BAB II DASAR TEORI
2.1
Dasar teori
2.1.1
Definisi Jalan
Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun yang
meliputi
seluruh
bagian
jalan
termasuk
bagian
pelengkap
dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, jalan khusus adalah jalan yang selain jalan yang diperuntukkan di atas, dan jalan tol adalah jalan umum yang kepada para pemakainya dikenakan kewajiban membayar tol (UU Jalan Raya No. 13 Tahun 1980) Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006). Jalan raya adalah jalur-jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran-ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat (Clarkson H. Oglesby,1999). Jalan merupakan sarana yang sangat penting bagi perkembangan suatu daerah dan negara, untuk itu keamanan, kenyamanan, dan kelayakan suatu jalan sangat penting. Dalam hal ini pemeliharaan dan peningkatan jalan merupakan suatu kegiatan yang mutlak untuk dilakukan.
5
6
2.1.2
Klasifikasi Jalan
2.1.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi jalan
a) Jalan Arteri Jalan arteri adalah jalan umum yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. b) Jalan Kolektor Jalan
kolektor
adalah
jalan
umum
yang
melayani
angkutan
pengumpul/pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan ratarata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. c) Jalan Lokal Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. d) Jalan Lingkungan Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah
2.1.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Peranan Jalan
a) Sistem Jaringan jalan Primer Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan palayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan menghubungkan semua simpul jasa yang berwujud pusatpusat kegiatan (UU No.38 Tahun 2004) 1) Jalan arteri primer adalah Jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu yang berdampingan atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua yang berada dibawah Pengaruhnya.
7
2) Jalan kolektor primer adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua yang lainnya atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga yang berada di bawah pengaruhnya 3) Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang kesatu dengan persil, kota jenjang kedua dengan persil, serta ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota yang berada di bawah pengaruhnya sampai persil b) Sistem jaringan Jalan Sekunder Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di wilayah (UU No 34 th.2004) 1) Jalan arteri sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. 2) Jalan kolektor sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan sekunder kedua yang satu dengan yang lainnya atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder ketiga. 3) Jalan lokal sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan- kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.
8
2.1.2.3 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan
Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas dan dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Klasifikasi jalan menurut Kelas Jalan
Muatan Sumbu Terberat (MST) Fungsi
Kelas
Ton
Arteri
I II IIIA IIIA
> 10 10 8
Kolektor
IIIB
8
Sumber: TPGJAK No. 038/T/BM/1997
2.1.2.4 Klasifikasi Jalan menurut Medan Jalan
Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam tabel 2.2 berikut: Tabel 2.2 No.
Klasifikasi menurut medan jalan Jenis Medan
Notasi
Kemiringan Medan (%)
1
Datar
D
<3
2
Perbukitan
B
3 – 25
3
Pegunungan
G
> 25
Sumber: TPGJAK No. 038/T/BM/1997
9
2.1.2.5 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan Jalan
Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaan jalan sesuai PP No. 26/1985 adalah: a. Jalan Nasional Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan jalan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol. b. Jalan Propinsi Merupakan
jalan
kolektor
dalam
sistem
jaringan
jalan
primer
yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. c. Jalan Kabupaten/Kotamadya Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten. d. Jalan Desa Merupakan jalan umum yang berfungsi menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan. e. Jalan Khusus Merupakan
jalan
yang
dibangun
dan
dipelihara
oleh
instansi/badan
hukum/perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing dari instansi tersebut
2.1.3
Daerah Bebas Jalan
Menurut Petunjuk Tertib Pemanfaatan Jalan No. 004/T/BNKT/1990 Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota, ruang bebas jalan dibagi menjadi :
10
2.1.3.1 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA) Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman ruang bebas tertentu yang ditetapkan oleh Pembina Jalan dan diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, pemisahan jalur, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman timbunan dan galian gorong-gorong perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya (PP No. 26/1985). Lebar Rumaja ditetapkan oleh Pembina Jalan sesuai dengan keperluannya. Tinggi minimum 5 m dan kedalaman mimimum 1,5 m diukur dari permukaan perkerasan. Tertib pemanfaatan Rumaja adalah sebagai berikut: a.
Jalur Lalu Lintas
Jalur lalu lintas pada dasarnya diperuntukkan bagi lalu lintas kendaraan. Pemanfaatan jalur lalu lintas adalah sebagai berikut: 1) Beban sumbu maksimum yang diizinkan adalah:
Sumbu tunggal dengan ban tunggal 4.500 kg.
Sumbu tunggal dengan ban dobel 8.000 kg.
Sumbu tandem/ganda dengan ban dobel 15.000 kg.
Sumbu triple dengan ban dobel 20.000 kg.
2) Kecepatan Kendaraan maksimum yang diizinkan adalah:
Pada jalan bebas hambatan 60 - 120 km/jam.
Pada jalan arteri primer 60 - 80 km/jam.
Pada jalan arteri sekunder 40 - 60 km/jam.
Pada jalan kolektor sekunder 30 - 40 km/jam.
Pada jalan lokal primer 20 - 30 km/jam.
Pada jalan sekunder 10 - 20 km/jam. 3) Pengemudi yang ingin menghentikan kendaraan sementara waktu, harus menempatkan kendaraannya sedemikian rupa tidak menghalangi arus lalu lintas dan tidak pada tempat dimana terdapat tanda larangan berhenti. Sedangkan untuk parkir kendaraan, harus dipilih bagian jalan yang sudah ditetapkan untuk parkir. 4) Pejalan kaki bila hendak menyeberang jalan harus memanfaatkan fasilitas
11
penyerangan (zebra cross, jembatan penyeberangan dan lain-lain). 5) Untuk pelayanan transportasi umum (bus kota, bus antar kota atau kendaraan umum lainnya), menaikkan atau menurunkan penumpang harus di tempat-tempat yang sudah disediakan (terminal, tempat pemberhentian sementara atau halte). Sedangkan untuk memberhentikan kendaraan untuk sementara waktu harus memilih lokasi yang disebutkan dalam point (3). 6) Pemanfaatan jalur lalu lintas oleh kendaraan
dengan beban sumbu
kendaraan melebihi ketentuan yang disebutkan dalam point (1) tidak diperkenankan. 7) Mengendarai
kendaraan
dengan
kecepatan
kendaraan
yang melebihi
ketentuan seperti yang disebutkan dalam point (2) tidak diperkenankan. 8) Kendaraan bermotor roda dua, roda tiga atau kendaraan tidak bermotor harus menggunakan jalur yang sudah disediakan. Dalam hal tidak disediakan jalur khusus, harus menggunakan bagian paling kiri dari jalur lalu lintas. 9) Hal-hal yang berkaitan dengan disiplin dan tata tertib kendaraan, harus mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UU Lalu Lintas dan Jalan Raya No. 22 Tahun 2009.
b. Bahu Jalan dan Trotoar 1) Bahu jalan diperuntukkan bagi pejalan kaki, berhenti untuk sementara akibat kondisi tertentu apabila tidak terdapat rambu larangan berhenti dan untuk
tempat
menghindar
bagi
kendaraan
saat
berpapasan.
Trotoar
diperuntukkan bagi pejalan kaki. 2) Bahu jalan atau trotoar tidak diperkenankan untuk parkir kendaraan. 3) Penempatan bangunan utilitas pada bahu jalan atau trotoar dalam sistem primer atau sistem sekunder di dalam wilayah perkotaan harus seizin Pembina Jalan dan mengikuti petunjuk teknis pemasangan utilitas. 4) Bila terdapat jalan masuk ke bangunan-bangunan atau fasilitas lainnya yang memotong
bahu
jalan/trotoar
harus
diupayakan
sedemikian
rupa
sehingga fungsi peruntukkannya tidak terhambat (sesuai buku standar trotoar)
12
c. Saluran Tepi Jalan 1) Saluran tepi jalan diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air, agar badan jalan bebas dari pengaruh air. 2) Saluran tepi jalan tidak diperkenankan dimanfaatkan selain peruntukkan seperti yang tersebut di atas termasuk pembuangan sampah atau benda lainnya yang dapat mengurangi fungsi peruntukkannya. 3) Bila saluran tepi jalan akan dimanfaatkan sebagai saluran lingkungan, maka harus mengikuti syarat yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. 4) Jalan pelintasan di atas saluran tepi jalan, harus diupayakan
tidak
mengurangi ukuran saluran d. Median dan Jalur Pemisah Median adalah sejalur lahan yang diperuntukkan untuk memisahkan jalur lalu lintas yang berlawanan arah, penempatan perlengkapan jalan, tanaman perdu yang berakar tunggang, sebagai fungsi estetika dan meredam sinar lampu kendaraan dari arah yang berlawanan.Jalur pemisah adalah sejalur lahan yang diperuntukkan untuk memisahkan jalur lalu lintas yang searah. e. Ambang Pengaman Ambang pengaman adalah sejalur lahan di sisi luar badan jalan dengan lebar ditetapkan oleh Pembina Jalan yang diperuntukkan bagi pengaman konstruksi badan jalan. 2.1.3.2 Ruang Milik Jalan (RUMIJA) Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh Pembina Jalan guna peruntukkan daerah manfaat jalan dan perlebaran jalan maupun menambahkan jalur lalu lintas dikemudian hari serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan. Lebar Rumija sekurang-kurangnya sama dengan lebar Rumaja.Tinggi atau kedalaman diukur dari permukaan jalur lalu lintas, serta penentuannya didasarkan
13
pada keamanan pemakai jalan sehubungan dengan pemanfaatan Rumija dan Rumaja ditentukan oleh Pembina Jalan (PP No. 26/1985). Tertib pemanfaatan Rumija adalah sesuai dengan tingkat pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh bangunan terhadap Rumija maka pemanfaatan Rumija diluar peruntukkannya harus mendapat izin dari Pembina Jalan.
