BAB II DASAR TEORI 2.1.
Jalan Perkotaan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan perkotaan merupakan segmen jalan yang mempunyai perkembangan secara permanen dan menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, apakah berupa perkembangan lahan atau bukan. Termasuk jalan di atau dekat pusat perkotaan dengan penduduk lebih dari 100.000, maupun jalan didaerah perkotaan dengan penduduk kurang dari 100.000 dengan perkembangan samping jalan yang permanen dan menerus. Tipe jalan pada jalan perkotaan adalah sebagai berikut ini. 1. Jalan dua lajur dua arah (2/2 UD). 2. Jalan empat lajur dua arah. a. Tak terbagi (tanpa median) (4/2 UD). b. Terbagi (dengan median) (4/2 D). 3. Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2 D). 4. Jalan satu arah (1-3/1). Menurut Highway Capacity Manual (HCM) 1994, jalan perkotaan dan jalan luar kota adalah jalan bersinyal yang menyediakan pelayanan lalu lintas sebagai fungsi utama, dan juga menyediakan akses untuk memindahkan barang sebagai fungsi pelengkap. 2.2.
Karakteristik Geometrik
• Jalan satu-arah Tipe jalan ini meliputi semua jalan satu-arah dengan lebar jalur lalu-lintas dari 5,0 meter sampai dengan 10,5 meter. Kondisi dasar tipe jalan ini dari mana kecepatan arus bebas dasar dan kapasitas ditentukan didefinisikan sebagai berikut: - Lebar jalur lalu-lintas tujuh meter - Lebar bahu efektif paling sedikit 2 m pada setiap sisi - Tidak ada median
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-1
- Hambatan samping rendah - Ukuran kota 1,0 - 3,0 Juta - Tipe alinyemen datar.
2.3.
Kondisi Lalu Lintas
Situasi lalu lintas untuk tahun yang dianalisa ditentukan menurut Arus Jam Rencana, atau Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT) dengan faktor yang sesuai untuk konversi dari LHRT menjadi arus per jam (umum untuk perancangan).
Tabel 2.1 Nilai Normal Komposisi Lalu Lintas Ukuran kota
LV %
HV %
MC %
< 0,1 juta penduduk
45
10
45
0,1 – 0,5 juta penduduk
45
10
45
0,5 – 1,0 juta penduduk
53
9
38
1,0 – 3,0 juta penduduk
60
8
32
> 3,0 juta penduduk
69
7
24
Sumber : MKJI,1997 Perhitungan kondisi lalu lintas : 1. Perhitungan pemisah arah dapat dihitung melalui persamaan berikut : SP = QDH.1 / QDH.1+2
Persamaan 2.1
Keterangan : SP = Pemisah arah (kend/jam) QDH.1 = Arus total arah 1 QDH.1+2 = Arus total arah 1 + 2 2. Perhitungan faktor satuan mobil penumpang dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut : FSMP = Qsmp / Qkend
Persamaan 2.2
Keterangan : FSMP = Faktor satuan mobil penumpang Qsmp = Arus total kendaraan dalam smp Qkend = Arus total kendaraan
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-2
2.4.
Hambatan Samping
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintasdari aktivitas samping segmen jalan, seperti : 1. Pejalan kaki yang berjalan atau menyeberang sepanjang segmen jalan, 2. Angkutan umum dan kendaraaan lain yang berhenti dan parkir, 3. Kendaraan bermotor yang keluar masuk dari/ke lahan samping/sisi jalan, 4. Arus kendaraan yang bergerak lambat.
