BAB I PENDAHULUAN Transfusi darah merupakan suatu rangkaian proses pemindahan darah dari satu individu (donor) ke dalam sirkulasi darah individu lain (resipien) sebagai upaya pengobatan, dimana penggunaannya dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat kesehatan. Jutaan transfusi darah dilakukan setiap tahun di seluruh dunia. Sebuah Dilaporkan transfusi darah telah terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari 35% menjadi 45%. Sebuah penelitian meta analisis (2012) menunjukkan transfusi restriktif dapat menurunkan angka kematian dan infeksi post operasi.1,2,3 Sehubungan dengan asal-usul historisnya, praktek ini dimulai pada abad ke-17 oleh seorang dokter Inggris bernama William Harvey. Pada 1665, Richard Lower untuk pertama kalinya melaporkan keberhasilan transfusi pada binatang. Sedangkan transfusi pertama pada manusia dari binatang dilakukan pada tahun berikutnya oleh Jean Baptiste Denis, seorang dokter Perancis. Pada tahun yang sama, Lower mentransfusikan darah dari anak domba ke dalam aliran darah seorang pendeta bernama Arthur Coga. Namun, praktek ini kemudian ditinggalkan selama ratusan tahun.2 Transfusi pertama antara manusia berhasil dilakukan pada tahun 1818 oleh James Blundell, seorang dokter Inggris. Pada tahun 1901, Landsteiner menemukan golongan darah sistem ABO dan kemudian pada tahun 1939 sistem antigen Rh (rhesus) ditemukan oleh Levine dan Stetson. Kedua sistem ini menjadi dasar penting bagi transfusi darah modern. Sekitar tahun 1937 dimulailah sistem pengorganisasian bank darah yang terus berkembang hingga saat kini.2,4 Era transfusi darah modern dimulai bertepatan dengan Perang Dunia II dimana kebutuhan akan penggantian darah secara masif meningkat. Namun transfusi bukanlah tanpa risiko, efek samping transfusi (reaksi transfusi) tetap mungkin terjadi. Setengah abad terakhir pencegahan akan reaksi transfusi seperti hepatitis serta munculnya beberapa patogen baru, terutama HIV, mulai dilakukan. Walaupun tes skrining spesifik dan intervensi lainnya telah diminimalkan, tapi tidak menghilangkan penularan penyakit menular. Bahaya transfusi lainnya juga 1
bertahan, termasuk terjadinya transfusi darah yang tidak cocok, reaksi transfusi hemolitik akut maupun yang tertunda, Transfusion-Related Acute Lung Injury (TRALI), Transfusion Related-Graft versus Host Disease (TA-GVHD), dan Transfusion-related Immunomodulator (TRIM).1,5,6 World Health Organization (WHO) Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi dunia berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor yang aman, sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara berkembang hanya 20% memakai darah donor yang aman.5 Haslina (2012) melaporkan terjadi 213 kasus reaksi transfusi dalam jangka waktu 3 tahun di Malaysia. Dengan insiden sebesar 1 pada 433 unit transfusi atau 0,23% dari total komponen darah yang ditransfusikan. Sedangkan di Amerika Serikat, US Food and Drug Administration Center (FDA) melaporkan pada tahun 2011 terjadi 30 kematian terkait transfusi.7,8 Dalam
rangka
meminimalkan
risiko
transfusi,
WHO
telah
mengembangkan strategi untuk transfusi darah yang aman. Pada tahun 1998 WHO mengeluarkan rekomendasi “Developing a National Policy and Guidelines on the Clinical Use of Blood”. Strategi tersebut terdiri dari pelayanan transfusi darah yang terkoordinasi secara nasional, pengumpulan darah hanya dari donor sukarela dari populasi risiko rendah, pelaksanaan skrining terhadap semua darah donor dari penyebab infeksi (seperti HIV, virus hepatitis, sifilis dan lainnya), serta pelayanan laboratorium yang baik di semua aspek. Dalam hal ini termasuk golongan darah, uji kompatibilitas, persiapan komponen, penyimpanan dan transportasi darah/komponen darah.5 Oleh karena itu, untuk menghindari risiko transfusi darah yang tidak perlu dapat dikurangi dengan menentukan indikasi transfusi darah dan komponen darah yang tepat, dan alternatif transfusi. Sehingga dalam meningkatkan keamanan dan kualitas transfusi darah, dibutuhkan pemahaman tentang transfusi darah dan komponennya.
2
BAB II DARAH DAN KOMPONEN
Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam sistem kardiovaskular, tersusun dari komponen korpuskuler atau seluler, dan komponen non korpuskuler atau non seluler. Darah berfungsi sebagai organ transportasi (dilakukan oleh hemoglobin didalam sel darah merah), sebagai organ pertahanan tubuh/imunologik (dilakukan oleh leukosit dan immunoglobulin) dan dalam menghentikan perdarahan/ mekanisme homeostasis (dilakukan oleh mekanisme fibrinolisis). Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun karena penyakit yang didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan penggantian dengan transfusi darah. Penggunaan darah untuk transfusi dilakukan secara rasional dan efisien yaitu dengan memberikan hanya komponen darah yang dibutuhkan. Hal ini didasarkan bahwa darah terdiri dari bermacam-macam elemen selular dan protein plasma dengan fungsi yang berbeda-beda.9 2.1. Golongan Darah Sejak ditemukan sistem ABO oleh Landsteiner pada tahun 1900 hingga saat ini, menurut International Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 33 sistem golongan dan lebih dari 300 antigen golongan darah yang telah diidentifikasi. Dua yang paling penting dalam praktek klinis adalah ABO dan sistem Rh.9,12 Dalam pelaksanaan transfusi darah, aspek yang paling penting adalah produk darah yang cocok antara donor dan resipien untuk menghindari reaksi transfusi yang merugikan. Ada 3 persyaratan utama yang harus dipenuhi yaitu
3
