BAB I PENGANTAR
A.
Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan industri gula di Jawa masa kolonial terbagi menjadi tiga fase (kurun). Fase pertama ditandai berdirinya industri gula mulai abad 17 hingga 18 di sekitar (ommelanden) sebelah Selatan Batavia. Fase kedua antara tahun 1830 sampai 1870 yang biasa disebut sebagai kurun cultuurstelsel, bercirikan perusahaan negara; dan fase ketiga adalah pasca 1870. Para investor swasta mencirikan fase ketiga ini, peranan negara (kolonial) sangat diperkecil, muncul korporasi-korporasi gula dengan investasi besar. Kalau dalam fase pertama, tidak terdapat hal-hal yang istimewa,
disebabkan
kemungkinan
gula
para
pengelolah
sebagai
belum
melihat
barang-dagangan
yang
menguntungkan, akibat tipisnya kesempatan untuk mendominasi pasar
internasional.
Selain
itu
adanya
keengganan
atau
ketidakmampuan organisasi perdagangan VOC (Verenigde OostIndische Compagnie) berkompetisi di Eropa, sehingga gula hanya diproduksi dalam batas-batas permintaan tertentu saja. Perkembangan yang terjadi dalam fase kedua menunjukkan kemajuan yang berarti, gula telah menjadi barang-dagangan yang
1
dikonsumsi secara luas, dan yang pasti ada celah pasar. Van den Bosch,1
konseptor
atau
pencetus
cultuurstelsel,
tentu
saja
memperhitungkan kesempatan kecil yang ada untuk memasuki pasar Eropa. Pasar gula Eropa terbuka setelah industri gula di India mengalami kemunduran. Para investor gula India mengalami kebangkrutan
akibat
kegagalan
investasi
industri
gula
di
Pamanukan-Ciasem.2 Sedang proses-proses yang berlangsung selama fase ketiga sebenarnya berlangsung di atas landasan yang telah dibentuk selama fase kedua (kurun cultuurstelsel). Yang terjadi antara tahun 1830-70 adalah eksploitasi negara; sedangkan untuk fase pasca 1870 adalah eksploitasi swasta. Hal yang cukup penting dalam fase ketiga adalah terjadinya krisis-krisis pada pemasaran gula di Eropa.3 Krisis-krisis ini mendorong dilakukan pemadatan
Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal pada Oktober 1828, namun ia tidak segera datang ke Jawa, sebab menunggu penyelesaian dari Willem I dalam mengalihkan kebijaksanaan daerah koloni dari tangan swasta ke pihak pemerintah. Baru pada Maret 1829 ada kepastian dari kalangan swasta yang diwakili oleh Elout, bahwa mereka mengundurkan diri dari pengelolaan koloni di Jawa. Akhir Juli 1829 Bosch berangkat dari Nederland, dan tiba di Batavia tanggal 2 Januari 1830. 1
B. Hoetink, Ni Hoe Kong Kapitein Tionghoa di Betawie dalem tahon 1740 (Batavia: Naamloz Vennotschap Handel ‒ Mij & Drukkerij “De Pertoendjangan, 1923), hal. 3. 2
3 Lembaga-lembaga ini menjadi sangat menguat ketika terjadi krisis tahun 1880-an, pada saat pasaran gula jatuh di Eropa disebabkan diproduksinya gula bit secara besar-besaran oleh kaum farmer Eropa. Peralihan menuju pembuatan gula bit di Eropa disebabkan pasaran gandum farmer Eropa dihancurkan oleh Amerika. Bagi pengusaha gula
2
modal sehingga gula muncul sebagai barang-dagangan terpenting dari Pulau Jawa. Bergabungnya beberapa bank yang menjadi pemasok dana utama industri gula; dan dibentuknya Algemeen Syndikaat van Suikerfabriekanten in Nederlandsch-Indie (didirikan tahun 1894) sangat berarti dalam perkuatan industri gula di Jawa. Lembaga ini menjamin pasaran gula pasokan Jawa. Gula pada waktu itu merupakan tiga perempat produksi ekspor Jawa, yang menghasilkan seperempat jumlah pendapatan negara kolonial. Garis besar perkembangan sejarah industri gula yang diulas di atas baru merupakan kulit luar yang melingkupi pengembangan modal di Jawa. Berbagai sisi hubungan sosial-ekonomi internal antar manusia yang berperan dalam produksi barang-dagangan tersebut