2.1.3.3 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA) Merupakan ruang disepanjang jalan di luar Ruang Milik Jalan yang berada di bawah pengawasan penguasa jalan yang ditujukan untuk penjagaan terhadap pandangan bebas pengemudi dan untuk konstruksi jalan, dalam hal Rumija tidak mencukupi, yang ditetapkan oleh Pembina jalan (PP No. 26/1985). Daerah Pengawasan Jalan dibatasi oleh: Lebar diukur dari As Jalan. a.
Untuk Jalan Arteri Primer tidak kurang dari 20m
b.
Untuk Jalan Arteri Sekunder tidak kurang dari 20 m.
c.
Untuk Jalan Kolektor Primer tidak kurang dari 15 m.
d.
Untuk Jalan Kolektor Sekunder tidak kurang dari 7 m.
e.
Untuk Jalan Lokal Primer tidak kurang dari 10 m.
f.
Untuk Jalan Lokal Sekunder tidak kurang dari 4 m.
g.
Untuk Jembatan tidak kurang dari 100 m ke arah hulu dan hilir.
Tinggi yang diukur dari permukaan jalur lalu lintas dan penentuannya didasarkan pada keamanan pemakai jalan baik di jalan lurus, maupun di tikungan dalam hal pandangan bebas pengemudi, ditentukan oleh Pembina Jalan.
14
RUANG MILIK JALAN RUANG MANFAAT JALAN
SALURAN SAMPING
BADAN JALAN JALUR LALU LINTAS
BAHU TIDAK DIPERKERAS LAJUR LL
BAHU TIDAK DIPERKERAS
LAJUR LL
DAERAH GALIAN
DAERAH TIMBUNAN
\
LAPIS PONDASI (BASE) TALUD
TANAH DASAR
LAPIS PERMUKAAN
LAPIS PONDASI BAWAH (SUBBASE)
Gambar 2.1 Penampang Melintang Jalan 2.2
Jenis Kerusakan
Menurut Manual Pemeliharaan Jalan No. 03/MN/B/1983 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga, kerusakan jalan dapat dibedakan menjadi: 1. Retak (cracks) 2. Distorsi (distortion) 3. Cacat permukaan (disintegration) 4. Pengausan (polished agregat) 5. Kegemukan (bleeding of flushing) 6. Penururan pada bekas penambalan Untlitas.
2.2.1
Retak (cracks)
Retak yang terjadi pada permukaan jalan dapat dibedakan menjadi:
2.2.1.1 Retak Rambut (Hair Cracks) Retak rambut dapat terjadi pada alur roda atau pada permukaan lain dari permukaaan jalan. Tampak retakan tidak beraturan dan terpisah. Lebar celah lebih kecil dari atau
15
sama dengan 3 mm. Penyebabnya adalah konstuksi perkerasan tidak kuat mendukung beban lalu lintas yang ada, lapis permukaan terlalu tipis, pemilihan campuran yang terlalu kaku untuk lapis permukaan yang tipis, kelelahan lapis permukaan akibat beban lalu lintas dan umur jalan, bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil, dan stabilitas atau pemadatan lapis permukaan tidak memadai. Retak rambut ini dapat meresapkan air ke dalam lapis permukaan. Retak rambut yang tidak segera ditangani dapat berkembang menjadi retak kulit buaya (alligator crack).
2.2.1.2 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks) Retak kulit buaya berkembang dari retak rambut yang telah mengalami kerusakan yang parah akibat tidak segera dilakukannya perbaikan. Retak kulit buaya dapat terjadi pada alur roda atau pada permukaan lain dari permukaaan jalan. Tampak retakan tidak beraturan dan saling berpotongan. Lebar celah lebih besar dari atau sama dengan 3 mm. Retak kulit buaya terlihat seperti retak yang saling merangkai dan membentuk kotak-kotak yang menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan perkerasan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil atau lapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah baik). Retak kulit buaya yang luas dan sudah parah dapat berkembang menjadi lubang atau amblas.
Gambar 2.2 Retak kulit buaya (Alligator Crack)
16
2.2.1.3 Retak Pinggir (Edge Cracks) Retak pinggir adalah retak memanjang jalan dengan atau tanpa cabang yang mengarah pada bahu jalan dan terletak di dekat bahu. Retak pinggir disebabkan oleh tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase yang kurang baik, terjadinya penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi penyebab terjadinya retak pinggir ini. Di lokasi retak air dapat meresap dan dapat merusak lapis perkerasan. Retak pinggir jika dibiarkan akan berkembang menjadi lubang- lubang.
Gambar 2.3 Retak Pinggir (Edge Crack) 2.2.1.4 Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan (Edge Joint Cracks) Retak sambungan bahu dan perkerasan adalah retak memanjang yang umumnya terjadi pada sambungan bahu dengan perkerasan. Retak dapat disebabkan oleh kondisi drainase di bawah bahu jalan lebih buruk dari pada di bawah perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material bahu atau perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk/kendaraan berat di bahu jalan
17
2.2.1.5 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks)
Retak sambungan jalan adalah retak memanjang yang terjadi pada sambungan dua jalur/lajur lalu lintas. Hal ini disebabkan oleh tidak baiknya ikatan sambungan kedua jalur/lajur tersebut. Penyebab kerusakan ini adalah pemisahan sambungan (joint) antara perkerasan dengan bahu jalan akibat kembang susut dari lapisan di bawah permukaan, penurunan bahu jalan, penyusutan campuran bahan jalan atau sehubungan dengan sambungan yang dilewati truk, serta permukaan bahu lebih tinggi dari permukaan perkerasan.
2.2.2
Distorsi (Distorsion)
Distorsi atau perubahan bentuk dapat terjadi karena lemahnya tanah dasar, pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi pemadatan tambahan akibat beban lalu lintas. Sebelum dilakukan perbaikan terlebih dahulu perlu ditentukan jenis dan penyebab distorsi dengan demikian dapat dilakukan penanganan yang tepat. Distorsi dibedakan menjadi: 2.2.2.1 Alur (Ruts) Ruts terjadi pada lintasan roda sejajar pada as jalan. Alur dapat merupakan penggenangan air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan akhirnya dapat timbul retak-retak. Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang kurang padat, dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah juga dapat menimbulkan deformasi plastis. Alur juga dapat disebabkan oleh: Pengaruh kecepatan
lalu
lintas
(jumlah
kendaraan,
beban
gandar,
kendaraan). Pengaruh cuaca. Material terlepas pada musim kering dan tercampur lumpur dan lembek pada musim hujan. Gradasi bahan tidak memenuhi persyaratan.
dan
18
2.2.2.2
Bergelombang (Coguration)
Bergelombang adalah alur yang terjadi melintang jalan. Timbulnya permukaan jalan yang bergelombang ini, menyebabkan pengemudi menjadi tidak nyaman dalam berkendara. Penyebab kerusakan ini adalah rendahya stabilitas campuran yang disebabkan oleh terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk bulat dan berpermukaan penetrasi yang tinggi. Bergelombang dapat juga terjadi jika lalu lintas dibuka sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang mempergunakan aspal cair).
2.2.2.3 Sungkur (Shoving)
Sungkur terjadi akibat deformasi plastis setempat, biasanya terjadi di tempat kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikungan tajam. Kerusakan dapat terjadi dengan/tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan bergelombang.
Gambar 2.4 Sungkur (Shoving)
2.2.2.4 Amblas (Grade Depressions)
Amblas biasanya terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat diketahui dari adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan perkerasan dan menyebabkan lubang. Penyebab amblas adalah
19
adanya beban kendaraan yang melebihi dari yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement.
Gambar 2.5 Amblas (Grade Depressions) 2.2.2.5 Jembul (Upheaval)
Jembul biasanya terjadi setempat, dimana kendaraan sering berhenti, dengan atau tanpa retak. Lapis permukaan tampak menyembul ke atas permukaan dibandingkan dengan permukaan sekitarnya. Hal ini terjadi akibat adanya pengembangan tanah dasar pada tanah dasar ekspansif dan juga dipengaruhi oleh beban kendaraan yang melebihi standar.
