BAB I SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
Perkembangan bank-bank syariah di dunia dan di Indonesia tetap mengalami kendala karena bank syariah hadir di tengah-tengah perkembangan dan praktik-praktik perbankan konvensional yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat secara luas. Kendala yang dihadapi oleh perbankan (lembaga keuangan) syariah tidak terlepas dari belum tersedianya sumber daya manusia secara memadai dan peraturan perundang-undangan. Meskipun, telah banyak kajian yang mencoba untuk mempermudah penjelasan tentang pelaksanaan operasional perbankan syariah. Hal ini mengingat bahwa di masing-masing negara, terutama yang masyarakatnya mayoritas muslim, tidak mempunyai infrastruktur pendukung dalam operasional perbankan syariah secara merata. Bab ini banyak mengurai seluk beluk sejarah perbankan syariah baik di dunia maupun di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa akan mampu menjelaskan sejarah dan praktik perbankan syariah dan menjelaskan perkembangan sistem perbankan Syariah di Dunia dan Indonesia
1.1 Pendahuluan Pelaksanaan fungsi-fungsi perbankan sebenarnya telah ada dan menjadi tradisi sejak zaman Rosulullah seperti pembiayaan, penitipan harta, pinjam-meminjam uang, dan bahkan melaksanakan fungsi pengiriman uang. Namun, pada saat itu tentu saja fungsi-fungsi perbankan tersebut dilakukan masih secara sederhana dan perorangan sesuai kebutuhan masyarakat, sehingga belum terlembagakan secara sistematis. Sebenarnya Islam juga telah memiliki aturan yang cukup komprehensif mengenai hukum-hukum dalam suatu perekonomian, hal itu bisa digali lebih lanjut dalam Al-Quran, Hadits, maupun buku-buku karya para ulama. Bahkan, beberapa istilah perbankan modern ada yang berakar kata dari ilmu fiqh. Misalnya, istilah kredit (Inggris: credit berarti kepercayaan; Romawi: credo yang berarti kepercayaan, dan Arab: qard berarti meminjamkan uang berdasarkan kepercayaan). Selain itu, istilah cek (Inggris: check; Perancis: cheque, Arab: saq/suquq yang berarti pasar) - istilah cek terkenal sebagai alat pembayaran yang bisa digunakan di pasarpasar. Konskuensi perkembangan di masing-masing negara tersebut tentunya akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan perbankan syariah di dunia. Apalagi pada saat ini produk-produk keuangan semakin cepat perkembangannya.
1.2 Sejarah dan Perkembangan Perbankan Islam 1.2.1 Definisi Bank
Kata Bank berasal dari kata ―banque‖ (prancis) atau ―branco‖ (Italia) yang berarti Peti / Lemari. Tempat menyimpan benda berharga, ex. Peti emas, peti uang, dll (safe keeping function). Menunjukan fungsi dasar bank komersial. Abad ke-12 kata ―banco‖ menunjukkan meja, counter atau tempat penukaran uang (money changer), menunjukkan fungsi transaksi, yaitu membayar barang & jasa (menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa).
1.2.2 Praktek Perbankan di Zaman Nabi SAW dan Sahabat
Perbankan adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman Rasulullah saw. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meninjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah. Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan alAmin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayidina Ali ra untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya.1 Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengambalikannya utuh. Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak.3 Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar bin Khattab ra, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzara‘ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan
di zaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja. Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah kredit (Inggris: credit; Romawi: credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (Inggris: check; Perancis: cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar.
1.2.3 Praktek Perbankan di Zaman Bani Umayyah dan Bani Abasiah
Jelas saja institusi bank tidak dikenal dalam kosa kata fikih Islam, karena memang institusi ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, maupun Bani Abbasiyah. Namun fungsi-fungsi perbankan yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan transfer dana telah lazim dilakukan, tentunya dengan akad yang sesuai syariah. Di jaman Rasulullah saw fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan, dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di jaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu. Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu, dalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Hal ini merupakan cikal-bakal praktek penukaran mata uang (money changer). Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawiyah (661-680M) yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah. Peranan banker pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908932M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai bankir sendiri. Misalnya, Ibnu Furat menunjuk Harun ibnu Imran dan Joseph ibnu wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi Isa menunjuk Ali ibn Isa, Hamid ibnu Wahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang banker sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen. Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan
bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf al- Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol sekarang).
1.3 Awal Kelahiran System Perbankan Syariah Sejak
awal
kelahirannya,
perbankan
syariah
dilandasi
dengan
kehadiran
dua
gerakanrenaissance Islam modern : neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Quran dan As-sunnah. Upaya awal penerapan system profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah IslamicRural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir. Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank islam tumbuh dengansangat pesat. Sesuai dengan analisa Prof. Khursid Ahmad dan laporan International Association of Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroprasi di seluruh dunia, baik di Negara-negara berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia, maupun Amerika. Suatu hal yang patut dicatat adalh saat ini banyak nama besar dalam dunia keuangan International seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ, Chase Chemical Bank, GoldmanSach, dan lain-lain telah membuka cabang dan subsidiaries yang berdasarkan syariah. Dalam dunia pasar modal pun, Islamic fund kini ramai diperdagangkan, suatu hal yang mendorong singa pasar modal dunia Dow Jones menerbitkan Islamic Dow Jones Index. Oleh karena itu, tak heran jika Scharft, mantan direktur utama Bank Islam Denmark yang Kristen itu, menyatakan bahwa Bank Islam adalah parten baru pembangunan. 1. Mit Ghamr Bank Rintisan perbankan syariah mulai mewjud di Mesir pada decade 1960-an dan beroprasi sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamr Bank binaan Prof. Dr. Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi Pendanaan Mesir dan berskala kecil, namun instansi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan system financial dan ekonomi Islam.
2. Islamic Development Bank Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi konferensi Islam di Karachi, Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut Studi tentang Pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks), dikaji para ahli dari delapan belas Negara islam. Proposal tersebut intinya mengusulkan bahwa system keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu system kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam International dan Federasi Bank Islam. Proposal tersebut antara lain mengusulkan untuk : a. Mengatur transaksi komersial antara Negara Islam; b. Mengatur institusi pembangunan dan investasi; c. Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antarbank sentral di Negara islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya system ekonomi Islam yang terpadu; d. Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentral syariah di Negara islam; e. Mendukung upaya-upaya bank sentral di Negara islam dalam hal pelaksanaanpelaksanaan kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam; f. Mengatur administrasi dan mendayagunakan dana zakat; g. Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral Negara islam. Selain ha tersebut, diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries). Badan tersebutakan berfungsi sebagai berikut. a. Mengatur investasi modal Islam b. Menyeimbangkan antara investasi dan pembangunan di Negara Islam. c. Memilih lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya. d. Memberi saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk investasi regional di Negara-negara Islam. Sebagai rekomendasi
tambahan, proposal tersebut mengusulkan pembentukan
perwakilan-perwakilan khusus, yaitu Asosiasi Bank-Bank Islam (Association of Islamic Bank) sebagai badan konsultif untuk masalah-masalah ekonomi dan perbankan syariah. Tugas badan ini di antaranya menyediakan bantuan teknis bagi Negara-negara Islam yang ingin mendirikan bank syariah dan perbankan syariah. Bentuk dukungan teknis tersebut dapat berupa pengiriman para ahli ke Negara tersebut, penyebaran atau
sosialisasi system perbankan islam, dan saling tukar informasi dan pengalaman antar Negara islam. Para Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973, usulan tersebut kembali diagendakan. Sidang kemudian juga memutuskan agar OKI mempunyai bidang yang khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili Negara-negara islam penghasil minyak, bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, di bahas pada pertemuan kedua, Mei 1974. Sidang Mentri Keuangan OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 miliar dinar Islam atau ekuivalen 2 miliar SDR (Special Drawing Right). Semua Negara anggota OKI menjadi anggota IDB. Pada tahun-tahun awal beroperasinya, IDB mengalami banyak hambatan karena masalah politik. Meskipun demikian, jumlah anggotanya makin meningkat, dari 22 menjadi 43 negara. IDB juga terbukti mampu memainkan peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan Negara-negara islam untuk pembangunan. Bank ini memberikan pinjaman bebas bunga untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan kepada Negara anggota berdasarkan partisipasi modal Negara tersebut. Dana yang tidak dibutuhkan dengan segera digunakan bagi perdagangan luar negeri jangka panjang dengan menggunakan system murabahah dan ijarah. 3. Islamic Research and Training Institute IDB juga membantu mendirikan bank-bank Islam di berbagai Negara. Untuk pengembangan system ekonomi syariah, institusi ini membangun sebuah institute riset dan pelatihan untuk pengembangan penelitian dan pelatihan ekonomi islam, baik dalam bidang perbankan maupun keuangan secara umum. Lembaga ini disingkat IRTI (Islamic Research an Training Institute).
Pembentukan bank-bank syariah Berdirinya IDB telah memotivasi banyak Negara islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan pandian tentang pendirian, peraturan dan pengawasan bank syariah. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Pada akhir periode 1970-an dan awal decade 1980-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki. Secara garis besar, lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukan ke dalam dua kategori. Pertama, bank Islam komersial (Islamic Comercial Bank). Kedua, lembaga investasi dalam
bentuuk international holding companies. Bank-bank yang masuk kategori pertama diantaranya: 1. Faisal Islamic Bank 2. Kuwait Finance House 3. Dubai Islamic Bank 4. Jordan Islamic Bank for Finance and Investment 5. Bahrain Islamic Bank, 6. Islamic International Bank for Investment and Development (Mesir). Adapun yang termasuk kategori kedua 1. Daar al-Maal al-Islami (Jenewa) 2. Islamic Investment Company of the Gulf, 3. Islamic Investment Company (Bahama), 4. Islamic Investment Company (Sudan), 5. Bahrain Islamic Investment Bank (Manama), 6. Islamic Investment House (Amman).
1.4 Perkembangan Bank-Bank Syariah di Berbagai Negara
1.
PAKISTAN Pakistan merupakan pelopor di bidang perbankan syariah. Pada awal Juli 1979, system bunga dihapuskan dari operasional tiga institusi: National Investment (Unit Trust), House Building Finance Corporation (pembiayaan sektor perumahan), Mutual Fund of the Investment Corporation of Pakistan (kerjasama investasi). Pada 1970-80, pemerintah mensosialisasikan skema pinjaman tanpa bunga kepada petani dan nelayan.
Pada tahun 1981, seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Perusahaan Mudharabah dan Murabahah, mulailah beroperasi tujuh ribu cabang bank komersial nasional di seluruh Pakistan dengan menggunakan system perbankan Pakistan dikonversi dengan system yang baru, yaitu system perbankan syariah.
2.
MESIR Bank syariah yang pertama didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic Bank. Bank ini mulai beroperasi pada bulan Maret 1978 dan berhasil membukukan hasil mengesankan dengan total asset sekitar 2 miliar dolar AS pada 1986 dan tingkat keuntungan sekitar 106 juta dolar AS. Selain Faisal Islamic Bank, terdapat bank lain, yaitu Islamic International Bank for
Investment and Development yang beroperasi dengan menggunakan instrument keuangan Islam dan menyediakan jaringan yang luas. Bank ini beroperasi, baik sebagai bank investasi (investmen bank), bank perdagangan (merchant bank), maupun bank komersial (commercial bank). 3.
SIRPUS Faisal Islamic Bank of Kibris (Sirpus) mulai beroperasi pada Maret 1983 dan mendirikan Faisal Islamic Investment Corporation yang memiliki 2 cabang di sirpus dan 1 cabang di Istambul. Dalam sepuuh bulan awal operasinya, bank tersebut telah melakukan pembiayaan dengan skema murabahah senilai sekitar TL 540 juta (TL atau Turkey Lira, mata uang Turki).
Bank ini juga melaksanakan pembiayaan dengan skema musyarakah dan mudharabah, dengan tingkat keuntungan yang bersaing dengan bank non syariah. Kehadiran bank Islam di Surpus telah menggerakan masyarakat untuk menabung. Bank ini beroperasi dengan mendatangi desa-desa, pabrik, dan sekolah dengan menggunakan kantor kas (mobil) keliling untuk mengumpulkan tabungan masyarakat. Selain kegiatan-kegiatan di atas, mereka juga mengelola dana-dana lainnya seperti al-qardhul hasan dan zakat.
4.
KUWAIT Kuwait Finance House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi dengan system tanpa bunga. Institusi ini memiliki puluhan cabang di Kuwait dan telah menunjukan perkembangan yang cepat. Selama dua tahun saja, yaitu 1980 hingga 1982, dana masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD 149 juta menjadi KD 474 juta. Pada akhir tahun 1985, total asset mencapai KD 803 juta dan tingkat keuntungan bersih mencapai KD 17 juta (satu Dinar Kuwait ekuivalen dengan 4 hingga 5 dolar US).
5.
BAHRAIN Bahrain merupakan off-shore banking heaven di Timur Tengah. Di negeri yang hanya berpenduduk tidak lebih dari 660.000 jiwa (per Desember 1999) tumbuh sekitar 220 local dan off-shore banks. Tidak kurang dari 22 diantaranya beroperasi berdasarkan syariah. Di antara bank-bank yang beroperasi secara syariah tersebut adalah Citi Islamic Bank of Bahrain,dan alBarakah Bank.
6.
UNI EMIRAT ARAB Dubai Islamic Bank merupakan salah satu pelopor perkembangan bank syariah.
Didirikan pada tahun 1975. Investasinya meliputi bidang perumahan, proyek-proyek industry, dan aktivitas komersial. Selama beberapa tahun, para nasabahnya telah menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional.
7.
MALAYSIA Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) merupakan bank syariah pertama di Asia tenggara. Bank ini didirikan pada tahun 1983, dengan 30% modal merupakan milik pemerintahfederal. Hingga akhir 1999, BIMB telah memiliki lebih dari tujuh puluh cabang yang tersebar hamper di setiap Negara bagian dan kota-kota Malaysia, BIMB telah tercatat sebagai listed-public company dan mayoritas sahamnya dikuasai oleh Lembaga Urusan dan Tabungan Haji.
Pada tahun 1999, disamping BIMB telah hadir satu bank syariah baru dengan nama Bank Putera Muamalah. Bank ini merupakan anak perusahaan dari Bank Bumi Putera yang baru saja melakukan merger dengan Bank of Commerce.
Dinegeri jiran ini, di samping full pledge Islamic banking, pemerintah Malaysia memperkenankan juga system Islamic window yang memberikan layanan syariah pada bank konvensional.
8.
IRAN a. Ide pengembangan perbankan Syariah di Iran sesungguhnya bermula sesaat sejak revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, sedangkan perkembangan dalam arti riil baru dimulai sejak januari tahun 1984. b. Berdasarkan ketentuan / undang-undang yang disetujui pemerintahpada bulan Agustus 1983. Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 miliar rial yang diadministrasikan sesuai dengan system syariah. c. Islamisasi system perbankan di Iran ditandai dengan nasionalisasi seluruh industry perbankan yang dikelompokan menjadi dua kelompok besar : (1) perbankan komersial, (2) lembaga pembiayaan khusus. Dengan demikian, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Perbankan Islam (1983), seluruh system perbankan di iran otomatis berjalan sesuai syariah dibawah control penuh pemerintah.
9.
TURKI
Sebagai Negara yang berideologi sekuler, Turki termasuk negeri yang cukup awal memiliki perbankan syariah. Pada tahun 1984, pemerintah Turki memberikan izin kepada Daar al-Maal al-Islami (DMI) untuk mendirikan bank yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil. Menurut ketentuan Bank Sentral Turki, bank syariah diatur dalam satu yurisdiksi khusus. Setelah DMI berdiri, pada bulan Desember 1984 didirikan pula Faisal Finance Institution dan mulai beroperasi pada bulan April 1985. Disamping dua lembaga tersebut, Turki memiliki ratusan jika tidak ribuan lembaga waqaf (vaqfi organiyasyonu) yang memberikan fasilitas pinjaman dan bantuan pada masyarakat.
1.5 Perkembangan Bank Syariah di Indonesia 1.5.1 Latar Belakang Bank Syariah Berkembangnya bank-bank syariah
dinegara –negara islam berpengaruh
keindonesia. Pada periode awal 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja,M. Dawam Raharjo,A.M. Saefuddin,M. Amin Azis dan lain lain. Beberapa ujicoba pada skala yang relative terbatas telah diwujudkan. Di antaranta adalah baitul tamwil-salman,Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan, dijakarta dibentuk juga lembaga serupa berbentuk koperasi, yakni koperasi Ridho Gusti. Akan tetapi , prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank islam di Indonesia yang baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 agustus 1990 mengadakan lokakarya bunga bank pada perbankan di cisarua, bogor, jawa barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas dalam pada musyawarah nasional MUI yang berlangsung dihotel syahid Jakarta, 22-25 agustus 1990. Berdasarkan amanat munas MUI dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut tim perbankan MUI. Bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
1.5.2 PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) Bang muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim perbanakan MUI . akte pendirian Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tangagal 1 november 1991. Pada saat penandatanganan akte ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 milliar. Pada tanggal 3 november 1991, dalam acara sillaturrahmi presiden di istana bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal setor awal sebanyak Rp 106.126.382.000.00.
dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 mei 1992, bank muamalat Indonesia telah memiliki lebih dari 45 uotlet yang tersebar dijakarta. Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan makasar. Pada awal pendirian landasan hukum dan bank muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hokum operasi bank yang berlandasan syariah ini hanya dikategorikan sebagai ―bank dengan sistem bagi hasil‖, tidak terdapat rincian hukum syariah serta usahausaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dalam UU No.7 tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu.
1.5.3 Era Reformasi dan Perbankan Syariah Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya undang-undang No.19 tahun 1998. Dalam UU ini tersebut juga jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diiplementasikan oleh bank syariah. UU tersebut juga memberikan arahan kepada bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau mengkonversi diri serta secara total menjadi bank syariah. Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai melakukan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para staf nya. Sebagian bank berkeinginan menkonversi diri sepenuhnya untuk menjadi bank syariah. Hal ini diantisipasi oleh bank Indonesia dengan mengadakan ―pelatihan pebankan syariah‖bagi para pejabat bank Indonesia dan segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP (direktorat penelitian dan pengaturan perbankan)
Bank Umum Syariah Bank Syariah mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan prinsip operasionalnya berlandaskan syariah. Secara structural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai anak perusahaan dalam ruang lingkup bank mandiri. Yang kemudian dikonversi menjadi bank syariah secara penuh, dalam rangka melancarkan proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerjasama dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi. Sebagai salah satu bank yang dimiliki oleh bank mandiri yang memiliki asset ratusan triliun dan networking yang luas, BSM memiliki beberapa keunggulan komparatifdibanding pendahulunya. Demikian juga perkembangan politik diaceh menjadi blessing dan disguise bagi BSM. Karna BSM akan menyerahkan seluruh cabang bank mandiri yang ada di aceh kepada BSM untuk dikelola seca syariah. Perkembangan ini diikuti pula dengan
peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi 20 buah.
Cabang Syariah dari Bank Konvensional Satu perkembangan perbankan syariah diindonesia pasca revormasi adalah diperkenalkannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi bank syariah. Beberapa bank yang telah membuka cabang syariah diantaranya adalah: o Bank IFI (mambuka cabang pada juni 1999) o Bank Niaga (akan membuka cabang syariah) o Bank BNI 46 (telah mambuka 5 cabang syariah) o Bank BTN (akan membuka cabang syariah) o Bank Mega ( akan menkonversi salah satu bank konvensional- anak perusahaannya untuk menjadi bank syariah) o Bank BRI (akan membuka cabang syariah) o Bank Bukopin (akan melakukan program konversi untuk cabang aceh) o BPD JABAR (telah membuka cabang stariah di Bandung) o BPD aceh (tengah menyediakan SDM untuk mnekonversi cabang)
1.6. Kesimpulan Setelah kita menelusuri secara singkat sejarah praktik perbankan yang dilakukan oleh umat Muslim, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa meskipun kosa kata fiqih Islam tidak mengenal kata ―bank‖, tetapi sesungguhnya bukti-bukti sejarah menyatakan bahwa fungsi-fungsi perbankan modern telah dipraktikan oleh umat Muslim, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Praktik-praktik fungsi perbankan ini tentunya berkembang secara berangsur-angsur dan mengalami kemajuan dan kemunduran di masa-masa tetentu, seiring dengan naik turunnya peradaban umat Muslim. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep bank bukanlah suatu konsep yang yang asing bagi umat Muslim, sehingga proses ijtihad untuk merumuskan konsep bank modern yang sesuai dengan syariah tidak perlu dimulai dari nol. Jadi, upaya ijtihad yang dilakukan insya Allah akan menjadi lebih mudah.
Pertanyaan 1. Mengapa perkembangan perbankan syariah di indonesia lebih lambat dibandingkan dengan Negara lain????
2. Apakah perbedaan BMT pada zaman rasuluallah dengan perbankan syariah pada saat
sekarang ini???
3. Kalau kita lihat mengapa perkembangan BMT pada saat sekarang ini sangat lambat perkembangan nya dibandingkan dengan perbankan syariah???
REFERENSI Antonio, Syafi‘i, M.2001.Bank syariah dari teori ke praktek.Jakarta: Penerbit Gema Insani Pers. Bulletin ekonomika dan bisnis islam (LEBI) FEB UGM http://www.rumahilmuindonesia.net/perpustakaan/ekonomi_syariah/sejara_perbankan_syariah
BAB II PERBEDAAN ANTARA BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL Bertolak dari pemikiran yang menyatakan bahwa bunga bank identik dengan riba, para ekonom muslim berusaha untuk membebaskan semua kegiatan ekonomi dari unsur riba yang dilaknat dalam semua aama ini. Salah satu usaha tersebut adalah dengan mendirikan berbagai lembaga keuangan bank dan non bank yang terbebas dari unsur bunga dengan mengunggulkan sistem profit and loss sharing. Hal inilah yang menjadi pembeda utama antara bank syariah dan bank konvensional. Bab ini banyak membahas perbedaan teori dan praktek bank Syariah dan konvensional, sistem operasional bank syariah, dan juga produk bank syariah dengan tujuan untuk menarik kesimpulan tentang perbedaan antara kedua sistem perbankan ini. Tujuan mempelajari bab ini adalah menjelaskan perbedaan mendasar operasional bank syariah dan konvensional dan menjelaskan akad, aspek dan struktur organisasi
2.1 Pendahuluan Perkembangan Bank Konvensional, diawali ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktik perbankan yang berbasis bunga. Dan hal itu diikuti oleh hampir seluruh negara di dunia ini,termasuk di negara muslim sekalipun, Karena sudah berabad-abad lamanya (kurang lebih 450 tahun) perbankan konvensional beroperasi diseluruh dunia, sehingga sistem perbankan konvensional ini tidak bisa lepas dari seluruh aktifitas ekonomi masyarakat dunia dan ini sangat sulit dilakukan pergeseran paradigma ke sistem yang baru. Karena sistem konvensional ini telah mengakar dan sangat mapan serta produk-produknya sangat sophisticated dan berteknologi tinggi. Namun belakangan, timbul sebuah pemikiran dari ekonom muslim untuk menganalisa keidentikan bunga bank konvensional dengan riba yang dilarang dalam Islam. Sehingga pemikiran ekonom muslim tersebut menimbulakn banyak buku-buku fiqh Islam yang membahas tentang bunga perbankan konvensional ini.
Bertolak dari fiqih Islam bahwa bunga bank konvensional dikategorikan sebagai riba, mulai timbul usaha-usaha sejumlah negara muslim untuk mendirikan lembaga alternatif terhadap bank
yang ribawi ini. Hal ini terjadi setelah bangsa-bangsa muslim mendapatkan kemerdekaannya dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 40-an, kemudian eksperimen lainya dilakukan di Pakistan pada akhir tahun 50-an, dimana suatu lembaga perkreditan tanpa bunga didirikan di pedesaan negara itu. Eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif dimasa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun 1963, dengan berdirinya Mit Ghamer Local Saving Bank.
Pada perkembangan selanjutnya di era 70-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa negara seperti Pakistan, Iran dan Sudan, mengubah seluruh sistem keuangan di negara itu menjadi sistem tanpa bunga. Negara mayoritas Islam lainnya, seperti Malaysia dan Indonesia, bank syariah beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional. Perkembangan bank syariah, tidak hanya di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, tetapi juga di negara-negara dengan penduduk mayoritas non Islam pun banyak yang membuka bank syariah. 2.2 Prinsip Operasional Perbankan Syariah Dalam operasionalnya perbankan syariah menjadikan prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi Islam sebagai dasar operasionalnya. Di antara yang paling menonjol dari sistem ekonomi Islam adalah tidak mengenal konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk tujuan komersial Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi adalah kemitraan / kerjasama(mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedangkan peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa adanya imbalan apapun. Didalam menjalankan operasinya fungsi bank Islam akan terdiri dari:
Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi / deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank.
Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana / sahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (dalam hal ini bank bertindak sebagai manajer investasi)
Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
Sebagai pengelola fungsi sosial seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta penyaluran dana kebajikan ( fungsi optional )
Dari fungsi tersebut maka mekanisme operasional bank syariah sebagai bank yang bebas bunga dan sesuai dengan prinsip syariah Islam baik dari segi penghimpunan dana, maupun penyaluran dana adalah sebagai berikut:
2.2.1 Prinsip mudharabah Yaitu perjanjian antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai pemilik dana/sahibul mal dan pihak kedua sebagai pengelola dana/mudharib untuk mengelola suatu kegiatan ekonomi dengan menyepakati nisbah bagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh sedangkan kerugian yang timbul adalah resiko pemilik dana sepanjang tidak terdapat bukti bahwa mudharib melakukan kecurangan atau tindakan yang tidak amanah (misconduct) Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib maka mudharabah dibedakan menjadi mudharabah mutlaqah dimana mudharib diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan pilihan investasi yang dikehendaki, sedangkanjenis yang lain adalah mudharabah muqayyaddah dimana arahan investasi ditentukan oleh pemilik dana sedangkan mudharib bertindak sebagai pelaksana/pengelola.
2.2.2 Prisip Musyarakah Yaitu perjanjian antara pihak-pihak untuk menyertakan modal dalam suatu kegiatan ekonomi dengan pembagian keuntungan atau kerugian sesuai nisbah yang disepakati Musyarakah dapat bersifat tetap atau bersifat temporer dengan penurunan secara periodik atau sekaligus diakhir masa proyek.
2.2.3 Prinsip Wadiah Adalah titipan dimana pihak pertama menitipkan dana atau benda kepada pihak kedua selaku penerima titipan dengan konsekuensi titipan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil kembali, dimana penitip dapat dikenakan biaya penitipan. Berdasarkan kewenangan yang diberikan maka wadiah dibedakan menjadi wadiah yad dhamanah yang berarti penerima titipan berhak mempergunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat diperlukan, sedang disisi lain wadiah amanah tidak memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk mendayagunakan barang/dana yang dititipkan.
2.3 Prinsip Jual Beli (Al Buyu') Dalam prinsip jual beli terdiri dari: a. Murabahah: yaitu akad jual beli antara dua belah pihak dimana pembeli dan penjual
menyepakati harga jual yang terdiri dari harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan bagi penjual. Murabahah dapat dilakukan secara tunai bisa juga secara bayar tangguh atau bayar dengan angsuran. b. Salam: yaitu pembelian barang dengan pembayaran dimuka dan barang diserahkan kemudian c. Ishtisna': yaitu pembelian barang melalui pesanan dan diperlukan proses untuk pembuatannya sesuai dengan pesanan pembeli dan pembayaran dilakukan dimuka sekaligus atau secara bertahap.
2.4 Prinsip fee (Jasa-Jasa) Jasa yang disediakn oleh bank syariah terdiri dari :
Ijarah: yaitu kegiatan penyewaan suatu barang dengan imbalan pendapatan sewa, bila terdapat kesepakatan pengalihan pemilikan pada akhir masa sewa disebut Ijarah mumtahiya bi tamlik(sama dengan operating lease).
Wakalah: yaitu pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua (sebagai wakil) untuk urusan tertentu dimana pihak kedua mendapat imbalan berupa fee atau komisi.
Kafalah: yaitu pihak pertama bersedia menjadi penanggung atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak kedua sepanjang sesuai dengan yang diperjanjikan dimana pihak pertama menerima imbalan berupa fee atau komisi (garansi).
Sharf: yaitu pertukaran /jual beli mata uang yang berbeda dengan penyerahan segera /spot berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran.
2.5 Prinsip Kebajikan
Yaitu penerimaan dan penyaluran dana kebajikan dalam bentuk zakat infaq shodaqah dan lainnya serta penyaluran alqardul hasan yaitu penyaluran dan dalam bentuk pinjaman untuk tujuan menolong golongan miskin dengan penggunaan produktif tanpa diminta imbalan kecuali pengembalian pokok hutang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa produk-produk bank syariah antara lain: Penghimpunan dana a. wadiah
Penyaluran dana 4. piutang
Jasa-jasa 1. rahn
Giro
qard
2. wakalah
Tabungan
murabahah
3. kafalah
salam
4. sharf
b. mudharabah
1. Tabungan 2. Deposito
istisna
b.investasi 1. mudharabah a) muthlaqah b) muqayadah 2. musyarakah c. sewa 1. ijarah 2. IMBT
2.6 Perbedaan Perbankan syariah dan konvensional Bank syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan syariah atau prinsip agama Islam. Sesuai dengan prinsip Islam yang melarang sistem bunga atau riba yang memberatkan, maka bank syariah beroperasi berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan dan keadilan. Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain dari segi akad dan legalitas, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingungan kerja.
Untuk lebih jelas bab ini mencoba untuk memaparkan secara jelas tentang perbedaan tersebut sebagai berikut; o Aspek Akad dan Legalitas Dalam Bank Syariah, akad/perjanjian yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tetapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga di yaumil qiyamah nanti. setiap akad yang dilakukan dalam perbankan syariah harus memenuhi syarat dan rukun sesuai dengan akad yang dilakukan. o Lembaga Penyelesaian Sengketa Berbeda dengan perbankan konvensional, dalam perbankan syariah lembaga penyelesaian sengketa/perselisihan antara Bank syariah dengan nasabah dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau Pengadilan Agama, sedangkan pada Bank Konvensional penyelesian sengketa/perselisihan dengan nasabah melalui Pengadilan Negeri. o Struktur Organisasi
Struktur Organisasi Bank Syariah selain mempunyai Dewan Komisaris dan Direksi seperti halnya Bank Konvesnional, diharuskan pula memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas untuk mengawasi dan memastikan bahwa operasional dan produk-produk Bank Syariah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam, sedangkan di Bank Konvensional didalam struktur oerganisasinya tidak diharuskan memiliki Dewan Pengawan Syariah (DPS). Adapun fungsi Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai berikut: Mengawasi operasional sehari-hari agar semua aktivitas yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah. Membuat pernyataan secara berkala bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan syariat Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang di awasi.
Mekanisme kerja DPS DPS
Rapat DPS dengan direksi dan dep terkait
jawaban
pengajuan rancangan produk
implementasi dan sosialisasi instruksi DEP TERKAIT
DIREKSI
usulan
Sedangkan fungsi Dewan Syariah Nasional dalam hal ini adalah sebagai berikut: 1. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah 2. meneliti dan mengeluarkan fatwa bagi produk-produk yang dikeluarkan oleh bank syariah 3. memberikan rekomendasi para ulama yang bertugas pada dewan syariah nasional pada suatu lembaga keuangan syariah 4. memberikan teguran kepada lembaga jika menyimpang dari syariat
Mekanisme kerja DSN
Pembahasan
pembahasan pengajuan
rapat dg DPS pengajuan
PELAKSANA
PLENO DSN
DPS SEBAGAI WAKIL DSN
DSN jawaban
jawaban
jawaban
insruksi BAG.TERKAIT
DIREKSI usulan pengajuan
o Pengelolaan Modal Milik Nasabah Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko. Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank
kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana nasabah di bank diinvestasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya. Dengan demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank syariah semakin besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase dari dana yang disimpannya saja. o Lingkungan Kerja Sebagai lembaga keuangan yang berbasis syariah, lingkungan kerja bank syariah harus memiliki lingkungan kerja yang bernuansa syariah juga. karyawan bank syariah harus memiliki sifat uswatun hasanah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. seorang karyawan harus memiliki sifat amanah, dan shidiq sehingga tercermin sifat integritas eksekutif muslim yang baik. disamping itu karyawan bank syariah harus memiliki skill full dan profesional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team work dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). seperti itu pula halnya pemberian penghargaan dan hukuman bagi karyawan terkait harus dilandasi oleh prinsip keadilan sesuai dengan ketentuan syariat. Selain sifat kepribadian karyawan di atas, lembaga keuangan syariah juga memiliki aturan dalam berpakaian untuk karyawannya, semua karyawan harus memakai pakaian yang sesuai dengan aturan syariat, sehingga tidak ada aurat yang diperlihatkan dalam dunia kerja. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, nasabah adalah orang yang harus dilayani dengan rasa hormat, santun dan sopan. selalu awali pertemuan dengan nasabah dengan senyum. Lebih jelasnya perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional dapat dijelaskan melalui tabel berikut: Perbedaan Bank Syariah Dan Bank Konvensional Elemen
Bank syariah
Bank konvensional
Dasar operasi
1. berbasis hukum islam 6. berbasis materialisme 2. uang = alat tukar 3. tidak ada bunga 4. menggunakan hasil
digunakan
sebagai komoditas bagi 8. berdasarkan bunga
berbasis 9. berdasarkan
transaksi riil 5. bebas
7. uang
dari
hukum
positif unsur 10. tidak
ada
batasan
haram
(spekulasi,
haram
penipuan, suap, dan riba) Peran dan fungsi
7. intermediary
10. intermediary
8. agen investasi
11. lending – borrowing
9. hubungan kemitraan
dengan bunga 12. hubungan debitur dan kreditur
Resiko bisnis
berbagi resiko antara
resiko
bank
nasabah
berhubungan langsung
konsep
dengan nasabah dan
dan
dengan keadilan,
kejujuran,
terhindar
tidak
sebaliknya
dan keterbukaan
bank
dari
dapat terjadi negative spread
negative spread
Perbedaan yang paling mencolok dari semua perbedaan itu adalah basisi pengambilan keuntungan dari bank tersebut. Kalau bank konvensional mengambil bunga yang ditetapkan di awal, dimana semua agama pada dasarnya menentang kehadiran bunga. Sedangkan bank syariah mengambil keuntungan dengan prinsip bagi hasil, atau lebih dikenal dengan prifit and loss sharing. lebih jelas, dapat dijelaskan perbedaan antara bunga dan bagi hasil seperti dalam tabel berikut: Perbedaan Bungan Dan Bagi Hasil BUNGA
BAGI HASIL
penentuan bunga dibuat di awal h. penentuan akad
dengan
asumsi
bahwa
nisbah
bagi
hasil
ditentukan di awal akad dengan
nasabah yang meminjam uang dari
berpedoman
bank
untung rugi proyek yang dijalankan.
ataupun
bank
sebagai
pada
kemungkinan
pengelola dana nasabah selalu untung. tidak mengenal adanya kerugian. besarnya presentase keuntungan i. besarnya rasio bagi hasil berdasarkan berdasarkan pada besarnya jumlah
besarnya keuntungan yang diperoleh
uang yang dipinjamkan. sehingga
dalam pengelolaan sebuah proyek
makin
besar
uang
yang
dipinjamkan
semakin
besar
presentase kuntungan. pembayaran bunga tetap seperti j. bagi
hasil
tergantung
kepada
yang dijanjikan di awal tanpa
keuntungan proyek yang dijalankan,
membertimbangkan apakah proyek
jika proyek yang dijalankan rugi,
yang dijalankan untung atau rugi.
maka kerugian ditanggung bersama.
jumlah pembayaran bunga tidak k. jumlah bagi hasil meningkat sesuai meningkat keuntungan
meskipun yang
jumlah didapatkan
meningkat atau keadaan ekonomi
dengan
peningkatan
pendapatan.
semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi bagi hasil yang didapat.
sedang booming eksistensi bunga diragukan oleh l. tidak setiap agama
ada
yang
meragukan
ke
absahan bagi hasil
2.7 Kesimpulan Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat jelas antar perbankan syariah dan perbankan konvensional, baik dari segi akad, legalitas, lembaga penyelesaian sengketa, struktur organisasi, cara pengelolaan dana, dan lingkuan dan etika kerja dalam lembaga keuangan yang berbasis syariah. Selain itu terdapat perbedaan yang sangat mencolok dari sistim operasional bagi hasil, dimana tidak ada keraguan bagi semua agama tentang hal tersebut, sedangkan bank konvensional menggunakan sistem bunga, yang semua agama meragukan keabsahan sistem ini. Dari perbedaan tersebut dapat juga disimpukan bahwa dalam operasionalanya bank syariah lebih memiliki keadilan dalam distribusi kekayaan, baik itu distribusi keuntungan atau marjin, maupun distribusi pembiayaan yang tidak terlalu menyulitkan nasabah. Selain itu bank syariah juga memiliki perhatian yang khusus terhadap karyawannya. Singkat kata, bank syariah lebih adil dalam setiap operasionalnya.
SOAL LATIHAN 1. Jelaskan fungsi bank syariah dalam menjalankan opersionalnya! 2. Jelaskan prinsip operasional bank syariah! 3. Jelaskan perbedaan mendasar antara perbankan syariah dan perbankan konvensional! Kemudian gunakan matrik untuk menyimpulkan penjelasan anda! 4. Jelaskan mekanisme DSN dalam perbankan syariah! 5. Jelaskan perbedaan bunga dan bagi hasil dengan menggunakan matrik!
6. Ada rumor di kalangan masyarakat, bahwa produk perbankan syariah adalah hasil pengkloningan dari produk perbankan konvensional yang di ubah versi dan namanya. Apakah rumor ini benar? Jelaskan.
DAFTAR PUSTAKA Antonio, Muhammad Syafi‘i. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. 2001. Jakarta: Gema Insani Press Sholahuddin, Muhammad. Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam. 2006. Surakarta: Muhammadiyah Universiti press. Djazuli,A. Lembaga-Lembaga Perekonomian Rakyat. 2002. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. PKES. Perbankan Syariah.2006. Jakarta: Gd Arthaloka
BAB III
RIBA GHARAR DAN JENIS TRANSAKSI YANG DILARANG
Dalam ibadat kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya berdasarkan Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Sedangkan dalam urusan muamalat, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul dimana belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadist yang melarangnya secara eksplisit maupun implisit. Jadi dalam bidang muamalat, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan. Bab ini menguraikan larangan riba dan beberapa jenis transaksi yang diharamkan dalam dunia perbankan.Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu menjelaskan definisi riba, gharar dan jenis transaksi yang dilarang dan mampu mengindentifikasi Riba, Gharar dan Transaksi yang dilarang dalam praktik bank syariah
3.1 Pendahuluan Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dalam Al-qur‘an dan As-Sunnah dan telah dijelaskan segala gamblang oleh para Ulama untuk penjelasan detilnya termasuk untuk hal ekonomi. Kehidupan masyarakat tidak akan pernah lepas dari kegiatan ekonomi. Sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan, manusia akan selalu berketergantungan dengan manusia lainnya untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Pasar merupakan tempat berinteraksinya pembeli dan penjual untuk mendapatkan barang yang dibutuhkannya sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Mekanisme pasar yang diatur oleh Islam adalah mekanisme yang mengakui adanya hak kepemilikan individu dengan dipenuhinya syarat-syarat jual beli yang paling penting yaitu „an taraadhin bayna al-bai‟ wal
musytari dengan tidak menguntungkan atau merugikan salah satu pihak. Untuk mengakomodir terlaksananya akad transaksi yang adil antara kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli, maka Islam pun menjelaskan hal-hal yang dijadikan pedoman manusia dalam bermuamalah secara ekonomi. Dimulai dari hal yang paling dasar yaitu pelarangan riba‘ hingga transaksi-transaksi yang bisa menyebabkan distorsi pasar seperti taghrir, tadlis, bay‘ najasy, ihtikar dan sebagainya. Semua penjelasan itu telah terangkum dalam kitab-kitab para ulama klasik seperti al-Qodhi Abdul Jabbar al-Mu‘tazili (dalam buku al-Mughni fi Abwab at-Tauhid wal adl), Ibnu Khaldun (alMuqoddimah), hingga al-Ghazali yang menuangkan pemikirannya tentang mekanisme pasar dan harga dalam bukunya Ihya „Ulumuddin. Salah satu contohnya, Al-Ghazali telah begitu revolusioner menerangkan konsep ihtikar yang mengakibatkan ancaman dan merupakan bahaya dan kerugian bagi semua orang. Adapun beliau menggarisbawahi pelarangan dilakukannya ihtikar hanya pada waktu dimana kebutuhan orang begitu besar terhadap bahan makanan (dimana permintaan lebih tinggi daripada penawaran) saja. Jika situasi normal dan semua barang kebutuhan tersedia melimpah ruah di pasar, maka larangan ihtikar menjadi hilang karena bahaya yang ditimbulkannya tidak tampak dalam kenyataan. Penyebab terlarangnya sebuah transaksi adalah disebabkan faktor-faktor di bawah ini: 1. Haram zatnya / haram li-dzatihi 2. Haram selain zatnya / haram li ghairihi 3. Tidak sah/lengkap akadnya
3.2 Riba Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Pelarangan Riba dilakukan oleh semua agama, selain Islam ada nasrani dan yahudi yang jelasjelas menolaknya seperti yang tertuang dalam kitab sucinya :
1. Al-Qur‘an
َ َضا َعفَةً َواتَّقُىا هللاَ نَ َعهَّ ُك ْم تُ ْف ِه ُحىن ْ ََا أَ ُّي َها انَّ ِريهَ َءا َمىُىا الَ تَأْ ُكهُىا ان ِّستَا أ َ ض َعافًا ُّم ―Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan‖ (QS. Ali Imran:130).
َ { َآأَيُّ َها انَّ ِريهَ َءا َمىُىا اتَّقُىا هللاَ َو َذ ُزوا َماتَقِ َي ِمهَ ان ِّستَا إِن ُكىتُم ُّم ْؤ ِمىِيه278 } فَئِن نَّ ْم َوض أَ ْم َىانِ ُك ْم الَ تَ ْظهِ ُمىنَ َوال ُ سىنِ ًِ َوإِن تُ ْثتُ ْم فَهَ ُك ْم ُز ُء ُ ب ِّمهَ هللاِ َو َز ٍ تَ ْف َعهُىا فَأْ َذوُىا تِ َح ْس ْ ُت279} { َظهَ ُمىن ―Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya‖. (QS. Al Baqarah: 278-279)
2. Hadits
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: ―Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.‖ (HR. Ibn Majah). Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: ―Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).‖ (HR. Ibn Majah).