perlu
mendapatkan
perhatian,
mengingat
fondasi
kapitalisme yang kemudian menjadi karakter produksi barangdagangan di Jawa dibentuk di dalam kurun ini. Apa yang sebenarnya terjadi pada kaum tani Jawa pada masa kolonial
Jawa, kondisi pasar gula bit musti dikurangi, cara satu-satunya yang dipilih adalah memasok Eropa dengan gula tebu sebanyak mungkin. Untuk itu beberapa bank seperti NHM (Nederlansche Handelmaatschapij), Internatio dan Kolonial Bank bergabung untuk menciptakan dana yang besar. Selain masalah modal, muncul persoalan lain yakni dengan berjangkitnya penyakit sereh (semacam jamur) yang menyerang tanakan tebu terutama dalam karesidenan Cirebon. Untuk menanggulangi ini para kapitalis gula sepakat mendirikan beberapa Proefstation (pusat penelitian) antara lain di Semarang (1886), Pekalongan dan terbesar di Pasuruan (1887). [George C. Allen dan Audrey G. Donnithorne, Western Enterprise in Indonesia and Malaya: a study in Economic Development, (London; George Allen & Unwin Ltd., 1957), hal. 83-84.] 3
dengan
kehadiran
Bagaimana
proses
modal
dan
industri
pembongkaran
perkebunan
masyarakat
petani
gula? dan
pengintegrasiannya ke dalam industri gula? Memang ada yang telah menjawab pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa masyarakat bumiputera terlalu statis dalam menanggapi perubahan-perubahan yang dipaksakan oleh kolonialisme, sehingga berkembang struktur ekonomi ganda (dual). Karena, penduduk bumiputera tidak terintegrasi ke dalam ekonomi perkebunan maka perkembangan masyarakat Jawa menjadi involutif. Paling tidak pandangan ini telah bertahan agak lama, dan mempengaruhi tulisan-tulisan tentang Jawa yang dilakukan dalam dua dekade setelah pertengahan abad ke-20. Inti dari penjelasan ekonomi ganda dalam melihat Jawa adalah, tidak terjadinya perubahan penting pada masyarakat ini segera setelah hadirnya kolonialisme, atau seperti dikatakan oleh salah seorang pakar pendekatan ini, Geertz, kolonialisme hanya: “"Menumpangkan" […] karena apa yang pada dasarnya dilakukan oleh Belanda, dari tahun 1619 sampai tahun 1924, adalah mencari produk pertanian dari Indonesia, khususnya Jawa, yang dapat dijual di pasaran dunia tanpa merobah struktur ekonomi pribumi secara asasi”.4 Menurut Geertz memang terjadi perkembangan kapitalisme dalam bentuk kantung-kantung (enclave), namun demikian pada bagian
Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976) hal. 51. 4
4
lain masyarakat petani bumiputera yang homogen tidak terusik dengan kehadiran kapitalisme: “Dalam sektor ekspor terdapat kapitalisme administratif; suatu sistem di mana pemegang modal – orang-orang Belanda – mengatur penjualan dan upah, mengontrol output, dan bahkan juga mendiktekan proses produksi”.5 Di lain sisi : “[…] Orang-orang Jawa tidak dapat menjadi bagian dari ekonomi perkebunan sendiri, dan mereka tak dapat mengubah bentuk pola umum pertanian mereka […], karena mereka tak punya modal”.6 Sejauh
mana
posisi
orang
Jawa
terlepas
ketimbang
terintegrasi ke dalam kantung-kantung perkebunan yang padat modal, telah ditinjau kembali oleh Gordon R. Knight.7 Ia menelaah masalah ini dan menemukan bahwa masyarakat bumiputera telah kehilangan sifat-sifat pra-kapitalisnya8 karena mereka terlibat
5
Ibid., hal. 52-53.
6
Ibid., hal. 87.
