BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah Seni merupakan salah satu unsur kebudayaan yang erat dengan
kehidupan
bermasyarakat.
Aktivitas
seni
dalam
lingkungan masyarakat bersifat kelompok. Arnold Hauser dalam bukunya “The Sociology of Art” menyatakan bahwa seni adalah produk masyarakat.1 Dengan kata lain, tidak ada seni tanpa adanya suatu masyarakat. Musik
Panting
adalah
musik
tradisi
Suku
Banjar,
Kalimantan Selatan. Musik panting dikenal di Kalimantan Selatan sebelum zaman penjajahan Belanda, diperkirakan telah ada sekitar abad XVIII atau sekitar tahun I802 bersamaan dengan berkembangnya sendratari Japin. Alat musik ini pada awalnya berkembang di pedesaan di daerah Kabupaten Tapin yaitu di Desa Rantau Bujur Kecamatan Sungai Pinang kemudian berkembang di Desa Tatakan, Desa Tambarangan dan Desa Pematang Sungka. Kehadiran sebuah bentuk seni ditentukan oleh hadirnya golongan tulisannya
masyarakat yang
tertentu.
berjudul
Adolph
“Class
S.
Systems
Tomars and
the
dalam Arts”
menegaskan, bahwa kehadiran sebuah bentuk seni ditentukan 1 Periksa Arnold Hauser. 1982. The Sociology of Art. Terj. Kenneth J. Northcott. Chicago dan London: The University of Chicago Press. p. 94-307.
1
2
oleh hadirnya golongan masyarakat tertentu.2 Seni memiliki empat macam kategori yaitu seni untuk kalangan elite (The Art of Cultural Elite), kesenian rakyat (Folk Art), seni populer atau untuk golongan urban (Popular Art), dan seni yang dipertunjukkan melalui media massa (Mass Art).3 Kesenian musik panting, termasuk dalam kategori kesenian rakyat atau Folk Art. Seni ini ditentukan oleh norma-norma yang telah dibuat dan disepakati masyarakat. Seni adalah cerminan masyarakat yang terdiri dari jiwa masyarakat, keinginan masyarakat, realitas masyarakat dan nilai masyarakat. Seni dalam lingkup masyarakat lebih menekankan fungsi, penuh simbol dan makna.4 Meski tak lepas dari pemahaman sederhana bahwa seni merupakan usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan.5 Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, bahwa panting dimainkan dengan cara dipanting (dipetik). Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti
gambus
Arab
tetapi
ukurannya
lebih
kecil.
Dalam
penyajiannya, musik ini disajikan dalam format ansambel. Dalam
2 Periksa Prof. Dr. R.M. Soedarsono. 2010. Seni Pertunjukan Indonesia d Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. p. 2. 3 Periksa Arnold Hauser, 1982, p. 556-610. 4 Made Bambang Oka Sudira. 2010. Ilmu Seni, Teori dan Praktik. Jakarta: Inti Prima. p. 38-39. 5 Herbert Read terj. Soedarso. SP. 2000. Seni: Arti dan Problematikanya. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. p. 1-2.
3
ansambel musik panting, alat musik panting memiliki peran yang dominan dibandingkan dengan peran alat musik lainnya. Musik panting sebagai hiburan rakyat, sering digelar bersama-sama dengan tarian Japin yaitu salah satu tari rakyat Kalimantan Selatan berupa tari pergaulan yang ditarikan secara berpasangan oleh muda-mudi.6 Musik panting mulai menghilang atau kurang digemari dari sekitar tahun 1968 sampai dengan tahun 1984 yang diakibatkan masuknya unsur-unsur budaya dari luar berupa kesenian yang rnereka anggap lebih modern seperti orkes dangdut, sandiwara, radio, film dan televisi. Tahun 1984 ke atas, musik panting mulai dihidupkan kembali dan dikembangkan di luar desa asalnya dan sering dipertunjukkan untuk hiburan pesta - pesta perkawinan, pesta menyambut tamu kehormatan dan yang lain. Namun perkembangannya lebih menjurus kepada perkembangan musik pantingnya saja dalam arti penampilannya tanpa disertai unsur tarian Japin.7 Keberadaan kesenian rakyat di zaman modern seperti ini menjadi hal yang perlu diteliti. Maraknya seni-seni hiburan yang cenderung lebih diminati masyarakat menjadi tantangan besar 6
Tim Penyusun. 1978/1979. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. p.122. 7 Mardiana., Ishak Mujali., Zainah Noor Laily. 2002. Alat Musik Daerah Kalimantan Selatan Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Selatan . Kalimantan Selatan: Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. p. 9-10.
