Bab I PENGANTAR
1.
Latar Belakang Seni pertunjukan di setiap “panggung”1 memiliki konsep
yang berbeda seperti pada panggung tradisi, hiburan, pariwisata, dan lain sebagainya. Seni pertunjukan di dalam upacara adat misalnya, tentu akan dibangun dengan konsep yang berbeda dengan
seni
pertunjukan
untuk
kepentingan
hiburan
atau
pariwisata. Contoh lain di dalam fenomena kehidupan sehari-hari misalnya, suatu konser musik berskala besar tentu memiliki konsep berbeda dengan pertunjukan musik di dalam laju bus kota, di gerbong kereta, atau mungkin di sekitar lampu merah. Salah satu penjelasan mengenai perbedaan konsep panggung itu telah disinggung oleh R.M. Soedarsono, salah satunya di dalam menjelaskan konsep pertunjukan ritual dan pariwisata.2 Berawal dari pemahaman itu, penulis merasa bahwa “konsep” untuk membangun suatu sajian seni pertunjukan (hiburan) menjadi
1Penulis
memahami istilah panggung di dalam pembahasan ini tidak terbatas pada pemahaman atas suatu tempat khusus terbuat dari papan, bertiang, dan digunakan untuk bermain sandiwara atau untuk tujuan pementasan (lihat: Anwar, 2001:309). Pemahaman panggung di dalam pembahasan ini lebih dimaknai pada seluruh lokasi atau tempat baik itu dibuat secara khusus atau tidak di dalam suatu sajian seni pertunjukan. 2Lihat: Soedarsono, 2003: 11, lihat juga: Soedarsono dan Narawati, 2011:xxvii
penting untuk menciptakan suatu pertunjukan seni, dan sesuai dengan konteks di mana kesenian itu dipertontonkan. Sejalan dengan pemahaman perbedaan konsep dari masingmasing konteks suatu pertunjukan seni disajikan, bahwa suatu kesenian akan turut berubah sejalan dengan perubahan konteks itu.3 Di dalam perubahan itu suatu kesenian akan memiliki konsepnya
sendiri
untuk
merubah
bentuk
pertunjukan.
“Menyesuaikan” diri terhadap konteks yang berbeda tentunya. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa perubahan pada salah satu
unsur
pembentuk
kesenian
menyertakan
perubahan
pada
pada
unsur
kenyataannya
lain
dalam
turut
bangunan
kesenian itu sendiri.4 Hal ini menjadi sebuah hukum kausalitas ketika kesenian atau seni dipahami sebagai sebuah materi budaya.5 Persoalan demikian lebih menjelaskan bahwa setiap unsur dalam suatu budaya pada kenyataannya tidak berdiri sendiri. Masing-masing unsur di dalamnya merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi dan saling berkaitan. Setiap unsur dalam bentukan budaya ini saling berkait antara satu dan lainnya, sehingga hal itu masing-masing tidak dapat dipisahkan dan terpisahkan dalm konteks “perubahan”.
3Lihat:
Svašek, 2007:4 Elias dalam Sutrisno dan Putranto (edt.), 2005:192 5Lihat: Tylor dalam Sholikhin, 2008:7 4Lihat:
Memahami persoalan di dalam menyaksikan beberapa fenomena
seni
pertunjukan
tradisi6-yang
berkembang
di
Indonesia- penulis meyakini bahwa konsep perubahan dalam kerangka
menyesuaikan
menjadi
sangat
penting.
Di
dalam
beberapa kasus perubahan pada bentukan seni pertunjukan tradisi menjadi seni hiburan misalnya yang saat ini telah banyak ditemukan. Merubah bentuk sajian seni tanpa merubah esensinya menurut penulis perlu untuk kemudian dipikirkan terlebih khusus bagi pelaku yang terlibat di dalamnya. Menyajikan seni pertunjukan
tradisi
itu
tidak
serta
merta
hanya
berupa
pemindahan materi budaya dari konteks asli ke ranah panggung yang mana keduanya jelas memiliki konsep berbeda. Melalui pemikiran seperti ini, hal itu dapat menjadi suatu wacana terkait dengan pengembangan seni tradisi di Indonesia, agar kemudian tidak menimbulkan suatu ekses negatif terhadap bentukan seni tradisi itu sendiri. Ekses yang dimaksud dalam pembahasan ini salah satunya adalah “menggeneralisirnya” pemahaman makna dan
nilai
terhadap
sajian
tradisi
yang
telah
mengalami
“perubahan”. Hal yang dimaksud adalah anggapan bahwa seni
6Lihat:
Spiller, 2004: xix
“tradisi” itu sama halnya atau tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan “seni hiburan”.7 Melalui pemahaman akan fenomena yang terjadi tersebut, penulis kembali memahami dan melihat salah satu fenomena seni tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat, dan telah mengalami proses perubahan. Perubahannya dari media dakwah menjadi hiburan, pada kenyataannya telah menjadikan “pelaku” dalam kesenian ini berfikir untuk mengkonstruksi konsep di dalam mengelola dan mengolah serta menyesuaikan bentuk seni itu dengan realitas perubahan yang dihadapi, yaitu bentukannya sebagai media hiburan. Adalah Jêmblungan, kesenian yang hidup di antara masyarakat Desa Samiran, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Kesenian yang didirikan pada sekitar tahun 1965 ini oleh pendirinya, Reno Sumarto pada awalnya memang ditujukan sebagai
media
dakwah.