Dua buah artikel ditulis Knight terutama yang membahas struktur masyarakat di Jawa saat munculnya pabrik-pabrik gula adalah, pertama pada 1980, [Gordon R. Knight, From Plantation to Padi-field: The Origin of the Nineteenth Century Transformation of Java's Sugar Industry, (Amsterdam: Modern Asian Studies, 1980) dan kedua 1982, Gordon R. Knight, Capitalism and Commodity Production in Java, (London & Canberra: Croom Helm, 1982)] 7
Untuk menjelaskan fenomena ini (Gordon R. Knight, Capitalism and Commodity Production in Java) menggunakan istilah gentry; sedang Kolff dalam [G.H. van der Kolff, An Economic Case Study: Sugar and Welfare in Java, (Amsterdam: S Gravenhagen, 1953)] menyebut dengan yeoman. Kedua istilah tersebut merupakan kategori sosial khas Eropa, khususnya dari Inggris. Istilah-istilah asing ini dipakai untuk menjelaskan bahwa ada segelintir bumiputera yang menguasai tanahtanah skala besar dan menanamkan uangnya untuk memproduksi 8
5
dalam produksi barang-dagangan selama paruh pertama abad-19. Dalam
pengembangan
produksi
barang-dagangan
tersebut
organisasi produksinya digunakan ikatan-ikatan sosial pedesaan. Dalam ikatan-ikatan sosial di desa masih perlu diperhatikan pilahpilah antara petani kaya (bertanah) dengan petani gurem (tak bertanah), suatu bentuk kesenjangan sosial yang dianut di Jawa. Kesenjangan sosial ini menentukan pembagian kerja di dalam desa. Ketika
negara
kolonial
mulai
membentuk
industri
perkebunan, kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat desa sifatnya diubah. Karena industri perkebunan (khususnya gula) mengintensifkan
pemasyarakatan
uang
(moneterized).
Uang
membuat interaksi kerja gaya lama, bagi-hasil (bouwdeel) atau pun penyerahan "sukarela" (secara paksa/upeti), menghilang. Sebagai gantinya kini setiap kerja akan diberi ganti atau dilakukan dalam lalu lintas uang. Pemasyarakatan uang menjadi hal yang sangat penting untuk menjelaskan perkembangan lebih lanjut dari cultuurstelsel yaitu dengan munculnya apa yang disebut gejala "kerja bebas"
barang-dagangan tertentu. Sedang hasil yang diperoleh dari proses tersebut diperjual-belikan secara bebas, tidak diserahkan sebagai upeti kepada siapapun.
6
yang terpaut demi kelangsungan kerja onderneming gula.9 Uang telah melepas kaum tani-gurem dari ikatan-ikatan sosial lama, yang bekerja dalam pengaruh perhambaan, kini berubah menjadi penjual tenaga kerja di pabrik gula. Di lain sisi, kaum tani-kaya bisa menyewakan hewan-hewan penarik gerobak ke pihak pabrik. Artinya secara langsung ataupun tidak langsung tesis Geertz dalam
menginterpretasikan
masyarakat
Jawa
dengan
mengabaikan diferensiasi petani,10 menjadi sangat diragukan kevalidannya. Aspek
cultuurstelsel
inilah
yang
penting
dan
perlu
dibicarakan kembali. Apa yang sebenarnya terjadi dalam kurun ini. Dan, apakah masih tepat mempertahankan pandangan yang menyatakan: “Buruh tebu di Jawa adalah tetap petani yang sekaligus juga menjadi kuli, tetap petani rumah tangga yang berorientasi komunitas dan sekaligus juga buruh upahan. Kakinya yang sebelah tertancap di lumpur sawah, yang sebelah lagi menginjak lantai pabrik. Dan agar petani dapat mempertahankan kedudukannya yang serba ringkih dan sulit Robert Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry: Impact and Change in an East Java Residency, 1830-1940, (Sydney: University of Sydney, 1984) khususnya bab IV, "The Transformation to 'Free' Wage Labour", hal. 103-126. 9
Penolakan Geertz untuk memperhatikan diferensiasi petani Jawa dapat diikuti dalam kutipan berikut ini: 10
"[…], struktur pemilikan tanah itu tak lebih hanyalah suatu petunjuk yang tak begitu besar artinya untuk mengetahui pola sosial dari eksploitasi pertanian; bentuk yang spesifik dari pola sosial itu hanya menampakkan diri dalam ukir-ukiran kelembagaan yang rumit, di mana tanah dan tenaga kerja itu sungguh-sungguh terhimpun bersama." (Geertz, Involusi Pertanian, 109; kursif dari penulis)
