BAB II DASAR TEORI
2.1
Umum Transformator merupakan suatu alat listrik statis yang dapat memindahkan
dan mengubah energi listrik dari satu rangkaian listrik ke rangkaian listrik lainnya melalui gandengan magnet dan prinsip induksi elektromagnetik [1]. Transformator adalah suatu komponen yang sangat penting peranannya dalam sistem tenaga listrik. Keberadaan transformator merupakan suatu langkah maju dan penemuan terbesar bagi kemajuan sistem tenaga listrik [2]. Di dalam bidang elektronika, transformator banyak digunakan antara lain untuk: 1. Gandengan impedansi antara sumber dan beban. 2. Menaikkan dan menurunkan tegangan AC serta mentransformasikannnya. Dengan menggunakan transformator, dimana tegangan pembangkitan dinaikkan semaksimal mungkin, maka arus yang mengalir sangat kecil, yang menyebabkan rugi – rugi daya yang kecil dan penampang kawat yang digunakan berukuran kecil sehingga lebih ekonomis.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Konstruksi Transformator Berdasarkan konstruksinya, transformator umumnya terdiri dari 2 tipe,
yaitu tipe inti (Core Type) dan tipe cangkang (Shell Type). 2.2.1
Transformator Tipe Inti (Core Type) Disebut tipe inti karena belitan pada tipe ini terletak pada kaki-kaki inti
besinya, biasanya tipe inti terdiri dari sebuah inti besi yang berbentuk persegi. Konstruksi ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 :
V1
V2
Gambar 2.1. Transformator Tipe Inti (Core Type) 2.2.2
Transformator Tipe Cangkang (Shell Type) Disebut tipe cangkang karena belitan pada tipe ini berada ditempat yang
dianggap merupakan inti dari kerangka inti besi. Konstruksi ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 :
V1
V2
Gambar 2.2. Transformator Tipe Cangkang (Shell Type)
Universitas Sumatera Utara
2.3
Prinsip Kerja Transformator Skematik Diagram Transformator 1 Fasa dapat dilihat pada Gambar 2.3
berikut :
Gambar 2.3. Skematik Diagram Transformator 1 Fasa Berikut uraian prinsip kerja transformator menggunakan prinsip induksi elektromagnetik : 1. Tegangan bolak – balik V1 diberikan pada belitan N1, maka pada belitan N1 akan mengalir I1. 2. Arus bolak balik I1 yang mengalir pada belitan N1 akan menghasilkan gaya gerak magnet pada belitan, yang akan menghasilkan fluks bolak balik dalam inti besi. 3. Akibat timbulnya fluks bolak balik di dalam inti besi, maka akan menghasilkan gaya gerak listrik sebesar (E1). 4. Akibat adanya fluks di N1 maka N1 terinduksi (self induction) dan terjadi pula induksi di kumparan sekunder N2 karena pengaruh induksi dari kumparan primer N1 (mutual induction) yang menyebabkan timbulnya fluks magnet dikumparan sekunder.
Universitas Sumatera Utara
5. Jika belitan N2 dihubungkan ke beban, maka pada N2 timbul I2 akibat E2. Hal ini mengakibatkan timbulnya gaya gerak magnet pada N2 dan akibatnya pada beban timbul V2 [2].