Gambar 2.6 Jembul (Upheaval)
20
2.2.3 Cacat Permukaan (Disintegration) Cacat permukaan mengarah pada kerusakan secara kimiawi dan mekanis dari lapisan perkerasan. Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah:
2.2.3.1 Lubang (Pothole) Lubang pada permukaan dapat berupa mangkuk dengan ukuran yang bervariasi, dari kecil hingga besar. Lubang-lubang ini menampung air dan meresapkannya ke dalam lapis permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.
Lubang dapat diakibatkan oleh: a. Campuran material aspal yang jelek, seperti: 1) Kadar aspal rendah sehingga film aspal tipis dan mudah lepas. 2) Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik. 3) Temperature campuran tidak memenuhi syarat. b. Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat pengaruh cuaca. c. Sistem drainase jelek sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul dalam lapisan perkerasan. d. Retak-retak yang tidak ditangani sehingga air meresap dan mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil.
Gambar 2.7 Lubang (Pothole)
21
2.2.3.2 Pelepasan Butir (Raveling)
Pelepasan butir adalah pelepasan partikel agregat dan permukaan perkerasan yang apabila tidak diperbaiki dalam waktu yang lama, akan makin dalam. Pelepasan butir dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek yang buruk serta ditimbulkan oleh hal yang sama dengan lubang. Biasanya agregat halus (fine agregat) terlepas terlebih dahulu dan akibat erosi yang terus menerus, maka partikel-partikel yang lebih besar akan ikut terlepas dan menyebabkan permukaan menjadi kasar (rough)
2.2.3.3 Pengelupasan Lapisan (Stripping) Pengelupasan
merupakan
kerusakan
perkerasan
jalan
yang terjadi
pada
daerah yang luas menyebabkan permukaan jalan menjadi kasar. Pengelupasan dapat diakibatkan oleh kurangnya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya atau terlalu tipisnya lapis permukaan. Lepasnya material halus tidak diikuti dengan pemadatan kembali sehingga interlock antar agregat menjadi berkurang yang menyebabkan lepasnya agregat.
Gambar 2.8 Pengelupasan Lapisan (Stripping)
22
2.2.4
Pengausan (Polished Agregat)
Pengausan adalah kerusakan partikel agregat pada permukaan perkerasan yang licin atau halus (smooth). Permukaan jalan menjadi licin sehingga membahayakan kendaraan. Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan.
2.2.5
Kegemukan (Bleeding/Flussing)
Kegemukan adalah perpindahan ke atas dari aspal pada permukaan lapisan aspal sehingga membentuk lapisan aspal di atas permukaan. Biasanya terjadinya luas dan permukaan menjadi licin. Pada temperatur tinggi, aspal menjadi lunak dan akan terjadi jejak roda, hal ini membahakan kendaraan. Kegemukan dapat disebabkan pemakaian kadar aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada pakerjaan prime coat atau tack coat.
Gambar 2.9 Kegemukan (Bleeding of Flussing) 2.2.6
Penurunan Pada Bekas Utilitas (Utility Cut Depression)
Penurunan yang terjadi di bekas penanaman utilitas. Hal ini terjadi karena pemadatan yang tidak memenuhi syarat, sehingga aspal menglami depression.
23
Gambar 2.10 Penurunan Pada Bekas Utilitas (Utility Cut Depression)
2.3 Konsep Pemeliharaan Jalan Pemeliharaan jalan perlu dilakukan untuk menjaga jalan agar jalan mencapai umur/masa layan jalan yang direncanakan atau memperpanjangnya. Secara fisik pemeliharaan jalan bisa berarti suatu kesatuan kegiatan langsung untuk menjaga suatu struktur agar tetap dalam kondisi mampu melayani (Haas, 1978). Menurut NAASRA (1978), definisi pemeliharaan adalah semua jenis pekerjaan yang di butuhkan untuk menjaga dan memperbaiki jalan agar tetap dalam keadaan baik atau pekerjaan yang berkaitan dengan keduanya, sehingga mencegah kemunduran atau penurunan kualitas dengan laju perubahan pesat yang terjadi segera setelah konstruksi dilaksanakan. Aktifitas pemeliharaan jalan yang diklasifikasikan terhadap frekuensi dan efeknya terhadap jalan terlihat pada Grafik 2.6 berikut :
24
Gambar 2.11 Hubungan antara kondisi, umur, dan penanganan jalan
2.3.1
Klasifikasi Pemeliharaan Jalan
Klasifikasi pemeliharaan yang dipakai dalam Sistem Manajemen Pemeliharaan Jalan adalah sebagai berikut:
a. Pemeliharaan Rutin Merupakan pekerjaan yang skalanya cukup kecil dan dikerjakan tersebar diseluruh jaringan jalan secara rutin. Dengan pemeliharaan rutin, tingkat penurunan nilai kondisi struktural perkerasan diharapkan akan sesuai dengan kurva kecenderungan kondisi perkerasan yang diperkirakan pada tahap desain.
b. Pemeliharaan Berkala (Periodik) Pemeliharaan
berkala
(periodik)
dilakukan
dalam
selang
waktu
beberapa tahun dan diadakan menyeluruh untuk satu atau beberapa seksi
jalan
dan sifatnya hanya fungsional dan tidak meningkatkan nilai
structural perkerasan.Pemeliharaan periodik dimaksud untuk mempertahankan kondisi jalan sesuai dengan yang direncanakan selama masa layanannya.
25
d. Rekonstruksi Dalam hal perkerasan lama sudah dalam kondisi yang sangat jelek, maka lapisan tambahan tidak akan efektif dan kegiatan rekonstruksi biasanya diperlukan. Kegiatan rekonstruksi ini juga dimaksud untuk penanganan jalan yang berakibat meningkatkan kelasnya.
2.3.2
Klasifikasi Jalan dan Tingkat Pelayanan
Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat pelayanan, ditentukan sebagai berikut (Dinas Bina Marga, 2003) adalah:
a. Jalan dengan Tingkat Pelayanan Mantap Merupakan
ruas-ruas jalan dengan umur rencana yang dapat diperhitungkan
serta mengikuti suatu standar perencanaan teknis. Termasuk kedalam tingkat pelayanan mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi baik dan sedang.
b. Jalan Tidak Mantap Merupakan
ruas-ruas jalan
yang
dalam
kenyataan
sehari-hari
masih
berfungsi melayani lalu lintas, tetapi tidak dapat diperhitungkan umur rencananya
serta tidak mengikuti standar perencanaan teknik. Termasuk
kedalam tingkat pelayanan tidak mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi rusak ringan.
c. Jalan kritis Merupakan ruas-ruas jalan sudah tidak dapat lagi berfungsi melayani lalu lintas atau dalam keadaan putus. Termasuk kedalam tingkat pelayanan kritis adalah jalan-jalan dengan kondisi rusak berat.
2.3.3
Klasifikasi Jalan dan Tingkat Kondisi Jalan
Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat kondisi jalan adalah sebagai berikut (Dinas Bina Marga, 2003):
a. Jalan Dalam Kondisi Baik Merupakan jalan dengan permukaan yang benar-benar rata, tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan permukaan jalan.
26
b. Jalan Dalam Kondisi Sedang Merupakan jalan dengan kerataan permukaan perkerasan sedang, tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan.
c. Jalan Dalam Kondisi Rusak Ringan Merupakan jalan dengan permukaan sudah mulai bergelombang, mulai ada kerusakan permukaan dan penambalan.
d. Jalan Dalam Kondisi Rusak Berat Merupakan jalan dengan permukaan perkerasan sudah banyak kerusakan seperti bergelombang, retak-retak kulit buaya dan terkelupas yang cukup besar, disertai kerusakan pondasi seperti amblas, dan sebagainya.
2.3.4
Drainase Jalan
Drainase adalah prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan ke badan air dan atau ke bangunan resapan buatan. Drainase jalan sangat penting untuk memelihara perkerasan jalan.