7
itu, maka bukan hanya onderneming saja yang harus menyesuaikan diri dengan desa … tetapi desa itupun harus menyesuaikan diri, secara lebih menyeluruh, pada onderneming”.11 Beberapa
peniliti
memang
telah
membongkar
asumsi-
asumsi pendekatan model Geertzian karena dianggap terlalu menyederhanakan masalah yang sebetulnya bisa didapati dalam studi-studi empiris. Mereka mulai mengkaji kembali pertanyaanpertanyaan
di
kolonialisme.12 perpektif
baru
seputar
pengrusakan
Misalnya
Alavi
dalam
melihat
yang
masyarakat
mencoba
hakekat
oleh
mengajukan
produksi
kolonial,
mengatakan: ”Pertama-tama, pengaruh dampak kapitalisme dalam meruntuhkan kemandirian ekonomi kaum tani dan semakin menariknya ke dalam kontak produksi komoditi umum yang dihasilkan oleh ekonomi kapitalis dan kedua adalah peningkatan migrasi kaum tani sebagai konsekuensi dari disintegrasi ekonomi kaum tani yang harus mencari pekerjaan di luar pertanian untuk menggantikan ekonomi pertanian yang bangkrut dan mensubsidi kehidupan orangorang yang bergantung dari pertanian”.13 Lebih lanjut Alavi menegaskan, akibat tidak bisa dihindarkannya akumulasi modal melalui investasi dalam industri agrikultur skala 11
99.
Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry, 98-
Untuk suatu rangkuman atas penulis-penulis yang menolak Geertz, dapat diikuti dalam Benjamin White, Involusi Pertanian': Sebuah Obsesi dalam Studi Masyarakat Pedesaan Jawa, (Amsterdam, Edisi April 1987), hal. 104-23. 12
Hamzah Alavi, The Structure of Peripheral Capitalism, (New York: The Macmillan Press, 1982), hal. 187. 13
8
besar, telah memaksa petani pindah ke pekerjaan luar. Dengan kata lain petani dipaksa menjadi pekerja bebas (klas buruh) dan diletakkan dalam pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, uang menjadi diperlukan untuk menolong perekonomian kaum tani yang bangkrut. Namun terdapat logika ekonomi tertentu yang mengakibatkan kaum tani dapat bertahan dari perubahanperubahan yang terjadi yaitu dengan melakukan penangguhan mengkonsumsi barang selain kebutuhan pokok.14 Dari sini mungkin dapat dipahami perubahan mendasar yang diletakkan oleh cultuurstelsel bagi masyarakat Jawa, yaitu cultuurstelsel telah memberi jalan bagi kondisi-kondisi masyarakat yang untuk mudahnya penulis sebut sebagai perkembangan kapitalisme yang cacat.15 Asumsi ini melihat kepada perubahan
14
Ibid., hal. 189-190.
Persoalan mendasar yang memberi sifat suatu sistem sebagai bercorak kapitalis adalah, terdapatnya produksi barang-dagangan yang diperluas (generalized); dan bahwa modal dijadikan sumber peningkatan kekayaan, atau laba yang didapatkan dijadikan modal akumulatif. Selain itu, seluruh hasil produksi yang didapatkan diambil oleh pemilik modal. Dalam masyarakat-masyarakat yang berstruktur pra-kapitalis dengan diperkenalkannya tata hubungan produksi seperti ini akan memunculkan bentuk kerja bebas (tenaga kerja menjadi barangdagangan). Yaitu dilepaskannya petani dari tanah miliknya. [Hamzah Alavi, The Structure of Peripheral Capitalism dan S.H. Alatas, Mitos Pribumi Malas: Citra orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial, (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. 5] Namun perkembangan yang terjadi dalam masyarakat kolonial seringkali berbeda, seperti tidak ditemukannya kerja bebas, meskipun produksi tidak terlepas dari sifat pokok sistem kapitalis. Jadi terdapat pelestarian bentuk-bentuk kerja bukan-kapitalis dalam produksi barang-dagangan. Seperti di Jawa kurun cultuurstelsel, tenaga kerja tidak dilepaskan dari penguasaan 15
9
yang ditancapkan oleh kolonialisme tidak menghasilkan struktur sosial ganda melainkan tunggal, sebagai akan menjadi jelas dalam pemaparan bab-bab di bawah, dalam hal menyatunya masyarakat bumiputera pada sistem ekonomi perkebunan yang dibentuk oleh kolonialisme.