Menyebarkan
ajaran
Islam
kepada
masyarakat di sekitar kesenian ini hidup.8 Hal itu berlangsung
7Meski
terkadang secara materi bentuk pertunjukan atau sajian suatu seni tradisi di atas panggung hiburan sama, akan tetapi nilai dan makna dari pertunjukan itu akan menjadi berbeda. Perbedaan yang terjadi disebabkan oleh berubahnya konteks di mana seni itu disajikan. 8Dakwah yang dimaksud adalah menyampaikan pemahaman ajaran agama (Islam) kepada masyarakat Samiran. Meskipun pada saat itu Islam telah memiliki banyak pengikut di wilayah ini, akan tetapi belum sepenuhnya ajaran itu dijalankan sebagaimana mestinya. Melalui kesenian ini, Reno Sumarto pada saat itu bermaksud untuk menyampaikan kembali dan melakukan penyegaran atas pemahaman masyarakat terkait dengan ajaran itu melalui syair-syair lagu dalam Jêmblungan dan juga perbincangan di antara pelantunannya. Pemahaman dakwah di sini sesungguhnya lebih menjelaskan syiar yang diperuntukkan bagi para anggota atau orang-orang yang terlibat secara langsung dalam pertunjukan. Artinya dakwah itu diperuntukkan bagi diri mereka sendiri.
selama hampir tiga dekade. Pada tahun 1994, kesenian ini mengalami deposisi yang disebabkan oleh perubahan berbagai unsur
kehidupan
sosial
masyarakat
pendukungnya,
seperti
perkembangan kehidupan religi (Islam), perkembangan teknologi (informasi dan transportasi), dan pendidikan. Termaginalkan
dalam
kehidupan
masyarakat
pendukungnya, Jêmblungan tidak lagi menyuarakan gemanya. Lantunan
syair-syair
bernuansa
Islami
tidak
lagi
dapat
diperdengarkan setelah masa itu. Kondisi ini berlangsung tidak terlalu lama. Kekosongan dalam tubuh kesenian ini berkahir pada tahun 1996. Pada tahun itu gairah kehidupan kesenian ini kembali dibangkitkan oleh Widodo (salah seorang warga Samiran). Hadir kembali pada masa itu di tengah kehidupan masyarakatnya, Jêmblungan tidak lagi sekedar difungsikan sebagai sarana dakwah melainkan juga diperuntukkan sebagai media hiburan. Masa itu merupakan titik awal terjadinya perubahan konteks di mana kesenian itu disajikan, sehingga Jêmblungan dapat bertahan sampai saat ini.9 Paparan mengenai perubahan yang terjadi dalam
9Deposisi
yang terjadi pada kesenian ini, pada kenyataannya dikarenakan oleh “inabilitas” di dalam menghadapi perubahan lingkungannya. Salah satu yang terpenting dalam hal ini adalah perkembangan kehidupan Islam, yang kemudian memunculkan anggapan bahwa “dakwah” melalui kesenian ini tidak lagi relevan. Perubahan fungsi atau tujuan dari dihidupkannya kembali Jêmblungan pada tahun 1996, ini dinilai pelaku mampu menjadikan kesenian ini berkembang dan lestari hingga saat ini. Hal itu dikarenakan dengan terjadinya perubahan itu, pelaku harus benar-benar dapat menata dan mengatur terkait berbagai persoalan dalam kehidupan seni Jêmblungan seperti halnya melakukan peremajaan instrumen, pemasaran,
tubuh Jêmblungan itu merupakan hasil pengamatan peneliti di dalam melihat dan memahami salah satu fenomena budaya musik. Penjelasan itu dipaparkan dalam bingkai “Perubahan Fungsi Jêmblungan Dukuh Pentongan Desa Samiran Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali”10. Perubahan panggung
konteks
hiburan,
terjadinya perubahan
pada
dari
“panggung”
kenyataannya
dakwah
menjadi
menjadi
“stimulan”
bagian-atau unsur-lain dari pertunjukan
Jêmblungan. Bagaimana kemudian hal itu memaksa pelaku untuk berfikir kembali dalam melakukan upaya “penyesuaian” atas terjadinya perubahan. Perubahan yang dimaksud tentu saja terkait dengan “konstruksi” bangunan Jêmblungan secara entitas seni pertunjukan maupun maknanya sebagai media hiburan. Hal inilah yang kemudian memunculkan gagasan bagi pelaku untuk mengkonstruksi suatu konsep penyesuaian yang mereka sebut sebagai ngringkês. Ngringkês ini adalah sebuah upaya penyesuaian pelaku Jêmblungan di dalam merubah bentuk sajian dari aslinya menjadi menjadi lebih padat. Tanpa menghilangkan esensinya sebagai seni
inventarisasi peralatan yang mana hal ini dilakukan dengan memanfaatkan hasil (upah) dari pementasan kesenian. Hasil dari pementasan ini, secara tidak langsung menjadi sumber “penghidupan” Jêmblungan, sehingga keberadaannya sampai saat ini masih terjaga. 10Penelitian kali ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang telah dibukukan dalam bentuk laporan tugas akhir (skripsi) pada jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
shalawat Jawa, pelaku di dalam menyajikan Jêmblungan sebagai media hiburan telah memperpendek durasi sajiannya. Hal itu tampak dari melihat fenomena pertunjukan Jêmblungan ketika digunakan sebagai media hiburan dengan membandingkannya terhadap bentuk sajian “asli”. Pertunjukannya sebagai media hiburan
terhitung
relatif
berdurasi
lebih
pendek.
Selain
pertunjukan secara keseluruhan, durasi penyajian setiap lagupun terhitung lebih pendek dibanding dengan penyajian aslinya. Penulis memahami perubahan durasi, dalam hal ini ngringkês itu sebagai suatu bentuk konsep penyesuaian atau pola adaptasi garap
pertunjukan
terhadap pemahaman konsep “hiburan”-
sebagai lingkungan baru-bagi pelaku yang terlibat di dalamnya.11 Perubahannya menjadi lebih padat tentu saja tidak hanya merubah
entitas
pertunjukannya.
Sebagai
media
hiburan-
sebelumnya telah disebutkan-tentu maknanya juga akan turut berubah.
Karena
perubahan
pada
satu
unsur
di
dalam
Jêmblungan itu akan mempengaruhi unsur-unsur lain yang mengkonstruksi bentuknya. Pengaruh terhadap unsur-unsur lain itu merupakan sebuah stimulan terjadinya perubahan atas unsurunsur itu, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan secara menyeluruh di dalam Jêmblungan.
