BAB I PENGANTAR
1.1.
Latar Belakang Masalah Kehadiran sebuah bentuk seni pertunjukan dan aktivitasnya
dalam lingkungan masyarakat yang bersifat kelompok ditentukan oleh norma-norma yang telah disepakati masyarakatnya. Seni yang dikenal sebagai cerminan masyarakat terdiri dari jiwa, keinginan, realita dan nilai masyarakatnya,1 karena seni adalah produk masyarakat.2 Salah satu produk masyarakat Indonesia yang berasal dari Sumatera Utara adalah seni pertunjukan yang dikenal dengan nama Opera Batak. Opera Batak adalah pertunjukan teater tradisional atau pertunjukan sandiwara panggung yang dimiliki masyarakat Batak Toba secara turun-temurun. Bila dilihat dari asal penamaan, pertunjukan teater Batak di sebut sebagai Opera Batak ketika orang Belanda masuk ke pulau Samosir pada awal abad ke-19. Belanda menjuluki sandiwara tradisional itu dengan nama Opera (gaya)
1
39.
Made Bambang Oka Sudira. 2010. Ilmu Seni, Teori dan Praktik. Jakarta: Inti Prima. Hal 38-
2
Janet Wolf. 2002.“The Social Production of Art”, dalam Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 2.
1
2
Batak, atau kemudian dikenal sebagai Opera Batak.3 Istilah Opera Batak sendiri dilekatkan oleh Diego van Biggelar, misionaris Belanda yang datang ke Pulau Samosir pada tahun 1930-an. Professor Rainer Carle merepresentasikan sejarah Opera Batak melalui sebagian ringkasan singkat dalam bukunya yang berjudul “Opera Batak-The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra-Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian.” Carle menuliskan bahwa selama paruh kedua abad ke19 Sumatera Utara berada di bawah kendali Belanda karena wilayah ini memiliki perkebunan yang luas sebagai penghasil perekenomian yang
strategis.
Disinilah
para
misionaris
Jerman
memulai
Kristenisasi pada orang Batak.4 Pada awal abad ke-20 muncul berbagai teater keliling di Asia Tenggara, kemunculan teater ini merupakan bentuk perekonomian yang baru di Asia Tenggara. Teater keliling Asia Tenggara (Eurasia) yang populer saat itu adalah wayang parsi, Opera Melayu dari Malaka atau yang dikenal dengan nama Opera
Bangsawan.
Kemunculan
teater
keliling
pada
saat
itu
menempatkan musik sebagai media interaktif yang melibatkan reaksi-reaksi dari penonton yang disajikan untuk menghibur dan 3
Seniman Teater tradisi Zukaidah Harahap. Sumber dari: http://www.tamanismailmarzuki.com. Diakses pada tanggal 17 September 2013. 4 Rainer Carle. 1990. Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra - Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian. Hal 9. Sumber: http://www.adtractive.de/operabatak. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
3
menginformasikan berbagai hal. Kemunculan teater keliling pada masa tersebut berfungsi sebagai seni klasik tradisional dan tradisi lisan yang harus dipertahankan, tetapi di sisi lain untuk melihat bagaimana perkembangan teater keliling sebagai kesenian pembuka bagi dunia non-Melayu. Pendekatan ini pertama kali dikemukakan melalui pembentukan Opera Batak secara terbuka. Menurut Carle ada beberapa alasan mengapa Opera Batak dihadirkan. Pertama, bentuk ritual mereka berasal dari pengalaman hidup di dunia. Kedua, adanya kebutuhan terhadap suatu periode pergolakan budaya yang besar, yang tidak lagi sesuai dan terhambat oleh misi politik atas kebijakan Kristenitas.5 Lebih lanjut Carle menuliskan bahwa Opera Batak berkembang selama periode satu dekade dari sekitar tahun 1925 melalui kontak antara operasi regional teater rakyat pendatang Eurasia Melayu dengan regional musisi keliling yang terdiri dari kaum petani dan kaum intelektual perkotaan, yang melibatkan budaya Batak sebagai politik melalui orientasi karakteristik.6 Tahun 1928 Tilhang Oberlin Gultom mendirikan „Opera Batak Tilhang Gultom‟ (sekarang dikenal 5
Rainer Carle. 1990. Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra - Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian.Hal 9. Sumber: http://www.adtractive.de/operabatak. Diakses pada tanggal 17 September 2013. 6 Rainer Carle. 1990. Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra - Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian.Hal 96. Sumber: http://www.adtractive.de/operabatak. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
4
dengan nama Opera Batak Tilhang Serindo). Opera Batak ini telah menggelar sendiri pertunjukannya selama hampir enam dekade. Selain
akting,
unsur
komedi
kerap
menjadi
ciri
khas
dari
pertunjukan ini. Keistimewaan yang utama dari pertunjukan ini adalah ansambel musik tradisional Batak Toba yang menggunakan Gondang hasapi atau biasa disebut dengan Uning-uningan. Menurut Carle Uning-uningan pada waktu itu belum dilarang oleh para misionaris, namun hingga sekarang musik Batak yang khas ini menegaskan dirinya sebagai suatu ilustrasi panggung bermain dengan tujuan profan dan menghibur.7 Christian Moser mengemukakan bahwa Opera Batak klasik telah muncul sebagai teater keliling di dekade awal abad kedua puluh, sekitar tahun 1920-an yang berlangsung hingga tahun 1980an. Pada masa era 1920-1950, Opera Batak klasik merupakan sarana protes terhadap kekuasaan
kolonial Belanda
terhadap
pelestarian persatuan dan identitas regional. Berbeda dengan Opera Batak yang ada saat ini, selera media lebih sesuai dengan plot atau alur yang sedikit menunjukkan kesederhanaan dan keasliannya. Akses terhadap isu-isu terkini seperti penggundulan hutan atau
7
Rainer Carle. 1990. Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra - Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian.Hal 15. Sumber: http://www.adtractive.de/operabatak. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
5
keracunan air diberitahukan untuk membuat penontonnya sensitif terhadap isu-isu sosial tersebut melalui media entertain yang menghibur.
Moser
mengekspresikan
menyatakan
diri mereka
bahwa
masyarakat
Batak
dengan menyuarakan kebenaran
karena mereka tidak takut membicarakan apa yang ada dalam pemikiran mereka. Melalui pertunjukan Opera Batak kesenian ditempatkan sebagai jembatan penghubung antara tradisi dan modernitas
yang
dapat
diartikulasikan.8
Thompson
Hutasoit
menyebut Opera Batak demikian sebagai Opera Bataktransisi, suatu peralihan
dari
perkembangan
Opera
Batak
terdahulu
menuju
revitalisasi Opera Batak dengan struktur modern.9 Kisah yang diangkat dalam Opera Batak umumnya tentang lakon legenda, mitos, cerita kepahlawanan, atau cerita keseharian masyarakat setempat.10 Ada berbagai jenis sastra dalam budaya Batak Toba, di antaranya umpama-umpasa (pepatah dan pantun) dan cerita. Menurut Mula Hutasoit, cerita dapat dikelompokkan menjadi 6 jenis, antara lain: (1) Torsa-torsa (sejarah), (2) Na homi (mistik), (3) Taringot tu angka debata (cerita tentang para dewa), (4) Hajajadi
8
Christian Moser.The Batak people and the Classical Opera Batak. Published on 21, March 2013. Sumber dari: http://www.adtractive.de/operabatak. Diakses pada tanggal 17 September 2013. 9 Wawancara dengan Thompson Hs ketika tengah memberikan Worshop dalam tur PLOt di Padepokan Bagong Kussdiardjo pada 22 oktober 2013, Yogyakarta. 10 Kenedi Nurhan. 2008. “Ratu Opera Batak dari Tiga Dolok,” dalam Sosok, Kompas, Selasa 18 Desember.