Diriwayatkan oleh Samura bin Jundab bahwa Rasulullah SAW bersabda, ―Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ―Siapakah itu ?‖, Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang ditengah sungai itu ialah orang yang memakan riba‖. (HR.Bukhari)
Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian Beliau bersabda, ―Mereka itu semuanya sama‖. (HR.Muslim).
3.3 Nashrani
Kitab Ulangan 23 : 19 - 20
― Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan. Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga…
3.4 Yahudi ▪ Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan: ―Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.‖ ▪ Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan: ―Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.‖ 3.5 Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutangpiutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi‘ah. Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami: ―Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadl, riba al yaad, dan riba an nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma‘
berdasarkan nash al Qur‘an dan hadits Nabi.‖
Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
Riba Jahiliyyah Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Riba Fadhl Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
Riba Nasi‘ah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi‘ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
3.6 Jenis Barang Ribawi
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi: Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
3.7 Gharar / Taghrir Taghrir dalam bahasa Arab gharar, yang berari : akibat, bencana, bahaya, resiko, dan ketidakpastian. Dalam istilah fiqh muamalah, taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuaensinya.
Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Taghrir dan tadlis terjadi karena adanya incomplete information yang terjadi pada salah satu pihak baik pembeli atau penjual. Karena itu, kasus taghrir terjadi bila ada unsure ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties). Dalam ilmu ekonomi, taghrir lebih dikenal dengan sebutan uncertainty (ketidakpastian) atau resiko. Dalam situasi ketidakpastian, ahanya ada satu hasil atau kejadian yang akan muncul dengan probabilitas sebesar 1. gambaran grafisnya dapat dilihat di bawah ini, dimana hanya ad satu kejadian yang muncul (yaitu A) dengan probabilitas sebesar 1. Probabilitas
1,0
0,0 A
Hasil
Jika di lain pihak muncul ketidakpastian lebih dari satu hasil atau kejadian, maka akan muncul dengan probabilitas yang berbeda-beda (misalnya, probabilitas A = 0,5, B=0,25 dan C=0,5) . Situasi ketidakpastian ini dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Probabilitas
0,5 0,25
0,0
A
B
C
Hasil
Contoh Kasus Berdasarkan Macam-macam Taghrir :
Taghrir dalam Kuantitas Contoh yang paling sering kita temukan adalah system ijon. Misalnya, petani sepakat untuk
menjual hasil panennya (beras dengan kualitas A) kepada tengkulak dengan harga Rp 750.000,00
padahal pada saat kesepakatan dilakukan, sawah si petani belum dapat dipanen. Dengan demikian, kesepakatan jual beli dilakukan tanpa menyebutkan spesifikasi mengenai berapa kuantitas yang dijual padahal harga sudah ditetapkan. Maka dapat disimpulkan bahwa terjadi ketidakpastian menyangkut kuantitas barang yang ditransaksikan.
Taghrir dalam Kualitas Contoh sederhana adalah menjual anak sapi yang masih dalam kandungan induknya. Penjual
sepakat menyerahkan anak sa[pi tersebut segera setelah anak sapi lahir seharga Rp 1.000.000,00. dalam hal ini, baik si penjual maupun si pembeli tidak dapat memastikan kondisi fisik anak sapi tersebut bila nanti sudah lahir. Apakah akan lahir normal, cacat, atau lahir dalam keadaan mati. Maka, terjadilah ketidakpastian yang menyangkut kualitas barang atau objek yang ditransaksikan.
Taghrir Harga Ketika seorang Ibu ingin membeli panic , penjual mengatakan bahwa harga panic tersebut
Rp 10.000 jika dibayar tunai dan Rp 50.000 jika di bayar kredit selama 5 bulan. Dalam hal ini, terjadi ketidakpastian dalam harga karena adanya dua harga dalam satu akad yang membingungkan pembeli. Bagaimana jika pembeli melunasi cicilannya pada bulan ke 3 atau ke 4 atau sehari sebelum bulan ke 5? Walaupun secara kuantitas dan kualitas sudah jelas, akan tetapi seyogyanya si pembeli dan penjual memilih harga mana yang akan disepakati untuk akad.
Taghrir Waktu Penyerahan Apabila ada suatu barang yang diperjualbelikan akan tetapi tidak jelas kapan akan
diserahkannya barang tersebut karena beberapa alasan (hilang atrau keberadaannya tidak jelas). Sehingga menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya akibat ketidakjelasan waktu penyerahan objek yang ditransaksikan.
3.8 Transaksi yang dilarang :
▪ Bai’ Najasy Transaksi najasy diharamkan karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik pula untuk membeli. Si penawar sendiri tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu orang lain yang benar –benar ingin membeli. Sebelumnya orang ini telah mengadakan kesepakatan dengan penjual untuk membeli dengan harga tinggi agar ada pembeli yang sesungguhnnya dengan harga yang tinggi pula dengan maksud untuk ditipu. Akibatnya terjadi ―permintaan palsu‖ (false demand). Tingkat permintaan yang tercipta tidak dihasilkan secara alamiah. Penjelasan grafis bai‘ najasy diperlihatkan pada gambar 1.1.
Pada awalnya, permintaan terhadap barang X digambarkan dengan kurva Do. Titik keseimbangan terjadi pada saat Q sebesar Qo dan P sebesar Po. Kemudian, pelaku bai‘ najasy (misalkan penjual barang X) sengaja menciptakan permintaan palsu misalnya: 1. Memerintahkan temannya untuk pura-pura ingin membeli barang X dengan harga di atas harga Po sehingga orang-orang tertarik untuk membeli barang X tersebut; 2. Menciptakan isu seakan-akan ada kelangkaan barang X sehingga harga akan naik diatas harga Po. Akibatnya permintaan terhadap barang X seakan-akan meningkat. Kurva demand palsu bergeser kearah kanan atas, dari Do menjadi Df. Peningkatan permintaan ini menyebabkan peningkatan harga yang tidak alamiah, dari Po menjadi Pf. Akibatnya, pelaku bai‘ najasy dapat menikmati tambahan profit diatas normal profit dengan cara rekayasa tersebut. Revenue sebelum najasy dilakukan adalah sebesar Po*Qo. Setelah najasy dilakukan, revenue bertambah menjadi Pf*Qf. Tambahan revenue ini merupakan revenue haram. P
S Titik keseimbangan pasar
Pf Po
Tititk keseimbangan pasar yang terdistorsi
Df
0
Qo
Do Qf
Q
Gambar 1.1 Bai’ najasy (false demand) Contoh bai‘ najasy banyak sekali. Pada waktu Indonesia dilanda krisis moneter 1997 misalnya, terjadi isu kelangkaan pangan. Karena takut kehabisan persedian beras, maka masyarakat (terutama di kota-kota besar) ramai-ramai menyerbu took-toko memborong beras. Terjadi peningkatan permintaan terhadap beras sehingga harga beras naik. Tidak lama kemudian, media masa memberitakan bahwa persedian beras digudang-gudang bulog melimpah. Hal yang serupa terjadi pula di pasar valas dan pasar saham. Di kedua pasar yang disebut terakhir ini, faktor isu bahkan menjadi sangat berpengaruh.
▪ Ihtikar
Ihtikar ini sering kali diterjemahkan sebagai monopoli dan atau penimbunan. Padahal sebenarnya ihtikar tidak identik dengan monopoli dan atau penimbunan. Dalam islam, siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menimpan stock barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Demikian pula menyimpan persediaan. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya monopoly‘s rent-seeking. Jadi dalam Islam, monopoli boleh. Sedangkan monopoly‘s rent seeking tidak boleh. Bagaimana prilaku industri yang melakukan ihtikar? Dalam gambar 1.2 di bawah ini kita dapat menjelaskan lebih lanjut dampak ihtikar kepada penentuan harga, jumlah kuantitas dan keuntungan yang dapat diperoleh produsen. Hakikat dari ihtikar adalah memproduksi lebih sedikit dari kemampuan produksinya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Misalkan kemampuan produksi industri A adalah Qi, karena industri tersebut menghadapi pasar monopoli maka ada kesempatan untuk memproduksi barang agar dapat keuntungan yang maksimal. P
MC = S X
AC
Pm D Pi
A Z B
Y C MR
0
Qm
AR = D Q Qi
Gambar 1.2 Ihtikar (monopoly’s rent seeking behaviour)
Keuntungan maksimal yang dapat diambil oleh industri yang berprilaku sebagai monopolis (melakukan ihtikar), maka ia akan memilih tingkat produksinya ketika MC = MR, dengan jumlah Q sebesar Qm, dan P sebesar Pm. Dengan demikian, ia memproduksi lebih sedikit, dan menjual pada
harga yang lebih tinggi. Profit yang dinikmati adalah sebesar kotak PmXYZ. Hal inilah yang dilarang. Sebab, produsen tersebut sebenarnya dapat berproduksi dengan tingkat output yang lebih tinggi, yaitu S = D, atau ketika MC = AR. Pada tingkat ini, jumlah barang yang diproduksi lebih banyak, yakni sebesar Q, dan harganya pun lebih murah, yakni sebesar Pi. Tentu saja profit yang dihasilkan lebih sedikit, yakni sebesar kotak ABCD. Selisih profit antara kotak PmXYZ dengan kotak ABCD inilah yang merupakan monopoly‘s rent seeking yang diharamkan.
▪ Talaqi Rukban Masih dalam pembahasan distorsi pada sisi penawaran, tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota (atau pihak yang lebih memiliki informasi yang lebih lengkap) membeli barang petani (atau produsen yang tidak memiliki informasi yang benar tentang harga dipasar) yang masih diluar kota, untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari harga pasar yang sesungguhnya. Rasulullah melarang hal ini, yang dalam fiqh disebut tallaqi rukban. Transaksi ini dilarang karena mengandung dua hal: pertama, rekayasa penawaran yaitu mencegah masuknya barang kepasar (entry barrier), dan kedua, mencegah penjual dari luar kota untuk mengetahui harga pasar yang berlaku. Inti dari pelarangan ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang, namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak dimana yang satu memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga dipasar yang sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman antara pedagang kota dengan petani diluar kota tersebut maka hal inilah yang dilarang. Pada gambar 1.3 kita dapat melihat bagaimana dampak dari tindakan tallaqi rukban dan pengaruhnya terhadap pembentukan harga. Dengan adanya pencegahan petani dari luar kota untuk melakukan transaksi di dalam kota, maka kurva penawaran Sx akan berbelok vertical menjadi Str. Keseimbangan baru akan terbentuk pada saat perpotongan antara Sx dengan Str. Sehingga harga dikota akan mengalami peningkatan dari P* menjadi P*tr dan jumlah barang x yang tersedia dipasar adalah Q*tr. Inilah bukti bahwa tindakan tallaqi rukban tidak hanya saja menzalimi si petani, tetapi telah merusak keseimbangan pasar berada pada level yang lebih rendah.
Harga Barang X di Kota
Str Penawaran Barang X di Kota dengan Tallaqi Rukban Sx Penawaran Barang X di Kota
P*tr P* Harga equilibrium di kota tanpa tallaqi rukban
Ptr
Dx Permintaan Barang X di Kota
Q*tr Q* Jumlah Barang X di Kota Dengan adanya praktik Tallaqi Rukban oleh pedagang Kota terhadap penjual di luar Kota, telah mengakibatkan menurunnya jumlah barang X yang ditawarkan (Qo -> Q1). Dampak lebih lanjut harga akan meningkat di atas harga keseimbangan pasar (Po -> P1).
Gambar 1.3 Keseimbangan Pasar dengan Tallaqi Rukban Abu Hurairah pernah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW., bersabda: ―janganlah kau keluar menyambut orang-orang yang membawa hasil panen kedalam kota kita.‖ Hikmah yang bias diambil dari pelarangan ini adalah pembelian hasil panen yang merupakan komoditi yang pokok dan dibutuhkan semua orang, baik kaya maupun miskin harus dijual secara terbuka dipasar. Hal ini untuk mencegah pembelian tunggal komoditi pokok tersebut kepada satu pihak, dengan demikian pemerintah lebih mudah untuk mengontrol harga dipasar.
3.9. Tadlis
Untuk menghindari penipuan, masing-masing pihak harus mempelajari strategi pihak lain. Dalam ekonomi konvensional, hal ini dikenal dengan Game Theory yang terbagi menjadi beberapa jenis, sebagai berikut : ominant Strategy Dominant strategy adalah strategi dalam sebuah permainan yang memberikan hasil yang lebih baik daripada strategi apa pun yang diambil oleh pihak lain. Dalam strategi ini,
terdapat satu pilihan strategis yang optimal tanpa mempengaruhi pilihan untuk pihak yang lainnya. Dominant strategy sangat disukai karena sangat mudah untuk mengetahui tindakan apa yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak dan bagaimana hasil akhir dari strategi yang diambil. ash Equilibrium Nash equilibrium adalah kombinasi strategi-strategi dalam suatu permainan di mana tidak boleh ada satu pun pemain yang memiliki insentif untuk mengubah strategi yang diambil oleh pihak lain. Dalam nash equilibrium, strategi yang diambil, oleh satu pihak akan memengaruhi strategi yang harus diambil oleh pihak lain. ixed Strategy Mixed strategy adalah strategi di mana kedua belah pihak membuat pilihan random dari dua atau lebih pilihan yang ada berdasarkan probability. Dalam stategi ini, keputusan salah satu pihak akan memiliki pengaruh yang sama terhadap pihak lainnya bila dilakukan secara terus menerus, kecuali jika ia mengubah strateginya sehingga akan menghasilkan yang berbeda.
3.9.1. Landasan Hukum Pelarangan Tadlis Larangan tegas dari Al-qur‘an yang melarang semua transaksi bisnis yang telah mengandung unsure penipuan dalam segala bentuk terhadap pihak lain. Seperti dalam surat AlAn‘am : 152 yang artinya : ―Dan sempurnakanlan takaran dan timbangann dengan adil. Kami tidak memikul beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.‖ Selain ayat Al-qur‘an tersebut, dalam kitab An-Nashaih Ad-Diniyah Wal Washaya AlImaniyah, Imam Habib Abdullah Haddad memberikan nasehat kepada kita : ―Hendaklah anda berhati-hati sekali, jangan sampai anda menipu, membelit, mengelirukan orang ataupun menutup dan menyembunyikan cacat barang yang anda perjual belikan, karena yang demikian itu sangat keras pengharamannya di sisi agama.‖
3.9.2. Macam-Macam Tadlis
Ada beberapa macam tadlis (penipuan) yang diharamkan yaitu (3) : ◦ Tadlis Kuantitas
Penipuan ini termasuk juga kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan harga barang kuantitas banyak. Contohnya : adalah mengurangi timbangan atau takaran pada saat menjual barang. Contoh lain yaitu Seorang pembeli memesan barang celana satu mobil box besar kepada seorang penjual karena tidak mungkin menghitung satu persatu celana tsb, penjual berusaha melakukan penipuan dengan mengurangi jumlah barang yuang dikirim kepada pembeli. Pada umumnya, dalam tadlis jenis ini, banyak terjadi kasus yang trerdapat dominant strategy di dalamnya. Hal ini dikarenakan jika penjual berlaku jujur, maka ia akan memperoleh kepercayaan yang besar dari pembeli dan pelanggannya sehingga ia akan memperoleh utility yang lebih besar dibandingakan apabilaia tidak berlaku jujur. Sebaliknya, jika penjual tidak berlaku jujur, maka pembeli akan curiga dan memberika utility negatif yang akan merugikan penjual. Dalam aplikasi kasus kekinian, dapat diperjelas dengan gambar kurva di bawah ini.
Price
Price S*
S*t S*
P*
P*
D*
Q*t
Q*
Quantity
(a) Market
Q*t Q*
Quantity
(b) Individu
Q*- Q*t = Perbedaan harga akibat adanya ghaban
Gambar 1.4. Dampak Pemberlakuan Tadlis Kuantitas terhadap Penawaran dan Keseimbangan Pasar
Gambar 1.4. merupakan akibat tadlis kuantitas yang terjadi secara lebih luas yaitu pada pasar. Keseimbangan pasar tercapai pad saat kurva S* berpotongan dengan kurva D*, dimana harga berlaku di pasar adalah P* dan jumlah barang X adalah Q*. harga yang dihadapi oleh industri bersifat price taker karena seorang penjual tidka dapat memengaruhi harga yang berlaku di pasar. Namun, karena si penjual melakukan tadlis, maka kurva permintaan yang dihadapi oleh individu tersebut berputar berlawanan arah jarum jam (S*
S*¹). Dengan adanya tindakan tadlis tersebut,
maka ia mendpatkan keuntungan ( walaupun bersifat haram) dengan mendapatkan revenue hasil penjualan yang tetap tetapi jumlah barang yang dijual lebih sedikit. ◦ Tadlis Kualitas Penipuan ini adalah menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang buruk yang tidak sesuai dengan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Contohnya : Seorang pembeli memesan barang baju satu mobil box besar kepada seorang penjual karena tidak mungkin memeriksanya satu persatu baju tsb, pembeli membuat kesepakatan dengan penjual kalau sampai ada baju yang cacat maka akan dikembalikan kepada pihak penjual. Ternyata kesepakatan tsb dilanggar oleh penjual, tanpa sepengatahuan pembeli, penjual memasukkan beberapa baju cacat kedalam mobil box tsb dan ketika pembeli ingin mengembalikan baju yang cacat penjual tidak mau menerimanya kembali. Keseimbangan pasar hanya akan terjadi bila harga yang tercipta merupakan konsekuensi dari kualitas atau kuantitas barang ditransaksikan. Apabila tadlis kualitas terjadi, maka syarat untuk pencapaian keseimbangan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, dalam pendekatan ilmu ekonomi pun hal ini tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan gambar kurva sebagai berikut :
Rp
Sy Penawaran barang kualitas y (buruk)
Py
Dx Permintaan barang kualitas x (baik) Qy
Barang Kualitas y
Gambar 1.5. Keseimbangan Harga tidak Tercapai dalam Tadlis Kualitas ◦ Tadlis Harga (Ghaban) Tadlis haraga ini termasuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual.. Contoh : Di zaman Rasulullah S.A. W perdagangan seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar : ― Kami pernah keluar mencegat orang-orang yang datang membawa hasil panen mereka dari luar kota, lalu kami membelinya dari mereka. Rasulullah melarang kami membelinya sampai nanti barang tsb dibawa ke pasar‖ . Hal ini dilarang karena mengandung dua hal, pertama, Rekayasa penawaran yaitu mencegah masuknya barang ke pasar (entry barrier). Kedua, Berusaha agar penjual dari luar kota tidak mengetahui harga
pasar yang berlaku. Jika digambarkan dengan kurva, maka hal tersebut dapat digambarkan dengan gambar di bawah ini :
Price
Price S*
S D*G
P*
P*
D*
D*
Spread harga karena ghaban
Quantity (a) Market
Quantity (b) Individu
PG- P*= Perbedaan harga akibat adanya ghaban
Gambar 1.6. Dampak Pemberlakuan Tadlis Harga terhadap Penawaran dan Keseimbangan Pasar ◦ Tadlis waktu penyerahan Tadlis waktu penyerahan juga dilarang, contohnya si penjual tahu persis ia tidak akan dapat menyerahkan barang pada besok hari, namun menjajikan akan menyerahkan barang pada besok hari, namun menjanjikan akan menyerahkan barang tsb pada besok hari. Walau konsekuensi tadlis dalam waktu penyerahan tidak berkaitan langsung dengan harga ataupun jumlah barang yang ditransaksikan, namun masalah waktu adalah sesuatu yang sangat penting. Lebih lanjut, pelarangan ini dapat dihubungkan dengan larangan transaksi yang lain, yaitu kali bali (transaksi jual beli, di mana objek barang atau jasa yang diperjualbelikan belum berpindah kepemilikan, namun sudah diperjualbelikan kepada pihak lain). Denmgan adanya pelarangan tadlis waktu penyerahan, maka segala transaksi harus jelas kapan pemindahan hak milik dan hak guna terjadi.
3.10. Contoh Kasus Distorsi Pasar Kekinian ◦ Distorsi Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N) pada 18 Januari 2008 Distorsi pasar tidak hanya terjadi pada pasar barang, akan tetapi saat ini pun terjadi pada
pasar uang. Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah menjelaskan bahwa distorsi yang terjadi pada Pasar Uang Antar Bank Overnight telah menyebabkan fluktuasi ketersediaan likuiditas, tingginya volatilitas suku bunga dan adanya struktur suku bunga jangka pendek yang curam (steep short-term yield curve) di pasar uang dan bahkan mengaburkan sinyal kebijakan moneter di BI. Untuk itu, diambillah langkah-langkah solutif yang pastinya tidak sama dengan apa yang dilakukan di pasar barang. Langkah-langkah taktis itu merupakan bagian untuk mengoptimalkan strategi implementasi kebijakan moneter untuk pencapaian Inflation Targetting Framework (ITF). Ketiga langkah taktis itu adalah:
Operasi Pasar Terbuka (OPT) akan dilakukan dengan penggunaan instrumen yang lebih beragam, meliputi SBI dengan tenor yang lebih beragam (1,3,6, dan 9 bulan). Dalam hal ini penerbitan SBI akan dilakukan dengan sistem variable rate tender. Selain itu juga akan dilengkapi dengan transaksi Repo SBI dan SUN dan FX Swap. Dengan optimalnya pengunaan semua instrumen tersebut, diharapkan likuitas pasar yang saat ini terakumulasi di SBI 1 bulan akan dapat tersebar penanamannya secara lebih merata di semua tenor instrumen dan kondisi likuiditas secara harian lebih stabil.
Pembatasan pergerakan suku bunga PUAB O/N melalui mekanisme OPT harian yang lazim disebut dengan Fine Tuning Operations (FTO) atau langkah-langkah penyesuaian tingkat suku bunga di pasar sesuai dengan pertimbangan (diskresi) BI. Tindakan ini bertujuan untuk menjaga agar tingkat suku bunga PUAB O/N yang terbentuk selalu bergerak dalam kisaran tertentu dan konsisten dengan level BI Rate yang telah diputuskan melalui Rapat Dewan Gubernur.
Terkait dengan hal ini penempatan pada PUAB O/N pada dasarnya hanya merupakan bagian dari manajemen likuiditas harian para pelaku pasar yang masih memiliki sisa, setelah para pelaku pasar menanamkan kelebihan likuditasnya pada instrumeninstrumen lain. Selain itu, tidak berarti BI menurunkan level BI Rate. Mekanisme penetapan BI Rate tetap sebagaimana yang berlaku saat ini, yaitu ditetapkan dalam RDG bulanan.
Distorsi Pasar Kayu Indonesia oleh Kebijakan IMF Sejak tahun 1970-an, terdapat sejumlah kebijakan yang telah diberlakukan untuk mempengaruhi proses-pasar industri kehutanan tersebut. Hasil kajian menyimpulkan bahwa beberapa kebijakan yang direkomendasikan oleh IMF (International Monetary Fund) untuk dihapuskan merupakan kebijakan-kebijakan signifikan yang mendistorsi pasar kayu. Beberapa kebijakan yang dimaksud, terdiri dari: (a) larangan ekspor kayu bulat dan kayu gergajian melalui prohibitive tax,
(b) kuota ekspor kayu lapis melalui Badan Pemasaran Bersama, dan (c) pungutan fee dan royalty oleh APKINDO (Asosiasi Panel Kayu Indonesia).
Dapat disimpulkan bahwa penerapan kebijakan larangan ekspor kayu bulat yang dibarengi oleh kebijakan kuota ekspor kayu olahan dan industri kayu terintegrasi vertikal menyebabkan pemerintah kehilangan penerimaan pajak ekspor dan harga kayu bulat cenderung relatif rendah. Sebaliknya, penghapusan kebijakan larangan ekspor kayu bulat yang dibarengi oleh penghapusan kebijakan kuota ekspor kayu olahan tetapi industri kayu terintegrasi vertikal dipertahankan menyebabkan pemerintah memperoleh pajak ekspor dan harga kayu bulat dalam negeri cenderung relatif tinggi. Selama implikasi masing-masing pilihan paket kebijakan tersebut menimbulkan perbedaan antara harga kayu bulat yang terbentuk, perbedaan harga kayu bulat yang terjadi merupakan besarnya nilai ekonomi yang hilang atau yang terdistorsi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan.
3.11. Kesimpulan Islam telah mengatur segala aktifitas manusia agar sesuai dengan koridor yang melindunginya, yaitu Syariah agar pelaku di dalamnya bisa melaksanakan aktifitasnya dengan baik dan benar. Islam yang rahmatan lil ‗alamin telah menjelaskan secara lugas bahwa aturan yang dibawanya membawa mashlahat dan manfaat yang besar bagi seluruh umat manusia. Ia ytidakmmenginginkan siapapun berada dalam kerugian akibat keuntungan yang dituai atas penderitaannya dengan menegakkan aturan-aturan yang membatasi manusia dari ketamakannya. Keharaman Riba sudah jelas dan tidak diragukan lagi oleh semua umat beragama, baik muslim, nashrani, dan yahudi. Sehingga karena bahaya dan sifatnya yang merugikan riba tidak boleh diterapkan dalam transaksi ekonomi, khususnya dalam hal pinjaman. Semua kegiatan ekonomi dalam transaksi berniaga telah diatur dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan jika melanggar aturan-aturan syariah yang menaunginya seperti penyembunyian cacat, kecurangan takaran, ketidakjelasan barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Hukum syariah yang menjelaskan tentang cara bermuamalah bersifat fleksibel dan aplikatif sehingga bisa diterapkan di berbagai masa dan kondisi. Sifatnya yang demikianlah yang menjadikannya relevan untuk diterapkan bahkan untuk transaksi paling mutakhir di zaman ini yang sebelumnya tidak pernah ada. Misalnya, Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
Pertanyaan 1. Sebutkan macam-macam riba, dan jelaskan urutan-urutannya?
2. Mengapa riba dilarang dalam islam? 3. Apakah ada riba yang diperbolehkan?
Daftar Pustaka Astana, Satria, Subarudi, dan M. Zahrul Muttaqin. Evaluasi Kebijakan yang Mendistorsi Pasar Kayu dalam Jurnal Info Sosial Ekonomi vol. 3 no.1 Tahun 2003 hal.10-18. As-Sa‘di, Syekh Abdurrahman, Syekh Abdul ‗Aziz bin Baaz , Syekh Shalih Al-Utsaimin dan Syekh Shalih Al-Fauzan. Fiqih Jual – Beli. Basri, Ihkwan abidin. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik. Solo: PT Aqwam Media Profetika. 2008 Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/Faidah) Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam Edisi Ketiga. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007
BAB IV
AKAD DALAM PERBANKAN SYARIAH Bank syariah memiliki perbedaan operasional yang cukup mendasar dengan bank konvensional dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Di samping itu, Bank Syariah memiliki wa‟ad dan akad dalam muammalahnya. Sebagai landasan untuk melakukan aktivitas pembiayaannya. Di mana segala bentuk hak dan kewajiban harus dijalankan demi kelancaran muammalah pada Bank Syariah. Dan terdapat sanksi-sanksi apabila tidak memenuhi perjanjian dalam akad. Bank Syariah juga menyediakan akad atau perjanjian yang bersifat sosial (Tabarru‟) selain akad yang bersifat mencari keuntungan (Tijarah). Dan akad Tijarah pun dibagi menjadi dua jenis yaitu investasi yang pasti dan tidak pasti. Dan dalam makalah ini akan dibahas tentang Wa‟ad dengan akad serta pembagiannya sesuai dengan akad-akad pada Bank Syariah.Bab ini akan membahas jenis-jenis akad yang biasa dipraktekkan oleh perbankan Syariah baik dari sisi konsep maupun aplikasi. Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu menjelaskan jenis-jenis akad dalam transaksi bank syariah
4.1 Pendahuluan
Dunia ekonomi dalam Islam adalah dunia bisnis atau investasi. Hal ini bisa dicermati mulai dari tanda-tanda eksplisit untuk melakukan investasi (ajakan bisnis dalam Al Qur‟an dan Sunnah) hingga tanda-tanda implisit untuk menciptakan sistem yang mendukung iklim investasi (adanya sistem zakat sebagai alat disinsentif atas penumpukan harta, larangan riba untuk mendorong optimalisasi investasi, serta larangan maysir atau judi dan spekulasi untuk mendorong produktivitas atas setiap investasi). Dalam prakteknya, investasi yang dilakukan baik oleh perorangan, kelompok, maupun institusi dapat menggunakan pola nonbagi hasil (ketika investasi dilakukan dengan tidak bekerja sama dengan pihak lain) maupun pola bagi hasil (ketika investasi dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak lain). Sesuai labelnya, bank syariah adalah institusi keuangan yang berbasis syariah Islam. Hal ini berarti bahwa secara makro bank syariah adalah institusi keuangan yang memposisikan dirinya sebagai pemain aktif dalam mendukung dan memainkan kegiatan investasi di masyarakat sekitarnya. Di satu sisi (sisi pasiva atau liability) bank syariah adalah lembaga keuangan
yang mendorong dan mengajak masyarakat untuk ikut aktif berinvestasi melalui berbagai produknya, sedangkan di sisi lain (sisi aktiva atau aset) bank syariah aktif untuk melakukan investasi di masyarakat. Dalam kacamata mikro, bank syariah adalah institusi keuangan yang menjamin seluruh aktivitas investasi yang menyertainya telah sesuai dengan Syariah. Secara umum bank syariah dapat didefinisikan sebagai bank dengan pola bagi hasil yang merupakan landasan utama dalam segala operasinya, baik dalam produk pendanaan, pembiayaan, maupun dalam produk lainnya. Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk bank konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar, dan maysir. Oleh karena itu, produk-produk pendanaan dan pembiayaan pada bank syariah harus menghindari unsur-unsur yang dilarang tersebut.
4.2. Antara Wa’ad Dengan Akad Fikih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa‘ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa‘ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad. 4.2.1. Wa’ad:
Janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya (hanya mengikat satu pihak)� one-way.
Terms & Condition-nya tidak well-defined; atau
Belum ada kewajiban yang ditunaikan oleh pihak manapun, walaupun terms & condition-nya sudah well-defined
4.2.2 Akad Selanjutnya, dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fikih muamalat membagi lagi akad
menjadi dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad tijarah/mu’awadah.
4.3. Akad Tabarru’ Akad tabarru‘ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut notfor profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakekatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru‘ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru‘ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru‘, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru‘ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counterpart-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru‘ tersebut. Tapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru‘ itu. Contoh akad-akad tabarru‘ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi‘ah, hibah,waqf, shadaqah,hadiah, dll. Pada hakekatnya, akad tabarru‟ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah SWT semata. Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil. Konsekuensi logisnya, bila akad tabarru‘ dilakukan dengan mengambil keuntungan komersil, maka ia bukan lagi akad tabarru‟. Ia akan menjadi akad tijarah. Bila ia ingin tetap menjadi akad tabarru‟, maka ia tidak boleh mengambil manfaat (keuntungan komersil) dari akad tabarru‟ tersebut. Tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung biaya yang timbul dari pelaksanaan akad tabarru‟. Artinya, ia boleh meminta pengganti biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan akad tabarru‟. ‖Memerah susu kambing sekedar untuk biaya memelihara kambingnya”, merupakan ungkapan yang dikutip dari hadits ketika menerangkan akad rahn yang merupakan salah satu akad tabarru‟. Dengan demikian, kita mempunyai 3 (tiga) bentuk umum akad tabarru‘, yakni: 1. Meminjamkan Uang (lending $) 2. Meminjamkan Jasa Kita (lending yourself) 3. Memberikan sesuatu (giving something)
4.3.1. Meminjamkan Uang (lending $) Akad meminjamkan uang ini ada beberapa macam lagi jenisnya, setidaknya ada 3 jenis, yakni sebagai berikut. Bila pinjaman ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang
seperti ini disebut dengan qard.1 Selanjutnya, jika dalam meminjamkan uang ini si pemberi pinjaman mensyaratkan suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini disebut dengan rahn. Ada lagi suatu bentuk pemberian pinjaman uang, di mana tujuannya adalah untuk mengambil alih piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang dengan maksud seperti ini disebut hiwalah. Jadi, ada tiga bentuk akad meminjamkan uang, yakni qard, rahn, dan hiwalah.
4.3.2. Meminjamkan Jasa Kita (lending yourself) Seperti akad meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi 3 jenis. Bila kita meminjamkan ―diri kita‖ (yakni jasa keahlian/keterampilan, dsb) saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain, maka hal ini disebut wakalah. Karena kita melakukan sesuatu atas nama orang yang kita bantu tersebut, maka sebenarnya kita menjadi wakil orang itu. Itu sebabnya akad ini diberi nama wakalah. Selanjutnya, bila akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita menawarkan jasa kita untuk menjadi wakil seseorang, dengan 1 Istilah qard ini jangan dicampuradukkan dengan istilah qard al-hasan, karena keduanya berbeda. Qard adalah akad untuk meminjamkan uang. Sedangkan qard alhasan pada hakekatnya adalah sedekah, karena akad ini tidak mensyaratkan bahwa uang yang diberikan harus dikembalikan. tugas menyediakan jasa custody (penitipan, pemeliharaan), maka bentuk peminjaman jasa seperti ini disebut akad wadi‘ah. Ada variasi lain dari akad wakalah, yakni contingent wakalah (wakalah bersyarat). Dalam hal ini, maka kita bersedia memberikan jasa kita untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain, jika terpenuhi kondisinya, atau jika sesuatu terjadi. Misalkan, seorang dosen menyatakan kepada asistennya demikian: ―Anda adalah asisten saya. Tugas Anda adalah menggantikan saya mengajar bila saya berhalangan.‖. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah wakalah bersyarat. Asisten hanya bertugas mengajar (yakni melakukan sesuatu atas nama dosen) bila dosen berhalangan (yakni bila terpenuhi kondisinya, jika sesuatu terjadi). Jadi asisten ini tidak otomatis menjadi wakil dosen. Wakalah bersyarat ini dalam terminologi fikih disebut sebagai akad kafalah. Dengan demikian, ada 3 (tiga) akad meminjamkan jasa, yakni: wakalah, wadi‘ah, dan kafalah.
4.3.3. Memberikan sesuatu (giving something) Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut: hibah,waqf, shadaqah,hadiah, dll. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan umum dan agama, maka akadnya dinamakan waqf. Objek waqf ini tidak boleh diperjualbelikan begitu dinyatakan sebagai aset waqf. Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain. Begitu akad tabarru‘ sudah disepakati, maka akad tersebut tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah (yakni akad komersil, yang
akan segera kita bahas) kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam akad tijarah tersebut. Misalkan Bank setuju untuk menerima titipan mobil dari nasabahnya (akad wadiah, dengan demikian bank melakukan akad tabarru‘), maka bank tersebut dalam perjalanan kontrak tersebut tidak boleh merubah akad tersebut menjadi akad tijarah dengan mengambil keuntungan dari jasa wadiah tersebut. Sebaliknya, jika akad tijarah sudah disepakati, maka akad tersebut boleh dirubah menjadi akad tabarru‘ bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya, sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
4.3.4. Fungsi Akad Tabarru’ Akad tabarru‘ ini adalah akad-akad untuk mencari keuntungan akhirat, karena itu bukan akad bisnis. Jadi, akad ini tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan komersil. Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang bertujuan untuk mendapatkan laba tidak dapat mengandalkan akad-akad tabarru‘ untuk mendapatkan laba. Bila tujuan kita adalah mendapatkan laba, maka gunakanlah akad-akad yang bersifat komersil, yakni akad tijarah. Namun demikian, bukan berarti akad tabarru‘ sama sekali tidak dapat digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan pada kenyataannya, penggunaan akad tabarru‘ sering sangat vital dalam transaksi komersil, karena akad tabarru‘ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah.
4.4. Akad Tijarah Seperti yang telah kita singgung di atas, berbeda dengan akad tabarru‘, maka akad tijarah/mu‘awadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa, dll.
kebaikan) dan akad tijarah (akad bisnis). Akad tabarru‘ dapat berupa memberikan sesuatu atau meminjamkan sesuatu (uang atau jasa). Kemudian, berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah pun dapat kita bagi menjadi dua kelompok besar, yakni: 1. Natural Uncertainty Contracts; dan 2. Natural Certainty Contracts Bagian C berikut ini akan membahas kedua bentuk akad di atas dengan lebih rinci.
4.5. Natural Certainty Contracts (NCC) Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara ―sunnatullah‖ (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dll, yakni sebagai berikut: a. Akad Jual-Beli (Al-Bai‘. Salam, dan Istishna‘). b. Akad Sewa-Menyewa (Ijarah dan IMBT). Dalam akad-akad di atas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya (baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri-sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan resiko bersama. Juga tidak ada percampuran aset si A dengan aset si B. Yang ada misalnya adalah si A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya B menyerahkan uang kepada A. Di sini barang ditukarkan
dengan uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli (al-bai‘). 4.5.1. Akad Jual-Beli (Al-Bai’. Salam, dan Istishna’) Gambar 5.4. berikut ini memberikan skema akad jual-beli (al-Bai‘). Pada dasarnya ada 4 (empat) bentuk akad al-Bai‘, yakni: 1. al-Bai‘ naqdan 2. al-Bai‘ Muajjal 3. Salam 4. Istishna‘ al-Bai‘ naqdan adalah akad jual beli biasa yang dilakukan secara tunai. (Al-Bai‘ berarti jual beli, sedangkan naqdan artinya tunai). Dalam gambar 5.3 di atas terlihat bahwa baik uang maupun barang diserahkan di muka pada saat yang bersamaan, yakni di awal transaksi (tunai). Jual-beli dapat juga dilaksanakan tidak secara tunai, tapi dengan cicilan. Jual beli cicilan ini disebut al-bai‘ muajjal. Pada jenis ini, barang diserahkan di awal periode, sedangkan uang dapat diserahkan pada periode selanjutnya. Pembayaran ini dapat dilakukan secara cicilan selama periode hutang, atau dapat juga dilakukan secara sekaligus (lump-sum) di akhir periode. Kita juga mengenal suatu akad jual beli, di mana si penjual menyatakan dengan terbuka kepada si pembeli mengenai tingkat keuntungan yang diambilnya. Bentuk jual-beli seperti ini dinamakan murabahah (terambil dari kata bahasa Arab ribhu= keuntungan). Dalam ilmu fikih, akad murabahah ini pada mulanya digunakan untuk bertransaksi dengan anak kecil atau dengan orang yang kurang akalnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari mereka dari penipuan. Dewasa ini, akad murabahah pun digunakan dalam praktek perbankan syariah, karena nasabah diasumsikan tidak begitu mengetahui teknis perhitungan bagi hasil (dengan demikian dapat dianalogikan sebagai orang yang kurang mengerti, seperti anak kecil). Jadi bank syariah memberitahukan tingkat keuntungan yang diambilnya kepada nasabah. Bentuk jual beli yang ketiga adalah jual beli salam. Dalam jual-beli jenis ini, barang yang ingin dibeli biasanya belum ada (misalnya masih harus diproduksi). Jual beli salam adalah kebalikan dari jual beli muajjal. Dalam jual beli salam, uang diserahkan sekaligus di mukasedangkan barangnya diserahkan di akhir periode pembiayaan.
Bentuk jual beli yang terakhir adalah jual beli istishna‘. Akad istishna‘ sebenarnya adalah akad salam yang pembayaran atas barangnya dilakukan secara cicilan selama periode pembiayaan (jadi tidak dilakukan secara lump-sum di awal). Akad-akad al-Bai‘ ini akan kita bahas lebih lanjut di bab 7 ketika kita membicarakan pembiayaan murabahah.
4.5.2. Akad Sewa-Menyewa (Ijarah dan IMBT) Selain akad jual beli, dalam NCC ada pula akad sewa menyewa, yakni akad ijarah, ijarah muntahia bittamlik (IMBT), dan ju‘alah. Skema akad sewa-menyewa ini diberikan pada gambar 5.5. di bawah ini.
Ijarah adalah akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa atas tenaga kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang, maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah. Sedangkan ju‘alah adalah akad ijarah yang pembayarannya didasarkan atas kinerja (performance) objek yang disewa/diupah. Pada ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah. Objek
ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan. Namun demikian, pada zaman modern ini muncul inovasi baru dalam ijarah, di mana si peminjam dimungkinkan untuk memiliki objek ijarahnya di akhir periode peminjaman. Ijarah yang membuka kemungkinan perpindahan kepemilikan atas objek ijarahnya ini disebut sebagai Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT). Akad-akad al-Ijarah ini akan kita bahas lebih lanjut di bab 8 ketika kita membicarakan pembiayaan ijarah dan IMBT.
4.6. Natural Uncertainty Contracts (NUC) Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Di sini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara ―sunnatullah‖ (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak ―fixed and predetermined‖. Contoh-contoh NUC adalah sebagai berikut: a. Musyarakah (wujuh, ‗inan, abdan, muwafadhah, mudharabah). b. Muzara‘ah. c. Musaqah. d. Mukhabarah. Akad musyarakah (atau disebut juga syirkah) mempunyai 5 (lima) variasi, yakni: mufawadhah, ‗inan, wujuh, abdan, dan mudharabah. Dalam syirkah mufawadhah, para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang sama, yakni Rp X dicampur dengan Rp X juga. Sedangkan pada syirkah ‗inan, para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak sama, misalnya Rp X dicampur dengan Rp Y. Dalam syirkah wujuh, terjadi percampuran antara modal dengan reputasi/nama baik seseorang (wujuh, berasal dari kata bahasa Arab yang berarti wajah=reputasi). Bentuk syirkah selanjutnya adalah syirkah ‗abdan, di mana terjadi percampuran jasa-jasa antara orang yang berserikat. Misalnya ketika konsultan perbankan syariah bergabung dengan konsultan information technology untuk mengerjakan proyek sistem informasi Bank Syariah Z. Dalam syirkah bentuk ini, tidak terjadi percampuran modal (dalam arti uang), tetapi yang terjadi adalah percampuran keahlian /keterampilan dari pihak-pihak yang berserikat. Gambar 5.6. Akad Tijarah, Natural Uncertainty Contracts Bentuk syirkah yang terakhir adalah syirkah mudharabah. Dalam syirkah ini, terjadi percampuran antara modal dengan jasa (keahlian/keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat.
Bentuk syirkah yang terakhir adalah syirkah mudharabah. Dalam syirkah ini, terjadi percampuran antara modal dengan jasa (keahlian/keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat. Dalam semua bentuk syirkah tersebut, berlaku ketentuan sebagai berikut: bila bisnis untung maka pembagian keuntungannya didasarkan menurut nisbah bagi hasil yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang bercampur. Bila bisnis rugi, maka pembagian kerugiannya didasarkan menurut porsi modal masing-masing pihak yang bercampur.
