Halaman : 1 dari 9 halaman
BAB I SISI DARI SEBUAH INSTRUMEN KEBIJAKSANAAN OTORITAS MONETER (Makalah : Anton Bawono, SE., M.Si)
Kebijaksanaan Otoritas Moneter, target apapun yang hendak dicapai, baik tingkat bunga maupun jumlah uang beredar, keduanya memiliki dampak dan biaya yang harus ditanggung perekonomian. Demikian pula suku bunga yang tinggi disatu sisi dapat mengendalikan inflasi dan disisi lain akan menghambat investasi dan sebaliknnya. Sehingga Otoritas Moneter dalam menentukan sebuah instrumen kebijaksanaan ibarat melempar satu keping logam yang mempunyai sisi yang berbeda dan harus memilih satu diantaranya beserta resikonya.
A. LATAR BELAKANG Masalah suku bunga merupakan kunci dalam mengatasi krisis di Indonesia dan akhir-akhir ini perbincangan ekonomi terfokus pada suku bunga (hot issue). Masalah suku bunga tinggi di Indonesia sebenarnya tidak begitu istimewa, karena sudah berlangsung sejak 1990 atau bahkan sejak deregulasi perbankan 1983 mengenai pembebasan pagu suku bunga. Kemudian sejak deregulasi tersebut tingkat suku bunga tinggi terjadi pada tahun 1991 untuk deposito Tiga bulan rata-rata 21,9%, pada tahun 1994 sempat turun menjadi 12% dan, tapi kemudian naik lagi 18% pertahun, dan pada tahun 1998 pertengahan tingkat suku bunga simpanan deposito yang jatuh tempo satu bulan mencapai 65% pertahun, dan akhir tahun 1998, suku bunga deposito yang jatuh temponya satu bulan pertahun yang dijamin pemerintah turun setahap demi setahap dari 49%, lalu 46%, dan sampai saat ini masih 44% pertahun. Kebijaksanaan suku bunga seringkali menimbulkan dikotomi, satu sisi dapat mendorong investasi tetapi dapat memicu inflasi dengan suku bunga rendah dan satu sisi dapat mengendalikan laju inflasi tetapi dapat menghambat investasi dengan suku bunga tinggi. Sehingga sangat menarik untuk melihat bagaimana suku bunga itu seharusnya ditentukan agar suku bunga yang rasional dapat tercapai, yang dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Kebijaksanaan moneter dengan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat suku bunga akan mempengaruhi investasi dan pada keratin berikutnya akan mempengaruhi perekonomian.
Modul Ekonomi Indonesia
Anton Bawono, S.E., M.Si.
Halaman : 2 dari 9 halaman
Pada akhir-akhir ini kebijaksanaan suku bunga tinggi terasa dampaknya pada investasi produktif, sehingga secara langsung suku bunga tinggi secara langsung bertanggung jawab atas terjadinya semacam kemacetan pada iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi rasanya kita akan kurang tepat jika kita menyalahkan kebijaksanaan suku bunga tinggi tanpa menghubungkan dengan berbagai kebijaksanaan makro lainnya juga kebijaksanaan tersebut dengan tujuan pembangunan. Suku bunga di Indonesia pada saat ini tergolong tinggi walaupun sudah mengalami penurunan ( suku bunga deposito bank yang dijamin oleh pemerintah untuk jangka waktu satu bulan adalah 46% turun menjadi 44% pertahun tahun 1998, dan saat ini tahun 2001 turun lagi sekitar 13,5% - 14%), sehingga bagi pemilik uang suku bunga yang tinggi tentunya lebih diinginkan, sedangkan bagi mereka (pengusaha) yang memerlukan dana mengharapkan suku bunga yang rendah. Maka untuk mencari titik tengah antara pemilik uang dan yang memerlukan uang harus dicari tingkat bunga yang rasional. Tetapi yang harus diingat, saat ini harus berhati-hati dalam menentukan kebijaksanaan, karena perkembangan ekonomi dunia sudah semakin maju yang berarti akan semakin komplek dan pelik. Dimana dalam setiap kebijaksanaan kita jangan hanya menggunakan pertimbangan dalam negeri saja, tetapi perkembangan perekonomian dunia sangat berperan. Karena dalam kenyataan Bank Indonesia tidak sepenuhnya dapat mengontrol jumlah uang beredar yang dipengaruhi oleh faktor dalam negeri (kredit domestik) maupun faktor luar negeri (aktiva luar negeri). Dan penciptaan uang (dalam arti luas) juga tidak ditentukan oleh Bank Indonesia, tetapi dipengaruhi oleh mekanisme perbankan melalui penciptaan uang giral. Demikian pula pembentukan suku bunga nominal yang ada dimasyarakat, selain ditentukan oleh bunga diskonto Bank Indonesia, juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti efisiensi perbankan dan premium resiko. Dengan demikian penentuan tingkat suku bunga sangat penting dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi.
B. INDIKATOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI
Sulit dipungkiri bahwa dalam beberapa bulan terakhir tahun 1998, sasaran yang paling menjadi pusat perhatian adalah inflasi. Tidak mengherankan bahwa pemerintah memusatkan segenap perhatiannya pada upaya pengendalian laju inflasi.
Modul Ekonomi Indonesia
Anton Bawono, S.E., M.Si.
Halaman : 3 dari 9 halaman
Jika kita melihat pada awal tahun sampai akhir tahun 1998, yang merupakan faktor penyebab inflasi yang tergolong tinggi penyebabnya antara lain: Pertama, Effek Demontrasi, Adanya kenaikan harga BBM pada saat menjelang runtuhnya rezim Suharto, pada saat itu harga BBM naik 75%, kemudian masa penguasa Gusdur dan terakhir penguasa megawati harga bahan bakar naik, sebagai missal bensin meningkat hingga Rp. 1.450,00 dan tidak pernah turun lagi, jadi ada kecenderungan naik. Dengan naiknya harga BBM ini menyebabkan adanya effek Demontrasi yaitu kenaikan harga BBM tersebut merupakan stimulus bagi kenaikan harga komoditi-komoditi yang lain. Efek demontrasi ini untungnya tidak semua indikatornya ada, yaitu seperti devaluasi, tarif listrik dan gaji PNS pada tahun 1998, tetapi tahun 2001 semua variable itu ada kecuali devaluasi.. Kedua, Expectation Price dan Sindrom Kemiskinan, bahwa ada harapan harga yang lebih tinggi dikemudian hari atau nantinya dibanding sekarang, dan itu diderita oleh Produsen, distributor dan konsumen. Penyakit itu bisa kita lihat pada saat banyak aksi seperti aksi timbun barang, dan aksi borong habis yang mayoritas dilakukan oleh kaum ibu-ibu rumahtangga yang mungkin disebabkan oleh sindrom kemiskinan, karena yang mereka borong bukan saja barang-barang yang super mahal saja tetapi yang super murahpun juga, sebagai contoh garam mereka borong, amat sangat menggelikan penyakit ini, tapi ini dapat memicu inflasi. Ketiga, Depresiasi rupiah, depresiasi rupiah akan memicu adanya Imported Infasion, yang akan menyebabkan kenaikan barangbarang yang kita impor baik itu bahan baku maupun barang jadi. Sehingga harga yang terjadi di dalam negeri akibat depresiasi rupiah harganya akan naik 2 sampai 4 kalinya. Keempat, seperti apa yang dikemukakan oleh kelompok Moneteris Milton Friedman yang menyatakan bahwa, “ Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon”, bahwa didalam suatu perekonomian terjadi inflasi itu hal yang bisaa, dimanapun dan kapanpun, karena inflasi merupakan bumbu dari kegiatan suatu perekonomian atau diibaratkan minyak pelumasnya suatu perekonomian, akan tetapi besarnya inflasi haruslah yang masih bisa ditolelir.
Modul Ekonomi Indonesia
Anton Bawono, S.E., M.Si.