6
(legenda), (5) Turi-turian (dongeng), dan (6) Tudosan (perumpamaan). Hutasoit
menyatakan
bahwa
keseluruhan
cerita
tersebut
menunjukan betapa dalam makna yang terkandung didalamnya, dan betapa
mereka
telah
mengerti
bagaimana
mengemas
suatu
permasalahan ke dalam sebuah bentuk cerita untuk diwariskan kepada keturunan mereka, yang selain sarat akan nilai seni, juga sarat akan nilai edukasi.11 Gender
saat
ini
telah
menjadi
wacana
sosial
yang
mempersepsikan berbagai manifestasi peran laki-laki dan perempuan dalam menata hubungan sosialnya (social construction), menurut Arief.12 Walaupun wacana ini bukan suatu hal yang baru, dan sudah berlangsung permasalahan
cukup
lama
tersebut
dalam masih
lingkup tetap
sosial,
kenyataannya
diperbincangkan
dan
ditelusurioleh kalangan akademis. Di samping itu Chris Barker berpendapat bahwa gender adalah asumsi dan praktik kultural yang mengatur konstruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial mereka. Begitu juga dengan femininitas dan maskulinitas yang merupakan bentuk perilaku yang diatur secara kultural
dan
dipandang sesuai secara sosial bagi jenis kelamin tertentu. Gender 11
Mula Hutasoit. 2002. “Turi-turian Ninna tu Ninna” dalam Krismus Purba, Opera Batak Tilhang Serindo. Yogyakarta: Kalika. Hal 197. 12 Arief Agung Suasana. Hubungan Gender dalam Representasi Iklan Televisi. Sumber: https://www.mysciencework.com. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
7
selalu merupakan masalah bagaimana laki-laki dan perempuan dihadirkan. Lebih jauh lagi, karena gender adalah konstruk kultural, dia terbuka bagi segala perubahan, menurut Barker.13 Menurut
Katrin
citra
(image)
gender
yang
hadir
dalam
keseharian kita lewat berbagai bentuk budaya termasuk karya seni, sangat berperan dalam membentuk dan melestarikan konstruksi femininitas dan maskulinitas yang dominan dalam masyarakat, namun juga berpotensi menggugat dan mengubah konstruksi tersebut.
Katrin
menegaskan
bahwa
konsep
femininitas
dan
maskulinitas cenderung dikonstruksi dalam oposisi biner; lemah atau kuat, yang mengkonstruksi laki-laki sebagai pihak yang selalu unggul dan utama. Konstruksi citra tersebut tidak dapat dihindari telah mempengaruhi posisi perempuan tidak hanya di dalam bidang seni tetapi dalam kehidupan masyarakat secara umum.14 Ratna
Saptari
dan
Brigitte
Holzner
menyatakan
bahwa
kehadiran perempuan dalam dunia seni pertunjukan menjadi persoalan yang kerap berhubungan dengan sistem normatif dan nilainilai moral yang dijunjung tinggi di Indonesia. Banyak kebudayaan etnis menempatkan larangan-larangan terhadap perempuan yang 13
Chris Barker. 2013. “Antiesensialisme, Feminisme dan Politik Identitas” dalam Cultural Studies; Teori dan Praktek. Nurhadi (Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hal 195. 14 Katrin. 2013.Reinterpretasi Perempuan pada Kisah-kisah Tradisional ke dalam Seni Kontemporer. Sumber: https://groups.yahoo.com. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
8
berdampak pada sempitnya akses perempuan berperan dalam aktivitas
seni.
Bahkan
dalam
etnis-etnis
tertentu
perempuan
dikekang dalam memasuki dunia seni. Dengan kata lain, kehadiran mereka dalam memasuki dunia seni dianggap sebagai penyimpangan. Keprihatinan
atas
nasib
dominannya
ideologi
perempuan
patriarki
lazim
dalam
dijelaskan
akibat
komunitas-komunitas
masyarakat.15 Konsep yang dikonstruksi oleh ideologi patriarki dalam suatu tatanan
adat
masyarakat
juga
tidak
terlepas
pada
ranah
keseniannya. Kesenian yang mengandung unsur-unsur yang identik dengan
dominasi
maskulinitas
inilah
yang
pada
akhirnya
menciptakan istilah seni maskulin. Seni maskulin kemungkinan tidak terjadi pada Opera Batak bila dilihat dari keseluruhan bentuk pertunjukannya. Namun secara musikal, maskulinitas ada pada musik yang dimainkan dalam Opera Batak. Setiap instrumen musik yang ada pada masyarakat Batak Toba pada hakikatnya didisain khusus untuk anatomi tubuh laki-laki.16 Dalam panggung kesenian Opera Batak, perempuan difungsikan hanya sebagai pemain lakon, penyanyi, dan juga penari, bukan 15
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hal 48-49. 16 Wawancara dengan Krismus Purba, Dosen Etnomusikologi (ISI) Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pada tanggal 23 November 2013 di ISI Yogyakarta.
9
sebagai parmusik (pemain musik) yang lazimnya adalah bagian yang dipegang laki-laki. Musik yang digunakan dalam Opera Batak adalah ansambel Gondang Hasapi atau yang biasa disebut dengan Uninguningan. Ansambel Gondang Hasapi atau Uning-uningan adalah seperangkat alat musik tradisional Batak yang terdiri dari: sarune (serunai), hasapi (kecapi), sulim (seruling), garantung, odap, dan hesek.17 Kenyataan
bahwa
instrumen
musik
tradisi
Batak
Toba
diciptakan khusus untuk laki-laki dapat dikategorikan sebagai seni maskulin. Konsep patrilineal yang dianut masyarakat Batak Toba cenderung menjadikannya lazim dimainkan oleh kaum laki-laki. Hal tersebut dapat didukung pula oleh pernyataan bahwa secara keseluruhan seni maskulin tidak dapat dilekatkan dalam panggung seni pertunjukan Opera Batak. Kemudian bagaimana jika dominasi maskulinitas dalam budaya Batak Toba yang patrilineal ditantang oleh kemunculan seorang perempuan yang secara musikalitas berhasil menyamakan kedudukannya dengan laki-laki. Zulkaidah Harahap,
kepiawaiannya
dalam
memainkan
instrumen
musik
tradisional Batak Toba berhasil mengantarkannya menjadi seorang figur dalam panggung Opera Batak, sekaligus menjadi perempuan 17
Dame Ambarita. 2008. Dua Maestro Opera Batak ikut Mentas, Perankan Nai Mberu & si Pande. Media Harian Metro Siantar, Pematang Siantar Sumatera Utara, Jumat 11 April 2008.
10
Batak pertama yang mahir memainkan instrumen tradisional Batak Toba. Kedudukan
kaum
perempuan
dalam
setiap
aktivitas
masyarakat tidak dapat dipisahkan dari norma-norma kehidupan yang berlaku dalam lingkungannya. Begitu pula yang terjadi dalam konteks seni pertunjukan, terlebih lagi figur yang mempunyai latar belakang menarik, yakni seorang perempuan dengan predikat parmusik
(pemain
musik).
Namun
perlu
dipahami
pentingnya
kehadiran figur perempuan dalam konteks Opera Batak disebabkan oleh adanya pandangan masyarakat dalam menilai kehadiran parmusik perempuan sebagai suatu yang tidak lazim (penyimpangan). Anggapan bahwa parmusik perempuan dipandang kurang memahami konstruksi
sosial
budaya
Batak
yang
patriarkal,
kemudian
mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan parmusik perempuan pada posisi yang tidak penting. Setidaknya disadari „penyimpangan‟ yang dilakukan oleh perempuan pada akhirnya membangkitkan kekuatan yang secara tidak sadar menjadi modal untuk pencapaian suatu prestasi. Zanten membahas peran perempuan sebagai seniman dalam kedudukannya dilingkungan masyarakat.
11
“If the position of artist is marginal, because they do not conform to the normal style of living, this applies even more to the position of female artist. They have rather independent position in society and relatively more autonomy. Female artist sing and dance, rather than play musical instruments.”18 Meskipun kredibilitas seniman tradisional menurut pandangan Zanten sering tersisihkan dalam konteks sosial, hal ini dikarenakan keberadaan mereka tidak merasa nyaman dalam gaya hidup normal, terlebih jika hal tersebut diposisikan kepada seniman perempuan. Seniman
perempuan
lazimnya
adalah
menyanyi
dan
menari,
dibanding memainkan instrumen musik. Zanten beranggapan hal tersebut semata-mata disebabkan adanya pelanggaran terhadap tatanan yang berlaku dalam lingkungan sosialnya.19 Walaupun tatanan dalam suatu lingkungan sosial bisa saja berbeda dengan lingkungan sosial lainnya. Sama halnya dalam seni pertunjukan Opera Batak dirasakan
adanya
semacam
„hirarki‟
yang
berdasarkan
masih atas
klasifikasi jenis pertunjukan jika dicermati lebih jauh. Hal semacam ini dapat pula ditinjau dari fenomena yang terdapat dalam dunia paropera Batak Toba, terlihat adanya suatu „kreativitas‟ yang 18
Wim Van Zanten. 1989. Sundanese Music In Cianjuran Style: Anthropological and Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht-Holand: Foris Publications. Hal 42. 19 Wim Van Zanten. 1989. Sundanese Music In Cianjuran Style: Anthropological and Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht-Holand: Foris Publications. Hal 42.