4
bagi para pelaku dan pemerhati kesenian rakyat dalam menjaga keberlangsungan dan eksistensi kesenian rakyat. Perubahan yang terjadi
dalam
kesenian
ini
berjalan
beriringan
dengan
perkembangan zaman, seperti halnya dalam kesenian panting yang dikemas dalam bentuk seni pertunjukan. Seni pertunjukan bersifat sangat dinamis dalam arti, seni pertunjukan rentan terhadap berbagai macam bentuk perubahan. Namun masyarakat pendukung seni pertunjukan tidak lantas mudah menerima perubahan yang terjadi. Baik dari bentuk pertunjukan, pergeseran fungsi pertunjukan maupun menerima pengaruh jenis-jenis seni pertunjukan populer yang berkembang. Musik panting pada awalnya hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Perkembangan zaman yang semakin pesat memberi stimulus bagi para seniman panting untuk memberikan warna yang lebih beragam dalam ansambel musik panting. Menurut A.W Syarbaini (2011), ansambel musik panting dirasa lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya. Oleh karena itu, berdasar perkembangan pemikiran dan asumsi tersebut panting dimainkan dengan penambahan alat-alat musik seperti babun,8 agung ,9 dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang.10
8 Babun adalah istilah dalam bahasa Banjar yang digunakan untuk menyebut alat musik gendang atau kendang (Jawa).
5
Musik
panting
mengalami
perubahan
mengikuti
perkembangan zaman. Perubahan dan perkembangan suatu bentuk kesenian dalam masyarakat merupakan suatu yang wajar. Seperti yang dikemukakan oleh Edi Sedyawati dalam bukunya Keindonesiaan dalam Budaya, “…manusia pun memiliki dorongan untuk bereksplorasi, mencari kemungkinan-kemungkinan lain daripada yang sehari-hari sudah ada di hadapannya..”11 Perubahan musik
itu bisa muncul dari dalam, akan tetapi
perubahan lebih dinamis terjadi karena pertemuannya dengan kebudayaan musik lain.12Dengan kata lain, perubahan yang terjadi disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor dari dalam (internal) dan faktor dari luar (eksternal). Berbagai macam upaya dilakukan supaya musik panting tetap diminati oleh masyarakat terutama para usia remaja sebagai proses regenerasi tanpa menghilangkan unsur tradisi dan esensi pertunjukannya. Musik panting saat ini (2014) sudah mengalami perubahan baik dari aspek fungsi, instrumentasi maupun bentuk pertunjukannya. Melihat fenomena tersebut, tentunya terdapat
9
gong.
Agung adalah istilah dalam bahasa Banjar untuk menyebut alat musik
10 Wawancara dengan A.W Syarbaini pada tanggal 06 April 2011 di Barikin, pukul 10.30 WITA, diijinkan untuk dikutip. 11 Edi Sedyawati. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. p. 35. 12 Shin Nakagawa. 2000. Musik dan Kosmos, Sebuah Pengantar Etnomusikologi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia),p. 17.
6
banyak hal yang melatarbelakangi perubahan dari aspek bentuk pertunjukan, fungsi dan keberadaannya sampai sekarang. Kota Banjarmasin dipilih sebagai lokasi utama dalam penelitian
ini
karena
Banjarmasin
merupakan
wilayah
berkembang pesatnya kesenian panting sekaligus sebagi pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan. Hal tersebut tak ubahnya menjadi salah faktor pendukung dalam perkembangan dan keberlangsungan kesenian musik panting. Sejauh ini belum banyak terdapat karya tulis yang mengulas secara spesifik mengenai kesenian musik panting. Oleh karena itu, untuk mengetahui dan memahami fungsi, perubahan dan eksistensi kesenian musik panting perlu diadakan penelitian ini. Terbatasnya penulisan ilmiah khusus mengenai musik panting juga menjadi salah satu faktor utama yang melatar belakangi dilakukannya penelitian ini.