11Lihat
: Hutcheon, 2006: 7-8
Di dalam pembahasan ini, penulis menilai bahwa ngringkês ini merupakan suatu hal menarik untuk dikaji. Tentu saja hal ini dalam kaitannya untuk menjelaskan berbagai “ilmu” yang hidup dan berkembang pada tataran kehidupan “non literatur” dalam kehidupan masyarakat dan seni di Indonesia. Indonesia
yang
dikenal
sebagai
satu
wilayah
dengan
keberagaman seni dan budayanya, munculnya konsep-konsep lokal pada kenyataannya belum sebanding dengan banyaknya bentuk seni pertunjukan yang hidup. Membahas berbagai bentuk konsep lokal yang berkembang ini nantinya menjadi suatu harapan tersendiri bagi penulis untuk turut menyumbangkan suatu wacana baru di dalam dunia pendidikan (khususnya di bidang seni dan budaya).
2.
Rumusan Masalah Berangkat dari paparan terkait dengan fenomena seni
pertunjukan (Jêmblungan), muncul berbagai permasalahan untuk dikaji di dalam menjelaskan persoalan ngringkês sebagai adaptasi garap.
Beberapa
keseluruhan
persoalan
diformulasikan
dalam ke
fenomena
dalam
bentuk
itu
secara
perumusan
masalah. Perumusan masalah ini dimaksudkan untuk menjadi “frame” atau batasan bagi penulis di dalam memahami dan
menjelaskan fenomena yang terjadi secara terfokus. Beberapa permasalahan yang dimaksud dalam penelitian kali ini meliputi, a. Bagaimana
ngringkês
sebagai
bentuk
adaptasi
garap
Jêmblungan? b. Unsur-unsur sajian apa saja yang di-ringkês (mengalami peringkasan)? c. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ngringkês? d. Mengapa
ngringkês
menjadi
pilihan
adaptasi
garap
bertujuan
untuk
Jêmblungan?
3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara
keseluruhan
penelitian
ini
mendapatkan data, mengkaji, memahami, dan mempelajari, serta menjelaskan mengenai persoalan yang terjadi dalam fenomena seni pertunjukan (Jêmblungan). Hal itu tentu saja berada pada kerangka untuk menjawab beberapa permasalahan yang diajukan dalam penelitian kali ini. Labih lanjut, penelitian kali ini bertujuan untuk memaparkan atau menjelaskan persoalan ngringkês sebagai adaptasi garap dalam pertunjukan Jêmblungan sebagai media hiburan. Penjelasan mengenai ngringkês itu meliputi paparan mengenai unsur-unsur yang di-ringkês, dan faktor-faktor yang mempengaruhi praktik ngringkês itu sendiri. Selain itu, penelitian kali ini juga bertujuan untuk menjelaskan secara mendasar
persoalan pemilihan ngringkês sebagai pilihan adaptasi garap Jêmblungan sebagai media hiburan. Penelitian
kali
keberlangsungan
ini
dapat
kehidupan
memberikan
seni
manfaat
pertunjukan
bagi
(tradisi)
di
Indonesia, baik bagi pelaku, penggiat, maupun para peneliti dan pemerhati,
serta
dapat
menjadi
salah
satu
upaya
dalam
pengayaan literatur terkait dengan seni pertunjukan di Indonesia. Beberapa manfaat dari terselesaikannya penelitian ini antara lain, a. Ketersediaan data atau informasi terkait dengan seni pertunjukan
Jêmblungan
di
wilayah
Desa
Samiran,
Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, serta memberikan sumbangan
bagi
ilmu
pengetahuan
terkait
dengan
keberadaan konsep lokal pada kehidupan seni pertunjukan Indonesia. b. Menjadi salah satu tawaran atau alternatif di dalam wacana atau
upaya
pengembangan
terkait
dengan
bentuk
seni
perkembangan pertunjukan
maupun
(tradisi)
di
Indonesia. c. Menjadi
salah
pengembangan
satu kajian
sumber
referensi
terhadap
terkait
Jêmblungan,
dengan maupun
bentuk-bentuk kajian serupa lainnya secara khusus di dalam
kerangka
menjelaskan
dan
mengembangkan
keberadaan konsep-konsep lokal dalam seni pertunjukan.
4.
Tinjauan Pustaka Pembahasan mengenai Jêmblungan secara khusus sejauh
ini belum dijumpai penulis di dalam menggali berbagai sumber pustaka yang tersedia. Beberapa tulisan yang membicarakan persoalan Jêmblungan secara khusus berupa laporan penelitian maupun artikel adalah hasil publikasi penulis di beberapa media. Beberapa tulisan yang telah dipublikasikan itu di antaranya meliputi Perubahan Fungsi Jêmblungan Dukuh Pentongan Desa Samiran Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, adalah skripsi pada jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tahun 2011, Shalawat Menyuarakan Identitas adalah artikel pada Majalah Cangkir (Majalah Budaya, dan Media
Seni Nusantara)
Edisi I Tahun 2012, dan Bertahan Di Lereng Merapi, Jêmblungan Menggapai Sebuah Eksistensi adalah artikel dalam terbitan Majalah Bende (Wahana Pendidikan Dan Pengembangan Kesenian) Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur Edisi 105 Bulan Juli 2012. Beberapa pustaka yang dipilih adalah berbagai hasil penelitian, buku, dan artikel yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan obyek material maupun obyek formal dalam penelitian kali ini. Hal itu dimaksudkan selain untuk menjelaskan mengenai posisi penelitian ini terhadap berbagai penelitian
serupa
yang
telah
ada,
juga
bermaksud
untuk
memperkaya pengetahuan peneliti di dalam membangun sebuah
logika berfikir di dalam menjelaskan persoalan dalam penelitian ini. Berbagai sumber pustaka yang dapat dihimpun di antaranya meliputi, Bambang Sunarto (2006), dalam tesisnya berjudul Sholawat Campurngaji merupakan hasil kajian atas fenomena sholawat atau sholawat Jawa. Pembahasan mengenai fenomena budaya musik ini lebih terfokus pada tiga hal yang meliputi musikalitas, pertunjukan, dan makna pesan. Persoalan kreativitas pelaku di dalam memproduksi bunyi dijelaskan sebagai sebuah proses untuk menyampaikan suatu makna pesan. Makna pesan yang dimaksud
tertuang
di
dalam
teks
musikal
sajian.