12
diperankan kaum perempuannya. Meskipun „kreativitas‟ ini bukan prasyarat mutlak dalam Opera Batak, namun perlu digarisbawahi hal tersebut disebabkan oleh adanya sosialisasi yang lebih terbuka. Figur Zulkaidah Harahap inilah yang kemudian menjadi simbol tertinggi bagi sejarah “paropera” bagi masyarakat Batak Toba. Musikalitas Zulkaidah mampu mensejajarkan kedudukannya dengan kaum pria dalam lingkungan seni pertunjukan Opera Batak sejak setengah abad yang lalu. Bagi masyarakat Batak Toba, keberadaan Zulkaidah Harahap bukan hanya merupakan bagian dari sisi kehidupan seni pertunjukan, tetapi juga sebagai pembuktian kepada khalayak
banyak
bahwa
seorang
perempuan
mampu
menyeimbangkan fungsi dan peranannya sejajar dengan kedudukan kaum pria. Namun ketika dikaitkan dengan pandangan gender, hal ini menimbulkan subordinasi terhadap kaum perempuan, secara lebih khusus terhadap kedudukan parmusik. Persoalan ini menarik untuk dikaji baik dari sisi tekstual maupun kontekstual. Secara tekstual, kajian gender ini bertujuan mengkaji hal yang berkaitan dengan perjalanan hidup seorang seniman tradisi perempuan, Maestro Zulkaidah Harahap bersama dengan kelompok (1) Opera Batak klasik, Opera Batak Serindo (Seni Ragam Indonesia); (2) Opera Batak transisi PLOt (Pusat Latihan
13
Opera Batak) meliputi sejarah, perkembangan dan bentuk serta struktur pertunjukannya. Kedua Opera Batak tersebut merupakan wadah pertama dan terakhir Zulkaidah Harahap dalam berkesenian hingga
kematiannya
pada
25
Maret 2013
yang
lalu.
Secara
kontekstual bertujuan mengkaji dampak kehadiran seorang seniman perempuan Zulkaidah Harahap dalam panggung seni tradisi Opera Batak terhadap eksistensi perempuan dalam seni pertunjukan Batak Toba. Kajian ini diharapkan mampu memberikan manfaat penting bagi semua pihak maupun pemerhati kesetaraan gender.
1.2.
Rumusan Masalah Seni
pertunjukan
Batak
Toba
yang
didominasi
laki-laki
ditantang oleh eksistensi seorang perempuan, Zulkaidah Harahap. Jika pada sebelumnya Opera Batak secara musikal lebih bersifat seni maskulin dengan hadirnya Zulkaidah Harahap, Opera Batak kini memiliki jalan yang berbeda. Hal tersebut tentunya memunculkan beragam pertanyaan dan yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini antara lain adalah: 1. Bagaimana eksistensi Zulkaidah Harahap sebagai perempuan pada seni pertunjukan Opera Batak dalam masyarakat Batak Toba?
14
2. Apa arti penting eksistensi Zulkaidah Harahap dalam seni pertunjukan Opera Batak?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,
terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai. Selain untuk menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah di atas, penelitian ini dilakukan berdasarkan pemahaman bahwa Perempuan, seperti juga laki-laki, merupakan subjek daripada objek. Perempuan tidak lebih “Ada dalam dirinya” sendiri daripada laki-laki. Perempuan, seperti juga laki-laki, adalah “Ada bagi dirinya” dan sudah saatnya bagi lakilaki untuk menyadari fakta ini. Demikian halnya seni yang tidak mengenal bias gender, karena seni adalah kebutuhan dasariah manusia. Meskipun dalam kenyataan sosio-kultural masyarakat etnis tertentu,
kebutuhan
itu
tidak
jarang
terkonstruksi
menjadi
kebutuhan yang sah bagi laki-laki dan ditabukan bagi perempuan. Hal
itulah
yang
menjadi
tujuan
memahami kenyataan tersebut.
penulisan
ini,
yakni
untuk
15
1.4.
Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih terhadap topik dan permasalahan serta judul yang sama dengan peneliti terdahulu. Diharapkan penelitian ini bisa memecahkan masalah-masalah yang selama ini belum mendapat perhatian dari peneliti terdahulu. Di sisi lain, keutamaan tinjauan kepustakaan ini berfungsi untuk menemukan kerangka teori dan konsepsi
sebagai
dasar
pijakan
dalam
rangka
memantapkan
pemecahan masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini. Dari
sejumlah
kepustakaan
yang
dicermati
tampaknya
penulisan yang berhubungan dengan kebudayaan Batak Toba telah banyak
mengundang
perhatian
kalangan
intelektual
untuk
memperbincangkannya. Perhatian ini terlihat dari beberapa hasil penelitian dan tulisan-tulisan yang membahas kebudayaan Batak Toba dari berbagai sudut pandang dan kepentingan tertentu. Namun, sampai saat ini peneliti belum menemukan kajian ilmiah ataupun penelitian tentang gender dalam kebudayaan Batak Toba. Ada beberapa penelitian yang langsung mempersoalkan isu perempuan dalam dunia seni pertunjukan dan merupakan bacaan awal yang mendukung dan memberi inspirasi dalam menentukan
16
topik penelitian ini. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh Endang Caturwati, dkk, yang berjudul “Lokalitas, Gender, dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat” (2003). Masalah yang diangkat dalam buku ini adalah permasalahan tentang “Dominasi gender pada seni pertunjukan Kliningan Bajidoran” di wilayah Subang yang ditulis oleh Endang, hingga kajian tentang “Gender sebagai sarana simbol pada musik tradisi sunda tercermin dalam Notasi Daminatila” yang dikaji oleh Heri Herdini.20 Namun yang menjadi acuan dari buku ini adalah tulisan dari Ismet
Rachmat
“Pesinden
Titim
Fatimah:
dari
pentas
hingga
penolakan gender,” yang mengatakan bahwa kehadiran perempuan (pesinden) dalam dunia seni pertunjukan seolah-olah telah menjadi bagian yang identik dengan pelanggaran susila. Apabila dilihat dari perkembangan
serta
kedudukan
perempuan
pada
masa
kini,
nampaknya kultus semacam tersebut telah semakin bergeser. Hal ini dimungkinkan oleh adanya perkembangan pola pikir masyarakat seiring
dengan
semakin
meningkatnya
kualitas
pendidikan
di
Indonesia. Bahkan hampir dapat disebutkan di dalam setiap jenis
20
Endang Caturwati, dkk.2003. Lokalitas, Gender, dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat. Yogyakarta: Aksara Indonesia. Hal 87.
17
pertunjukan, kehadiran figur seorang perempuan dalam kontekskonteks tertentu mendapat sebuah peranan yang dominan. Kajian tentang gender dalam seni pertunjukan pernah ditulis oleh Fuji Astuti, yang sebelumnya ditulis untuk kebutuhan Tesis Pascasarjana UGM dan kemudian terbit menjadi sebuah buku yang berjudul “Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: suatu Tinjauan Gender” (2004).21 Fuji Astuti membahas peranan para koreografer Minang melalui berbagai kegiatan kreativitasnya di bidang tari telah berhasil sedikit
banyak
„menggeser‟
pandangan
konvensional
dalam
masyarakat adat Minang mengenai peranan perempuan di area publik. Para koreografer yang dijadikan pokok bahasan itu adalah mereka
yang
sekaligus
mewakili
lingkaran
kehidupan
dikota.
Peluang-peluang yang mereka peroleh dikota juga dikontraskan dengan kehidupan seni pertunjukan di desa, yang dalam kajian ini hanya diamati satu desa saja, yaitu desa Sungai Janiah, kecamatan Baso, kabupaten Agam. Dalam hubungan ini ditunjukan bahwa kegiatan seni pertunjukan di desa ini tetap mematuhi kaidah konvensional masyarakat Minang, yaitu bahwa perempuan tidak 21
Fuji Astuti. 2004.Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: suatu Tinjauan Gender. Yogyakarta: Kalika.
