser (White, Frank, 1988) Perbandingan tekanan terhadap perubahan area dapat dinyatakan dengan kondisi stagnasi (White, Frank, 1988) : p0 k − 1 2 = 1+ M p 2
k
k −1
(2.18)
22
Untuk kondisi kritis dimana nilai bilangan Ma = 1 dapat dinyatakan sebagai berikut
p0 k − 1 2 = 1+ M 2 p *
k
k −1
(2.19)
k −1 2 M 1+ A 1 2 = k −1 A* M 1+ 2 Dimana:
k +1
2 ( k −1)
(2.20)
A = area (m2) A*= area kritis (m2) p0 = tekanan stagnasi (Pa) p*= tekanan kritis (Pa)
2.3.4 Aliran Isentropik 1. Persamaan Kontinuitas Persamaan dasar: 0=
∂ ∂t
∫
CV
r r
ρd∀ + ∫ ρV .dA CS
0 = {− ρ1V1 A1 }+ {ρ 2V2 A2 } Asumsi: aliran steadi dan satu dimensional Menggunakan besaran skalar yang biasa dalam bentuk:
ρ1V1 A1 = ρ 2V2 A2 = ρVA = m& = konstan
(2.21)
2. Persamaan Momentum Persamaan dasar: Fs x + FB x =
∂ ∂t
∫
CV
r r V x ρd∀ + ∫ V x ρV .dA CS
dengan asumsi steadi, FB x =0 dan Rx sebagai gaya tekan dinding maka
Rx + p1 A1 − p 2 A2 = V1 {− ρ1V1 A1 } + V2 {ρ 2V2 A2 } Dengan menggunakan besaran skalar
23
Rx + p1 A1 − p2 A2 = m& V2 − m& V1
(2.22)
3. Hukum I Thermodinamika ∂ Q& − W& s − W& shear − W& other = ∂t
∫
CV
r r
(e + pv )ρV .dA CS
eρ d ∀ + ∫
Dimana : e=u+
V2 + gz 2
Asumsi: - Q& = 0 - W& s = 0 - W& shear = W& other = 0 - gravitasi diabaikan V12 0 = u1 + p1 v1 + 2
V2 {− ρ1V1 A1 } + u 2 + p 2 v 2 + 2 {ρ 2V2 A2 } 2
Dengan mensubtitusikan h = u + pv didapat 2
h1 +
2
V1 V V2 = h2 + 2 = h + =konstan 2 2 2
h0 = h +
V2 2
(2.23)
Dimana h0 adalah entalpi kondisi stagnasi yaitu pada kecepatan nol (White, Frank, 1988).
2.3.5 Converging Nozzle Gambar 2.11a adalah converging nozzle dengan tekanan masuk P0 kemudian aliran ditimbulkan dengan menurunkan tekanan keluar dibawah P0 yaitu Pb dari keadaan a sampai e yang dapat dilihat pada Gambar 2.11b dan c.
24
Untuk penurunan tekanan Pb pada keadaan a dan b, tekanan throat lebih besar dari tekanan keluar kritis P ∗ (tekanan keluar kritis P ∗ adalah tekanan keluar maximum dimana kecepatan throat masih dalam keadaan sonic) sehingga kecepatan pada throat nozzle adalah subsonic. Dan laju aliran massa yang terjadi dibawah laju aliran massa maximum m& max . Untuk kondisi c tekanan keluar sama dengan tekanan kritis P ∗ sehingga kecepatan throat menjadi sonic. Dan laju aliran massa yang terjadi adalah laju aliran massa maximum m& max . Kemudian ketika Pb diturunkan pada tekanan dibawah P ∗ yaitu pada keadaan d atau e, nozzle sudah tidak merespon lagi perubahan tekanan keluar karena sudah dalam keadaan choked pada laju aliran massa maximum ini. Dan aliran keluar dengan kecepatan supersonic sehingga tekanan keluar dapat turun dari P ∗ ke P .
Gambar 2.10 Karakteristik Aliran Converging Nozzle dengan Berbagai Tekanan Keluar (White, Frank, 1988)
2.3.6 Converging-Diverging Nozzle Nozzle dengan bagian konverging dan diverging mempunyai karakteristik operasi seperti pada Gambar 2.12. Jika back pressure (Pb) rendah maka dapat terjadi aliran supersonik serta shock pada bagian diverging. Pada kurva A dan B
25
back pressure kurang rendah untuk membuat aliran sonik di throat, dan aliran melintas secara subsonik. Untuk kurva C area rasio
Ae
At
(perbandingan area bidang keluar nozzle
Ae dan area throat At) sama dengan rasio kritis Ae
A*
yaitu bilangan Ma=1 pada
throat, tetapi aliran masih subsonik pada bidang keluar nozzle. Back pressure antara C dan H pada throat aliran sonik dan timbul shock, mendekat back pressure H pada diverging alirannya supersonik. Untuk G dan I shock timbul secara komplek dan beruntun di bagian luar.
Gambar 2.11 Operasi pada Converging dan Diverging Nozzle (White, Frank, 1988) 2.4
Orifice Plate Flowmeter Orifice plate adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk
mengukur laju aliran masa dari aliran. Prinsip kerjanya aliran melewati orifice plate kemudian akan mengecil dan membentuk suatu daerah yang disebut vena contracta selanjutnya akan terjadi perbedaan tekanan aliran amtara sebelum dan setelah melewati orifice plate. Setelah itu laju aliran masa dari aliran dihitung menggunakan persamaan bernouli dan persamaan kontinyuitas. Gambar 2.18 26
adalah profil kecepatan dan tekanan yang terjadi ketika aliran melewati orifice plate flowmeter.