Halaman : 4 dari 9 halaman
C. PERKEMBANGAN INFLASI Perekonomian Indonesia pada tahun 1998 diwarnai dengan inflasi yang tinggi yang disebabkan beberapa efek tersebut diatas diantaranya seperti efek demontrasi, exspectasi price dan sindrom kemiskinan ,dan efek depresiasi rupiah. Indikator-indikator tersebut diatas merupakan roket dari inflasi yang dapat menyengsarakan atau membuat terpuruknya perekonomian Indonesia. Sedangkan tahun 2001 ini, agaknya perekonomian Indonesia akan tetap terpuruk dalam kondisi inflasi yang tinggi, because what ?, itu karena disamping sebab-sebab diatas yang akan muncul lagi di tahun 2001, ada sebab lainnya, yaitu adanya program pemerintah yang dinamakan program JPS (Jaring pengaman Sosial), yang membutuhkan dana sekitar puluhan triliun rupiah. Program tersebut secara moral amat sangat membantu bagi kelompok unemployment atau korban PHK, karena program ini akan memberikan pekerjaan untuk mereka yang berupa padat karya, dari pekerjaan itu tentunya akan meningkatkan nominal pendapatan mereka , juga secara moral mereka akan terselamatkan dari Zero Incame, dengan kata lain mereka akan mempunyai daya beli untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Tetapi dengan adanya program JPS tersebut efek negatifnya yaitu akan menambah JUB(jumlah uang beredar) dan pada akhirnya akan mengobori inflasi, sehingga walaupun daya beli masyarakat naik tapi inflasi tinggi, maka akan sama saja. Karena inflasi itu merupakan ongkos yang harus dibayar pada suatu perekonomian. Jadi dengan adanya program JPS ada sejenis dikotomi yaitu mengurangi pengangguran tapi inflasi akan meroket, atau sebaliknya. Hubungan antara laju inflasi dan tingkat pengangguran dapat dijelaskan dalam Phillips Curve. Inflasi disni yang dimaksud adalah inflasi harga dan inflasi upah. Dalam kurva Phillips disebutkan sifat umumnya adalah pada mulanya penurunannya adalah sangat curam, tetapi semakin lama ia semakin bertambah landai. Kurva yang demikian menggambarkan sifat hubungan yang sebagai berikut : Pertama,
Apabila tingkat
pengangguran sangat rendah, tingkat inflasi sangat cepat kenaikannya, Kedua, apabila tingkat pengangguran relatif tinggi, kenaikan inflasi relatif lambat berlakunya. Walaupun berlakunya hubungan laju inflasi harga dan inflasi upah dengan tingkat pengangguran tidak berbeda, akan tetapi bila laju inflasi harga dengan tingkat pengangguran digambarkan dan laju inflasi upah dengan tingkat pengangguran juga digambarkan dan kedua gambar tersebut digambarkan dalam satu gambar, maka akan dapat dilihat perbedaan keadaannya, yaitu : Pada suatu tingkat pengangguran tertentu, inflasi upah
Modul Ekonomi Indonesia
Anton Bawono, S.E., M.Si.
Halaman : 5 dari 9 halaman
akan lebih cepat dari infalsi harga. Perbedaan itu disebabkan karena adanya kenaikan produktivitas yang bersamaan berlakunya dengan kenaikan upah. Sebagai akibat kenaikan produktivitas tersebut biaya produksi tidak meningkat secepat kenaikan upah, dan menyebabkan kenaikan harga lebih rendah dari kenaikan upah ( Sadono Sukirno ). Jadi bila dihubungkan dengan kurva phillips, maka kebijaksanaan pemerintah dengan JPSnya, dalam kondisi krisis yang mana banyak pengangguran dan korban PHK seperti saat ini adalah tepat, karena seperti disebutkan dimuka bahwa kenaikan tingkat harga lebih rendah dari pada kenaikan tingkat upah atau kesejahteraan. Oleh karena itu, penulis artikel ini sangat mendukung program ini. Disamping kebaikan diatas, efek positifnya dari program tersebut yang lain adalah dapat mengurangi kejahatan. Kejahatan bisa disebabkan karena pengangguran (kehilangan pekerjaan) yang berusaha untuk tetap survive dengan menghalalkan segala cara. Dan pada gilirannya akan menyebabkan kemerosotan moral yang rentetannya adalah menyebabkan Social Problem,
yang