Perbedaan penetapan ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan menyerap (absorpsi) untung dan rugi. Untung sebesar apapun dapat diserap oleh pihak mana saja. Sedangkan bila rugi, tidak semua pihak memiliki kemampuan menyerap kerugian yang sama. Dengan demikian, bila terjadi kerugian, maka besar kerugian yang ditanggung disesuaikan dengan besarnya modal yang diinvestasikan ke dalam bisnis tersebut. Dengan demikian, dalam syirkah mufawadhah, karena porsi modal pihak-pihak yang berserikat besarnya sama, maka besarnya jumlah keuntungan maupun kerugian yang diterima bagi
masing-masing pihak jumlahnya sama pula. Dalam syirkah ‗inan, karena jumlah porsi modal yang dicampurkan oleh masing-masing pihak berbeda jumlahnya, maka jumlah keuntungan yang diterima berdasarkan kesepakatan nisbah. Sedangkan bila rugi, maka masing-masing pihak akan menanggung dibagi menurut nisbah dibagi menurut porsi modal kerugian sebesar proporsi modal yang ditanamkan dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah wujuh, bila terjadi laba, maka keuntungan pun dibagi berdasarkan kesepakatan nisbah antara masing-masing pihak. Sedangkan bila rugi, maka hanya pemilik modal saja yang akan menanggung kerugian finansial yang terjadi. Pihak yang menyumbangkan reputasi/nama baik, tidak perlu menanggung kerugian finansial, karena ia tidak menyumbangkan modal financial apapun. Namun demikian, pada dasarnya ia tetap menanggung kerugian pula, yakni jatuhnya reputasi/nama baiknya. Dalam syirkah ‗abdan, demikian pula halnya. Bila terjadi laba, maka laba itu akan dibagi menurut nisbah yang disepakati oleh pihakpihak yang berserikat. Sedangkan bila terjadi kerugian, maka kedua belah pihak akan sama-sama menanggungnya, yakni dalam bentuk hilangnya segala jasa yang telah mereka kontribusikan. Dalam syirkah mudharabah, bila terjadi keuntungan maka laba tersebut dibagi menurut nisbah bagi hasil yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan bila rugi, maka penyandang modal (shahib almal) yang akan menanggung kerugian finansialnya. Pihak yang mengkontribusikan jasanya (mudharib) tidak menanggung kerugian finansial apapun, karena ia memang tidak memberikan kontribusi finansial apapun. Bentuk kerugian yang ditanggung oleh mudharib berupa hilangnya waktu dan usaha yang selama ini sudah ia kerahkan tanpa mendapatkan imbalan apapun.
Selain musyarakah, terdapat juga kontrak investasi untuk bidang pertanian yang pada prinsipnya sama dengan prinsip syirkah. Bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian setahun dinamakan muzara‘ah. Bila bibitnya berasal dari pemilik tanah, maka disebut mukhabarah. Sedangkan bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian tahunan disebut musaqat. Pembedaan antara natural certainty contracts (NCC) dengan natural uncertainty contracts (NUC) ini sangat penting, karena keduanya memiliki karakteristik khas yang tidak boleh dicampuradukkan. Bila Natural Certainty Contracts dirubah menjadi uncertain, maka terjadilah gharar (ketidakpastian, unknown to both parties). Dengan kata lain, kita merubah hal-hal yang sudah pasti menjadi tidak pasti. Hal ini melanggar ―sunnatullah‖, karena itu dilarang.
Demikian pula sebaliknya dilarang, yakni bila Natural Uncertainty Contracts dirubah menjadi certain, maka terjadilah riba nasiah. Artinya kita merubah hal-hal yang harusnya tidak pasti menjadi pasti. Hal ini pun melanggar sunnatullah, karena itu dilarang2. Tetapi justru hal itulah yang dilakukan oleh perbankan konvensional dengan penerapan sistem bunganya.
4.7. Aplikasi Akad Dalam Perbankan
Penghimpunan Dana Penyaluran Dana
Jasa-jasa Perbankan
Wadiah
Rahn
Piutang
- Giro
- Qardh
Wakalah
- Tabungan
- Murabahah
Kafalah
- Salam
Hawalah
- Istishna
Sharf
Mudharabah - Tabungan - Deposito
Investasi - Mudharabah : a. Mutlaqah - Mudharabah b. Muqayyadah - Musyarakah Sewa - Ijarah
- Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
4.8. Kesimpulan Bahasan kita di atas telah mencakup semua akad-akad fikih muamalah Islam dalam bidang ekonomi yang lazim digunakan. Setelah kita memiliki bekal pengetahuan akad-akad ini, maka langkah selanjutnya adalah menerapkan konsep akad-akad tersebut ke dalam praktek perbankan modern. Karena itu, kita harus mencoba untuk ―menerjemahkan‖ konsep akad-akad ini ke dalam produk-produk perbankan. Sebagaimana yang telah dibahas, Bank Syariah merupakan lembaga intermediasi yang berbeda dengan bank konvensional. Karena memiliki landasan akad dalam muammalahnya. Di mana sistim dan peraturan serta sanksi yang diterapkan berdasarkan Al Quran dan Hadist. Hadist:
Menurut ketentuan asal bahwa segala sesuatu itu dibolehkan selagi belum ada dalil yang mengharamkannya. (Imam Suyuthi)
Walaupun pada kenyataannya masih ada Bank Syariah yang memanfaatkan akad Tabaru‘(sosial) sebagai jembatan untuk mencari keuntungan pada akad Tijarah (bisnis), yang pada dasarnya dilarang. Itu semua kembali pada oknum masing-masing pihak sesuai dengan keyakinannya terhadap hukum Syariah.
PERTANYAAN 1. Dapatkah akad tabaru‘ di rubah ke tijaroh dan sebaliknya? 2. Sebutkan dasar pembagian untung dan rugi dalam akad musyarokah? 3. Mengapa masyarakat lebih cenderung memilih bank konvensional daripada bank syariah. Padahal, dari segi produk, bank syariah lebih variatif daripada bank konvensional? Jelaskan 4. Apa perbedaan antara Wa‘ad dengan Akad? 5. Bolehkah akad Tabarru‘ dijadikan akad Tijarah? Jelaskan! 6. Jelaskan tiga bentuk umum dari akad Tabarru‘! 7. Jelaskan maksud dari natural uncertainty contracts dengan natural certainty contracts 8. Sebutkan akad-akad apa saja yang termasuk dalam natural uncertainty contracts!
REFERENSI Ekonomi islam, direktorat jendral kelembagaan agama islam Dept. Agama RI dan STEI Tazkia Hm. Dumairi Nor dkk, ekonomi syariah versi salaf, pustaka sidogiri,2007 www.akad-akad bank syariah.com Syafi‘I Antonio, Muhammmad.2001.Bank syari‘ah: Dari teori ke praktik. Jakarta: Gema Insane Press.
BAB V PRODUK DAN JASA PERBANKAN SYARIAH Dalam produk dan jasa, perbankan syariah tidak kalah dengan bank-bank konvensional, walaupun bank konvensional menawarkan bunga yang tinggi bagi para konsumennya namun perbankan syariah dewasa ini juga menawarkan bagi-hasil yang kompetitif bahkan lebih menguntungkan. Oleh karena itu sekarang produk dan jasa bank syariah dapat menjadi pilihan utama daripada produk dan jasa bank konvensional.Bab ini menguraikan beberpa produk dan jasa perbankan Syariah baik Pembiayaan, Pendanaan juga Service. Tujuan bab ini adalah mampu mengerti bagaimana bank syariah menyalurkan dan menghimpun dana.
5.1. Pendahuluan Menurut UU RI No.10 Tahun 1998 tentang perbankan, pengertian bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sementara itu pengertian Bank Syariah menurut Muhammad Syafi‘i Antonio: (a) Bank Islam adalah bank yang hanya melakukan investasi- investasi yang halal saja; (b) Bank yang didasarkan pada prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa; (c) Profit dan Falah oriented; (d) Bank yang mempunyai hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan; (e) Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah. Jadi, dapat dipahami perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu: menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa keuangan lainnya. Adapun Bank Syariah, pada dasarnya ketiga fungsi tersebut dapat dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsinya perbankan melakukan hal-hal yang dilarang dalam Syari‘ah. Misalnya saja dalam hal memungut atau meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan untuk melakukan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (usaha perjudian) dimana hal ini tidak dapat dijamin dalam sistem perbankan konvensional. Berkembangnya bank-bank syariah di Indonesia dimulai sejak awal tahun 1990-an. Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalah Indonesia. Berdiri tahun 1992, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukunagan dari Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim Meskipun saat ini bank syariah telah berdiri sejak awal tahun 1990-an, namun keberadaanya masih kurang diminati masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat disadari dengan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap produk atau jasa yang ditawarkan dari bank-bank syariah tersebut dan atau kurangnya sosialisasi dari produk dan jasa tersebut. Padahal dalam kaitannya dengan produk dan jasa, ada perbedaan yang menyolok antara prinsip-prinsip pada produk dan jasa bank syariah dengan prinsip dalam produk dan jasa bank konvensional. Makalah ini akan mencoba membahas mengenai produk dan jasa bank syariah.
5.2. Produk dan Jasa Perbankan Syariah Perbankan dalam melaksanakan fungsinya diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Produk Penyaluran dana atau pembiayaan (financing), 2) Produk Penghimpunan dana (funding), 3) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya. Bank syariah sebagai lembaga intermediasi menerima pendanaan dari nasabah dan meminjamkannya kepada nasabah (unit ekonomi) lain yang membutuhkan dana. Atas pendanaan para nasabah itu bank memberi imbalan berupa bagi hasil. Demikian pula, atas pemberian pembiayaan itu bank mewajibkan bagi hasil kepada para peminjam. Peran bank syariah dianggap mampu untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan aktivitas perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada pelaksanaan kegiatan tolongmenolong dan menghindari adanya dana-dana yang menganggur. Selain itu bank syariah juga menyediakan produk-produk jasa yang dapat dimanfaatkan oleh nasabahnya.
5.3. Produk Penyaluran Dana Sebagai pengganti mekanisme bunga, sebagian ulama meyakini bahwa dalam pembiayaan proyek-proyek, instrumen yang paling baik adalah bagi hasil. Namun pada prinsipnya, sebagaimana halnya prinsip mu‟amalah, semua jenis transaksi pada dasarnya diperbolehkan, sepanjang tidak berisi elemen, maisir, gharar, riba (MAGHRIB). Atas dasar hal-hal tersebut, maka dalam melaksanakan kegiatan pembiayaan (financing) Perbankan Syariah menempuh mekanisme bagi hasil (profit and loss sharing investment) sebagai pemenuhan kegiatan permodalan (equity financing) dan investasi berdasarkan imbalan (fee based investment) melalui mekanisme jual beli (ba‟i) sebagai pemenuhan kebutuhan pembiayaan (debt financing). Produk-produk yang tergabung di sini adalah produk yang bertujuan untuk membiayai
kebutuhan masyarakat. Dalam sistem perbankan syariah pembiayaan dibedakan menjadi tiga bagian. Berikut akan dijelaskan satu persatu. 5.3.1 Berdasarkan Prinsip Jual Beli (Bai’/Sale and Purchase) Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara tangguh (deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing) syarat-syarat al bai' menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh (deferred contract of exchange). Dalam hukum ekonomi Islam, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-beli, termasuk jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang dipertukarkan, jual beli terbagi empat macam; 1) Bai' Al-Muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual-beli. 2) Bai' Al Muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dangan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade. 3) Bai' Al Sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dollar, dollar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer). 4) Bai' As Salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai' as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek. Sedangkan pembagian jual beli berdasarkan harganya terbagi empat macam: 1)
Bai‟ Al Murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
2) Bai‟ Al Musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya. 3) Bai' Al Muwadha'ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang
lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah. 4) Bai‟ al-Tauliyah, yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang sama dengan harga pokok barang. Terdapat bentuk jual-beli lain yang disebut dengan Bai' Al Istishna', yaitu kontrak jual-beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian. Di antara jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip Bai' Al Murabahah, Bai' As- Salam dan Bai' Al Istishna'.
5. 4. Al-Murabahah (Deffered Payment Sale) Murabahah adalah salah satu bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW dari Shuhaib ar Rumy R.A.: "Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai (murabahah), muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan mencampur tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah, bukan untuk diperjualbelikan."(HR. Ibnu Majah) Al Murabahah adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan yang diambil dan cara pembayarannya harus disebutkan dengan jelas. Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan dari jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank. Selama akad belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan maka akad tersebut menjadi batal. Cara pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama, bisa secara lumpsum ataupun secara angsuran. Murabahah dengan pembayaran secara angsuran ini disebut juga bai' bi tsaman ajil. Dalam prakteknya nasabah yang memesan untuk membeli barang menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan barang dengan
spesifikasi dan harga yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan pembelian secara tunai dari pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian menjualnya secara tangguh kepada nasabah yang bersangkutan. Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan barang tersebut.
5.5. Bai' As Salam (In Front Payment Sale) Secara etimologi salam berarti salaf (dahulu). Bai' as salam adalah akad jual-beli suatu barang di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati. Beberapa landasan Syariah dapat disebutkan antara lain: Ibn Abbas berkata: "Aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar dihalalkan oleh Allah dan diizinkan," kemudian ia membaca ayat 282 dari QS Al Baqarah. Menjual sesuatu yang tidak ada pada diri penjual tidak diperbolehkan. Sabda Rasulullah: "Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu" (HR Ahmad, At Tarmidzi, dan Ibn Hibban). Oleh karena itu dalam bai' as salam harus ada jaminan bahwa penyediaan barang yang dipesan dapat dipenuhi. Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tiba di Madinah di mana mereka melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan dengan jangka waktu satu tahun atau dua tahun, lalu beliau bersabda: "Barangsiapa yang melakukan salaf hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai pada batas waktu tertentu."(HR. Bukhari) Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah. Pada umumnya nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang menerima pesanan dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang itu akan dibayar setelah barang diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan pengadaan barang yang dipesan tersebut. Agar nasabah dapat memperoleh dana yang dibutuhkan itu maka ia
bukan melakukan penjualan langsung kepada pemesannya, melainkan menjual kepada bank dengan salam dan posisinya sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh bank. Tentu saja harga dalam jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih rendah daripada harga yang disepakati antara produsen dengan pemesan barang. Selisih harga itu menjadi keuntungan bank.
5. 5.1 Salam Paralel Salam paralel merupakan transaksi pembelian atas barang tertentu yang dilakukan oleh bank dari pihak produsen atau pihak ketiga lainnya dengan pembayaran dimuka, untuk kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan waktu penyerahan yang disepakati. Pembayaran oleh nasabah kepada bank dapat dilakukan dimuka pada saat ditanda-tanganinya akad Salam atau secara tunai pada saat penyerahan barang (Salam Wal Bai‟ Al Mutlaqah) atau dengan cara mengangsur (Salam Wal Murabahah).
5.6. Bai' Al-Istishna'(Purchase by Order or Manufacture) Bai' al-Istishna' adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni') dengan produsen/penjual (shani') di mana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Istishna' hampir sama dengan bai' as salam, bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya; pada salam, pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada istishna' pembayarannya boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap. Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (shani' ke-1) kepada pemesan/pembeli dan mensubkannya kepada produsen (shani' ke-2). 5.6.1 Istishna’ Paralel Suatu kontrak di mana pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut, dengan demikian pembuat dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama
5.7. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Ada empat macam kontrak dalam kategori ini yaitu: musyarakah (joint venture profit sharing) dan mudharabah (trustee profit sharing).Sedangkan Al-Muzara‘ah dan Al-Musaqah dipergunakan khusus untuk pembiayaan pertanian (plantation financing).
5.7.1. Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)
Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (Syirkah Al Inan) sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian keuntungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan merugi, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal. Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek di mana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan. Dalam kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap. Inilah yang disebut Musyarakah al Mutanaqishah. Aplikasinya dalam perbankan adalah pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga keuangan lainnya, di mana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak lainnya dengan cara mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal yang tetap. Sedangkan jenis-jenis musyarakah itu sendiri terdiri dari : 1. Syirkah mufawadah yaitu kerja sama atau percampuran dana antara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang sama. Syirkah mufawadah mengahruskan : Keidentikan penyertaan modal dari setiap anggota Setiap anggota menjadi wakil atau kafil (guarantor) bagi partner lainnya. Untuk keaktifan semua anggota dalam pengelolaan usaha yang wajib. Pembagian keuntungan dan kerugian berdasarkan atas besarnya modal masing-masing Karena ketatnya syarat-syarat bentuk syirkah ini, mufawadah hanya dapat diterapkan dalam keenam produk usaha diatas kalau semua pihak aktif langsung dalam pengelolaan dan menyertakan dana rasio yang sama.
2. Syirkah Al-„Inan Yaitu kerja sama atau percampuran dana anatara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang tidak mesti sama. Syirkah ‗inan atau limited company mempunyai karakter sebagai berikut: a. Besarnya modal anggota tidak harus sama masih setiap anggota mempunyai hak untuk aktif dalam pengelolaan usaha, ia juga dapat menggugurkan haknya. b. Pembagian keuntungan dapat didasarkan atas persentase modal masing-masing, tetapi dapat
pula atas dasar negosiasi. Hal ini diperkenankan karena adanya kemungkinan tambahan kerja, atau
penanggung
resiko dari
salah satu
pihak.
c. Kerugian dan keuntungan sesuai dengan porsi modal. Jadi, syirkah inan merupakan bentuk perkongsian yang paling banyak diterapkan dalam dunia bisnis, hal ini karena sifatnya fleksible. Contoh syirkah ‗Inan : PT. Bank, Koperasi, leasing, join venture, equity participation, special investment, descreasing participation dan letter of kredit. 3. Syirkah wujuh Yaitu kerja sama atau percampuran antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki kredibilitas ataupun kepercayaan. Syirkah wujuh dinamakan demikian karena syirkah ini hanya mengandalkan wujuh (wibawah dan nama baik) para anggota, pembagian untung rugi dilakukan secara negosiasi diantara para anggota. Sesuai dengan pengertian diatas, syirkah
wujuh dapat diterapkan dalam :
a. Suatu kelompok nasabah yang terbentuk dalam suatu perkongsian dan mendapat kepercayaan dari Bank untuk suatu proyek tertentu. Dalam kredit ini pihak debitur tidak menyediakan kolateral atau apapun kecuali wujuh mereka. b. Suatu perkongsian antara para pedagan yang membeli dengan kredit dan menjual dengan tunai 4. Syirkah ‗abdan Yaitu kerja sama atau percampuran tenaga atau profesionalisme antara dua pihak atau lebih (kerja sama profesi). Contoh perkongsian ini antara lain: - beberapa penjahit yang membuka toko jahit mengerjakan pesanan secara bersama - perkongsian antara insinyur listrik, tukang kayu, piñata taman, toko bangunan dalam suatu kontrak pembangunan rumah.
5. Syirkah Al-Mudharabah Yaitu kerja sama atu percampuran dana antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki profesionalisme atau tenaga. Dasar Al-Qur‘an tentang Mudahrabah: Al Muzammil: 20. “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa
saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Al-Jumu’ah:10. “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Al-Baqarah:198 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari „Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy‟arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.
5.7.2. Mudharabah (Trustee Profit Sharing/Trust Financing, Trust Investment) Kontrak mudharabah juga merupakan suatu bentuk equity financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib kehilangan keuntungan (imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah dilakukannya. Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi pengelola dana (mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung dan investor, atau dapat menjadi penyedia dana (shahibul maal) dalam hubungan mereka dengan pihak pengguna dana. Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah (terikat). a) Mudharabah Mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf). b) Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada
pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan.
5.7.3 Al-Muzara’ah (Harvest Yield Profit Sharing)
Al-Muzara'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen. 5.7.4 Al-Musaqoh (Plantation Management Fee Based on Certain Portion of Yield)
Al-musaqah merupakan bagian dari al-muza'arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. 5.7.5. Prinsip Sewa Menyewa (Opertional Lease and Financial Lease Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina' atau disebut juga ijarah muntahiyah bi tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing lease. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina' atau al ijarah muntahiyah bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.
5.8. PRODUK PENGHIMPUNAN DANA (FUNDING) Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah terutama dalam pasal 28 yang menyebutkan bahwa bank wajib menerapkan Prinsip Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya, yaitu pada
usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yaitu : 1. Giro berdasarkan prinsip wadi‘ah; 2. Tabungan berdasarkan prinsip wadi‘ah atau mudharabah; 3. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;atau 4. Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi‘ah atau mudharabah Produk-produk yang tergabung disini adalah produk yang bertujuan untuk menghimpun dana masyarakat. Dalam sistem perbankan syariah simpanan diterima berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah. Jadi, Secara umum, produk simpanan di perbankan syariah ada tiga, yaitu : Giro, Tabungan dan Deposito. Berikut ini akan dijelaskan ketiga produk diatas dalam aplikasinya di perbankan syariah.
5.8.1. Giro (Current Account) Antonio, 2001 dalam bukunya bank syariah dari teori ke praktek, pada umumnya, bank syariah menggunakan akad al- Wadiah (atau titipan yang berarti bank tidak diwajibkan memberikan imbalan apapun) pada rekening giro ini. Namun bank dibolehkan untuk memberikan bonus atau hibah sesuai kemampuan dan kinerja bank pada periode tersebut. Dalam fiqh muamalah, wadhiah dibagi menjadi dua macam Al-Wadiah Amanah,(trustee depository) dan Al-Wadiah Wadi`ah. Namun, sebelum lebih jauh membahas dua macam wadiah tersebut, ada baiknya kita mengetahui prinsip wadiah terlebih dahulu.
5.8.2. Prinsip Al Wadi'ah Wadi'ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk dijaga. Barang yang dititipkan disebut ida', yang menitipkan disebut mudi' dan yang menerima titipan disebut wadi'. Dengan demikian maka pengertian istilah wadi'ah adalah akad antara pemilik barang (mudi') dengan penerima titipan (wadi') untuk menjaga harta/modal (ida') dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta. Ada dua tipe wadi'ah, yaitu wadi'ah yad amanah dan wadi'ah yad dhamanah.
a). Wadi'ah Yad Amanah Wadi'ah yad amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi'ah yad dhamanah.
Di bawah prinsip yad amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan aset tersebut tidak boleh dipergunakan dan custodian tidak berhak untuk memanfaatkan aset titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi'ah yad amanah akan berubah menjadi wadi'ah yad dhamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal ini: (1) harta dalam titipan telah dicampur, dan (2) custodian menggunakan harta titipan. Penerapannya dalam perbankan dapat dilihat, misalnya dalam pelayanan jasa penitipan surat-surat berharga (custodian).
b). Wadi'ah Yad Dhamanah Wadi'ah Yad Dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemiliknya yang memerlukan jasa penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktuwaktu. Di bawah prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan. Jadi, custodian memperoleh izin dari pemilik harta untuk menggunakannya dalam perniagaan selama harta tersebut berada di tangannya. Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh harta yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan penerimaan kembali atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta tersebut selama dalam status simpanan adalah menjadi hak custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus kepada pemilik harta atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian b. Tabungan Tabungan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
Tabungan Wadiah Adalah aqad antara pemilik dengan penyimpan, untuk menjaga harta/modal dari kerusakan
atau kerugian dan untuk keamanan harta b.) Tabungan Mudharabah Tabungan yang merupakan aqad investasi (mudharabah mutlaqah) antara bank dengan nasabah dimana bank bisa menggunakan dana nasabah untuk proyek/usaha yang dianggap menguntungkan.Tabungan mudharabah adalah tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah
muthlaqah. Dalam hal ini bank syariah mengelola dana yang diinvestasikan oleh penabung secara produktif, menguntungkan dan memenuhi prinsip-prinsip syariah Islam. Hasil keuntungannya akan dibagikan kepada penabung dan bank sesuai perbandingan bagi hasil atau nisbah yang disepakati bersama (Karim, 2003). Para cendekiawan fiqih Islam meletakkan mudharabah pada posisi yang khusus dan memberikan landasan hukum tersendiri sebagai berikut (Karnaen, 1992):. 7.
Dalam Al-Qur‟an surat Al-Muzammil (73)/20: Artinya : “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”. Mudharib sebagai entrepreneur adalah sebagian dari orang-orang yang melakukan dharib
(perjalanan) untuk mencari karunia Allah SWT dari keuntungan investasinya. o
Sunnah Rasulullah SAW : Dari Suhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tiga perkara didalamnya terdapat keberkahan, (1) menjual dengan pembayaran secara kredit, (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan (3) mencampur gandum dengantepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah). Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana ke
mitra usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak yang berparu-paru basah, jikalau menyalahi peraturan maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikannyalah
syarat-syarat
tersebut
kepada
Rasulullah
SAW
dan
beliau
pun
memperkenankannya. (Majma‘ Azzawaid, 4/161). C.) Deposito Mudharabah Sama dengan tabungan, namun sifatnya berjangka, sebagaimana halnya produk deposito di bank umum.
Ketentuan tabungan & deposito mudharabah mutlaqah e. Dalam transaksi ini nasabah beritndak sebagai shahibul maal atau pemilik dana dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana f. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya termasuk didalamnya mudharabah dengan pihak lain g. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai bukan piutang h. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening
i. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dan deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya j. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
5.8.1. Prinsip Al-Mudharabah pemilik modal membiayai sepenuhnya suatau proyek atas suatu usaha dan penguasa mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian. Apabila usaha tersebut mengalami kerugian, maka kerugian tersebut dapat di tanggung bersama antara pemilik modal dan penerima modal. Dalam hal ini Bank Syariah sebagai mudharib ( pengusaha ) dan deposan sebagai Shahib Al Mal ( pemilik modal ). Prinsip Bank Syariah ini berdasarkan prinsip AlMudharabah, yaitu : Tabungan Mudharah dan Deposito Mudharabah.
5.8.2. Prinsip Al-Qard Ul Hasan Prinsip ini berarti pemilik dana ( masyarakat ) memberikan fasilitas dananya kepada bank ( penerima dana ) , di mana pemilik dana tidak mengharapkan imbalan atas dana yang di berikan. Penerima dana atas dasar prinsip Al-Qard Ul Hasan dapat berupa : zakat infaq dan sadaqah. Produk penghimpunan dana dibank syariah dapat berupa giro, tabungan, dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah wadi‘ah dan mudharabah. A. Wadi‘ah Prinsip Wadi‘ah yang diterapkan dalam Perbankan syariah adalah Wadiah Yad Dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Dalam konsep Wadi‘ah Yad Dhamanah, Bank dapat mempergunakan dana yang dititipkan, akan tetapi bank bertanggung jawab penuh atas keutuhan dari dana yang dititipkan. B. Mudharabah I. Mudarabah Mutlaqah Mudarabah Mutlaqah adalah Mudarabah yang tidak disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari Sahibul Mal. II. Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet adalah Aqad Mudarabah yang disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari Sahibul Mal untuk investsi-investasi tertentu. III. Mudarabah of Balance Sheet Dalam Mudarabah of Balance Sheet, Bank bertindak sebagai arranger, yang mempertemukan nasabah pemilih modal dan nasabah yang akan menjadi mudharib.
C. Wakalah Wakalah dalam praktek perbankan syariah dilakukan apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
5.9. Jasa Perbankan Syariah (fee based services) Produk-produk yang tergabung disini adalah produk yang dibuat untuk melayani kebutuhan masyarakat yang berbasis pendapatan tanpa exposure pembiayaan. Secara umum, jenis jasa dalam Perbankan Syariah ada enam, antara lain sebagai berikut: a.) Wakalah : Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama. Ada beberapa jenis wakalah, antara lain: Ø
Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan.
Ø Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu. Ø Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah. Dalam aplikasinya pada perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain. b.) Ju’alah : Ju'alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti Referensi Bank, Informasi Usaha dan sebagainya. Prinsip ini juga digunakan oleh Bank Indonesia dalam Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) c.) Rahn : Rahn menurut Syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali. Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil utang semuanya atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya. Rahn adalah satu jenis transaksi tabaru', karena apa yang diberikan Rahin (pemilik barang) untuk murtahin (pemegang barang) bukan atas imbalan akan sesuatu, ia termasuk transaksi (uqud) 'ainiyah, di mana tidak dianggap sempurna secuali bila sudah diterima 'ain al ma'qud. Dan akad (transaksi) jenis ini ada lima, yaitu hibah, i'arah, ida', qard dan rahn. Tabaru' itu tidak sempurna kecuali dengan qard. Dalam teknis perbankan, akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah guna keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Bank atau lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut. d.) Hawalah : Hawalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da'in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal 'alaih). Menurut mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu: 1) Hawalah mutlaqah: Seseorang memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi, kalau muhal 'alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridaan tiga pihak (da'in, madin dan muhal 'alaih). 2) Hawalah Muqayyadah: Seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga mazhab selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan mensyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal 'alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Kalau sudah sama jenis dan jumlahnya maka sahlah hawalah. Kalau berbeda salah satunya, maka hawalah tidak sah. Di pasar keuangan konvensional praktek hawalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (factoring). Namun sebagaimana diuraikan di atas, kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan utang/piutang tersebut.
e.) Kafalah : Istilah kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah
nyawa, utang atau barang. Meskipun demikian penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang (penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan/pembayaran utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat tentang bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah masyarakat, dan agar yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang. Dalam lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (bank guarantee). Ada tiga jenis kafalah, yaitu: 1) Kafalah bin nafs, yaitu jaminan dari diri si penjamin (personal guarantee); 2) Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment bond) atau jaminan pembayaran (payment bond). 3) Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).
f.) Wadi’ah Yad Dhamanah Wadi'ah Yad Dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemiliknya yang memerlukan jasa penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktuwaktu. Di bawah prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan. Jadi, custodian memperoleh izin dari pemilik harta untuk menggunakannya dalam perniagaan selama harta tersebut berada di tangannya. Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh harta yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan penerimaan kembali atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta tersebut selama dalam status
simpanan adalah menjadi hak custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus kepada pemilik harta atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian.
5.10. Kesimpulan Seperti yang sudah dijelasakan pada tulisan di atas maka kita dapat mengetahui bahwa produk-produk bank syariah lebih fleksibel dan dijamin kehalalannya karna sesuai dengan syariah, maka bank syariah merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan mitra dalam investasi dan juga sangat cocok sebagai tempat menyimpan uang dengan aman tanpa takut terkena dampak krisis seperti yang pernah dialami bank-bank konvensional beberapa tahun yang lalu.
SOAL LATIHAN 1. Sebutkan dan jelaskan undang-undang yang mengatur tentang fungsi perbankan! 2. Jelaskan skema pembiayaan dalam perbankan syariah saat ini? Sebutkan pula produk-produk bank syariah yang menggunakan skema pembiayaan tersebut!(buat dalam bentuk tabel) 3. Apa perbedaan Wad‘iah Yad Amanah dengan Wadi‘ah Yad Dhamanah? Sebutkan produk-produk bank syariah yang menggunakan prinsip Wadi‘ah ! 4. Jelaskan perbedaan perhimpunan dana bank antara bank syariah dan bank konvesional 5. jelaskan yang dimaksud dengan L/C, dan jelaskan akad-akad yang digunakan dalam L/C syariah. 6. Bagaimanakah pengaplikasian hawalah dalam perbankan syariah? Jelaskan dengan singkat dan jelas.
REFERENSI Hosen, M.N. “Buku saku Perbankan Syariah”. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Jakarta, Nopember 2005 Mervyn K.Lewis dan latifa M.Algaoud. Perbankan Syariah : Prinsip, Praktik, dan Prospek, Jakarta: Serambi, 2007 Karim Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : KBC, 2005 Antonio Syafi’I. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001 Sjahdeini Sutan Reny. Perbankan Syariah, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta: 2007 Antonio Syafi’I. Bank Syariah, PT Ekonisia, Yogyakarta; 2006
Http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/se_103508.htm
BAB VI MURABAHAH DAN ISTISHNA' Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati nurani umat Islam sehingga dicarilah solusi yang tepat sesuai ajaran Islam salah satunya yaitu pembiyaan murabahah.Bab ini selain membahas konsep dan aplikasi Murabahah juga menguraikan pengertian Istisna' dalam praktek perbankan Syariah. Tujuan akhir dari pembelajaran bab ini adalah kemampuan memahami teori dan praktek akad Murabahah dan Istishna' dalam perbankan Syariah.Tujuan mempelajari bab ini mampu membedakan jenis pembiayaan Murabahah dan Istishna’ 6.1. Pendahuluan Pada umumnya Bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima Simpanan, Giro, Tabungan dan Deposito. Kemudian Bank dikenal juga sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Disamping itu bank juga dikenal untuk menukar uang, atau menerima segala bentuk pembayaran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah dan sebagainya. Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masayarakat serta memberikan jasanya dalam lalulintas pembayaran dan peredaran uang. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga fungsi utama Bank yaitu: ◦ Bank sebagai lembaga yang mungumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. ◦ Bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk lainnya ◦ Bank sebagai lembaga yang memperlancar transaksi perdagangan dan predaran uang. Berdasarkan pemahaman fungsi Bank tersebut dapat dipastikan bahwa penyaluran kredit merupakan bisnis utama Bank, sehingga sebagian terbesar dari asset Bank berupa kredit. Begitu juga halnya dengan pendapatan Bank sebagian besar berasal dari pendapatan bunga kredit.
Lazimnya suatu usaha ekonomi yang terorganisir bertujuan mendapatkan laba maksimum dan kelangsungan hidup usaha dalam jangka waktu yang lama. Tujuan tersebut pada dasarnya dapat dicapai malalui usaha mempertahankan dan meningkatkan kemampuan perusahaan, baik dalam menghadapi pesaing-pesaing maupun dalam mengefesiensikan usaha secara inovatif dan kreatif. Untuk itulah suatu usaha ekonomi harus mempunyai strategi perusahaan yang mantap guna merebut peluang-peluang pasar potensial.
Kredit dalam ekonomi Islam dikenal dengan pembiayaan, menurut undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Yang menjadi perbedaan antara kredit yang diberikan oleh bank konvensional dengan pembiayaan yang diberikan oleh Bank syariah terletak pada keuntungan yang akan diharapkan, bagi Bank yang berdasarkan prinsip konvensional keuntungan yang akan diperoleh berupa tingkat suku bunga yang ditetapkan diawal, sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah keuntungan yang akan diperoleh berupa imbalan atau bagi hasil.
6. 2. Murabahah dan Istishna 6.2.1. Murabahah 6.2.1.1. Definisi Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (ُ)انش ْث ُح, yang berarti ِ kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan menurut definisi para ulama terdahulu, murabahah ialah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakikatnya, ialah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui oleh dua belah pihak yang bertransaksi (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga –misalnya- penjual mengatakan, modalnya adalah seratus ribu rupiah, dan saya jual kepada anda dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank Syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang
membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.
6.2.1.2. Landasan hukum
AL Quran
‖Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba‖ (QS (2):275).
―Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu‖. QS. An Nisaa‘ (4) : 29
AL Hadist
―Pedagang yang jujur dan terpercaya, maka dia bersama nabi, orang-orang yang jujur dan para syuhada‖. (HR. Tarmidzi)
―Dari Suhaib ArRumi r.a bahwa Rasulullah bersabda, ―tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.‖
◦ Rukun murabahah Ba‘I penjual Musytari awal ( pembeli pertama ). Musytari tsani ( pembeli kedua ). Ma‘qud alaih ( objek jual beli ) Sighat ( ucapan serah terima).
Syarat Murabahah
Pihak yang berakad (Bai‘ & Musytari) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.
Barang yang diperjual-belikan (Mabi‘) tidak termasuk barang haram dan jenis maupun jumlahnya jelas.
Harga barang (Tsaman) harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen keuntungan) dan cara pembayarannya disebutkan dengan jelas.
Pernyatan serah-terima (Ijab-Qabul) harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik pihakpihak yang berakad.
Ketentuan diperbolehkannya murabahah: Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa‟adah diperbolehkan dengan tiga hal:
o Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima. o Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya. pembiyaan Murabahah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok : Pembiayaan murabahah yang didanai dengan URIA (Unrestricted Investment Account= investasi tidak terikat ) Pembiayaan murabahah yang di danai dengan RIA (restricted Investment Account = investasi terikat ) Pembiayaan murabahah yang dimodali oleh Modal Bank.
Prinsip dan Ketentuan Umum Murabahah. Adapun yang menjadi prinsip dan ketentuan umum dalam pembiyaan murabahah yaitu: Akad murabahah bebas riba Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dari pembelian ini
harus dan bebas riba Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian Bank menjual barang kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya Bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan Nasabah membayar harga barang yang disepakati pada jangka waktu tertentu Untuk mencegah penyalahgunaan atau kerusakan akad, bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah Jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank.
Skema akad murabahah
Skema murabahah dalam aplikasi perbankan.
6.3. Tujuan dan Manfaat
Sebagaimana kita ketahui, dalam skim Murabahah fungsi Bank adalah sebagai Penjual barang untuk kepentingan Nasabah, dengan cara membeli barang yang diperlukan Nasabah dan kemudian menjualnya kembali kepada Nasabah dengan harga jual yang setara dengan harga beli ditambah keuntungan Bank dan Bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok Barang berikut biaya yang diperluan dan menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian Barang kepada Nasabah. Namun demikian, sebagai Penyedia Barang dalam prakteknya Bank Syariah kerap kali tidak mau dipusingkan dengan langkah-langkah pembelian Barang. Karenanya Bank Syariah menggunakan media ‖akad Wakalah‖ dengan memberikan kuasa kepada Nasabah untuk membeli barang tersebut. dalam pembiyaan murabahah,terdapat manfaat yang tidak saja semata diperoleh oleh bank tetapi juga dapat dirasakan oleh nasabah seperti yang disebutkan berikut ini :
Bagi Bank:
Adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli, dari penjual dengan harga jual kepada nasabah
Sumber pendanaan bagi bank baik dalam bentuk rupiah atau valuta asing
Bagi Nasabah:
Membiayai kebutuhan nasabah dalam hal pengadaan barang konsumsi seperti rumah, kendaraan atau barang produktif seperti mesin produksi, pabrik dan lain-lain.
Nasabah dapat mengangsur pembayarannya dengan jumlah angsuran yang tidak akan berubah selama masa perjanjian.
Dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi baik domestik maupun luar negeri.
6. 4. ISTISHNA ISTISHNA’
merupakan
akad
jual-beli
antara
pemesan/pembeli
dengan
pihak
produsen/penjual atas suatu barang tertentu yang harus dipesan terlebih dahulu, dengan spesifikasi dan harga yang disepakati. Sementara pembayarannya dapat dilakukan dimuka, ditengah atau pada saat penyerahan barang.
ISTISHNA’ PARALEL merupakan gabungan dari dua transaksi Istishna‘ yang dilakuka secara simultan. Pihak penjual pada transaksi Istishna‘ yang pertama bukanlah produsen yang sesungguhnya dan karenanya membuat akad serupa dengan pihak lain (produsen) untuk memenuhi pesanan pembeli.
Ulama' fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam tiga pendapat: Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi. Pendapat kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi'i.
Pendapat ketiga: Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama' penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang.
6.4.1. Landasan syariah
Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta'ala:
ْ ََُُّّللا َّ ثب َٔأَ َحم ُُانجَ ٍْ َغُ َٔ َح َُّش َوُان ِّش "Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275) Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
―Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya‖. QS. Al Baqarah (2) : 282
Ibnu Abbas r.a. mengungkapkan : ―Aku bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya‖, seraya membaca ayat tersebut diatas.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : ―Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui‖.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
ْ َت ُإِن َّ ى َُُّىُان َؼ َج ِى ُفَمٍِ َم ُن َ َُُّللاِ ُصهىَُّللاُػهٍُُّٔعهىُ َكبٌَ ُأَ َسادَُأَ ٌْ ُ ٌَ ْكز َّ ظ ُسظًَُّللاُػُُّأَ ٌَّ ََُ ِج ٍ َََػ ٍَْ ُأ ْ ٌَّ ِإ َّ ُِفَبصْ طََُ َغ ُ َخبرَ ًًبُ ِي ٍْ ُف.ُُان َؼ َج َى ُالَ ٌَُ ْمجَهٌَُٕ ُإِالَُّ ِكزَبثًبُ َػهَ ٍْ ِّ ُ َخبرِى ُُُ َكأََِّىُأَ َْظُش-ُُلَب َل ُُسٔاُِيغهى.ع ٍُخ ُِِ ظ ُِّفِىٌَُ ِذ ِ إِنَىُثٍََب. Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka
beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat Muslim) Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.
Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
Para ulama' di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
ُحزىٌُذلُانذنٍمُػهىُانزحشًٌبألصمُفًُاألشٍبءُاإلثب،حخ "Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya."
Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. Alasan ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu taisir (memudahkan):
- ُُإِ ٌَُّان ِّذٌٍَ ٌُُغْش-ُسٔاُِانجخبسي. "Sesungguhnya agama itu mudah." (Riwayat Bukhari)
Akad istishna' dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan
dan tidak dilarang. ◦ Rukun Istishna
Produsen / Penjual (Shaani‘)
Pemesan / Pembeli (Mustashni‘)
Barang / Jasa yang dipesan (Mashnu‘)
Harga Barang / Jasa (Tsaman)
Sighot (Ijab-Qabul) ◦ Syarat Istishna
Produsen dan pemesan (Shaani‘ & Mustashni‘) cakap hukum, tidak dalam keadaan terpaksa dan tidak ingkar janji.
Produsen (Shaani‘) memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk membuat/mengadakan barang yang dipesan.
Barang yang dipesan (Mashnu‘) harus jelas spesifikasinya dan tidak termasuk yang dilarang syariah. Sedangkan waktu penyerahannya sesuai kesepakatan.
Harga barang (Tsaman) harus dinyatakan secara jelas dan pembayarannya dilakukan sesuai dengan kesepakatan. ◦ Skema Istishna
Peme san
◦ Skema Istishna Paralel
Skema istishna pada perbankan
6.5. Murabahah Dalam Perbankan Syari’ah Salah satu produk yang popular pada produk syari‘ah adalah skim jual beli murabahah. Murabahah dalam perbankan syari‘ah di definisikan sebagai jasa pembiayaan dengan mengambil transaksi jual beli barang antara bank dan nasabah dengan cara pembayaran angsuran. Dalam perjanjian murabahah, bank membiayai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up atau margin keuntungan. Dengan kata lain, penjualan barang oleh bank kepada nasabah dilakukan atas dasar cost + profit.
Murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syari‘ah, pada prinsipnya didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya yang terkait dan kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrak pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentaseb dari total harga plus biayabiayanya.
Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang.
Apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual dan penjual harus mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli.
Pembayarannya ditangguhkan. Bank-bank syari‘ah umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan pembiayaan
jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin nasabah tidak memiliki uang untuk membayar. Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi investasi perbankan syari‘ah, antara lain: 1.
Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem profit and lost sharing (PLS), cukup memudahkan.
2.
Mark-up dalam murabahah dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam.
3.
Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS.
4.
Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, kerana bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.
6.5.1. Kritik terhadap Praktek Murabahah di Perbankan Syari’ah Maraknya perbankan syari‘ah tak lepas dari kritik dan kecaman, yang justru datang dari para ilmuwan Islam sendiri. Mereka berpendapat bahwa bank-bank syari‘ah dalam menyelenggarakan transaksi-transaksi perbankan syari‘ah justru telah melaksanakannya bertentangan dengan konsepnya. Dengan kata lain, bertentangan dengan semangat dari prinsip-prinsip syari‘ah. Penerapan usahausaha bisnis bank syari‘ah, terutama produk murabahah telah menimbulkan masalah moralitas. Dari pengamatan dan penelitian beberapa ilmuwan Islam itu, bank-bank syari‘ah, dalam penerapan produk-produknya ternyata bukannya meniadakan bunga dan membagi resiko, tetapi tetap mempertahankan praktek pembebanan bunga dengan menggumakan ―Label
Islam‖. Lebih jauh lagi para teritis mengemukakan perbankan syari‘ah dari tahun 1940-an sampai akhir 1970-an tidak membayangkan perbankan syari‘ah sebagai perbankan berbassis mark up, tetapi mereka mengandaikan perbankan syari‘ah sebagai perbankan berbasis mark-up
tetapi mereka
mengandaikan perbankan syari‘ah sebagai perbankan berbasis profit and lost sharing dengan menggunakan konsep musyarakah dan mudharabah. Siddiqi dalam karyanya Banking without Interest tidak menyinggung murabahah sama sekali, demikian pula halnya dengan Interest-Free Banking karya Uzair. Bahkan dengan tegas, Siddiqi sebagaimana dikutip oleh Saeed 19 menyatakan pendapatnya untuk menghapus instrumen murabahah dari perbankan syari‘ah. Beberapa kritik terhadap praktek murabahah di perbankan syari‘ah juga dikemukakan oleh beberapa ulama, diantaranya adalah: ◦ Murabahah ini bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan mengambil riba. ◦ Murabahah merupakan jual beli „Inah yang diharamkan Islam. ◦ Murabahah merupakan bai‟atani fi bai‟ah. ◦ Murabahah merupakan bai‟ al-ma‟dum. Meskipun banyak kritik yang diarahkan kepada praktek murabahah di perbankan syari‘ah, namun hal ini justru mengindikasikan bahwa sebenarnya produk murabahah ini direspon secara luas. Oleh karena itu, dalam perjalanannya para teoritisi dan praktisi perbankan syari‘ah masih terus melakukan kajian dan mengkritisi secara serius mekanisme kontrak murabahah yang sesuai dengan semangat dari prinsip-prinsip syari‘ah dalam rangka mencapai tujuan pembumian ekonomi syari‘ah di Indonesia.
6.5.2. Harga jual (pricing) yang lebih tinggi dalam murabahah. Bank konvensional dalam meminjamkan uang, misalnya untuk pembelian barang-barang tertentu, bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan jatuh tempo pinjaman. Sedangkan berapa harga barang nasabah itu bukanlah menjadi urusan bank konvensional. Hal utama yang menjadi perhatian bank konvensional adalah memperoleh suku bunga yang sedang berlaku bagi pengeluran-pengeluaran, semisal dalam hal resiko dan jatuh temponya. Berbeda dengan bank konvensional, dalam mekanisme pembiayaan murabahah di bank syari‘ah, nasabah dapat mengetahui total harga barang sebelumnya, dimana hal ini tidak akan diketahui dalam pembiayaan berbasis bunga. Dalam murabahah, faktor-faktor yang tampaknya mempengaruhi besarnya mark-up adalah kebutuhan bank syari‘ah untuk memperoleh keuntungan riil, inflasi, suku bunga yang berjalan, kemijakan moneter, marketabilitas barang-barang murabahah serta tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang itu. Dengan demikian, mark-up dalam
murabahah bisa saja lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga. Namun, nampaknya, perbedaan antara mark up murabahah di bank syari‘ah dengan suku bunga dalam pinjaman kredit di bank konvensional ini tidak terlalu jauh. Hal inilah yang memicu munculnya persepsi masyarakat yang menyamakan praktek murabahah di bank syari‘ah dengan pinjaman kredit di bank konvensional. Untuk itu, perlu adanya konsep yang jelas dalam penentuan harga jual (pricing) murabahah. Para Fuqaha berbeda pendapat tentang harga kredit yang lebih tinggi (sebagai lawan dari harga tunai) dalam murabahah. Para Fuqaha generasi awal,seperti Malik dan Syafi‘I tidak menyetujui jual beli suatu barang murabahah dengan harga kredit yang lebih tinggi daripada harga kontannya. Namun para pengikut madzhab Hanafi, Syafi‘I dan dari madzhab-madzhab lain menganut pandangan bahwa kenaikan harga pada jual beli dengan pembayaran tunda adalah boleh. Baghawi sebagaimana dikemukakan oleh Saeed, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai murabahah dengan syarat bahwa si pembeli dan penjual setuju terhadap salah satu harga (dari dua harga, yaitu harga tunai dan harga kredit). Bamyak fuqaha, termasuk Sarakhsi, Marghinani, Ibn Qudamah dan Nawawi secara tegas menyatakan bahwa pengenaan harga yang lebih tinggi pada jual beli kredit adalah praktik yang biasa dalam perdagangan dan berdasarkan hal ini, para fuqaha membolehkan harga yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, para praktisi perbankan syari‘ah membolehkan adanya kenaikan harga pada jual beli murabahah dengan pembayaran tunda dengan sejumlah argumen telah diajukan untuk mendukung keabsahannya, diantaranya adalah sebagai berikut :
Teks-teks syari‘ah tidak melarangnya;
Ada perbedaan antara uang yang tersedia sekarang dengan uang tersedia di masa datang;
Kenaikan harga ini bukan sebagai imbalan waktu tunda pembayaran dan karenanya tidak sama dengan riba;
Kenaikan harga dikenakan pada saat penjualan, tidak setelah penjualan terjadi;
Kenaikan harga disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pasar, seperti permintaan dan penawaran, dan naik turunnya daya beli uang sebagai Akibat inflasi dan deflasi.
Penjual sedang melakukan aktivitas dagang yang produktif dan diakui.
Penjual boleh menetapkan harga berapapun yang dikehendakinya.
Argumen-argumen di atas sering diajukan bank-bank Islam untuk membenarkan kenaikan harga jual beli murabahah dengan pembayaran tunda dan hal ini sudah menjadi praktek baku dalam murabahah. Namun demikian, menurut penulis, penentuan harga jual produk-produk bank syari‘ah harus tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dibenarkan menurut syari‘ah. Oleh karena itu,
bank syariah perlu menetapkan metode yang efektive dan efisien di dalam kemasan produk murabahah dapat memberikan keuntungan secara adil antara pihak bank syari‘ah dengan nasabah pembiayaan murabahah.
6.5.3. Resiko dalam pembiayaan murabahah Pembiayaan berdasarkan pembagian resiko yang diidentikkan dengan model teoritis perbankan Islam tidak tampak menjadi karakter utama praktek murabahah bank-bank Islam. Namun demikian, para pendukung bank syari‘ah mengatakan bahwa dalam murabahah, faktor pembagian resiko tetap ada, yang itu menjadi alasan diambilnya laba, sampai nasabah memenuhi janji awal untuk membeli barang. Berikut ini adalah resiko-resiko yang terkait dalam murabahah sebagai berikut :
6.5.4. Resiko yang terkait dengan barang Bank syari‘ah membeli barang-barang yang diminta oleh nasabah murabahah-nya dan secara teoritis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang-barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Dalam kontrak murabahah, bank syari‘ah diwajibkan untuk menyerahkan barang kepada nasabah dalam kondisi yang baik. Bahkan, nasabah berhak menolak barang-barang yang rusak, yang kurang jumlahnya atau tidak sesuai dengan spesifikasinya. Bank syariah juga , bagaimanapun pada prakteknya menghindari resiko-resiko tersebut dengan asuransi dan klausul kontrak, yang telah disusun sedemikian rupa sehingga membantu bank syari‘ah untuk menghindari segala resiko yang terkait dengan barang. Dengan demikian, segala resiko yang terkait dengan barang, yang secara teoritis harus ditanggung bank, secara efektif telah terhindarkan.
6.5.5. Risiko yang terkait dengan nasabah Janji nasabah murabahah untuk membeli barang yang dipesan dalam suatu transaksi murabahah, tidaklah mengikat. Oleh sebab itu, nasabah berhak menolak untuk membeli barang ketika bank syari‘ah menawari mereka dalam penjualan. Dalam prakteknya, resiko terhadap kemungkinan penolakan nasabah untuk membeli barang dapat dihindari dengan pembayaran di muka (sepertiga dari total harga, misalnya), dengan jaminan, jaminan pihak ketiga, dan dengan klausul kontrak. Dengan demikian, semua resiko yang secara teoritis mungkin ada dalam kaitannya dengan penolakan nasabah untuk membeli barang, sebenarnya telah hilang dalam praktek perbankan syari‘ah.
6.5.6. Resiko yang terkait dengan pembayaran Resiko tidak terbayar penuh atau sebagian dari uang muka, seperti yang dijadwalkan dalam kontrak, memang ada dalam pembiayaan murabahah. Bank syari‘ah menghindari resiko ini dengan adanya janji tertulis, jaminan, jaminan pihak ketiga dan klausul kontrak yang menyatakan bahwa semua hasil dari barang-barang murabahah yang dijual kepada pihak ketiga dengan tunai maupun kredit harus ditaruh di bank sampai apa yang menjadi hak bank dibayar kembali sepenuhnya. Jika tidak adanya pembayaran itu disebabkan oleh faktor di luar kemampuan nasabah, bank syari‘ah secara moral berkewajiban menjadwal ulang utang. Di pihak lain, jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu, tetapi ia tidak melakukannya, maka bank syari‘ah telah mengadopsi konsep ―Denda‖ yang dijatuhkan kepada nasabah. Dengan demikian dalampraktek, bank syari‘ah secara efektif telah menghilangkan semua resiko dalam pelaksanaan murabahah.
6.5.7. Jaminan Dalam konteks pemberian pinjaman bank konvensional, jaminan memainkan peran penting untuk memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh tempo. Namun, dalam perbankan syari‘ah, pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam murabahah. Jaminan diterapkan sebagai suatu cara untuk memastikan bahwa hak-hak kreditur tidak dihilangkan dan untuk menghindari dari ―Memakan harta orang secara bathil‖ Dalam kontrak murabahah jaminan itu dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak, atau barang-barang murabahah itu sendiri. Meskipun demikian, kontrak-kontrak murabahah bank-bank Islam dan cabang-cabang syari‘ah bank konvensional berisi klausul-klausul yang menekankan pentingnya jaminan. Jika demikian adanya perhatian bank Islam terhadap jaminan, maka praktek bank Islam ini tidak jauh berbeda dengan bank konvensional.
6.5.8. Penyelesaian hutang murabahah Pembiayaan berbasis murabahah harus dilunasi pada jangka waktu tertentu tidak jauh berbeda dengan pembiayaan berbasis bunga. Namun ada perbedaan yang paling mendasar dari kedua pembiayaan tersebut dalam hal debitur gagal melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan. Pinjaman dengan bunga, pada umumnya menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada saat jatuh tempo. Sedangkan, dalam perbankan syari‘ah, nasabah harus diberi waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu. Penundaan semacam ini harus diberikan, tanpa menambahkan beban tambahan kepada nasabah atas waktu yang diberikan untuk pembayaran. Namun bagi nasabah yang mampu melunasinya tetapi mereka lalai untuk melunasi hutang tepat waktu, maka bank ,menerapkan konsep ―Denda‖.
Semua hal di atas menunjukkan bahwa sampai dalam penyelesaian hutang pun, bank syari‘ah telah menggunakan cara-cara untuk menjamin agar hutang dilunasi tepat waktu, dan jika tidak ‗kerugian‘ yang diderita bank ditanggung oleh nasabah. Berdasarkan uraian di atas, maka peran bank syari‘ah dalam murabahah sbagaimana yang dikemukakan oleh Saeed sebagai ―pembiaya (a financier) bukan sebagai ―penjual‖ (a Seller). Bank tidak memegang barang, dan tidak pula mengambil resiko atasnya. Kerja bank hampir semuanya terkait dengan penanganan dokumendokumen terkait dan kontrak penjualan adalah sekedar formalitas. Di samping itu, penentuan markup dalam kontrak murabahah yang secara bebas ditentukan oleh bank syari‘ah, akan dapat memicu munculnya persepsi bahwa mark-up itu identik dengan bunga. Untuk itu, perlu kajian secara mendalam tentang konsep pricing dalam murabahah.
6.6 Kesimpulan
Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga perbankan dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa “maa laa yatimm al – wajib illa bihi fa huwa wajib“, yakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan kegiatan ekonomi) adalah wajib diadakan. Lembaga pembiayaan merupakan salah satu fungsi bank, selain fungsi menghimpun dana dari masyarakat. Fungsi inilah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary function). Hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (1) UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pembiayaan dikucurkan melalui dua jenis bank, yaitu Bank Konvensional maupun Bank Syariah. Di dalam perbankan syariah terdapat banyak produk yang ditawarkan, diantaranya produk kredit pembiayaan yang menggunakan akad murabahah dan lainnya. Maka dari itu pada kesempatan ini kami akan memaparkan secara khusus mengenai produk pembiayaan yang berupa murabahah dan istishna.
PERTANYAAN DISKUSI
Apakah Murabahah dan Ishtisna itu?
Bagaimanakah pengaplikasian Murabahah dan Ishtisna di perbankan syariah?
Mengapa ada kekurangan di dalam Murabahah? Apa solusinya?
REFERENSI Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi‘I Antonio, cetakan kesembilan tahun 2005 M, Gema Insani Press. Himpunan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional MUI. Rahmawaty, Anita, 2007 La-Riba Journal Ekonomi Syari‟ah: Tinjauan Kritis Produk Murabahah dalam Perbankan Syari‟ah di Indonesia. Firmansyah, 2007, Evaluasi penerapan metode penentuan harga jual-beli murabahah. STEI SEBI – Jakarta.
BAB VII IJARAH DAN IJARAH MUNTAHIYYAH BITAMLIK Konsep sewa mulai berkembang dan dijadikan sebagai faktor bisnis diawali ketika masa hayat nabi dan itupun dikembangkan lagi ketika masa khalifah Umar. Konsep sewa dimulai ketika adanya sistem pembagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Umar bin Khatab yaitu melarang pemberian tanah bagi kaum muslimin diwilayah yang ditaklukan, dan sebagai alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah. Bab ini bertujuan untuk lebih mengenal dan menambah wawasan tentang Ijarah dan Ijarah Muntahia BiTTamlik (IMBT) serta aplikasinya pada perbankan syariah maupun pada kehidupan sehari-hari yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat.Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu membedakan jenis pembiayaan Ijarah dan Ijarah Muntahia Bittamlik
7.1. Pendahuluan Seperti transaksi jual beli, ijarah juga memiliki peranan yang penting dalam kehidupan sehari-hari atau yang lebih kita kenal dengan istilah sewa menyewa. Ijarah adalah salah satu bagian system akad yang dijelaskan secara terperinci oleh Islam. Akad ijarah berbeda dengan akad jual beli lainnya dimana ijarah terbatas oleh waktu. Artinya jika masanya telah habis maka barang yang disewakanpun akan berpindah tangan. Berbeda dengan akad jual beli lainnya yang tidak terikat oleh waktu, jika pihak pertama tidak menghendaki barang itu dikeluarkan maka dia akan tetap memiliki barang itu. Transaksi ijarah ini tidak banyak diketahui secara menyeluruh oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, kami mencoba menuangkan semua hal-hal yang berhubungan dengan ijarah berdasarken referensi yang ada yang telah kami temukan.
7.2. Pengertian dan Dasar Hukum
Ijarah menurut Etimologi (bahasa) berarti upah, sewa, jasa, imbalan dan jual beli manfaat.
Ijarah menurut terminology (istilah) adalah akad pengalihan hak penggunaan atas suatu barang (manfaat) untuk jangka waktu tertentu dengan kompensasi pembayaran uang sewa tanpa diikuti oleh perubahan kepemilikan atas barang tertentu.
Menurut istilah beberapa pendapat ulama, di antaranya:
Pendapat Ulama Hanafiah, hanafiah berpendapat bahwa ijarah adalah akad jual beli manfaat barang dengan membayar ongkos sewa. Pendapat Ulama Syafiiyah, berpendapat bahwa ijarah adalah Jual beli manfaat barang tertentu yang sudah jelas manfaatnya, mubah hukum manfaatnya dan bisa digunakan oleh si penyewa dengan ongkos sewa yang telah disepakati. Pendapat Ulama Malikiyah, berpendapat bahwa ijarah adalah memberikan kepemilikan manfaat barang yang mubah dalam kurun waktu tertentu dan ongkos sewaan.
Dari berbagai pendapat ulama itu dapat kita ambil kesimpulan bahwa ijarah adalah jual beli manfaat, maka mayoritas ulama melarang menyewa pepohonan untuk mendapatkan buahnya. Karena buah dari pohon itu termasuk benda bukan manfaat, sedangkan ijarah adalah jual beli manfaat bukan jual beli benda. Dan tidak boleh juga menyewa kambing untk mendapatkan susunya, lemaknya, bulunya, atau anaknya. Karena semua itu adalah materi bukan manfaat.
7.3 Karakteristik Akad Ijarah Ijarah merupakan akad yang objeknya adalah manfaat, bukan benda. Ini untuk membedakannya dengan jual beli dan hibah yang objeknya adalah benda/ barang. Hak memanfaatkan dalam Ijarah harus disertai dengan imbalan, yang dinamakan dengan harga sewa. Hal ini untuk membedakan dengan akad pinjam meminjam, wasiat dan hibah.
7.4 Landasan Hukum Akad Ijarah a. QS Al-Baqarah : 233
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
b. Q.S. Az-Zukhruf: 32
ْ ِشزَُٓ ْىُف ُد َُ ٍْ ُسثِّكَ ََُحْ ٍُُلَ َغ ًَُْبُثَ ٍَُُْٓ ْىُ َي ِؼ ٍ بُٔ َسفَ ْؼَُبُثَغُْد ََس َجب َ َُسحْ ًَخ َ ٌَ ًُْٕ ْطُُْ ْىٌَُ ْم ِغ َ َ ٍََْ ًُان َحٍَب ِحُان ُّذ ٍ ظُٓ ْىُفَْٕ قَُثَؼ ٌَُ ُُْٕسثِّكَ ُ َخٍْشُ ِي ًَّبٌَُجْ ًَؼ ُ نٍَِزَّ ِخ َزُثَ ْؼ َ ُبُٔ َسحْ ًَخ َ ًٌّعُٓ ْىُثَ ْؼعًبُع ُْخ ِش “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (AzZukhruf: 32) b. Hadist riwayat Ibnu Majah Diriwayatkan dari ibn Abbas bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: ―Berbekam kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu. ‖ Rasullullah S.a.w. bersabda: ―Barang siapa yang menyewa orang maka jelaskanlah upahnya‖. c. Ijma‘ ulama Adapun dari ijma‘; maka sesungguhnya para sahabat sudah sepakat bahwa sewa menyewa adalah boleh, karena memang manusia membutuhkanya, sama halnya seperti kebutuhan manusia akan jual beli barang barang. Maka jika jual beli barang dibolehkan maka jual beli manfaat dari barang itu juga dibolehkan. Kesepakatan ini sudah ada sebelum Abubakar al-ashom di lahirkan.
7.5. Rukun dan Syarat Ijarah Menurut Jumhur ulama, Rukun ijarah ada 4, yaitu: 1)
Shigot (ucapan), yang terdiri dari:
a. Ijab (Penawaran yang dinyatakan dari pemilik asset) b. Qabul (penerimaan yang dinyatakan dari penyewa) Syarat-syaratnya : d. Sighat akad ijarah adalah pernyataan niat dari dua pihak yang berkontrak, baik secara verbal ataupun tulisan. Pernyataan tersebut berupa penawaran (Ijab) dari pemilik aset penerimaan (Qabul) yang dinyatakan oleh penyewa. e. Shighot Ijab dan Qabul dilaksanakan diawal kesepakatan atas akad Ijarah.
2) Orang yang berakad, yang terdiri dari: a. Penyewa (Musta‘jir) b. Pemilik barang (Mu‘ajir)
dan
Syarat-syaratnya: Menurut Ulama Syafi‘iyah dan Hambali, dalam akad ijarah kedua orang yang berakad disyaratkan taklif, yakni disyaratkan sudah berakal dan baligh, karena ijarah merupakan transaksi kepemilikan barang menyerupai jual beli. Menurut Ulama Hanafiyah, kedua orang yang berakad tidak disyaratkan baligh, maka seandainya seorang anak kecil yang mumayiz, bila diizinkan, maka berlakulah akad ijarah yang dilakukan dengan anak kecil tadi walaupun pada hakikatnya hak jual beli anak itu masih berada dalam tanggunagn walinya. Menurut Ulama Malikiyah, tamyiz adalah syarat dalam akad ijarah dan jual beli. Sedangkan baligh adalah syarat pemberlakuan akad. Maka anak kecil yang mampu membedakan, kalau mampu membedakan ketika ia menyewa dirinya atau barangnya maka sah akadnya.tapi akadnya masih berada dalam kuasa walinya.
3) Objek Sewa (Manfaat) Syarat-syaratnya : Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad Ijarah. Selain itu, masing-masing pihak harus mempunyai wewenang untuk melakukan kontrak. Ini berasal dari pandangan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki yang mengatakan bahwa kewenangan bertindak adalah syarat bagi kontrak untuk bisa dilaksanakan. Pemilik objek sewa dapat meminta penyewa menyerahkan jaminan atas ijaroh untuk menghindari resiko kerugian. Jumhur Ulama mengatakan bahwa Objek sewa dalam akad Ijarah adalah bukan barang yang disewakan melainkan manfaat dari barang yang disewakan tersebut. Objek Ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung manfaatnya dan tidak rusak(cacat). Bila dalam waktu tertentu manfaat tersebut tidak dapat dipenuhi, misalnya karena kerusakan aset, pemberi sewa harus menyediakan penggantian. Mis: tidak boleh menyewakan mobil yang sudah rusak mesinnya, karena apabila mesin mobil tersebut rusak maka tidak dapat diambil manfaatnya dan tidak bisa digunakan secara langsung atau menyewakan hewan tunggangan yang cacat kakinya atau lumpuh atau dalam kondisi sedang sakit sehingga tidak bisa diambil manfaatnya secara utuh bahkan dapat menyebabkan mudharat/ menyewakan rumah yang atapnya rusak. Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara‘. Mis: tidak boleh menyewa seseorang untuk membunuh orang lain dan tidak boleh menyewakan rumah kepada non muslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka. Hendaklah objek Ijarah itu merupakan manfaat atas sesuatu yang biasa disewakan dan
berlaku luas di masyarakat, seperti: Rumah, Mobil, dan Hewan tunggangan. Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara sempurna dan jelas, sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Manfaat yang menjadi objek Ijarah adalah manfaat terhadap sesuatu yang dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria dan realita serta diperbolehkan berdasarkan ketentuan syara‘ dan mubah hukumnya. Mis: tidak boleh menyewa penari atau penyanyi yang gerakan atau lagunya menyalahi ketentuan hukum Islam yang dilarang. Ukuran jenis objek sewa (Ijarah) harus secara jelas diketahui dan tercantum didalam akad Ijarah. Mis: menyewakan mobil Innova. Pekerjaan yang ditransaksikan tidak boleh bersifat fardhu ain atau kewajiban bagi si tukang sebelum akad. Hendaklah orang yang disewa itu tidak memanfaatkan ilmunya. Harga sewa/ upah (Ujrah) Syarat-syaratnya : d. Harga Sewa (Ujrah) dapat didefinisikan sebagai imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh si penyewa sebagai harta atas manfaat yang dinikmatinya. e. Harga sewa (Ujrah) harus dinyatakan secara jelas dan sesuatu yang bernilai harta serta pembayarannya dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Sesuai dengan Hadits Rasullullah S.a.w:
ِػٍُاثًُعؼٍذُلبلُاراُاعزبجشدُاجٍشاُفبػهًُّاجش Dari Abi Said, Rasulullah berkata: ―Bila kamu menyewa seorang pekerja harus memberi tahu upahnya‖. (Hadist AnNasai, no 3797, kitab Imam dan Nazar). f. Jika manfaat sewa telah dinikmati, sedangkan nilai sewa tidak ditentukan, maka besarnya sewa dari manfaat yang senilai harus dibayarkan. g. Kebanyakan ulama membolehkan membayar ujrah selain dalam bentuk uang, yaitu dalam bentuk manfaat yang serupa dengan objek kontrak. Mis: harga sewa rumah selama sehari sebesar 300 ribu, kemudian si pemilik rumah membutuhkan mobil untuk kebutuhan nikah anaknya selama satu hari dan kebetulan si penyewa rumah memiliki mobil dan dengan kesepakatan harga sewa kedua belah pihak akhirnya harga sewa rumah dibayar dengan harga sewa mobil. h. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan ujrah dapat ditentukan dalam ukuran waktu, tempat, dan jarak. Misalnya, seseorang berkata kepada lainnya: ‖jika anda menjahitkan baju ini untuk saya pada hari ini, upahnya Rp 30.000,00. Sedangkan jika Anda menjahitkannya besok, upahnya Rp 20.000,00‖. Atau jika Anda tinggal dirumah ini sebagai pedagang emas, maka sewanya adalah Rp 2 juta, sedangkan jika Anda sebagai pembuat parfum, sewanya Rp
1juta ‖, dan sebagainya. i. Pembayaran Ujrah di muka dibolehkan dalam syariah. Hal tersebut dapat merupakan pembayaran di muka dari total Ujrah. j. Dalam ujrah semua pembayaran adalah sewa yang dapat dipercepat atau ditunda, baik keseluruhannya atau sebagian (jika ia merupakan bagian dari total Ujrah). Pembayaran itu dapat dilakukan secara angsuran atau ditangguhkan setelah yang bersangkutan mengambil manfaat dari jasa tersebut.
Sedangkan Menurut Ulama Hanafiyah rukun ijarah terdiri dari ijab dan qabul dengan memakai lafaz kontrak, sewa ijarah,isti‘jar dan lafaz yang semakna lainnya. Ada 4 syarat yang disyaratkan dalam ijarah, yaitu: a) Syarat ketika bertransaksi Ada tiga macam syarat yang harus dipenuhi dalam syarat ini yaitu syarat yang berhubungan dengan pelaku transaksi, syarat yang berhubungan dengan transaksi itu sendiri dan syarat yang berhubungan dengan tempat terjadinya akad. Dalam hal ini yang dibahas hanya yang berhubungan dengan pelaku transaksi, disyaratkan pelaku transaksi adalah orang yang berakal. Maka akad yang dilakukan dengan orang gila secara pasti tidak sah. b) Syarat-syarat pemberlakuan ijarah Supaya akad berlaku bagi kedua belah pihak maka ada syarat bagi kedua belah pihak. Disyaratkan kepada yang menyewakan bahwa barang yang disewakan adalah milik seutuhnya dan barang yang ditransaksikan harus ada pada saat akad terjadi. c) Syarat-syarat sahnya ijarah Syarat sahnya ijarah berkaitan erat dengan syarat yang harus ada pada pelaku transaksi, barang, tempat transaksi, ongkos sewa dan keadaan transaksi itu sendiri. d)Syarat-syarat lazimnya ijarah Barang yang disewakan harus bagus dan bersih dari aib yang membuat tidak mungkinnya digunakan dan tidak ada udzur yang melarang pembatalan akad ijarah.
7.6 Sifat dan Hukum Akad Ijarah Sifat Akad Ijarah Jumhur Ulama sepakat bahwa akad Ijarah merupakan akad yang bersifat lazim dan mengikat kedua belah pihak yang melakukannya. Artinya ketika akad terjadi, masing-masing pihak harus
menunaikan kewajiban dan menerima hak masing-masing serta tidak boleh membatalkannya kecuali ada hal-hal yang menurut ketentuan hukum (syara‘) dapat dijadikan alasan pembatalan atau hal-hal yang membatalkan akad-akad lazim seperti ada aib atau hilangnya manfaat dari barang sewaan dan tidak batal akad ijarah dengan matinya salah satu pelaku akad, karena ijarah adalah akad lazim , maka tidak dibatalkan oleh meninggalnya salah satu pelaku akad, seperti jual beli. Juga karena ijarah itu adalah akad terhadap manfaat maka seperti nikah, atau karena ijarah adalah akad dengan pengganti (upah sewa) maka tidak dibatalkan dan hal ini merupakan prinsip dasar akad Ijarah, karena Ijarah merupakan akad tukar menukar antara harta dengan harta yang diambil manfaatnya. Allah S.w.t. berfirman, awfuu bi al‟ uquud (QS. Al-Maidah 1). Sedangkan Menurut Ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim, kecuali bahwa akad itu boleh dibatalkan dengan udzur, seperti dengan dalil ―awfuu bil uqdud‖ sedangkan pembatalan disesuaikan dengan asalnya bukan dengan kegunaan dari akad. Hukum Akad Ijarah Pada pelaksanaannya, Hukum dasar akad ijarah adalah kontrak itu harus bisa dilaksanakan. Bila tak ada keterangan bagaimana pelaksanaan kontrak itu, atau tidak dicantumkan kapan kontrak itu dimulai, maka ijarah akan dimulai pada saat berkontrak dan akan dilaksanakan mulai saat itu dan Para ulama sependapat bahwa pelaksanaan sebuah kontrak ijarah dapat ditunda sampai suatu waktu. Tetapi hal semacam itu dianggap oleh mazhab Hanafi sebagai kontrak yang tidak mengikat dikarenakan menurut mazhab Hanafi, ijarah yang mengikat adalah kontrak yang sudah dilaksanakan Hukum akad Ijarah yang Shahih adalah tetapnya hukum ijarah yang benar adalah menetapnya hukum kepemilikan manfaat bagi si penyewa dan tetapnya kepemilikan dalam upah yang ditentukan bagi yang menyewakan barang. Karena ia adalah akad dengan pengganti dan akad jual beli manfaat. Adapun hukum akad Ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Zufar dan Syafi‘I berkata: wajib dalam ijarah yang rusak untuk membayar uang sewanya seperti dalam jual beli, karena jual beli jika rusak harus membayar harga barang itu semahal apapun.
7.7 Skema Ijarah Supplier (penjual)
Objek sewa (ma‘jur)
Menyewa/membeli (2)
penyerahan barang (4) Akad ijaroh (3)
Pemilik barang (Bank)
Penyewa (Nasabah)
Permohonan pembiayaan Ijarah (1)
Penjelasannya :
Nasabah mengajukan pembiayaan Ijarah ke Bank
Bank syariah membeli/ menyewa barang yang diinginkan oleh nasabah sebagai objek ijarah dari supplier/ penjual/ pemilik.
Setelah dicapai kesepakatan antara nasabah dengan Bank mengenai barang objek Ijarah, tarif Ijarah, periode ijarah dan biaya pemeliharaannya, maka akad pembiayaan ijarah ditandatangani. Nasabah diwajibkan menyerahkan jaminan yang dimiliki.
Bank menyerahkan objek Ijarah kepada nasabah sesuai akad yang disepakati. Setelah periode Ijarah berakhir, nasabah mengembalikan objek Ijarah tersebut kepada Bank. Bila bank membeli objek Ijarah tersebut (Al-Bai‘ wal Ijarah), setelah periode Ijarah
1.
berakhir objek Ijarah tersebut disimpan oleh bank sebagai asset yang dapat disewakan kembali. 2.
Bila bank menyewa objek Ijarah tersebut (Al-Ijarah wal Ijarah atau Ijarah Paralel), setelah periode Ijarah berakhir objek Ijarah tersebut dikembalikan oleh bank kepada supplier/ penjual/ pemilik.
7.8 Macam-macam Ijarah Dilihat dari segi objeknya, Ijarah dibagi menjadi 2 macam, yaitu Ijarah terhadap manfaat dan Ijarah terhadap sewa pekerjaan. 1.
Ijarah terhadap manfaat (yang di akad kan adalah manfaat), terdiri dari:
2. Ijarah manfaat benda/ barang Ijarah manfaat benda/ barang dibagi menjadi 3 macam, diantaranya:
Ijarah benda yang tidak bergerak (Uqar), yaitu mencakup benda-benda yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan menggunakannya, seperti: sewa rumah untuk ditempati atau sewa tanah untuk ditanami.
Ijarah kendaraan (kendaraan tradisional maupun modern) seperti: unta, kuda dan bendabenda yang memiliki fungsi sama seperti mobil, pesawat dll.
Ijarah barang-barang yang bisa dipindah-pindahkan, seperti: baju, perabotan dan tenda.
3. Ijarah manfaat manusia Ijarah yang berupa manfaat manusia merupakan Ijarah yang objeknya adalah pekerjaan atau jasa seseorang, seperti: buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dokter, konsultan dan advokat. Ijarah jenis ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu: 4. Ijarah manfaat manusia yang bersifat khusus (khas), yaitu seseorang yang disewa tenaga
atau keahliannya secara khusus oleh penyewa untuk waktu tertentu dan dia tidak bisa melakukan pekerjaan lain kecuali pekerjaan atau jasa untuk penyewa tersebut, seperti pembantu rumah tangga yang hanya mengerjakan pekerjaan untuk majikannya bukan pada yang lain. 5. Ijarah manfaat manusia yang bersifat umum (musytarik), yaitu pekerjaan atau jasa seseorang yang disewa atau diambil manfaatnya oleh banyak penyewa. Mis: Jasa dokter yang dapat disewa oleh orang banyak dalam waktu tertentu.
1. Ijarah terhadap sewa pekerjaan (yang diakadkan pekerjaan). Hukum Ijarah terhadap sewa pekerjaan, yaitu yang diakadkan terhadap pekerjaan yang diketahui, seperti membangun menjahit, dan memikul ke tempat tertentu, dsb. Yang disewa itu ada dua macam yaitu secara khusus dan secara bersama. Yang disewa secara khusus adalah yang disewa satu dan dikerjakan satu orang dalam waktu tertentu, hukumnya ia tidak boleh menyuruh orang lain mengerjakan kecuali dirinya sendiri. Sedangkan yang disewa bersama adalah yang dikerjakan oleh semua orang seperti memperbaiki baju tukang besi, nyetrika, dll. Hukumnya boleh dikerjakan semua orang dan si penyewa tidak berhak membatasinya dari orang lain.
2. Pemanfaatan dan pemeliharaan asset yang disewa
Pemanfaatan Asset yang disewa Pemanfaatan objek sewa oleh penyewa ditentukan menurut syarat kontrak atau menurut
kebiasaan. Penyewa juga bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan asset yang disewa dan membayar pembayaran sewa (harga sewa).
Pemeliharaan Asset yang disewa Pada prinsipnya kontrak sewa harus menyatakan siapa yang menanggung biaya
pemiliharaan asset objek sewa dengan jelas. Jika biaya pemeliharaan dimasukkan dalam akad, maka si penyewa berhak mendapat uang ganti (reimbursement) atas perbaikan tersebut. Hal tersebut diatas berlaku jika dilakukan dengan persetujuan pemberi sewa. Jika ia mengerjakan pekerjaan itu tanpa izin pemberi sewa, tetapi atas inisiatifnya sendiri, maka pekerjaaan pemeliharaan aset itu dianggap sebuah pemberian darinya dan ia tidak berhak mengklaim untuk penggantian. Pemberian sewa juga harus memelihara asset itu dan melaksanakan perbaikan yang membuatnya layak digunakan. Jika ia menolak karena khawatir biaya perbaikan terlalu tinggi, maka penyewa berhak membatalkan kembali, kecuali kalau ia menyewa dengan syarat harus memperbaiki kerusakan sendiri.
7.9 Tanggung Jawab kerusakan atau kerugian pada objek Ijarah
Apabila seseorang menyewa sesuatu barang/ benda untuk dimanfaatkan maka, Para ulama sepakat bahwa asset yang disewa adalah amanah di tangan penyewa. Namun, jika terjadi kerusakan pada asset yang disewa tersebut, sedangkan kerusakan itu bukan disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian penyewa, maka penyewa tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, kecuali kerusakan tersebut terjadi atas kelengahan dan kecerobohan penyewa didalam menjaganya. Pada dasarnya, Penyewa hanya merupakan pihak yang mendapat izin menikmati manfaat aset tersebut, tidak dapat dianggap sebagai penjamin dari asset yang disewa itu.
Demikian juga yang terjadi pada Ijarah yang berupa pekerjaan atau jasa manusia, khususnya yang bersifat khusus (khas), para Ulama sepakat bahwa apabila objek yang dikerjakannya itu rusak ditangannya, bukan karena kelalaian dan kesengajaan, maka ia tidak boleh dituntut ganti rugi. Mis: sebuah piring terjatuh dari tangan pembantu rumah tangga ketika mencucinya.
Sedangkan ijarah yang
berupa pekerjaan atau jasa manusia yang bersifat umum
(musytarik), maka apabila pekerjaan yang dilakukan menimbulkan kerugian, para ulama sepakat bahwa pekerja tersebut harus bertanggung jawab bila kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian dan kecerobohannya. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat bila kerugian tersebut bukan karena kelalaian dan kecerobohan. Menurut Ulama mazhab Hanafi, Syaf‘I dan hambali, ia tidak harus bertanggung jawab karena akad Ijarah bersifat amanah sedangkan menurut Abu Yusuf dan Syaibani, pekerja tersebut tetap harus bertanggung jawab kecuali kerugian tersebut disebabkan oleh bencana banjir atau kebakaran yang umumnya tidak bisa dikendalikan.
7.10 Berakhirnya Akad Ijarah Adapun hal-hal yang yang bisa menyebabkan batal atau berakhirnya akad Ijarah, yaitu: o Salah satu pihak meninggal dunia. Ini merupakan pendapat ulama mazhab Hanafi. Bagi mazhab ini manfaat yang diperoleh dari Ijarah adalah sesuatu yang terjadi secara bertahap dan ketika meninggalnya salah satu pihak manfaat tersebut tidak ada dan tidak sedang dimilikinya. Maka mustahil untuk bisa diwariskan. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, akad Ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena menurut Jumhur Ulama manfaat itu boleh diwariskan dan Ijarah sifatnya mengikat kedua belah pihak. o Menurut madzhab Hanafi, apabila ada udzur seperti rumah disita, maka akad berakhir. Sedangkan jumhur ulama melihat, bahwa udzur yang membatalkan ijarah itu apabila
obyeknya mengandung cacat/ rusak atau manfaatnya hilang seperti rumah terbakar, bencana alam, atau mobil yang hilang o Tenggang waktu yang disepakati dalam akad Ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya dan apabila yang disewa itu jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya. o Menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad Ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran atau dilanda banjir. Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait hutang yang banyak, maka akad Ijarah menjadi batal. o Berakhir dengan Iqalah yaitu pembatalan akad atas dasar kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini karena Ijarah merupakan akad pertukaran harta dengan harta yang diambil manfaatnya.
7.11 Manfaat dan Resiko yang harus diantisipasi Manfaat dari transaksi Ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok. Adapun resiko yang mungkin terjadi didalam Ijarah, yaitu:
Default, Penyewa atau nasabah sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau tidak mau membayar harga sewa.
Aset rusak, sehingga biaya perawatan bertambah terutama bila disepakati bahwa biaya perawatan ditanggung pemilik barang sewa.
Pemutusan kontrak, Penyewa atau nasabah berhenti ditengah kontrak dan tidak mau membeli barang sewa. Akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.
7.12. Aplikasi dalam Perbankan Bank-bank islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Namun, pada umumnya bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan ijarah muntahia bitTamlik lantaran lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik daripada saat leasing maupun sesudahnya.
7.13. Perbedaan Antara Pihak yang berakad Jika berbeda pendapat antara dua pihak dalam akad ijarah dalam menentukan ukuran pengganti dan ukuran yang diganti. Ijarah sudah sah pada awalnya, perbedaan muncul sebelum
sempurnanya manfaat (ijarah). Maka, masing-masing hendaklah bersumpah satu sama lain, seperti sabda Rasulullah: ―Jika berselisih antara penjual dan pembeli keduanya harus bersumpah dan saling menolak ―.(dikeluarkan oleh ashabussunnah yang empat dan Ahmad dan Syafi‘I dari beberapa jalan dengan beberapa lafadz). Apabila perselisihan terjadi sesudah orang yang menyewa menikmati sebagian manfaat, maka perkataan yang diterima adalah perkataan penyewa terhadap apa yang dilaluinya setelah bersumpah dan keduanya harus saling bersumpah, kemudian penyewaan yang masih tersisa dibatalkan.
7.14. Beberapa Masalah dalam Praktek Ijarah a. Perihal pemanfaatan barang Jika seorang menyewa sebuah rumah tempat tinggal, maka ia berhak memanfaatkan fungsi rumah tersebut sebagai tempat tinggal, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Ia juga berhak mentasharufkan fungsi rumah tersebut sepanjang tidak menyimpang dari fungsinya. Jika seseorang menyewa sebidang tanah, maka dalam akad harus dijelaskan fungsi tanah tersebut apakah untuk pertanian, perkebunan, atau untuk mendirikan bangunan. Pihak penyewa tidak berhak memanfaatkan tanah kecuali untuk fungsi yang telah dinyatakan dalam akad. b. Perihal perbaikan obyek sewa Terkadang sebuah obyek sewaan tidak dilengkapi sarana yang layak untuk menunjang fungsinya. Seperti rumah yang tidak dilengkapi dengan sumur, tidak ada saluran air, atau tidak berjendela, dan lain sebagainya. Semua bentuk perbaikan fisik rumah yang berkenaan dengan fungsi utamanya menjadi kewajiban pemilik rumah. Sekalipun pihak penyewa tidak berhak menuntut perbaikan fasilitas rumah. Sebab pemilik menyewakan rumah dengan segala kekurangan yang ada. Dan kesepakatan tentunya dilakukan setelah mempertimbangkan segala kekurangan yang ada. Kecuali perbaikan fasilitas tersebut dinyatakan dalam akad. Adapun kewajiban pihak penyewa sebatas pada perawatan, seperti menjaga kebersihan dan tidak merusak. Sebab di tangan penyewa barang sewaan sesungguhnya merupakan amanat. c. Kerusakan barang sewaan Akad ijarah dapatlah dikatakan sebagai akad yang menjualbelikan antara manfaat barang dengan sejumlah imbalan sewa (ujrah). Dengan demikian tujuan ijarah dari pihak penyewa adalah pemanfaatan fungsi barang secara optimal. Sedang dari pihak pemilik, ijarah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari ongkos sewa. Apabila obyek sewa rusak sebelum terjadi penyerahan maka akad ijarah batal. Apabila kerusakan tersebut terjadi setelah penyerahan, maka harus dipertimbangkan faktor penyebabnya. Kalau kerusakan tersebut tidak dikarenakan kelalaian pihak penyewa, maka penyewa berhak membatalkan sewa dan menuntut ganti rugi atas tidak terpenuhi hakya intuk memanfaatkan barang
sewaan secara optimal. Sebaliknya jika disebabkan oleh kelalaian penyewa, maka pemilik tidak berhak membatalkan akad, tetapi ia berhak menuntut perbaikan atas kerusakan tersebut.