Melalui
bangunan kreatif bunyi itu pelaku menyampaikan pesan-pesan kepada penikmat atau penghayatnya. Di dalam paparannya, penulis menganggap bahwa kajian ini memiliki kesamaan obyek material. Hal itu tidak lain dari paparan Sunarto salah satunya menyebut kesenian yang dikajinya itu adalah seni sholawat Jawa. Akan tetapi ketika memahami paparan mengenai sholawat Jawa terutama
mengenai
persoalan
bentuk
kesenian,
penulis
memahami bahwa keberadaan obyek material dalam tulisan itu memiliki banyak perbedaan. Bangunan sholawat Jawa yang dimaksud oleh Sunarto lebih menjelaskan keberadaan teks-teks musikal berbahasa Jawa saja. Di dalam penjelasan lain mengenai persoalan
musiknya,
Sholawat
Campurngaji
sesungguhnya
mewakili keberadaan musik yang telah berpadu dengan unsurunsur musik modern. Dapat dikatakan juga bahwa bentuk sajian musik yang dipertunjukan hampir serupa dengan sajian musik campursari. Meski terdapat perbedaan, namun melalui tulisan itu penulis turut memahami keberadaan sholawat Jawa yang memiliki beberapa varian bentuk sajian. Hajizar (2008) dalam tulisannya berjudul Dimensi Spiritual Dalam
Barzanji
menjelaskan
Maulid
mengenai
Syaraful aspek
Anam
mencoba
untuk
religiusitas
penganut
tarekat
Syattariyah sebagai pendukung utama praktek Al Barzanji. Selain itu penelitian tersebut juga ditujukan untuk mengetahui dimensi spiritual dalam konsep penyanyi nyanyian religius versi penganut tarekat Syattariyah nagari Bunga Tanjung, dan merepresentasikan harapan-harapan spiritual penganut tarekat Syattariyah yang mengiringi totalitas penyajiannya. Di dalam penelitian ini terdapat beberapa
kemiripan
dengan
penelitian
kali
ini.
Beberapa
kemiripan itu terdapat pada fenomena keseniannya sebagai obyek kajian. Kemiripan yang dimaksud adalah, dalam Barzanji Maulid Syaraful Anam digunakan kitab Al Barzanji yang mana hal itu juga digunakan di dalam Jêmblungan. Selain itu di dalam tradisi itu, pelantunan syairnya juga memiliki konsep serupa yaitu disajikan dengan model tanya-jawab antara seorang pelantun vokal dengan sekelompok penyaji vokal lain. Meski memiliki kemiripan dalam
beberapa hal, namun pada kenyataannya kajian itu memiliki cukup banyak perbedaan dengan penelitian kali ini. Di mana lokasi dari obyek kajian jelas memiliki perbedaan, di mana Hajizar menjelaskan minangkabau.
fenomena Selain
itu itu,
pada
lingkungan
perbedaan
jelas
masyarakat
tampak
pada
penggunaan ideom dari kedua obyek tersebut. Di mana masingmasing
menggunakan
ideom
lokalnya,
Jêmblungan
dengan
Jawanya dan Barzanji Maulid Syaraful Anam dengan ideom Minangkabaunya. Perbedaan paling signifikan dari kedua kajian ini jelas sangat tampak kembali pada penggunaan perspektif teoritik, di mana Hajizar dalam kajiannya lebih mengamati pada aspek spiritual yang itu berbeda dengan pembahasan mengenai adaptasi garap pada penelitian kali ini. Rahayu
Supanggah
(2007),
dalam
bukunya
Bothekan
Karawitan II menjelaskan mengenai konsep garap pada fenomena budaya musik. Penjelasan mengenai konsep ini dijelaskan dalam fenomena seni karawitan. Bagaimana garap itu oleh Supanggah dijelaskan sebagai suatu proses di dalam menyajikan suatu bentuk pertunjukan yang mana hal itu melibatkan berbagai unsur. Supanggah mengawali penjelasan mengenai garap itu dari persoalan umum yang berkembang pada masyarakat. Penjelasan mengenai unsur-unsur garap itu dejelaskan secara terperinci berdasarkan
atas
data
dan
pengalaman
pribadinya
selama
berkecimpung dalam dunia karawitan. Buku ini, cukup berkaitan dengan
penelitian
pemahaman
mengenai
atas
menggunakannya
paparan untuk
ngringkês mengenai
kali
ini.
Melalui
garap
ini,
penulis
menggambarkan
dan
menjelaskan
mengenai bentuk pertunjukan Jêmblungan. Menjelaskan mengenai bentuk pertunjukannya, penulis dalam hal ini menjelaskan mengenai
berbagai
unsur
yang
hadir
pada
pertunjukan
Jêmblungan tentu saja sesuai dengan apa yang telah dipaparkan Supanggah di dalam bukunya. Lebih jauh lagi, penelitian kali ini selain
menggunkan
menjelaskan
mengenai
pemahaman persoalan
mengenai bentuk
garap
Jêmblungan,
untuk juga
berupaya untuk mengkritisi beberapa persoalan yang dinilai kurang sesuai dalam kerangka untuk menyempurnakan paparan konsep yang telah ada. Sri Joko Raharjo (2009) dalam tesisnya berjudul KEUNIKAN GARAP KENDANGAN MUDJIONO lebih menjelaskan mengenai sosok Mudjiono sebagai seorang pengendang. Batasan kajian pada tulisan itu difokuskan pada bentuk garap kendangan gaya Mudjiono beserta keunikannya. Teori garap pada tulisan ini digunakan untuk mendeskripsikan bentuk sajian kendangan untuk memahami persoalan style atau gaya Mudjiono sebagai suatu
bentuk
kreativitas
seorang
seniman.