kesemua itu pada akhirnya akan menjadi hambatan pembangunan. Indikator lain yang sedang hangat-hangat dibicarakan yang dapat memicu masalah ekonomi(inflasi) yaitu Rekapitalisasi Perbankan. Rekapitalisasi perbankan yang rencananya akan memakan dana sebesar Rp. 260 Triliun, guna mendongkrak bank yang sangat buruk dari segi permodalannya, atau memiliki capital adequency ratio (CAR) dibawah 4 persen, hal ini tindak lanjut dari apa diumumkan Menkeu Bambang Subianto, bahwa 96 bank memiliki CAR dibawah 4 persen. Dengan dikucurkannya dana sebesar Rp 260 Triliun itu kita akan yakin itu akan menambah jumlah uang beredar yang pada gilirannya akan memicu inflasi. Tetapi perlu diingat bahwa kondisi perbankan kita saat ini sangat terpuruk sedangkan bank merupakan jantungnya perekonomian maka sudah bisa dibayangkan bila perbankan terkapar berlumuran darah seperti saat ini, mati tidak, hidup pun dengan nafas senin-kamis. Yang perlu dikhawatirkan dengan adanya rekapitalisasi perbankan yang menelan biaya yang besar bila tidak berhasil, karena kondisi perekonomian kita secara makro dan mikro kurang mendukung. Dan lagi, bahwa pemerintah sudah mengalami kegagalan dalam rekapitalisasi pada Bank Exim, yang pada waktu itu menelan dana sebesar Rp. 20 juta. Disamping kegagalan pada Bank Exim, perlu diingatkan kegagalan otoritas moneter menyehatkan perbankan dengan memberi BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) yang besarnya mencapai Rp. 140 Triliun yang sampai saat ini nasibnya masih terkatung-katung dan tidak membawa hasil, parahnya lagi banyak pemilik bank
Modul Ekonomi Indonesia
Anton Bawono, S.E., M.Si.
Halaman : 6 dari 9 halaman
yang tidak bisa mengembalikan. Sehingga bisa dipastikan dengan banyaknya dana yang terkucur dan yang tidak dapat ditarik kembali itu sangat inflatoir. Tapi jika kita takut akan kegagalan tentunya tidak akan maju hidup kita, tapi yang penting kita haruslah selalu mengoreksi diri apa yang menyebabkan kita gagal kemarin. Demikianpula dengan rekapitalisasi perbankan yang ibaratnya membuka pintu untuk menyehatkan bank-bank yang mengalami pendarahan, yang antri di ruang UGD(unit gawat darurat). Rekapitalisasi itu akan berhasil asalkan bila diikuti oleh sistem pengambilan keputusan yang sehat disertai program restrukturisasi dunia usaha yang nyata dan tidak lupa dan yang saya anggap penting adalah masalah law enforcement di Indonesia masih sangat kurang. Kalau law enforcement tidak ditingkatkan maka akan ada lagi bankirbankir nakal meraup kocek pemerintah dan nasabah hanya untuk kepentingan mereka sendiri, dan akan mengakibatkan masalah besar nantinya. Kebijaksanaan otoritas moneter untuk menyelamatkan perbankan juga mengalami dikotomi yaitu dengan atau tanpa rekapitalisasi, pemerintah tetap menanggung beban berat, satu sisi jika melakukan rekapitalisasi memerlukan dana besar dan satu sisi lagi jika tanpa rekapitalisasi, bankbank yang mengalami pendarahan dan menunggu dokter di ruang UGD bisa dipastikan untuk segera membelikan peti jenasah dan pada gilirannya pemerintah harus menanggung dana jutaan penabung yang menyimpan dananya di bank yang telah tewas, jadi maju kena mundur kena. Faktor lain yang akan berpotensi memicu inflasi tinggi adalah masalah apresiasi yen terhadap rupiah, kita semua tahu bahwa keterkaitan yang besar antara industri kita dengan perekonomian Jepang sangat tinggi, sehingga bila terjadi fluktuasi yen (Apresiasi Yen) tingkat harga dalam industri kita akan bisa dipastikan naik. Dalam hal ini kenaikan yang bisa dipastikan adalah produk otomotif . Karena industri kita banyak mengandung muatan input Jepang, sehingga sangat sensitif harga-harga otomotif di dalam negeri dengan adanya fluktuasi Yen. Dampak yang paling parah yang meroketkan inflasi tinggi akibat Apresiasi Yen terhadap rupiah yaitu pada saat tahun ajaran baru yang mana banyak dikonsumsinya produk-produk yang mengandung muatan input Jepang yaitu otomotif untuk transportasi. Pada tahun ini, hari hari besar keagamaan nampaknya juga sebagai indicator yang tidak dapat dipandang enteng untuk dapat mendongkrak laju inflasi, karena pelaksanaan hari besar yaitu Idul Fitri dan Natal nampaknya sangat berdekatan dan
Modul Ekonomi Indonesia
Anton Bawono, S.E., M.Si.