sistem ABO, sistem Rhesus dan screening untuk setiap antibodi dalam sampel resipien yang mungkin terjadi reaksi silang dengan sampel antigen donor.1 A. Sistem ABO Sistem ABO adalah sistem golongan darah sel darah merah pertama yang diidentifikasi, yang memberikan hadiah Nobel untuk Landsteiner. Landsteiner mengamati reaksi aglutinasi dengan mencampur berbagai kombinasi sel dan serum.14 Terdapat empat golongan darah utama: A, B, AB dan O. Frekuensi kelompok ABO bervariasi pada populasi etnis yang berbeda. Tergantung pada kelompok ABO, individu menghasilkan anti-A atau anti-B antibodi pada awal kehidupan, terutama imunoglobulin M (IgM) dan dapat dengan cepat menyerang dan menghancurkan sel-sel yang tidak kompatibel dengan aktivasi komplemen jalur penuh, sehingga terjadi hemolisis intravaskular (hemolitik akut reaksi).10,13,15 Tabel 2.1. Golongan darah berdasarkan sistem ABO13 Golongan Antigen di RBC Antibodi dalam plasma A Antigen A Anti-B B
Antigen B
Anti-A
AB
Antigen A & B
Tidak ada
O
Tidak ada
Anti- A & B
B. Sistem Rhesus Ada lima antigen Rh utama di sel darah merah yang dapat positif atau negatif: C / c, D dan E / e. RhD adalah yang paling penting dalam praktek klinis. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai antigen D. Individu yang kekurangan alel ini disebut Rh-Negative dan biasanya antibodi akan melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positif) transfusi sebelumnya atau kehamilan (seorang Ibu Rh-Negatif melahirkan bayi RhPositif).10,14
4
Tabel 2.2. Golongan darah berdasarkan sistem Rhesus15 Anti Rh (D) Kontrol Rh Tipe Rh Positif
Negatif
D+
Negatif
Negatif
D-(d)
Positif
Positif
Harus diulang dengan Rh(D) typing
2.2. Uji Kompabilitas Uji kompabilitas digunakan untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigen-antibodi sebagai hasil transfusi darah. Donor dan resipien darah harus di periksa adanya antibodi yang tidak baik. A. Crossmatch Crossmatch dilakukan dengan cara sel donor dicampur dengan serum resipien. Crossmatch mempunyai tiga fungsi yaitu mengkonfirmasi jenis ABO dan Rh (kurang dari 5 menit), mendeteksi antibodi pada golongan darah lain, dan mendeteksi antibodi dengan titer rendah atau tanpa titer sehingga mudah terjadi aglutinasi. Reaksi transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan inkompatibilitas ABO. British Committee for Standart in Haematology (BCSH) guideline (2012) merekomendasikan untuk dilakukan tes ABO pada setiap pasien.10 Darah pasien juga diuji dengan antibodi anti-D untuk menentukan Rh. Jika hasilnya adalah Rh-Negatif, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan mencampur serum pasien dengan darah Rh (+). Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-70%. B. Screening Antibody Tujuan tes ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Tes ini (dikenal juga Coombs Tes tidak langsung) memerlukan waktu 45 menit, dengan 5
mencampur serum pasien dengan sel darah dari antigen yang dikenal, jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah dilapisi, dan terjadi penambahan suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel darah. Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk resipien sebagai ganti dari crossmatch. 2.3. Komponen Darah Komponen darah adalah bagian darah yang dipisahkan secara fisik atau mekanik, misalnya dengan cara sentrifugasi. Adapun macam-macam komponen darah adalah sebagai berikut9:
A.
Selular
Sel darah merah pekat (packed red blood cell)
Trombosit (platelets)
Granulosit feresis (granulocytes pheresis)
Non Selular
Plasma segar beku (fresh frozen plasma)
Kriopresipitat (cryoprecipitate)
Darah lengkap (whole blood) Darah lengkap terdiri dari sel darah merah, leukosit, trombosit dan plasma. Satu unit darah lengkap berisi 450 ml darah dan 63 ml antikoagulan. Namun di Indonesia satu unit darah berisi 250 ml darah dengan 37 ml antikoagulan atau 350 ml darah dengan 49 ml antikoagulan. Pemberian darah lengkap tergantung pada keadaan klinis pasien. 6,15 Menurut WHO dalam The clinical use of blood, darah lengkap diindikasikan pada keadaan perdarahan akut dengan hipovolemik, transfusi 6
tukar dan pada pasien yang membutuhkan transfusi sel darah merah di mana sel darah merah konsentrat atau suspensi tidak tersedia.Sedangkan menurut Djoerban Z, pemberian darah lengkap pada keadaan perdarahan akut dengan hipovolemik tidak menjadi pilihan utama. Pemulihan segera volume darah pasien jauh lebih penting dari pada penggantian sel darah merah, sedangkan menyiapkan darah untuk transfusi memerlukan waktu. Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang bertujuan meningkatkan sel darah merah.6,15 Pada orang dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl atau hematokrit 3-4%. Saat ini pemberian darah lengkap bukan menjadi pilihan, karena risiko yang dapat terjadi lebih tinggi daripada pemberian transfusi komponen darah, terutama penularan infeksi. Untuk menghindari hal tersebut pemberian sebaiknya menggunakan filter darah dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis pasien, namun sebaiknya dalam 4 jam.15 B. Sel darah merah pekat (packed red blood cell/PRC) Sel darah merah pekat (packed red blood cell/PRC) berisi eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma, dengan nilai hematokrit 55-75%. Dalam satu unit sel darah merah diperkirakan volume 150-300 ml dengan massa PRC 100-200 ml.6 Transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, sehingga batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima. Transfusi dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
7
Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah keadaan klinis, tanda dan gejala hipoksia, kehilangan darah, risiko anemia karena penyakit yang diderita oleh pasien dan risiko transfusi. Faktor spesifik yang perlu menjadi pertimbangan transfusi adalah riwayat menderita penyakit kardiopulmonal, dimana transfusi diberikan pada batas kadar Hb yang lebih tinggi. Kondisi kardiovaskuler pasien menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan transfusi. Sesuai dengan systematic review oleh Carson et al (2012) yang menunjukkan pentingnya transfusi restriktif pada pasien tanpa penyakit kardiovaskuler yang serius. Satu unit PRC diberikan kepada orang dewasa rata-rata akan meningkatkan hemoglobin dengan sekitar 1 g/dL dan hematokrit sekitar 3%.18,19 Cochrane systematic review pada tahun 2011, menyimpulkan dari 19 penelitian dengan 6264 pasien bahwa transfusi darah restriktif pada pasien dengan kadar hemoglobin (Hb) 7-8 mg/dL menunjukkan klinis yang sama dengan transfusi restriktif pada kadar Hb 9-10 mg/dL. Hal ini sesuai dengan penelitian The Transfusion Requirement in Critical Care (TRICC) yang lebih dahulu dilakukan pada tahun 1999, yaitu tidak terdapat perbedaan tingkat kematian dalam 30 hari pada pasien rawatan intensive care yang ditransfusi dengan kisaran Hb 7-9 mg/dL dibandingkan dengan kisaran Hb 10-12 mg/dL. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mudumbai (2011), dimana pasien dengan kadar hematokrit < 25% tanpa transfusi dihubungkan dengan tingkat kematian jangka panjang.7,20 Pada tahun 2012 American Association of Blood Banks (AABB) merilis pedoman praktek klinis untuk transfusi PRC berdasarkan penelaahan sistematis beberapa uji klinis acak. AABB merekomendasikan bahwa di rumah sakit, pasien stabil dengan ambang batas 7 sampai 8 g/dL harus dilakukan transfusi. Sedangkan pasien dengan penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya dengan ambang batas 8 g/dL atau kurang, dan transfusi dilakukan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Secara garis besar hal ini sesuai dengan beberapa pedoman terdahulu dimana kisaran kadar Hb antara 7-8 g/dL (Tabel 2.3).19
8
Tabel 2.3. Pedoman transfusi sel darah merah menurut beberapa organisasi7
Packed red blood cell yang disentrifugasi, dan dicuci (antibodi, protein serum seperti IgA, solusi aditif, peningkatan kadar elektrolit-khususnya kalium, metabolit lain selular atau sitokin) selanjutnya dengan larutan isotonik pada + 4 ° C. Pada akhir prosedur, setiap unit harus mengandung minimal 40 g Hb dan tidak lebih dari 0,3 g protein. Produk harus disimpan pada + 4°C (± 2°C) dalam waktu singkat, tidak lebih dari 24 jam.Komponen darah ini dikenal dengan washed red cell (WRC).21,22 Washed red cell dapat diindikasikan untuk neonatus yang menjalani transfusi tukar/transfusi masif, transfusi intrauterin, pasien dengan anti-IgA atau pasien dengan defisiensi IgA dengan sejarah reaksi alergi yang parah ketika sel darah merah dari donor kekurangan IgA tidak tersedia dan pasien dengan riwayat reaksi parah pada komponen darah (tidak responsif terhadap premedikasi).21
9
C. Trombosit Trombosit dapat diperoleh dengan cara sentrifugasi darah lengkap (Whole blood) atau dengan cara tromboferesis. Satu unit trombosit yang berasal dari 450 ml darah lengkap berisi sekitar 5,5x10 10 trombosit dengan volume ±50 ml. Sedangkan secara tromboferesis satu donor berisi sekitar 3x1011 trombosit, setara dengan 6 unit trombosit dengan volume antara 150400 ml.15 Transfusi trombosit dapat diindikasikan baik sebagai profilaksis untuk mengurangi risiko perdarahan atau sebagai terapi untuk mengontrol perdarahan pada pasien dengan trombositopenia. Namun transfusi trombosit tidak diindikasikan untuk pasien dengan autoimun trombositopenia purpura (ITP), dan trombotik trombositopenia purpura (TTP).6,15,18 Pedoman awal pada perkembangan transfusi trombosit di tahun 1980an dan 1990-an merekomendasikan transfusi trombosit untuk pasien tanpa perdarahan
dengan
kadar
trombosit
20.000/mm3,
karena
dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan. Namun beberapa penelitian dipopulasi lain menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan risiko perdarahan antara kadar trombosit 10.000/mm3 dan 20.000/mm3. Sedangkan Slighter SJ (2010) yang menyimpulkan bahwa dosis trombosit tidak berefek pada kejadian perdarahan.7, 18 Dibutuhkan 6 unit trombosit atau 1 unit apheresis untuk menaikkan sekitar 40.000-60.000/L. Sama halnya dengan transfusi PRC, hingga saat ini sudah terdapat beberapa pedoman dalam transfusi trombosit, yang pada umumnya merekomendasikan kadar trombosit 10x109/L sebagai indikasi untuk transfusi trombosit profilaksis (tabel 2.4). Namun menurut survey (Estcourt) pada tahun 2012 di Inggris, 34% transfusi trombosit profilaksis tidak sesuai dengan pedoman dan 10% diberikan dengan dosis ganda. Hal ini disebabkan karena bukti terbaru dari ambang dan dosis transfusi trombosit yang tepat, tidak jelas. Sedangkan kepentingan transfusi trombosit sebagai profilaksis dapat terlihat dari penelitian Stanworth S (2013) bahwa 10
insiden perdarahan berkurang pada pasien dengan transfusi trombosit sebagai profilaksis, dari 50% menjadi 43%.7,23
Tabel 2.4. Pedoman transfusi trombosit sebagai profilaksis7
D. Granulosit feresis (granulocytes pheresis) Granulosit diperoleh dengan cara sitaferesis dari donor tunggal, yang berisi granulosit, limfosit, trombosit dan sedikit plasma. Setiap unit berisi sekitar 1.0x1010 granulosit, dengan volume 200-300 ml.15 Transfusi granulosit diindikasikan sebagai terapi suportif pada pasien dengan neutropenia yang mengancam jiwa disebabkan oleh kegagalan sumsum tulang atau pada pasien dengan disfungsi neutrofil. Infeksi bakteri dan jamur terus menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien neutropenia parah yang menjalani rejimen kemoterapi agresif atau transplantasi sel induk hematopoietik. Sejak dulu terapi transfusi granulosit mengobati infeksi dan beberapa studi terkontrol telah menunjukkan terapi ini berguna. Namun, terapi transfusi granulosit secara klinis tidak mengesankan. Hasil ini mengecewakan, karena dosis rendah dari granulosit yang
tersedia. Penelitian yang lebih baru telah berusaha untuk
meningkatkan jumlah sel yang ditransfusikan dengan merangsang donor granulosit normal dengan granulocyte colony-stimulating factor atau G-CSF (dengan atau tanpa kortikosteroid). Dengan teknik ini, jumlah granulosit ditransfusikan dapat meningkat 3-4 kali lipat. Transfusi sehari mampu mempertahankan jumlah neutrofil darah normal atau mendekati normal 11