2.4
Diagram Fasor Transformator
2.4.1
Transformator Dalam Keadaan Tidak Berbeban Transformator disebut tanpa beban jika kumparan sekunder dalam keadaan
terbuka (open circuit). Berikut gambar skematik diagram transformator 1 fasa tanpa beban dapat dilihat pada Gambar 2.4 :
Gambar 2.4. Skematik Diagram Transformator 1 Fasa Tanpa Beban
2.4.2
Keadaan Transformator Ideal Transformator dikatakan ideal apabila transformator tersebut tidak
mempunyai rugi-rugi sehingga perbandingan tegangan masuk dan keluaran dapat ditulis pada Persamaan berikut [6] : V1/V2 = N1/N2 Dimana :
(1.1)
V1 = Tegangan Masukan (Volt) V2 = Tegangan Keluaran (Volt)
Universitas Sumatera Utara
N1 = Belitan Primer N2 = Belitan Sekunder Diagram fasor untuk keadaan ini digambarkan pada Gambar 2.5. Keadaan transformator ideal merupakan keadaan dimana transformator tidak mempunyai rugi-rugi. V1=-E1 I1
I2'
E1
I1
I2' I2'
ɸ1
I2
V1=-E1
V1 = -E1
ɸ
Iɸ I2
E2=V2
(a)Resistif
I1
Iɸ ɸ1 E1
ɸ
Iɸ E1
E2=V2
(b)Lagging
ɸ1
ɸ
I2
E2=V2
(c) Leading
Gambar 2.5. Diagram Fasor Transformator 1 Fasa Berbeban Dalam Keadaan Tidak Mempunyai Rugi-Rugi (a) Berbeban Resistif (b) Berbeban Induktif (c) Berbeban Kapasitif
2.4.3
Transformator Dalam Keadaan Berbeban Skematik diagram transformator 1 fasa dalam keadaan berbeban dapat
dilihat pada Gambar 2.6 [5] :
Gambar 2.6. Skematik Diagram Transformator 1 Fasa Dalam Keadaan Berbeban
Universitas Sumatera Utara
Apabila kumparan sekunder N2 dihubungkan dengan beban, maka arus I2 akan mengalir pada kumparan sekunder N2 dimana arus beban I2 ini akan menimbulkan gaya gerak magnet [2].
Keadaan Transformator Sebenarnya
2.4.4
Transformator secara praktek atau sebenarnya mempunyai rugi-rugi akan tetapi pada keadaan berbeban rugi-rugi tembaga sangat kecil apabila dibandingkan dengan rugi-rugi inti dan pengaruh bocor fluks pada transformator itu sendiri. Diagram fasor untuk keadaan ini dapat digambarkan pada Gambar 2.7 : V1
V1
Ji1.x1
jI1.X1
jI1.X1 V1 I1.R1
I1.R1
I1 -E1
-E1
I2'
I2'
ɸ
ɸ
ɸ I2 ɸ 1
I2 ɸ 1 E1
V2
ɸ1 E1
E2
(a)Resistif
I2
E1 V2
I2.R2 jI2.R2
Iɸ
Iɸ
Iɸ
I2.R2
I2'
I1
I1
V2
I1.R1 -E1
jI2.R2
E2
(b)Lagging
E2 I2.R2
jI2.X2
(c)Leading
Gambar 2.7. Diagram Fasor Transformator 1 Fasa Berbeban Dalam Keadaan Sebenarnya (a) Berbeban Resistif (b) Berbeban Induktif (c) Berbeban Kapasitif
2.5
Pengukuran Pada Transformator pengukuran pada transformator yaitu pengukuran beban nol dan
pengukuran hubung singkat.
Universitas Sumatera Utara
2.5.1 Pengukuran Beban Nol Pengukuran beban nol di lakukan untuk mengetahui parameter Xm dan Rc. Pada pengukuran ini kumparan transformator yang bekerja sebagai tegangan rendah berfungsi sebagai kumparan primer sedangkan kumparan transformator yang bekerja sebagai tegangan tinggi berfungsi sebagai kumparan sekunder. Rangkaian percobaan dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut : W
AC
A
V
LV
HV
Gambar 2.8. Rangkaian Pengukuran Beban Nol