Halaman : 7 dari 9 halaman
diikuti oleh tahun baru. Sehingga dapat dibayangkan mulai sekarang bahwa ongkos yang akan terbayar akan sangat mahal sekali dan itu tidak dapat ditolak. Jadi bisa dipastikan prospek inflasi kedepan akan tetap meroket, disamping sebab-sebab ekonomi yang disebutkan dimuka masih banyak indikator non ekonomi yang dapat memicu inflasi. D. UPAYA MENDONGKRAK SEKTOR RIIL Pada waktu ini sektor riil merupakan sektor yang sangat menderita, karena sektor ini terkena imbas dari beberapa persoalan ekonomi diantaranya Pertama, suku bunga, dalam mengatasi inflasi Otoritas Moneter menetapkan suku bunga yang tinggi, hal ini tentunya akan mempengaruhi tingkat investasi yang pada gilirannya mempengaruhi kegiatan ekonomi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh keynes bahwa tingkat bunga merupakan penghubung antara sektor keuangan dan riil. Kedua, persoalan kurs , Depresiasi nilai rupiah menyebabkan persoalan kurs yang melanda perekonomian indonesia. Memang, sebagian sektor riil menikmati keuntungan besar dari merosotnya nilai rupiah yang dikarenakan pendapatan mereka dalam valuta asing, sedangkan biaya produksinya dalam rupiah, sebagian dari sektor ini adalah sektor pertanian dan perkebunan. Tetapi selama persoalan kurs tidak dapat dipecahkan, sektor riil akan tetap terbelenggu ruang geraknya. Jadi persoalan ekonomi akan clear dan akan terjadi pertumbuhan ekonomi yang diinginkan bila masalah kurs teratasi dan keseimbangannya lebih banyak. Dampak yang paling nyata adanya persoalan kurs ini adalah terutama industri berbahan baku impor, itu jelas akan memotong sektor riil yang terkait dengan sektor luar negeri. Ketiga, terpuruknya sektor perbankan, sekarang sektor riil sangat sulit memperoleh sumber dana karena sektor perbankan saat ini mati suri, hal ini jelas memukul sektor riil. Selain itu belum lagi tingginya biaya transaksi, termasuk biaya ilegal. Keempat, stabilitas sosial, banyaknya kerusuhan yang terjadi belakangan ini seperti issue SARA, bentrokan berdarah di beberapa tempat dijakarta, Sampit dan disusul oleh aksi Sweeping kepada penduduk warga negara Amerika Serikat berkaitan dengan masalah Afganistan, yang telah mempengaruhi investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Jadi stabilitas politik dan jaminan keamanan harus ditingkatkan karena tanpa itu investor asing akan takut untuk membenamkan dananya disini karena beresiko. Sebagai contoh Seagate Technology Sumatera produsen hardisk dari Amerika Serikat, karena kondisi stabilitas sosial di Indonesia goyah, maka yang semula sudah siap
Modul Ekonomi Indonesia
Anton Bawono, S.E., M.Si.