pada pasien yang sebelumnya sangat neutropenia. Sel-sel berfungsi secara normal in vitro dan in vivo.24 Transfusi diberikan menggunakan saringan darah standar dan sistem ABO–nya harus cocok dengan darah pasien. Hingga saat ini belum ada konsensus mengenai dosis efektif yang ditetapkan, namun menurut Massey E bersama The Granulocyte Working Group (2012), dosis harian sekitar 2 x 1010 sel dianggap memberikan hasil klinis yang bermakna.15 E. Plasma segar beku (fresh frozen plasma/FFP) Plasma segar beku (fresh frozen plasma/FFP) berisi plasma, semua faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen dan protein plasma. FFP dipisahkan dari darah lengkap lalu dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah dan lalu disimpan pada suhu -18ºC atau lebih rendah dengan masa simpan 1 tahun, dengan volume 200-250 ml.15 Plasma segar beku digunakan untuk gangguan/defisiensi faktor pembekuan terkait dengan perdarahan parah dan/atau dengan koagulopati intravascular, pada penggantian faktor koagulasi plasma labil selama transfusi masif, bypass jantung, penyakit hati akut atau disseminated intravascular coagulation (DIC) dengan adanya perdarahan dan koagulasi abnormal, kasus-kasus overdosis warfarin dengan keadaan perdarahan yang mengancam jiwa, dan pada thrombotic thrombositopenia purpura (TTP). FFP tidak digunakan untuk mempertahankan ekspansi volume karena risiko penularan yang tinggi.18,25 Produk ini diberikan dalam 6 jam setelah pencairan, dengan memakai saringan standar. Plasma harus cocok dengan sistem ABO dan tidak perlu uji silang. Pemberian plasma sebagai pengganti faktor koagulasi dengan dosis 10-20 ml/kgBB dapat meningkatkan faktor koagulasi sebesar 20-30% dan faktor VIII 2%.6,18 Stanworth (2004) dan Yang L (2012) menunjukkan kurangnya bukti tentang efektivitas plasma, dimana tidak terdapat bukti yang konsisten akan 12
keuntungan dari kegunaan profilaksis dan terapeutik pada banyak manifestasi klinik. Namun walaupun tidak terdapat bukti yang konsisten, penggunaan plasma meningkat pada tahun 2011-2013. Pada tahun 2011 di Inggris 43% transfusi FFP diberikan untuk profilaksis pada gangguan faktor koagulasi.26 F. Kriopresipitat (Crioprecipitated) Biasa disebut cryoprecipitated antihemophilic factor. Didapatkan dengan mencairkan FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150-300 mg fibrinogen, 80-100 IU faktor VIII, 40-70% faktor vWF (von Willebrand factor), 20-30% faktor XIII, fibronektin, dan 5-20 mL plasma.6,15,17 Indikasi untuk penggunaan kriopresipitat telah berubah sejak beberapa dekade yang lalu. Pada pertengahan tahun 1960-an, kriopresipitat awalnya dikembangkan untuk memberikan faktor VIII pada pasien dengan defisiensi faktor VIII kongenital. Penggunaan ini kemudian diperluas untuk pengobatan pasien dengan Penyakit von Willebrand (VWD) dan hipofibrinogenemia dengan beberapa manfaat. Saat ini, indikasi yang paling umum pada pasien dengan hipofibrinogenemia didapat dan perdarahan untuk meningkatkan nilai fibrinogen serum.27 Produk yang diberikan harus cocok dengan sistem ABO, tidak perlu uji silang dan diberikan dengan saringan standar. Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland (AAGBI) Guidelines – Blood Transfusion and the
Anaesthetist:
Management
of
Massive
Haemorrhage
(2010)
menyarankan dosis 30 - 60 mg/kgBB untuk kadar fibrinogen dengan nilai target fibrinogen lebih dari 1,5 g/L namun tidak ada aturan dosis kriopresipitat yang direkomendasikan. Sedangkan European Guidelines (2010) merekomendasikan dosis kriopresipitat 15-20 unit atau 50 mg/kg untuk rata-rata dewasa (70 kg).27
13
BAB III TRANSFUSI DARAH
3.1. Definisi Transfusi darah merupakan pemberian darah atau komponen darah dari donor ke resipien, dengan tujuan terapeutik, dimana dapat menjadi penyelamat nyawa tapi dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi.1,9 Menurut Shubha Allard (2013), istilah transfusi darah mengacu pada penggunaan terapi darah utuh atau komponen-komponennya (sel darah merah, trombosit, plasma beku segar dan kriopresipitat).10 3.2. Epidemiologi World Health Organization melaporkan setiap tahunnya lebih dari 9 juta transfusi darah yang dilakukan di lebih dari 47.000 rumah sakit di seluruh dunia. Di Indonesia, PMI (2008) melaporkan 1.283.582 transfusi dilakukan. Pada tahun 2009 Healthcare Cost and Utilization Project (HCUP) melaporkan 3 juta komponen darah ditransfusikan di Inggris, dimana transfusi dilakukan pada lebih dari 10% pasien rawat inap. Sedangkan Morton (2010) di Amerika Serikat melaporkan transfusi darah dilakukan pada 5,8% pasien rawat inap. Pada tahun 2013, US Red Cross melaporkan lebih dari 30 juta komponen darah ditransfusikan.2,7 Stanford University Medical Center menunjukkan di Amerika Serikat secara keseluruhan terjadi peningkatan transfusi darah dari tahun 2006 hingga 2009, namun setelah diterapkannya peningkatan kewaspadaan (Best Practice Alert/ BPA) pada Juli 2010, terjadi penurunan hingga tahun 2012. Hal serupa terjadi di Inggris (Bowden M, NHS Blood and Transplant) dimana terjadi peningkatan pada tahun 2008-2009 dan menurun pada 2012-2013.7
14
3.3. Komplikasi Transfusi darah dapat menyelamatkan nyawa dalam banyak situasi, tapi bukan berarti tidak bebas risiko. Walaupun jarang terjadi, transfusi darah dapat mengancam jiwa. Menurut Kleinman S (2014) di Amerika Serikat, tingkat kematian jangka panjang setelah transfusi sekitar 31% di tahun pertama, 14% pada tahun kedua, dan 10% per tahun dalam beberapa tahun setelah transfusi. Sedangkan tingkat kematian jangka pendek setelah transfusi sekitar 1-1,2 per 100.000 pasien yang menerima transfusi. Jumlah ini sekitar 35 kematian terkait transfusi per tahun di Amerika Serikat. Namun pada tahun 2011, di Amerika Serikat dilaporkan 43% kematian dan 25% di Inggris yang secara pasti dikaitkan dengan transfusi.7,16 Sejak berdirinya French haemovigilance network pada tahun 1949 dan Serious Hazards of Transfusion (SHOT) di Inggris pada tahun 1996, TRALI telah menjadi penyebab paling umum kematian dan morbiditas terkait dengan transfusi. Hal ini sesuai FDA yang melaporkan bahwa antara 2007 dan 2011 di Amerika Serikat, TRALI merupakan penyebab kematian tertinggi pada kematian terkait transfusi (43%), diikuti oleh reaksi transfusi hemolitik (23%) disebabkan inkompatibilitas non-ABO (13%) atau inkompatibilitas ABO (10%).7 Secara garis besar, komplikasi transfusi dapat dibagi 2, yaitu: infeksi dan non infeksi.11 3.3.1. Infeksi Saat ini komplikasi transfusi infeksi jarang terjadi karena kemajuan dalam proses penyaringan darah, risiko tertular infeksi dari transfusi telah menurun 10.000 kali lipat sejak tahun 1980-an. Namun, belum ada kemajuan dalam mencegah bahaya serius dari komplikasi transfusi infeksi.28 Dari semua komplikasi infeksi, hepatitis B merupakan infeksi yang paling sering terjadi. Di Inggris, dari semua darah donor yang dilakukan skrining, pada tahun 2008-2010 ditemukan virus hepatitis B dengan insiden 1 dari 1 juta donor.8 Sesuai dengan penelitian Hendrickson (2009) dimana hepatitis B merupakan komplikasi infeksi tersering (tabel 3.1).28