Hambatan samping merupakan dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktivitas samping segmen jalan yang ditunjukkan dengan faktor jumlah berbobot kejadian, yaitu frekuensi kejadian sebenarnya dikalikan dengan faktor berbobot kendaraan. Faktor berbobot tersebut seperti pejalan kaki (bobot=0,5), kendaraan berhenti (bobot=1,0), kendaraan masuk/keluar sisi jalan (bobot=0,7), dan kendaraan lambat (bobot=0,4). Kelas hambatan samping ditentukan berdasarkan Tabel 3.3 berikut ini. Tabel 2.2 Kelas Hambatan Samping untuk Jalan Perkotaan Kelas hambatan samping (SFC) Sangat rendah
Jumlah berbobot Kode
kejadian per200m
Kondisi khusus
per jam (dua sisi) VL
< 100
Daerah pemukiman : dengan jalan samping
Rendah
L
100 – 299
Daerah
pemukiman
:
beberapa
kendaraan umum Sedang
M
300 – 499
Daerah industri : beberapa toko di sisi jalan
Tinggi Sangat Tinggi
H
500-899
Daerah komersial : aktifitas sisi jalan
VH
>900
Daerah komersial dengan aktivitas pasar disamping jalan.
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-3
2.5.
Arus dan Komposisi Lalu Lintas
Arus (Q) adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik pada suatu jalan pada interval waktu tertentu, dinyatakan dalam kendaraan/jam (Qkend), smp/jam (Qsmp), atau LHRT (Lalu lintas Rata-rata Tahunan – QLHRT). Nilai ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk masing-masing tipe kendaraan tersebut tergantung pada tipe jalan dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam tabel berikut ini: Tabel 2.3 Emp untuk jalan perkotaan terbagi dan satu arah emp
Arus lalu lintas
Tipe jalan
per lajur (kend/jam)
HV
MC
2 lajur I arah, terbagi (2/1 D)
0
1,3
0,4
4 lajur 2 arah, terbagi (4/2 D)
≥1050
1,2
0,25
3 lajur 1 arah, terbagi (3/1 D)
0
1,3
0,4
6 lajur 2 arah, terbagi (6/2 D)
≥1100
1,2
0,25
Sumber : MKJI,1997 2.6.
Kerapatan
Menurut MKJI 1997, kerapatan adalah rasio perbandingan arus terhadap kecepatan rata-rata, dinyatakan dalam kendaraan (smp) per kilometer (km). Arus, kecepatan, dan kerapatan merupakan unsur dasar pembentuk aliran lalu lintas. Pola hubungan yang diperoleh dari ketiga unsur tersebut adalah: 1.Arus dengan kerapatan, 2.Kecepatan dengan kerapatan, 3.Arus dengan kecepatan.
Kerapatan (D) adalah banyaknya kendaraan per satuan jarak kilometer (kendaraan/km). Besarnya dapat dicari dengan rumus sebagai berikut : D=
Volume Panjang ruas jalan
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
persamaan 2.3
II-4
2.7.
Kecepatan Arus Bebas
Kecepatan arus bebas (FV) yang didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nol persamaan 2.4
FV = (FV0+ FVW ) x FFVSF x FFVCS dimana: FV
= kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan
FV0
= kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan yang diamati
FVW
= penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan
FFVSF = faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu atau jarak kereb penghalang FFVCS = faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota Nilai faktor-faktor tersebut didapatkan dari Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997) sebagai berikut: •
Kecepatan arus bebas dasar (FVO)
Tabel 2.4 Kecepatan arus bebas dasar (FVO) Tipe Jalan
Kecepatan arus bebas dasar (FVO) Kendaraan Kendaraan Sepeda
Semua
Ringan
Ringan
Motor
Kendaraan
(LV)
(HV)
(MC)
(rata-rata)
61
52
48
57
Empat lajur terbagi (4/2 57
50
47
55
Empat lajur tak terbagi 53
46
43
51
(4/2 UD) atau dua lajur 44
40
40
42
Enam-lajur terbagi (6/2 D) atau Tiga-lajur satu-arah (3/1) D) atau dua lajur satu arah (2/1)
takterbagi (2/2 UD) Sumber : MKJI,1997