Jalan yang baik maka harus
dilengkapi dengan sistem drainase yang baik. Sistem drainase yang baik akan memperpanjang masa layan jalan. Drainase jalan dibedakan menjadi dua yaitu drainase permukaan dan drainase bawah permukaan. Drainase permukaan berfungsi untuk mengalirkan air dari permukaan perkerasan ke arah drainase yang dibuat di samping- samping perkerasan,sedangkan drainase bawah perkerasan berfungasi untuk mencegah masuknya air ke dalam struktur jalan dam mengeluarkan air dari struktur jalan. Jalan yang baik memiliki kualitas drainase yang baik. Tabel 2.3
Kualitas drainase Kualitas Drainase
Air Hilang Dalam Waktu
Baik sekali
2 jam
Baik
1 hari
Sedang
1 minggu
Jelek
1 bulan
Buruk
Tidak mengalir sama sekali
27
Kualitas drainase yang buruk akan menyebabkan pengurangan masa layan jalan sehingga jalan yang seharusnya berumur panjang menjadi berumur pendek. Keberadaan air sangat berpengaruh pada perkerasan, antara lain:
1) Air menyebabkan perbedaan peranan pada tanah yang bergelombang. 2) Air
menurunkan
kekuatan
material
butiran
lepas
dan
tanah
subgrade yang bila ditambah dengan dengan volume lalu lintas truk berat yang membawa muatan berlebih merupakan kombinasi yang fatal bagi perkerasan jalan. 3) Air menyebabkan penyedotan (pumping) pada perkerasan beton yang dapat menyebabkan keretakan dan kerusakan pada bahu jalan. 4) Dengan
adanya
tekanan
hidrodinamik
yang
tinggi
akibat
pergerakan kendaraan menyebabkan penyedotan material halus pada lapisan dasar perkerasan sehingga menyebabakan berkurangnya daya dukung.
2.4
Perencanaan Tebal Perkerasan
Dalam usaha melakukan pemeliharaan dan peningkatan pelayanan jalan, diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah-daerah yang mengalami kerusakan atau daerah-daerah yang sudah tidak memenuhi standar pelayanan jalan yang baik. Data-data yang diperlukan dalam perencanaan lapisan tambahan ini hampir sama dengan data-data
yang diperlukan untuk merencanakan jalan baru.
Namun, perlu dilakukan survey terhadap lapisan permukaan yang telah ada sebelumnya seperti struktur perkerasan, tebal perkerasan, lapis pondasi, lapis bawah pondasi, sehingga dapat mengetahui kekuatan jalan yang telah ada. drainase bawah permukaan. Drainase permukaan berfungsi untuk mengalirkan air dari permukaan perkerasan ke arah drainase yang dibuat di samping-samping perkerasan,sedangkan drainase bawah perkerasan berfungasi untuk mencegah masuknya air ke dalam struktur jalan dam mengeluarkan air dari struktur jalan. Jalan yang baik memiliki kualitas drainase yang baik.
28
Lapisan perkerasan jalan pada umumnya meliputi: 1. Lapis podasi bawah (Sub base course) 2. Lapis pondasi (Base course) 3. Lapis permukaan (Surface course) Surface course Base course Sub base course
Gambar 2.12 Susunan lapis perkersan jalan Rumus untuk merencanakan tebal perkerasan adalah: D1 = Δ itp /
a1 ……………………………………………………….. ( 2.1 )
Keterangan : D1
: tebal lapis perkerasan
a1
: koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan
ΔITP
: indeks tebal perkerasan
Dalam merencanaan tebal perkerasan metode yang digunakan adalah Metode Analisa Komponen (Bina Marga). Parameter dalam perencanaan lapis tambahan adalah sebagai berikut:
2.4.1
Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar (DDT)
Daya dukung tanah dapat diperoleh dari korelasi antara nilai CBR tanah dasar dengan nilai DDT itu sendiri. Nilai CBR dapat diperoleh dengan uji CBR tanah. Harga CBR disini adalah harga CBR lapangan.
29
Grafik 2.1
Korelasi DDT dan CBR
Catatan: Hubungan nilai CBR dengan garis mendatar ke sebelah kiri diperoleh nilai DDT. Nilai CBR tanah dasar juga dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan: DDT = 1,6649 + 4,3592log CBR……………………………………………. ( 2. 2 ) Dengan : DDT = Nilai daya dukung tanah CBR = nilai CBR tanah dasar
2.4.2
Menentukan umur rencana (UR)
Umur rencana jalan adalah waktu yang ditentukan dari jalan mulai dibuka (mulai digunakan) sampai jalan perlu dilakukan perbaikan (overlay). Dalam perencanaan jalan umumnya UR yang digunakan umumnya adalah 10 tahun.
30
2.4.3
Menentukan Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (i %)
Fakor pertumbuhan lau lintas ditentukan untuk umur rencana jalan yang telah ditentukan. Penentuan
didasarkan pada tingkat pertumbuhan lalu lintas dalam
waktu 1 tahun.
2.4.4
Menentukan Tingkat Lalu Lintas Harian Rara-Rata (LHR)
Penentuan tingkat lalu lintas harian rata-rata untuk setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yaitu dengan menghitung jumlah kendaraan yang lewat, dihitung untuk dua arah pada ruas jalan yang berbeda. LHR didefinisikan sebagai volume lalu lintas yang menyatakan jumlah lalu lintas selam 24 jam yang dinyatakan dalam satuan smp (satuan mobil penumpang). 2.4.5
Menentukan Angka Ekivalen masing-masing Kendaraan
Angka ekivalen kendaraan berhubungan dengan jumlah lintas yang dilakukan kendaraan terhadap suatu perkerasan jalan yaitu jumlah repetasi beban yang ditanggung suatu jalan pada saat tersibuk atau volume kendaraan tertinggi.
a. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) Merupakan lintas ekivalen
pada awal umur rencana atau pada saat jalan baru
dibuka. LEP adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb) pada lajur rencana yang diduga terjadi pada awal umur rencana. LEP Dihitung dengan rumus : ……………………………………… ( 2.3 )
LEP = Dengan :
UR = Umur rencana j
= Jenis kendaraan
C
= Koefisien distribusi kendaraan
E
= Angka ekivalen
n
= Jumlah tahun dari saat pengambilan data sampai jalan dibuka
31
Tabel 2.4
Koefisien distribusi kendaraan (C)
Jumlah Lajur
Kendaraan Ringan
Kendaraan Berat
1 arah
2 arah
1 arah
2 arah
1 Lajur
1,00
1,00
1,00
1,000
2 Lajur
0,60
0,50
0,70
0,500
3 Lajur
0,40
0,40
0,50
0,475
4 Lajur
-
0,30
-
0,450
5 Jalur
-
0,25
-
0,425
6 Lajur Sumber: SNI 03-1732-1989
0,20
-
0,400
b. Lintas Ekivalen Akhir (LEA) Merupakan lintas ekivalen pada akhir umur rencana atau pada saat jalan tersebut perlu diperbaiki. LEA dihitung dengan rumus: LEA = (LEP ( 1 + i ) UR …………………………………………………….(2.4) LEP = Lintas ekivalen permulaaan UR = Umur rencana j
= Jenis kendaraan
i
= Perkembangan lalu lintas
c. Lintas Ekivalen Tengah (LET) Merupakan jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb) pada lajur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan umur rencana. LET Dihitung dengan rumus : ……………………………………………………………..(2.5) d. Lintas Ekivalen Rencana (LER) Merupakan besarnya nilai lintas ekivalen yang akan terjadi atau yang direncanakan pada awal umur rencana hingga akhir umur rencana jalan.
32
LER dihitung dengan rumus : …………………………………………………………… (2.6)
2.4.6
Menentukan Faktor Regional (FR)
Hal-hal yang mempengaruhi nilai FR antara lain adalah: 1. permeabilitas tanah 2. kelengkapan drainase 3. bentuk alinyemen 4. presentase kendaraan yang ada 5. keadaan iklim yang mencakup curah hujan rata-rata pertahun.
Tabel 2.5
Fakor regional (FR)
Iklim I
Kelandaian I
Kelandaian II
Kelandaian III
(<6%)
(>6 – 10%)
(>10%)
% kendaraan berat
% kendaraan berat
% kendaraan berat
≤ 30%
> 30%
≤ 30%
> 30%
≤ 30%
> 30%
0,5
1,0 – 1,5
1,0
1,5 – 2,0
1,5
2,0 – 2,5
1,5
2,0 – 2,5
2,0
2,5 – 3,0
2,5
3,0 – 3,5
< 900 mm/th Iklim II > 900 mm/th
Sumber: SNI 03.1732.1989
33
2.4.7 Menentukan Indeks Permukaan (IP) Nilai indeks permukaan dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Menentukan Indeks Permukaan Awal (IPo) Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo), perlu diperhatikan
jenis
lapis
permukaan
jalan
(kerataan/kehalusan
serta
kekokohan) pada awal umur rencana, menurut table di bawah ini: Tabel 2.6
Indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo)
Jenis lapis perkerasan
IPo
Roughness (mm/km)
LASTON
≥4
≤ 1000
3,9 – 3,5
> 1000
3,9 – 3,5
≤ 2000
3,4 – 3,0
> 2000
3,9 – 3,5
≤ 2000
3,4 – 3,0
> 2000
BURDA
3,9 – 3,5
≤ 2000
BURTU
3,4 – 3,0
< 2000
LAPEN
3,4 – 3,0
≤ 3000
2,9 – 2,5
< 3000
LASBUTAG
HRA
LATASBUM
2,9 – 2,5
BURAS
2,9 – 2,5
LATASIR
2,9 – 2,5
JALAN TANAH
≤ 2,4
JALAN LERIKIL
≤ 2,4
Sumber: SNI 03.1732.1989
Indeks permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.