7.15. Perbedaan antara Ijarah dengan Leasing
1
Ijarah
Leasing
Objek: Manfaat barang dan jasa
Objek: Manfaat barang saja
Method of payment: 2
a. contingent to performance b. Not contigent to performance
3
Method of payment: Not contingent to performance
Transfer of titile:
Transfer of title:
a. Ijarah- no transfer of title
a. Operating lease – no transfer of title
b. IMBT – Promise to sell or hibah at theb. Financial lease – option to buy or not beginning of period
to buy at the end of period
Lease purchase/sewa beli: 4
Bentuk leasing seperti ini haram karena adanya gharar (yakni antara sewa dan
Lease – purchase / sewa beli OK
beli)
Penjelasannya: 1. Objek Bila dilihat dari segi objek yang disewakan, leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja. Jadi yang disewakan dalam leasing terbatas pada manfaat barang saja. Bila kita ingin mendapatkan manfaat tenaga kerja, kita tidak dapat menggunakan leasing. Di lain pihak, objek yang disewakan dalam ijarah bisa berupa barang maupun jasa atau tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa, sedangkan bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja atau jasa disebut upah mengupah. Jadi yang disewakan dalam ijarah adalah manfaat barang maupun manfaat tenaga kerja. Dengan demikian, bila dilihat dari segi objeknya, ijarah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada leasing. 2. Metode Pembayaran Bila dilihat dari segi metode pembayarannya, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran saja, yakni yang bersifat not contingent to performance. Artinya, pembayaran sewa pada leasing tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa. Misalkan Ahmad menyewa mobil X pada Toyota Rent Car untuk 2 hari dengan tarif Rp 1.000.000,-/hari. Dengan mobil tersebut Ahmad berencana untuk pergi ke Bandung. Bila ternyata Ahmad tidak pergi ke Bandung, tetapi hanya ke Bogor,
Ahmad tetap harus membayar sewa mobil tersebut seharga Rp 1.000.000,-/hari. Dengan demikian, penentuan harga sewa pada kasus diatas tergantung pada lamanya waktu sewa, bukan pada apakah mobil tersebut dapat mengantarkan kita ke Bandung atau tidak. Di lain pihak, dari segi metode pembayaran, Ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja ojek yang disewa (contingent to performance) dan Ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa (not contingent to performance). Ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ijarah, gaji dan atau sewa. Sedangkan Ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ju‘alah atau success fee. Contoh ijarah yang not contingent to performance sama dengan contoh Ahmad diatas. Sedangkan contoh Ju‘alah misalkan sebagai berikut: Ahmad ingin pergi ke Bandung bersama keluarganya. Karena tidak ingin mengemudikan mobilnya sendiri, ia menghubungi perusahaan travel, Ahmad mengatakan, ‖Tolong antarkan saya beserta keluarga ke Bandung dengan mobil perusahaan anda. Jika anda bisa mengantarkan kami ke Bandung maka Anda akan dibayar sebesar Rp 500.000,-. Dalam akad Ju‘alah diatas, pembayaran sewa tidak tergantung pada berapa lamanya mobil itu digunakan oleh si penyewa (seperti pada contoh leasing terdahulu). Pembayaran sewa tergantung pada apakah mobil tersebut dapat mengantarkan si penyewa ke Bandung atau tidak (tergantung kinerja). Bila ternyata mobil tersebut hanya mengantarkan sampai di Bogor, Ahmad tidak perlu membayar. Contoh lain misalnya, dalam upah mengupah buruh bangunan, dikenal dengan dua macam sistem yaitu sistem upah harian dan sistem upah borongan. Upah harian ini adalah contoh Ijarah, sedangkan upah borongan adalah contoh Ju‘alah. 3. Perpindahan Kepemilikan Dari aspek perpindahan kepemilikan, dalam leasing dikenal dengan dua jenis, yaitu: Operating lease dan financial lease. Dalam operating lease, tidak terjadi pemindahan kepemilikan asset, baik di awal maupun di akhir periode sewa. Sedangkan dalam financial lease, di akhir periode sewa, si penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak membeli barang yang disewa tersebut. Jadi perpindahan kepemilikan, masih berupa pilihan dan dilakukan di akhir periode. Namun pada praktiknya (khusunya di Indonesia), dalam financial lease sudah tidak ada opsi lagi untuk membeli atau tidak membeli, karena pilihan untuk membeli atau tidak membeli sudah dikunci di awal periode. Di lain pihak, Ijarah sama seperti operating lease, yakni tidak ada perpindahan kepemilikan baik di awal maupun di akhir periode. Namun demikian, pada akhir masa sewa bank dapat saja menjual barang yang disewakannya
kepada nasabah dan hal ini dikenal dengan Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT) yaitu sewa yang dikuti dengan berpindahnya kepemilikan. Harga sewa dan haga jual disepakati pada awal perjanjian. Karena itu didalam IMBT, pihak yang menyewakan berjanji di awal periode kepada pihak penyewa, apakah akan menjual barang tersebut atau menghibahkannya.
4. Lease-Purchase Variasi lainnya dalam leasing adalah lease-purchase (sewa-beli), yakni kontrak sewa sekaligus beli. Dalam kontrak sewa-beli ini, perpindahan kepemilikan terjadi selama periode sewa secara bertahap. Bila kontrak sewa-beli ini dibatalkan, hak milik barang terbagi antara milik penyewa dengan milik yang menyewakan. Dalam syariah, akad lease dan purchase ini diharamkan karena adanya dua akad sekaligus (Shafqatain fi Al-Shafqah) yang menyebabkan gharar dalam akad yakni adanya ketidakjelasan akad, apakah akad yang berlaku itu akad sewa atau akad beli. 5. Sale and Lease Back Sale and Lease Back terjadi apabila A menjual barang X kepada B, tetapi karena A tetap ingin memiliki barang X tersebut, B menyewakan nya kembali kepada A dengan kontrak financial lease, sehingga A mempunyai pilihan untuk memiliki barang X tersebut di akhir periode.
7.16. Ijarah Muntahia BitTamlik(IMBT) Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT) adalah akad sewa-menyewa atas suatu barang tertentu yang diakhiri dengan pengalihan kepemilikannya kepada penyewa. Nama lain dari Ijarah Muntahia BitTamlik adalah Ijarah Wa ‗Iqtina. Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT) disebut juga pemindahan hak milik objek sewa, dan dapat dilakukan dengan cara: a. Hibah di akhir masa sewa Kepemilikan berpindah secara otomatis tanpa perlu masuk kepada sebuah kontrak baru. Juga tanpa pembayaran tambahan dari luar angsuran terakhir dalam masa sewa. Dalam ijarah jenis ini, kata-kata yang dicantumkan dalam kontrak sebagai berikut: ―Jika penyewa telah menyelesaikan pembayaran angsuran terakhir sewa aset tersebut maka pemberi sewa akan menghibahkan aset tersebut kepada penyewa‖. Selanjutnya, pengalihan aset itu tergantung pada syarat-syarat kedua belah pihak dan janji hibah bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. b. Perpindahan kepemilikan (jual-beli) pada akhir masa sewa dengan pembayaran hadiah. Kesepakatan ini meliputi : 1) Suatu kontrak ijarah dilaksanakan dengan nilai dan jangka waktu yang disepakati. Jika masa sewa tersebut berakhir, berakhir pula lah ijarah. 2) Sebuah perjanjian yang menyebut penyewa akan masuk pada kontrak jual-beli pada
akhir masa ijarah. Untuk itu, selain menunaikan kewajibannya membayar sewa hingga angsuran terakhir, penyewa harus membayar hadiah yang disepakati pada pemilik aset semula. 3) Penjualan sebelum akad berakhir sebesar harga yang sama (sebanding) dengan sisa cicilan sewa. Dalam ijarah ini terdapat janji pemberi sewa bahwa aset dapat dipindahkan kepemilikannya kepada penyewa, kapan pun penyewa kehendaki, sebelum masa sewa berakhir. Harga yang harus dibayarnya adalah sama dengan harga sisa cicilan. Status kontrak ini tetap kontrak ijarah sampai kepemilikan aset itu dialihkan kepada penyewa melalui akad jual-beli. 4) Penjualan pada akhir masa sewa dengan pembayaran tertentu yang disepakati pada awal akad. Kesepakatan ini pada dasarnya juga merupakan kontrak jual-beli. Kontrak jual mengandung jumlah yang harus dibayar oleh penyewa (pembeli) untuk aset yang dijual sesudah berakhirnya masa ijarah. Setelah penyewa membayar seluruh kewajibannya, aset yang disewa itu menjadi terjual. Kepemilikan aset tersebut berpindah kepada penyewa (pembeli). 5) Penjualan secara bertahap sebesar harga tertentu yang disepakati dalam akad. Kesepakatan ini merupakan kontrak ijarah disertai janji yang dibuat oleh pemberi sewa bahwa ia akan secara bertahap memindahkan kepemilikan aset yang disewa kepada penyewa sampai penyewa memiliki asset tersebut secara penuh. Untuk itu, harga aset yang disewa harus ditentukan dan dibagi dengan masa kontrak. Jika kontrak ijarah batal karena ada alasan-alasan yang mendasar sebelum perpindahan kepemilikan secara penuh kepada penyewa, aset yang disewa menjadi milik bersama penyewa dan pemberi sewa secara proposional. 7.17 Ada 2 macam Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT), yaitu:
Al-Bai‟ wal Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah akad, yakni akad al-Bai‘ dan akad Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT). Al-Bai‘ merupakan jual beli, sedangkan IMBT merupakan kombinasi antara sewa menyewa (Ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa. Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini: ◦ Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. Pilihan untuk menjual barang di akhir masa sewa biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank.
Karena itu untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu di akhir periode.
Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir masa sewa biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut di akhir periode sewa kepada pihak penyewa.
IMBT Paralel IMBT paralel merupakan kombinasi antara sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa. Untuk kondisi umum, bank dapat melakukan dua struktur akad, yaitu: 1. IMBT paralel dengan janji menjual barang di akhir masa sewa 2. IMBT paralel dengan janji menghibahkan barang tersebut di akhir masa sewa. Baik untuk transaksi Al-Bai‘ Wal Ijarah Muntahia BitTamlik (IMBT) maupun IMBT paralel,
dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini disebabkan karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan untuk memberikan bagi hasil kepada para nasabah yang dilakukan secara bulanan juga. Selain itu, nilai sewa yang berlaku harus berdasarkan harga barang dan besarnya cicilan barang tersebut, sehingga dapat diketahui berapa harga jual di akhir masa menyewakan atau apakah dapat langsung dengan hibah.
1.
Skema IMBT
SKEMA IJARAH MUNTAHIYAH BITTAMLIK
Supplier / Pemasok
Nasabah / Penyewa
Objek Sewa 4. Menyerahkan objek Sewa
2. Membeli Objek Sewa
Bank Syariah
1. Mengajukan Permohonan Sewa Beli 3. Akad Sewa 5. Membayar Sewa
Penjelasannya:
Nasabah mengajukan permohonan penyewaan barang kepada bank dengan janji akan terjadi perpindahan kepemilikan saat jatuh tempo akad sewa.
Bank membeli barang tersebut kepada pihak lain sesuai kebutuhan nasabah.
Bank melakukan akad sewa dengan nasabah dan jaminannya merupakan objek sewa itu sendiri.
Menyerahkan objek sewa ke nasabah dengan cara pembayaran diangsur.
Pada saat masa sewa berakhir, bank dapat menyerahkan objek sewa kepada nasabah melalui hibah atau dijual dengan nilai akhir objek sewa sesuai kesepakatan.
7.17. Perhitungan Pembiayaan Ijarah Bpk. Ahmad akan menyewa ruang perkantoran disebuah gedung selama 1 tahun mulai dari tanggal 1 Mei 2002- 1 Mei 2003. Pemilik gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai dimuka sebesar Rp.240 juta. Dengan pola pembayaran tersebut, kemampuan keuangan Bpk. Ahmad tidak memungkinkan. Bpk. Ahmad hanya dapat membayar sewa secara angsuran perbulan. Untuk memecahkan masalah ini, Bpk. Ahmad mendatangi sebuah bank syariah untuk meminta pembiayaan, dengan memaparkan kondisi kebutuhan dan keuangannya.(required rate of profit bank sebesar 20%). Jawab : Analisa Bank
Harga sewa 1 tahun (tunai dimuka) : Rp.240.000.000,-
Required rate of profit bank (20%)
Harga sewa kepada nasabah
Periode pembiayaan
Besarnya angsuran nasabah per bulan : Rp.24.000.000,-
: Rp. 48.000.000,: Rp.288.000.000,: 12 bulan (=360 hari)
Maka pembiayaan yang diberikan oleh Bank kepada Bpk.Ahmad adalah :
Pembiayaan Ijarah, dengan harga sewa Rp.288.000.000,-
Jangka waktu 12 bulan
Angsuran Rp.24.000.000,-/bulan
7.18. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Ijarah adalah salah satu prinsip syariah yang digunakan untuk memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh bank syariah menurut UU no. 10/1998. Sedangkan Secara fikih ijarah didefinisikan oleh Fatwa DSN MUI sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa / upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Pembiayaan ijarah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Prinsip Syariah itu antara lain pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina, istilah ini dipermakan dengan istilah ijarah mumtahiay bi tamlik). Jadi, perjanjian pembiayaan ijarah dapat diartikan sebagai suatu perjanjian untuk membiayai kegiatan sewa menyewa., bukan kegiatan sewa menyewa itu sendiri.
Pada ijarah, bank hanya wajib menyediakan aset yang disewakan, baik aset itu miliknya atau bukan miliknya dan yang terpenting adalah bank mempunyai hak pemanfaatan atas aset yang kemudian disewakannya. Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai pemilik objek sewa, dan bank dapat pula bertindak sebagai penyewa yang kemudian menyewakan kembali dan objek ijarah itu sendiri adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
Pertanyaan 1. Apakah Ijarah itu? 2. Ada berapakah jenis Ijarah? Sebutkan dan Jelaskan. 3. Dari jenis Ijarah tersebut, manakah yag pengaplikasiannya sering di pakai oleh masyarakat?
DAFTAR PUSTAKA Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. 2006. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Antonio, M.Syafi‘I, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. 1999. Jakarta: Tazkia Institute.
Diktat Fiqh Muamalat. 2005. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah. Ghufron, Sofiniyah, Konsep dan Implementasi Bank Syariah. 2005. Jakarta: Renaisan. Makalah KIEI (Kuliah Informal Ekonomi Islam). 2007. Depok: Universitas Indonesia. www.ekonomisyariah.org.
BAB VIII MUDHARABAH Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) ketika pemilik modal (shahibul maal) bekerja sama dengan pengelola (Mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha.Apabila kegiatan usaha menghasilkan, keuntungan dibagi dua. Dan apabila kegiatan usaha menderita kerugian, kerugian ditanggung bersama. Sistem bagi hasil menjamin adanya keadilan dan tidak ada pihak yang tereksploitasi (terdzalimi). Tujuan mempelajari bab ini adalah Mampu memahami akad, rukun, nisbah keuntungan dan bentuk-bentuk pembiayaan mudharabah 8.1 PENDAHULUAN Islam mensyari‘atkan dan membolehkan untuk memberi keringanan kepada manusia. Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya. Dan terkadang adapula orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan untuk memproduktifkannya. Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan pengalaman Mudharib, sedangkan mudharib dapat memperoleh manfaat harta Shahibul Maal sebagai modal. Dan Allah tidak menetapkan segala bentuk akad, melainkan demi terciptanya kemaslahatan dan terbendungnya kesulitan.
Dalam perekonomian konvensional, sistem riba menyebabkan tersedotnya uang di sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa resiko. Akibatnya, uang atau investasi yang seharusnya tersalur ke sector riil untuk tujuan produktif sebagian besar lari ke sector moneter dan menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sector riil. Penciptaan uang tanpa adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi.Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
8.2 MUDHARABAH
8.2.1 Definisi انمشاضُُْٕدفغُانًبنكُيبالُنهؼبيمُنٍؼًمُفٍُُّٔانشثحُثًٍُٓب
Mudharabah ( qiradh ) adalah penyerahan harta dari shahibul maal ( Pemilik modal ) kepada mudharib ( pengelola dana ) sebagai modal usaha, sedangkan keuntungannya dibagi sesuai dengan nisbah ( perbandingan laba rugi ) yang disepakati. ٍُُألٌُانًبنكُلطغُلطؼخُيٍُيبنُّنٍزجشُفٍٓبُُٔلطؼخُي,ُُٔانمشاضُيشزكُيٍُانمشضُُُْٕٔانمطغ,انمشاضُُٔانًعبسثخُثًؼًُُٔاحذ ّسثح Qiradh dan Mudharabah mempunyai arti yang sama, qiradh yang berasal dari kata AlQardhu yang berarti Al-Qath‘u (potongan), karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Mudharabah berasal dari kata : انعشةُفًُاألسضyaitu bepergian untuk urusan dagang. ُ:ُٔآخشٌٌُٔعشثٌُٕفًُاألسضٌُجزغٌُُٕيٍُفعمَُّللاُ(ُانًضيم20 ) ― Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia Allah ( Q.S. : Al-Muzammil ayat 20 )
8.2.2 Hukum Hukumnya jaiz (boleh) dengan Ijma‘. Rasulullah pernah melakukan mudharabah dengan Khadijah. Dengan modal daripadanya (Khadijah), Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan : Mudharabah telah terjadi pada masa Rasulullah, beliau mengetahui dan menetapkannya. Kalaulah tidak demikian (terlarang) tentu Rasulullah tidak membiarkannya.
8.2.3 Rukun Dan Syarat Mudharabah Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan kabul, sementara jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang yang melakukan akad (aqidaini), modal (ma‘qud alaih), dan ijab qabuk (sighah). Ulama Syafi‘iyah lebih memerinci lagi menjadi lima rukun, yaitu modal, pekerjaan, laba, sighah, dan dua orang yang akad. Pada pembahasan ini, pembagian rukun mudharabah mengikuti jumhur ulama.
8.2.4 Rukun Mudharabah
Pelaku akad, yaitu shahibul mal adalah pihak yang memiliki modal tapi tidak bias berbisnis. Dan mudharib adalah pihak yang pandai berbisnis tapi tidak memiliki modal;
Objek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh);
Shighah ,yaitu ijab dan qabul. ُلبسظزكُأُٔػبيهزكُفًُكزاُػهًُأٌُانشثحُثٍُُب:ُيثبلُانصٍغخ
Contoh Shigat : ―Saya percayakan uang ini kepada anda untuk dikelola, keuntungannya kita bagi berdua.‖
8.2.5 Syarat- Syarat Khusus Yang Harus Dipenuhi Dalam Mudharabah 1. Syarat modal, yaitu ◦ Modal harus berupa uang; ◦ Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya; ◦ Modal harus tunai bukan hutang; dan ◦ Modal harus diserahkan kepada mitra kerja. 2.
Syarat keuntungan,yaitu ◦ Keuntungan harus jelas ukurannya; dan ◦ Keuntungan harus dengan pembgian yang disepakati kedua belah pihak.
8.2.6 Jenis-Jenis Mudharabah ُّأٌٌُذُفغُانًبنكُانًبلُيعبسثخُيٍُغٍشُرؼٍٍٍُانؼًمُُٔانًكبٌُُٔانضيبٌُُٔصفخُانؼًمُُٔيٌٍُؼبيه:ُانًعبسثخُانًطهمخ. Mudharabah muthlaqoh, yaitu bentuk kerja sama antara Shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi dengan spesifikasi jenis usaha,waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh sering kali dicontohkan dengan ungkapan if‟al ma syi‟ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar. ُلبلُسعٕلَُّللاُصهًَُّللاُػهٍُُّٔعهى:ُػٍُصبنحُثٍُصٍٓتُػٍُأثٍُّلبل ثالسُفٍٍُٓانجشكخُانجٍغُإنًُأجمُُٔانًمبسظخُُٔأخالغُانجشُثبنشؼٍشُنهجٍذُالُنهجٍغ ُأٌٌُؼٍٍُانًبنكُشٍئبُيٍُرانك:ُُٔانًعبسثخُانًمٍذح. Mudharabah muqoyyadah, yaitu ketika si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau jenis usaha. Adanya pembatasan ini sering kali mencerminkan kecendrungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha. ُُكبٌُعٍذَبُانؼجبطُثٍُػجذُانًطهتُإراُدفغُانًبلُيعبسثخُاشزشغُػهًُصبحجُّأٌُال:ُسٔيُاثٍُػجبطُسظًَُّللاُػًُٓبُأَُّلبل ٌٍُُّٔغهكُثُّثحشأُُالٌُُضلُثُّٔادٌبُُٔالٌُشزشيُثُّداثخُرادُكجذُسغجخُفإٌُفؼمُرانكُظًٍُفجهغُششغُّسعٕلَُّللاُصهًَُّللاُػه ِعهىُفأجبص
8.2.7 Manfaat Mudharabah
Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan nasabah meningkat.
Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan /hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang kongkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
Prinsip bagi hasil dalam mudharabah berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih si penerima pembiyaan satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihaasilkan nasabah , sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
8.2.8 Risiko Mudharabah Risiko yang terdapat dalam mudharabah , terutama penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi. Diantaranya: 6. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak; 7. Lalai dan kesalahan yang disengaja; 8. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
8.2.9 Fasakhnya Mudharabah Akad mudhorobah akan berakhir atau batal dengan kejadian-kejadian di bawah ini:
Tidak terpenuhi syarat sahnya.
Tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya, atau melakuakan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
Mudhorobah gugur atau batal karena fasakh atau ada larangan untuk mengelola.
Salah satu pihak hilang akal seperti gila. Ini membatalkan mudhorobah karena penyakit gila menghilangkan ―ahliah‖ orang tersebut. Ahliah ialah kemampuan orang untuk dapat dibebani oleh hukum.
Murtadnya si pemilik modal atau terbunuh dalam keadaan murtad. Ini tidak berlaku bagi sang mudhorib. Menurut Imam Abu Hanifah, hal itu membatalkan mudharabah karena dengan murtadnya menghilangkan keahlian dalam kepemilikan harta.
Hancurnya modal di tangan mudhorib sebelum dapat dilaksanakan kontrak mudhorobah ini. Ini membatalkannya karena tidak memungkinkan lagi dilanjutkan implementasi akad mudhorobah karena modalnya tidak ada.
Meninggalnya salah satu dari orang yang melaksanakan akad seperti meninggalnya pemilik
modal atau mudhorib. Mudhorobah berakhir karena akad mudhorobah ini mengandung arti perwakilan dan dalam suatu akad yang menerima perwakilan menjadi gugur atau batal jika yang mewakilan atau yang melaksanakan perwakilan itu meninggal dunia.
1. Tindakan pelaksana setelah matinya Pemilik modal Jika
Pemilik
modal
meninggal
dunia,
maka
mudharabah menjadi fasakh. Dan jika telah fasakh maka bagi pelaksana tidak ada hak untuk menggunakan modal. Dan jika ia bertindak menggunakan modal setelah ia mengetahui bahwa si Pemilik modal telah meninggal dunia dan tanpa izin ahli warisnya, maka perbuatan ini dianggap sebagai ghasab ( merampas ).
8.2.10 Mudharabah Dengan Pihak Ketiga ٌُُإنًُأ-ُأٔالُيزْتُانحُفٍخُالٌُجٕصُنهًعبسةُأٌٌُعبسةُثبنًبلُيغُشخصُآخشُإالُإراُفٕظُّصبحتُانًبل.انًعبسةٌُعبسة ُُ فبنشاجحُػُذُانحُفٍخُأٌُانًعبسةُاألٔلُالٌُعًٍُفًُانًعبسثخُانصحٍحخُثًجشدُدفغُانًبلُإنًُانًعبسةُانثبًَُُٔإًَب-لبل ًُُفٍؼطًُنشةُانًبلُسثحُّػه,ُُٔأيبُانشثحُانُبرجُيٍُانًعبسثخُفٍٕصعُحغتُانششغ.ٌعًٍُإراُػًمُانثبًَُسثحُانًبلُأوُنىٌُشثح ًُحغتُششغُّفًُػمذُانًعبسثخُاألٔنًُُٔيبٌُجمًُيٍُانشثحُثؼذُئزٌُكٌُٕثٍٍُانًعبسةُاألٔلُُٔانثبًَُػهًُحغتُششغًٍٓبُف ًَػمذُانًعبسثخُانثب
Menurut Madzhab Hanafi; Mudharib tidak boleh mengeluarkan dana mudharabah / mengadakan akad mudharabah dengan pihak ketiga, tanpa ada pemasrahan dari shahibul maal (pemilik modal). Menurut pendapat yang unggul dari Madzhab Hanafi, mudharib tidak wajib dhaman (ganti rugi) akibat menyerahkan dana/modal mudharabah pada pihak ketiga (mudharib tsaani). Namun kewajiban dhaman terjadi bila pihak ketiga telah mengelola dana tersebut, baik menghasilkan laba atau tidak. Adapun cara pembagian keuntungan, laba untuk nisbahnya shahibul maal (pemilik modal) diberikan dan sisanya untuk mudharib (pengelola). Selanjutnya mudharib pertama membagi laba bagiannya dengan mudharib kedua sesuai dengan nisbah yang mereka tentukan. ُِثبٍَبُيزْتُغٍشُانحُفٍخُلبلُانًبنكٍخٌُعًٍُانؼبيمُإراُلبسضُفًُيبلُانمشاضُثغٍشُإرٌُسةُانًبلُأيُدفؼُّنؼبيمُغٍش ٌُُٔؼًمُفٍُّنزؼذٌُُّٔانشثحُحٍُئزُنهؼبيمُانثبًَُُٔنشةُانًبلُُٔالُسثحُنؼبيمُاألٔلُألٌُسثحُانمشاضُجؼمُالٌُغزحكُإالُثزًبوُانؼًم انؼبيمُاألٔلُنىٌُؼًمُفالُسثحُنٌُُّٔغشوُانؼبيمُاألٔلُانثبًَُيبُششغُّنُّيٍُصٌبدحُفًُانشثحُانًغزحكُنُّيٍُسةُانًبل
Menurut Madzhab Maliki, mudharib harus dhaman (ganti rugi) bila dia melakukan akad qiradh dengan pihak ketiga tanpa seizin pemilik modal, karena dia dianggap melakukan kelalaian.
Sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi antara pihak ketiga (mudharib tsaani) dengan pemilik modal. Jadi, mudharib pertama tidak mendapatkan keuntungan yang ada, karena dia tidak mengelola modal sama sekali. Bahkan dia bertanggung jawab kepada pihak ketiga atas kekurangankekurangan yang termaktub dalam perjanjian. ُٔلبلُانشبفؼٍخُفًُاألصحُالٌُجٕصُنهؼبيمُأٌٌُمبسضُأخشُنٍشبسكُّفًُانؼًمُٔانشثحُٔنُٕكبٌُرانكُثإرٌُسةُانًبل ٔحٍُئزٌُظمُانمشاضُيغُانؼبيمُاألٔلُصحٍحبٌُٔغزحكُانؼبيمُانثبًَُيٍُاألٔلُأجشحُانًثمُإراُػًم Menurut Madzhab Syafi‘i; mudharib tidak diperbolehkan mengadakan akad mudharabah dengan pihak ketiga, baik mendapat izin dari pemilik modal maupun tidak. Dan bila hal ini terjadi, maka akad mudharabah terus berlangsung secara sah antara mudhari pertama dengan pemilik modal. Sedangkan pihak ketiga (mudharib tsaani) berhak mendapat ujrah al-mitsl (upah) dari mudharib awal atas kerja yang ia lakukan.
8.2.11 Aplikasi Dalam Perbankan Mudharabah yang telah diterapkan sejak masa Rasulullah SAW kini semakin berkembang seiring dengan berkembangnya perekonomian Islam yang ditandai dengan pesatnya kinerja Bank Umum Syariah (BUS). Beraneka produk dan jasa pengelolaan maupun pembiayaan dana yang ditawarkan oleh BUS tidak kalah variatif dan menguntungkan dibandingkan dengan bank-bank konvensional. Apalagi, produk-produk BUS dilengkapi dengan nilai tambah yang tidak mungkin dimiliki produk-produk bank konvensional yaitu nilai akhirat (nilai ibadah) karena muamalah di dalamnya sesuai dengan syara‘. Termasuk di dalam produk BUS adalah mudharabah. Pada dasarnya, mudharabah yang ditawarkan oleh BUS dibagi dalam dua kategori, yaitu: ◦
Produk Bagi Penyimpan Dana (Shahibul Maal) Merupakan pilihan investasi dalam mata uang rupiah maupun USD dengan jangka waktu 1,
3, 6 dan 12 bulan yang ditujukan bagi nasabah yang ingin berinvestasi secara halal, murni sesuai syariah. Dana nasabah akan diinvestasikan secara optimal untuk membiayai berbagai macam usaha produktif yang berguna bagi kepentingan Ummat. Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana , mudharabah diterapkan pada: Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, kurban, dan sebagainya; Deposito
special,
dimana
dana
yang
dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah atau ijarah saja.
◦
Produk Bagi pengelola Dana (Mudharib)
Merupakan pembiayaan dalam bentuk modal/dana yang diberikan oleh Bank untuk dikelola dalam usaha yang telah disepakati bersama. Selanjutnya dalam pembiayaan ini pengelola/ pengusaha dan Bank sepakat untuk berbagi hasil atas pendapatan usaha tersebut. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian
dan
penyimpangan
pihak
nasabah
seperti
penyelewengan,
kecurangan
dan
penyalahgunaan. Pembiayaan yang dapat dibiayai antara lain perdagangan, industri, usaha atas dasar kontrak, dan lain-lain berupa modal kerja dan investasi.
pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqoyyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal.
Berikut ini terlampir fasilitas, keuntungan, dan persyaratan pembiayaan mudharabah pada Bank Muamalat Indonesia (BMI):
Produk Penyimpanan Bagi Penyimpanan Dana Keuntungan : Memperoleh bagi hasil yang sangat menarik setiap bulan. Investasi disalurkan untuk pembiayaan usaha produktifyang halal.
Fasilitas : Jangka waktu 1,3,6, dan 12 bulan. Dapat diperpanjang secara otomatis (Automatic Roll Over) pada saat jatuh tempo. Dapat digunakan sebagai jaminan pembiayaan atau untuk referensi Bank Muamalat.
Persyaratan : Nasabah Perorangan : Jumlah deposito minimal Rp. 1.000.000,- atau USD 500, mengisi formulir pembukaan deposito, melampirkan copy identitas diri dan NPWP. Nasabah Perusahaan : Jumlah deposito minimal Rp. 1.000.000,- atau USD 500,
mengisi formulir pembukaan deposito dan melampirkan copy NPWP dan TDP dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP).
Produk bagi Pengelola Dana (Mudharib)
Persyaratan Umum (Pembiayaan Rupiah dan US Dollar) Usia 21-54 tahun (tidak melebihi usia pensiun) Masa kerja minimal dua tahun Foto kopi KTP suami istri sebanyak dua buah Pembiayaan Konsumtif dengan pengajuan minimal Rp, 50 juta (plafond)
Foto kopi Kartu Keluarga Foto kopi Surat Nikah Surat persetujuan suami/istri Slip gaji asli selama 3 bulan terakhir Surat keterangan/rekomendasi dari perusahaan Foto kopi NPWP (bagi pengajuan diatas Rp. 100 juta) Rekening bank selama 3 bulan terakhir Surat Permohonan Foto kopi NPWP Foto kopi SIUP Foto kopi TDP AD/ART Koperasi dan perubahannya
Pembiayaan Koperasi
Surat pengesahan dari Departemen Koperasi Susunan pengurus koperasi yang disahkan oleh Departemen Koperasi Laporan Keuangan 2 tahun terakhir Laporan Rapat Anggaran Tahunan (RAT) selama 2 tahun terakhir Cash flow projection selama masa pembiayaan Data jaminan
Surat Permohonan Foto kopi NPWP Foto kopi SIUP Foto kopi TDP dan kelengkapan izin usaha lainnya Foto kopi KTP Direksi Pembiayaan (PT/CV)
Korporasi Company Profile Akta pendirian dan perubahannya Surat pengesahan dari Departemen Kehakiman Foto kopi rekening koran 3 bulan terakhir Laporan Keuangan 2 tahun terakhir Cash flow projection selama masa pembiayaan
8.2.12 Profit and loss Sharing, Revenue Sharing dan Profit Sharing
Konsep bagi hasil dan bagi rugi yang ditawarkan Islam adalah sistem mudaharabah atau disebut dengan konsep profit and loss sharing. dimana untung dan rugi dari sebuah kerjasama ditanggung oleh semua pihak yang bekerja sama. Ketentuan diatas merupakan konsekwensi logis dari karakteristik akad mudharabah yang tergolong dalam kontrak investasi dalam dunia modern. Dalam kontrak ini, return akan tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Jika laba bisnis yang diusahakan besar, maka kedua belah pihak akan mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, maka mereka mendapat bagian yang kecil pula. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah keuntungan ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal uang tertentu. Namun demikian, jika usaha itu mengalami kebangkrutan maka pembagian kerugian bukan didasarkan atas nisbah, tetap berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Maka dari itu kontrak ini menggunakan istilah nisbah keuntungan atau laba, bukan nisbah saja, yaitu prosentase hanya digunakan ketika bisnis mendapat laba. Apabila bisnis itu rugi, maka kerugiannya dibagi berdasarkan porsi modal masing-masing. Hal itu dilakukan karena adanya perbedaan kemampuan untuk menanggung kerugian diantara kedua belah pihak. Kemampuan shahibul maal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudharib. Dengan demikian karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal dan karena proporsi modal shahibul maal dalam hal ini adalah 100%, maka kerugian finansial ditanggung 100% oleh shahibul maal. Di sisi lain, karena proporsi modal mudharib dalam kontrak ini adalah 0% maka apabila terjadi kerugian, maka mudharib akan menanggung kerugian finansial 0% pula.
Pada dasarnya kedua pihak sama-sama menanggung kerugian, namun bentuk kerugian yang ditanggung oleh keduanya berbeda, sesuai dengan obyek mudharabah yang dikontribusikannya. Bila yang dikontribusikannya adalah uang, maka resikonya adalah hilangnya uang tersebut. Sedangkan bila yang dikontribusikannya adalah kerja, maka resikonya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktu dengan tidak mendapat hasil apapun atas jerih payahnya selama berusaha. Inilah yang dikenal dengan dua jenis kerugian dalam mudharabah. Sehingga jika mudharib diharuskan juga memikul kerugian finansial maka artinya ia memikul dua jenis kerugian oleh satu pihak yaitu mudharib saja dan ini tidak adil dan dilarang dalam Islam.
Namun perlu diingat bahwa jika kebangkrutan usaha itu atas kesalahan mudharib maka dia yang menanggung semua kerugian usaha yang terjadi. Jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam mengolah dana yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan dalam prilakunya yang tidak termasuk dalam mudharabah yang disepakati atau keluar dari ketentuan kerjasama, maka mudharib harus menanggung kerugian bisnis sesuai dengan kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggungjawabnya. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang berbunyi:
"فما زوي اته عثاض زضي هللا عىهما اوً قال كان سيدوا انعثاض ته عثد انمطهة اذادفع انمال مضازتً اشتسط عهً صا حثً ان ًال يسهك تً تحسا واليىصل تً واديا وال يشتسي تً داتة ذات كثد زطثة فان فعم ذنك ضمه فثهغ شسطً زسىل هللا صم هللا عهي "وسهم فاجاشي
“Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia mengatakan, adalah Abbas ibnu Abdul Mutholib jika menyerahkan hartanya untuk mudharabah menetapkan syarat terhadap orang yang diberi modal untuk tidak menggunakan jalan laut dan tidak bermalam di lembah serta tidak membeli hewan yang jika dibeli maka ia menanggung kerugiannya. Maka telah sampai kepada Rasulullah syaratsyarat yang telah ditetapkan oleh Abbas dan Rasulullah membolehkannya.”(HR. Tabrani dari ibnu Abbas)
Selanjutnya, untuk menyelesaikan kerugian yang terjadi maka cara yang bisa ditempuh adalah diambil dari pokok modal usahanya, bukan dibebankan kepada mudharib. Dari ketentuanketentuan diatas nampak bahwa kedua pihak yang bekerja sama tidak akan merasa dirugikan dengan pihak yang lain, baik ketika usaha itu laba maupun rugi.
Konsep profit and loss sharing ini jauh lebih kemanusiaan dibanding dengan konsep bagi
hasil yang lain, seperti revenue sharing yang diterapkan oleh dunia konvensional. Konsep revenue sharing adalah besaran yang diacu jasa dari suatu produksi. Hal itu berarti bahwa pembagian hasil usaha itu dilakukan ketika pada perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari kegiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau mendapat laba kotor dari usaha. Jadi biaya operasonal usaha seperti zakat, pajak, cicilan hutang serta service charge dibebankan kepada mudharib atau pekerja. Hal itu tentunya sangat merugikan bagi mudharib, karena dia harus menanggung biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh shahibul maal. Jika kejadiaanya demikian maka hal itu mendhalimi pihak lain. Hal itulah yang ingin dihapuskan oleh Islam. Bentuk pembagian hasil usaha yang lain adalah profit sharing, yaitu selisih antara revenue dan biaya operasional untuk suatu produksi. Baik konsep revenue sharing maupun profit sharing, semua kerugian yang terjadi pada bisnis yang disepakati ditanggungkan kepada mudharib. Hal itu tentu tidak ada keadilan sama sekali.
Disinilah Islam menawarkan alternatif yang sangat adil demi kemaslahatan bersama, bukan untuk keuntungan satu pihak saja. Prinsip syariah yang berdasarkan bagi-hasil adalah mudharabah, yaitu suatu perjanjian atau akad kerjasama usaha/bisnis antara pemilik modal atau yang disebut sebagai Rabb al-Mal dengan pengelolanya yaitu yang disebut sebagai mudharib. Pada perjanjian Mudharabah ini, rabb al- mal menyetorkan modal usaha yang akan di kelola oleh mudharib dan hasil keuntungan nya di bagi sesuai dengan kesepakan bersama kedua belah pihak dalam persentase: 50%:50%, 60%:40%, 70%:30%, 80%:20%, dari laba yang akan di peroleh.
Pada prinsip bagi-hasil ini, 100% modal berasal dari rabb al_ mal dan 100% pengelolaan bisnis nya di lakukan oleh mudharib. Kalau nantinya dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan, maka untung nya di bagi antara rabb al- mal dengan mudharib, kalau hasil usaha nya merugi, maka kerugian sepenuh nya di tanggung oleh rabb al- mal, sementara mudharib akan mengalami rugi waktu dan tenaga, tetapi apabila kerugian tersebut di sebabkan oleh kelalaian dari mudharib maka sudah sepatut nya mudharib bertanggung jawab juga atas terjadi nya kerugian pada usaha tersebut.
8.2.13 Aplikasi Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,di mana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat
kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Pola transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada: tabungan dan deposito. Sedangkan pada sisi pembiayaan, al-mudharabah, diterapkan untuk: pembiayaan modal kerja. Dengan menempatkan dana dalam prinsip al-mudharabah, pemilik dana tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah bagian keuntungan. Dalam praktiknya, nisbah untuk tabungan berkisar 55 atau 56 persen dari hasil investasi yang dilakukan oleh bank. Dalam hal bank konvensional, angka tersebut kira-kira setara dengan 11-12 persen. Sedangkan dalam sisi pembiayaan, bila seorang pedagang membutuhkan modal untuk berdagang maka dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti almudharabah. Caranya dengan menghitung terlebih dahulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh oleh nasabah dari proyek tersebut. Misalkan, dari modal Rp.30 juta diperoleh pendapatan Rp.5 juta/bulan. Dari pendapatan tersebut harus disisihkan terlebih dahulu untuk tabungan pengembalian modal, sebut saja Rp.2 juta. selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40 persen untuk bank. Secara umum akad mudharabah juga dapat dipraktekkan sebagai berikut:
◦ Rekanan atau simple partnership, dimana pihak pertama memberikan modalnya sebagai rabb al-mal dan pihak kedua menjadi mudharib atau managernya dan laba dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama pada saat akad di lakukan. ◦ Dana investasi mudharabah, seperti deposito mudharabah, di mana nasabah sebagai rabb al-mal datang ke bank dan menyetorkan sejumlah uang nya untuk di kelola oleh pihak bank yang bertindak sebagai mudharib, nisbah atau bagi-hasil dapat di negosiasikan antara pihak nasabah dan pihak bank syariah. ◦ Project financing, Bank syariah yang bertindak sebagai rabb al-mal memberikan pembiayaan kepada nasabah yang bertindak sebagai mudharib atau project manager nya. ◦ Letter of credit atau L/C, Nasabah sebagai rabb al-mal menyetorkan dana nya pada rekening dengan menggunakan akad wadiah di Bank syariah, dan sebagai mudharib bank akan menerbitkan LC dan melakukan pembayaran pada pihak lain dengan menggunakan dana nasabah yang ada di bank, bagi hasil keuntungan dari usaha nasabah
akan di berikan kepada bank sesuai dengan perjanjian di muka. ◦
Takaful, dimana pada rekening investasi, nasabah sebagai rabb al-mal menyetorkan dana investasi nya kepada pihak takaful sebagai mudharib yang akan mengelola dana tersebut dengan konsep bagi hasil.