Namun
secara
keseluruhan paparan hasil penelitian itu pada kenyataannya lebih
menjelaskan mengenai kisah perjalanan Mudjiono sebagai seorang seniman atau lebih khususnya sebagai pengendang. Di mana hal itu cukup berbeda dengan penjelasan penulis pada bagian pendahuluan yang memaparkan bahwa kajian itu akan ditujukan untuk mendekonstruksi style kendangan Mudjiono sebagai salah satu jenis gaya yang berbeda dengan kendangan lain yang berkembang. Jika hal itu memang dianggap unik, tentu saja “unik” tersebut harus dijelaskan dengan membandingkan bentuk kendangan Mudjiono dengan kendangan lain yang berkembang. Namun, dalam penelitian itu Raharjo lebih banyak menjelaskan mengenai bagaimana kendangan itu terbentuk dari sosok seorang Mudjiono saja. RHD.
Nugrahaningsih
(2007)
dalam
tesisnya
berjudul
Transformasi Kesenian Jathilan Pada Masyarakat Jawa Deli, menjelaskan mengenai perubahan kesenian dalam situasi sosial masyarakat majemuk. Penulis menjelaskan mengenai perubahan yang terjadi pada seni pertunjukan Jathilan. Kajian mengenai perubahan ini difokuskan pada kesenian yang hidup di dalam komunitas masyarakat Jawa Deli di Medan, Sumatera Utara. Di dalam
pembahasannya,
penulis
lebih
menitik
beratkan
pembahasan pada proses perubahan kesenian itu. Penjelasan mengenai perubahan itu oleh penulis diformulasikan sebagai transformasi. Di mana dalam pembahasannya, kajian ini lebih
menjelaskan mengenai transformasi bentuk kesenian Jathilan, transformasi fungsi dan peran kesenian Jathilan, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesenian Jathilan, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Menjelaskan mengenai persoalan ini penulis
menggunakan
pendekatan
deskriptif-kualitatif
untuk
mendeskripsikan dan menganalisis fenomena yang terjadi. Bagian akhir dari tulisan ini menjelaskan, bahwa transformasi yang terjadi berfungsi di dalam pembentukan identitas budaya bagi masyarakatnya. Tulisan ini memiliki kemiripan dalam membahas mengenai perubahan pada penelitian ini. Akan tetapi perbedaan itu tampak jelas pada penggunaan perspektif. Di mana penelitian kali ini lebih menjelaskan mengenai persoalan adaptasi garap pertunjukan hiburan pada kesenian Jêmblungan yang dijelaskan sebagai ngringkês. Batasan-batasan penelitian, serta penggunaan metode
untuk
menggali
data,
serta
menjelaskan
fenomena
perubahan yang terjadi memiliki arah pencapaian dan orientasi yang berbeda. Fitri Daryanti (2009) dalam tesisnya berjudul Perubahan Bentuk Tari Nyambai Di Lampung Barat: Dari Upacara Perkawinan Adat
Saibatin
Menjadi
Pertunjukan
menjelaskan
mengenai
kreativitas yang dapat merubah bentuk suatu pertunjukan. Di mana perubahan yang meliputi gerak, musik, busana, rias, pola lantai,
dan
properti
itu
juga
dipengaruhi
oleh
keberadaan
pemerintah
yaitu
digunakannya
kesenian
sebagai
media
pariwisata. Perubahan bentuk itu menjadikan makna kesenian turut berubah. Kesenian yang sebelumnya dimaknai sebagai simbol
keakraban,
kegotong-royongan,
dan
persatuan
bagi
masyarakat telah berubah menjadi makna ekonomi.
5.
Landasan Teori Di dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia,
perubahan
pada
masing-masing
bentuk
kesenian
pada
kenyataannya memiliki arah berbeda.12 Hal ini sejalan dengan paparan dalam diskusi mengenai perubahan.13 Terlebih khusus perubahan yang dimaksud adalah terkait dengan perubahan bentuk materi budaya yang disebabkan oleh terjadinya perubahan unsur-unsur pembentuknya dalam masyarakat tradisi menjadi bentuk lain-salah satunya adalah “media hiburan”-seperti halnya Jêmblungan. Ngringkês sebagai sebuah batasan dalam penelitian ini,
merupakan
sebuah
pembahasan
mengenai
persoalan
“adaptasi” di dalam diskusi mengenai perubahan.
12Di dalam masing-masing seni pertunjukan terlebih khusus seni tradisi, masyarakat memiliki keberagaman konsep yang berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan konsep yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan budaya, menjadikan perubahan di setiapnya memiliki arah dan bentuk yang berbeda. 13 Lihat: Steward, 1979:8
PERUBAHAN ADAPTASI NGRINGKÊS
Gambar 1.1 Skema Perspektif Teoritik Ngringkês, dalam penelitian kali ini dipahami sebagai adaptasi
garap,
yaitu
bagaimana
Jêmblungan
yang
telah
mengalami perubahan (fungsi) itu melakukan tindakan adaptif, menggarap dengan menyesuaikan pertunjukan untuk tujuan (peng)hiburan. Hal itu dipahami sebagai tindakan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Hiburan sebagai entitas baru atas Jêmblungan sesunggunya menjelaskan terjadinya perubahan konteks kesenian ini dari tradisinya (dakwah). Hiburan jelas memiliki konsep yang berbeda dengan dakwah di dalam fenomena seni pertunjukan (di Indonesia). Hiburan dalam
hal
ini
memiliki
orientasi
tujuan
untuk
menghibur
(penonton), sedangkan dakwah lebih cenderung berorientasi terhadap syiar atau penyebar luasan suatu ajaran. Pemahaman mengenai perbedaan konsep Jêmblungan ini merupakan stimulan terjadinya perubahan tersebut. Bagaimana melalui asumsi ini penulis menjelaskan bahwa pemahaman tersebut menjadi satu titik tolak terjadinya ngringkês. Maka melalui hal itu kemudian
ngringkês pada konteks perubahan dipahami sebagai sebuah konsep yang muncul dan diimplementasikan untuk menggarap Jêmblungan dalam kerangka-beradaptasi atau-menyesuaikan diri. Memahami
fenomena
ngringkês
pada
pertunjukan
Jêmblungan, secara konseptual istilah itu merupakan pemadatan penjelasan mengenai adaptasi dan garap. Menjelaskan persoalan ngringkês tentu menjadi perlu untuk menjelaskan kedua konsep pembentuknya. Memahami persoalan adaptasi dan garap ini akan menjelaskan mengenai bagaimana ngringkês itu dipahami di dalam menyaksikan pertunjukan Jêmblungan dalam konteksnya sebagai media hiburan. Adaptasi Sebelumnya telah dipaparkan, bahwa penentuan konsep ini untuk
melihat
fenomena
ngringkês
di
dalam
pertunjukan
Jêmblungan didasarkan atas pemahaman penulis terhadap proses adaptasi (penyesuaian) kesenian itu atas terjadinya perubahan konteks
penyajian.