B.
Rumusan Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
Dalam perkembangan industri gula di Pekalongan pada masa cultuurstelsel, di satu sisi ada praktik heerendienst (kerja rodi) dan suiker-contract (kontraktual) sementara di lain sisi, tersedia tenaga kerja di dalam masyarakat pedesaan tang dapat di pekerjakan melalui mekanisme upah kerja. Cultuurstelsel sebagai representasi dari kapitalisme negara, melakukan penempaan mata rantai antara penggunaan tenaga kerja melalui otoritas dan birokrasi dengan akumulasi modal yang berpengaruh terhadap kehidupan petani. Untuk mempersempit permasalahan, penulis melacak petani bumiputra melalui pertanyaan-pertanyaan berikut: 1.
Apakah diferensiasi petani, yang telah terbentuk sebelum
hadirnya
kolonialisme,
memang
tidak
berpengaruh dalam pembagian kerja di onderneming? 2.
Bagaimana desa mempersiapkan tenaga kerja?
faktor produksi (tanah); dan diberlakukannya pengaruh ikatan-ikatan "adat" (kerja menghamba) dalam mobilisasi tenaga kerja. 10
3.
Mengapa upah kerja dapat hadir dalam lingkup kurun yang terkenal dengan kerja tak berupah ini? Hal tersebut dapat membantu mengetahui sejauhmana dampak pabrik gula pada pembongkaran struktur sosial masyarakat pedesaan.
Diharapkan dengan pembahasan hubungan-hubungan yang terjalin antara tenaga kerja bumiputera, negara (gubernemen)16 dan pabrik gula, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab. Pemilihan Karesidenan Pekalongan sebagai subyek bahasan disebabkan di karesidenan ini ada kekhasan yang mewarnai daerah pesisir ini. Seperti, para penguasa bumiputera setempat telah terlibat produksi barang-dagangan sejak awal abad ke-19, sehingga gubernemen banyak mengalami kesulitan ketika harus menerapkan sistemnya. Studi ini tidak bermaksud menjelaskan berbagai masalah seperti yang sering dijumpai dalam penulisan sejarah lokal,17
Untuk selanjutnya akan banyak ditemui istilah gubernemen. Istilah ini sebenarnya merupakan peng-Indonesiaan dari bahasa Belanda Gouvernement yang dalam bahasa Indonesia bisa disamakan dengan pemerintahan, atau politik-tertinggi yang berkuasa. Secara riil istilah ini menunjuk pada Gubernur Jendral, dan hirarkhi-hirarkhi yang ada di bawahnya (tidak termasuk hirarkhi para penguasa bumiputera). Dalam tulisan ini akan tetap dipertahankan istilah gubernemen, untuk menunjuk kekhasan sejarah saja. 16
Kalau pun tulisan ini masih dapat dikategorikan dalam sejarah lokal seperti diulas oleh Taufik Abdullah, hanya mencakup: "masalah 'perbatasan' (lokalitas) dan 'penggalan' (waktu)." [Taufik Abdullah, Ke 17
11
meskipun ruang lingkup dari judul tulisan ini adalah Karesidenan Pekalongan. Dirujuknya karesidenan sebagai batasan geografis atau politik-administratif sudah sejak awal penulisan dirasakan terlalu luas. Meskipun demikian pendataan yang telah dibuat oleh arsip-arsip kolonial memang tidak dapat membatasi diri untuk meneliti secara lebih sempit, seperti dalam batas-batas distrik atau pun desa. Tetapi, dalam menjelajahi arsip karesidenan ini, membuat penulis
bisa
menemukan
masalah-masalah
lain
yang
pada
awalnya di luar rencana penulisan. Karena soal-soal tersebut dianggap relevan untuk dibicarakan, maka terdapat penjelasan panjang lebar tentang barang-dagangan selain gula. Tentunya penjelasan ini penulis harap tidak sekedar tempel, akan tetapi bisa memberi gambaran bagaimana kondisi-kondisi barang dagangan utama lainnya — kopi dan nila — yang dibudidayakan dalam karesidenan ini. Maksudnya untuk meninjau sampai sejauh mana penyerapan tenaga kerja dalam produksi tanaman ekspor tersebut mempunyai pengaruh atau tidak bagi kelangsungan industri gula. Karena tulisan ini menyangkut masalah yang bersifat tematis, dan bukan mengutamakan pada penjelasan peristiwa tertentu, maka penggunaan urut-urutan waktu tidak dilakukan
Arah Penulisan Sejarah Nasional di Tingkat Gadjahmada University Press, 1985) hal. 320-22]
Lokal
(Yogyakarta;
12
secara ketat. Meskipun demikian periodesasi dalam penelitian ini di lakukan dalam rentang waktu selama masa cultuurstelsel berlangsung. Sebab tidak bisa diabaikan akibat kefragmentasian data, dan pembundelan arsip yang "tanpa" melihat satu-persatu kelaikannya untuk dikumpulkan dalam satu tema tertentu, menjadi cukup menyulitkan dalam mencari data-data yang diinginkan.