15
Tabel 3.1. Komplikasi infeksi transfusi darah28
A. Hepatitis Hepatitis pasca transfusi adalah penyakit yang paling umum ditularkan melalui darah transfusi. Hepatitis pasca transfusi dapat disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), cytomegalovirus (CMV), atau Epstein-Barr virus (EBV) atau dapat didefinisikan sebagai non-A, non-B, non-C, yang berarti hepatitis karena tidak ada agen yang tercantum di atas.29 Di masa lalu, hepatitis B adalah komplikasi utama dari transfusi darah. Penelitian tentang HBV di Australia memberikan langkah besar pertama dalam mengurangi infeksi yang ditularkan lewat transfusi. Penerapan skrining rutin donor darah untuk hepatitis B surface antigen mengurangi kejadian hepatitis B pasca transfusi. Namun, masih merupakan hepatitis pasca transfusi yang paling umum terjadi. Pada tahun 1987, skrining rutin antibodi darah donor ke inti antigen hepatitis B (anti-HBc) diperkenalkan dalam upaya untuk mengurangi penularan non-A, non-B hepatitis. Keuntungan tambahan dari skrining ini adalah pengurangan lebih lanjut dari hepatitis B pasca transfusi. 29,30 Sedangkan tes skrining donor untuk anti-HCV diperkenalkan pada tahun 1992. Dampak dari skrining donor untuk anti-HCV sangat besar. Saat ini diperkirakan bahwa tes generasi pertama dapat mencegah sekitar 40.000 16
kasus hepatitis pasca transfusi per tahun di Amerika Serikat. Risiko yang ditularkan lewat transfusi HCV kini diperkirakan hanya sekitar 6 kasus per tahun. 29 Perkiraan frekuensi hepatitis pasca transfusi rumit karena ini tergantung pada populasi donor darah. Hepatitis pasca transfusi masih merupakan masalah kesehatan utama. Menurut Shahshahani HJ (2013) tingkat prevalensi hepatitis B, dan C pada darah donor di Iran mengalami penurunan dari tahun 2004 sebesar 0,37% dan 0,14% menjadi 0,14%, dan 0,05% pada tahun 2010. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Flichman (2014), yang melaporkan penurunan kejadian hepatitis B di Argentina dari 0.336% pada tahun 2004 menjadi 0.198% pada tahun 2011.29,31,32 B. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Penelitian epidemiologi pertama menetapkan bahwa AIDS disebabkan oleh HIV-1 retrovirus dan dapat ditularkan melalui transfusi darah. Dengan identifikasi HIV sebagai agen penyebab, menjadi jelas bahwa pada pertengahan 1990-an, di seluruh dunia jutaan orang telah terinfeksi, meskipun proporsi yang sangat kecil yang terinfeksi melalui transfusi darah.29 Dengan diperkenalkannya skrining darah untuk HIV, penularan penyakit transfusi telah hampir dieliminasi. Meskipun ada kekhawatiran besar tentang transfusi-menular HIV, transfusi menyumbang kurang dari 2% dari semua kasus AIDS di Amerika Serikat. Hanya sekitar 35 kasus HIV ditularkan lewat transfusi telah diidentifikasi setelah pelaksanaan skrining pada tahun 1985.29 Interval antara infeksi dan perkembangan antibodi terhadap virus yang menginfeksi dikenal sebagai "window phase." Pada tes HIV dalam mendeteksi anti-HIV, terdapat window phase di mana individu menular tetapi tidak memiliki screening positif tes untuk anti-HIV. Dengan demikian, meskipun pengujian untuk anti-HIV negatif, penularan virus masih bisa terjadi dari darah yang didonor selama window phase, dimana antara infeksi dan munculnya antibodi adalah sekitar 6 minggu atau 45 hari.29 17
Pada donor dengan window phase yang telah terdeteksi pada sebelum menjadi antibodi HIV positif, skrining antigen HIV donor darah dilaksanakan untuk mengurangi penularan HIV melalui darah sumbangan. Namun, dua penelitian besar yang melibatkan sekitar 500.000 donor masing-masing tidak mengidentifikasi adanya donor yang mengandung serum antigen HIV tapi tidak ada antibodi HIV. Berdasarkan studi ini, ternyata bahwa tes antigen HIV tidak akan membantu.29 Risiko tertular infeksi HIV setelah transfusi dengan darah yang antiHIV-1-positif setinggi 70-91%. Komponen yang berbeda dari donor yang terinfeksi mungkin memiliki kemungkinan yang berbeda menularkan HIV. Telah diperkirakan bahwa sebelum pengenalan tes antibodi HIV-1 pada Mei 1985, sekitar 12.000 pasien terinfeksi HIV-1 akibat transfusi. Masa inkubasi antara infeksi HIV-1 pasca transfusi dan perkembangan AIDS klinis sulit ditentukan, diperkirakan sekitar 4,5-14,2 tahun.29 C. Infeksi Bakteri Kontaminasi bakteri dari komponen darah saat ini merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada transfusi. Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa sebagian kecil dari unit whole blood mengandung bakteri hidup. Penularan infeksi bakteri merupakan masalah utama di masamasa awal transfusi darah, namun perbaikan dalam wadah darah, pengembangan sistem tertutup untuk memproduksi komponen darah, dan penyimpanan pada suhu lemari es dianggap telah mengeliminasi masalah ini. Namun, jika hal itu terjadi, potensi sepsis fulminan dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi. Gejala terjadi selama atau segera setelah transfusi unit terkontaminasi dengan gejala demam tinggi, menggigil, eritema dan kolaps kardiovaskuler.29,33 Sel darah yang disimpan pada suhu 4°C, mengakibatkan kontaminasi dengan
bakteri
Gram-negatif
seperti
Yersinia
enterocolitica
dan
Pseudomonas sp. Mungkin terjadi karena bakteri ini berkembang biak dengan
cepat
pada
suhu
tersebut.