Tegangan yang di berikan di sisi primer dibaca dari voltmeter (V1), arus pada beban nol dibaca dari amperemeter (I0) dan daya pada saat beban nol dibaca dari wattmeter (P0). Ketika tegangan diberikan pada sisi primer wattmeter akan membaca rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga, di karenakan pada keadaan ini rugi-rugi tembaga nilainya sangat kecil dibanding dengan rugi-rugi inti, maka nilai rugi-rugi tembaga dapat diabaikan. Dikarenakan itu pengukuran pada wattmeter menunujukkan besarnya rugi-rugi inti pada transformator. Keterangan Gambar 2.13 : P0 = Pengukuran Wattmeter = Rugi-Rugi Inti V1 = Pengukuran Voltmeter = Tegangan masukan
Universitas Sumatera Utara
A = Pengukuran Amperemeter I0 = Arus beban nol P0 = V1 I0 cosθ0 Cosθ0 =
(1.2)
𝑃0 𝑉1 𝐼0
(1.3)
I0 = Ic + Im
(1.4)
Ic = I0 cosθ0
(1.5)
Im = I0 sinθ0
(1.6)
Rc =
𝑉1
Xm =
(1.7)
𝐼𝑐 𝑉1
(1.8)
𝐼𝑚
Gambar rangkaian ekivalen pendekatan pada pengukuran beban nol dapat dilihat pada Gambar 2.9 berikut : I0
V1
Ic
Im
Rc
Xm
Gambar 2.9. Rangkaian Ekivalen Pendekatan Pengukuran Beban Nol
Universitas Sumatera Utara
2.5.2
Pengukuran Hubung Singkat Pengukuran hubung singkat dilakukan untuk mengetahui parameter Re
dan Xe dari rangkaian ekivalen, dimana Re = R1+a2 R2 dan Xe = X1+a2X2. Pengukuran ini biasanya menghubung singkat sisi tegangan rendah dan memasang alat pengukuran pada sisi tegangan tinggi seperti yang terlihat pada Gambar 2.10 dibawah ini : W
AC
A
V
HV
LV
Gambar 2.10. Rangkaian Pengukuran Hubung Singkat Tegangan pada sisi tegangan tinggi dinaikkan perlahan-lahan sampai mencapai Vsc, sehingga arus akan mengalir pada sisi primer (I1) dan sisi sekunder (I2) dengan perbandingan
𝐼2
𝐼1 =
𝑁1
𝑁2 . Pada kondisi ini tidak mempunyai
beban sehingga rugi-rugi total pada ini merupakan rugi-rugi tembaga dan rugirugi inti, tetapi rugi-rugi inti pada saat ini sangatlah kecil sehingga dapat di abaikan. Dikarenakan itu hasil pembacaan pada wattmeter merupakan rugi-rugi tembaga.
Universitas Sumatera Utara
Hasil pengukuran ini diperoleh: Psc = Isc2 Re
(1.9)
𝑃 Re = 𝑠𝑐
(2.0)
𝐼𝑠𝑐 2
𝑉 Ze = 𝑠𝑐 𝐼 𝑠𝑐 Xe =
(2.1)
𝑍𝑒 2 − 𝑅𝑒 2
(2.2)
Wsc = Vsc. Isc. Cos θsc
(2.3)
Dimana : Psc = Hasil Pengukuran Wattmeter = Rugi-Rugi Tembaga Isc = Hasil Pengukuran Amperemeter = Arus Hubung Singkat Vsc = Hasil Pengukuran Voltmeter = Tegangan Hubung Singkat Re = Hambatan Ekivalen Patokan Primer Ze = Impedansi Ekivalen patokan Primer Xe = Reaktansi Ekivalen Patokan Primer
Rangkaian ekivalen hubung singkat dapat dilihat pada Gambar 2.11 berikut : Re = R1+a2 R2
Xe = X1+a2X2
Isc Vsc
Gambar 2.11. Rangkaian Ekivalen Pengukuran Hubung Singkat
Universitas Sumatera Utara
2.6
Transformator Tiga Fasa Pada umumnya sistem kelistrikkan diseluruh dunia menggunakan sistem 3
fasa, oleh karena itu transformator juga harus dapat bekerja dengan sistem 3 fasa. Transformator 3 fasa dapat dibentuk dengan menggunakan 2 cara yaitu dengan menggunakan 3 buah transformator 1 fasa yang identik dan menghubungkan belitan ketiga transformator tersebut dan bisa juga membuat transformator dari 3 buah belitan primer, 3 buah belitan sekunder yang dihubungkan dengan 1 inti besi. Transformator 3 fasa ini dikembangkan dengan alasan ekonomis, biaya lebih murah karena bahan yang digunakan lebih sedikit dibandingkan 3 buah transformator satu fasa dengan jumlah daya yang sama dengan satu buah transformator daya tiga fasa. Pada prinsipnya transformator 3 fasa sama dengan transformator satu fasa [2].