34
b. Menentukan Indeks Permukaan Akhir (IPt) Merupakan nilai indeks permukaan pada akhir umur rencana atau akhir masa layan jalan. Ipt menunjukkan tingkat kerusakan yang diijinkan pada akhir umur rencana. Dalam menentukan IPt perlu dipertimbangkan faktor-faktor
klasifikasi
fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER) menurut tabel di bawah ini. Beberapa nilai IPt dan artinya adalah sebagai berikut: IP = 1,0 : menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan yang lewat. IP = 1,5 : tingkat pelayanan yang rendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus). IP = 2,0 : tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap. IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil yang baik. Tabel 2.7
Indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt) Klasifikasi jalan
LER lokal
kolektor
arteri
tol
< 10
1,0 – 1,5
1,5
1,5 – 2,0
-
10 – 100
1,5
1,5 – 2,0
2,0
-
100 – 1000
1,5 – 2,0
2,0
2,0 – 2,5
-
> 1000
-
2,0 – 2,5
2,5
2,5
Sumber: SNI 03.1732.1989
2.4.8
Mencari Nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
Indeks tebal perkerasan (ITP) adalah angka yang berhubungan dengan penentuan tebal minimum tiap lapis di suatu jalan. Jalan yang memakai perkerasan lentur memiliki 3 lapisan utama yaitu lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah. Tiap lapisan memiliki nilai minimum untuk untuk indeks tebal perkerasan yang diambil dari nomogram ITP berdasarkan hubungan DDT, LER, dan FR.
35
ITP = a1.D1 +a2.D2 + a3.D3
(2.7)
Dengan: a1,a2,a3
= koefisien kekuatan relatif
D1,D2,D3
= tebal masing-masing perkerasan
Tabel 2.8
Penentuan nomogram ITP IPt
IPo
Nomogram ITP
1
2,4
9
1
2,5 – 2,9
8
1,5
2,5 – 2,9
7
1,5
3,5 – 3,9
6
1,5
2,5 – 3,9
5
2
3,5 – 3,9
4
2
3,5 – 3,9
4
2
4
3
2,5
3,5 – 3,9
2
2,5
4
1
Sumber: SNI 03.1732.1989
Sumber: SNI 03-1732-1989
Grafik 2.2
Nomogram 4 ITP
36
2.4.9
Angka Ekivalen Beban Gandar Pada Sumbu Kendaraan
Untuk menghitung angka Ekivalen kendaraan menggunakan rumus :
Sumbu tunggal roda tunggal ………………………………… (2.8)
Sumbu tunggal roda ganda ……………………………….... (2.9)
Sumbu dua roda ganda ……………………….. (2.10)
Sumbu triple roda ganda ……………………….. (2.11)
Sumber : Manual perkerasan jalan dengan alat bankelman beam No 01/MN/BM/83
37
Tabel 2.9
Konfigurasi beban sumbu
GOLONGAN
KONFIGURASI
Kendaraan Ringan 2 ton
Bus 9 Ton
Truk ringan 2 sumbu
Truk sedang 2 sumbu
Truk 3 sumbu 25Ton Truk gandeng 31,4 ton Truk semi trailer 3 sumbu 42 ton
Sumber : Manual perkerasan jalan dengan alat bankelman beam No 01/MN/BM/83
38
2.5
Metode Pavement Conditons Index (PCI)
PCI adalah sistem penilaian kondisi perkerasan jalan berdasarkan jenis, tingkat dan luas kerusakan yang terjadi, dan dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai PCI ini memiliki rentang 0 – 100 dengan kriteria baik (good), memuaskan (sarisfactory), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor), serius (serious) dan gagal (failed) (Shahin 1996) Dalam survey ini, cara untuk mengukur kerusakan adalah dengan menandai daerah yang rusak dengan cat atau kapur untuk menandai batas-batas pengukuran dengan membuat garis segiempat ± 10 cm dari daerah kerusakan. Data-data dari survey kerusakan jalan kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas kerusakan sebagai berikut :
2.5.1
Deformasi
Deformasi adalah perubahan permukaan jalan dari profil aslinya sesudah pembangunan). Deformasi merupakan kerusakan penting dari perkerasan penting dari kondisi perkerasan karena berpengaruh dengan kualitas pelayanan kendaraan dalam berlau lintas. Beberapa tipe deformasi dalam perkerasan lentur adalah:
2.5.1.1 Alur (Rutting) Alur adalah deformasi permukaan perkerasan aspal dalam bentuk turunnya perkerasan ke arah memanjang pada lintasan roda kendaraan. Alur dapat diketahui setelah turunnya hujan yaitu dengan terisinya retakan oleh air. Alur disebabkan oleh deformasi permanen di permukaan aspal, biasanya disebabkan oleh konsolidasi atau pergerakan lateral akibat beban kendaraaan. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:
39
Tabel 2.10 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan alur Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan
L
Kedalaman alur rata-rata 6 – 13 mm (¼ - ½ in.)
M
Kedalaman alur rata-rata 13 – 25 mm (½ - 1 in.)
H
Kedalaman alur rata-rata 25 mm (1 in.)
Sumber: Shahin, 1996
2.5.1.2 Bergelombang (Corrugation) Bergelombang atau keriting adalah kerusakan yang diakibatkan oleh terjadinya deformasi plastis yang menghasilkan gelombang-gelombang melintang atau tegak lurus arah perkerasan aspal. Bergelombang juga disebabkan oleh aktifitas kendaraan dan juga lapis permukaan yang tidak stabil. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.11
Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
bergelombang (Corrugation).
Tingkat Kerusakan L
M
H Sumber: Shahin, 1996
Identifikasi Kerusakan Bergelombang
mengakibatkan
sedikit
gangguan
cukup
gangguan
banyak
gangguan
kenyamanan kendaraan. Bergelombang
mengakibatkan
kenyamanan kendaraan. Bergelombang
mengakibatkan
kenyamanan kendaraan.
40
2.5.1.3 Sungkur (Shoving) Sungkur adalah perpindahan permanen secara lokal dan memanjang dari permukaan perkerasan yang disebabkan oleh beban lalu lintas. Kerusakan ini biasanya hanya terjadi pada campuran aspal yang tidak stabil (cutback atau emulsion).
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.12
Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
sungkur (Shoving).
Tingkat Kerusakan
L
M
H
Identifikasi Kerusakan Sungkur mengakibatkan sedikit gangguan kenyamanan kendaraan. Sungkur mengakibatkan cukup gangguan kenyamanan kendaraan. Sungkur
mengakibatkan
banyak
gangguan
kenyamanan kendaraan.
Sumber: Shahin, 1996
2.5.1.4 Amblas (Depression) Amblas adalah penurunan permukaan perkerasan yang terjadi pada area terbatas yang mungkin dapat diikuti dengan retakan. Sekilas amblas tidak diketahui sampai terjadi hujan dan air menggenang. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:
41
Tabel 2.13 Tingkat kerusakan kerusakan amblas (Depression).
perkerasan
Tingkat Kerusakan
aspal
dan
identifikasi
Identifikasi Kerusakan
L
Kedalaman amblas rata-rata 13 – 25 mm (½ - 1 in.)
M
Kedalaman amblas rata-rata 25– 50 mm (1 – 2 in.)
H
Kedalaman amblas rata-rata >50 mm (2 in.)
Sumber: Shahin, 1996
2.5.1.5 Mengembang (Swell) Mengembang adalah gerakan ke atas dari lapisan perkerasan yang terjadi secara lokal akibat pengembangan atau pembekuan air dari tengah atau dari bagian struktur perkerasan. Mengembang bisa juga disertai dengan retakan. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.14
Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
mengembang (Swell). Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan Pengembangan
L
mengakibatkan
sedikit
gangguan
kenyamanan kendaraan. Kerusakan ini sulit dilihat, tapi dapat dideteksi dengan kendaraan cepat. Gerakan keatas akan terasa jika melewati jalan yang mengembang.
M
H Sumber: Shahin, 1996
Pengembangan
mengakibatkan
cukup
gangguan
banyak
gangguan
kenyamanan kendaraan. Pengembangan
mengakibatkan
kenyamanan kendaraan.
42
2.5.1.6 Benjol dan Turun (Bump and Sags) Benjol adalah pergerakan atau perpindahan ke atas yang bersifat lokal dan kecil dari permukaan aspal. Benjol berbeda dengan sungkur. Sungkur diakibatkan oleh perkerasan yang tidak stabil, sedangkan benjol diakibatkan oleh bererapa faktor antara lain pembekuan es yang mengumpul, infiltrasi dan keluarnya material pada retakan dengan dipengaruhi oleh beban kendaraan. Turun (sags) pergerakan atau perpindahan ke bawah yang bersifat lokal dan kecil dari permukaan aspal. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.15
Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan benjol
dan turun (Bump and Slags). Tingkat Kerusakan
L
M
H
Identifikasi Kerusakan Benjol dan melengkung mengakibatkan sedikit gangguan kenyamanan kendaraan. Benjol dan melengkung mengakibatkan cukup gangguan kenyamanan kendaraan. Benjol
dan
melengkung
mengakibatkan
banyak
gangguan kenyamanan kendaraan.