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-5
•
Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas (FVW)
Tabel 2.5 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas Lebar Tipe jalan
jalur
efektif (WC)
lalu-lintas FVW (km/jam)
(m) Empat-lajur terbagi atau
Per lajur
Jalan satu-arah
3,00
-4
3,25
-2
3,50
0
3,75
2
4,00
4
Empat-lajur tak-terbagi
Dua-lajur tak-terbagi
Per lajur 3,00
-4
3,25
-2
3,50
0
3,75
2
4,00
4
Total 5
-9,5
6
-3
7
0
8
3
9
4
10
6
11
7
Sumber : MKJI,1997
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-6
•
Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan samping (FFVSF)
Tabel 2.6 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan samping untuk jalan dengan bahu (FFVSF) Tipe jalan
Kelas hambatan
Faktor penyesuaian untuk hambatan
samping
samping dan
(SFC)
Lebar Bahu Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m) < 0,5m
1,0 m
1,5 m
>2m
Empat-lajur
Sangat rendah
1,02
1,03
1,03
1,04
terbagi 4/2 D
Rendah
0,98
1,00
1,02
1,03
Sedang
0,94
0,97
1,00
1,02
Tinggi
0,89
0,93
0,96
0,99
Sangat Tinggi
0,84
0,88
0,92
0,96
Empat-lajur tak- Sangat rendah
1,02
1,03
1,03
1,04
terbagi 4/2 UD
Rendah
0,98
1,00
1,02
1,03
Sedang
0,93
0,96
0,99
1,02
Tinggi
0,87
0,91
0,94
0,98
Sangat Tinggi
0,80
0,86
0,90
0,95
tak- Sangat rendah
1,00
1,01
1,01
1,01
terbagi 2/2 UD Rendah
0,96
0,98
0,99
1,00
atau jalan satu Sedang
0,91
0,93
0,96
0,99
arah
Tinggi
0,82
0,86
0,90
0,95
Sangat Tinggi
0,73
0,79
0,85
0,91
Dua-lajur
Sumber : MKJI,1997
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-7
•
Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota (FFVCS)
Tabel 2. 7 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota Ukuran
kota
(juta Faktor
penyesuaian
penduduk )
ukuran kota
< 0,1
0,90
0,1 – 0,5
0,93
0,5 – 1,0
0,95
1,0 – 3,0
1,00
> 3,0
1,03
untuk
Sumber : MKJI,1997 Hubungan Kecepatan dan Arus pada jalan empat lajur terbagi:
Gambar 2.1
Hubungan kecepatan-arus jalan empat lajur terbagi (MKJI,
1997)
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-8
2.8.
Kapasitas
Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum yang melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. C = C0 x FCW x FCSP x FCSF x FCCS (smp/jam)
persamaan 2.5
dimana: C
= kapasitas (smp/jam)
C0
= kapasitas dasar (smp/jam)
FCW
= faktor koreksi kapasitas akibat lebar jalan
FCSP = faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah FCSF = faktor koreksi kapasitas akibat gangguan samping FCCS = faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota (jumlah penduduk) •
Kapasitas dasar (C0)
Nilainya ditentukan berdasarkan tipe jalan sesuai dengan nilai yang tertera pada tabel berikut. Tabel 2. 8 Kapasitas dasar jalan perkotaan Tipe jalan
Kapasitas
Keterangan
dasar (smp/jam) Jalan 4 lajur berpembatas median 1650
per lajur
atau jalan satu arah Jalan 4 lajur tanpa pembatas 1500
per lajur
median Jalan 2 lajur tanpa pembatas 2900
total dua arah
median Sumber : MKJI,1997
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-9
•
Faktor koreksi kapasitas akibat lebar jalan (FCW)
Nilainya ditentukan berdasarkan lebar jalan efektif yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. 9 Faktor koreksi kapasitas akibat lebar jalan (FCW) Tipe jalan
Lebar
jalan FCW
efektif (m) Jalan 4 lajur berpembatas median atau per lajur jalan satu arah
Jalan 4 lajur tanpa pembatas median
Jalan 2 lajur tanpa pembatas median
3,00
0,92
3,25
0,96
3,50
1,00
3,75
1,04
4,00
1,08
per lajur 3,00
0,91
3,25
0,95
3,50
1,00
3,75
1,05
4,00
1,09
dua arah 5
0,56
6
0,87
7
1,00
8
1,14
9
1,25
10
1,29
11
1,34
Sumber : MKJI,1997