Gambar 2.12 Kecepatan dan Profil pada Orifice Plate Flowmeter (White, Frank, 1988) Persamaan kotinyuitas : 0=
∂ ∂t
r r
∫
CV
ρd∀ + ∫ ρV .dA CS
(2.24)
0 = {− ρ1V1 A1 }+ {ρ 2V2 A2 }
V1 A1 = V2 A2 2
2
V1 A2 D2 = = V2 A1 D1
4
(2.25)
Persamaan Bernouli :
P1
ρ
2
+
2
V1 P V + gz1 = 2 + 2 + gz2 2 ρ 2
P1 − P2 =
ρV2 2
V 1 − 2 2 V1
2
(2.26)
(2.27)
Subtitusi persamaan :
27
ρV2 2
A 1 − 2 P1 − P2 = 2 A1
2
Sehingga V2 teoritis :
2(P1 − P2 ) A 2 ρ 1 − 2 A1
V2 =
(2.28)
Dan & teoritis adalah :
2(P1 − P2 ) A2 A 2 ρ 1 − 2 A1
m& teoritis = ρV2 A2 = ρ
m& teoritis = ρV2 A2 =
2 ρ (P1 − P2 )
A2 A 1 − 2 A1
2
(2.29)
Persamaan diatas kurang akurat karena diabaikan beperapa faktor seperti gaya gesek, oleh karena itu untuk mengurangi ketidaksesuaian tersebut ditambahkan satu koefisien baru yaitu Cd (discharge coefficient), dan '( /'* β sehingga +( /+* #( '( /'* #, - ,
m& =
C d A2 1− β 4
2 ρ (P1 − P2 )
(2.30)
Untuk nilai Cd ASME merekomendasikan persamaan yang dikembangkan oleh
ISO
adalah
sebagai
berikut
(Nguyen.
C d = 0,5959 + 0,0312β 2,1 − 0,184β 8 + 91,71β 2,5 Re1 + Dengan
0,09β 4 F1 − 0,0337β 3 F2 4 1− β
V.M,
2000)
:
−0, 75
(2.31)
Re 1 =
ρV1 D1 µ
28
Gambar 2.13 2.1 Berbagai tipe taping pada orifice flowmeter. Dan nilai F1 dan F2 berdasar pada posisi tap seperti pada Gambar 2.13 adalah sebagai berikut: Corner taps :
F1 =0
F2 =0
D; 1/2D taps :
F1 =0,4333
F2 =0,47
Flange taps :
F1 =1/D (in)
F2 =1/D (in)
(2.32)
Kemudian jika fluida yang diukur adalah fluida kompresibel maka ditambahkan factor expansion Y untuk mengurangi ketidaksesuaian yang dikembangkan oleh Perry (Perry, Robert H. An Green, Don W, Perry’s, 1984), dimana k adalah specific heat ratio,, persamaanya adalah sebagai berikut : k −1 / k k 1 − r Y = rk k − 1 1 − r
1 − β 4 4 2/ k 1 − β r
(2.33)
Dengan r = P2 / P1 sehingga persamaan laju aliran masa pada orifice plate untuk fluida kompresibel menjadi :
m& =
YCd A2 1− β 4
2 ρ (P1 − P2 )
(2.34)
29
2.5
Sifat Air Pada Berbagai keadaan
2.5.1 Diagram Fasa Air Gambar 2.14 adalah gambar tiga dimensi permukaan p-v-T dari air dapat dilihat terdapat tiga daerah fasa air yaitu fasa padat, cair dan uap. Pada daerah fase tunggal suatu keadaan dapat ditentukan oleh setiap pasangan sifat yaitu : tekanan, volume spesifik dan temperatur. Lokasi diantara daerah fase tunggal merupakan daerah dua fase dimana terdapat dua fase dalam kesetimbangan.
Gambar 2.14 Permukaan Tiga Dimensi p-v-T dari Air (Changel, 2005) Sifat keadaan dari air dapat dipresentasikan dalam diagram dua dimensi yaitu diagram T-v, p-v dan p-T seperti dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Dari diagram T-v dapat dilihat misalkan tekanan air didalam suatu boiler dinaikan sampai 1Mpa maka dapat diketahui air didalam boiler akan menguap dengan temperatur yang lebih tinggi dari pada jika dipanaskan pada tekanan 1atm begitu juga sebaliknya, seperti terlihat pada Gambar 2.15.
30
Gambar 2.15 Diagram T-v dari air (Changel, 2005) Pada Gambar 2.16, grafik p-v bentuknya menyerupai dengan grafik T-v tapi temperatur T = konstan mempunyai trend yang menurun.
Gambar 2.16 Diagram P-v dari Air (Changel, 2005) Kemudian grafik dibawah ini adalah grafik P-T atau biasa disebut diagram fasa air karena disana terdapat tiga bagian fasa air yang dipisahkan oleh tiga garis. Garis sublimasi memisahkan fasa padat dan fasa uap, garis pelelehan memisahkan fasa padat dan fasa cair kemudian garis penguapan memisahkan fasa cair dan uap. Tiga garis ini (Changel, 2005) 31
Gambar 2.17 Diagram P-v dari Air (Changel, 2005) bertemu pada satu titik yang disebut titik tripel (triple point) yaitu titik dimana terdapat ketiga pada suatu kesetimbangan seperti terlihat pada Gambar 2.17. 2.5.2
Tabel Sifat Sifat thermodinamik juga dapat ditunjukan melalui tabel, untuk setiap zat
biasanya ditunjukkan dalam beberapa tabel seperti tabel superheated vapor (uap superheated), tabel compressed liquid (cair tekan) dan saturated (keadaan jenuh). Tabel ini dapat dilihat pada Lampiran C.
32