2.6.1
Konstruksi Transformator Tiga Fasa
2.6.1.1 Konstruksi Dengan Menggunakan 3 Buah Transformator 1 fasa Konstruksi ini mempunyai bentuk yang relatif kecil, ringan dan murah. Apabila terjadi gangguan pada salah satu fasa cukup mengganti 1 transformator 1 fasa dan transformator yang lain tidak akan terganggu. Konstruksi ini dapat dilihat pada Gambar 2.12:
Universitas Sumatera Utara
NP1
NS1
NP2
NS2
NP3
NS3
Gambar 2.12. Transformator Tiga Fasa Dengan Menggunakan Tiga Buah Transformator Satu Fasa 2.6.1.2 Konstruksi Dengan Menggunakan 3 Buah Belitan Primer, 3 Buah Belitan Sekunder dan 1 Inti Besi Konstruksi ini lebih umum digunakan, dikarenakan konstruksi ini lebih mudah dalam hal instalasinya dibanding dengan konstruksi 3 buah transformator 1 fasa. Seperti halnya dengan transformator 1 fasa, konstruksi transformator 3 fasa ini mempunyai 2 tipe juga yaitu tipe inti dan tipe cangkang. Konstruksi ini dapat dilihat pada Gambar 2.13 dan Gambar 2.14 berikut :
Np1
Np2
Np3
NS1
NS2
NS3
Gambar 2.13. Gambar Transformator Tiga Fasa Dengan Tiga Buah Belitan Primer Tipe Cangkang (Shell Type)
Universitas Sumatera Utara
NS1
Np1
NS2
NP2
NS3
NP3
Gambar 2.14. Tiga Buah Belitan Sekunder Dan Satu Inti Besi Tipe Inti (Core Type)
2.6.2
Hubungan Belitan pada Transformator Tiga Fasa
2.6.2.1 Hubungan Wye Hubungan wye sering disebut juga hubungan bintang, hubungan ini dibuat dengan menghubungkan titik awal atau titik akhir dari ketiga phasa ke 1 titik yang dinamakan netral. Hubungan ini dapat dilihat pada Gambar 2.15 berikut:
Gambar 2.15. Hubungan Wye
Universitas Sumatera Utara
2.6.2.2 Hubungan Delta Hubungan delta sering disebut juga hubungan mesh, hubungan ini dibuat dengan menghubungkan titik awal belitan dan titik akhir belitan lainnya. Hubungan ini dapat dilihat pada Gambar 2.16 :
Gambar 2.16. Hubungan Delta Dan jika dikombinasikan maka hubungan belitan pada transformator tiga phasa terdiri dari:
2.6.3
Berbagai Hubungan Belitan Pada Transformator Pada transformator tiga fasa antara tegangan primer dan tegangan
sekunder perbedaan fasa dapat diatur dengan metode aturan hubungan jam belitan transformator. Satu putaran jam dibagi dalam 12 bagian. Jika satu siklus sinusoidal 360◦ maka setiap jam berbeda fasa 30◦ (360◦/12).
2.6.3.1 Hubungan YY0 Huruf Y pertama belitan primer dalam hubungan wye, huruf y kedua belitan sekunder juga dalam hubungan wye. Angka 0 menunjukkan beda fasa tegangan primer dan sekunder 0◦. Hubungan ini ekonomis untuk distribusi tegangan tinggi. Hubungan ini dapat bekerja dengan baik pada kondisi beban
Universitas Sumatera Utara
seimbang, tetapi apabila beban tidak seimbang maka pembagian tegangan sekunder dimasing-masing fasa akan berbeda. Hubungan ini dapat dilihat pada gambar 2.17: A
a
B
b
C
c
Gambar 2.17. Hubungan Belitan Transformator Tiga Fasa YY Vector grup untuk hubungan ini seperti pada Gambar 2.18 [7] :
Gambar 2.18. Vektor Diagram Hubungan Belitan Yy0
2.6.3.2 Hubungan Y∆11 Hubungan belitan primer dalam hubungan wye, belitan sekunder dalam hubungan delta. Beda fasa antara tegangan primer dan sekunder 11 x 30◦ = 330◦.