Pemahaman
adaptasi
oleh
Kutanegara
(2011:14) dijelaskan sebagai upaya manusia untuk menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan. Penjelasan lain menyebutkan bahwa hal ini merupakan sebuah proses untuk mencapai keadaan telah beradaptasi (adaptedness).14 Di dalam perubahan pada kerangka menyesuaikan ini, pada kenyataannya akan selalu 14Lihat:
Sanderson, 2000: 68-71 , lihat juga: Sternad, 2011:41-42
diikuti oleh perubahan unsur lainnya salah satunya adalah perubahan makna. Di mana Svašek (2007:4) menjelaskan bahwa suatu perubahan yang disertai dengan perubahan pada sisi makna itu sebagai transisi. Di dalam Jêmblungan hal itu ditunjukan pada perubahan makna pertunjukannya. Di dalam kesenian istilah adaptasi seringkali digunakan di dalam dunia teater maupun perfilman. Melalui pemahaman mengenai persoalan adaptasi dalam dunia teater atau perfilman yang salah satunya dijelaskan, bahwa adaptasi adalah suatu perilaku untuk menyesuaikan terhadap terjadinya “perubahan” konteks atau kultur dari suatu bentuk materi budaya.15 Adaptasi terjadi sebagai reaksi atas perubahan lingkungan suatu materi budaya (dalam hal ini dipahami sebagai konteks).16 Memahami adaptasi ini pada akhirnya menjelaskan bahwa tindakan ini merupakan suatu “reaksi” yang muncul sebagai akibat adanya perubahan konteks. Perubahan konteks dalam adaptasi lebih dipahami sebagai hadirnya pengaruh luar (faktor eksternal). Reaksi merupakan “tindakan” yang dilakukan sebagai dampak munculnya dorongan dari dalam (internal) atas upaya terhadap perubahan yang terjadi.
15Lihat: 16Lihat:
Hutcheon, 2006:XII Miranti, 2003:11
Garap Meski istilah garap telah umum digunakan di berbagai aspek kehidupan pada masyarakat Jawa (Jawa Tengah), namun secara teoritis istilah ini baru diperbincangkan di dalam ranah bidang karawitanologi. Meski masih tergolong “baru” akan tetapi istilah ini telah dikembangkan pada beberapa kajian di bidang seni. Istilah garap itu telah dijelaskan oleh Supanggah (2007:3) sebagai berikut, Garap merupakan suatu “sistem” atau rangkaian kegiatan dari seseorang dan/ atau berbagai pihak, terdiri dari beberapa tahapan atau kegiatan yang berbeda, masingmasing bagian atau tahapan memiliki dunia dan cara kerjanya sendiri yang mandiri, dengan peran mereka masing-masing bekerja sama dan bekerja bersama dalam satu kesatuan, untuk menghasilkan sesuatu, sesuai dengan maksud, tujuan atau hasil yang ingin dicapai.[...] Garap merupakan kegiatan kerja kreatif dari (seorang atau sekelompok) pengrawit dalam menyajikan sebuah gending atau komposisi karawitan untuk dapat menghasilkan wujud (bunyi). Penjelasan
mengenai
persoalan
garap
itu
pada
kenyataannya menuntun kepada pemahaman bahwa garap ini tidak lain sebagai suatu proses di dalam menciptakan “hasil” yang kemudian juga dipahami secara umum sebagai “pertunjukan”. Tentu dalam kerangka pemahaman suatu proses, garap bukanlah suatu unsur yang berdiri sendiri melainkan terdiri dari berbagai unsur yang saling terintegrasi. Hal itupun telah dipaparkan di
mana unsur-unsur di dalam garap itu meliputi materi atau ajang garap, penggarap, sarana garap, prabot atau piranti garap, penentu garap, dan pertimbangan garap.17 Di dalam garap itu sendiri manusia dalam hal ini penggarap menjadi satu bagian sentral di dalamnya. Penggarap di dalam proses ini menjadi satusatunya
penentu
berlangsungnya
suatu
proses
di
dalam
menciptakan hasil (garap). Tampak dari penjelasan Supanggah, yang menyampaikan bahwa “proses kreatif” itu dilakukan oleh seniman atau sekelompok seniman. Penggarap dalam hal ini menjadi satu-satunya unsur yang mengintegrasikan unsur lainnya dalam garap. Penulis memahami garap itu sebagai berikut, Materi atau ajang garap Sarana garap
Penggarap/ Penyaji
Prabot atau piranti garap
Hasil Garap
Penentu garap
Pertimbangan garap
Gambar. 1.2 Skema Garap Ngringkês sebagai “adaptasi garap” Sebagai media hiburan, Jêmblungan tidak disajikan untuk tujuan penyebar luasan ajaran. Meski hal itu secara implisit masih menyertai 17
pertunjukannya,
Lihat: Supanggah, 2007:4
akan
tetapi
Jêmblungan
lebih
bertujuan untuk memberikan sebuah (peng)hiburan bagi penonton atau penikmatnya. Penonton atau penikmat dalam hal ini merupakan audience yang hadir dan menyaksikan di mana Jêmblungan disajikan. Selain itu Jêmblungan juga hadir untuk memenuhi kebutuhan penanggap. Di dalam kerangka ini, orientasi pelaku lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan (hiburan) penanggap. Transaksi atau negosiasi dalam hal ini tentu menjadi sebuah konsekuensi yang harus diterima. Di mana penanggap memiliki hak atau otoritas untuk turut atau tidak dalam menentukan garap pertunjukan dengan menerapkan berbagai aturan. Pencapaian hasil atas pertunjukan hiburan itu dapat dinilai dari terpenuhinya kebutuhan estetis penonton atau penikmat maupun
penanggap.