18
dianggap pantas untuk tampil dalam pentas pertunjukan kesenian. Oleh karena itu, maka di desa tersebut pertunjukan randai yang menjadi kebanggaan desa tetap menampilkan pemain laki-laki untuk memerankan peran perempuan. Buku selanjutnya adalah tulisan yang tidak berkaitan dengan kajian gender, namun masih menjadi acuan pustaka penting bagi penelitian ini. Buku yang ditulis oleh dosen etnomusikologi ISI Yogyakarta ini berjudul “Opera Batak Tilhang Serindo: pengikat budaya masyarakat Batak Toba di Jakarta” (2000).22 Krismus Purba menulis buku ini untuk melacak sejarah keberadaan Opera Batak klasik, yakni grup Opera Batak Tilhang Serindo (Seni Ragam Indonesia). Penelitian yang dilakukan mulai dari September 1999 hingga September 2000 ini, bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi grup Opera Batak Tilhang Serindo dengan menganalisis pertunjukan secara total, baik aktivitas di atas panggung maupun diluar panggung, serta konsep perkembangan kreativitas seniman baik secara kelompok maupun individu. Namun yang menjadi inti permasalahan dalam tulisan Purba adalah orang Batak Toba yang tinggal di metropolitan 22
Krismus Purba. 2002.Opera Batak Tilhang Serindo: pengikat budaya masyarakat Batak Toba di Jakarta. Yogyakarta: Kalika.
19
Jakarta yang mensuplai keseniannya. Religi tradisional yang kuat, intensitas tantangan hidup yang tinggi, keharusan berpegang teguh kepada adat, ulet mempertahankan kesukuan, dan menghadapi tantangan kehidupan merupakan hal yang membentuk kepribadian orang Batak. Sejauh ini pengangkatan pada tesis yang hampir serupa tidak ditemukan. Beberapa buku dan tesis yang telah dijelaskan di atas, menjadi pijakan awal dan menjadi rujukan untuk permasalahan penelitian. Selain itu dari beberapa buku dan tesis tersebut, tidak ditemukan pembahasan yang serupa dengan pembahasan yang akan dibahas oleh peneliti. Tulisan-tulisan Ismet Rachmat dan Fuji Astuti hanya membahas tentang kehadiran dan peranan perempuan yang dominan dalam seni pertunjukan. Sedangkan Krismus Purba hanya membahas mengenai peranan Opera Batak Tilhang Serindo sebagai pengikat budaya masyarakat Batak Toba di Jakarta, tetapi tidak ditemukan kajian yang mengangkat permasalahan seperti dalam tesis ini. Kajian gender dengan studi kasus Zulkaidah Harahap ini merupakan penelitian yang orisinal dan belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
20
1.5.
Landasan Teori Seperti
yang
dikemukakan
sebelumnya,
penelitian
ini
bertujuan menganalisis kenyataan kehadiran perempuan dalam panggung Opera Batak. Untuk kebutuhan penjelasan gejala tersebut, akan
dipaparkan
teori
sosial
yang
dipandang
relevan
untuk
membantu menjelaskannya. Teori yang dipakai dalam tulisan ini adalah teori eksistensialisme perempuan yang di paparkan oleh Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis Perancis dalam tulisan kontroversialnya The Second Sex. Sebelum
menelaah
tulisan
Beauvoir
tentang
ke-Liyanan
perempuan, ada baiknya jika terlebih dahulu melihat hubungan antara The Second Sex karya Beauvoir dengan Being and Nothingness karya Jean Paul Sartre. Ada pandangan yang mengatakan bahwa The Second Sex sekedar penerapan Being and Nothingness pada situasi khusus
perempuan.
The
Second
Sex
tetap
merupakan
teks
eksistensialis, hanya saja Beauvoir banyak menggunakan istilah yang digunakan Sartre, dengan memodifikasi maknanya agar dapat sesuai dengan agenda feminisnya.
21
The Human being as“L’etre pour-soi”and“L’etre en-soi” “L’etre-pour-soi” Being-for-it self Ada Untuk Dirinya sendiri & “L’etre-en-soi” Being-in-it self Ada Dalam Dirinya sendiri Jean Paul Sartre dalam bukunya Being and Nothingness, membagi Diri ke dalam dua bagian, yaitu Ada untuk dirinya sendiri (pour-soi) dan Ada dalam dirinya sendiri (en-soi). Ada dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran, dan mineral. Ada untuk dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang hanya dimiliki oleh manusia.23 Perbedaan antara Ada dalam dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna dalam melakukan analisis tentang manusia, terutama jika kita mengasosiasikan Ada dalam dirinya sendiri dengan tubuh yang konstan
dan
objektif.
Karena
tubuh
dapat
dilihat,
disentuh,
didengarkan, dicium, dan dirasakan, tubuh adalah objek yang dilihat. Sebaliknya, yang melakukan tindak melihat, menyentuh,
23
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 255.
22
mendengar, mencium, dan merasakan-bukanlah objek yang sematamata dapat dilihat, melainkan menurut Sartre, masih mempunyai sejenis ke-Adaan atau ke-Aku-an; Ada untuk dirinya sendiri. Apa yang memisahkan ke-Aku-an seseorang-kesadaran seseorang atau pikiran seseorang-dari tubuhnya, secara paradoks, adalah tidak ada sama sekali (nothing) secara literal-no thing tidak satu hal pun, atau ketiadaan (nothing-ness).24 Menurut Sartre, setiap Ada untuk dirinya sendiri membangun dirinya sendiri sebagai subjek, sebagai Diri, tepat dengan mendefenisi Ada
Liyan
sebagai
objek,
sebagai
Liyan,
tindak
kesadaran
membentuk sistem yang secara fundamental merupakan relasi sosial yang konfliktual. Dengan demikian, proses defenisi diri adalah proses untuk menguasai Ada Liyan. Dimana dalam menempatkan dirinya sebagai Diri, setiap Diri menggambarkan dan mengatur peran bagai Liyan. Lebih dari itu, setiap subjek membangun dirinya sendiri sebagai transenden dan bebas serta memandang Liyan sebagai imanen dan diperbudak. “Sifat manusia”, suatu esensi/inti yang dimiliki bersama-sama oleh semua manusia, yang menentukan bagaimana seorang manusia seharusnya, sesungguhnya tidak ada. 24
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 255.
23
Kondisi manusia lah yang menempatkan semua manusia sama dan tanpa defenisi. Eksistensi, menurut Sartre, mendahului esensi. Manusia ada hanya sebagai organisme hidup yang amorfus (tidak mempunyai bentuk yang ajeg) hingga kita menciptakan identias yang terpisah dan esensial bagi diri kita sendiri melalui tindakan yang sadar-melalui pilihan dan keputusan, menegaskan kembali tujuan dan proyek lama, serta menegakkan tujuan dan proyek yang baru.25 Semua Ada yang berkesadaran atau, Ada untuk dirinya sendiri, tidak memiliki esensi atau defenisi. Mereka harus mendefenisi diri melalui proses pengambilan keputusan dan pengambilan tindakan yang saling berhubungan. Sebaliknya, semua Ada yang tidak berkesadaran, atau Ada dalam dirinya sendiri, bersifat masif (sebagaimana adanya).26 Pour-soi; subjek yang berkesadaran, tidak dapat menjadi en-soi; subjek yang tidak berkesadaran.27 Menurut Sartre, hubungan antar manusia adalah variasi dari dua bentuk dasar tema konflik; konflik antara kesadaran yang saling bersaing, 25
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 256. 26 Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 257. 27 Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 258.
24
yaitu Diri dan Liyan.28 Tidak ada kemungkinan untuk keselarasan, atau kesatuan, antara Diri dan Liyan, karena kebutuhan Diri untuk memperoleh kebebasan yang total terlalu mutlak untuk dibagi.29 Penolakan untuk mengakui subjektifitas Liyan, menyebabkan subjek memahami Liyan semata-mata sebagai objek. Meskipun demikian, apa yang terjadi bahkan tanpa pengakuan kita, tetap terjadi: ada Liyan yang dalam pandangannya kita adalah objek.30 Demikian pemikiran Sartre yang membagi Diri (manusia) menjadi dua bagian: Pour-soi; dan en-soi; kemudian dianalogikan dan dikembangkan Beauvoir hingga menjadi bentuk pemikiran yang fenomenal, yang dikenal dengan istilah Liyan (The Second Sex).
Perempuan sebagai Liyan (Woman asOther) Dengan
mengadopsi
bahasa
ontologis
dan
bahasa
etis
eksistensialisme, Simone de Beauvoir dalam buku fenomenalnya The Second Sex, mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang 28
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 259. 29 Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 260. 30 Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 261.