Universitas Sumatera Utara
Trafo jenis ini sering digunakan di substation untuk menurunkan tegangan (Step Down). Hubungan ini juga lebih stabil terhadap beban yang tidak seimbang, karena
kumparan
segitiga
secara
terpisah
mendistribusikan
kembali
ketidakseimbangan yang terjadi [3]. Yang menjadi masalah adalah adanya beda fasa antara sisi primer dan sekunder sebesar 300 atau kelipatannya. Dikarenakan adanya beda sudut fasa tersebut transformator tipe ini tidak dapat diparalelkan dengan transformator hubungan Y-Y dan Δ-Δ. Hubungan ini dapat dilihat pada Gambar 2.19 berikut : A
a
B
b
C
c
Gambar 2.19. Hubungan Belitan Transformator Tiga Fasa Y∆ Vektor grup untuk hubungan ini seperti pada Gambar 2.20 berikut [7] :
Gambar 2.20. Vektor Diagram Hubungan Belitan Yd11
Universitas Sumatera Utara
2.6.3.3 Hubungan ∆∆0 Menunjukkan huruf D pertama belitan primer dalam hubungan delta. Belitan sekunder juga dalam hubungan delta. Angka 0 menunjukkan beda fasa tegangan primer dan sekunder 0◦. Pada transformator ini tidak beda sudut fasa antar fasanya dan tidak mempunyai masalah dengan beban tidak seimbang. Apabila hubungan ini mengalami kerusakan pada salah satu transformatornya maka transformator ini dapat tetap bekerja dengan hubungan open delta, akan tetapi beban yang dapat dilayani dengan hubungan ini hanya 58% dari beban penuh hubungan ΔΔ [2]. Hubungan ini dapat dilihat pada Gambar 2.21 : A
a
B
b
C
c
Gambar 2.21. Hubungan Belitan Transformator Tiga Fasa ΔΔ
Vektor grup untuk hubungan ini seperti pada Gambar 2.27 berikut [7] :
Gambar 2.22. Vektor Diagram Hubungan Belitan ∆∆0
Universitas Sumatera Utara
2.6.3.4 Hubungan ∆y5 Menunjukkan belitan primer dalam hubungan delta. Belitan sekunder dalam dalam hubungan wye. Beda fasa antara tegangan primer dan sekunder yaitu 5x30◦ = 150◦. Hubungan ini banyak dipakai untuk menaikkan tegangan.Hubungan ini dilihat pada Gambar 2.23 berikut: A
a
B
b
C
c
Gambar 2.23. Hubungan Belitan Transformator Tiga Fasa ∆Y Vektor grup untuk hubungan ini seperti pada Gambar 2.24 [7] :
Gambar 2.24. Vektor Diagram Hubungan Belitan ∆Y5
Universitas Sumatera Utara
2.6.4
Hubungan Transformator Dalam Keadaan Beban Seimbang
2.6.5
Hubungan Wye R
R IR
ERN
IR VRS
ETN
N
ESN
IT
S VST T
N
IS
IS
VTR
S T
(a)
(b)
Gambar 2.25. Besar Tegangan dan Arus pada Hubungan Wye pada Sisi Sekunder Hubungan wye dibuat dengan menghubungkan titik awal atau titik akhir ketiga belitan ke suatu titik (titik netral). Hubungan ini juga dinamakan hubungan bintang. Hubungan ini mempunyai titik netral sehingga dapat dibentuk dengan 3 kawat (tanpa netral) dan 4 kawat (dengan netral). Dari Gambar 2.25 (a) terlihat bahwa ggl yang dihasilkan pada masingmasing phasa itu adalah ERN, ESN, ETN, karena sistem 3 fasa ini dalam keadaan seimbang maka ggl pada masing-masing phasa itu sama besarnya (selanjutnya akan sebut dengan EPH). Akan tetapi terdapat perbedaan sudut fasa sebesar 1200 pada masing-masing phasa [5].