Sumber: Shahin, 1996
2.5.2
Retak (Crack)
Retak dapat terjadi dalam berbagai bentuk.
Hal ini dapat disebabkan oleh
berbagai faktor dan melibatkan mekanisme yang kompleks. Secara teoritis, retak dapat terjadi bila tegangan tarik yang terjadi pada lapisan aspal melampaui tegangan tarik maksimum
yang dapat ditahan oleh perkerasan tarik tersebut.
Beberapa tipe retak perkerasan lentur adalah:
43
2.5.2.1 Retak Kulit Buaya (Alligator Crack) Retak kulit buaya adalah retak yang berbentuk sebuah jaringan dari bidang yang bersegi banyak (polygon) kecil-kecil menyerupai kulit buaya dengan lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.16 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak kulit buaya (Alligator Crack).
Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan Halus, retak rambut/halus memanjang sejajar satu dengan
L
yang lain, dengan atau tanpa berhubungan satu sama lain. Retakan tidak mengalami gompal. Ringan retak kulit buaya ringan terus berkembang ke
M
dalam pola atau jaringan retakan yang diikuti gompal ringan. Jaringan atau pola retak telah berlanjut, sehingga
H
pecahan-pecahan dapat diketahui dengan mudah dan terjadi gompal di pinggir. Beberapa pecahan mengalami rocking akibat lalu lintas.
Sumber: Shahin, 1996
2.5.2.2 Retak Memanjang dan Melintang
Retak memanjang adalah retak yang terjadi secara memanjang pada perkerasan jalan, dapat terjadi dalam bentuk tunggal atau berderet yang sejajar dan kadangkadang sedikit bercabang. Retak melintang adalah retak tungal (tidak bersambungan satu sama lain) yang melintang perkerasan.
44
Tingkat
kerusakan
perkerasan
untuk
hitungan
PCI
dan
identifikasi
ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.17 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak memanjang dan melintang (longitudinal and tranversal crack). Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
L
1. Retak tak terisi, lebar 10 mm (3/8 in.) 2. Retak terisi, sembarang lebar (Pengisi kondisi bagus). Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Retak tak terisi, lebar 10 - 75 mm (3/8 - 3 in.) 2. Retak terisi sembarang lebar sampai 75 mm (3 in)
M
dikelilingi retak acak ringan. 3. Retak terisi sembarang lebar, dikelilingi retak agak acak. Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Sembarang retak terisi atau tak terisi dikelilingi oleh retak acak, kerusakan sedang sampai tinggi.
H
2. Retak tak terisi >75 mm (3 in.) 3. Retak sembarang lebar >100 mm (4 in.) dengan disekitar retakan mengalami pecah.
Sumber: Shahin, 1996
2.5.2.3 Retak Reflektif Sambungan (Joint Reflection Crack) Retak reflektif sambungan berasal dari pelat beton sement portland, PCC, perkerasan aspal yang telah dihamparkan pada permukaan perkerasan beton semen portland. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:
45
Tabel 2.18
Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak
refleksi sambungan (Joint Reflection Crack).
Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
L
1. Retak tak terisi, lebar 10 mm (3/8 in.) 2. Retak terisi, sembarang lebar (Pengisi kondisi bagus). Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Retak tak terisi, lebar 10 - 75 mm (3/8 - 3 in.)
M
2. Retak terisi sembarang lebar sampai 75 mm (3 in.) dikelilingi retak acak ringan. 3. Retak terisi sembarang lebar, dikelilingi retak acak ringan Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Sembarang retak terisi atau tak terisi dikelilingi oleh retak acak, kerusakan sedang atau tinggi.
H
2. Retak tak terisi >75 mm (3 in.) 3. Retak sembarang lebar >100 mm (4 in.), dengan beberapa inci disekitar retakan, pecah (retak berat menjadi pecahan).
Sumber: Shahin, 1996
2.5.2.4 Retak Blok (Block Crack) Retak blok berbentuk blok-blok besar yang saling bersambungan dengan ukuran sisi blok 0,30 m sampai dengan 3 m dan dapat membentuk sudut atau pojok yang tajam.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:
46
Tabel 2.19
Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak
blok (Block Crack). Tingkat Kerusakan
L
M
H
Identifikasi Kerusakan Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan rendah. Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan sedang. Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan tinggi.
Sumber: Shahin, 1996
2.5.2.5 Retak Slip (Slippage Crack) Retak slip atau retak bulan sabit diakibatkan oleh gaya-gaya horizontal yang berasal dari kendaraan.
Kerusakan ini
biasanya terjadi pada overlaping
yaitu
ketika lapisan permukaan dan lapisan di bawahnya tidak merekat secara sempurna. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.20 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak slip (Slippage Crack) /retak bulan sabit (Crescent Shape Crack). Tingkat Kerusakan L
Identifikasi Kerusakan Retak rata-rata lebar < 10 mm (3/8 in.). Satu dari kondisi berikut yang terjadi:
M
1. Retak rata-rata 10 – 40 mm (3/8 – 1,5 in.). 2. Area disekitar retakan pecah ke dalam pecahanpecahan terikat.
47
Satu dari kondisi berikut yang terjadi: H
1. Retak rata-rata > 40 mm ( ½ in.). 2. Area disekitar retakan pecah ke dalam pecahanpecahan mudah terbongkar.
Sumber: Shahin, 1996
2.5.3
Kerusakan di Pinggir Perkerasan
Kerusakan di pinggir perkerasan adalah retak yang terjadi di sepanjang pertemuan antara permukaan perkerasan aspal dan bahu jalan, apalagi bahu jalan tidak ditutup (unsealed). Beberapa tipe kerusakan di pinggir perkerasan lentur adalah:
2.5.3.1 Retak Tepi (Edge Cracking) Retak tepi perkerasan adalah retak yang terjadi sejajar dengan pinggir perkerasan dan berjarak sekitar 30 – 50 cm
dari pinggir perkerasan. Kerusakan ini
diakibatkan oleh beban lalu lintas dan lemahnya tanah dasar atau lapis pondasi dekat ujung perkerasan. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:
Tabel 2.21 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak pinggir (Edge Cracking). Tingkat Kerusakan
L
M
H Sumber: Shahin, 1996
Identifikasi Kerusakan Retak sedikit sampai sedang dengan atau tanpa pacahan atau butiran lepas. Retak sedang dengan beberapa pecahan dan butiran lepas. Banyak pecahan atau butiran lepas di depanjang tepi perkerasan.
48
2.5.3.2 Jalur/Bahu turun (Lane/Shoulder Drop-off) Jalur/bahu jalan turun adalah beda elevasi antara pinggir perkerasan dan bahu jalan. Kerusakan ini diakibatkan oleh erosi bahu jalan atau pergerakan bahu jalan. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.22
Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
jalur/bahu turun (Lane/Shoulder Drop-off).
Tingkat Kerusakan
L
Identifikasi Kerusakan Beda elevasi antara pinggir perkerasan dan bahu jalan 25 – 50 mm (1–2 in).
M
Beda elevasi > 50 – 10 mm (2 – 4 in).
H
Beda elevasi > 10 mm (4 in).
Sumber: Shahin, 1996
2.5.4
Kerusakan Tekstur Perkerasan
Kerusakan tekstur permukaan adalah kehilangan material perkerasan secara berangsur-angsur dari lapisan perkerasan ke arah bawah. Beberapa tipe kerusakan tekstur permukaan perkerasan lentur adalah:
2.5.4.1 Lubang (Pothole) Lubang adalah lekukan permukaan perkerasan akibat hilangnya lapisan aus dan material lapis pondasi (base). Kerusakan berbentuk lubang kecil biasanya berdiameter kurang dari <750 mm (30 in.) dan berbentuk mangkuk yang dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan permukaan lainnya. Lubang biasanya terjadi akibat galian utilitas atau tambalan di area perkerasan yang telah ada atau akibat retak kulit buaya yang parah.
49
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.23
Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
lubang (Pothole). Diameter rata-rata lubang Kedalaman maksimum
102 -203 mm
203 – 457 mm
457 – 762 mm
12,7 – 25,4 mm (½ -1 in)
L
L
M
25,4– 50,8 mm (1 – 2 in)
L
M
H
>50,8 mm (2 in)
M
M
H
Sumber: Shahin, 1996
2.5.4.2 Pelapukan dan Butiran Lepas (Weathering and Raveling) Pelapukan dan pelepasan butir adalah disintegrasi permukaan perkerasan aspal melalui perkerasan partikel agregat yang berkelanjutan, berawal dari permukaan perkerasan menuju ke bawah atau dari pinggir ke dalam. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:
50
Tabel 2.24
Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
pelapukan dan butiran lepas (Weathering and Raveling). Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan Agregat bahan pengikat mulai lepas. Di beberapa
L
tempat, permukaan mulai berlubang. Jika ada tumpahan oli, genangan oli dapat terlihat tapi permukaanya keras dan tidak dapat di tembus dengan mata uang logam. Agregat
M
atau
pengikat
telah
lepas.