Bakteri
Gram-positif
seperti
Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus dan spesies Bacillus 18
berkembang biak lebih mudah pada suhu kamar dan jadi lebih sering dilihat sebagai kontaminasi trombosit. Tidak ada tes skrining saat ini yang tersedia untuk mendeteksi kontaminasi bakteri. Oleh karena itu, inspeksi visual dari kantong darah sebelum transfusi penting. Kantong darah terkontaminasi tampak berwarna gelap atau mengandung gelembung gas.33 Besarnya masalah klinis ini sulit untuk ditentukan karena hanya reaksi yang berat yang dilaporkan dan faktor-faktor lain yang penting seperti kondisi yang mendasari, jumlah dan jenis bakteri atau adanya endotoksin dalam komponen darah. Infeksi bakteri yang ditularkan lewat transfusi dilaporkan terjadi sekitar 1 per 25.000 unit trombosit dan 1 per 250.000 unit PRC. Tingkat kematian sulit untuk ditentukan, tapi 5-8 kematian dilaporkan pada FDA setiap tahunnya. Lebih dari setengah dari kematian disebabkan oleh PRC dan trombosit yang terkontaminasi dibandingkan dengan kontaminasi plasma. Namun sejak tahun 2009 infeksi bakteri akibat transfusi tidak lagi ditemukan di Inggris.11,29 D. Infeksi Parasit Infeksi parasit melalui transfusi relatif jarang. Infeksi parasit yang paling sering ditularkan lewat transfusi adalah malaria, terutama di negaranegara tropis sedangkan Babesiosis dan penyakit Chagas merupakan ancaman terbesar bagi donor di Amerika Serikat. Penularan malaria telah dilaporkan terjadi terutama dari produk-donor tunggal: sel darah merah, trombosit atau konsentrat sel darah putih (karena kontaminasi dengan sel darah merah residual), kriopresipitat, dan WRC. Transmisi dari donor tunggal FFP belum dilaporkan. Penularan dari kriopresipitat jarang dan cenderung mencerminkan persiapan transfusi.34 Tidak ada tes serologi dapat diandalkan tersedia sehingga fokus untuk pencegahan tetap pada kepatuhan terhadap pedoman skrining donor yang membahas riwayat perjalanan dan infeksi sebelumnya dengan agen etiologi. Salah satu tujuan adalah mengembangkan tes yang mampu menyaring dan mengidentifikasi donor berpotensi menular untuk infeksi parasit tanpa menyebabkan penangguhan sejumlah besar donor non-menular atau secara 19
signifikan meningkatkan biaya. Idealnya, metode untuk menonaktifkan organisme menular akan memberikan unsur keamanan tambahan untuk pasokan darah.34 3.3.2.Non Infeksi Komplikasi non infeksi lebih mungkin terjadi sampai 1.000 kali dibandingkan komplikasi infeksi. meskipun perbaikan dalam tes skrining darah dan kemajuan medis terkait lainnya. Oleh karena itu, jauh lebih mungkin untuk terjadi bahaya yang serius dari komplikasi non infeksi daripada komplikasi infeksi.28 A. Reaksi Transfusi Hemolitik Reaksi transfusi hemolitik merupakan komplikasi serius yang dapat terjadi setelah transfusi darah, yang umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Biasanya, hemolisis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibodi sel darah merah. Tanda-tanda dan gejala yang dapat menyertai reaksi transfusi hemolitik yang paling umum adalah demam dan menggigil. 16,35 Penatalaksanaan reaksi hemolitik adalah dengan segera menghentikan transfusi, tetap menjaga akses vena untuk manajemen darurat, pertahankan status hidrasi, pertahankan urin output 100cc/jam, dan mengantisipasi hipotensi, gagal ginjal dan DIC. Tindakan profilaksis untuk mengurangi risiko gagal ginjal dapat diberikan dopamin dosis rendah (1-5 mcg / kg / menit), hidrasi kuat dengan larutan kristaloid (3000 mL/m 2/24jam), dan diuresis osmotik dengan manitol 20% (100 mL/m 2/bolus, diikuti oleh 30 mL/m2/jam selama 12 jam). Jika terjadi DIC dan perdarahan, transfusi plasma segar beku (FFP), cryoprecipitates dan / atau konsentrat trombosit dapat diindikasikan. Kematian disebabkan oleh reaksi transfusi hemolitik jarang terjadi. Menurut Fastman (2011) terjadi pada 1 dari 1,5 juta hingga 1,8 juta transfusi. Diantara tahun 2005-2007, sebesar 69,2% kematian akibat reaksi transfusi hemolitik disebabkan oleh inkompatibilitas non-ABO.6 20
1. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut Pada reaksi transfusi hemolitik akut, terjadi penghancuran sel darah merah donor dalam waktu 24 jam setelah transfusi. Hemolisis dapat terjadi intravaskular maupun ekstravaskular. Hemolisis intravaskular akut pada umumnya berhubungan dengan inkompatibilitas ABO. Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi pasien, spesimen darah, atau unit transfusi.28 Gejala reaksi transfusi hemolitik akut berupa demam, menggigil, menggigil,
mual,
muntah,
dyspnea,
hipotensi,
perdarahan
difus,
hemoglobinuria, oliguria, anuria, nyeri di tempat infus, dan nyeri dada, nyeri punggung, dan nyeri perut. Dengan komplikasi yang dapat terjadi anemia yang signifikan, gagal ginjal akut, koagulasi intravaskular diseminata, hemodialisa, dan kematian sekunder komplikasi.28 Kejadian yang sebenarnya dari reaksi transfusi hemolitik akibat inkompatibilitas ABO tidak diketahui. Insiden reaksi hemolitik akut adalah sekitar 1-5 per 50.000 transfusi. Dari tahun 1996 sampai 2007, terdapat 213 transfusi sel darah merah yang inkompatibilitas ABO dengan 24 kematian. Dalam laporan 2008 oleh Janatpour, inkompatibilitas ABO diperkirakan mencapai 1:38,000 sampai 1:100.000 transfusi, dan risiko kematian akibat hemolitik akut adalah 1:1,5 juta. 8,28 2. Reaksi Transfusi Hemolitik Tertunda(Delayed hemolytic transfusion reactions) Delayed hemolytic transfusion reactions (DHTR) terjadi 3-10 hari setelah transfusi sel darah merah yang tampaknya kompatibel secara serologis. Reaksi ini terjadi pada pasien yang telah alloimmunized terhadap antigen sel darah merah kecil selama transfusi dan/atau kehamilan sebelumnya,
pengujian sebelum transfusi gagal untuk mendeteksi
alloantibodies ini karena titer yang rendah. Setelah paparan ulang antigen sel darah merah yang positif, respon anamnestic terjadi, dengan peningkatan pesat dalam titer antibodi. Penurunan kelangsungan hidup sel darah merah 21