B. Rumusan Masalah Perubahan-perubahan yang ada dalam musik panting menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Berdasarkan paparan yang diutarakan bisa ditarik rumusan masalah antara lain:
7
1. Bagaimana bentuk pertunjukan musik panting tradisi? 2. Mengapa terjadi perubahan pada musik panting dan bagaimana proses perubahan yang terjadi? 3. Bagaimana kontinuitas musik panting saat ini dan upaya apa saja yang dilakukan untuk mempertahankan kontinuitas tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan proses perubahan kesenian musik panting dan kontinuitasnya beserta faktor pendukungnya. Menambah wawasan khususnya mengenai musik panting, supaya musik panting lebih dikenal oleh masyarakat luas non pribumi dalam upaya pelestarian kesenian tradisi yang terdapat di Indonesia. Penelitian ini dapat menjadi media dokumentasi ilmiah peristiwa budaya dan menjadi stimulus bagi para pemerhati musik nusantara untuk melakukan penelitian tentang musik etnis nusantara, khususnya musik panting dalam aspek yang berbeda secara lebih lanjut. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi referensi karya tulis ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan
8
acuan bagi para peneliti yang melakukan penelitian dengan objek materi penelitian yang serupa.
D. Tinjauan Pustaka Sejauh ini, belum demukan tesis atau desertasi yang membahas mengenai kesenian panting. Terdapat beberapa buku yang membahas mengenai kebudayaan Banjar dan Kalimantan Selatan termasuk keseniannya antara lain buku yang berjudul Urang Banjar dan Kebudayaannya (2005). Buku ini membahas mengenai keragaman budaya Banjar yang membahas sejarah masyarakat
Banjar
termasuk
kesenian
beserta
pengaruh-
pengaruh dari kebudayaan Melayu, Dayak, dan Jawa yang bernuansa Islam terhadap kebudayaan Banjar. Kesenian musik panting tidak dibahas di dalam buku ini. Oleh karena itu, buku ini dijadikan referensi dalam mengkaji pengaruh-pengaruh budaya lain yang turut andil mempengaruhi bentuk dan sejarah kesenian musik panting. Buku Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Kalimantan Selatan (1978/1979) memaparkan berbagai jenis seni musik dan tari yang terdapat di Kalimantan Selatan sekitar tahun 1970an hingga zaman sesudah kemerdekaan. Berbagai jenis tari dan musik rakyat maupun kerajaan dibahas di dalam buku ini. Musik yang dibahas dalam buku ini dibagi menjadi dua yaitu jenis musik
9
instrumental dan musik vokal. Musik instrumental yang dibahas meliputi agung, babun, kacapi, dan tarbang. Kesenian musik panting tidak dibahas dalam buku ini. Buku ini dapat digunakan sebagai tinjauan dan rujukan dalam memaparkan alat musik lain yang digunakan dalam musik panting seperti agung dan babun. Sumber-sumber
kepustakaan
lain
yang
mendukung
penelitian ini antara lain buku karangan Alfain Daud yang berjudul Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (1997). Buku ini membahas berbagai hal mengenai bangsa Banjar, diantaranya adalah asal-usul suku bangsa Banjar dan kebudayaannya. Buku ini menguraikan asal usul
dan
perkembangan
masyarakatnya,
suku
lingkungan,
bangsa
keadaan
Banjar, alam,
organisasi dan
mata
pencaharian. Hal lain yang dibahas dalam buku ini adalah ajaran Islam dalam Kehidupan Sehari-hari, kegiatan upacara dan sistem kepercayaannya, dan kebudayaan Banjar. Kesenian tidak dibahas dalam buku ini, termasuk musik panting. Buku ini digunakan sebagai referensi dalam meneliti tinjauan umum masyarakat Banjarmasin. Mardiana., Ishak Mujali., Zainah Noor Laily, Alat Musik Daerah Kalimantan Selatan Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Selatan (2002), buku ini secara khusus membahas dan memperkenalkan alat musik tradisional Kalimantan Selatan
10
dari berbagai macam suku yang terdapat di Kalimantan Selatan antara lain alat musik panting, Gamelan Banjar hingga giringgiring (alat musik tradisional suku Dayak Maanyan). Meskipun musik panting dibahas dalam buku ini, namun pembahasan yang dilakukan belum mendalam baik dari aspek sejarah maupun instrumentasi. Setelah mengamati beberapa buku yang telah peneliti gunakan sebagai sumber kepustakaan dan bahan acuan dalam melakukan penelitian ini, sejauh ini belum ada penelitian dengan masalah dan objek yang sama persis dengan penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini belum pernah dilakukan oleh pihak lain dan berbeda permasalahan dengan penelitian-penelitian yang pernah ada.