2.6.5.1 Hubungan Antara Tegangan Line Dan Tegangan Phasa Dilihat dari Gambar 2.25 (a) phasa R dan S, dan tegangan line VRS merupakan selisih phasor antara ERN dan ESN. Besarnya phasor ERN dan -ESN sama (EPH), hanya saja mempunyai beda sudut fasa sebesar 600.
Universitas Sumatera Utara
IT
VRS = 2 EPH cos (600 / 2) = 2 EPH cos 300 = √3 EPH
(1.9)
Seperti halnya VRS VST = √3 EPH
(2.0)
VTR = √3 EPH
(2.1)
Tegangan pada masing-masing line VRS=VST=VTR=VL-L, sehingga tegangan line untuk hubungan wye VL-L = √3 EPH
(2.2)
2.6.5.2 Hubungan Antara Arus Line dan Arus Phasa Dilihat dari Gambar 2.25 (b) pada hubungan wye arus line dan arus phasa itu sama besarnya, tetapi arus line mempunyai beda sudut fasa sebesar 30 ± terhadap tegangan line. Dimana jika faktor dayanya lagging maka nilainya 30 + sebaliknya apabila faktor dayanya leading maka nilainya 30 - . IL = IPH
(2.3)
Apabila hubungan wye ditanahkan maka arus pada netral besarnya merupakan jumlah dari arus masing-masing fasa, dikarenakan dalam keadaan beban seimbang arus pada masing-masing phasa sama besarnya tetapi sudut fasa sebesar 1200. Sehingga resultan pada arus masing-masing fasa akan bernilai 0. IN = IR + IS + IT
(2.4)
2.6.5.3 Daya Total daya dari hubungan wye merupakan jumlah daya pada masingmasing fasa. Karena beban dalam keadaan seimbang maka besar daya pada masing-masing fasa itu sama.
Universitas Sumatera Utara
Untuk Hubungan Wye, 𝑉𝐿−𝐿
VPH =
; IPH = IL
√3
(2.5)
POUTPUT = √3 VL-L IL cos
(2.6)
S = √3 VL-L IL
(2.7)
S = 𝑃2 + 𝑄 2
(2.8)
𝑃
Faktor Daya,
Cos =
Total Daya
P = 3 x daya pada masing – masing phasa
(2.9)
𝑆
= 3 x VPH IPH cos
(3.0)
Dimana : VL-L = Tegangan Line-Line (Volt) IL = Arus Line (Ampere) Cos ф = Faktor Daya Beban POUTPUT = Daya Keluaran (Watt)
2.6.6
Hubungan Delta R
R IR-IT ETR
IT
ERS
IR
VRY VTR
S VST
EST
S IS-IR
T
IS
T
IT - IS (a)
(b)
Gambar 2.26. Besar Tegangan dan Arus pada Hubungan Delta pada Sisi Sekunder
Universitas Sumatera Utara
Hubungan delta merupakan hubungan yang menghubungkan titik awal belitan dan titik akhir belitan lainnya, sehingga membentuk loop seperti Gambar 2.26 diatas. Dinamakan delta dikarenakan bentuk rangkaian yang terbentuk seperti huruf delta pada bahasa latin. Hubungan ini juga dinamakan hubungan mesh hal ini dikarenakan hubungan ini membentuk loop. Hubungan ini tidak mempunyai netral dan dibentuk hanya menggunakan 3 kawat. 2.6.6.1 Hubungan Antara Tegangan Line dan Tegangan Fasa Dikarenakan dalam keadaan beban seimbang, tegangan pada masingmasing phasa besarnya sama (VPH) tetapi berbeda sudut phasa sebesar 1200 setiap phasanya. Pada hubungan ini tegangan line dan tegangan phasa itu besarnya sama (lihat Gambar 2.26 a) VL-L = VPH
(3.1)
2.6.6.2 Hubungan Antara Arus Line dan Arus Fasa Dalam keadaan beban yang seimbang arus pada masing-masing fasa akan mempunyai besar yang sama (IPH), akan tetapi mempunyai beda sudut sebesar 1200. Arus pada line 1 merupakan selisih fasor antara IR adan IT. Besarnya IR dan IT adalah sama dan mempunyai beda sudut fasa satu sama (IPH) lain sebesar 600.