ditransfusikan bisa terjadi, terutama karena hemolisis ekstravaskular. Pada kebanyakan kasus, bagaimanapun, produksi antibodi anamnestic tidak menyebabkan hemolisis terdeteksi. Istilah delayed serologic transfusion reaction (DSTR) mendefinisikan reaksi di mana antibodi anamnestic diidentifikasi secara serologis, dengan tidak adanya bukti klinis dimana terjadi percepatan kehancuran sel darah merah. Antigen terlibat paling sering terlibat dalam DHTR dan DSTR berada di Kidd, Duffy, Kell, dan MNS sistem, dalam urutan frekuensi menurun.36 B. Reaksi Febris Reaksi ini sangat umum, biasanya tidak mengancam nyawa dan terjadi 2 jam setelah transfusi dimulai. Reaksi ini disebabkan oleh 2 mekanisme yang berbeda, yang pertama adalah transfusi antigen leukosit yang menyebabkan aktivasi dari kaskade sitokin pada resipien. Kedua adalah transfusi sitokin dari produk darah yang disimpan yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan respon imun inflamasi pada resipien.17 Reaksi febris pada transfusi trombosit telah dilaporkan dengan tingkat berkisar antara 1% sampai 38%, sedangkan untuk transfusi PRC 0,3% menjadi 6%. Premedikasi dengan acetaminophen dan diphenhydramine berguna untuk mencegah reaksi febril ini. Namun, terdapat kontroversi apakah premedikasi bermanfaat untuk pasien. Sebuah studi oleh Wang dan rekan (2002) menemukan bahwa premedikasi tidak bermakna mengurangi kejadian reaksi febril pada saat transfusi trombosit. Sebaliknya, pada tahun 2008 Kennedy dan rekan menemukan bahwa pemberian premedikasi sebelumnya dapat menekan reaksi demam, terutama pada pasien yang menerima beberapa transfusi. Namun, hal itu tidak mengurangi reaksi transfusi secara keseluruhan. Hingga saat ini belum ada pendapat yang pasti ditawarkan tentang penggunaan premedikasi sebelum transfusi, sehingga keputusan untuk menggunakan premedikasi harus ditangguhkan tergantung pada keputusan dokter.17,33 Gejala reaksi demam termasuk demam, menggigil, sakit kepala, mialgia dan malaise umum. Jarang terjadi hipotensi, muntah dan gangguan 22
pernapasan. Onset adalah selama, atau beberapa jam setelah, transfusi dan tingkat keparahan reaksi tergantung pada beban leukosit dan tingkat transfusi. 33 Biasanya, demam sembuh dalam 15-30 menit tanpa pengobatan khusus. Jika demam menyebabkan ketidaknyamanan, acetaminophen oral (325-500 mg) dapat diberikan. Hindari aspirin karena efek samping yang berkepanjangan pada fungsi trombosit. Kontroversi yang ada dalam literatur saat ini pada apakah transfusi harus dihentikan; Namun, ada konsensus bahwa tingkat transfusi hanya dikurangi.33 C. Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury/ TRALI) Transfusion-Related Acute Lung Injury pertama kali dikemukakan oleh Brittingham pada tahun 1957, yaitu hubungan antara gejala cedera paruparu akut atau Acute Lung Injury (ALI), transfusi dan leukoagglutinins didalam komponen darah. Tiga dekade lalu, TRALI dianggap sebagai komplikasi yang jarang pada transfusi. Namun saat ini, FDA mengakui sebagai suatu sindrom dengan penyebab utama kematian terkait transfusi, dengan kejadian 43% dari semua reaksi transfusi fatal antara 2007 dan 2011. 37
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI), TRALI sebagai ALI yang terjadi selama atau dalam waktu 6 jam setelah transfusi, dengan hubungan temporal yang jelas untuk transfusi, pada pasien dengan atau tanpa atau faktor risiko selain transfusi ALI. Pada April 2004, Canadian Consensus Confrence memodifikasi definisi dan kriteria TRALI menurut NHLBI, modifikasi tersebut memperluas definisi hipoksia dengan memasukkan bukti klinis dari hipoksia dan menciptakan kategori kemungkinan terjadi TRALI untuk mengatasi kasus-kasus di mana pasien memiliki faktor risiko lain untuk ALI seperti sepsis, aspirasi, tenggelam, disseminated intravascular coagulation, trauma, pneumonia, overdosis narkoba, fraktur, luka bakar dan cardiopulmonary bypass.37
23
Patogenesis belum sepenuhnya dipahami, tampaknya menjadi proses multifaktorial yang berpuncak pada aktivasi neutrofil dan cedera paru akut. Pemahaman patogenesis TRALI telah menghasilkan desain strategi pencegahan dari perspektif bank darah. Sebuah terobosan besar dalam upaya untuk mengurangi kejadian TRALI dan menghindari donor dari perempuan dengan volume plasma yang tinggi, mengakibatkan penurunan kira-kira dua pertiga kejadian. Namun, strategi ini belum sepenuhnya menghilangkan komplikasi.37 Pengobatan TRALI yang utama adalah dengan tambahan oksigen dan dalam kebanyakan kasus ventilasi mendukung. Berbeda dengan sindrom gangguan pernapasan akut dari penyebab lain, pasien biasanya kembali pulih dengan cepat, dengan resolusi infiltrat paru dalam 96 jam dari transfusi. Dengan tidak adanya tanda-tanda kelebihan cairan yang akut atau edema paru kardiogenik, diuretik tidak diindikasikan. Tidak ada bukti bahwa kortikosteroid atau antihistamin bermanfaat.37 D. Transfusion-related Immunomodulator Transfusion-related Immunomodulator (TRIM) merupakan fenomena biologis yang nyata mengakibatkan setidaknya satu efek klinis yang menguntungkan pada manusia, namun keberadaan efek klinis TRIM yang merugikan menjelaskan bahwa transfusi sel darah merah berhubungan dengan peningkatan proinflamasi atau efek imunosupresif yang dapat meningkatkan morbiditas pada setidaknya pada beberapa kelompok pasien. Awalnya, TRIM merupakan efek yang timbul saat transfusi darah alogenik oleh mekanisme imunomodulator (misalnya, kambuhnya kanker, infeksi pasca operasi, atau aktivasi virus). Baru-baru ini, TRIM juga termasuk efek yang timbul saat transfusi darah alogenik oleh mekanisme pro-inflamasi (misalnya, kegagalan multi-organ atau kematian). Efek TRIM dapat dimediasi oleh: (1) sel mononuklear alogenik; (2) sel darah putih (WBC) yang diturunkan mediator larut; dan/atau (3) peptida human leucocyte antigen (HLA) yang larut beredar di plasma alogenik.38
24
E. Penyakit terkait transfusi graft-versus-host (Transfusion Related-Graft versus Host Disease) Graft-versus-host disease (GVHD) merupakan komplikasi terkenal transplantasi sumsum tulang alogenik. Transfusi terkait graft-versus-host penyakit (Transfusion Related-Graft versus Host Disease/TA-GVHD) lebih jarang terjadi dan mirip komplikasi fatal transfusi darah, yang terjadi 2-30 hari setelah transfusi. TA-GVHD terjadi 0.1-1.0% dari transfusi pada penerima rentan, dengan angka kematian TA-GVHD sekitar 87-100%. 39 Gambaran klinis klasik dari TA-GVHD termasuk demam, pruritus, ruam kulit, nyeri kuadran kanan atas, tes fungsi hati yang abnormal, diare, mual, muntah, batuk dan dyspnea. Faktor risiko yang mendasari terjadi TAGVHD umumnya terjadi pada individu dengan bawaan atau acquired immunodeficiency, transfusi darah dari kerabat, transfusi intrauterin dan HLA yang cocok dengan transfusi trombosit. Diagnosis TA-GVHD mungkin sulit karena jarang terjadi dan gambaran klinis yang tumpang tindih dengan berbagai infeksi dan reaksi obat. Tingkat kecurigaan yang tinggi, asosiasi transfusi terakhir dengan gambaran klinis diperlukan untuk diagnosis dini.39
25
BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan 1. Transfusi darah merupakan pemberian darah atau komponen darah dari satu individu (donor) ke individu lainnya (resipien), dengan tujuan terapeutik. 2. Macam-macam bentuk sediaan darah dan komponen darah yaitu darah lengkap, sel darah merah, trombosit, granulosit feresis, plasma segar beku dan kriopesipitat. . 3. Transfusi darah tidak hanya ditentukan oleh kadar darah yang rendah, namun harus didukung dengan keadaan klinis, seperti perdarahan, keadaan kardiovaskular, dan volume intravaskular 4. Transfusi darah dan komponen darah lain dapat memberikan reaksi transfusi dari yang paling ringan sampai yang paling berat hingga kematian. 5. Dalam meminimalkan risiko transfusi perlu dilakukan skrining terhadap semua darah donor dan resipien, serta dilakukan uji kompatibilitas. 4.2. Saran Dalam menghindari terjadi reaksi transfusi, perlu dilakukan transfusi darah yang sesuai dengan indikasi transfusi darah dan komponen darah yang tepat.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Learoyd P. The history of blood transfusion prior to the 20th century. Transfusi Medicine 2012 ; 22(5) : 308-14. 2. Fastag E, Varon J, Sternbach G. Richard Lower : The origin of blood transfusion. The Journal of Emergency Medicine. Houston 2013 ; 44 (6): 1146–50. 3. Anderson D, Hamilton M, Cairns S, et al. Clinical guidelines promoting excellence in transfusion medicine. NSPBCP guideline for washed red blood cells in NS 2011: 1-6. 4. Kaadan, A.N., Angrini M. Blood transfusion in history. Journal of the International Society for the History of Islamic Medicine 2010; 8-9: 1-46. 5. Alter HJ, Klein HG. The hazards of blood transfusion in historical perspective. Blood 2008 ; 112(7) : 2617-26. 6. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Diunduh dari URL
http://www.who.int/bloodsafety/clinical_use/en/Handbook_EN
(diakses Juli 2014) 7. Goodnough LT, Levy JH, Murphy MF. Concept of blood transfusion in adults. Lancet Journal 2013; 381: 1845-54. 8. Shahshahani J, Vaziri M, Mansouri F. Seven years trends in prevalence of transfusion-transmissible viral infections in Yazd blood transfusion organization. Iranian Journal of Pediatric Hematology Oncology 2013; 3 (3): 119-24. 9. Haroen H. Darah dan komponen : Komposisi, indikasi dan cara pemberian. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Balai Penerbit FKUI 2007 : 685-9. 10. Allard S. Blood transfusion. Elsevier 2013; 41 (4) : 242–7. 11. Murphy MF, Waters JH, Wood EM, et al. Transfusion blood safely and appropriately. British Medical Journal 2013; 347: 1- 12. 27
12. Storry JR, Castilho L, Daniels G, et al. International society of blood transfusion working party on red cell immunogenetics and blood group terminology: Cancun report.Vox Sang 2014; 107(1) : 90-6. 13. Norfolk D (Ed). Basics of blood groups and antibodies. Handbook of Transfusion Medicine 5th Edition. United Kindom Blood Services 2013; 2: 5-11. 14. McCullough J. Blood groups in Transfusion medicine. Wiley-Blackwell Publishing 2012; 9: 172-206. 15. Djoerban Z. Dasar-dasar transfusi darah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Balai Penerbit FKUI 2007 : 682-4. 16. McCullough J. Complication of transfusion in Transfusion medicine. Wiley-Blackwell Publishing 2012: 14: 378-413. 17. Osterman JL, Arora S. Blood product transfusions and reactions. Emergency Medicine Clinics of North America 2014: 1-12. 18. Szczepiorkowski AM, Dunbar NM. Transfusion guidelines: When to transfusion. American Society of Hematology 2013: 638-44. 19. Carson JL, Grossman BJ, Kleinman S, et al. Red blood cell transfusion: A clinical practice guideline from the AABB. Annals of Internal Medicine 2012; 157: 49-58. 20. Stanworth SJ, Estcourt LJ, Powter G, et al. A no-prophylaxis platelet transfusion strategy for hematologic cancers. N Engl J Med 2013; 368: 1771–80. 21. Limbruno G, Bennardello F, Lattanzio A, et al. Recommendations for the transfusion of red blood cells. Blood Transfusion 2009; 7: 49-64. 22. Singh G, Sehgal R. Transfusion-transmitted parasitic infections. Asian Journal Transfusion Science 2010; 4(2): 73-77 23. Yang L, Stanworth S, Hopewell S, Doree C, Murphy M. Is fresh-frozen plasma clinically effective? An update of a systematic review of randomized controlled trials. Transfusion 2012; 52: 1673–86. 28
24. Marfin AA, Price TH. Granulocyte transfusion therapy. Journal of Intensive Care Medicine 2013. 25. Wong M, Droubatchevskala N, Chipperfield K, et al. Guideline for frozen plasma transfusion. BC Medical Journal 2007: 49 (6): 311-319. 26. Stanworth SJ, Brunskill SJ, Hyde CJ, McClelland DB, Murphy MF. Is fresh frozen plasma clinically eff ective? A systematic review of randomized controlled trials. Br J Haematol 2004; 126: 139–52. 27. Nascimento B.
Cryoprecipitate transfusion: Assessing appropriateness
and dosing in trauma. Institute of Medical Sciences, University of Toronto 2012: 1-129. 28. Sharma S, Sharma P, Tyler L. Transfusion of blood and blood product: Indications and complications. American Family Physician 2011; 83(6) : 719-24. 29. McCullough J. Transfusion-transmitted disease in Transfusion medicine. Wiley-Blackwell Publishing 2012; 15: 414-45. 30. Sawke N, Sawke GK. Preventing post-transfusion hepatitis by screening blood donors for IgM antibody to hepatitis b core antigen. Journal of Global Infectious Disease 2010 ; 2: 246-7. 31. Flichman D, Blejer JL, Livellara B, et al. Prevalence and trends of markers of hepatitis B virus, hepatitis C virus and human immunodeficiency virus in Argentine blood donor. BMC Infectious Disease 2014; 14: 218-27. 32. Spahn D, Goodnough L. Blood transfusion 2: Alternatives to blood transfusion. Lancet 2013; 381: 1855-65. 33. Maxwell MJ, Wilson M. Complication of blood transfusion. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain 2006; 6(6):225-229. 34. Mudumbai SC, Cronkite R, Hu KU, et al. Association of admission hematocrit with 6-month and 1-year mortality in intensive care unit patients. Transfusion 2011; 51: 2148–59.
29
35. Choat JD, Maitta RW, Tormey CA, et al. Transfusion reactions to blood and cell therapy products. In: Hoffman R, Benz EJ Jr, Silberstein LE, Heslop HE, Weitz JI, eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 6th ed. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier 2012:120. 36. Josephson C. Delayed hemolytic transfusion reactions. In Transfusion Medicine and Hemostasis (Second Edition). Elsevier’s Science & Technology 2013; 12: 409–12. 37. Vlaar A, Juffermans N. Transfusion-related acute lung injury: A clinical review. The Lancet 2013; 382: 984-994. 38. Sparrow
R.
Red
blood
cell
storage
and
transfusion-related
immunomodulation. Blood Transfusion 2010; 8 (3): 26-30. 39. Patel K, Patel A, Ranjan R, et al. Transfusion associated graft versus host disease following whole blood transfusion from an unrelated donor in an immunocompetent patient. Indian Journal Hematology Blood Transfusion, 2010 ; 26(3) : 92–95.
30