E. Landasan Teori Untuk
mengkaji
permasalahan
yang
terdapat
dalam
penelitian ini, digunakan empat teori sebagai landasan yaitu teori perubahan dari Alfin Boskoff (1964), teori perubahan sosial oleh Carol R. Ember dan Melvin Ember (2011), teori fungsi musik oleh Alan
P.
Merriam
(1964),
dipadu
dengan
teori
fungsi
seni
pertunjukan yang diungkapkan oleh R.M. Soedarsono (2001) sebagai teori pendukung dan terakhir konsep Leavis (2004) untuk
11
mengupas penelitian
mengenai musik
kontinuitas. dalam
suatu
Penelitian
ini
merupakan
masyarakat,
sehingga
pembahasannya diperlukan tuntunan yang sesuai dengan disiplin ilmu Etnomusikologi. Penelitian ini difokuskan pada permasalahan perubahan dan kontinuitas. Namun sebelum mengkaji mengenai perubahan, tentunya dilakukan analisis kesenian musik panting dalam masyarakat Banjarmasin. Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan
fungsi,
dan
bentuk
penyajian.
Penelitian
ini
menggunakan teori perubahan menurut pandangan Alvin Boskoff. Ada dua teori perubahan menurut Boskoff yaitu teori perubahan eksternal dan internal. Teori eksternal memandang bahwa inti terjadinya perubahan budaya disebabkan oleh adanya kontak antar budaya yang berbeda, sedangkan perubahan internal disebabkan oleh adanya dorongan perubahan dari masyarakat itu sendiri.13 Perubahan
internal
berasal
dari
sikap
masyarakat
terhadap kesenian itu sendiri, dalam hal ini adalah kesenian tradisi musik panting. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat ini dinamakan inovasi, karena sifat keseniannya baik dari organologi maupun bentuknya tidak berubah secara total. 13Alvin Boskoff. 1964. “Recent Theories of Social Change” dalam Sociology and History Werner J. Cahnman dan Alvin Boskoff (eds). London: The Free Press of Glencoe. p. 143-147.
12
Selain teori dari Alvin Boskoff, teori Carol R.Ember dan Melvin
Ember
membahas
juga
mengenai
digunakan
dalam
perubahan
sosial
penelitian yang
ini
untuk
terjadi
dalam
masyarakat Banjar. Konsep yang dimiliki olah Carol R. Ember dan Melvin Ember adalah: “In general, the impetus for change may come from within the society or from without. From within, the unconscious or conscious pressure for consistency will produce culture change if enough people adjust old behavior and thinking to new. And change can also occur if people try to invent better ways of doing things…14 Paparan di atas menyatakan bahwa secara umum, dorongan untuk perubahan dapat berasal dari dalam masyarakat atau dari luar . Dari dalam , tekanan sadar atau sadar untuk konsistensi akan menghasilkan perubahan budaya jika cukup banyak orang menyesuaikan perilaku lama dan pemikiran dengan yang baru . Perubahan
juga
dapat
terjadi
jika
orang
mencoba
untuk
menemukan cara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu. Suatu
kebudayaan
tidaklah
pernah
bersifat
statis,
melainkan selalu berubah. Hal ini berhubungan dengan waktu, bergantinya generasi, serta perubahan dan kemajuan tingkat pengetahuan masyarakat. Konsep Ember ini digunakan untuk mengkaji
perubahan
kesenian
panting
ditinjau
dari
masa,
regenerasi dan berkembangnya tingkat pengetahuan masyarakat 14 Carol R.Ember, Melvin Ember. 2011. Cultural Anthropology. New Jersey: Pearson. p. 25.
13
Banjarmasin.