25
Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Jelas, opresi gender bukanlah sekadar bentuk opresi. Perempuan selalu tersubordinasi laki-laki. Perempuan telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki adalah esensial dan perempuan adalah tidak esensial.31 Simone
de
Beauvoir
dalam
“Eksistensialisme
untuk
Perempuan,” menelaah bagaimana perempuan menjadi tidak hanya berbeda dan terpisah dari laki-laki, tetapi juga inferior terhadap lakilaki. Analisisnya tentang bagaimana perempuan menjadi Liyan, ditelaah melalui fakta biologi, psikoanalisis Freud, para ekonom Marxis serta para filsuf eksistensialis. Beauvoir mencatat bahwa biologi menawarkan pada masyarakat fakta yang kemudian oleh masyarakat diinterpretasi sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Biologi, menjelaskan peran reproduksi jantan dan betina yang berbeda. Jantan dan betina adalah dua tipe individual yang dibedakan dalam satu spesies karena fungsi reproduksinya; mereka hanya dapat didefenisikan secara korelatif. Produksi dua tipe gamet,
31
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal262.
26
atau sel kelamin, sperma dan telur, belum tentu mengimplikasikan eksistensi dua jenis kelamin yang berbeda; karena nyatanya, telur dan sperma, dua tipe sel reproduksi yang sangat berbeda, keduanya bisa diproduksi dari individu yang sama. Meskipun “fakta” reproduksi ini mungkin dapat menjelaskan mengapa seringkali jauh lebih sulit bagi perempuan untuk tetap menjadi Diri, terutama jika ia telah mempunyai anak. Menurut Beauvoir, fakta itu tidak dapat membuktikan mitos sosial dengan cara apapun bahwa kapasitas perempuan untuk menjadi Diri, secara intrinsik, memang lebih rendah daripada laki-laki.32 Pembudakan betina bagi spesies dan keterbatasan dari kekuatannya yang beragam adalah fakta yang sangat penting; tubuh perempuan adalah salah satu elemen esensial dalam situasinya di dunia. Tetapi tubuh itu saja tidak cukup mendefinisi perempuan; tidak ada kenyataan hidup yang sesungguhnya kecuali yang dimanifestasikan oleh individu, yang sadar melalui kegiatan dan apa yang ada di dalam masyarakat. Biologi tidak cukup untuk menjawab pertanyaan yang menghadang kita mengapa perempuan adalah Liyan. Dengan kata lain, karena perempuan adalah Ada untuk dirinya sebagaimana ia juga adalah
32
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal263.
27
Ada dalam dirinya, kita harus mencari penyebab dan alasan di luar hal-hal yang diarahkan oleh biologi dan fisiologi perempuan, untuk menjelaskan
mengapa
masyarakat
memilih
perempuan
untuk
menjalankan peran Liyan.33 Beauvoir kecewa mencari jawaban di luar biologi dan psikologi, terutama psikoanalisis, untuk mendapat penjelasan yang lebih baik mengenai ke-Liyanan perempuan. Menurutnya, Freudian tradisional pada dasarnya menceritakan hal yang sama tentang perempuan: Bahwa
perempuan
adalah
makhluk
yang
harus
mengatasi
kecendrungan nafsu seksualnya dan kecendrungan “feminin”-nya, yang pertama diekspresikan melalui erotisme klitoral, yang kedua melalui erotisme vaginal. Beauvoir menolak anggapan ini dan menganggapnya sebagai simplistik. Menurutnya kemanusiaan tidak dapat dijelaskan hanya sebagai produk dari implus-implus seksual yang direpresi atau disublimasi. Kemanusiaan adalah lebih rumit dari ini, dan karena itu hubungan perempuan dan laki-laki juga tidak dapat disederhanakan dalam kerangka seksual semata.34
33
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal264. 34 Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal265.
28
Beauvoir menolak pendapat freudian yang mengatakan adalah anatomi perempuan yang menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua. Freudian menganggap perempuan “mencemburui” mereka yang memiliki penis, menurut Beauvoir, bukan karena mereka ingin mempunyai penis itu sebagai penis, tetapi karena mereka menginginkan keuntungan material dan psikologis yang dihadiahkan kepada pemilik penis. Status sosial laki-laki tidak dapat ditelusuri dari karakteristik tertentu dari anatomi laki-laki; tetapi, “prestise penis” harus dijelaskan “melalui kekuasaan sang ayah.” Perempuan adalah Liyan bukan karena mereka tidak memiliki penis, melainkan karena mereka tidak memiliki kekuasaan.35 Pada
akhirnya,
Beauvoir
menganggap
penjelasan
Marxis
mengenai alasan mengapa perempuan adalah Liyan hampir sama tidak memuaskannya seperti penjelasan Freud. Friedrich Engels berpendapat bahwa kapitalisme mengatur sistem pembagian kerja spesifik, dimana laki-laki menguasai produksi; laki-laki menjadi “borjuis,” sedangkan perempuan melakukan pekerjaan domestik (rumah tangga); perempuan menjadi “proletar”. Menurutnya, hanya jika kapitalisme dijatuhkan dan alat produksi dimiliki secara merata
35
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal265.
29
oleh perempuan dan laki-laki, barulah jenis pekerjaan akan dibagi bukan
berdasarkan
kemampuan,
gender
kesiapan,
dan
seseorang, kebersediaan
tetapi
berdasarkan
seseorang
untuk
melakukan pekerjaan tertentu.36 Namun, Beauvoir tidak setuju dengan Engels dan bersikeras bahwa perubahan kapitalisme ke sosialisme tidak akan secara otomatis mengubah relasi perempuan dan laki-laki. Perempuan sangat mungkin akan tetap menjadi Liyan dalam masyarakat sosialis dan kapitalis, karena akar opresi terhadap perempuan lebih dari sekedar faktor ekonomi; tetapi yang lebih utama adalah faktor ontologis. Karena itu, Beauvoir menekankan bahwa
Pembebasan
perempuan
membutuhkan,
paling
tidak,
penghapusan lembaga yang melanggengkan hasrat laki-laki untuk menguasai perempuan.37 Beauvoir mencari penjelasan yang lebih mengenai alasan mengapa laki-laki menamai laki-laki sang Diri, dan menamai perempuan sang Liyan. Beauvoir memperkirakan bahwa mungkin ada lagi penjelasan, bahkan penjelasan yang lebih mendasar mengapa laki-laki menempatkan perempuan dalam ruang Liyan. 36
Friedrich Engles. 2004. “Takdir dan Sejarah Perempuan” dalam Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Penerjemah: Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 265. 37 Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal266.
30
Menurutnya, begitu laki-laki menyatakan dirinya “sebagai Subjek dan Ada yang bebas, gagasan Liyan pun muncul” terutama, gagasan perempuan sebagai Liyan. Perempuan menjadi segala sesuatu yang bukan laki-laki, suatu kekuatan asing yang lebih baik dikontrol lakilaki karena kalau tidak, perempuan akan menjadi Diri dan laki-laki menjadi Liyan.38 Simone
de
Beauvoir
dalam
bukunya
“The
Second
Sex”
menyatakan “Perempuan adalah rahim” (Tota mulier in utero). Perempuan dianggap sebagai rahim karena perempuan memiliki ovarium, uterus. Kekhususan ini justru memenjarakannya dalam subyektivitasnya, melingkupinya di dalam batasan-batasan sifat alamiahnya.39 Perempuan sama sekali bukan laki-laki. Bagi filsuf rasionalisme dan nominalisme, perempuan tak lebih dari sekadar makhluk manusia yang didesain dengan sewenang-wenang oleh kata perempuan. Memang perempuan, seperti halnya laki-laki, adalah juga
manusia;
38
namun,
pernyataan
itu
sungguh
abstrak.
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal266. 39 Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 6.