Pertunjukan
yang
tidak
berlebih
atau
secukupnya sehingga tidak memicu perasaan bosan penonton salah satunya menjadi suatu asumsi yang muncul pada pelaku.18 Selain itu hadirnya berbagai peraturan pertunjukan yang telah ditentukan penanggap juga menjadi bahan pertimbangan di dalam ngringkês sebagai konsekuensi atas negosiasi yang terjadi. Ngringkês sebagai adaptasi garap Jêmblungan diaplikasikan dengan
mengubah
sajian
menjadi
lebih
padat.
Tanpa
menghilangkan esensinya sebagai seni shalawat Jawa, pelaku 18Wawancara,
Widodo 31 Januari 2011
dalam menyajikan Jêmblungan sebagai media hiburan telah memperpendek durasi sajian. Hal itu tampak dari melihat fenomena pertunjukan Jêmblungan ketika digunakan sebagai media hiburan dengan membandingkannya terhadap bentuk sajian “asli”. Pertunjukannya sebagai media hiburan terhitung relatif
berdurasi
lebih
pendek.
Selain
pertunjukan
secara
keseluruhan, pada beberapa bagian durasi penyajian setiap lagupun terhitung lebih pendek dibanding dengan penyajian aslinya. Penulis memahami perubahan durasi, dalam hal ini ngringkês sebagai suatu bentuk konsep penyesuaian atau adaptasi garap pertunjukan terhadap pemahaman konsep “hiburan”-yang menjadi lingkungan baru-bagi pelaku yang terlibat di dalamnya.19 Perubahan pertunjukan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, yaitu pengaruh dari dalam Jêmblungan dan dari pihak di luar kesenian. Faktor internal yang mempengaruhi garap adalah berbagai asumsi pelaku di dalam menilai suatu hasil pertunjukan hiburan. Penilaian itu di antaranya adalah pertunjukan yang tidak berlebih (dalam hal durasi) dan tidak monoton (dinamis). Faktor eksternal
yang
berpengaruh
dalam
garap
adalah
hadirnya
peraturan sebagai implikasi atas negosiasi (dengan penanggap). Hadirnya pengaruh ini menjadi stimulan terjadinya “proses” adaptasi sehingga terjadi pemadatan sajian. Hasilnya, di dalam 19Lihat
: Hutcheon, 2006: 7-8
implementasi “konsep” ngringkês ini, tampak indikator-indikator perubahan yang terjadi. Salah satu indikasi yang sangat tampak adalah
terjadinya
“perubahan”
pada
sisi
durasi
sajian.
Implementasi ngringkês tentu saja dilakukan sebagai upaya dalam menghadapi perubahan, yaitu menjadikan Jêmblungan sebagai media hiburan. Sebagai media hiburan Jêmblungan dituntut untuk memenuhi tuntutan dari penanggap dan kebutuhan estetis penonton
atau
penikmatnya.
Pemahaman
penulis
mengenai
ngringkês tampak pada skema berikut, Faktor Eksternal: Kesepakatan dengan penyelenggara dan pemenuhan kebutuhan estetis penikmat
Stimulan Adaptasi
Faktor Internal: Asusmsi pelaku dalam memahami konsep hiburan
Ngringkês: Jêmblungan Media Hiburan
Garap
Gambar 1.3 Skema Ngringkês Sebagai Adaptasi Garap
Pemahaman mengenai ngringkês ini merupakan suatu kerangka teoritik yang digunakan penulis di dalam menjawab persoalan
dalam
penelitian
ini.
Hal
itu
digunakan
untuk
membedah dan menganalisa data yang didapatkan di dalam mengamati
dan
memahami
persoalan
Jêmblungan sebagai media hiburan.
6.
Metode Penelitian
dalam
fenomena
Di
dalam
pelaksanaannya,
penelitian
persoalan yang diajukan, ngringkês Jêmblungan
ini
lebih
terfokus
terkait
dengan
sebagai adaptasi garap
pada
persoalan
memahami
fenomena perubahan “garap” pada pertunjukan Jêmblungan. Selain itu, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menjelaskan alasan-alasan mendasar mengenai pemilihan ngringkês sebagai adaptasi garap. Untuk mengungkap dan menjelaskan persoalan itu secara keseluruhan, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Sugiyono (1995: 1) menjelaskan metode ini sebagai berikut, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisa data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.” Selanjutnya
Sugiyono
juga
menjelaskan
untuk
menghasilkan suatu keabsahan serta kevaliditasan dalam proses analisa
data
maka
dilakukan
triangulasi
data
(cross-chek).