Konsep
Arnold
Toynbee
digunakan
sebagai
pendukung konsep Ember, bahwa menurut Toynbee pola dasar dalam terjadinya pembaharuan itu sebagai suatu pola interaksi yang
disebut
“Challenge
and
Respons”
(tantangan
dan
tanggapan).15 Kebutuhan masyarakat terhadap musik panting merupakan sebuah tantangan bagi para seniman panting dalam hal ini meluasnya fungsi musik
panting dalam kehidupan
kemasyarakatan di Banjarmasin. Seniman panting menanggapi hal tersebut dengan adanya musik panting modern sebagai jawaban atas tantangan yang timbul dalam masyarakat Banjarmasin. Keberadaan Banjarmasin
tentu
kehadirannya
dalam
panting memiliki konteks
di
tengah-tengah
fungsi budaya.
yang
masyarakat
berbeda
Untuk
terkait
mengkaji
hal
tersebut, diperlukan teori Alan P. Merriam yang menjelaskan 10 fungsi musik yaitu: (1) the function of emotional expression, (2) the function of aesthetic enyoyment, (3) the function of entertainment, (4) the function of communication, (5) the function of symbolic representation, (6) the function of physical response, (7) the function of enforcing conformity to social norms, (8) the function of validation of social institutions and religious rituals, (9) the function of contribution to the continuity and stability of culture, (10) the function of contribution to the integration of society. Tidak semua 15
Boskoff, 1964, p. 147.
14
fungsi dibahas dalam penelitian ini, hanya beberapa saja yang akan dibahas dan dirasa relevan dengan permasalahan pada penelitian ini.16 John Blacking memiliki konsep bahwa fungsi utama
musik
adalah
untuk
melibatkan
orang
lain
pada
pengalaman bersama dalam kerangka budaya mereka.17 Selain teori Alan P. Merriam digunakan juga teori fungsi seni pertunjukan yang diungkapkan oleh R.M. Soedarsono untuk mengkaji
fungsi
panting
tradisi.
R.M.
Soedarsono
mengklasifikasikan fungsi seni pertunjukan ke dalam tiga fungsi primer yaitu: (1) Sebagai sarana ritual yang penikmatnya adalah kekuatan yang tak kasat mata; (2) Sebagai sarana hiburan pribadi; (3) Sebagai presentasi estetis, sedangkan fungsi sekunder terdiri dari: (1) Sebagai pengikat solidaritas masyarakat; (2) Sebagai pembangkit rasa solidaritas bangsa; (3) Sebagai media komunikasi ; (4) sebagai media propaganda keagamaan; (5) sebagai media propaganda politik; (6) Sebagai media propaganda program pemerintah; (7) Sebagai media meditasi; (8) Sebagai sarana terapi; (9) Sebagai perangsang produktifitas.18 Tidak semua fungsi dijabarkan dalam penelitian ini, hanya beberapa fungsi yang akan dibahas dan dirasa relevan dengan fakta di lapangan. 16 Alan P. Merriam. 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press. p. 219-227. 17 John Blacking. 1973. How Musical is Man. Seattle and London: University of Washington Press. p. 48. 18 R.M. Soedarsono.2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. p. 170-172.
15
Kontinuitas kesenian musik panting dapat menjadi sebuah refleksi, bagaimana sebuah kesenian dapat tetap hadir diminati dan
dikenal
oleh
masyarakat.
Untuk
mengkaji
mengenai
kontinuitas tersebut, digunakan konsep Leavis yang berdasar pada
asumsi
minoritas”.
bahwa
“budaya
Leavisisme19
itu
memiliki
selalu
terpelihara
manifesto
dan
dalam konsep
“memperkenalkan latihan untuk pertahanan (budaya massa) ke sekolah , dan di luar sekolah untuk merangsang usaha sadar dan terarah.20
F. Metode Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
metode
kualitatif
dan
deskriptif analisis dengan pendekatan multi-disiplin di bawah payung
disiplin
Etnomusikologi.
Digunakannya
disiplin
Etnomusikologi karena penelitian ini fokus pada musik sebagai bagian dari kebudayaan dan struktur musik.21 Pada dasarnya etnomusikologi berurusan dengan musik-musik yang masih hidup (termasuk di dalamnya instrument-instrumen musikal dan tari) yang terdapat di dalam tradisi lisan,di luar batasan pengertian musik urban dalam musik-musik seni Eropa. Subyek-subyek dan 19 Merupakan paham awal dalam cultural studies yang digagas oleh Queenie Dorothy Leavis. 20 John Storey. 2004. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture, Terj. Elli El Fajri. Yogyakarta: Qalam. p. 42. 21 Bruno Nettl. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. London: Collier Macmillan Publisher. p. 262.