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-10
•
Faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah (FCSP)
Tabel 2.10 Faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah (FCSP) Pembagian arah (% - %) FCSP
50 – 50
2 lajur 2 arah tanpa pembatas 1,00
55 -45 60-40
65-35
70-30
0,97
0,94
0,91
0,88
0,985
0,97
0,955
0,94
median (2/2 UD) 4 lajur 2 arah tanpa pembatas 1,00 median (4/2 UD) Sumber : MKJI,1997 •
Faktor koreksi kapasitas akibat gangguan samping (FCSF)
Faktor koreksi kapasitas untuk gangguan samping untuk ruas jalan yang mempunyai bahu dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.11 Faktor koreksi kapasitas akibat gangguan samping (FCSF) untuk jalan dengan bahu Kelas
Faktor Koreksi akibat gangguan samping
Tipe
Gangguan
Dan Lebar Bahu
Jalan
Samping
Lebar Bahu Efektif WS ≤ 0,5
1,0
1,5
≥2,0
Sangat rendah
0,96
0,98
1,01
1,03
Rendah
0,94
0,97
1,00
1,02
Sedang
0,92
0,95
0,98
1,00
Tinggi
0,88
0,92
0,95
0,98
Sangat tinggi
0,84
0,88
0,92
0,96
Sangat rendah
0,96
0,99
1,01
1,03
Rendah
0,94
0,97
1,00
1,02
Sedang
0,92
0,95
0,98
1,00
Tinggi
0,87
0,91
0,94
0,98
Sangat tinggi
0,80
0,86
0,90
0,95
2/2 UD
Sangat rendah
0,94
0,96
0,99
1,01
Atau
Rendah
0,92
0,94
0,97
1,00
Jalan satu
Sedang
0,89
0,92
0,95
0,98
4/2 D
4/2 UD
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-11
Arah
Tinggi
0,82
0,86
0,90
0,95
Sangat Tinggi
0,73
0,79
0,85
0,91
Sumber : MKJI,1997 •
Faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota (FCCS)
Faktor koreksi FCCS dapat dilihat pada tabel berikut, Faktor koreksi tersebut merupakan fungsi dari jumlah penduduk kota Tabel 2.12 Faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota (FCCS) pada jalan perkotaan Ukuran
kota
(juta Faktor
penyesuaian
penduduk )
untuk ukuran kota
< 0,1
0,86
0,1 – 0,5
0,90
0,5 – 1,0
0,94
1,0 – 3,0
1,00
> 3,0
1,04
Sumber : MKJI,1997 2.9.
Perilaku Lalu Lintas
Penentuan perilaku lalu lintas pada ruas jalan meliputi : 2.9.1 Derajat Kejenuhan Derajat Kejenuhan didefinisikan sebagai perbandingan atau rasio arus lalu lintas (smp/jam) terhadap kapasitas (smp/jam) pada bagian jalan tertentu, yang dipakai sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja ruas jalan. Derajat kejenuhan menunjukan apakah ruas jalan tersebtu mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Derajat kejenuhan digunakan untuk analisa perilaku lalu lintas berupa kecepatan dan dihitung dengan rumus sebagi berikut :
Qsmp DS =
C
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
persamaan 2.6
II-12
Dimana : Qsmp
: arus total (smp/jam)
C
: Kapasitas (smp/jam)
Menurut MKJI, derajat kejenuhan merupakan rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas pada bagian jalan tertentu, digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai derajat kejenuhan untuk ruas jalan adalah 0,75. Angka tersebut menunjukkan apakah segmen jalan yang diteliti memenuhi kriteria kelayakan dengan angka derajat kejenuhan dibawah 0,75 atau sebaliknya. 2.9.2 Kecepatan (V) dan Waktu Tempuh (TT)
Kecepatan (S) adalah jarak yang dilalui sebuah kendaraan pada suatu unit waktu atau laju perjalanan yang biasanya dinyatakan dalam kilometer per jam (km/jam). Kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan merupakan masukan yang penting untuk biaya pemakai jalan dalam analisa ekonomi. Kecepatan tempuh didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang yang dirumuskan sebagai : V = dimana :
L TT
persamaan 2.7
V = kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam) L = panjang segmen (km) TT = waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam)
2.10.