Tekstur
permukaan agak kasar dan berlubang. Jika ada tumpahan oli, permukaanya
akan lunak dan dapat
ditembus dengan mata uang logam. Agregat atau pengikat telah banyak lepas. Tekstur permkaan
sangat
kasar
dan
mengakibatkan
banyak lubang. Diameter luasan lubang <10 mm (4 in) H
dan kedalaman 13 mm (½ in). Luas lubang lebih besar dari ukuran ini, dihitung sebagai kerusakan lubang (pothole). Jika ada oli
permukaannya lunak, pengikat
aspal telah hilanng ikatannya sehingga agregat menjadi Sumber: Shahin, 1996
2.5.5
Kegemukan (Bleeding/Flussing)
Kegemukan adalah hasil dari pemakaian aspal pengikat yang berlebihan dan bermigrasi ke atas permukaan. Kelebihan kadar aspal atau terlalu rendahnya kadar udara dalam campuran, dapat mengakibatkan kegemukan. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:
51
Tabel 2.25
Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan
kegemukan (Bleeding/Flussing). Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan Kegemukan
L
terjadi
hanya
pada
derajat
rendah
dan nampak hanya beberapa hari dalam setahun. Aspal tidak melekat pada sepatu atau roda kendaraan. Kegemukan telah mengakibatkan aspal melekat pada
M
sepatu atau roda kendaraan, paling tidak dalam beberapa minggu dalam setahun. Kegemukan telah begitu nyata dan banyak aspal yang
H
melekat pada sepatu atau roda kendaraan, paling tidak dalam beberapa minggu dalam setahun.
Sumber: Shahin, 1996
2.5.6
Agregat Licin (Polished Agregate)
Agregat licin adalah licinnya permukaan atau perkerasan akibat ausnya agregat di permukaan
akibat
adanya
kendaraan
yang
lewat
secara
berulang-ulang.
Kerusakan ini dapat diketahui dengan menghitung nilai skid resistant.
Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.26 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan agregat licin (Polished Agregate).
Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan Tidak ada definisi derajat kerusakan. Tetapi derajat kelicinan harus Nampak signifikan, sebelum dilibatkan dalam survey kondisi dan dinilai sebagai kerusakan.
Sumber: Shahin, 1996
52
2.5.7 Tambalan dan Tambalan Galian Utilitas (Patching and Utility Cut Patching) Tambalan
(Patch) adalah
penutupan
bagian
perkerasan
yang mengalami
perbaikan. Tambalan tetap akan mempengaruhi pengendara, karena performa tambalan tidak akan sama dengan kondisi jalan yang sebenarnya. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:
Tabel 2.27 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi Tambalan dan Tambalan Galian Utilitas (Patching and Utility Cut Patching)
Tingkat Kerusakan
Identifikasi Kerusakan Tambalan dalam kondisi baik dan memuaskan.
L
Kenyamanan kendaraan dinilai terganggu sedikit atau lebih baik.
M
H
Tambalan sedikit rusak dan atau kenyamanan kendaraan agak terganggu. Tambalan sangat rusak dan/atau kenyamanan kendaraan sangat terganggu.
Sumber: Shahin, 1996
2.5.8
Persilangan Jalan Rel (Railroad Crossing)
Kerusakan pada persilangan jalan rel dapat berupa amblas atau benjola di sekitar dan atau lintasan rel. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalam tabel berikut:
53
Tabel 2.28 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan Persilangan Jalan Rel (Railroad Crossing) .Tingkat Kerusakan L
M
H
Identifikasi Kerusakan Persilangan jalan rel menyebabkan sedikit gangguan kenyamanan kendaraan. Persilangan jalan rel menyebabkan cukup gangguan kenyamanan kendaraan. Persilangan jalan rel menyebabkan gangguan besar kenyamanan kendaraan.
Sumber: Shahin, 1996
2.5.9
Kadar Kerusakan (Density)
Density atau kadar kerusakan adalah persentasi luasan dari suatu jenis kerusakan terhadap luasan suatu unit segmen yang diukur dalam meter persegi atau meter panjang. Nilai density suatu jenis kerusakan juga dibedakan berdasarkan tingkat kerusakan.
Densitas di dapat dari luas kerusan dibagi dengan luas perkerasan jalan (tiap segmen kemudian dikalikan 100 %.Rumus selengkapnya adalah sebagai berikut :
…………………………………………….. (2.12) Dengan: Ad
= Luas total jenis kerusakan untuk tiap tingkat kerusakan (m2)
As
= Luas total unit segmen (m2)
Sumber: Shahin, 1996
54
2.5.10
Nilai Pengurangan Deduct Value (DV)
Deduct value adalah nilai pengurangan untuk tiap jenis kerusakan yang diperoleh dari kurva hubungan antara density dan deduct value. Deduct value juga dibedakan atas tingkat jenis kerusakan. Adapun untuk mencari DV adalah engan memasukkan presentase densitas pada grafik masing-masing jenis kerusakan kemudian menarik garis vertikal sampai memotong tingkat kerusakan (low, medium, high), selanjutnya pada perpotongan tersebut ditarik garis horizontal dan akan didapat DV.
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.3
Deduct Value for Rutting
55
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.4
Deduct Value for Corrugation
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.5
Deduct Value for Shoving
56
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.6
Deduct Value for Depression
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.7
Deduct Value for Swell
57
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.8
Deduct Value for Bump and Sag
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.9
Deduct Value for Aligator Cracking
58
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.10 Deduct Value for Longitudinal/Tranversal Cracking
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.11 Deduct Value for Joint Reflection Cracking
59
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.12 Deduct Value for Block Cracking
Sumber: Shahin,1996
Grafik 2.13 Deduct Value for Slippage Craking
60
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.14 Deduct Value for Edge Cracking
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.15 Deduct Value for Lane/Shoulfer Drop Off
61
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.16 Deduct Value for Pothole
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.17 Deduct Value for Weathering and Raveling
62
Sumber: Shahin,M.Y 1996
Grafik 2.18 Deduct Value for Polished Aggregate
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.19 Deduct Value for Bleeding
63
Sumber: Shahin,M.Y 1996
Grafik 2.20 Deduct Value for Patching & Utility Cut Patching
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.21 Deduct Value for Rairoad Crossing
64
2.5.11
Total Deduct Value (TDV)
Adalah nilai total deduct value untuk tiap jenis kerusakan dan tingkat kerusakan pada suatu segmen yang ditinjau.
2.5.12
Corrected Deduct Value (CDV)
Corrected deduct value diperoleh dari kurva hubungan antara nilai TDV dengan nilai CDV Diurutkan dari dnilai Deduct Values dari yang terbesar tiap segmen dengan langkah sebagai berikut :
Menjumlahkan Nilai DV ( TDV )
Mencari Nilai Q ( Nilai DV yang lebih dari koef. Aspal ( 2 )
Mencari hubungan antara TDV dan Q dengan Grafik 2.22
Mengganti Nilai DV yang kebih dari 2 dengan koef. Aspal ( 2 ) & mencari dengan Grafik 2.22 lagi sampai diperoleh Nilai Q = 1.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui Individu Kerusakan yang terjadi pada suatu segmen
Sumber: Shahin, 1996
Grafik 2.22 Corrected Deduct Value (CDV)
65
2.5.13
Nilai Kondisi Perkerasan (PCI)
Jika nilai CDV diketahui, maka nilai PCI untuk tiap unit dapat diketahui dengan rumus: PCI = 100 – CDV Maks………………………………………………(2.13)
Dengan : PCI(s) = Pavement Condition Index untuk tiap unit CDV = Corrected Deduct Value untuk tiap unit 2.5.14
Klasifikasi Kualitas Kerusakan
Dari nilai PCI masing-masing unit penelitian dapat diketahui kualitas lapis perkerasan untuk unit segmen berdasarkan kondisi tertentu yaitu baik (good), memuaskan (sarisfactory), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor), serius (serious) dan gagal (failed). (Shahin 1996) Untuk mengetahui nilai kondisi perkerasan keseluruhan (pada ruas jalan yang ditunjau) adalah dengan menjumlahkan semua nilai kondisi perkerasan pada tiaptiap segmen dan membaginya dengan total jumlah segmen. rumus yang dipakai adalah sebagai berikut :
……………………………………………………………. (2.14) Dengan: PCI
= Nilai PCI perkerasan keseluruhan
PCI(s) = Pavement Condition Index untuk tiap unit n
= Jumlah unit
66
Rata-rata PCI yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam parameter seperti nampak pada gambar di bawah ini
Sumber: Shahin, 1996
Gambar 2.13 Nilai Kondisi Perkerasan (PCI) dan Tingkat Kerusakan 2.6
Jenis Pemeliharaan Berdasarkan Nilai PCI
Setelah diketahui nilai kondisi perkerasan berdasarkan hasil dari perhitungan nilai PCI, maka selanjutnya dapat dilanjutkan dengan menentukan jenis pemeliharaan atau perawatan terhadap perkerasan jalan tersebut. Dalam menentukan jenis pemeliharaan nilai kondisi perkerasan ini disesuaikan dengan standar bina marga sehingga didapatkan nilai kondisi jalan.