31
Kenyataannya,
setiap
manusia
selalu
tunggal,
individu
yang
berlainan.40 Istilah maskulin dan feminin digunakan secara simetris semata-mata sebagai masalah bentuk. Namun, dalam aktualitasnya hubungan antara kedua jenis kelamin ini tidak persis seperti dua arus listrik, karena laki-laki mewakili baik arus positif dan arus netral, sebagaimana diindikasikan dengan pemakaian kata laki-laki (man-peny) untuk menunjukkan umat manusia secara umum;41 sementara perempuan hanya mewakili hal-hal yang berkonotasi negatif, yang didefenisikan oleh kriteria-kriteria terbatas, tanpa adanya hubungan timbal balik. Kemanusiaan adalah laki-laki dan laki-laki mendefinisikan perempuan bukan sebagai dirinya, namun sebagai kerabatnya; perempuan dianggap bukan sebagai makhluk yang mandiri.42 Lakilaki mampu berpikir tentang dirinya sendiri tanpa perempuan. Sementara perempuan tidak dapat memikirkan dirinya tanpa lakilaki; oleh karenanya ia disebut “seks,” yang secara esensial berarti datang kepada laki-laki sebagai makhluk seksual. Baginya, ia adalah 40
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 7. 41 Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 8. 42 Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 9.
32
seks, seks absolut. Didefenisikan dan dibedakan dengan referensi laki-laki dan bukan laki-laki dengan referensi perempuan; ia merupakan makhluk yang tercipta secara kebetulan, makhluk tidak esensial yang berlawanan dengan makhluk esensial. Laki-laki adalah sang Subjek, sang Absolut dan perempuan adalah Sosok yang Lain. Sosok yang Lain sama primordialnya dengan kesadaran itu sendiri dalam masyarakat paling primitif dan dalam mitologi paling kuno, orang mendapatkan ekspresi dualitas, Diri sendiri dan Sosok yang Lain.43 Dualitas ini tidak ada secara murni dalam pembagian jenis kelamin; ia tidak lepas dari fakta-fakta empiris. Tidak ada satu kelompok pun yang menganggap dirinya sebagai Yang Satu tanpa sekaligus menganggap Sosok yang Lain menentangnya.44 Subjek tersebut hanya bisa muncul jika ditentang. Ia menjadikan dirinya sebagai sesuatu yang esensial, penentang yang lain, yang tidak esensial, sang Objek. Akan tetapi, kesadaran yang lain, ego yang lain, justru melakukan hal yang resiprokal. Kenyataannya, perang, perdagangan, perjanjian, dan persaingan antar suku, bangsa, dan kelas cenderung menolak konsep Sosok yang Lain dalam pengertian absolutnya 43
dan
mewujudkan
relativitasnya.
Betapapun
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 10. 44 Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 11.
juga,
33
individu-individu dan beberapa kelompok dipaksa merealisasikan unsur timbal balik hubungan mereka.45 Namun, bagaimana jika unsur timbal balik ini tidak diakui kedua jenis kelamin ini, apabila ternyata salah satu dari term-term yang kontras ditempatkan sebagai satu-satunya yang paling esensial, menolak adanya relativitas terhadap korelasinya dan mendefenisikan yang terakhir sebagai yang lain. Mengapa perempuan tidak mempermasalahkan kekuasaan laki-laki? Tak ada subjek yang dengan sukarela mau menjadi objek, sesuatu yang tidak esensial; ini bukan karena Sosok yang Lain, dalam mendefenisikan dirinya sebagai yang lain memantapkan Yang Satu.46 Mereka memang benar-benar perempuan secara anatomi dan fisik. Alasan mengapa Sosok yang Lain menjadi sesuatu yang absolut sebagian karena ia kurang memiliki kesatuan atau sifat kebetulan dari fakta sejarah.47 Mereka hanya memperoleh apa yang diberikan kaum laki-laki; mereka tidak mengambil apa-apa, mereka hanya menerima. Hal ini disebabkan karena perempuan kurang memiliki tujuan konkret untuk mengorganisasikan diri mereka menjadi 45
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 12. 46 Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 13. 47 Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 14.
34
sebuah unit yang dapat berhadap-hadapan dengan unit korelatif. Perempuan juga tidak mempunyai solidaritas dalam hal pekerjaan dan kepentingan seperti yang dimiliki kaum proletar. Kaum proletar bisa saja menganjurkan pemusnahan kelas penguasa, tetapi kaum perempuan bahkan tidak mampu bermimpi untuk membasmi kaum laki-laki. Ikatan yang menyatukan mereka dengan para penindasnya tak dapat dibandingkan dengan apa pun juga.48 Pembagian jenis kelamin merupakan fakta biologis, bukan merupakan peristiwa sejarah. Laki-laki dan perempuan bertentangan dalam
Mitsein
primordial,
dan
perempuan
tidak
mampu
menghancurkannya. Dengan adanya pasangan yang merupakan suatu
kesatuan
fundamental
yang
dipancangkan
bersama,
pemisahan masyarakat atas dasar jenis kelamin menjadi mustahil. Dari sini terlihat ciri dasar perempuan: ia adalah Sosok yang Lain dalam sebuah totalitas di mana kedua komponen tersebut saling membutuhkan.49 Perempuan, menurut Simone de Beauvoir, dikonstruksi oleh laki-laki, melalui struktur dan lembaga laki-laki. Tetapi karena perempuan, seperti juga laki-laki, tidak memiliki esensi, perempuan 48
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 15. 49 Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 16.
35
tidak harus meneruskan untuk menjadi apa yang diinginkan lakilaki. Perempuan dapat menjadi subjek, dapat terlibat dalam kegiatan positif dalam masyarakat, dan dapat mendefenisi ulang atau menghapuskan perannya sebagai istri, ibu, perempuan pekerja, pelacur,
narsis,
dan
perempuan
mistis.
Perempuan
dapat
membangun dirinya sendiri karena tidak ada esensi dari femininitas yang
mencetak
identitas
siap
pakai
baginya.50
Semua
yang
menghambat usaha perempuan untuk membangun dirinya sendiri di dalam masyarakat patriarki mulai tiba pada ujungnya, menurut Beauvoir: “Hal yang pasti adalah bahwa sampai saat ini, semua kemungkinan yang bisa diraih perempuan telah ditekan dan hilang dalam wacana kemanusiaan, dan karena itu, sudah waktunya bagi perempuan untuk meraih kesempatan untuk kepentingannya sendiri dan bagi kepentingan semuanya..” Perempuan, seperti juga laki-laki, lebih merupakan subjek daripada objek. Perempuan tidak lebih Ada dalam dirinya sendiri daripada laki-laki. Perempuan, seperti juga laki-laki, adalah Ada bagi dirinya, dan sudah tiba waktunya bagi laki-laki untuk menyadari fakta ini. Tentu saja tidak ada cara yang mudah bagi perempuan
50
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal273.
36
untuk
menghindarkan
diri
dari
apa
yang
diberulang-ulang
digambarkan Beauvoir sebagai imanensi perempuan: pembatasan, defenisi, dan peran dalam masyarakat, kepatutan; dan laki-laki telah menekankan imanensi ini kepada perempuan. Meskipun demikian, jika perempuan ingin menghentikan kondisinya sebagai jenis kelamin kedua, Liyan, perempuan harus dapat mengatasi kekuatan-kekuatan dari lingkungan. Perempuan harus mempunyai pendapat dan cara seperti juga laki-laki.51 Dalam proses menuju transendensi, menurut Beauvoir, ada empat strategi yang dapat dilakukan oleh perempuan. Pertama, perempuan dapat bekerja. Beauvoir menyadari bahwa bekerja dalam kapitalisme yang patriarkal bersifat opresif dan eksploitatif, terutama jika pekerjaan itu membuat perempuan harus melakukan pekerjaan dalam shift ganda: di dalam dan di luar rumah. Dengan bekerja di luar rumah bersama dengan laki-laki, perempuan dapat “merebut kembali
transendensinya”.
Perempuan
akan
“secara
konkret
menegaskan statusnya sebagai subyek, sebagai seseorang yang secara aktif menentukan arah nasibnya.”52 51
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal274. 52 Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal274.
37
Kedua, perempuan dapat menjadi seorang intelektual, anggota dari kelompok yang akan membangun perubahan bagi perempuan. Beauvoir mengatakan bahwa kegiatan intelektual adalah kegiatan ketika seseorang berpikir, melihat dan mendefenisi, dan bukanlah nonaktivitas ketika seseorang menjadi obyek pemikiran, pengamatan, dan
pendefenisian.
Beauvoir
mendorong
perempuan
untuk
menghargai dirinya secara sungguh-sungguh dalam profesi yang dipilihnya.53 Ketiga, perempuan dapat bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat. Seperti Sartre, Beauvoir meyakini bahwa salah satu kunci bagi pembebasan perempuan adalah kekuatan ekonomi. Beauvoir mengingatkan perempuan bahwa lingkungan tentu saja akan membatasi
usaha mereka untuk mendefenisi diri. Jika
perempuan ingin mewujudkan semua yang diinginkannya, ia harus membantu menciptakan masyarakat yang akan menyediakannya dukungan
material
untuk
mentransendensi
batasan
yang
melingkarinya.54
53
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal275. 54 Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal275.