Evaluasi Tingkat Pelayanan (LOS)
Perilaku lalu lintas diwakili oleh tingkat pelayanan (LOS), yaitu ukuran kualitatif yang mencerminkan persepsi para pengemudi dan penumpang mengenai karakteristik kondisi operasional dalam arus lalu lintas (HCM,1994). Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No : KM 14 Tahun 2006, tingkat pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk menampung lalu-lintas pada keadaan tertentu. Enam tingkat pelayanan diabatasi untuk setiap tipe dari fasilitas lalu lintas yang akan digunakan dalam prosedur analisis, yand disimbolkan dengan huruf A sampai dengan
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-13
F, dimana Level of Service (LOS) A menunjukkan kondisi operasi terbaik, dan LOS F paling jelek. Kondisi LOS yang lain ditunjukkan berada diantaranya. Di Indonesia, kondisi pada tingkat pelayanan (LOS) diklasifikasikan atas berikut ini : 1. Tingkat Pelayanan A a. kondisi arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi, b. kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat dikendalikan
oleh
pengemudi
berdasarkan
batasan
kecepatan
maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan, c. pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa atau dengan sedikit tundaan. 2. Tingkat Pelayanan B a. arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas, b. kepadatan lalu lintas rendah, hambatan internal lalu lintas belum mempengaruhi kecepatan, c. pengemudi masih cukup punya kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatannya dan lajur jalan yang digunakan. 3. Tingkat Pelayanan C a. arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan oleh volume lalu lintas yang lebih tinggi, b. kepadatan lalu lintas meningkat dan hambatan internal meningkat; c. pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur atau mendahului. 4. Tingkat Pelayanan D a. arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus, b. kepadatan lalu lintas sedang fluktuasi volume lalu lintas dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar, c. pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir untuk waktu yang sangat singkat.
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-14
5. Tingkat Pelayanan E a. arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah, b. kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi, c. pengemudi mulai merasakan kemactan-kemacetan durasi
6. Tingkat Pelayanan F a. arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang, b. kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi kemacetan untuk durasi yang cukup lama, c. dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0. Tingkat pelayanan suatu ruas jalan, diklasifikasikan berdasarkan volume (Q) per kapasitas (C) yang dapat ditampung ruas jalan itu sendiri. Tabel 2.13 Hubungan Volume per Kapasitas (Q/C) Dengan Tingkat Pelayanan Untuk Lalu Lintas Dalam Kota Tingkat pelayanan
Q/C
Kecepatan ideal (km/jam)
A
≤ 0,6
≥ 80
B
≤ 0,7
≥ 40
C
≤ 0,8
≥ 30
D
≤ 0,9
≥ 25
E
≈1
≈ 25
F
>1
< 15
Sumber : Peraturan Menteri Perhubungan No: KM 14 Tahun 2006 2.11.
Metode Peramalan
Untuk menghitung pertumbuhan volume lalu lintas yang terjadi selama 10 tahun yang akan datang pada penelitian ini, digunakan rumus perhitungan yang dinyatakan dalam persamaan berikut ini. i = P1 + P2 +….+ Pn
persamaan 2.7
N Pn = Po (1+i)
n
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
persamaan 2.8
II-15
Keterangan : i = Pertumbuhan variabel rata-rata Pn = Jumlah variabel pada tahun ke n Po = Jumlah variabel pada tahun dasar rata rata N = Jumlah tahun yang dihitung n = Tahun ke n
2.12.