2.6.6.3 Daya Total daya dari hubungan delta merupakan jumlah daya pada masingmasing fasa . Karena beban dalam keadaan seimbang maka besar daya pada masing-masing fasa itu sama.
Universitas Sumatera Utara
Untuk Hubungan Delta, Z1 = ZR + Zs + ZT VPH = VL-L ; IPH =
(3.2) 𝐼𝐿
√3
(3.3)
P = 3 x VL-L x √3𝐿 x cos
(3.4)
POUTPUT = √3 VL-L IL cos
(3.5)
S = √3 VL-L IL
(3.6)
S = 𝑃2 +𝑄 2
(3.7)
cos = 𝑃 𝑄
(3.8)
𝐼
Faktor Daya,
Total Daya
P = 3 x Daya Pada Masing-Masing Phasa = 3 x VPH IPH cos
(3.9)
Dimana: VPH = VL-L = Tegangan Line-Line (Volt) IL = Arus Line (Ampere) Cos ф = Faktor Daya Beban POUTPUT = Daya Keluaran (Watt)
2.6.7
Hubungan Transformator Dalam Keadaan Beban Tidak Seimbang Yang dimaksud dengan keadaan tidak seimbang adalah impedansi beban
dari ketiga fase tidak sama, maka jumlah phasor dan arus netralnya (In) tidak sama dengan nol dan beban dikatakan tidak seimbang. Ketidakseimbangan beban ini dapat saja terjadi karena hubung singkat atau hubung terbuka pada beban.
Universitas Sumatera Utara
Kombinasi dari kedua ketidakseimbangan sangatlah rumit untuk mencari pemecahan permasalahannya, oleh karena itu hanya akan membahas mengenai ketidakseimbangan beban dengan sumber listrik yang seimbang [4]. 2.6.8
Hubungan Wye
2.6.8.1 Hubungan Antara Arus Line dan Arus Phasa Pada saat terjadi gangguan, saluran netral pada hubungan bintang akan teraliri arus listrik. Ketidakseimbangan beban pada sistem 3 fase dapat diketahui dengan indikasi naiknya arus pada salah satu fasa dengan tidak wajar, arus pada tiap fase mempunyai perbedaan yang cukup signifikan, hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan [4].
2.6.8.2 Daya Total daya dari hubungan wye merupakan jumlah daya pada masingmasing phasa. Karena beban dalam keadaan tidak seimbang maka besar daya pada masing-masing fasa itu berbeda. PR = VPH IZR cos = VL-L IZR cos
(4.0)
PS = VPH IZS cos = VL-L IZS cos
(4.1)
PT = VPH IZT cos = VL-L IZT cos
(4.2)
POUTPUT = PTOTAL = PR + PS + PT
(4.3)
Dimana : PR = PS = PT = Daya pada Masing-Masing Phasa (Watt) VPH = Tegangan Phasa (Volt)
Universitas Sumatera Utara
IZR = IZS = IZT = Arus pada Masing-Masing Phasa (Watt) POUTPUT = Daya Keluaran (Watt) 2.6.9
Hubungan Delta
2.6.9.1 Hubungan Antara Arus Pada saat arus di ketiga coil memiliki nilai berbeda, maka kondisi tersebut dikatakan tidak seimbang. Gambar 2.27 berikut mengilustrasikan sebuah sistem yang tidak seimbang [4].
Gambar 2.27. Ilustrasi Arus yang Berbeda Pada Setiap Coil Dengan Kondisi Beban Tidak Seimbang
2.6.9.2 Daya Total daya dari hubungan delta merupakan jumlah daya pada masingmasing phasa. Karena beban dalam keadaan tidak seimbang maka besar daya pada masing-masing fasa itu berbeda pula. Tahapan untuk menghitung total daya kondisi beban tidak seimbang terhubung delta menggunakan persamaan yang sama untuk menghitung total daya pada beban tidak seimbang terhubung wye. Yaitu menggunakan Persamaan (4.0), (4.1), (4.2) dan (4.3).