16
sasaran
penelitian
utamanya
adalah:
musik-musik
pada
masyarakat oral literature (atau musik tribal): musik yang diajarkan secara lisan melalui tradisinya pada kebudayaankebudayaan tinggi di Asia. Yaitu musik yang diajarkan atau diwariskan
secara
lisan,
tidak
melalui
tulisan
dan
selalu
mengalami perubahan.22 Sesuai dengan proses pewarisan musik panting, yakni oral tanpa partitur. Metode penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena data yang didapatkan tidak melalui prosedur statistik, melainkan didapatkan dari pengamatan pada manusia dalam kawasannya
sendiri
dan
berhubungan
dengan
orang-orang
tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.23 Penelitian
ini
menerapkan
metode
Alan
P.
Merriam
mengenai tiga tahapan dalam penelitian Etnomusikologi, yaitu: (1) mengumpulkan data; (2) memilahnya kepada dua jenis analisis yakni (a) menelaah bahan-bahan Etnografi dan Etnologi yang dikumpulkan dengan cara mengkaji secara ilmiah dan rasional mengenai praktik musik, perilaku, dan konsep-konsep dalam masyarakat untuk melihat apakah sesuai dengan hipotesis dan rancangan awal, (b) analisis laboratorium terhadap bahan-bahan
22 Serditus Langiran. 2004. Ansambel Sampeq Dayak Kenyah Kalimantan Timur. Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. p. 44. 23 Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. p. 3.
17
musik yang telah dikumpulkan, hal ini menuntut teknik dan terkadang alat bantu khusus dalam membuat transkrip dan analisis struktur musiknya; dan (3) data yang sudah dianalisis dan hasil yang sudah didapat diterapkan kembali pada masalah terkait, khususnya dalam Etnomusikologi dan lebih luas lagi dalam ilmu pengetahuan sosial dan humaniora.24 Deskriptif analisis digunakan untuk memaparkan dan menggambarkan dengan data yang jelas terperinci, sedangkan analisis yaitu penguraian pokok dari satu masalah antar bagian sehingga memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti secara keseluruhan.25 Dengan kata lain, penelitian kualitatif bisa dikatakan sebagai penelitian yang menggunakan pendekatan diakronis dan sinkronis atau bisa pula dikatakan menggunakan pendekatan multi-disiplin.26 Pendekatan emik dan etik juga digunakan dalam penelitian ini, namun pendekatan etik lebih diutamakan. Adapun yang menjadi objek penelitian ini adalah kesenian panting yang ada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang meliputi sejarah, fungsi, perubahan, dan kontinuitas musik panting. Subjek penelitian ini adalah pendiri kesenian tradisional
Merriam, 1964, p.7-8. Anton M Moelyono. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 26 R.M. Soedarsono. 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: MSPI dan kuBuku. p. 57. 24 25
18
musik panting, beberapa tokoh musik panting dari berbagai generasi serta masyarakat umum. Untuk mengetahui sejarah musik panting hingga penyebab perbedaan versi dan perubahanperubahan yang terjadi dalam kesenian musik panting, jelas digunakan
pendekatan
historis
dengan
menerapkan
teori
perubahan internal dan eksternal. Sumber data dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya diperoleh dari tambahan dokumen dari beberapa sumber terkait. Kelengkapan data yang didapatkan akan berpengaruh terhadap
kelancaran
proses
penulisan.
Sebelum
melakukan
pengumpulan data, materi penelitian telah ditentukan yaitu Musik Panting di Banjarmasin Kalimantan Selatan: Perubahan dan Kontinuitasnya. Apabila pokok persoalan yang diminati telah terpilih, dapat ditentukan ruang lingkupnya agar tidak terjerumus dalam kompleksitas data yang diteliti. Penelitian ini menggunakan beberapa tahapan antara lain: 1. Penentuan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Banjarmasin
dikarenakan
digunakan
Banjarmasin
sebagai
merupakan
setting
penelitian
Ibukota
Provinsi
Kalimantan Selatan sekaligus sebagai pusat pemerintahan. Selain hal tersebut, orang tua peneliti berdomisili di Kota Banjarmasin
19
sehingga
dapat
mempermudah
serta
memperlancar
proses
penelitian.