8.2.14 Format Pembagian Keuntungan yang Berlaku Umum. Bagaimanakah tatacara atau prosedur perhitungan simpanan (giro, deposito dan tabungan) pada perbankan syari‘ah ? Drs.H.Karnaen Perwataatmadja, MPA dan H. Muhammad Syafi‘I Antonio, M.Ec dalam buku tentang Apa dan Bagaimana Bank Islam (1993) mengetengahkan secara lengkap tatacara perhitungan dan pemberian imbalan kepada pemegang rekening giro wadi‘ah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah, sebagai berikut:
Mula-mula bank menetapkan dalam bobot tertentu berapa persen dana-dana yang disimpan itu mengendap dalam satu tahun sehingga bisa digunakan dalam pembiayaan bank. Menurut statistik, dana dari simpanan giro wadi‘ah hanya mengendap kurang lebih 70%, tabungan mudharabah 100%, sedangkan deposito mudharabah tergantung dari jangka waktunya masing-masing.
Apabila jangka waktunya 1 tahun, daya endapnya mencapai 100%, apabila kurang dari 1 tahun berarti lebih kecil 100% dan sebaliknya apabila lebih dari 1 tahun berarti lebih besar dari 100%. Prosentase yang mengendap itu menunjukkan prosentase dari dana tersebut yang berhak atas bagi hasil bank.
Tahap kedua, bank menetapkan jumlah masing-masing dana simpanan yang berhak atas bagi hasil usaha bank menurut jenis simpanan yaitu giro wadi‘ah, tabungan mudharabah, dan deposito
mudharabah
menurut
jangka
waktunya
sendiri-sendiri.
Adapun
cara
perhitungannya yaitu prosentase simpanan yang mengendap pada butir a dikalikan dengan total simpanansesuai dengan jenisnya masing-masing.
Tahap ketiga, bank menetapkan jumlah ―pendapatan bagi hasil untuk masing-masing jenis simpanan‖. Perhitungannya dilakukan dengan cara mengalikan total pendapatan bank yang akan dibagihasilkan dengan hasil pembagian antara jumlah ―simpanan per jenisnya‖ pada butir b dengan jumlah ―simpanan secara keseluruhan‖.
Tahap keempat, bank menetapkan porsi bagei hasil antara bank dengan nasabah per jenis
simpanan sesuai dengan situasi dan kondisi pasar yang berlaku. Sebagai contoh, bonus bagi hasil antara bank dengan pemegang rekening giro wadi‘ah adalah 75% : 25% bagi hasil antara bank dengan pemegang rekening tabungan mudharabah 50% : 50%. Bagi hasil antara bank dengan pemegang rekening deposito mudharabah 30% : 70%.
Tahap kelima, bank menghitung dan menetapkan besarnya bagi hasil per jenis simpanan sesuai porsinya masing-masing pada butir d.
Dan sebagai perhitungan akhir, bank menetapkan besarnya bagi hasil untuk ―setiap pemegang rekening‖ melalui perbandingan antara jumlah simpanan yang bersangkutan dengan total simpanan per jenisnya, lalu dikalikan dengan total pendapatan pad butir e.
Prof. Dr. Sutan Remy S Jahdeini SH, dalam perbankan Islam (2005) mengemukakan beberapa contoh perhitungan mudharabah baik dalam tabungan maupun deposito berjangka yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia (BMI) sejak tahun 1992. PERTAMA : Contoh perhitungan ―tabungan" mudharabah. Yang dimaksud dengan tabungan mudharabah adalah simpanan pihak ketiga di BMI yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian. Dalam hal ini, BMI bertindak sebagai mudharib, sedangkan penabung bertindak sebagai shahibul maal. BMI sebagai mudharib akan membagi keuntungan kepada shahibul maal sesuai dengan nisbah yang telah disetujui bersama. Pembagian keuntungan dapat dilakukan setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang mengendap selama periode tersebut. Misalnya seorang penabung memiliki tabungan mudharabah sebesar Rp. 5000.000, 00 nisbah bagi hasilnya 50% : 50%. Diasumsikan total saldo rata-rata tabungan mudharabah yang ada di BMI Rp. 100.000.000, 00 dan keuntungan yang diperoleh untuk dana tabungan sebesar Rp.3.000.000, 00. Maka pada akhir bulan penabung tersebut akan memperoleh dana bagi hasil dari bank sebagai berikut : Rp. 5.000.000
x
Rp. 3.000.000
X 50% = Rp. 75.000
Rp. 100.000.000
Dari perhitungan di atas, nasabah memperoleh dana bagi hasil Rp. 75.000,- sebelum diperhitungkan atau dikurangi dengan pajak. KEDUA : Contoh perhitungan ―deposito‖ mudharabah. Deposito mudharabah yang disebut juga sebagai deposito investasi mudharabah, adalah sejenis investasi melalui pihak ketiga (perseroan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat
dilakukan dalam jangka waktu tertentu (tanggal jatuh tempo), dengan mendapatkan imbalan bagi hasil. Imbalan ini dilakukan dalam bentuk pembagian pendapatan (revenue sharing) atas penggunaan dana tersebut secara syari‘ah dengan pembagian (nisbah atau proporsi) tertentu, misalnya 70 : 30. Artinya, untuk deposan sebesar 70% dan untuk bank 30%. Jangka waktu Deposito Mudharabah ini berkisar antara 1 tahun, 6 bulan, 3 bulan dan 1 bulan. Sebagai contoh, seorang nasabah menempatkan dana Deposito Investasi Mudharabah sebesar Rp. 10 juta untuk jangka waktu 1 bulan. Diasumsikan total dana investasi mudharabah sebesar Rp. 250 juta, sedangkan keuntungan yang diperoleh untuk dana deposito (profit sharing) sebesar Rp. 6 juta. Pada saat jatuh tempo, nasabah akan memperoleh dana bagi hasil sebagai berikut : Rp. 1.000.000
x Rp. 6.000.000
X 70% = Rp. 168.000
Rp.250.000.000
Jadi atas investasi ini nasabah mendapatkan dana bagi hasil sebesar Rp. 168.000,- (belum diperhitungkan atau dikurangi dengan pajak). D. CONTOH KASUS
Perbandingan Antara Bank Syari‘ah dan Bank Konvensional
BANK SYARI‘AH
BANK KONVENSIONAL
Bapak A memiliki Deposito Nominal
Bapak B memiliki Deposito Nominal
= Rp. 10.000.000, 00
= Rp. 10.000.000, 00
Jangka Waktu = 1 (satu) bulan
Jangka Waktu = 1 (satu) bulan
(1 Jan 2000 – 1 Feb 2000)
(1 jan 2000 – 1 Feb 2000)
Nisbah = Deposan 57% : Bank 43%
Bunga = 20%
Jika keuntungan yang diperoleh untuk deposito dalam 1 (satu) bulan sebesar Rp. 30.000.000, 00 dan rata-rata saldo deposito jangka waktu satu bulan adalah Rp. 950.000.000, 00 Pertanyaan : Berapa keuntungan yang Pertanyaan : Berapa bunga yang diperoleh diperoleh Bapak A ?
Bapak B ?
Jawab :
Jawab :
Rp. (10.000.000 : 950.000.000)
Rp. 10.000.000, 00 x (31 : 365 hari)
x Rp. 30.000.000, 00 x 57%
x 20%
= Rp. 180.000, 00
= Rp. 169.863, 00
V.KESIMPULAN 2. Kesimpulan I BANK SYARI‘AH
BANK KONVENSIONAL
Besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh Besar kecilnya bunga yang diperoleh deposan bergantung pada :
deposan bergantung pada :
Pendapatan bank
o Tingkat bunga yang berlaku
Nisbah bagi hasil antara nasabah
o Nominal deposito o Jangka waktu deposito
dan bank Nominal deposito nasabah Rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu yang ada pada bank Jangka waktu deposito karena berpengaruh
pada
lamanya
investasi
Kesimpulan II BANK SYARI‘AH 13. Bank
BANK KONVENSIONAL
Syari‘ah
keuntungan
memberi
kepada
deposan
dengan pendekatan LDR (Loan to Deposit Ratio), yaitu
mempertimbangkan
rasio
pembiayaan yang diberikan 14. Dalam perbankan syari‘ah, LDR saja
mencerminkan
bunga
yang
diberikan
kepada deposan menjadi beban biaya langsung 16. Tanpa
antara dana pihak ketiga dan
bukan
15. Semua
memperhitungkan
berapa
pendapatan yang dapat dihasilkan dari dana yang dihimpun 17. Konsekuensinya, menambahi peminjam
bank
harus
bila
bunga
dari
ternyata
lebih
kecil
keseimbangan, tetapi juga keadilan
dibandingkan dengan kewajiban
karena
benar-benar
bunga ke deposan. Hal ini terkenal
membagikan hasil riil dari dunia
dengan istilah negative spread atau
bank
usaha (loan) kepada penabung
keuntungan negatif alias rugi
(deposit)
3. PENUTUP a. Prinsip bagi hasil merupakan alternatif operasional yang dapat diterapkan dalam kegiatan perbankan untuk menghindari riba dengan berbagi dalam untung dan rugi yang berdasarkan syariah Islam. Dalam prinsip bagi hasil didasari prinsip At Ta awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan dan prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur yang tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Prinsip bagi hasil (Syirkah) salah satunya diaplikasikan dalam akad mudharabah. Mudharabah terdiri dari mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah.
b. Pembagian keuntungan dalam pembiayaan mudharabah sesuai nisbah yang telah disepakati dan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (revenue sharing) dari hasil usaha mudharib. Karena dana yang digunakan dalam pembiayaan mudharabah sebagian besar berasal dari dana masyarakat (dana pihak ke tiga). Sehingga bank syariah harus melakukan cara-cara agar dana dari nasabah penyimpan dana yang digunakan dalam pembiayaan tidak dirugikan karena resiko dalam pembiayaan bagi hasil relatif tinggi. Bank syariah dalam menangani pembiayaan bermasalah melakukan upaya penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan bermasalah. Upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah dilakukan dengan restrukturisasi pembiayaan melalui penjadwalan kembali pembiayaan (reschedulling), menambah fasilitas pembiayaan dan penyertaan modal sementara. Sedangkan upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah dilakukan penyelesaian melalui jaminan, hapus buku pembiayaan (write off) dan penyelesaian sengketa baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi (arbitrase).
Saran a. Dalam kerangka berpikir dengan niat amar ma ruf nahi munkar, diperlukan komitmen penuh bagi pihak-pihak terkait dengan perbankan syariah dalam meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai keberadaan prinsip-prinsip syariah dalam dunia perbankan. Hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama muslim serta tidak adanya larangan bermuamalah dengan orang selain muslim.
b. Dengan tingginya resiko dalam pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (Profit and Loss Sharing Principle), maka diperlukan upaya secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas SDM pengelola dan pengambil kebijakan perbankan syariah agar bisa menerapkan ketentuan perbankan dan menjaga prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan perbankan syariah di Indonesia. Dan, keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur konsep dan operasional perbankan syariah sangat diperlukan sebagai pembeda yang jelas antara prinsip-prinsip operasional bank syariah dengan bank konvensional.
Pertanyaan - Pertanyaan
1. Apakah Aqad Mudharabah ini merupakan murni ajaran syariat islam ? atau hanyalah adopsian dari kebiasaan kabilah arab zaman dahulu ! 2. Apakah akad mudharabah dalam pembiayaan perbankan syariah scara aplikasi sudah diterapkan ? 3. Menurut Anda, sudah tepatkan porsi penggunaan akad mudharabah untuk kemajuan sektor usaha di Indonesia? 4. Adakah kendala-kendala dalam mengaplikasikan akad Mudharabah di perbankan syariah?
DAFTAR PUSTAKA Antonio, Muhammad Syafi‘I,2001, Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press Mansur, Husaini dkk, 2007, Dimensi Perbankan Dalam Al-qur‘an, Jakarta:Vmax Noor, Dumairi dkk, 2007, Ekonomi Syariah Versi Salaf, Pasuruan: Pustaka Sidogiri Kitab Kifayatul Akhyar Jilid 1 http://www.google.co.id/ekonomisyariah/mudhrobah/20%/bank
h ttp://www.bankmandiri.co.id
BAB IX PROFIT AND LOSS SHARING Implementasi system ekonomi Islam diwujudkan –salah satunya- dalam system perbankan Islam. Akad yang paling menjadi popular dari perbankan Islam, dan menjadi suatu ciri khusus berlandaskan yakni Profit And Loss Sharing. Berbeda dengan system perbankan konvensional yang sangat tergantung dengan besaran bunga, landasan ini mengandung dimensi yang cukup luas sehingga bila dapat dilaksanakan secara optima akan menciptakan keadilan bagi kedua belah pihak.Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu mengerti dan mempraktikan perhitungan bagi hasil.
9.1 PENDAHULUAN Seiring dengan semakin runtuhnya perkembangan ekonomi capital yang ditunjukkan melalui kegagala system tersebut dalam mencari solusi permasalahan-permasalahan ekonomi yang dialami oleh masyarakat dunia. Kegagalan ini dapat kita lihat dari krisis ekonomi yang melanda dunia akibat dari system ekonomi yang mengandalkan bunga dengan tingkat sekulasi yang cukup tinggi. Bubble economy telah berhasil merusak system ekonomi dunia, bahkan negara sekaliber amerika pun turut ambruk akibat dari perilaku ini. Semakin besar dan banyaknya permasalahan ekonomi yang timbul –yang tidak bisa dipecahkan oleh system ekonomi liberal- secara alamiah akan menuntut manusia untuk mencaricari system ekonomi seperti apakah yang cocok dan mampu mengeluarkan mereka dari permasalahan ekonominya. Salah satu system ekonomi yang tengah berkembang saat ini adalah system ekonomi Islam. Sistem ini menawarkan sebuah perekonomian yang bebas dari bunga. Karena bunga merupakan salah satu pangkal tolak dari keburukan system capital. Dimensi social yang rapuh dalam system capital, di coba untuk disatukan dalam system ekonomi Islam. Karena salah satu prinsip utama dari system ekkonomi Islam adalah keadilan bagi semua umat dunia dengan mengedepankan
mashlahah.
Dengan perkembangan perbankan Islam di Indonesia saat ini yang semakin pesat diharapkan komposisi akad mudharabah ini akan semakin luas atau banyak, sehingga mashlahah yang diciptakan pun akan semakin luas menjangkau masyarakat, khususnya masyarakat miskin di Indonesia. Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin. Fungsi-fungsi bank telah dikenal sejak jaman Rasulullah SAW, fungsi-fungsi tersebut adalah menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang. Bank Syari‘ah adalah lembaga keuangan yang memakai syariat-syariat Islam yang mana hubungan nasabah-nasabah dengan Bank sangat erat akan tetapi melalui akad-akad Syari‘ah yang diterapkan oleh agama Islam. 9.1.1 Seputar Bank Syariah
Bank syaria‘h mulai digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, di awali dengan pengujian pada skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman, Bandung. Dan di Jakarta didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.Berangkat dari sini, Majlis Ulama‘ Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank syari‘ah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan di bahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.
Keberadaan bank syariah diakui secara tegas sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian keberadaan bank syariah dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia, dan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang bank syariah, yang sekaligus menjadi prinsip operasional bank syariah. Selain itu bank syariah juga mendasarkan prinsip operasionalnya pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 danUndang-undang Nomor 23 Tahun 1999 menjadi dasar hukum bagi keberadaan dual banking system di Indonesia, yaitu adanya dua sistem (konvensional dan syariah) yang beroperasi dalam sebuah bank.
Prinsip operasional bank syariah adalah prinsip bagi hasil (profit and loss sharing).
9.1.2 Pengertian Bagi Hasil
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari‘ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari‘ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masingmasing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Selain itu bagi hasil juga diartikan sebagai laba (profit) dan bagi rugi (loss) dari suatu hasil (revenue) dari usaha perhitungan-perhitungan yang disebut mudharabah.
Dalam dunia perbankan bagi hasil adalah keuntungan atau hasil dengan diperoleh dari pengelolaan dana baik investasi maupun transaksi jual beli yang diberikan kepada nasabah dengan persyaratan, yaitu:
o Perhitungan bagi hasil disepekati menggunakan pendekatan atau pla revenue sharing dan profit loss sharing. o Waktu dibagikannya bagi hasil harus disepakati diawal akad dan tercantum dalam akad. o Nasabah akan menanggung konsekwensinya yang berakibat pada tidak memperoleh atau menerima bagi hasil apabila bank rugi dan menanggung kerugian yang berdampak berkurangnya nilai uang yang diinvestasikan atau mungkin tidak kembalinya uang yang diinvestasikan apabila system yang digunakan adalah profit loss sharing.
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari‘ah terdiri dari dua sistem, yaitu:
a. Profit Sharing
b. Revenue Sharing
9.2 PENGERTIAN PROFIT SHARING
Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost).
Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari totalpendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.
9.3 PENGERTIAN REVENUE SHARING
Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).
Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut.
Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan.
Berdasarkan devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).
Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.
Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.
Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa
dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.
Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
9.4 JENIS SISTEM BAGI HASIL Musyarakah
Secara bahasa syirkah atau musyarakah berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal lain sehingga tidak apat dipisahkan satu sama lain. Dalam istilah fiqih syirkah adalah suatu akad antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan.
Musyarakah (syirkah) adalah percampuran dana untuk tujuan pembagian keuntungan.
Transaksi ini dilandasi oleh adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua modal di satukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan di kelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel. Landasan hukum syari‘ahnya adalah:
Al-Qur‘an surah As-shaad (38) : 24
Artinya: “Daud Berkata: sesungguhnya dia telah berbuat dzalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebahagian dari mereka berbuat dzalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini. Dan Daud mengetahuinya bahwa kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
1. Al-Hadits“Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Allah SWT berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (hadits riwayat Abu Daud dan disahkan oleh hakim)
Mudharabah
Adalah bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih, dimana pemilik modal (shohibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengansuatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal shahhhibul maal dan keahlian dari mudharib.
Dalam mudharabah modal hanya berasal dari salah satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. Jika obyek yag di danai ditentukan oleh pemilik modal, maka kontrak tersebut dinamakan mudharabah al muqayyadah. Karakteristik mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan persyaratan di atas. Perbedaannya adalah
terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam.
Muzara’ah
Adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil panen.
Muzara‘ah sering di identikkan dengan mukhabarah. Diantarakeduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut: pada muzara‘ah benihnya yang akan ditanam dari pemilik lahannya, sedangkan pda mukhabarah benihnya dari penggarap.
Musaqah
Adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara‘ah di mana si penggarap hanya bertangggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalannya, si penggarap berhak atas nisbah (bagi hasil) tertentu dari hasil panen.
Landasan syari‘ah dari musaqah adalah:
Al-Hadits: ‖dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan memberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan, maupun dari hasil tanaman (palawija).” (HR. Muslim)
Fatwa DSN-MUI No.15/DSN-MUI/IX/2000
DSN MUI telah mengeluarkan fatwa yang menetapkan tentang bagi hasil (revenue sharing) yaitu pada fatwa No.15/DSN-MUI/IX/2000 tentang prinsip distribusi bagi hasil dalam lembaga keuangan syari‘ah. Dasar hukum fatwa tersebut terdapat dalam:
Al-Qur‘an surah al-Baqarah ayat 282:
Artinya: ―Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‘amalah tidak secara tunai untuk waktu yang di tentukan, hendaklah menuliskannya‖
Al-Qur‘an surah al-Maidah ayat 1:
Artinya: ‖Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu‖
Hadits riwayat Tirmizi dari ‗Amr bin ‗Auf:
“perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharanmkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‗Ubadah bin shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‗Abbas, dan Malik dari Yahya:
―Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain‖
Kaidah fiqih yang artinya: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Dan kaidah fiqh lain: “Dimana terdapat kemaslahatan, disana terdapat hukum Allah”
9.5 ANALISA FATWA KEBOLEHAN REVENUE SHARING
Berdasarkan dalil-dalil dan setelah menelaahnya maka DSN menetapkan fatwa tentang distribusi hasil usaha dalam LKS antara lain:
Pada dasarnya LKS boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi untung (profit sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah) nya sesuai dengan akad yang telah disepakati oleh kedua belah pihak atau lebih. Bila salah seorang menetapkan sendiri penetapan tentang pola bagi hasil usaha yang akan digunakan namun pihak lain juga harus menyetujui penetapan itu.
Diperbolehkannya kedua sistem tersebut dengan melihat bahwa baik prinsip bagi hasil (revenue sharing) atau bagi untung (profit sharing) belum ditemukan dalil nash yang mengharamkan atau melarang prinsip tersebut.
Dilihat dari segi kemaslahatannya (al-ashlah), pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing). Karena pada prinsip sistem profit sharing yang di dalam penerapannya banyak kendala, diantaranya adalah sulitnya pengakuan atau estimasi biaya yang dikeluarkan dalam usaha, serta rumitnya pola pembagiannya pada prinsip perbankan modern, maka pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) yang akan memberi kemudahan bagi kedua belah pihak dalam pembagian perolehan hasil usaha. Prinsip bagi hasil (revenue sharing) atau bagi untung (profit sharing) adalah termasuk dalam
muamalah. Dalam kaidah fiqih, semua muamalah itu diperbolehkan kecuali bila ada dalil yang mengharamkan tentang prinsip bagi hasil (revenue sharing) dan bagi untung (profit sharing) maka kedua prinsip tersebut boleh digunakan dalam LKS. Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
Revenue pada perbankan syari‘ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.
Revenue di dalam arti perbankan yaitu jumlah dari pengasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pijaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.
Kelebihan dan Kelemahan Profit and Loss Sharing dan Revenue Sharing
Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam system Profit and Loss Sharing dan Revenue Sharing
9.6 KELEBIHAN SITEM PROFIT AND LOSS SHARING DAN REVENUE SHARING
Kelebihan dari system Profit and Loss Sharing dan system Revenue Sharing dibandingkan dengan system konvensional adalah:
1. Merupakan alat yang terbaik untuk menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan pembiayaan jangka pendek. 2. Tingkat investasi lebih tinggi karena diberikan penawaran yang memadai terhadap dana-dana yang dapat dipinjamkan, karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan ketidak tentukan hasil produksinya.
9.7 KELEMAHAN SISTEM PROFIT DAN LOSS SHARING DAN REVENUE SHARING
Kelemahan system Profit and Loss Sharing
Kelemahan system profit and loss sharing dalam penerapannya menyebabkan berbagai problem yang berkaitan dengan penggunaan profit and loss sharing dalam aktivitas investasi bankbank Islam.
Berdasarkan teori perbankan Islam kontenporer, prinsip mudharabah dan musyarakah dijadikan sebagai alternative penerapan system bagi hasil (profit and loss sharing). Meskipun demikian, dalam prakteknya, ternyata signifikasi profit and loss sharing dalam memainkan operasional investasi dana bank peranannya sangat lemah. Menurut beberapa pengamat perbankan Islam, hal ini terjadi karena beberapa alasan, diantaranya:
a) Standar moral
Terdapat anggapan bahwa standar moral yang berkemang di kebanyakan komunitas muslim tidak memberikan kebebasan penggunaan profit and loss sharing sebagai mekanisme investasi. Hal ini berdasarkan argumentasi yang mendorong bank untuk mengadakan pemantauan lebih intensif terhadap setiap investasi yang diberikan. Yang demikian itu membuat operasional perbankan berjalan tidak ekonomis dan tidak efisien. Berdasarkan alasan ini bank-bank Islam menggunakan pembiayaan profit and loss sharing yang diberikan setelah melakukan pemantauan yang mendalam terhadap bisnis yang akan dijalankan, dana hanya akan diberikan kepada partner yang efisien dalam mengelola bisnis,jujur dalam melakukan transaksi, proyek usaha yang dijalankan adalah profitable, serta pembiayaan usaha tersebut umumnya untuk jangka pendek dan bukan untuk pembiayaan jangka panjang serta bukan pembiayaan untuk lembaga.
b) Ketidakefektifan model pembiayaan profit and loss sharing
Pembiayaan profit and loss sharing tidak melayani berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi kontemporer. Meskipun demikian, profit and loss sharing yang diterapkan dalam bentuk mudharabah dan musyarakah merupakan alat yang terbaik untuk menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan pembiayaan jangka pendek. Namun kemungkinan untuk dilaksanakan ke dalam kredit institusional menjadi terlambat. Berbagai problem yang berkaitan dengan aplikasinya membuat prinsip mudharabahdan musyarakah pada level kredit institusional benar-benar tidak dapat di
pakai. Alasannya adalah meningkatnya permintaan pinjaman pemerintah untuk anggaran belanjanya, dengan demikian permintaan pemakaian pinjaman dengan mengggunakan sistem profit and loss sharing menjadi tidak terpenuhi.
c) Berkaitan dengan para pengusaha
Keterkaitn bank dengan peminjam, system profit and loss sharing dalam membantu perkembangan usaha lebih bnyak terlibat secara langsung dari pada system lainnya pada bank konvensional. Bank-bank Islam memerlukan informasi lebih detail tentang aktivitas bisnis yang mereka biayai dan besar kemungkinan pihak bank turut mempengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis partnernya. Pada sistem lain, keterlibatan yang tinggi ini akan mengecilkan naluri pengusaha yang sebenarnya lebih memita kebebasan yang luas dari pada campur tangan dalam menggunakan dana yang mereka pinjamkan.
d) Dari segi biaya
Memberikan dana berdasarkan system bagi hasil profit and loss sharing memerlukan kewaspadaan yang lebih tinggi dari pada pihak bank dalam menyalurkan dana-dananya.
Bank-bank
Islam
kemungkinan
besar
meningkatkan
kualitas
kepegawaian mereka dengan cara mempekerjakan para teknisi dan ahli manajemen untuk mengevaluasi proyek usaha yang mereka pinjami untuk mencermati lebihteliti dan lebih jeli dari pada teknis peminjaman pada bank konvensional. Ini akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh para banker dalam menjaga efisiensi kinerja perbankannya yang secara langsung akan berimbas terhadap pengembalian dana pinjaman. Hal ini akan menimbulkan beban yang lebih besar terhadap pemakai dana tersebut. Tambahan biaya yang dikeluarkan oleh para banker yang digunakan untuk menjaga efektifitas operasional perbankan Islam kemungkinan akan menghasilkan biaya ekstra yang di tanggung oleh partner ketika mengembalikan dana pinjaman yang berdasarkan sistem bagi hasil profit and loss sharing.
e) Dari segi teknis
Problem teknis menyangkut penggunaan system bagi hasil profit an loss sharing tampaknya berkaitan dengan pihak bank, nasabah (partner), dan kualkulasi keuntungan (profit calculation). Pada satu sisi dari bank Islam sendiri, profesional pegawai pada saat itu dari segi keahlian dan pengetahuan yang luas tentang perilaku aktifitas ekonomi yang berguna untuk memprediksi keuntungan yang akan diperoleh pada tiap-tiap jaringan serta mengetahui secara menyeluruh tentang keadaan keuangan investor dan komitmennya dalam menjalankan proyek usaha. Dari pihak nasabah (partner), kebutahurufan yang kebanyakan masih menyelimuti masyarakat dunia muslim akan jelas menyulitkan untuk membuat catatan-catatan akuntan yang mendetail. Permintaan untuk membuat catatan-catatan akuntansi yang mendetail sulit dipenuhi, yang menjadikan masyarakat lebih suka menggunakan sistem pembiayaan di bank konvensional dari pada mengalami masalah membuat buku pegangan yang mendetail.
Kalkulasi keuntungan dalam menggunakan sistem bagi hasil profit and loss sharing juga mengalami kesulitan. Meskipun di dalam khazanah fiqih di jelaskan mengenai petunjuk perhitungan keuntungan tersebut, namun kenyataannya dalam praktek kelihatannya tidak ada keseragaman di antara bank-bank Islam mengenai cara melakukan perhitungan keuntungan, yang dalam istilah akuntannya bersifat subyektif. Berbagai macam cara perhitungan keuntungan ini berpangkal dari dalam penempatan pada modal aktifa dan tanggungan pasiva. Penilaian ini tergantung pada beberapa faktor, diantaranya tingkat penurunan modal tertentu modal tertentu, serta kebijakan mengenai kebijakan cadangan dan persediaan. Oleh karenanya, dlam bisnis yang sama dapat menunjukkan keuntungan yang berbeda tanpa menaruh curiga, adanya kesalahan dalam perhitungan.
f) Kurang menariknya system profit and loss sharing dalam aktiva bisnis
Dalam lapangan bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan dari dana-dana yang diperoleh berdasarkan sistem profit and loss sharing tidak diketahui secara jelas dan pasti. Hal ini akan menimbulkan terbongkarnya rahasia keuangan mereka oleh pihak bank juga intervensi bank teradap urusan manajemn mereka. Keadaanini sangat berbeda dengan sistem pembiayaan berdasarkan bunga, dimana modalnya aman terjaga, pendapatan yang diperoleh pasti, dan biaya pinjaman diketahui dengan jelas.
g) Permasalahan efisiensi
Tingkat investasi mungkin lebih tinggi di bawah sistem profit and loss sharing dari pada sistem lainnya, karena dalam system profit and loss sharing diberikan penawaran yang memadai terhadap dana-dana yang dapat dipinjamkan. Karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan ketidak tentuan hasil produksinya, serta tidak adanya kekhawatiran terjadinya penyelewengan dana pinjaman terhadap investasi yang riil. Kesanggupan para pemberi pinjaman untuk turut menanggung resiko kemungkinan akan mendorong investasi lebih beresiko. Meskipun kesanggupan ini juga akan mengurangi penekanan biaya-biaya untuk efisiensi kelangsungan bisnis yang pada tingkat kepentingan tertentu cukup mengesankan.
Kelemahan Revenue Sharing
Sedangkan sistem revenue sharing menagandung kelemahan, yaitu apabila tingkat pendapatan bank sedemikian rendah maka bagisn bank, setelah pendapatan didistribusikan oleh bank, tidak mampu membiayai kebutuhan operasionalnya (yang lebih besar dari pada pendapatan fee) sehingga merupakan kerugian bank dan membebani para pemegang saham sebagai penanggung kerugian. Sementara para penyandang dan atau investor lain tidak akan pernah menanggung kerugian akibat biaya operasional tersebut. Dengan kata lain, secara tidak langsung bank menjamin nilai nominal nasabah, karena pendapatan paling rendah yang akan dialami oleh bank adalah nol dan tidak mungkin terjadi pendapatan negatif. Selain belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip syari‘ah, sistem revenue sharing tidak berbeda statusnya dengan wadi‘ah yang oleh karena itu tidak dapat di kategorikan sebagai kuasi ekuitas.
9.8 KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa masalah kecilnya pembiayaan bagi hasil merupakan masalah yang multi dimensi karena ada berbgai macam pihak yang terkait, oleh karenanya masalah ini merupakan masalah bersama. Perlu adanya kerja sama antara berbaga macam pihak yang terkait untuk meningkatkan komposisi pembiayaan bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari‘ah terbagi kepada dua sistem, yaitu; pertama. Profit
Sharing yaitu sistem bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih dari pendapatan yang diterima atas kerjasama usaha, setelah dilakukan pengurangan-pengurangan atas beban biaya selama proses usaha tersebut. Kedua. Revenue Sharing adalah sistem bagi hasil yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Di dalam perbankan syari‘ah Indonesia sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah sistem bagi hasil dengan berlandaskan pada sistem revenue sharing. Bank syari‘ah dapat berperan sebagai pengelola maupun sebagai pemilik dana, ketika bank berperan sebagai pengelola maka biaya tersebut akan ditanggung oleh bank, begitu pula sebaliknya jika bank berperan sebagai pemilik dana akan membebankan biaya tersebut pada pihak nasabah pengelola dana.
Soal Latihan Jawablah pertanyaan di bawah ini:!
Mengapa di dalam penerapan bagi hasil, bank syariah cenderung menggunakan sistem revenue sharing daripada profit sharing?
Berikan Analisa anda tetang masalah yang dihadapi oleh perbankan islam dalam menyalurkan dana nya melalui akad mudharabah? Berikan solusinya.!!!!!
Apakah perbedaan antara Mudharabah Muthlaqoh dan Mudharabah Muqayyadah? Apakah kelebihan dan kekurangan dalam pengaplikasian kedua metode Mudharabah ini?
Manakah yang lebih digemari oleh nasabah? Profit Sharing atau Revenue Sharing? Mengapa demikian?
Apakah produk-produk atau metode-metode transaksi di bank syariah sudah sesuai dengan prosedurnya? Analisalah!
Referensi Syafi‘I Antonio, Bank Syari‟ah; Wacana Ulama‟ dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999). h. 278 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002) h. 101 Akmal Yahya, Profit Distribution. http//www.ifibank.go.id Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Ed. 1, Diterbitkan atas Kerjasama Dewan Syari'ah Nasional-MUI dengan Bank Indinesia, 2001 Syamsul Falah, Pola Bagi Hasil pada Perbankan Syari‟ah, Makalah disampaikan pada seminar ekonomi Islam, Jakarta, 20 Agustus 2003 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Cet. Ke-1 Syafi‘I Antonio, Bank Syari‟ah; Wacana Ulama‟ dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999). h. 278
BAB X MANAJEMEN RISIKO BANK SYARIAH Manajemen Risiko sebagai rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank. Sasaran kebijakan manajemen risiko adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat risiko yang wajar secara terarah, terintegrasi dan berkesinambungan.Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu menjelaskan manajemen risiko bank syariah
10.1 PENDAHULUAN Pada hakikatnya bank sebagai lembaga intermediasi antara penabung dengan investor. Seiring dengan perkembangan zaman, perbankan syariah akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis risiko dengan tingkat komplekstivitas yang berbeda. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari tetapi harus dapat dikelola dan dikendalikan. Kemampuan pengelolaan risiko semakin disadari sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan kelangsungan usaha suatu institusi keuangan, sejalan dengan meningkatnya tantangan usaha yang dipicu oleh proses globalisasi yang meningkatkan saling ketergantungan antara sektor keuangan suatu negara dengan negara lainnya dan ketatnya persaingan usaha dan kemajuan teknologi informasi yang mendorong semakin variatif dan kompleksnya produk keuangan. Manajemen Risiko sebagai rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank. Sasaran kebijakan manajemen risiko adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat risiko yang wajar secara terarah, terintegrasi dan berkesinambungan.
10.2 KARAKTER MANAJEMEN RISIKO DALAM ISLAM Manajemen risiko dalam bank syariah mempunyai karakter yang berbeda dengan bank konvensional, terutana karena adanya jenis-jenis risiko yang khas melekat hanya pada bank-bank yang beroperasi secara syariah. Dengan kata lain, perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional bukanlah terletak pada bagaimana cara mengukur tetapi terletak pada apa yang dinilai. Perbedaan tersebut akan terlihat pada proses manajemen risiko bank syariah yang meliputi
identifikasi risiko, pengukuran risiko, antisipasi risiko dan monitoring risiko. 10.2.1 Identifikasi Risiko Identifikasi risiko yang dilakukan dalam bank syariah tidak hanya mencakup berbagai risiko yang ada pada bank-bank pada umumnya, melainkan juga meliputi berbagai risiko yang khas hanya ada pada bank-bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, keunikan bank syariah terletak pada enam hal: o Proses transaksi pembiayaan. Karakteristik bank syariah dalam proses ini setidaknya terlihat pada tiga aspek, yaitu proses transaksi pembiayaan syariah, proses transaksi bagi hasil dana pihak ketiga dan proses transaksi devisa. o Proses manajemen. Keunikan ini dapat dilihat pada sistem dan prosedur operasional akuntansi dan Chart of Account (CoA), sistem dan prosedur operasional teknologi informasi, sistem dan prosedur operasional tutup buku, serta sistem dan prosedur operasional pengembangan produk. o Sumber daya manusia. Keunikan ini dapat dilihat pada spesifikasi kapabilitas yang tidak hanya mencakup dalam bidang perbankan secara umum tetapi juga meliputi aspek-aspek syariah. o Teknologi. Keunikan ini dapat dilihat adanya Business Requirement Spesification (BRS) untuk pembiayaan berbasis bagi hasil dan BRS dana pihak ketiga. o Lingkungan eksternal. Keunikan ini dapat dilihat dari hadirnya dual regulatory body, yaitu Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional. o Kerusakan. Keunikan dapat dilihat misalnya ketika terjadi kerusakan pada objek ijarah atau IMBT.
10.2.2 Pengukuran Risiko Pengukuran risiko dilaksanakan dengan melakukan evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko. Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi dan faktor risiko yang bersifat material.
10.2.3 Antisipasi Risiko Antisipasi risiko dalam bank syariah bertujuan untuk: d. Preventive. Dalam hal ini, bank syariah memerlukan persetujuan DPS untuk mencegah kekeliruan proses dan transaksi dari aspek syariah. Di samping itu, bank syariah juga memerlukan fatwa DSN bila Bank Indonesia memandang persetujuan DPS belum memadai atau berada di luar kewenangannya.
e. Detective. Pengawasan dalam bank syariah meliputi dua aspek, yaitu aspek perbankan oleh Bank Indonesia dan aspek syariah oleh DPS. f. Recovery. Koreksi atas suatu kesalahan dapat melibatkan Bank Indonesia untuk aspek perbankan dan DSN untuk aspek syariah.
10.2.4 Monitoring Risiko Aktivitas monitoring dalam bank syariah tidak hanya meliputi manajemen bank syariah, tetapi juga melibatkan Dewan Pengawas Syariah. Secara sederhana, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 10.1 Status dan Kondisi Setiap Langkah yang Diambil FREKUENSI Dewan Pengawas Syariah (DPS)
6 bulanan
MATERI/ISI
CONTOH
Laporan Hasil
Hasil Pengawasan
Pengawasan
(Narrative
Syariah
Summary)
Board Level & Risk Management
18. Risk Map Tahunan
Summary
Committee
19. Narrative Summary -Kuadran-
Middle Management
Triwulan
Summary + Detail
Operational Risk Management Plan (ORMP)
Day To Day Operation
Bulanan
Detail
Frekuensi
Sumber: Adiwarman Karim.
10.3 PROSES MANAJEMEN RISIKO Untuk dapat menerapkan proses ini, pada tahap awal bank syariah harus secara tepat mengenal dan memahami serta mengidentifikasi seluruh risiko, baik yang sudah ada maupun yang mungkin timbul dari suatu bisnis baru bank. Selanjutnya, secara berturut-turut bank syariah perlu melakukan pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko. Proses ini terus berkesinambungan sehingga menjadi sebuah siklus.
Dalam pelaksanaannya proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Identifikasi risiko dilaksanakan dengan melakukan analisa terhadap:
Karakteristik risiko yang melekat pada aktivitas fungsional.
Risiko dari produk dan kegiatan usaha.
Pengukuran risiko dilaksanakan dengan melakukan:
Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko.
Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi dan faktor risiko yang bersifat material.
1.
Pemantauan risiko dilaksanakan dengan melakukan: 1.
Evaluasi terhadap eksposur risiko.
2.
Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor risiko, teknologi informasi dan sistem informasi manajemen risiko yang bersifat material.
2.
Pelaksanaan proses pengendalian risiko, digunakan untuk mengelola risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank.
10.4 JENIS-JENIS RISIKO 10.4.1 Risiko Likuiditas Likuiditas secara luas dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai. Likuiditas penting bagi bank untuk menjalankan transaksi bisnis sehari-hari, mengatasi kebutuhan dana yang mendesak, memuaskan permintaan nasabah terhadap pinjaman dan memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi yang menarik dan menguntungkan. Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga menganggu kebutuhan operasional sehari-hari, tetapi juga tidak boleh terlalu besar karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas. Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya membungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat
likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, di dalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko. 10.4.2 Risiko Kredit Risiko ini muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya. Penyebab utamanya adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas. Akibatnya, penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya. Risiko ini akan semakin tampak ketika perekonomian dilanda krisis atau resesi. Turunnya penjualan mengurangi penghasilan perusahaan, sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya. Hal ini semakin diperberat oleh meningkatnya tingkat bunga. Ketika bank akan mengeksekusi kredit macetnya, bank tidak akan memperoleh hasil yang memadai karena jaminan yang ada tidak sebanding dengan besarnya kredit yang diberikan. Tentu saja bank akan mengalami kesulitan likuiditas yang berat jika ia mempunyai kredit macet yang cukup besar. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional. Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah. Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang
dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa. 10.4.3 Risiko Fluktuasi Tingkat Bunga Profitabilitas atau return on networth (RONW) dari perbankan konvensional sangat ditentukan oleh net interest margin (NIM) dan hal itu akan sangat bergantung pada pemilihan komposisi aset/liabilitasnya karena faktor kepekaannya terhadap tingkat bunga (interest rate sensitivity). Potensi risiko ini timbul manakala terjadi gap antara aset dan liabilitas, di mana kompisisi aset, baik berdasarkan tingkat kepekaannya terhadap tingkat bunga (interest rate sensitivity) maupun berdasarkan jangka waktunya (maturiry profile), tidak sesuai (mismatch) dengan komposisi liabilitasnya. Untuk meminimalkan risiko tersebut, digunakanlah alat yang disebut fund gap management untuk yang disebut pertama dan duration gap management untuk yang disebut terakhir. Secara umum, aset/liabilitas dikatakan sensitif bila memiliki sebagian atau seluruh dari tiga karakteristik ini: Jika pendapatan atau biaya bunga dari komponen aset/liabilitas mudah berubah-ubah mengikuti perubahan tingkat bunga pada suatu periode tertentu. Cash flow dari komponen aset/liabilitas mudah keluar masuk jika terjadi perubahan tingkat bunga. Repriceable, yaitu aset/liabilitas yang dapat diperbaharui tingkat bunganya dalam jangka waktu tertentu mengikuti perubahan tingkat bunga. Fund Gap adalah selisih antara Rate Sensitive Asset (RSA) dengan Rate Sensitive Liabilities (RSL). Fund Gap dapat bernilai 0 (RSA = RSL Positif (RSA > RSL) Negatif (RSA < RSL)
Manajemen yang agresif akan selalu berusaha mengurangi pengaruh negatif dari perubahan tingkat bunga dan bahkan memanfaatkan fluktuasi tingkat bunga untuk meningkatkan keuntungannya. Jika manajemen memperkirakan tingkat bunga akan turun, posisi negative gap akan menguntungkan. Sebaliknya, pada posisi positive gap, kecenderungan turunnya tingkat bunga itu tidak menguntungkan. Oleh karenanya, sebelum tingkat bunga benar-benar turun, manajemen segera memperkecil fund gap positif itu hingga mendekati nol atau bahkan menjadi negatif. Sebaliknya, bila tingkat bunga cenderung naik, manajemen akan mengusahakan posisinya menjadi
positif. Fund gap management lalu dilengkapi dengan teknik duration gap management. Teknik ini secara langsung terfokus pada market value of equity perusahaan. Dengan teknik ini, durasi aset/liabilitas perusahaan dihitung untuk memperkirakan pengaruh perubahan suku bunga terhadap market value aset/liabilitas perusahaan. Formula untuk mencari duration gap adalah sebagai berikut
DURGAP = DURA – W x DURL
DURA = rata-rata tertimbang duration aset DURL = rata-rata tertimbang duration liabilitas W
= persentase liabilitas terhadap total aset
Jika duration gap positif, yaitu duration aset lebih besar daripada duration libilitas, kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan menurunnya market value of net worth dan penurunan tingkat bunga akan menyebabkan meningkatnya market value of net worth. Sebaliknya, jika duration gap adalah negatif, yaitu duration aset lebih kecil daripada duration liabilitas, kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan kenaikan market value of net worth dan penurunan tingkat bunga akan menyebabkan menurunnya market value of net worth. Jika duration gap adalah nol, market value of net worth tidak terpengaruh perubahan tingkat bunga.