Universitas Sumatera Utara
2.7
Sifat – Sifat Beban Listrik Dalam suatu rangkaian listrik selalu dijumpai suatu sumber dan beban.
Dalam sumber listrik AC, beban dapat dibedakan menjadi 3 sebagai berikut :
2.7.1
Beban Resistif Beban resistif yang merupakan suatu resistor murni, contoh : lampu pijar,
pemanas. Beban ini hanya menyerap daya aktif dan tidak menyerap daya reaktif sama sekali. Tegangan dan arus sephasa. Secara matematis dinyatakan pada Persamaan berikut: R=
2.7.2
𝑉
(4.4)
𝐼
Beban Induktif Beban induktif adalah beban yang mengandung kumparan kawat yang
dililitkan pada sebuah inti biasanya inti besi, contoh : motor-motor listrik, induktor dan transformator. Beban ini mempunyai faktor daya antara 0-1 “lagging”. Beban ini menyerap daya aktif (kW) dan daya reaktif (kVAR). Tegangan mendahului arus sebesar φ°. Secara matematis dinyatakan pada Persamaan berikut ini : XL = 2πf.L
(4.5)
2.7.3 Beban Kapasitif Beban kapasitif adalah beban yang mengandung suatu rangakaian kapasitor. Beban ini mempunyai faktor daya antara 0-1 “leading”. Beban ini menyerap daya aktif (kW) dan mengeluarkan daya reaktif (kVAR).
Universitas Sumatera Utara
Arus mendahului tegangan sebesar φ°. Secara matematis dinyatakan pada Persamaan berikut ini : XC =
1
(4.6)
2πf.C
2.8
Efisiensi dan Regulasi Tegangan
2.8.1
Efisiensi Efisiensi adalah perbandingan daya keluaran dan daya masukan, efisiensi
dapat di rumuskan sebagai berikut [2] : 𝑃𝑜𝑢𝑡
Efisiensi
η=
Karena
Pout = V2 I2 cosθ2
𝑃𝑖𝑛
x100%
(4.7) (4.8)
Pin = Pout + Rugi-Rugi Pin = V2 I2 cosθ2 + Pcu + Pi Pin = V2 I2 cosθ2 + I22 Rc2 + Pi
η=
Maka
𝑉2 𝐼2 𝑐𝑜𝑠𝜃 2
𝑉2 𝐼2 𝑐𝑜𝑠𝜃 2 +𝐼2 2 𝑅𝑐 2 +𝑃 𝑖
(4.9)
× 100%
(5.0)
Dimana : η = Effisiensi V2 = Tegangan Keluaran Transformator (Volt) I2 = Arus Keluaran Transformator (Ampere) Cosθ2 = Faktor Daya Beban RC2 = Tahanan Total Tembaga (Ohm) Pcu = Rugi-Rugi Tembaga (Watt)
Universitas Sumatera Utara
Pi = Rugi-Rugi Inti (Watt) Efisiensi pada transformator akan maksimum apabila nilai dari rugi-rugi tembaga sama dengan rugi-rugi inti.
2.8.2 Regulasi Tegangan Regulasi tegangan adalah perbandingan antara perubahan tegangan keluaran pada saat tanpa beban dan pada saat beban penuh terhadap tegangan keluaran pada tanpa beban dengan tegangan primer konstan. Biasanya regulasi tegangan di nyatakan dalam persen, regulasi tegangan dapat dirumuskan sebagai berikut [2] : VR =
𝑉𝑁𝐿 −𝑉𝐹𝐿 𝑉𝑁𝐿
× 100%
(5.1)
Dimana: VR = Regulasi Tegangan VNL = Tegangan Keluaran Pada Saat Tanpa Beban VFL = Tegangan Keluaran Pada Saat Beban Penuh
Universitas Sumatera Utara