Halaman : 8 dari 9 halaman
membenamkan modalnya sekitar Rp. 10 Triliun di kawasan Industri Medan Sumatra utara untuk sementara hengkang dulu ke Subic Filipina. Untuk masalah stabilitas sosial memang sangat berpengaruh secara mental kepada para investor. Karena orang tidak akan berbisnis dalam situasi yang diliputi ketidak pastian. Bisnis akan semakin terpuruk bila terjadi kerusuhan terus menerus. Tapi kita masih dapat bersyukur bahwa seperti apa yang dikatakan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pihaknya telah menyetujui sejumlah investasi asing yang baru pada tahun ini. Dari beberapa persoalan tersebut diatas, Maka untuk mendongkrak sektor riil, Pemerintah harus dapat memberikan stimulus pada sektor riil dengan persoalan ekonomi yang membuatnya terpuruk. Kalau kita lihat, suku bunga turun ( bunga deposito yang ditanggung pemerintah dalam satu bulan 46% menjadi 14% pertahun). Sedangkan kurs juga telah mengalami penurunan tetapi kembali meroket hingga menembus Rp. 10.700,00 per Dollar yang disebabkan beberapa factor non ekonomi. Tapi tingkat kurs tersebut masih diharapkan dapat turun atau adanya Apresiasi Rupiah. Sehingga dengan adanya penurunan kurs sektor riil yang terkait dengan industri yang berbahan baku impor dapat terangkat nasibnya dan pada gilirannya akan memberikan keuntungan pada sektor riil kemudian terjadi perluasan usaha (investasi meningkat ) lalu pengangguran yang ada sudah dapat dipastikan akan teratasi dan pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Untuk mendongkrak dari terpuruknya sektor perbankan, seperti belum lama ini, pemerintah melakukan rekapitalisasi perbankan dengan menyuntikkan dana Rp. 260 Triliun kepada bank yang sangat buruk dari segi permodalan, atau memiliki Capital adequency ratio (CAR) dibawah 4 persen. Dengan diadakannya rekapitalisasi memang sarat dengan resiko. Kita tahu angka Rp. 260 Triliun merupakan angka yang sangat besar, sedangkan dana itu digunakan untuk membenahi perbankan yang bobrok, tetapi jika program ini gagal bisa dibayangkan berapa uang rakyat yang hilang. Maka program ini harus berhasil. Untuk berhasilnya program ini sebaiknya otoritas moneter dapat memilih bank-bank yang layak diberi suntikan dana dan bank-bank yang mana tidak layak diberi suntikan dana. Dan bank-bank yang tidak layak diberi suntikan dana dalam arti bank itu sudah amat sangat sulit untuk ditolong atau diselamatkan dari kebobrokan akan lebih baik bank-bank tersebut dilikuidasi. Dengan tindakan melikuidasi bank-bank yang tidak mungkin diselamatkan akan lebih banyak manfaatnya antara lain dapat mengurangi besarnya dana untuk rekapitalisasi tersebut dan menghindarkan dari bankir nakal yang meraup dana pemerintah dan nasabah hanya untuk kepentingan pribadi mereka. Maka
Modul Ekonomi Indonesia
Anton Bawono, S.E., M.Si.
Halaman : 9 dari 9 halaman
untuk menghindari bankir-bankir yang nakal pemerintah harus meningkatkan law enforcement dan sikap tegas. Dengan ditingkatnya law enforcement dan sikap tegas pemerintah dapat mencegah bankir-bankir nakal merajalela yang dapat menimbulkan banyak masalah dikemudian hari. Prospek dari investasi pada tahun 2002 saya tetap optimis. Asalkan pemerintah yang ada sekarang tidak mengulang kesalahan yang telah dilakukan pemerintah yang terdahulu seperti di pasar domestik pernah terjadi praktek monopoli, pasar yang tertutup, dan adanya perlakuan berbeda terhadap perusahaan-perusahaan tertentu. Dan bila itu terjadi saya semakin optimis dalam 4 tahun pertumbuhan ekonomi kita akan kembali naik. Dan seperti yang dinyatakan oleh banyak pihak bahwa Indonesia punya sumberdaya manusia dan sumber daya alam, yang kedua sumberdaya itu melimpah dan belum digunakan sepenuhnya. Maka jika kedua sumber daya tersebut telah diolah dan digunakan dengan optimum, Saya yakin perekonomian Indonesia akan seperti yang diharapkan dikemudian hari.
Modul Ekonomi Indonesia
Anton Bawono, S.E., M.Si.