10.4.4 Risiko Pembiayaan Risiko Terkait Pembiayaan Murabahah Pemberian pembiayaan murabahah dengan jangka waktu panjang menimbulkan risiko tidak bersaingnya bagi hasil kepada dana pihak ketiga. Risiko ini timbul karena hal berikut: 1.
Kenaikan DCMR (Direct Competitor‘s Market Rate).
2.
Kenaikan ICMR (Indirect Competitor‘s Market Rate).
3.
Kenaikan ECRI (Expected Competitive Return for Investors). Oleh karena itu, bank dapat menetapkan jangka waktu maksimal untuk pembiayaan ini
dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini: Tingkat (marjin) keuntungan saat ini dan prediksi perubahan di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan syariah (DCMR) semakin cepat perubahan DCMR, semakin pendek jangka waktu
maksimal pembiayaan Suku bunga kredit saat ini dan prediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan konvensional (ICMR). Semakin cepat perubahan ICRM, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan Ekspektasi bagi hasil kepada Dana Pihak Ketiga yang kompetitif di pasar perbankan syariah. Semakin besar perubahan ekspektasi tersebut diperkirakan akan terjadi semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan. Risiko Terkait Pembiayaan Ijarah Risiko yang terkait dengan pembiayaan ijarah mencakup beberapa hal berikut:
Jika barang milik bank, timbul risiko tidak produktifnya asset iajarah karena tidak adanya nasabah.
Jika barang bukan milik bank, timbul risiko rusaknya barang oleh nasabah karena pemakaian tidak normal.
Dalam hal jasa tenaga kerja yang disewakan bank kemudian disewakan kepada nasabah, timbul risiko tidak performnya pemberi jasa. Penyelesaian dari risiko ini adalah:
Risiko yang timbul karena ketiadaan nasabah merupakan bussines risk yang tidak dapat dihindari.
Jika risiko timbul karena pemakaian di luar normal, Bank dapat menetapkan kovenan ganti rugi kerusakan barang yang tidak disebabkan oleh pemakaian normal.
Jika risiko yang timbul karena tidak performnya pemberi jasa, Bank dapat menetapkan kovenan bahwa risiko tersebut merupakan tanggung jawab nasabah karena pemberi jasa dipilih sendiri oleh nasabah.
Risiko Terkait Pembiayaan IMBT
Risiko ini terjadi ketika pembayaran dilakukan dengan metode balloon payment, yakni pembayaran angsuran dalam jumlah besar di akhir periode. Dalam hal ini, timbul risiko ketidakmampuan nasabah untuk membayarnya. Risiko tersebut dapat diatasi dengan memperpanjang jangka waktu sewa (ijarah). Risiko Terkait Pembiayaan Salam dan Istishna Kedua pembiayaan ini merupakan pembiayaan yang dicirikan dengan pembayaran di muka
dan penyerahan barang secara tangguh. Dengan demikian, belum wujudnya barang yang menjadi objek pembiayaan menimbulkan dua risiko, yaitu risiko gagal-serah barang dan risiko jatuhnya harga barang. Solusi dari risiko ini adalah: 1.
Risiko jatuhnya harga barang diantisipasi dengan menetapkan bahwa jenis pembiayaan ini hanya dilakukan atas dasar kontrak/pesanan yang telah ditentukan harganya.
2.
Risiko gagal serah dapat diantisipasi bank dengan menetapkan kovenan risiko kolateral 220%, yaitu 100% lebih tinggi daripada rasio standar 120%.
10.4.5 Risiko Operasional (operational risk) Menurut definisi Basle Committe, risiko operasional adalah risiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Risiko ini lebih dekat dengan kesalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional.
10.4.6 Risiko Hukum Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.
10.4.7 Risiko Reputasi Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.
10.4.8 Risiko Stratejik Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.
10.4.9 Risiko Kepatuhan Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.
KESIMPULAN Dalam melakukan transaksi bank syariah tidak akan pernah lepas dari risiko-risiko yang ada. Dengan adanya risiko membuat para pelaku perbankan syariah lebih berhati-hati dalam menggunakan dana nasabahnya. Secara umum risiko diinterpretasikan sebagai sebuah ketidakpastian atas suatu posisi. Dalam konteks perbankan risiko merupakan potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian Bank. Secara umum risiko antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah adalah sama, hanya pada perbankan syariah terdapat risiko-risiko yang hanya ada di bank syariah dikarenakan risiko ini bersandar pada prinsip syariah. Seperti risiko pada produk-produk bank syariah seperti murabahah, ijarah, salam, dan lain-lain.
SOAL LATIHAN
1. Jelaskan karakter manajemen risiko dalam Islam! 2. Jelaskan proses manajemen risiko! 3. Apakah yang dimaksud dengan fund gap? Dan bagaimana cara menghitungnya? 4. Jelaskan tentang risiko pembiayaan pada bank syariah? 5. Menurut anda antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah mana yang memiliki risiko paling tinggi? Jelaskan! 6. Adakah hubungan antara resiko dan pengambilan keputusan? Apa dan mengapa? Jelaskan!
DAFTAR PUSTAKA Antonio, Muhammad Syafi‘i. 2001. BANK SYARIAH: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press. Karim, Adiwarman. 2007. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Rukminto, Eko Dedi. 2009. Manajemen Risiko Bank Syariah. Presentasi Mata Kuliah Manajemen Risiko di STEI Tazkia. bank-syariah-belajar-yuk.blogspot.com/2007/07/manajemen-resiko-bank-syariah managementfile.com
BAB XI PRODUK PENDANAAN PERBANKAN SYARIAH Bank syariah melaksanakan produk pendanaan tidak dengan prinsip bunga (riba), melainkan dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, terutama wadi‟ah (titipan), qardh (pinjaman) mudharabah (bagi hasil), dan ijarah.Tujuan mempelajari bab ini adalah Memahami tabungan, giro dan deposito syariah
11.1 PENDAHULUAN
Produk-produk pendanaan bank syariah ditujukan untuk mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dengan cara yang adil sehingga keuntungan yang adil dapat dijamin bagi semua pihak. Tujuan mobilisasi dana merupakan hal penting karena Islam secara tegas mengutuk penimbunan tabungan dan menuntut penggunaan sumber dana secara produktif dalam rangka mencapai tujuan sosial-ekonomi Islam.
Dari gambar 54 dapat disimpulkan bahwa produk-produk pendanaan bank syariah dapat menggunakan empat prinsip yang berbeda (baca tabel 10):
Giro
Giro Menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Sedangkan pengertian simpanan adalah dana yang dipercarayakan oleh masyarakat kepada bank dalm bentuk giro, deposito berjangka, sertifaikat
dposito, tabungan atau yang dapat dipersamakan dengan itu.
Dari definisi giro di atas, dapat kita ketahui bahwa uang yang disimpan dalam bentuk rekening giro dapat ditarik berkali-kali dalam sehari dengan catatan dana yang trsedia measih mencukupi, selain juga persyaratan lain yang ditetapkan oleh perbankan yang bersangkutan.
Adapun sarana penarikan dana yang disimpan dalam bentuk rekening giro adalah:
Cek (Cheque)
Cek adalah surat perintah tanpa syarat dari nasabah kepada bank yang memelihara rekening girio nasabah tersebut, untuk membayar sejumlah uang kepada pihak yang disebutkan di dalamnya atau kepda pemegang cek tersebut. Artinya bank harus membayar kepada siapa saja yang membawa cek ke bank yang memelihara rekening nasaabah untuk diuangkan sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan baik secara tunai atau secara pemindahbukuan.
Ada lima jenis cek yaitu: o Cek atas nama
Yaitu cek yang diterbitkan atas nama orang atau badan tertentu yang tertulis jelas di dalam cek tersebut, misalnya ayarlah kepada Tn. Muhammad sejumlah Rp. 15.000.000,-
o Cek atas tunjuk
Yaitu cek yang tidak ditulis nama seseorang atau badan tertentu di dalam cek tersebut. Sebagai contoh di dalam cek tersebut tertulis bayarlah tunai, atau cash atau tidak ditulis kata-kata apa pun
o Cek silang
Yaitu suatu cek yang di pojok kiri atas diberi dua tanda silang sehingga cek tersebut berfungsi
sebagai pemindahbukuan bukan tunai
o Cek mundur
Yaitu cek yang diberi tanggal mundur dari tanggal sekarang, misalnya hari ini tanggal 12 Jan 2010, Tn. El-faiz ingin mencairkan ceknya di mana dalam cek tersebut tertulis tanggal 20 Jun 2010.
o Cek kosong
Yaitu cek di mana dananya tidak tersedia. Sebagai contoh, nasabah menarik cek sebesar Rp. 100.000.000,- tertulis di dalam cek tersebut. Akan tetapi dana yang tersedia di rekening giro tersebut hanya sekitar Rp. 1juta. Sehingga dana yang tersedia sangat jauh kurang dari dana yang akan dicairkan.
Dalam penarikan cek kosong apabila dilakukan sebanyak 3 kali, maka nasabah yang bersangkutan akan di black list atau masuk daftar hitam yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Kemudian disebarkan ke seluruh perbankan, sehingga yang bersangkutan tidak dapat berhubungan dengan bank manapun. Namun sebelum masuk daftar hitam, nasabah terlebih dahulu diberi peringatan baik lisan maupun tulisan.
Akan tetapi, bank dapat menutupi kekurangan tersebut apabila dengan pertimbangan nasabah primer yang loyal terhadap bank selama ini dengan tidak ada unsur kesengajaan dengan menggunakan fasilitas over draft. Hal ini menghindari nasabah dari black list.
Bilyet Giro
Yaitu surat perintah dari nasabah kepada bank yang memelihara rekening giro nasabah tersebut untuk memindahbukukan sejumlah uang dari rekening yang bersangkutan kepada pihak penerima yang disebutkan namanya pada bank yang sama atau bank lainnya.
Pemindahbukuan kepada rekening bank yang bersangkutan artinya dipindahkan dari
rekening nasabah si pemberi BG kepada nasabah penerima BG. Sebaliknya jika dipindahbukukan ke rekening di bank yang lain, maka harus melalui proses kliring ke bank lain.
11.2 GIRO DI BANK SYARIAH
Giro wadi‟ah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening giro (current account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaiannya. Karakteristik giro wadi‟ah ini mirip dengan giro pada bank konvensional, ketika kepada nasabah penyimpan diberi garansi untuk dapat menarik dananya sewaktu-waktu dengan menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan bank, seperti cek, bilyet giro, kartu ATM, atau dengan menggunakan sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan tanpa biaya. Bank boleh menggunakan dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek atau untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank, selama dana tersebut tidak ditarik. Biasanya bank tidak menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi hasil karena sifatnya yang jangka pendek. Keuntungan yang diperoleh bank dari penggunaan dana ini menjadi milik bank. Demikian juga, kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab bank sepenuhnya. Bank diperbolehkan untuk memberikan insentif berupa bonus kepada nasabah, selama hal ini tidak disyaratkan sebelumnya. Besarnya bonus juga tidak ditetapkan di muka.
Adapun beberapa fasilitas giro wadi‟ah yang disediakan bank untuk nasabah, antara lain:
Buku cek;
Bilyet giro;
Kartu ATM;
Fasilitas pembayaran;
Traveller‟s cheques;
Wesel bank;
Wesel penukaran;
Kliring; dan
Lainnya.
Dalam aplikasinya ada giro wadi‟ah yang memberikan bonus dan ada giro wadi‟ah yang tidak memberikan bonus. Pada kasus pertama, giro wadi‟ah memberikan bonus karena bank
menggunakan dana simpanan giro ini untuk tujuan produktif dan menghasilkan keuntungan, sehingga bank dapat memberikan bonus kepada nasabah deposan. Pada kasus kedua, giro wadi‟ah tidak memberikan bonus karena bank hanya menggunakan dana simpanan giro ini untuk menyeimbangkan kebutuhan likuiditas bank dan untuk transaksi jangka pendek atas tanggung jawab bank yang tidak menghasilkan keuntungan riil. Bank tidak menggunakan dana ini untuk tujuan produktif mencari keuntungan karena memandang bahwa giro wadi‟ah adalah kepercayaan, yaitu dana yang dititipkan kepada bank dimaksudkan untuk diproteksi dan diamankan, tidak untuk diusahakan.
Skema giro wadi‟ah seperti skema simpanan wadi‟ah yad dhamanah , pihak penitip adalah nasabah deposan, pihak penyimpan adalah bank, dan barang/aset yang dititipkan adalah uang.
Simpanan giro (current account) di bank syariah tidak selalu menggunakan prinsip wadi‟ah yad dhamanah, tetapi secara konsep dapat juga menggunakan prinsip wadi‟ah yad amanah dan prinsip qardh.
Simpanan giro dapat menggunakan prinsip wadi‟ah yad amanah karena pada dasarnya giro dapat dianggap sebagai suatu kepercayaan dari nasabah kepada bank untuk menjaga dan mengamankan aset/dananya. Dengan prinsip ini nasabah deposan tidak menerima imbalan atau bonus apa pun dari bank karena aset/dana yang dititipkan tidak akan dimanfaatkan untuk tujuan apa pun, termasuk untuk kegiatan produktif. Sebaliknya, bank boleh membebankan biaya administrasi penitipan.
Selain itu, simpanan giro juga dapat menggunakan prinsip qardh ketika bank dianggap sebagai penerima pinjaman tanpa bunga dari nasabah deposan. Bank dapat memanfaatkan dana pinjaman dari nasabah deposan untuk tujuan apa saja, termasuk untuk kegiatan produktif mencari keuntungan. Sementara itu, nasabah deposan dijamin akan memperoleh kembali dananya secara penuh, sewaktu-waktu nasabah ingin menarik dananya. Bank boleh juga memberikan bonus kepada nasabah deposan, selama hal ini tidak disyaratkan di awal perjanjian. Simpanan giro seperti ini diterapkan di perbankan Islam di Iran.
Tabungan
Seperti Halnya simpanan giro, simpanan tabungan juga mempunyai syarat-syarat tertentu bagi pemegangnya dan persyaratan masing-masing berbeda satu sama lainnya. Disamping persyaratan yang berbeda satu sama lainnya. Disamping persyaratan yang berbeda, tujuan nasabah menyimpan uang di rekening tabungan juga berbeda. Dengan demikian sasaran bank dalam memasarkan produk-nya juga berbeda sesuai dengan sasarannya.
11.3 PENGERTIAN TABUNGAN
Menurut UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Bab I Pasal I Butir 5: :“Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro atau alat lain yang dapat dipersamakan dengan itu”.
Syarat-syarat penarikan tertentu maksudnya adalah sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat antara bank dengan si penabung. Sebagai contoh dalam hal frekuensi penarikan, apakah 2 kali seminggu atau setiap hari atau mungkin setiap saat. Yang jelas haruslah sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Kemudian dalam hal sarana atau alat penarikan juga tergantung dengan perjanjian antara keduanya yaitu bank dan penabung.
Sedangkan menurut Muchdarsyah S ―Tabungan adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan syarat tertentu‖.
Menurut Lapoliwa dan Kuswandi: “Tabungan adalah simpanan masyarakat yang penarikannya dapat dilakukan oleh si penabung sewaktu-waktu dikehendaki”. 11.4 ALAT PENARIKAN TABUNGAN
Ada beberapa alat penarikan tabungan, hal ini tergantung bank masing-masing, mau menggunakan sarana yang mereka inginkan. Alat ini dapat digunakan sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Alat-alat yang dimaksud adalah :
1 – Buku Tabungan
Yaitu buku dipegang oleh nasabah, dimana berisi catatan saldo tabungan, penarikan, penyetoran dan pombebanan-pembebanan yang mungkin terjadi. Buku ini digunakan pada saat penarikan, sehingga langsung dapat mengurangi saldo yang ada di buku tabungan tersebut.
2 – Slip penarikan
Merupakan Formulir penarikan dimana nasabah cukup menulis nama, nomor rekening, jumlah uang serta tanda tangan nasabah untuk menarik sejumlah uang. Slip penarikan ini biasanya digunakan bersamaan dengan buku tabungan.‘
3 – Kwitansi
Merupakan bukti penarikan yang dikeluarkan oleh bank yang fungsinya sama dengan slip penarikan, di mina tertulis nama penarik, nomor penarik, jumlah uang dan tanda tangan penarikan. Alat ini juga dapat dipergunakan secara bersamaan dengan buku tabungan.
4 – Kartu yang terbuat dari plastik
Yaitu sejenis kartu kredit yang terbuat dari plastik yang dapat digunakan untuk menarik sejumlah uang dari tabungannya, baik bank maupun di mesin Automated Teller Machine (ATM). Mesin ATM ini biasanya tersebar di tempat-tempat yang strategis.
11.5 JENIS PENGHITUNGAN TABUNGAN PERBANKAN KONVENSIONAL Secara umum ada 3 metode perhitungan bunga tabungan yaitu: berdasarkan saldo terendah, saldo rata-rata dan saldo harian. Beberapa bank menerapkan jumlah hari dalam 1 tahun 365 hari, namun ada pula yang menerapkan jumlah hari bunga 360 hari. Untuk memudahkan Anda memahami perhitungan bunga diatas, mari kita lakukan sebuah ilustrasi rekening tabungan sebagai berikut: Misalkan Anda membuka tabungan pada tanggal 1 Juni dengan setoran awal Rp 1.000.000,00 kemudian Anda melakukan penyetoran dan penarikan selama bulan Juni sebagai berikut:
Bunga yang akan Anda peroleh ditentukan oleh cara perhitungan bunga yang dilakukan bank. Besarnya bunga tabungan berdasarkan tiga metode perhitungan dapat dilihat dibawah ini.
Metode Perhitungan Bunga Berdasarkan Saldo Terendah Pada metode ini, bunga dalam satu bulan dihitung berdasarkan saldo terendah dalam bulan
tersebut. Bunga dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Bunga = ST x i x t . 365 Keterangan: ST = saldo terendah, i= suku bunga tabungan pertahun, t = jumlah hari dalam 1 bulan, 365 = jumlah hari dalam 1 tahun.
Misalkan suku bunga yang berlaku adalah 5% pa (per annum). Karena saldo terendah dalam bulan Juni adalah Rp.1.000.000,00, maka perhitungan bunga adalah sebagai berikut:
Bunga bulan Juni = Rp. 1 juta x 5 % x 30 . 365 = Rp. 4.109,59
Metode Perhitungan Bunga Berdasarkan Saldo Rata-rata Pada metode ini, bunga dalam satu bulan dihitung berdasarkan saldo rata-rata dalam bulan
berjalan. Saldo rata-rata dihitung berdasarkan jumlah saldo akhir tabungan setiap hari dalam bulan berjalan, dibagi dengan jumlah hari dalam bulan tersebut.
Bunga = SRH x i x t . 365 Keterangan: SRH = Saldo rata-rata harian, i = suku bunga tabungan pertahun, t = jumlah hari dalam bulan berjalan.
Misalkan bunga tabungan yang berlaku adalah sebagai berikut: Saldo dibawah Rp.5 juta, bunga = 3% pa. Saldo 5 juta keatas, bunga = 5 % pa. Maka SRH tabungan Anda adalah sebagai berikut: [ (Rp.1 juta x 4 hari) + (Rp.6 juta x 1 hari) + (Rp.5,5 juta x 4 hari ) + (Rp.8 juta x 10 hari) + (Rp.7 juta x 5 hari) + (Rp.17 juta x 5 hari) + (Rp.15 juta x 1 hari) ] / 30 = Rp.8.233.333,00 Karena SRH Anda diatas Rp.5 juta, maka Anda berhak atas suku bunga 5%, sehingga bunga yang akan Anda terima adalah sebagai berikut: Bunga Juni = Rp.8.233.333,00 x 5% x 30 . = Rp. 33.835,62 365
Metode Perhitungan Bunga Berdasarkan Saldo Harian Pada metode ini bunga dihitung dari saldo harian. Bunga tabungan dalam bulan berjalan
dihitung dengan menjumlahkan hasil perhitungan bunga setiap harinya. Misalkan bunga tabungan yang berlaku adalah sebagai berikut : Saldo dibawah Rp.5 juta, bunga = 3% pa Saldo Rp.5 juta ke atas, bunga = 5% pa
Cara perhitungan bunga: Tgl 1 : Rp.1 Juta x 3 % x 1 = 82,19 365 Tgl 2 : Rp.1 Juta x 3 % x 1 = 82,19 365 Tgl 3 : Rp.1 Juta x 3 % x 1 = 82,19 365 Tgl 4 : Rp.1 Juta x 3 % x 1 = 82,19 365
Tgl 5 : Rp.6 juta x 5 % x 1 = 821,92 365 dan seterusnya
Berdasarkan cara perhitungan diatas, bunga tabungan Anda selama bulan Juni adalah Rp.33.616,44 ◦
Tabungan di Bank Syariah
Tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak miliknya
Tabungan syariah ada dua jenis yaitu tabungan yang berlandaskan wadiah dan mudharabah:
Pada skema di atas mekanisme penghimpunan dana menggunakan tabungan dalam Perbankan syariah terbagi menjadi 2, yaitu : 5. Wadhiah yad Dhomanah Adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima titipan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Penerima titipan (custodian) memperoleh izin dari pemilik aset titipan / barang / harta, untuk menggunakannya dalam perniagaan / perdagangan, selama aset tersebut berada di tangannya, serta berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan aset tersebut. Dalam dunia perbankan al-Wadi‟ah Yad adh-Dhamanah memanfaatkannya dalam bentuk: -
Current Account - Saving Account
6. Mudharabah Muthlaqoh
Kontrak Mudharabah yang cakupannya sangat luas & tidak dibatasi oleh ketentuan khusus (tidak memiliki ikatan tertentu).
11.6 TEKNIK PENGHITUNGAN BONUS WADIAH
Pada prinsipnya teknik perhitungan bonus wadiah dihitung dari saldo terendah dalam satu bulan. Namun demikian, bonus wadiah dapat diberikan sebagai berikut: 1. Saldo terendah dalam satu bulan takwim di atas Rp 1.000.000,- (bagi rekening yang bonus wadiahnya dihitung dari saldo terendah). 2. Saldo rata-rata harian dalam satu bulan takwim di atas Rp 1.000.000,- (bagi rekening yang bonus gironya dihitung dari saldo rata-rata harian). 3. Saldo hariannya di atas Rp 1.000.000,- (bagi rekening yang bonus wadiahnya dihitung dari saldi harian).
Besarnya saldo giro yang mendapatkan bonus wadiah dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: 1. Rp 1.000.000 s.d Rp 50.000.000 2. Rp 50.000.000 s.d Rp 100.000.000 3. Di atas Rp 100.000.000 Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus giro wadiah adalah sebagai berikut: 1. Bonus wadiah atas dasar saldo terendah Tarif bonus wadiah x saldo terendah bulan ybs 2. Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian Tarif bonus wadiah x saldo rata-rata harian bulan ybs 3. Bonus wadiah atas dasar saldo harian Tarif bonus wadiah x saldo harian ybs x hari efektif Dalam memperhitungkan pemberian bonus wadiah tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
Tarif bonus wadiah merupakan besarnya tarif yang diberikan bank sesuai ketentuan.
Saldo terendah adalah saldo terendah dalam satu bulan.
Saldo rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil sebenarnya menurut bulan kalender. Misalnya, bulan Januari 31 hari, bulan Februari 28/29 hari, dengan catatan satu tahun 365 hari.
Saldo harian adalah saldo pada akhir hari.
Hari efektif adalah hari kalender tidak termasuk hari tanggal pembukuan atau tanggal penutupan, tapi termasuk hari tanggal tutup buku.
Dana giro yang mengendap kurang dari satu bulan karena rekening baru dibuka awal bulan atau ditutup tidak pada akhir bulan tidak mendapatkan bonus wadiah, kecuali apabila perhitungan bonus wadiahnya atas dasar saldo harian.
Deposito
11.7 DEFINISI DEPOSITO Deposito adalah sejenis jasa tabungan yang biasa ditawarkan oleh bank kepada masyarakat. Deposito biasanya memiliki jangka waktu tertentu di mana uang di dalamnya tidak boleh ditarik nasabah. Deposito merupakan salah satu produk penghimpunan dana (funding) dalam perbankan syariah. Yang dimaksud deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada
waktu-waktu tertentu menurut perjanjian antara nasabah dan bank yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan deposito syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan perinsip syari‘ah sebagaimana yang telah difatwakan oleh Dewan Syari‘ah Nasional MUI bahwa deposito yang dibolehkan oleh islam adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah yang termaktub dalam fatwa nomor 03/DSN-MUI/IV/2000. Dalam hal ini, bank syari‘ah bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) sedangkan nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, Bank syari‘ah dapat melakukan berbagai macam usaha selagi usaha tersebut tidak bertentangan dengan prinsip syari‘ah serta berhak untuk mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga. Dengan demikian, Bank syari‘ah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai wali amanah, yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya. Disamping itubank syari‘ah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keberuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar berbagai aturan syari‘ah. Dari hasil pengelolaan dana , bank syari‘ah akan membagihasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah ditentukan dan disepakati dalam akad pembukaaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila terjadi adalah mismanagement (salah urus), bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak pemilik dana terdapat dua bentukmudharabah, yakni :
Mudharabah Mutlaqah ( Unrestricted Investment Account (URIA) ) Dalam deposito URIA, pemilik dana tidak memberikan batasan atau persyaratan tertentu
kepada bank syari‘ah dalam mengelola investasinya, baik berkaitan dengan tempat, cara maupun objek investasinya. Pembayaran bagi hasil deposito URIA dapat dilakukan dengan dua metode, Anniversary Date dan End of Month
Mudharabah Muqayyadah ( Restricted Investment Account (RIA) ) Berbeda dengan URIA, deposito ini tidak memberikan kebebasan kepada bank baik
berkaitan dengan tempat, cara maupun objek investasinya karena, pemilik dana memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada bank syari‘ah. Dalam menggunakan dana deposito RIA terdapat dua metode yakni : pertama,cluster pool of fund yaitu penggunaan dana untuk beberapa proyek dalam suatu jenis industri bisnis. Kedua,specific product yaitu penggunaan dana untuk suatu proyek tertentu.
◦ Contoh Perhitungan bagi hasil dalam deposito syari‘ah Deposito Rahman sebesar Rp 10.000.000,- berjangka waktu 1 bulan.Perbandingan bagi hasil 40:60. Bila dianggap total deposito semua deposan adalah Rp 200.0000.0000,- dan pendapatan bank yang dibagi hasilkan untuk seluruh deposan adalah Rp 3.000.000,- maka bagi hasil yang didapat oleh Rahman adalah:Rp 10.000.000,-/ Rp200.000.000,- xRp 3.000.000,x60%=Rp 9.000 11.7.1 PRINSIP – PRINSIP, TUJUAN DAN MANFAATNYA Dalam deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah DSN MUI menentukan beberapa prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam menjalankan produk ini :
Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari‘ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan. Adapun yang menjadi tujuan dan manfaatnya yaitu :
Tujuan: 1.
Bagi Bank; Sumber pendanaan bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing dengan jangka waktu tertentu yang lebih lama dan fluktuasi dana yang relatif rendah.
2.
Bagi Nasabah; Alternatif investasi yang memberikan keuntungan dalam bentuk bagi hasil.
Manfaat: 1.
Membantu perencanaan program investasi
2.
Bagi hasil yang kompetitif,yang dapat menambah pokok deposito,di ambil tunai, dipindah bukukan atau di transfer ke bank lain
3.
Dana aman dan terjamin
11.7.2 Landasan Hukum Yang dijadikan landasan syari‘ah dalam deposito mudharabah yaitu: Al Qur‘an surat Al Muzammil ayat 20 dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Muzammil ayat 20).
2. Hadist a. Diriwayatkan oleh Thabrani dan Ibnu Abbas: ْ ت ُإِ َراُ َدفَ َغ ْ َبُان َؼجَّبطُ ُُْثٍُ ُ َػ ْج ِذ ْ ََكبٌَ ُ َعٍِّ ُذ َ عب َسثَخًُاِ ْشزَ َش َغُ َػه َُُ َٔال،ُٔالٌََُ ُْ ِض َل ُثِ ُِّ َٔا ِدًٌب،ا َ ُىُصب ِحجِ ِّ ُأَ ٌْ ُالٌََُ ْغه َ َ بل ُ ُي َ ًَ ُان ِ ُِّان ًُطَه َ ًك ُثِ ُِّثَحْ ش ْ يُثِ ُِّدَاثَّخًُ َرادَ ُ َكجِ ٍذُ َس ًَُُٔ َعهَّ َىُفَأَ َجبصَ ُُِ(سٔاُِانطجشا َ ُُِفَجَهَغَُشَشْ غُّ ُُ َسعُْٕ َلَُّللا، ًٍَِ ظ َ ُ َُفَإ ِ ٌُْفَ َؼ َمُ َرنِك،غجَ ٍخ َ ٌَ ْشز َِش َ ِّ ِصهَّىَُّللاُُ َػهَ ٍْ ُِّ َٔآن ُ .)فىُاألٔعػُػٍُاثٍُػجبط ―Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepadamudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.‖ (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
b. Diriwayatkan oleh ibnu abbas: bahwasanya sayyidina abbas jikalau memberikan dana kemitra usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak yang berparu-paru basah, jikalau menyalahi perturan maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikannyalah syaratsyarat tersebut ke Rasulullah SAW, dan Rasul pun memperkenankannya c. Hadist Nabi riwayat Ibnu Majah: ْ ُُٔخَ ْهػ، ْ ٍَّ ِٓ ٍْ ُِثَالَسُف:ل ُذُالَُنِ ْهجٍَ ِْغ َُ ُصهَّىَُّللاُُ َػهَ ٍْ ِّ ُ َٔآنِ ُِّ َٔ َعه َّ َى ُلَب َ ُ َٔ ْان ًُمَب َس،ُاَ ْنجَ ٍْغُُإِنَىُأَ َج ٍم:ُُانجَ َش َك ُخ َ ًَّ ِأَ ٌَُّانَُّج ِ ٍْ َُانجُشِّ ُثِبن َّش ِؼٍ ِْشُنِ ْهج َ ُ ظخ ُ )(سٔاُِاثٍُيبجُّػٍُصٍٓت ―Nabi bersabda, ‗Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah(mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.‘‖ (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
3. Ijma Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma‘ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838)
4. Fatwa DSN: Dewan Syari‘ah Nasional MUI Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000
11.7.3 APLIKASI
nasabah mengajukan permohonan pembukaan deposito
nasabah mengisi formulir yang diberikan pihak bank
nasabah memenuhi persyaratan yang diberikan pihak bank
setelah persyaratan dipenuhi bank akan memberikan tanda bukti kepemilikan deposito (surat berharga deposito).
11.8 PROSPEK, KENDALA DAN STRATEGI Krisis moneter dan krisis global yang terjadi belum lama ini berimbas kepada sektor perbankan nasional. Sektor perbankan syariah merupakan sektor perbankan yang mengalami sedikit dampak dari krisis moneter dan krisis global. Dalam rangka membangun kembali sistem perbankan yang sehat guna mendukung pemulihan perekonomian nasional, pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan khususnya untuk mendorong perkembangan bank syariah. Pemerintah telah menerbitkan UU No. 10 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. Dengan adanya undang-undang perbankan syariah akan memberikan ruang gerak yang luas serta menambah citra baik bagi lembaga-lembaga keuangan yang berbasis syari‘ah sehingga perkembangan produk-produk perbankan akan mengalami kemajuan yang positif termasuk didalamnya deposito syari‘ah. Bukan hanya itu besarnya nisbah bagi hasil yang diberikan perbankan syari‘ah kepada nasabah sangat dapat bersaing dengan bunga yang diberikan bank konvensional bahkan nisbah bagi hasil bisa jadi lebih besar diatas bunga yang diberikan oleh perbankan konvensional, factor ini juga menjadi daya tarik tersendiri dari perbankan syari‘ah. Produk deposito juga memiliki prospek yang bagus juga karena memiliki beberapa manfaat diantaranya : 1. Dana aman dan terjamin 2. Pengelolaan dana secara syariah
3. Bagi hasil yang kompetitif 4. Dapat dijadikan jaminan pembiayaan 5. Fasilitas automatic roll over (ARO) Terlepas dari kelebihan-kelebihan yang dapat mendorong kemajuan bank syari‘ah terdapat kendala-kendala yang dapat menghambat perkembangan perbankan syari‘ah di negara ini diantaranya: Kurangnya pendanaan dalam pengembangan produk-produk perbankan syari‘ah Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap deposito syariah. Masih terpengaruh oleh BI rate Strategi-strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan produk deposito syari‘ah:
Melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan islam internasional maupun kekuatan ekonomi lainnya dalam rangka investasi.
Meningkatkan kualitas sumber daya insani (SDI), agar memiliki menjadi insan yang unggul.
Melakukan pengembangan pasar dengan membuka jaringan layanan dan kantor cabang yang baru.
Melakukan pengembangan produk melalui penambahan fitur dan fasilitas produk yang berbasis teknologi.
Peningkatan pangsa pasar dengan melakukan edukasi pasar, terutama kepada pasar mengambang (floating market). Disamping itu mengoptimalkan jaringan kantor cabang yang ada dengan melakukan pemasaran yang lebih agresif melalui peningkatan promosi dan dukungan terhadap kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan.
11.9 KESIMPULAN
Giro Menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.Deposito adalah sejenis jasa tabungan yang biasa ditawarkan oleh bank kepada masyarakat. Deposito biasanya memiliki jangka waktu tertentu di mana uang di dalamnya tidak boleh ditarik nasabah.
Tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak miliknya.
Deposito syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan perinsip syari‘ah sebagaimana yang telah difatwakan oleh Dewan Syari‘ah Nasional MUI bahwa deposito
yang dibolehkan oleh islam adalah deposito yang berdasarka prinsip mudharabah yang termaktub dalam fatwa nomor 03/DSN-MUI/IV/2000. Soal Latihan Apa yang anda ketahui tentang Giro dan aplikasinya dalam perbankan syariah? Apa yang anda ketahui tentang tabungan dan aplikasinya dalam perbankan syariah? Apa yang anda ketahui tentang deposito dan aplikasinya dalam perbankan syariah? Apa perbedaan antara wadi‘ah yad amanah dan wadia‘ah yad dlamanah beserta aplikasinya di perbankan syariah? Dari kedua produk wadi‘ah tersebut, manakah yang lebih sering di gunakan nasabah bank syariah? Apa alasannya?
Daftar Pustaka
Kasmir, 2001,Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,Raja Grafindo Persada, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir dan Murniati, Rilda, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Ascarya dan Yumanita, Diana, 2005, Bank Syariah: Gambaran Umum, PPSK, Jakarta. Suyatno, Thomas, 1994, Kelembagaan Perbankan,Gramedia,Jakarta.
BAB XII PERANCANGAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA BANK SYARIAH Dengan kata lain, pada dasarnya, sistem hukum nasional Indonesia telah memberikan jaminan kebebasan bagi setiap inividu untuk menentukan sendiri hukum apa yang bisa diberlakukan bagi dirinya, terutama yang berkaitan dengan aktivitas keperdataan. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dalam menentukan isi (materi) yang disepakati para pihak yang melakukan hubungan hukum, cara-cara pelaksanaan, serta penyelesaiannya jika terjadi sengketa. Oleh karena itu, tidak ada halangan sedikitpun jika kaum muslimin menghendaki pemberlakuan syariah Islam dalam hubungan keperdataan di antara sesama mereka. Tujuan mempelajari bab ini adalah memahami Perancangan Perjanjian Pembiayaan Bank Syariah
12.1 PENDAHULUAN Jauh sebelum dikeluarkannya undang-undang perbankan yang mengandung aturan tentang aktivitas perbankan syariah, penerapan syariah Islam dalam tata hukum positif di Indonesia sebenarnya telah memperoleh tempat yang cukup signifikan. Hal ini setidaknya terliht pada dua hal, yaitu: Konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29 ayat 2. Pengertian ibadah dalam pasal ini, menurut pandangan Islam, tidak hanya mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya (ibadah mahdha), tetapi juga mencakup hubungan antara sesama manusia (muamalah), termasuk aktivitas ekonomi. KUH Perdata Pasal 1338 menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihk atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang serta harus dilaksanakan dengan itikad baik.
12.2 HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK SYARIAH DAN NASABAH Penerapan hukum syariah dalam konteks hukum positif tersebut juga dapat diwujudkan dalam kegiatan perbankan syariah. Sebagaimana umumnya, setiap transaksi antara bank syariah dengan nasabah, terutama yang berbentuk pemberian fasilitas pembiayaan, selalu dituangkan dalam suatu surat perjanjian. Berkaitan dengan hal ini, para pihak yang melakukan hubungan hukum, yaitu bank syariah dan nasabah, dapat memasukkan aspek-aspek syariah dalam konteks hukum positif Indonesia sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak ini harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, baik menurut syariah maupun KUH Perdata Pasal 1320, yaitu:
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Mengenai suatu pokok perjanjian tertentu.
Mengenai suatu sebab yang tidak dilarang. Dengan kata lain, jika bank syariah dan nasabah membuat perjanjian yang bentuk formalnya
didasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata, tapi isi, materi, atau substansinya didasarkan atas ketentuan syariah, maka perjanjian tersebut dapat dikatakan sah, baik dilihat dari sisi hukum nacional maupun dari sisi syariah. Pada praktiknya, penyusunan suatu perjanjian antara bank syariah dengan nasabah, dari sisi hukum positif, selain mengacu kepada KUH Perdata, juga harus merujuk kepada UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sedangkan, dari sisi syariah, para pihak tersebut berpedoman kepada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
12.2 PEMBIAYAAN SYARIAH DALAM PERSPEKTIF LEGAL FORMAL Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tidak terdapat perbedaan definisi yang signifikan antara kredit dengan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Kredit didefinisikan sebagai, “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Sedangkan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah didefinisikan sebagai, “Penyediaan uang
atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.” Kedua definisi tersebut hanya dibedakan pada kata kredit diganti dengan kata pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, kata pinjam-meminjam dihilangkan, kata peminjam untuk melunasi hutangnya diganti dengan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut, dan akhirnya kata bunga diganti dengan imbalan atau bagi hasil. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan bagi hasil (mudharabah), jual beli (murabahah), dan nama-nama akad fiqih lain yang selama ini menjadi kosakata yang akrab digunakan oleh perbankan syariah? Apakah akad-akad fiqih tersebut merupakan prinsip atau jenis perjanjian bank syariah? Ketika berbicara tentang penerapan akad-akad syariah, bank syariah harus mengacu pada hukum positif yang ada. Menurut UU No 10/1998 dan UU No 23/1999, akad-akad fiqih tersebut adalah prinsip, bukan jenis perjanjian bank syariah. Dalam paradigma ini, bank syariah memberikan fasilitas pembiayaan, bukan menjual atau menyewakan suatu barang. Akad jual beli atau sewamenyewa hanyalah prinsip yang mendasarinya. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logisnya, dalam surat perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah selayaknya tidak menggunakan istilah-istilah perjanjian jual-beli atau sewa-menyewa, melainkan perjanjian pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah¸ ijarah, dan sebagainya. Sudah saatnya kita membedakan tataran berpikir fiqih dengan tataran berpikir hukum positif. Dengan kata lain, ketika berbicara bank syariah, terdapat two level of playing field, yaitu sharia level dan legal level. Hal ini bukan sebagai wujud sekularisasi hukum, sebaliknya sebagai upaya mewarnai hukum positif dengan nilai-nilai syariah. Memahami sistematika berpikir hukum posiif akan memberikan banyak celah untuk memodifikasinya sesuai dengan nilai-nilai syariah. Untuk saat ini, paradigma prinsip memberikan banyak keleluasaan untuk mewarnai perbankan syariah dengan berbagai akad fiqih; menghidupkan kembali prinsip syariah dalam berbagai transaksi perbankan. Sebaliknya, kecerobohan mengambil begitu saja akad-akad fiqih untuk dijadikan hukum positif tanpa mempertimbangkan secara komprehensif seluruh bangunan hukum yang ada, dapat berakibat menghambat perkembangan syariah itu sendiri.
12.3 ANTARA AKAD DAN PERJANJIAN Sebagaimana telah disinggung, ketika berbicara bank syariah dalam konteks hukum positif
Indonesia, akan terdapat two level of playing fields; sharia level and legal level. Sebagai konsekuensinya, satu istilah hukum akan dapat menimbulkn dua arti yang berbeda pada level yang berbeda (the same Word may have two different meanings in different level). Dalam perspektif hukum positif (legal level), akad sama dengan perjanjian. Hal ini tentu berbeda dengan perspektif syariah. Pada sharia level, akad tidak selalu berarti perjanjian. Suatu akad baru dapat dikatakan sebagai perjanjian jika dan hanya jika kesepakatan antara bank syariah dengan nasabah terjadi ketika kualitas, kuantitas, dan harga objek transaksi serta waktu penyerahan telah diketahui. Sementara itu, dalam hal pembiayaan yang berbentuk line facility, syariah memandang perjanjian tersebut bukan termasuk akad, melainkan hanya berbentuk wa‟ad (promise). Dalam konteks ini, akad baru akan terjadi pada setiap saat dropping pembiayaan yang diwujudkan dalam bentuk SPRP ( Surat Permohonan Realisasi Pembiayaan) dari nasabah dan dijawab oleh bank dalam bentuk Surat Persetujuan Pencaira Pembiayaan. Dengan kata lain, dalam shari level, akad tidak selalu bewujud surat perjanjian, melainkan juga bisa berbentuk surat dokumen pencairan. Begitu pula halnya dengan surat perjanjian, ia bisa mencerminkan suatu akad, bisa pula hanya mencerminkan sebuah wa‟ad (promise). Istilah hukum yang sama dapat mempunyai dua arti yang berbeda, tergantung dari perspektif level apa yang digunakan.