Fasilitas Penyeberangan Jalan (Pedestrian Crossing)
Fasilitas
penyeberangan
jalan
(Pedestrian
Crossing)
digunakan
untuk
menghindari konflik antara pejalan kaki dengan kendaraan pada saat menyeberang jalan. Prinsip dari fasilitas penyeberangan jalan adalah bahwa pejalan kaki diberi prioritas atas kendaraan pada saat menyeberang. Untuk mendorong penyeberang jalan memanfaatkan fasilitas ini diperlukan pagar pembatas di tepi jalan (edge barriers / fences / guard railing). Dalam merencanakan fasilitas pejalan kaki terdapat tujuh sasaran dan tujuan utama desain fasilitas pejalan kaki yaitu keselamatan (safety), keamanan
(security), kemudahan (convenience), kelancaran (continuity), kenyamanan (comfort), keterpaduan sistem (system coherence) dan daya tarik (attractiveness). 2.12.1. Jenis Fasilitas Penyeberangan C.A. O’Flaherty (1997) mengkategorikan fasilitas penyeberangan jalan menjadi dua jenis yaitu penyeberangan di jalan raya (at-grade crossing) dan penyeberangan terpisah (segregated crossing). a.
Penyeberangan di jalan raya (at-grade crossing)
Merupakan tipe fasilitas penyeberangan yang paling banyak digunakan karena biaya pengadaan dan operasionalnya yang relative murah. Fasilitas penyeberangan di jalan raya (at grade crossing) dapat berupa uncontrolled crossing (penyeberangan tanpa pengaturan), Light controlled crossing (penyeberangan dengan lampu sinyal), dan person – controlled crossing (penyeberangan yang diatur oleh manusia).
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-16
• Uncontrolled Crossing Merupakan tipe fasilitas penyeberangan yang hanya menggunakan prinsip prioritas penyeberang jalan atas kendaraan. Contohnya zebra crossing, yaitu fasilitas penyeberangan yang ditandai dengan garis – garis putih searah arus kendaraan dan dibatasi oleh dua garis putih melintang lebar jalan. Meskipun tipe ini sangat ekonomis, namun tidak cocok untuk : 1. Jalan dengan arus kendaraan yang padat dan kecepatan tinggi dimana pejalan kaki masih merasa kesulitan menyeberang. 2. Arus penyeberangan jalan yang tinggi sehingga dapat mengganggu arus lalu lintas yaitu menimbulkan delay / waktu tunda kendaraan. 3. Daerah yang mengoperasikan UTC (Urban Traffic Control), yaitu sistem manajemen lalu lintas yang mengintegrasikan pengaturan semua lampu lalu lintas dalam suatu kawasan yang luas. (O’flaherty, 1997 : 476). • Light Controlled Crossing Merupakan fasilitas penyeberangan jalan yang dilengkapi dengan lampu sinyal untuk mengatur fase penyeberangan. Contoh penyeberangan dengan lampu sinyal adalah pelican crossing, nama pelican diambil dari Pedestrian Light Controlled. Lampu sinyal pada pelican selalu menyala hijau untuk kendaraan dan merah untuk penyeberangan jalan sampai seorang pejalan kaki menekan tombol aktivasi. Saat pelican diaktifkan lampu sinyal akan berubah secara bertahap mengikuti fase – fase tertentu. Pengunaan pelican dapat digabungkan dengan pulau pelindung dan akan lebih memiliki manfaat dibandingkan zebra crossing. • Person Controlled Crossing Fasilitas penyebarangan ini biasanya diatur oleh posisi lalu lintas atau pengaturan dapat dilakukan oleh petugas yang telah ditentukan. Fasilitas ini biasa digunakan di sekolah – sekolah karena merupakan cara yang baik dalam melindungi penyeberang.