2. Penentuan informan Penentuan informan disesuaikan dengan kapasitas dan kepentingan
data
yang
masyarakat
berbagai
diperlukan.
bidang
profesi
Informan dan
terdiri
kalangan
dari yang
diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu informan kunci dan informan
biasa
untuk
memudahkan
peneliti
dalam
proses
pengumpulan data nantinya. Informan kunci merupakan informan yang dianggap ahli dan berperan paling penting mengenai kesenian musik panting meliputi budayawan Banjar, pemerintah setempat, dan pemerhati kesenian musik panting sedangkan informan biasa yaitu informan yang dianggap netral, seperti praktisi dan masyarakat luas penikmat kesenian musik panting.
3. Teknik pengumpulan data a. Studi pustaka Studi pustaka diperlukan untuk mendapatkan data tertulis mengenai topik penelitian, landasan teori, dan data-data pendukung lainnya melalui buku-buku terbitan, jurnal, artikel, dan situs internet sehingga diperoleh data yang valid. Jenis-jenis data yang diperlukan antara lain: data materi berupa dokumen,
20
video, kepustakaan dan literatur-literatur terkait topik penelitian terutama mengenai sejarah kesenian tradisi musik panting yang dapat diperoleh di kabupaten Tapin, desa Barikin dan kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ketiga daerah ini merupakan wilayah penting kemunculan dan kelangsungan musik panting. Literatur
pendukung
lainnya
dapat
diperoleh
di
Banjarmasin,
Kalimantan
Selatan
yang
merupakan
pusat
pemerintahan
Kalimantan
Selatan,
data
pendukung
dapat
diperoleh Universitas
di
Taman Lambung
Budaya
Propinsi
Mangkurat
yang
Kalimantan terletak
Selatan, di
kota
Banjarmasin, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan situs internet. b. Observasi: pengamatan lapangan. Observasi adalah pengamatan langsung ke lapangan untuk meneliti objek secara teliti, sistematis, dan berulang-ulang.27 Proses ini berlangsung dengan pengamatan yang meliputi melihat, merekam,
menghitung,
mengukur,
dan
mencatat
kejadian.
Observasi bisa dikatakan merupakan kegiatan yang meliputi pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku, obyek-
27
Pratik Hari Yuwono. 2010. Perkembangan Kesenian Gendang Bele’q dan Fungsinya dalam Prosesi Nyongkolan pada Masyarakat Sasak Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat (Tesis Untuk Memenuhi Persyaratan mencapai derajat S-2), Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. p.32.
21
obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melihat secara langsung bagaimana musik panting dimainkan, berkembang dan eksis di Banjarmasin dengan kata lain teknik participant observation (pengamatan terlibat). Bukan hanya metode penelitian
saja,
tetapi
kebijaksanaan
pribadi
agar
dapat
memahami aspek kemasyarakatannya maka diadakan kontak langsung atau bergaul dengan baik dan aktif dalam kegiatan bermasyarakat serta dengan penduduk yang bersangkutan.28 Peneliti terlibat langsung dalam setiap adanya pertunjukan musik panting, mengikuti proses latihan beberapa grup musik panting dan bergaul dengan aktif baik dalam proses latihan maupun di luar proses latihan, peneliti belum terlibat langsung sebagai pelaku musik panting. Adanya data arkeologi yang berupa instrumen dan hikayat sangat membantu dan diperlukan dalam pengumpulan data. c. Wawancara Wawancara menurut Moleong adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, jadi terdiri dari yang mengajukan dan yang memberikan jawaban atas pertanyaan
28
Nakagawa, 2000, p. 12.
22
tersebut.29 Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas. Walaupun demikian, peneliti merumuskan inti pertanyaanpertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber terlebih dahulu dalam bentuk tertulis sebagai acuan. Hal ini dilakukan supaya pertanyaan yang diajukan tetap pada koridor teks dan konteks objek penelitian. Narasumber yang merupakan penduduk asli Kalimantan Selatan, menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa keseharian namun kadang-kadang menggunakan bahasa Indonesia dengan dialeg Banjar. Bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas. Bahasa yang berbeda akan menciptakan dan mengekspresikan realitas
yang
berbeda.30
Oleh
karena
itu,
peneliti
perlu
pemahaman lebih lanjut mengenai bahasa Banjar supaya tidak terjadi kesalah pahaman dalam pemaknaan. Proses wawancara dilakukan
dengan
narasumber
yang
dianggap
mempunyai
kompetensi yang relevan dengan objek penelitian d. Diskografi Diskografi adalah mengumpulkan dokumentasi dengan media elektronik, seperti kamera, handycam, atau rekaman suara. Hasil data yang diperoleh berupa video, foto, hasil rekaman suara atau gambar pendukung lainnya.