Tabel 19.1. Perbandingan Antara Akad dan Perjanjian dalam Perspektif Syariah dan Hukum Positif
HUKUM SYARIAH
HUKUM POSITIF Memorandum
of
Understanding
(MoU) Perjanjian kerjasama antara bank Wa‟ad
dengan dealer. Contoh: Dealer Financing Perjanjian Line Facility (Revolving Facility) Akad
perjanjian
Line
Facility
plus
Perjanjian pada setiap kali dropping yang Akad
ditandai
dengan
Surat
Permohonan
Realisasi Pembiayaan dari Nasabah dan dijawab oleh Bank dalam bentuk Surat
Persetujuan Pencairan Pembiayaan.
12.4 PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN SUATU KONTRAK PERJANJIAN Dari uraian di atas, telah jelas bahwa dalam membuat surat perjanjian, tanpa mengesampingkan nilai-nilai syari‘ah, Bank syari‘ah tetap harus mengacu pada hukum positif. Dengan demikian langkah-langkah penyusunan serta bentuk formal surat perjanjian Bank Syari‘ah tidak akan jauh berbeda dengan surat bank lainnya. Secara umum, dalam pembuatan surat kontrak perjanjian, terdapat beberapah hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut. Penguasaan atas aspek bisnis kontrak Para pihak harus mengetahui, memahami, serta menguasai aspek bisnis dari kontrak yang akan mereka sepakati, baik dari sisi jenis, karakteristik hingga risiko bisnis tersebut. Indentifikasi pihak-pihak dalam kontrak. Masing-masing pihak harus melakukan indentifikasi terhadap para pihak yang terlibat dalam kontrak yang akan disepakati, apakah yang terlibat dalam perjanjian tersebut adalah suatu badan hukum atau perseorangan.
Pengenalan karakteristik pihak-pihak dalam kontrak
Para pihak harus mengetahui serta memahami karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Penguasaan Regulasi
Para pihak harus mengetahui, memehami, serta menguasai seluruh regulasi yang terkait dengan isi kontrak yang akan mereka sepakati.
Penggunaan tenaga lain
Para pihak harus mempertimbangkan dan memperhitungkan kemungkinan penggunaan tenaga lain yang dapat menunjang terlaksananya kontrak mereka dengan baik. Setelah mengetahui dan memahami beberapa hal yang terkait sebelum membuat suatu kontrak, langkah selanjutnya adalah para pihak melakukan beberapa tahap pembuatan kontrak, yaitu:
Kesepakatan Para Pihak
Dalam tahapan ini, para pihak berperan langsung untuk mendapatkan kesepakatan awal tentang apa yang akan disepakati oleh kedua belah pihak sebelum menuangkannya dalam sebuah kontrak.
Dalam tahap ini apa yang disepakati masih belum mengikat secara hukum (MOU, LoI, dan lain-lain)
Kesepakatan harus disepakati oleh sebuah kontrak. Apabila kesepakatan tidak dilaksanakan maka para pihak tidak perlu membuat kontrak karena sudah terjadi wanprestasi awal.
Negoisasi Rancangan Kontrak
Penandatanganan Kontrak
Pelaksanaan Kontrak
Sengketa Kontrak (bila ada)
Penyelesaian musyawarah, bila tidak dicapai baru kemudian melakukan langkah selanjutnya.
Penyelesaian melalui Forum Arbitase atau Pengadilan Umumnya, setiap kontrak perjanjian mempunyai anatomi sebagai berikut: Pembukaan (Preamble) Bagian ini terdiri dari kata Pembukaan, Penyingkatan Judul Perjanjian, Tempat, dan Tanggal Perjanjian, serta mengandung dua hal. Komparisasi atau suatu bagian di mana pihak-pihak yang melakukan kontrak disebutkan dan diwakili oleh pihak-pihak yang berhak. Di dalam komparisasi ini, para pihak harus diwakili secara benar untuk menghindari terjadinya disputes dikemudian hari dan, jika diperlukan, disyaratkan adanya pembuatan konfirmasi bahwa PT yang bersangkutan dalam tahap pengesahan. Fungsi komparisasi ini adalah sebagai berikut.
Menjelaskan identitas para pihak yang membuat oerjanjian
Dalam kedudukan apa yang bersangkutan bertindak.
Berdasarkan apa kedudukannya tersebut.
Bahwa ia cakap dan berwenang melakukan tindakan hukum yang dinyatakan dalam akta.
Orang tersebut mempunyai hak untuk melakukan tindakan hukum yang dinyatakan dalam akta.
Premise (whereas claus) atau recital. Badan Kontrak, terdiri dari:
1. Definisi 2. Substansi kontrak, yaitu maksud dari pihak melakukan kontrak, misalnya pemberian fasilitas berdasarkan mudharabah, ijarah atau IMBT. 3. Hak dan kewajiban umum, yaitu hak dan kewajiban yang lahir tergantung dari jenis dan kontraknya. 4. Hak dan kewajiban umum, yaitu hak dan kewajiban yang mesti ada pada setiap kontrak pada umumnya, sehingga harus ditaati.
5. Pernyataan dan jaminan. Bagian ini merupakan suatu dasar yang digunakan suatu pihak untuk melakukan prestasinya. Dalam hal perjanjian dengan badan hukum, bagian ini memuat pernyataan bahwa perusahaan tersebut harus sudah sah, sudah diberi hak dan wewenang oleh pihak perusahaan serta bank minta jaminan pada debitur bahwa dengan penandatanganan kontrak ini tidak tergantung pada kontrak lain. 6. Pernyataan afirmative (affirmative covenants), yaitu pernyataan yang menegaskan keadaan para pihak yang terlibat dalam perjanjian. 7. Pernyataan negative (negative covenants), yaitu pernyataan yang berisi larangan-larangan. Misalnya, nasabah tidak boleh melakukan hal berikut. Nasabah tidak boleh melakukan merger atau konsolidasi selama berutang karena akan dikhawatirkan menimbulkan disputes tentang pihak-pihak yang akan menanggung utang setelah merger. Dilarang menjual asset perusahaan yang akan mempengaruhi jalannya perusahaan. Melakukan pinjaman baru tanpa izin bank. Tidak menjaminkan asset perusahaan kecuali pada bank sendiri. Memberikan pembiayaan kepada anak perusahaan. Membagi deviden, sepanjang persetujuan dari bank.
Pemenuhan prasyarat (conditions precedent)
Wanprestasi. Pada setiap kontrak, terdapat dasar-dasar tertentu untuk pemutusan perjanjian, tergantung dari tipe-tipe kontraknya. Sanksi-sanksi atas wanprestasi dapat berupa ganti rugi, pembatalan perjanjian atau peralihan resiko.
Pemutusan. Dengan dasar wanprestasi tersebut, bank dapat melakukan pemutusan. Akan tetapi, pada umumnya, pemutusan ini sendiri sulit dilakukan. Sebagai solusinya bank biasanya memberikan bantuan manajemen pada nasabah atau memotong utang yang seharusnya dibayar.
Pilihan hukum. Perjanjian ini tunduk pada hukum Republik Indonesia. Jika berkaitan dengan transaksi syari‘ah, ketentuan-ketentuan syari‘ah harus dicantumkan secara jelas dalam pasal-pasal perjanjian. Bukan dengan mencantumkan kalimat ―Perjanjian ini tunduk kepada hukum Republik Indonesia dan hukum syari‘ah‖.
Pilihan Yurisdiksi. Yakni, memilih badan arbitrase atau pengadilan untuk menyelesaikan perselisihan jika muncul dikemudian hari. Kontrak tidak boleh menunjuk badan arbitrase dan pengadilan secara bersamaan.
Penyelesaian perselisihan.
Penutup. Bagian ini terdiri dari dua hal, sebagai berikut : a. Testimonium Clause, dan b. Tanda Tangan (Attestation) 12.5 PERBANDINGAN AKAD-AKAD PADA PERBANKAN SYARI’AH
Sebagai salah satu konsekuensi dari perbedaan interprestasi tentang paradigma penerapan akad fiqih, apakah prinsip-prinsip atau jenis perjanjian, sampai saat ini belum ada keseragaman di antara bank-bank syari‘ah dalam membuat perjanjian pembiayaan syari‘ah. Bahkan, bisa jadi, hal ini sangat kecil kemungkinannya mengingat keragaman yang muncul juga disebabkan banyak faktor, seperti perbedaan interprestasi hukum dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa perbandingan penerapan akad-akad dalam pembiayaan syari‘ah. Dalam perbandingan ini salah satu UUS Bank Syari‘ah merupakan representasi dari bank syari‘ah yang menganut paradigma akad fiqih sebagai prinsip dan UUS Bank Syari‘ah lainnya merupakan representasi dari Bank Syari‘ah yang menganut paradigm akad fiqih sebagai jenis perjanjian.
Jenis Akad Pembiayaan: Murabahah Pasal
Nama Bank UUS Bank Syari‘ah A
UUS Bank Syari‘ah B
1.
Definisi
Transaksi Jual Beli
2.
Deskripsi jenis pembiayaan dan akad yang
Kuasa Pembelian
digunakan 3.
Jumlah Pembiayaan
Pengakuan Utang
4.
Syarat-syarat penarikan akad yang digunakan
Jangka Waktu dan Angsuran
5.
Jangka waktu dan syarat pembayaran
Beban Biaya=Biaya
6.
Denda Keterlamabatan
Jaminan
7.
Tempat Pembayaran
Kewajiban Penerima Pembiayaan
8.
Biaya-Biaya
Pembatasan terhadap tindakan Penerima Pembiayaan
9.
Jaminan
Peristiwa cidera janji
10.
Wanprestasi
Penyelesaian perselisihan
11.
Akibat Wanprestasi
Hukum yang mengatur dan domisili hukum
12.
Pernyataan Nasabah
Addendum
13.
Pembatasan terhadap tindakan nasabah
Lampiran: Data detail objek
14.
Risiko
Murabahah
15.
Asuransi
_
16.
Pengawasan dan Pemeriksaan
_
17.
Penyelesaian Perselisihan
_
18.
Pemberitahuan
_
19.
Penutup
_ Jenis Akad Pembiayaan: IMBT Nama Bank
Pasal
UUS Bank Syari‘ah A
UUS Bank Syari‘ah B
UUS Bank Syari‘ah C
1.
Definisi
Definisi
Definisi
2.
Tujuan Pembiayaan
Objek IMBT
Transaksi SewaMenyewa
3.
Jangka Waktu Perjanjian
Tata cara penyerahan
Jangka Waktu dan
dan Pembayaran Imabalan
Objek IMBT
Pembayaran Angsuran Sewa
4.
5.
Biaya-Biaya dan Cara
Jangka Waktu dan
Pembayaran
Besarnya Ujrah
Jaminan
Berakhirnya IMBT
Beban Biaya-Biaya
Hak dan Kewajiban Atas Barang
6.
Pengawasan
Biaya dan Denda
Berakhirnya Perjanjian
7.
Pemeliharaan, Perbaikan
Pajak
Wanprestasi
Marjin Deposit dan
Berakhirnya
Pembayaran
Perjanjian
dan Penggunaan 8.
9.
10.
Risiko
Asuransi
Pernyataan dan Jaminan
Hak Opsi Nasabah untuk Pemindahan Membeli
Kepemilikan
Pengalihan Objek IMBT
Penyelesaian
Perselisihan 11.
Cidera Janji dan Akibatnya Agunan Hukum
Hukum yang Mengatur dan Domisili Hukum
12.
Pelepasan Kepentingan
asuransi
Addendum
Kuasa-Kuasa
Lampiran Surat
Bank atas Barang/Objek Perjanjian di Akhir jangka Waktu Perjanjian 13.
Penyelesaian Perselisihan
Pernyataan 14.
Pemberitahuan
Pernyataan dan Jaminan
_
nasabah 15.
Penutup
Pembatasan Tindakan
_
Nasabah 16.
Lampiran
Peristiwa Cidera Janji
_
4. Jumlah Imbalan 5 tahun pertama dan Rumus Perhitungan Penetapan Imbalan 5. Jadwal Pembayaran Imabalan 17.
_
Akibat Cidera janji
_
18.
_
Penyelesaian
_
Perselisihan 19.
_
Ketentuan Tambahan
_
20.
_
Surat menyurat
_
21.
_
Lain-lain
_
Jenis Akad Pembiayaan: Isthishna Nama Bank
Pasal
UUS Bank Syari‘ah A
UUS Bank Syari‘ah B
1.
Definisi
Definisi
2.
Pengadaan Barang Berdasarkan Prinsip
Transaksi Isthisna
Istishna 3.
Jumlah kewajiban nasabah
Penambahan atau Perubahan pada mashnu
4.
Syarat-Syarat Penarikan pembiayaan
Penyerahan Mashnu
5.
Jangka Waktu dan Cara pembayaran
Biaya-Biaya
6.
Denda Keterlamabatan
Jaminan
7.
Tempat Pembayaran
Kewajiban Mustashni
8.
Biaya Pelaksanaan Perjanjian
Pembatasan Terhadap Tindakan Mustashni
9.
Jaminan
Peristiwa Cidera Janji
10.
Cidera Janji
Pemeriksaan Mashnu dan resiko
11.
Akibat Cidera janji
Force Majeur
12.
Pernyataan Nasabah
Penyelesaian Perselisihan
13.
Pembatasan Terhadap Tindakan Nasabah
Hukum yang Mengatur dan Domisili Hukum
14.
Resiko
Addendum
15.
Asuransi
_
16.
Pengawasan dan pemeriksaan
_
17.
Penyelesaian Perselisihan
_
18.
Pemberitahuan
_
19.
Penutup
_
Jenis-Jenis Akad Pembiayaan Isthishna Nama Bank
Pasal
UUS Bank Syari‘ah A
UUS Bank Syari‘ah B
1.
Definisi
Definisi
2.
Jumlah Pembiayaan dan Penggunaan
Fasilitas Pembiayaan
3.
Jangka Waktu
Tujuan Penggunaan Pembiayaan
4.
Syarat-Syarat Penarikan
Jangka Waktu Pembiayaan
5.
Tata Cara Penarikan
Nisbah Bagi Hasil
6.
Nisbah dan Tata Cara Perhitungan
Pembayaran kembali Pembiayaan
Bagi Hasil
dan pembayaran Keuntungan
7.
Risiko Usaha Mudharabah
Jaminan
8.
Pembayaran kembali Pembiayaan dan
Beban Biaya-Biaya
Bagi Hasil 9.
Biaya Pelaksanaan Perjanjian
Kewajiban Mudharib
10.
Jaminan
Pernyataan Mudharib
11.
Kewajiban Nasabah
Pemeriksaan
12.
Pernyataan Nasabah
Hak Shahibul Mal untuk mengakhiri Pembiayaan
13.
Cidera Janji
Penyelesaian Perselisihan
14.
Pelanggaran
Hukum yang mengatur dan domisili hukum
15.
Pengawasan dan Pemeriksaan
Addendum
16
Asurasi
_
17
Force Majeur
_
18
Penyelesaian Perselisihan
_
19
Pemberitahuan
_
20
Penutup
_
12.6 KESIMPULAN Dalam maklah ini dapat disimpulkan bahwa ternyata sebelum dikeluarkannya undangundang perbankan yang mengandung aturan tentang aktivitas perbankan syariah, penerapan syariah Islam dalam tata hukum positif di Indonesia sebenarnya telah memperoleh tempat yang cukup signifikan. dapat kita lihat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat 2. Pengertian beribadah dalam pasal ini, menurut pandangan Islam, tidak hanya mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya (ibadah mahdhah), tetapi juga mencangkup hubungan antara sesama manusia (muamalah), termasuk aktivitas ekonomi. KUH Perdata Pasal 1338 menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang serta harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Hubungan Hukum antara Bank Syariah dengan Nasabah diwujudkan dalam kegiatan bank syariah. diman setiap transaksi antara bank syariah dengan nasabah, terutama yang berbentuk pemberian fasilitas pembiayaan, selalu dituangkan dalam suatu surat perjanjian. Pembiayaan Syariah dalam Perspektif Legal formal dapat kita lihat dari adanya two level of playing fields, yaitu sharia level dan legal level. Hal ini bukan sebagai wujud sekularisasi hukum , sebaliknya sebagai upaya mewarnai hukum positif akan memberikan banyak celah untuk memodifikasinya sesuai dengan nilai-nilai syariah. Saat ini, paradigma prinsip memberikan banyak keleluasaan untuk mewarnai perbankan syariah dengan berbagai akad fiqh; menghidupkan kembali prinsip syariah dalam berbagai transaksi perbankan. Sebaliknya, kecerobohan mengambil begitu saja akad-akad fiqh untuk dijadikan hukum positif tanpa mempertimbangkan secara komprehensif seluruh bangunan hukum yang ada, dapat berakibat menghambat perkembangan perbankan syariah itu sendiri.
PERTANYAAN DISKUSI
Apakah perbedaan antara akad dan perjanjian?
Sebutkan dan jelaskan hal-hal yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam membuat suatu kontrak perjanjian!
Bagaimana hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah?
Sebutkan perbandingan akad pada perbankan syariah dalam bentuk IMBT!
Jelaskan perbedaan antara kredit dengan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah!
Apakah UUS itu?
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adimarwan. Bank Islam: análisis fiqih dan keuangan/Adiwarman Karim.— Ed. 3— 5.—Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Syafi‘i Antonio, Muhammad. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik/Muhammad Syafi‘i Antonio, penyunting Dadi M.H. Basri, Farida R. Dewi.—Cet.1.— jakarta: Gema Insani Press, 2001.
BAB XIII KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH Dengan diberlakukannya undang-undang No.10 Tahun 1998,perbankan syariah telah mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk menyelanggarakan kegiatan usaha,termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum konvensional untuk membukakan kantor cabang yang khusus melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah.upaya tersebut diharapkan akan mendorong perluasan jaringan kantor,pengembangan pasar uang antara bank syariah,peningkatan kualiatas sumber daya manusia,dan dan kinerja bank syariah,yang pada intinya akan menunjang pembentukan landasan perekonomian rakyat yang lebih kuat dan tangguh. Tujuan mempelajari bab ini adalah mengetahui apa saja kebijakan pemerintah dalam mengembangkan industri perbankan syariah di Indonesia 13.1 PENDAHULUAN Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir sejak diberlakukannya UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan
yang
memberikan
peluang
didirikannya
bank
syariah,perkembangan
bank
syariah,dipandang dari sisi jumlah jaringan kantor dan volume kegiatan usaha masih bisa dikatakan belum memuaskan.oleh karena itu,pemerintah mempunyai keinginan untuk lebih mendorong perkembangan bank syariah di Indonesia. Upaya mendorong pengembangan bank syar`iah dilaksanakan dengan memperhatikan bahwa sebagian ,masyarakat muslim Indonesia pada saat ini sangat menantikan suatu system perbankan syariah yang sehat dan terpercaya untuk mengakomodasi kebutuhan mereka terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.pengembangan perbankan syariah juga ditunjukan untuk meningkatkan mobilitas dana masyarakat yang selama ini belum terlayani oleh system perbankan
konvensional.selain itu sejalan dengan upaya-upaya restrukturisasi
perbankan,pengembangan bank syariah merupaka suatu alternative system pelayanan jasa bank dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya.
13.2 PERMASALAHAN PERKEMBANGAN BANK SYARIAH Bank syariah secara resmi telah diperkenalkan kepada
masyarakat sejak pada tahun
1992,yaitu dengan diberlakukannya UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan.undang-undang ini yang selanjutnya diinterpretasikan dalam berbagai ketentuan pemerintah,telah memberikan peluang seluas-luasnya untuk pembukaan bank-bank yang beroprasi dengan perinsip bagi hasil. Perkembangan bank syariah sampai saat ini belum memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan.baik jaringan maupun volume usaha,dibandingkan dengan pertumbuhan bank konvensioanal, Banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan perbankan syariah,terutama berkaitan dengan penerapan suatu system perbankan yang baru,suatu system yang mempunyai sejumlaah perbedaan prinsip dengan system yang dominan dan telah berkembang pesat di Indonesia,berikut ini dikemukakan beberapa kendala yang muncul sehubungan dengan pengembangan perbankan syariah: Pemahaman masyarakat yang belum tepaat terhadap kegiatan operasional bank syariah. Karena masih dalam tahap awal pengembangan,dapat dimaklumi bahwa pada saat ini pemahaman sebagian besar masyarakat mengenai system dan prinsip perbakan syariah masih belum tepat.pada dasarnya,system ekonomi islam telah jelas,yaitu melarang memperaktikan riba serta akumulasi kekaayaan hanya pada pihak tertentu secara tidak adil.akan tetapi,secara peraktis,bentuk produk dan jasa pelayanaan,prinsip-prinsip dasar hubungan antara bank dan nasabah,serta cara-cara berusaha
yang halal dalam bank
syariah,masih sangat perlu disosialisasikan secara luas. Adanya perbedaan karakteristik produk bank konvensional dengan bank syariah telah menimbulkan adanay keengganan jasa perbankan.keenganan tersebut diakibatkan oleh hilangnya kesempaatan mendapatkan penghasilan tetap berupa bunga dari simpanan.oleh karena itu perlu diinformasikan bahwa penempatan dana pada bank syariah juga dapat memberikan keuntungan financial yang kompetitif,disamping itu,salah satu karakteristik khusus dari hubungan bank dengan nasabah dalam system perbankan syariah adalah adanya moral force dan tuntutan terhadap etika usaha yang tinggi dari semua pihak.hal ini selanjutnya akan mendukung prinsip kehatia-hatian dalam usaha bank maupun nasabah. Peraturan perbankan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodasi operasional bank syariah. Karena adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional antara bank syariah dan bank konvensional,ketentuan-ketentuan perbankan perlu disesuaikan agar memenuhi ketentuan
syariah
sehingga
bank
syariah
dapat
beroprasi
secara
efektif
efesien.ketentuan-ketentuan tersebut antara lain adalah hal-hal yang mengantur:
dan
Instrument yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas,
Instrument moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan pelaksanaan tugas bank sentral.
Standard akuntansi,audit,dan pelaporan,
Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip-prinsip kehati-hatian dan sebagainya.
Ketentuan-ketentuan tersebut sangat diperlukan agar perbankan syariah menjadi elemen dari sisitem moneter yang dapat menjalankan fungsinya secara baik dan mampu berkembang pesat bersaing dengan bank konvensional.
Jaringan kantor bank syariah yang belum luas. Pengembangan jaringan kantor bank syariah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.disamping itu,kurangnya jumlah bank syariah yang ada juga menghambat perkembangan kerja sama antara bank syariah,kerjasama sangat dibutuhkan antara lain berkenaan dengan penempatan dana antara bank dalam hal untuk mengatasi likuiditas.sebagai suatu badan usaha,bank syariah perlu beroprasi dengan sekala yang ekonomis.karenanya,jumlah jaringan kantor bank yang luas juga akan meningkatkan efesiensi usaha.berkembangnya jaringan bank syariah juga diharapkan dapat meningkatkan kompetisi kearah peningkatan kualitas pelayanan dan mendorong inovasi produk dan jasa perbankan syariah. Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bank syariah masih sedikit. Kendala dibidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan syariah disebabkan karena system ini masih belum lama dikembangkan.disamping itu,lembaga-lembaga akademik dan pelatihan dibidang ini sangat terbatas sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman di bidang perbakan syariah,baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank central,masih sangat sedikit.pengembangan sumber daya manusia di bidang perbakan syariah sangat perlu karena keberhasilan pengembangan bank syariah pada level mikro sanagt ditentukan oleh kualitas menejemen dan tingkat pengetahuan serta keterampilan pengelola bank.
13.3 TUJUAN PENGEMBANGAN BANK SYARIAH Langkah yang diambil oleh pemerintah untuk pembangunan kembali system perbankan yang sehat dalam rangka mendukung program pemulihan dan pemberdayaan ekonomi nasional,selain restrukturisasi perbankan,adalah dengan pengembangan system perbankan syariah.tujuan pengembangan perbankan syariah adalah untuk memenuhi hal-hal berikut:
Kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga Dengan diterapkannya system perbangkan syariah yang berdampingan dengan system perbankan konvensional,mobilitasi dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas,terutama dari segmen masyarakat yang selama ini belum dapat tersentuh oleh system perbankan konvensional.
Peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan Dalam prinsip ini,konsep yang diterapkan adalah hubungan antar investor yang harmonos.adapun dalam system konvensional,konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur yang antagonis.
Kebutuhan akan produk dan jasa perbankan unggulan System
perbankan
syariah
memiliki
beberapa
keunggulan
komparatif
berupa
penghapusan pembebanan bunga yang berkesinambungan,membatasi kegiatan spekulasi yang
tidak
produktif,dan
pembiayaan
yang
ditunjukan
pada
usaha-saha
yang
memperhatikan unsure moral (halal)
13.4 STRATEGI PENGEMBANGAN BANK SYARIAH Strategi pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk meningkatkan kompetisi ussaha yang sejajar dengan system perbankan konvensional yang dilakukan secara komprehensif dengan mengacu pada analisa kekuatan dan kelemahan perbankan syariah di Indonesia saat ini.upaya tersebut dilakukan melalui peningkatan keahlian sumber daya manusia,penyempurnaan ketentuan,dan program sosialisasi.fokus utama strategi pengembangan system perbankan syariah meliputi hal-hal sebagai berikut. Penyempurnaan ketentuan Upaya yang dilakukan adalah penyesuaian perangkat dasar undang-undang Bank sentral,undang-undang perbankan,dan penyesuaian perankat-perangkat ketentuan pendukung kegiatan operasional bank syariah,dalam UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan,telah diterapkan pasal-pasal yang membuka peluang penembangan yang lebih luas bagi bank syariah.pasal-pasal dalam undang-undang tersebut yang berhubungan dengan syariah,selanjutnya akan dituangkan dalam-surat-surat keputusan direksi Bank Indonesia yang mengatur seluruh kegiatan operasional bank syariah. Strategi penembangan pengaturan bank syariah diarahkan untuk menciptakan sistem perbankan syariah yang sehat dan dapat berperan sebagai lembaga intermediasi secara optimal dengan dukungan hal-hal berikut.
Struktur perbankan syariah yang dapat mengakomodasi sisi penghimpunan dana dan pembiayaan secara harmonis.untuk itu,pengembangan ketentuan mengenai struktur pelu senantiasa mengacu pada analisis resiko yang meliputi
Struktur permodalan yang kuat
Struktur organisasi dengan sumber daya yang tangguh
Struktur operasional dengan kebijakan dan pelaksanaan usaha yang berlandaskan pada perinsip kehati-hatian dan peraktek perbankan yang sehat.
Sistem pengawasan dan pembiayaan yang efektif dalam rangka mewujudkan iklim usaha yang kondusif serta dapat melindungi kepentingan masyarakat.
Pengembangan jaringan bank syariah Pengembangan jaringan perbankan syariah,terutama ditunjukan untuk menyediakan akses yang lebih luas kepada masyarkat dalam mendapatkan pelayanan jasa perbankan syariah.selain itu,dengan semakin berkembangnya jariangan bank syariah,akan mendukung pembentuakan pasar uang antar bank yang sangat penting dalam mekanisme operasional perbankan syariah sehigga dapat berkembang secara sehat. Pengembangan jaringan perbankan syariah dilakukan melalui cara-cara berikut
Peningkatan kualiatas bank umum syariah dan perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang telah beroprasi
Perubahan kegiatan usaha bank konvensional (total comvertion) yang memiliki kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan perinsip syariah.
Pembukaan kantor cabang syariah (full branch) bagi bank konvensional yang memiliki kondisi usaha yang lebih baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank sesuai prinsip syariah.pembukaan kantor cabang syariah dapat dilakukan dengan tiga cara,yaitu:
Pembukaan kantor cabang dengan mendirikan kantor cabang baru.
Perubahan kantor cabang yang ada menjadi kantor cabang syariah.
Peningkatn status kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang syariah.
Pengembangan piranti moneter. Penyusunan piranti moneter dilakukan dalam rangka mendukung kebijakan moneter dan kegiatan usaha bank syariah.dalam kaitannya dengan kegiata uasaha bank syariah maka pembentukan piranti ini diharapkan dapat membantu pengembangan pasar uang antarbank syariah.
Pelaksanaan kegiatan sosialisasi perbankan syariah.
Kegiatan sosialisai yang dilaksanakan bertujuan untuk memberikan informasi yang lengkap dan
benr
mengenai
kegiatan
usaha
perbankan
syariah
kepada
masyarakat,baik
itu
pengusaha,kelangan perbankan maupuk kalangan masyarakat.sesuai kapasitasnya sebagai otoritas pembinaan dan pengawasan bank,Bank Indonesia dapat menjadi narasumber kegiatan bank syariah.agar sosialisai ini dapat terlaksana dengan baik,diperlukan kerja sama denagn lembagalembaga lai,seperti perguruan tinggi,pera ulama,dewan dakwah,asosiasi,media masa cetak maupun elektronik,atau lembaga-lembaga lainnya yang memiliki kemampuan dan akses yang yang besae dalam penyebarluasan informasi terhadap masyarakat.
13.5 TAHAPAN PENGEMBANGAN BANK SYARIAH Untuk mendukung keberhasilan strategi pengembangan yang telah ditetapkan pemerintah memandang perlu mempersiapkan agenda program pengembangan perbankan syariah yang jelas dan terarah melalui beberapa tahapan.Adapun langkah-langkah yang telah telah dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut
Membentuk komite pengarah,komite Ahli dan komite kerja pengembangan perbankan syariah.komite ini berfungsi sebagai narasumber program pengembangan syariah.Adapun tugas-tugas dari komite tersebut adalah sebagai berikut: Komite pengarah Memberikan pengarahan,baik berupa masukan maupun pertimbangan,terhadap keputusan yang diambil sehubungan dengan strategi pengembangan bank syariah. Komite Ahli Memberikan pertimbangan.saran,dan informasi kepada komite pengarah dan komite kerja mengenai segala aspek yang berhubungan dengan pengembangan bank syariah Komite kerja Mempersiapkan bahan dan usulan serta membantu tindak lanjut pengembangan bank syariah.
Melakukan inventarisasi perangkat ketentuan yang ada serta menyusun ketentuan yang lebih lengkap dan dibutuhkan dalam rangka membentuk iklim perbakan syariah yang bersifat kondusif.selama ini,pengaturan bagi perbankan syariah masih menggunakan kerangka peraturan bagi bank umum konvensional,walaupun secara operasional kedua system perbankan ini berbeda.perangkat ketentuan yang dimaksud meliputi hal-hal berikut.
Perizinan Dengan diberlakukannya UU No.10 tahun 1998,perizinan pendirian bank,termasuk
bank
syariah,berbeda
dalam
kewenangan
Bank
Indonesia.ketentuan
pendirian
bank
syariah,termasuk pembukaan cabang syariah,oleh bank konvensional akan diatur dengan memperhatikan struktur kepemilikan,modal disetor,dan analisis kelayakan ekonomi.analisis kelayakan ekonomi merupakan bentuk pengaturan baru yang diharapkan dapat menjadi sarana yang efektif bagi bank Indonesia dalam melakukan analisis terhadap kelayakan pendirian bank,konversi bank,atau pembukaan kantor cabang syariah,sehingga dapat mewujudkan suatu entry system perbankan nasioanal secara keseluruh.
Prinsip kehati-hatian Pelaksanaan perinsip kehati-hatian bank atau prudential banking regulation masih
tetap landasan penting dalam operasional bank.perinsip kehati-hatian dalam bank syariah meliputi ketentuan tentang kualitas aktiva Produktif (KAP),batas maksimum
pemberian kredit
(BMPK),tingkat kesehatan,pedoman pembiayaan,serta aspek operasional lainnya yang disususn secara bertahap menurut sekala proritas.
Membantu pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia merupaka tulang punggung keberhasilan program perkembangan perbankan syariah.jumlah SDM yang memiliki tingkat keahlian yang memadai masih sangat terbatas.untuk meningkatkan kualitas SDM tersebut,Bank Indonesia telah berperan aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan berikut ini .
Pelatihan operasioanl bank syariah terhadap SDM perbankan yang berminat untuk mengembangkan bank syariah yang dilaksanakan baik oleh Bank Indonesia bekerja sama dengan lembaga pelatihan nasional maupun lembaga pendidikan luar negri.
WorkShop mengenai perbakan syariah:
Islamic banking,membahas masalah yang spesifik seperti ALMA ,investmen Analysis,internasional Trading,dll.
Standard internasional untuk audit dan akuntansi bagi bank syariah (Internasioanl Standard Of Accounting And Auditing Organization for Islamic banks);
System teknologi informasi bagi perbanka islam
Seminar dan diskusi panel:
o
Penge
mbangan perbankan syariah dalam rangka mendukung perekonomian rakyat;
o
Penge mbangan bank berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan UU No.10 Tahun 1998.
o
Kegiatan lainya yang dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan atau press release melalui media massa.
o
Melaksanakan kegiatan sosialisasi perbakan syariah kepada kalangan perbakan,masyarakat umum,dan ulama.upaya sosialisasi ini sanagt penting mengingat masih sangat terbatasnya informasi mengenai prinsip dan operasional bank syariah yang dimiliki masyarakat,bahkan dikalang perbankan sekalipun
13.6 KESIMPULAN Dapat simpulkan bahwa peraturan yang dibuat pemerintah akan adanya pengembangan dan pembentukan SDM
perbankan syariah sangat dibutuhkan,kerena diketahui bahwa perbangkan
syariah adalah salah satu elemen terpenting dalam perkembangan ekonomi di bangsa ini,jadi sudah sewajarnya pemerintah memperhatikan segala kebutuhan atas kepestian peraturan UU.tentang perbankan,agar perbakna syariah dapat mengepakan sayapnya di kancah perekonomian bangsa ini.dan dengan segala peraturan yang ada akan perbakan syariah,diharapkan memberikan kontribusi yang real terhedap perbankan syariah.
Soal Latihan
Apa permasalahan-permasalahan perbankan syariah dalam perkembangan nya? Apa tujuan pengembangan Bank syariah? Apa strategi pengembangan syariah? Jelaskan maksud dari teori kehati-hatian
REFERENSI Antonio,syafii.bank syariah dari teori keperaktik,gema insane press,2001,Jakarta.
BAB XIV AUDIT DAN KONTROL BANK SYARIAH Teknik audit yang dilaksanakan oleh auditor untuk bank syariah secara umum sama dengan teknik audit yang telah ada. Misalnya, penggunaan teknik audit rekonsiliasi untuk memeriksa rekening bank lain, menggunakan cash/stock opname untuk hal-hal yang dapat dihitung secara fisik, seperti kas, inventaris, dll. Tujuan mempelajari bab ini adalah mampu menganalisa teori dan praktek audit dan sistem kontril di bank syariah. 14.1 PENDAHULUAN Berikut ini adalah beberapa landasan Syariah tentang audit dan kontrol. Dimaksudkan agar para bankir dan praktisi keuangan Syariah dapat lebih merenungkan terhadap apa yang diamanahkan sebagai pengelola keuangan.
1. Al-Quran: S. Al-Maa’idah: 8 ―Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil…‖
S. Al-Ashr:1-3 ―Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.‖
S. Al-Hujaraat: 6 ―Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada mu orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan mu itu.‖
2. Al-Hadits: ―Katakanlah kebenaran itu sekalipun pahit.‖ ‖Barang siapa di antara mu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (kekuasaan)-nya. Apabila tidak sanggup, dengan ucapannya. Apabila tidak sanggup, dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.‖
14.2 AUDIT SISTEM BERLAPIS (MULTILYER SYSTEM AUDIT) DALAM BANK SYARIAH Kegiatan bank mempunyai risiko tinggi karena berurusan dengan uang dalam jumlah yang sangat besar sehingga dapat menimbulkan niat orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk melakukan kecurangan. Kalau kekhawatiran ini terjadi tentu dapat mengakibatkan kerugian bagi bank. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kontrolnya, perlu diciptakan suatu sistem kontrol yang berlapis-lapis. Bank Syariah dalam melaksanakan fungsi auditnya dilandasi oleh lapisan audit yang terdiri atas halhal berikut ini:
Pengendalian Diri Sendiri (Self Control) Pengendalian atas diri sendiri (self control) merupakan lapisan pertama dan utama dalam
diri setiap karyawan bank syariah, sehingga peran bagian sumber daya insani dalam memilih karyawan yang tepat merupakan syarat mutlak adanya peran lapisan kontrol yang pertama ini secara optimal. Di samping itu, setiap sumber daya insani harus meyakini dan mengimani bahwa semua perbuatannya selalu direkam secara cermat (audit trail) oleh Allah SWT dan malaikat. Yang nantinya akan dimintai pertanggung jawabannya. Seperti pada nash dalam Al-Quran:
Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh
hatinya, dan Kami lebih dekat daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di cébela kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.(Qaaf: 16-18)
Dan dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (Al-An’am:59)
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauhul Mahfuzh). (Yaasiin: 12)
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang hidup, kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur…(Al-Baqarah:255)
Pengendalian Menyatu (Built in Control) Selain self control, karyawan dalam melaksanakan tugas sehari-hari tidak terlepas dari
prosedur dan aturan main yang telah ditetapkan. Dalam sistem dan prosedur yang diciptakan, secara tidak disadari oleh setiap karyawan, dimasukkan unsur-unsur control yang menyatu dengan prosedur tersebut (built in control). Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam menciptakan pengendalian menyatu yang baik adalah adanya dual control, dual custodian, maker checker, approval, limitation, segregation of ruties, verifikasi, dan lain-lain.
Auditor Internal Untuk dapat meyakinkan bahwa telah ada pengendalian diri dan pengendalian menyatu yang
memadai, perlu adanya suatu ukuran dan penilaian dari pihak yang tidak terkait dengan kegiatan tersebut (independen). Selain itu, manajemen juga harus mempunyai kemampuan dalam mengnalisis efektivitas fungís-fungsi kontrol yang ada melalui suatu auditor yang dibuat berlapislapis. ◦ Bagian Pengawasan Data Bagian ini sering juga disebut sebagai verificator yaitu pemeriksa seluruh transaksi yang terjadi, di mana salah satu produknya adalah program zero defect, yaitu suatu program audit yang memberikan peringatan kepada pelaksana atas kesalahan-kesalahan pembukuan yang terjadi. Dengan demikian, secara bertahap, kesalahan yang ada dapat terus ditekan dan mengarah pada kesalahan nol (tidak ada kesalahan lagi). Di samping itu, bagian pengawasan data ini juga melaksanakan audit keuangan atas laporan keuangan, khususnya melakukan pembuktian kebenaran material setiap pos yang ada, yaitu dengan melakukan cash count, stock opname, rekonsiliasi bank/RAK, proofing, dll. ◦ Auditor Wilayah (resident Auditor) dan Inspektur Pengawasan Kedua pengawas ini berfungsi melakukan operasional audit, di samping audit keuangan. Titik berat audit yang dilakukan adalah pengujian secara menyeluruh atas berjalannya SPIN (Sistem Pengendalian Intern) yang anatara lain meliputi: aspek organisas, memadai tidaknya sumber daya insani, praktik bank yang sehat. Dan unsure SPIN lainnya. Auditor wilayah adalah kepanjangan tangan dari inspektur pengawasan yang ada di kantor pusat. Sekalipun keberadaannya di kantor cabang, namun ia bertanggung jawab ke kantor pusat. Hasil dari auditor ini berupa evaluasi atau gambaran atas kondisi yang ada di lapangan dan praktik sehari-hari yang berlangsung dalam kegiatan bank. Auditor juga memberi masukan kepada
manajemen dalam hal diperlukannya poembenahan, perbaikan, koreksi, baik yang menyangkut sumber daya insani, sistem prosedur, maupun aspek manajerial. Dalam kegiatannya sehari-hari, semua unsur pengawasan tetap tunduk dan patuh serta menjalankan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPAIB).
Eksternal Auditor Pengaudit eksternal memberikan masukan kepada manajemen bank mengenai kondisi bank
yang bersangkutan. Dari audit eksternal diharapkan adanya suatu penilaian yang sangat netral terhadap objek-objek yang diperiksa. Audit eksternal yang melakukan pemeriksaan antara lain Bank Indonesia, akuntan publik, maupun pihak lainnya.
14.3 JENIS AUDIT, TEKNIK AUDIT, DAN HAL-HAL KHUSUS DALAM PEMERIKSAAN Jenis Audit dan Teknik Audit Audit keuangan dan audit operasi (compliance test) juga dilaksanakan dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor untuk bank syariah. Khusus untuk pengujian kepatuhan, di samping peraturan-peraturan (internal dan eksternal), fatwa-fatwa dan notulen Dewan Pengawas Syariah juga dijadikan acuan.
Hal-hal Khusus atas Pemeriksaan Bank Syariah Secara garis besar, beberapa hal yang secara khusus dilakukan dalam audit atas bank syariah, dapat disampaikan sbb: ◦ Di samping pengungkapan kewajaran penyajian laporan keuangan, juga diungkapkan unsur kepatuhan syariah. ◦ Perbedaan akunting yang menyangkut aspek produk, baik sumber dana maupun pembiayaan. ◦ Pemeriksaan distribusi profit. ◦ Pengakuan pendapatan cash basis serta riil. ◦ Pengakuan beban yang secara acrual basis. ◦ Dalam hubungan dengan bank koresponden, khususnya koresponden depository, pengakuan pendapatan tetap harus menggunakan prinsip bagi hasil. Jika tidak, pendapatan atas bunga tidak boleh dicatat sebagai pendapatan.
◦ Adanya pemeriksaan atas sumber dan penggunaan zakat. ◦ Revaluasi atas valuta asing dapat diakui apabila posisi devisa neto dalam posisi square. Dalam hal ini, harus ada ketentuan tentang suatu posisi PDN yang dianggap square. ◦ Ada tidaknya transaksi yang mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan syariah.
14.4 KESIMPULAN Audit dan kontrol pada bank syariah sangat penting untuk menghindari kerugian pada bank. Sehingga terciptanya suatu sistem kontrol yang berlapis-lapis (multilyer audit system). Seperti pengendalian terhadap diri sendiri dalam pemilihan karyawan yang tepat, pengendalian menyatu dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku, auditor internal untuk memberikan penilaian dari pihak yang tidak terkait (independen), eksternal auditor yang memberikan masukan kepada manajemen mengenai kondisi bank yang bersangkutan. Auditor internal meliputi bagian pengawasan data, auditor wilayah dan inspektur pengawasan.
Pertanyaan
Apa yang membedakan audit dan kontrol pada Bank Syariah dengan Bank Konvensional?
Hal apa saja yang melandasi Bank Syariah dalam melaksanakan fungsi auditnya?
Siapakah yang berwenang melaksanakan audit dan kontrol pada Bank Syariah?
Apa perbedaan tugas antara auditor internal dengan eksternal auditor?
Referensi Antonio, Syafi‘i. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Gema Insani: Jakarta