38
Keempat,
untuk
mentransendensi
batasan-batasannya,
perempuan dapat menolak menginternalisasi ke-Liyanannya, yaitu dengan
mengidentifikasi
dirinya
melalui
pandangan
kelompok
dominan dalam masyarakat sehingga perempuan untuk menjadi Diri dalam
masyarakat
harus
membebaskan
diri
dari
tubuhnya.
Menerima peran sebagai Liyan, menurut Beauvoir adalah menerima status obyek. Di satu sisi, Diri autentik perempuan hidup sebagai “Diri-Obyek” yang dilihat dari dunia laki-laki. Di sisi lain, Diri autentik perempuan hidup sebagai “Diri yang terasingkan dan kasat mata bagi dirinya sendiri.” Sebagai akibatnya, perempuan menjadi Diri yang terpecah. Menolak Diri-Subyek yang kreatif berarti kehilangan otonomi terhadap diri sendiri.55
Creativity Folk Musician: The Individual’s Role in Traditional Change Kemunculan dan keberadaan figur perempuan, Zulkaidah Harahap, didefinisikan sebagai suatu „kreativitas‟ dalam panggung seni pertunjukan Batak Toba. Satu teori yang dikemukakan oleh
55
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal276.
39
George Herzog dalam Philip Bohlman, “The Study of Folk Music in the Modern World” bab ke-5 yang berbunyi:
“The creative process is not one begun and finished by a single individual; it is spread over many individuals and generations, and it never comes to an end as long as the tradition is alive.”56 “Proses kreatif bukanlah dimulai dan di akhiri dari satu individual saja; tetapi dikembangkan oleh beberapa individual
dan
generasi,
dan
tidak
akan
pernah
berakhir selama tradisi itu tetap hidup.”
Dalam bab yang berjudul “Folk Musician” ini terdapat tulisan pada sub-bab “Creativity vs Representation: The Individual’s Role in Traditional Change,” atau “Kreativitas vs Representasi: Peran Individu dalam Perubahan Tradisional.” Herzog menuliskan bahwa, “Banyak diskusi kesenian tradisi menganggap bahwa tradisi itu menggelakkan kreativitas.” Dalam kondisi ini, Herzog menyatakan bahwa kreativitas bertentangan dengan representasi, sama halnya antara individualis dengan pandangan komunal masyarakat. Argumen yang ditimbulkan oleh konflik ini adalah bahwa tindakan individu cenderung akan membawa kepada perubahan, sedangkan masyarakat komunal 56
George Herzog. 1988. “Folk Musician” dalam Philip V. Bohlman, The Study of Folk Music in the Modern World. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Hal. 69.
40
cenderung menolak perubahan.57 Menurut Herzog, beberapa seniman dapat kreatif dengan cara yang disengaja, dengan sadar berusaha memperkenalkan perubahan atau setidaknya kepada varian gaya tradisional. Ada juga seniman lainnya yang kreativitasnya tidak disengaja, meskipun hasil akhirnya terdapat inovasi dan perubahan yang luas, karena alasan untuk kreativitas yang tidak disengaja juga bervariasi.58
1.6.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang
memiliki kesamaan dengan studi tokoh dalam batas-batas tertentu. Pendekatan studi kasus yang digunakan umumnya berupa studi tokoh,
terutama
apabila
peneliti
berhadapan
dengan
seorang
informan yang tidak memiliki karya yang berbentuk dokumen sehingga data yang lebih banyak diperoleh berasal dari hasil wawancara. Studi kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui wawancara dengan seseorang sebenarnya identik dengan studi tokoh. Studi kasus dan studi tokoh yang dilakukan peneliti adalah 57
penggalian
informasi
tentang
seseorang
yang
bersifat
George Herzog. 1988. “Folk Musician” dalam Philip V. Bohlman, The Study of Folk Music in the Modern World. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Hal. 74. 58 George Herzog. 1988. “Folk Musician” dalam Philip V. Bohlman, The Study of Folk Music in the Modern World. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Hal. 75.
41
mendalam dan terfokus pada persoalan yang berkaitan dengan suatu bidang
keilmuan
tertentu.59
Persoalan
memerlukan
suatu
pendekatan sebagai perspektif untuk melihat permasalahan secara mendalam
dan
terfokus.
Tesis
ini
menggunakan
pendekatan
feminisme sebagai perspektif untuk melihat persoalan yang terjadi pada perempuan dalam seni pertunjukan Opera Batak melalui studi kasus dan studi tokoh dari seorang seniman tradisi perempuan, yakni Zulkaidah Harahap. Salah satu kaidah dalam penjelasan sejarah adalah penjelasan sejarah yang terdapat dalam sejarah naratif, sejarah deskriptif, atau sejarah yang bercerita (verhalendeverklaringsmodel). Narrative History ini sesuai dengan apa yang ditulis Lorenz J. G. Droysen dalam studinya De Constructie van het Verleden, sebagai verhalende verklaringsmodel atau model penjelasan sejarah bercerita. Menurut Droysen menulis sejarah adalah persoalan kontinuitas, doorlopend proces, menyusun dengan cara merekonstruksi kembali masa lalu, menghubungkan fakta yang satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuklah sebuah cerita.60
59
H. Arief Furchon dan H. Agus Maimun. 2005. Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 33-34 60 LorenzJ. G. Droysen. 2008. “De Constructie van het Verleden” dalam Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 11, 15, 16.
42
Sejarah naratif adalah menulis sejarah secara deskriptif, tetapi bukan sekedar menjejerkan fakta. Ada tiga syarat cara menulis sejarah naratif yaitu: colligation, plot, dan struktur sejarah. (1) Colligation:
menulis
sejarah
adalah
mencari
inner
connection
(hubungan dalam) antar peristiwa sejarah, kemudian melakukan proses colligation (collide=bentrokan);61 (2) Plot: menulis sejarah sama seperti menulis novel, memerlukan plot. Ada dua pengertian plot disini. Pertama, plot adalah cara mengorganisasikan fakta-fakta menjadi satu keutuhan, karena tidak mungkin melakukan penulisan sejarah secara „universal‟, tetapi harus memecahnya menjadi bagianbagian. Kedua, plot dalam sejarah yang mirip dengan plot dalam sastra, yaitu interpretasi dan eksplanasi;62 (3) Struktur sejarah: strukturadalah cara mengorganisasikan dan pentingnya struktur sejarah adalah sebagai “rekonstruksi yang akurat” dalam penulisan sejarah.63 Sejarah naratif (narrative history) peneliti gunakan untuk merekonstruksi sejarah mengenai Opera Batak Serindo dari ketiga penulis buku yang pernah menuliskan sejarah grup tersebut. Sejarah
61
W. H. Walsh.2008.“Philosophy of History: An Introduction”dalam Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal. 147. 62 Paul Veyne.2008.“Writing History: Essay on Epistemology”dalam Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 148. 63 Michael Stanford.2008.“Nature of Historical Knowledge”dalam Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 148.
43
naratif
juga
peneliti
gunakan
untuk
mengkonstruksi
sejarah
mengenai PLOt atau Pusat Latihan Opera Batak yang belum pernah dituliskan dalam sebuah tulisan ilmiah sebelumnya. Selanjutnya peneliti menggunakan „struktur sejarah‟ untuk mengkonstruksi bagaimana struktur pertunjukan Opera Batak klasik dan Opera Batak transisi,dilihat dari persamaan dan perbedaan kedua struktur pertunjukan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yakni:(1) Rekonstruksi Historis; dan (2) wawancara. Rekonstruksi Historis digunakan
berdasarkan
sejumlah
tulisan
mengenai
Zulkaidah
Harahap dari berbagai perspektif tertentu, dalam hal ini perspektif yang dipakai adalah perspektif feminisme. Kemudian wawancara digunakan untuk melengkapi validitas data tulisan-tulisan mengenai Zulkaidah Harahap pada informan yang mengetahui dengan baik tentang kehidupan Zulkaidah Harahap.