29 30
p. 25.
Moleong, 2001, p. 125-126. James P. Spradley. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
23
4. Analisis Data Terdapat tiga tahapan dalam proses analisis data yaitu: a. Reduksi data Sebelum
dilakukan
analisis,
terlebih
dahulu
dilakukan
pemilahan data. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan sekaligus melihat validitas data yang telah terkumpul. Data yang telah terkumpul diposisikan sesuai dengan dimensi ruang dan waktu untuk disajikan sebagai data yang telah valid. b. Penyajian data Data yang telah direduksi kemudian disajikan secara analitis dengan pendekatan yang sesuai. Analisis yang dilakukan yaitu, (1) analisis mengenai sejarah keberadaan Panting di Banjarmasin, Kalimantan Selatan; (2) fungsi Panting dalam masyarakat perubahan
Banjarmasin, yang
terjadi
Kalimantan pada
Panting
Selatan; berikut
(3)
proses
faktor-faktor
pendukungnya;(4) analisis salah satu contoh lagu musik Panting (aspek musikal) ditinjau dari perspektif Etnomusikologi. c. Penarikan kesimpulan Data yang telah dianalisis kemudian dievaluasi dan dilakukan sinkronisasi antara permasalahan dengan teori dan pendekatan yang digunakan. Setelah melakukan sinkronisasi, tahap selanjutnya adalah menarik kesimpulan atas data-data yang
24
telah
diintegrasikan
sehingga
memperoleh
hasil
akhir
dari
masalah penelitian yang dipilih. Garis besar metode yang digunakan adalah mengamati musik panting tradisi dari berbagai sumber baik internet, literatur tertulis,
audiovisual
maupun
wawancara
yang
kemudian
dikorelasikan dengan bentuk musik panting modern. Perbedaan yang terdapat pada kedua bentuk musik tersebut dianalisis secara etnomusikologis, tidak hanya tekstual tetapi juga kontekstual. Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data terkait dengan permasalahan yaitu musik panting di Banjarmasin, Kalimantan Selatan: perubahan dan kontinuitas. Data yang dikumpulkan berasal dari literarur, wawancara, pengamatan langsung atau observasi,
audio, dan audiovisual. Penelitian dilakukan kurang
lebih 6 bulan secara efektif di Banjarmasin, Kalimanan Selatan. Data yang telah dianalisis kemudian dievaluasi dan dilakukan sinkronisasi antara permasalahan dengan teori dan pendekatan yang
digunakan.
Setelah
melakukan
sinkronisasi,
tahap
selanjutnya adalah menarik kesimpulan atas data-data yang telah diintegrasikan sehingga memperoleh hasil akhir dari masalah penelitian yang dipilih.
25
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi dalam lima bab yaitu: Bab I. Pengantar, Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab
II.
Tinjauan
Umum
Daerah
Penelitian.
Pembahasannya meliputi letak geografis dan wilayah administratif Kota
Banjarmasin.
Aspek
Sosial
Masyarakat
yang
meliputi
masyarakat Banjarmasin serta lapisan sosial masyarakat. Aspek Budaya yang meliputi agama dan kepercayaan masyarakat, adat istiadat, dan kesenian pada masyarakat Banjarmasin. Bab III. Musik panting Tradisi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Aspek-aspek yang akan dibahas didalamnya yaitu mengenai
sekilas
tentang
kesenian
musik
panting
tradisi.
Penjelasan mengenai aspek musikal dan non musikal dalam penyajian kesenian musik panting tradisi. Fungsi kesenian musik panting tradisi. BAB IV. Proses Perubahan dan Kontinuitas Musik Panting Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Perubahan Fungsi dan Bentuk Penyajian Musik Panting di Banjarmasin,Kalimantan
Selatan.
Musik
Panting
Modern
di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Penjelasan mengenai Bentuk
26
Penyajian Musik Panting Modern. Menjelaskan Fungsi Musik Panting
Modern
dalam
kehidupan
masyarakat
Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Selanjutnya penjelasan mengenai Kontinuitas musik
Panting
dalam
kehidupan
sosial
masyarakat
di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan tahun 2014. Bab V. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis dan memuat jawaban dari permasalahan yang dimunculkan.