67
Tabel 2.29 Nilai Kondisi Jalan Penilaian
Rating
Nilai
86 – 100
Good
3
71 – 85
Satisfactory
4
56 – 70
Fair
5
41 – 55
Poor
6
26 – 40
Very Poor
7
11 – 25
Serious
8
0 – 10
Failed
9
Sumber: Shahin, 1994
2.7
Metode Perbaikan
Metode perbaikan standar Dirjen Bina Marga tahun 1995 : 2.7.1
Metode Perbaikan P1 (Penebaran Pasir)
a. Jenis kerusakan 1) Lokasi kegemukan aspal terutama pada tikungan dan tanjakan. b. Langkah penanganan 1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi. 2. Memberikan tanda pada jalan yang akan diperbaiki. 3. Membersihkan daerah dengan air compressor. 4. Menebarkan pasir kasar atau agregat halus dengan tebal > 10 mm di atas permukaan yang rusak. 5. Melakukan pemadatan dengan pemadat ringan (berat 1 – 2 ton) sampai diperoleh permukaan yang rata dan mempunyai kepadatan optimal yaitu mencapai 95 6. Membersihkan tempat pekerjaan dari sisa bahan dan alat pengaman. 7. Demobilitas.
68
2.7.2
Metode Perbaikan P2 (Laburan Aspal Setempat)
a. Jenis kerusakan 1. Kerusakan tepi bahu jalan beraspal. 2. Retak kulit buaya dengan lebar < 2 mm. 3. Retak melintang, retak diagonal, dan retak memanjang dengan lebar retak < 2mm. 4. Terkelupas b. Langkah penanganan 1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi. 2. Memberikan tanda pasa jalan yang akan diperbaiki. 3. Membersihkan daerah dengan air compressor. 4. Menebarkan pasir kasar atau agregat halus dengan tebal 5 mm di atas permukaan yang rusak hingga rata. 5. Melakukan pemadatan dengan mesin pneumatic sampai diperoleh permukaan yang rata dan mempunyai kepadatan optimal yaitu mencapai 95 %. 6. Membersihkan tempat pekerjaan dari sisa bahan dan alat pengaman. 7. Demobilitas.
2.7.3
Metode Perbaikan P3 (Melapisi Retak)
a. Jenis kerusakan Lokasi-lokasi retak satu arah dengan lebar retakan < 3 mm. b. Langkah penanganan 1. Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi. 2. Memberikan tanda pasa jalan yang akan diperbaiki. 3. Membersihkan daerah dengan air compressor.
69
4. Membuat campuran aspal emulsi dan pasir kasar dengan menggunakan Concrete Mixer dengan komposisi sebagai berikut :
Pasir 20 Liter
aspal emulsi 6 Liter
5. Menyemprotkan tack coat
dengan aspal emulsi jenis RC (0,2 lt/m2)
di daerah yang akan diperbaiki. 6. Menebarkan dan meratakan campuran aspak di atas permukaan yang terkena kerusakan hingga rata. 7. Melakukan kepadatan ringan (1 – 2 ton) sampai diperoleh permukaan yang rata dan mempunyai kepadatan optimal yaitu mencapai 95 %. 8. Membersihkan tempat pekerjaan dari sisa bahan dan alat pengaman. 9. Demobilitas
2.7.4 a.
Metode Perbaikan P4 (Pengisian Retak) Jenis kerusakan
Lokasi-lokasi retak satu arah dengan lebar retak < 3 mm. b.
Langkah penanganan 1)
Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.
2)
Memberikan tanda pasa jalan yang akan diperbaiki.
3)
Membersihkan daerah dengan air compressor.
4)
Mengisi retakan dengan dengan aspal tack back (2 lt/m2) menggunakan aspal spayer.
5)
Menebarkan pasir kasar atau agregat halus dengan tebal > 10 mm di atas permukaan yang rusak.
6)
Melakukan pemadatan dengan baby roller minimal 3 lintasan.
7)
Mengangkat kembali rambu pengaman dan beersihkan lokasi dari sisa bahan. Demobilitas
8)
70
2.7.5
Metode Perbaikan P5 (Penambalan Lubang)
a. Jenis kerusakan 1)
Lubang dengan kedalaman > 50 mm.
2)
Retak kulit buaya ukuran > 3 mm.
3)
Bergelombang dengan kedalaman > 30 mm.
4)
Alur dengan kedalaman > 30 mm.
5)
Amblas dengan kedalaman > 50 mm.
6)
Kerusakan tepi perkerasan jalan.
b. Langkah penanganan 1)
Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi.
2)
Memberikan tanda pada jalan yang akan diperbaiki.
3)
Menggali material sampai mencapai material di bawahnya (biasanya kedalaman pekerjaan jalan 150 – 200 mm, harus diperbaiki).
4)
Membersihkan daerah yang diperbaiki dengan air compressor.
5)
Memeriksa kadar air optimum material pekerjaan jalan yang ada. Jika kering tambahkan air hingga keadaan optimum. Jika basah gali material dan biarkan sampai kering.
6)
Memadatkan dasar galian dengan menggunakan pemadat tangan
7) Mengisi galian dengan bahan pondasi agregat yaitu kelas A atau kelas B (tebal maksimum 15 cm), kemudian padatkan dalam keadaan kadar optimum air sampai kepadatan maksimum. 8) Menyemprotkan lapis serap ikat (pengikat) prime coat jenis RS dengan takaran 0,5 lt/m2. Untuk Cut Back jenis MC-30 atau 0,8 lt/ m2 untuk aspal emulsi. 9)
Mengaduk
agregat
untuk
campuran
dingin
dalam
Concrete
Mixer dengan perbandingan agregat kasar dan halus 1,5 : 1. 10) Kapasitas maksimum aspalt mixer kira-kira 0,1 m3. Untuk campuran dingin tambahkan semua agregat 0,1 m3 sebelum aspal. 11) Menambahkan aspal dan aduk selama 4 menit siapkan campuran
71
aspal dingin secukupnya untuk keseuruhan dari pekerjaan ini. 12) Menebarkan dan padatkan campuran aspal dingin dengan tebal maksimum 40 mm sampai diperoleh permukaan yang rata dengan menggunakan alat perata. 14) Memadatkan dengan Baby Roller minimum 5 lintasan, tambahkan material jika diperlukan. 15) Membersihkan lapangan dan periksa peralatan dengan permukaan yang ada. 16) Mengangkat kenbali rambu pengaman dan bersihkan lokasi dari sisa material. 17) Demobilitas.
2.7.6
Metode Perbaikan P6 (Perataan)
a.
Jenis kerusakan
1)
Lubang dengan kedalaman < 50 mm.
2)
Bergelombang dengan kedalaman < 30 mm.
3)
Lokaisi penurunan dengan kedalaman < 50 mm.
4)
Alur dengan kedalaman < 30 mm.
5)
Jembul dengan kedalaman < 50 mm.
6)
Kerusakan tepi perkerasan jalan.
b.
Langkah penanganan
1) Memobilisasi peralatan, pekerja, dan material ke lokasi. 2) Memberikan tanda pada jalan yang akan diperbaiki. 3) Membersihkan daerah yang diperbaiki dengan air compressor. 4)
Menyemprotkan tack coat dari jenis RS pada daerah kerusakan 0,5 lt/m2 untuk aspal emulsi atau 0,2 lt/m2 untuk cut back dengan aspalt ketlle / kaleng berlubang.
5)
Mengaduk agregat untuk campuran dingin dengan perbandingan 1,5 agregat kasar : 1,0 agregat halus.
6) Kapasitas maksimum mixer kira-kira 0,1 m3. Untuk campuran dingin
72
tambahkan agregat 0,1 m3 sebelum aspal. 7) Menambahkan material aspal dan aduk selama 4 menit. Siapkan campuran aspal dingin kelas A, kelas C, kelas E, atau campuran aspal beton secukupnya sampai pekerjaan selesai. 8) Menghamparkan campuran aspal dingin pada permukaan yang telah ditandai, sampai ketebalan diatas permukaan minimum 10 mm. 9) Memadatkan dengan Baby Roller (minimum 5 lintasan) sampai diperoleh dan kepadatan optimum. 10) Membersihkan lapangan dan angkat kembali rambu pengaman. 11) Demobilitas.