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-17
b. Penyeberangan terpisah (segregated crossing) Segregated crossing berupa pemisahan level / ketinggian antara pejalan kaki dengan kendaraan. Idealnya, fasilitas penyeberangan jalan memang harus dipisahkan dari arus kendaraan sehingga tidak terjadi konfilk antara pejalan kaki dengan kendaraan dan tidak menimbulkan time delay bagi kendaraan. Contohnya adalah jembatan penyeberangan (overpass / crossing bridge /
footbridge), penyeberangan bawah tanah (subway / underpass, tunnel) dan jalan laying (skywalk). Meskipun biaya yang dibutuhkan sangat tinggi fasilitas penyeberangan terpisah mampu menjamin keselamatan penyeberang jalan. Menurut O’Flaherty (1997:478) fasilitas tipe ini sangat cocok untuk digunakan pada daerah : 1. Dengan arus kendaraan tinggi dan jumlah penyeberang jalan banyak 2. Bundaran (roundabout) dimana konsentrasi kendaraan sangat tinggi sehingga tidak ada kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyeberang. 3. Persimpangan jalan yang sangat padat dimana penyeberangan di jalan raya (at grade crossing) hanya akan menggangu kelancaran lalu lintas. C.A O’Flaherty (1997) merincikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan fasilitas penyeberangan terpisah berdasarkan yang terpenting menurut pejalan kaki sebagai berikut : 1. Jarak (Directness of Route) 2. Kemudahan (Ease of negotiation) 3. Estetik (Interest of specific features) 4. Pertimbangan Lingkungan (general environmental appeal) 5. Safety (keselamatan) Hal ini berarti fasilitas penyeberangan terpisah hanya akan digunakan jika rutenya lebih singkat daripada melalui jalan raya. Untuk jembatan penyeberangan penggunaanya akan optimal jika waktunya tiga perempat kali waktu yang diperlukan untuk menyeberang melalui jalan raya. Untuk
meningkatkan
pengunaan
fasilitas
penyeberangan
terpisah
perlu
diaplikasikan pagar pembatas tepi jalan dan atau di tengah jalan sehingga
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-18
penyeberang di jalan raya mempunyai rute yang lebih panjang atau malah sama sekali tidak memungkinkan dilakukan. 2.12.2 Perencanaan Penyeberangan Jalan Berdasarkan Standard Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki Dikawasan Perkotaan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga berikut Tahun 1995
tahap
perencanaan
untuk
Penyeberangan
Pejalan
Kaki
haruslah
memperhatikan kondisi kebebasan berjalan untuk mendahului serta kebebasan waktu berpapasan dengan pejalan kaki lainnya tanpa bersinggungan, dan kemampuan untuk memotong pejalan kaki lainnya. Keamanan terhadap kemungkinan terjadinya. benturan dengan pengguna jalan yang lain (lalu lintas kendaraan) serta Tingkat kenyamanan pejalan kaki yang optimal seperti faktor kelandaian dan jarak tempuh serta rambu-rambu petunjuk pejalan kaki. 1. Zebra Cross Zebra Cross dipasang dengan ketentuan sebagai berikut : a. Zebra Cross harus dipasang pada jalan dengan arus lalu lintas, kecepatan lalu lintas dan arus pejalan kaki yang relatif rendah. b. Lokasi Zebra Cross harus mempunyai jarak pandang yang cukup, agar tundaan
kendaraan
yang
diakibatkan
oleh
penggunaan
fasilitas
penyeberangan masih dalam batas yang aman. 2. Pelican Cross Pelican Crossing harus dipasang pada lokasi-lokasi sebagai berikut : a. Pada kecepatan lalu lintas kendaraan dan arus penyeberang tinggi b. Lokasi pelikan dipasang pada jalan dekat persimpangan. c. Pada persimpangan dengan lampu lalu lintas, dimana pelican cross dapat dipasang menjadi satu kesatuan dengan rambu lalu lintas (traffic signal) 3. Jembatan Penyeberangan atau Terowongan Pembangunan jembatan penyeberangan disarankan memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. Bila fasilitas penyeberangan dengan menggunakan Zebra Cross dan Pelikan Cross sudah mengganggu lalu lintas yang ada. b. Pada ruas jalan dimana frekwensi terjadinya kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki cukup tinggi. Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-19