Triangulasi dilakukan untuk mencari suatu data kajian yang sama melalui sumber yang berbeda, sehingga dari proses tersebut data yang didapat menjadi semakin kuat. Melalui proses triangulasi tersebut
konsistensi
dipertanggungjawabkan.
serta Triangulasi
kepastian tidak
data digunakan
dapat untuk
mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, melainkan untuk
meningkatkan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan. Creswell (2012:4) juga menjelaskan bahwa metode ini digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang – oleh sejumlah individu atau sekelompok orang-dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Melalui pemahaman terhadap metode ini, di dalam proses pengumpulan data sampai pada proses interpretasi dan analisa, penulis
melalui
beberapa
tahapan
yang
sebelumnya
telah
direncanakan. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan data dalam kerangka menjawab persoalan dalam penelitian ini. Beberapa tahapan kerja yang dimaksud meliputi,
a. Pengamatan langsung dan pencatatan lapangan Proses ini dilakukan untuk melihat secara langsung terkait fenomena ngringkês dalam pertunjukan Jêmblungan. Selain itu pada tahapan ini juga dilakukan proses pencatatan lapangan mengenai berbagai data yang muncul ke dalam bentuk field note. Proses ini dilakukan dengan mengamati dua
bentuk
pertunjukan
Jêmblungan.
Kedua
bentuk
pertunjukan yang dimaksud adalah bentuk pertunjukan Jêmblungan sebagai media dakwah dan hiburan. Hal ini bertujuan untuk mengamati dan menuliskan hal-hal apa saja yang terjadi di lapangan. Data yang dimaksud adalah
data yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan fokus kajian.
b. Pendokumentasian Pendokumentasian ini, dimaksudkan untuk merekam dan mengabadikan berbagai bentuk data lapangan. Bentuk pendokumentasian
dibagi
kedalam
tiga
bentuk
data
perekaman, yang meliputi data audio (perekaman dengan suara), visual (berupa photo), dan audio-visual (video). Ketiga proses pendokumentasian ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan data dalam upaya penggalian data lapangan. Pendokumentasian dalam bentuk audio, di dalam upaya ini akan lebih sering digunakan di dalam proses wawancara. Hal itu ditujukan untuk merekam berbagai penjelasan atau statement pelaku terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan. Lebih jelasnya, proses ini dimaksudkan untuk meng-cover berbagai data hasil wawancara yang tidak dapat
dituliskan
secara
utuh
dalam
bentuk
catatan
lapangan. Pendokumentasian visual (photo) ini ditujukan untuk mengabadikan berbagai data lapangan ke dalam bentuk gambar tidak bergerak. Hal itu dimaksudkan untuk
mendapatkan data tambahan terkait dengan munculnya berbagai fenomena lapangan yang dapat digunakan sebagai data
pendukung
dalam
menjelaskan
persoalan
yang
diajukan. Pendokumentasian audio-visual (video), dilakukan untuk mengabadikan sajian pertunjukan Jêmblungan baik sajian dakwah maupun hiburan. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah
penulis
di
dalam
mengamati
dan
menjelaskan bentuk sajian pertunjukan, di samping juga dalam
melakukan
analisa
terhadap
persoalan
yang
muncul. Proses ini cukup penting, oleh karena untuk mengamati dan menganalisa terhadap fenomena dalam pertunjukan itu tidak memungkinkan untuk dilakukan sepenuhnya pada saat pertunjukan tersaji.
c. Wawancara Proses ini dilakukan untuk mendapatkan data kualitatif yang
digunakan
untuk
menjawab
dan
menjelaskan
persoalan dalam penelitian ini. Proses wawancara ini dilakukan dengan menentukan beberapa narasumber yang dinilai relevan untuk menjawab berbagai persoalan yang diajukan.
Beberapa
keterkaitannya
narasumber
dengan
ditentukan
pemilihan
obyek
berdasar material
(Jêmblungan) dan obyek formal (adaptasi garap) pada penelitian ini. Adapun proses wawancara dilakukan secara tidak terstruktur.
d. Studi Pustaka Pada bagian ini, penulis melakukan penggalian data berupa literatur di berbagai pusat penyedia referensi yang relevan. Berbagai literatur dipilih sebagai data pendukung dan sumber di dalam menjelaskan dan menganalisa data lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk dapat menjelaskan berbagai data yang muncul secara rasional, obyektif, dan komprehensif. Keseluruhan
hasil
yang
telah
diperoleh,
pada
tahap
berikutnya dilakukan klasifikasi dan reduksi. Data-data yang telah diperoleh pemilahan
pada atas
tahap
berikutnya
kesesuaian
dan
dilakukan
pemilihan
keterpenuhan
data
dan
dalam
menjawab beberapa persoalan dalam penelitian ini. Pada tahap berikutnya seluruh data yang telah disusun itu dilakukan proses interpretasi dan analisa data. Secara keseluruhan hasil dari proses ini disusun dalam bentuk laporan penelitian yang mana susunan alurnya telah ditetapkan dalam sistematika penulisan.
7.
Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini disusun dengan alur sebagai berikut, BAB I
PENGANTAR :
Bagian ini berisi mengenai latar
belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II
FENOMENA
JÊMBLUNGAN
:
Pada
bagian
ini
dijelaskan mengenai berbagai fenomena Jêmblungan. Penjelasan mengenai fenomena itu dijabarkan ke dalam
dua
paparan
umum
mengenai
fenomena
kesenian ini, yaitu Jêmblungan sebagai media dakwah dan Jêmblungan sebagai media hiburan.
BAB III
GARAP JÊMBLUNGAN : Pada bagian ini pembahasan difokuskan
pada
garap
pertunjukan
Jêmblungan
sebagai media hiburan. Penjelasan mengenai garap itu dipaparkan dengan mendeskripsikan berbagai unsur garap yang meliputi materi garap, penggarap atau penyaji, sarana garap, perabot atau piranti garap, penentu garap, pertimbangan garap, dan hasil garap.
BAB IV
NGRINGKÊS
JÊMBLUNGAN
:
Pada
bagian
ini
merupakan analisa mengenai persoalan ngringkês sebagai adaptasi garap Jêmblungan. BAB V
Penutup : Pada bagian ini berisi tentang kesimpulan dari
seluruh
bahasan
terkait
dengan
persoalan
ngringkês sebagai adaptasi garap serta dipaparkan mengenai saran dan kritik penulis terhadap kesenian Jêmblungan.