1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam
44
mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya.64 Dalam dilakukan
penelitian untuk
ini,
pendeskripsian
menggambarkan
secara
bagaimana
kualitatif
sesungguhnya
eksistensi perempuan dalam seni pertunjukan Opera Batak dalam masyarakat Batak Toba melalui perjalanan hidup seorang seniman perempuan Maestro Zulkaidah Harahap bersama dengan grup Opera Batak Serindo atau Seni Ragam Indonesia (Opera Batak klasik) dan grup PLOt atau Pusat Latihan Opera Batak (Opera Batak transisi), meliputi
sejarah
dan
perkembangan,
bentuk
serta
struktur
pertunjukannya.
2. Pengumpulan data dan Metode Analisis data Data dalam penelitian ini berupa data primer, yaitu data yang diambil secara langsung oleh peneliti. Penelitian ini dilakukan dengan melalui beberapa tahap, diantaranya: a. Studi pustaka Studi pustaka dilakukan sebagai tahap paling awal dalam 64
penelitian
ini.
Studi
pustaka
diperlukan
Dr. Lexy J. Moleong.2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 125-126.
untuk
45
mendapatkan data tertulis mengenai topik penelitian, landasan teori, dan data-data pendukung lainnya melalui buku-buku terbitan, jurnal, artikel, dan situs internet sehingga diperoleh data yang valid.65 Jenis-jenis data yang diperlukan antara lain: data materi berupa dokumen, video, kepustakaan dan literatur-literatur terkait topik penelitian terutama mengenai kajian-kajian dalam tinjauan gender, dan tentang Zulkaidah Harahap, serta sejarah seni pertunjukan Opera Batak yang dapat diperoleh di Tiga dolok dan kota Pematangsiantar, kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Literatur pendukung lainnya dapat diperoleh di Medan, yang merupakan pusat pemerintahan Sumatera Utara. Data dapat diperoleh dari perpustakan daerah provinsi Sumatera Utara, Perpustakan Fakultas Ilmu Budaya (USU) Universitas Sumatera Utara, Perpustakan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas HKBP Nomensen Medan dan Taman budaya Sumatera Utara. b. Observasi: pengamatan lapangan.
65
Dr. Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 125-126.
46
Observasi dengan
merupakan
mengamati
berlangsung
dengan
metode
langsung
di
pengamatan
mengumpulkan lapangan.
yang
Proses
meliputi:
data ini
melihat,
merekam, menghitung, mengukur, dan mencatat kejadian.66 Namun, Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk membantu pemahaman mengenai struktur pertunjukan Opera Batak, bukan untuk pemahaman tentang Zulkaidah Harahap. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melihat langsung bagaimana seni pertunjukan Opera Batak yang ada saat ini, Opera Batak PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) yang telah menggelar turnya di Pulau Sumatera Utara; Medan, Pematangsiantar, dan Balige pada tanggal 30 Agustus5 Oktober 2013; dan Pulau Jawa; Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Jakarta pada tanggal 19-26 Oktober 2013; serta di kota Koeln, Jerman pada tanggal 2 November 2013 yang lalu. Namun,
peneliti
hanya
sempat
mengamati
ketika
PLOt
menggelar pertunjukan dan Worshop Opera Batak pada 21-22 Oktober di Padepokan Bagong Kussudiarjo, Yogyakarta. Proses
66
Dr. Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 125-126.
47
penelitian serta observasi selanjutnya akan peneliti laksanakan pada minggu ke dua Januari-Februari 2014 di Sumatera Utara. c. Wawancara Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada subyek penelitian atau informan. Metode wawancara yang digunakan dalam studi tokoh salah satunya adalah wawancara tidak berstruktur atau wawancara mendalam. Jika sang tokoh sudah meninggal biasanya dilakukan wawancara tidak langsung. Wawancara tidak langsung dilakukan kepada orang lain yang mengetahui tentang aktivitas dan produktivitas sang tokoh.67 Proses wawancara dilakukan dengan narasumber yang dianggap mempunyai kompetensi yang relevan dengan objek penelitian, terutama orang-orang yang terlibat langsung dengan almarhum Zulkaidah Harahap selama berpartner bersamanya dalam panggung Opera Batak Serindo dan Opera Batak PLOt, antara lain: 1) Maestro Alister Nainggolan; sahabat dan partner Zulkaidah Harahap, mantan pemain grup Opera
67
H. Arief Furchon dan H. Agus Maimun. 2005. Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 51-53.
48
Batak Serindo, dan saat ini adalah pemain grup Opera Batak PLOt, di Sumatera Utara. 2) Thompson Hutasoit; Direktur Artistik dan pemain di grup Opera Batak PLOt, Sumatera Utara. 3) Mantan
pemain-pemain
Opera
Batak
klasik,
khususnya grup Opera Batak Serindo yang mengenal baik keberadan Zulkaidah Harahap (jika masih ada, selain Alister Nainggolan). 4) Zulkarnaen Gultom; suami dari Zukaidah Harahap 5) Krismus Purba; dosen etnomusikologi ISI Yogyakarta, penulis buku Opera Batak Tilhang Serindo. d. Discografi Discografi adalah mengumpulkan dokumentasi dengan alat
media
elektronik,
seperti
kamera,
handycam,
atau
rekaman audio. Hasil data yang diperoleh berupa video, foto, hasil rekaman audio atau visual pendukung lainnya.68 Sebelum
melakukan
analisis,
terlebih
dahulu
dilakukan
pemilihan data. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan sekaligus melihat validitas data yang telah terkumpul. Data yang telah
68
Dr. Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 125-126.
49
terkumpul diposisikan sesuai dengan dimensi ruang dan waktu, kemudian dilakukan analisis data dengan pendekatan yang sesuai. Data yang telah dianalisis kemudian dievaluasi dan dilakukan sinkronisasi antara permasalahan dengan teori dan pendekatan yang digunakan. Setelah melakukan sinkronisasi, tahap selanjutnya adalah menarik kesimpulan atas data-data yang telah diintegrasikan sehingga memperoleh hasil akhir dari masalah penelitian yang dipilih.69
1.7.
Sistematika Penulisan Seluruh hasil penelitian tentang “Eksistensi Perempuan dalam
Opera Batak” melalui Zulkaidah Harahap di Sumatera Utara nantinya akan dijabarkan melalui pembahasan yang ditandai dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini akan menjelaskan alasan peneliti mengakaji permasalahan pada tesis. Bagian ini akan dibagi kedalam Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
69
Dr. Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 125-126.
50
BAB II Opera Batak Klasik Serindo dan Opera Batak Transisi PLOt. Pembahasan mengenai Opera Batak klasik dan Opera Batak transisi dalam bab ini akan mengungkap eksistensi kelompok Opera Batak Serindo yang merupakan klasifikasi dari Opera Batak klasik dan kelompok Opera Batak PLOt yang merupakan klasifikasi dari Opera Batak Transisi. Kedua kelompok Opera Batak yang menjadi wadah pertama dan terakhir Zulkaidah Harahap berkesenian ditulis secara
Narrative
History
(Verhalende
Verklaringsmodel)
atau
penjelasan sejarah bercerita. Perkembangan dari Opera Batak klasik hingga menjadi Opera Batak transisi tidak terjadi begitu saja, terjadi perkembangan dan perubahan yang dapat dilihat dari struktur pertunjukannya. BAB
III
Perjalanan
Hidup
seorang
Seniman
Perempuan
Zulkaidah Harahap. Bab ini akan mengungkap perjalanan hidup seorang seniman perempuan yang ditulis dengan pendekatan studi tokoh
(life history)
yang
mendalam
(In-depth)
dengan
metode
rekonstruksi historis dan wawancara, kemudian di analisis menjadi beberapa babak kehidupan yang peneliti soroti sebagai sisi hidup yang fenomenal dari seorang Zulkaidah Harahap. BAB IV Eksistensi Zulkaidah Harahap sebagai perempuan dalam Seni Pertunjukan Opera Batak. Bab ini akan menjelaskan
51
tentang dampak kehadiran seorang seniman perempuan Zulkaidah Harahap terhadap eksistensi perempuan pada seni pertunjukan Opera Batak dalam masyarakat Batak Toba, dengan pendekatan feminisme sebagai perspektif untuk melihat permasalahan yang ada. BAB V Penutup. Bab terakhir ini berisikan tentang ringkasan, dan penjelasan dari hasil penelitian ditambah dengan refleksi teoritis dari perspektif feminis yang dipilih peneliti sebagai subyek formal dari
penelitian
ini.
Hasil
penelitian
merupakan
tujuan
dari
dilakukannya penelitian ini untuk menunjukkan nilai penting yang didapat peneliti.