c. Pada ruas jalan yang mempunyai arus lalu lintas dan arus pejalan kaki yang tinggi. d. Ruang bebas jalur lalu lintas kendaraan tidak kurang dari 2,5 meter Jika fasilitas pejalan kaki diperlukan, maka pertimbangan rangking/hirarki fasilitas yang diberikan adalah sebagai berikut : 1. Pulau Pelindung / Pemisah 2. Zebra cross 3. Penyeberangan dengan lampu pengatur (pelican crossing) 4. Jembatan penyeberangan atau terowongan bawah tanah 2.12.2.1 Metode Perhitungan Dasar-dasar penentuan jenis fasilitas penyeberangan adalah seperti tertera pada tabel berikut : Tabel 2.14 Kriteria Jenis Penyeberangan PV²
P
V (kend./Jam
Rekomendasi Awal
(Orang/jam) 8
≤ 10
Tidak perlu penyeberangan
>108
50 – 1100
300 – 500
Zebra Cross
>2 x
50 – 1100
400 – 750
Zebra Cross dengan pemisah
>108
50 – 1100
>500
Pelican Crossing
>108
>1100
>300
Pelican Crossing
>2 x
50 – 1100
>750
Pelican Crossing dengan pemisah
>2 x
>1100
>400
Pelican Crossing dengan pemisah
Sumber : Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki Dikawasan Perkotaan
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-20
Gambar 2.2 Fasilitas Penyebrangan Berdasarkan PV² (Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki Dikawasan Perkotaan, 1995) PV²
Persamaan 2.9
Dimana : P = Arus lalu-lintas penyeberang jalan yang menyeberang jalur lalu lintas sepanjang 100 meter, dinyatakan dengan pejalan kaki/jam V = Arus lalu-Iintas dua arah per jam, dinyatakan dalam kendaraan/jam • Langkah – langkah perencanaan sebagai berikut : A. Lakukan pengumpulan data terhadap hal-hal sebagai berikut : 1) Volume lalu-lintas kendaraan; 2) Volume lalu-lintas pejalan kaki; 3) Volume lalu-lintas penyeberang jalan; 4) Data Geometrik. Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-21
B. Tentukan besarnya arus lalu-lintas penyeberang jalan (P) pada kawasan yang terdapat sarana dan prasarana umum. C. Tentukan volume lalu-lintas kendaraan (V). D. Hitung PV² E. Tentukan lebar jalur jaringan untuk ruas-ruas tersebut, dan tabel 2. F. Tentukan fasilitas penyeberangan yang sesuai/cocok dengan ketentuan yang ada. 2.13.
Parkir
Perkotaan dengan berbagai aktivitas menuntut ketersediaan lahan parkir. Fasilitas parkir dapat berupa fasilitas parkir di luar badan jalan (off-street parking) atau fasilitas parkir pada badan jalan (on-street parking). 2.13.1 Konsep Dasar Penanganan Masalah Parkir Dalam penerapannya, parkir memunculkan berbagai masalah yang menuntut penanganan melalui pendekatan sistematik. Pendekatan ini didasarkan pada dua aspek utama yaitu kajian terhadap permintaan parkir dan kajian terhadap besar penyediaan fasilitas parkir. Besarnya permintaan parkir pada suatu kawasan ruas jalan sangat dipengaruhi oleh pola tata guna lahan di kawasan yang bersangkutan sedangkan besar penyediaan fasilitas parkir (dalam hal ini on street parking) disajikan pada tabel berikut: Tabel 2.15 Persyaratan untuk berbagai tipe jalan kota Kecepatan
Lebar
Lokasi
Lokasi
min
badan jalan
parkir
Berhenti
(km/jam)
(m)
kendaraan
Kendaraan
Arteri primer
60
8
tidak
tidak
diijinkan
diijinkan
Arteri sekunder
30
8
dibatasi
dibatasi
Kolektor primer
40
7
dibatasi
dibatasi
Kolektor sekunder
20
7
dibatasi
dibatasi
Lokal primer
20
6
Lokal sekunder
10
5
Tipe jalan
Sumber:
Buku panduan klasifikasi fungsi jalan di Wilayah Pertokoan
No.010/BNKT/1990/Ditjen Bina Marga.
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-22
2.13.2 Karakteristik Parkir Data parkir yang diperoleh kemudian diolah untuk mengetahui karakterisik parkir pada suatu wilayah kajian. Karakterisitik parkir tersebut meliputi: • Pengukuran parkir, dalam hal ini volume parkir • Akumulasi parkir, jumlah kendaraan parkir di suatu tempat pada waktu tertentu • Lama waktu parkir, umumnya bervariasi berdasarkan tujuan perjalanan dan lokasi parkir.
Kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardinata Kota Bandung
II-23