C.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Secara
keseluruhan
mengungkapkan
apa
tujuan yang
penulisan dihadapi
tesis
ini
masyarakat
untuk pribumi
Karesidenan Pekalongan masa cultuurstelsel dalam geliatnya pada pabrik gula. Hasil penelitian secara teoritis diharapkan dapat menambah jumlah penelitian mengenai ilmu sejarah di bidang sejarah sosial dan ekonomi, khususnya kondisi sebelum dan pada saat pabrik gula masuk ditengah-tengah masyarakat, masa cultuurstelsel. Sementara itu manfaat praktis, diharapkan dapat menambah pengetahuan
bagi
kalangan
akademisi,
sejarawan,
dan
masyarakat umum mengenai sejarah sosial dan ekonomi untuk periode cultuurstelsel.
13
D.
Tinjauan Pustaka
Diketahui bersama bahwa sudah banyak yang mengkaji pabrik gula masa
cultuustelsel. Namun demikian,
beberapa kajian
tersebut lebih banyak berfokus pada petani dan perkebunan tebu. Misalnya, karya yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, dengan judul “Sejarah Perkebunan di Indonesia”; Kajian Sosial Ekonomi” diterbitkan oleh Aditya Media Yogyakarta. Buku itu menerangkan secara jelas berbagai hal tentang perkebunan termasuk di dalamnya hal-hal yang berkaitan dengan perkebunan tebu. Selain itu buku tersebut juga menjelaskan secara
kronologis
penggambaran penekanan
perkembangan
perkebunan
dari
segi
dari
latar
perkebunan perspektif
belakang,
di
Indonesia,
sejarah,
dengan
pertumbuhan
dan
perkembangan, serta faktor yang mempengaruhi perkebunan dari masa ke masa. Perkebunan
pada
awalnya
muncul
sebagai
sistem
perekonomian baru yang belum dikenal, yaitu perekonomian komersial (commercial agriculture) yang tentunya berbeda dengan sistem kebun (garden system). Sistem itu merupakan sistem perekonomian yang dapat membawa perubahan penting terhadap kehidupan masyarakat jajahan (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 3).
14
Selanjutnya, karya dari Clifford Geertz18, Robert Elson19, G.R. Knight
20
dan Uemura Yasuo21, yang juga membahas tentang
perubahan ekologi, perkebunan dan petani tebu di beberapa wilayah namun tidak dijelaskan secara detail tentang perubahan kehidupan buruh pabrik gula dan eksistensi industri gula di Karesidenan Pekalongan masa cultuurstelsel. Sementara, karya Jan Breman banyak menyoroti masalah tenaga kerja yang dielabolarikan dengan politik di perkebuan.22 Pembahasan
yang
telah
dilakukan
oleh
Breman
dapat
Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Terjemahan S. Supomo (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976). 18
Robert Elson, The Impact of Governement sugar Cultivation in The Pasuruan Area, East Java, During the Cultivation System Period. RIMA, Volume. 12, No. 1 (Sydney: University of Sydney, 1978) dan Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry: Impact and Change in an East Java Residency 1830-1940, (Singapore: Oxford University Press, 1984). 19
Gordon R Knight, John Palmer and Plantation Development in Western Java during the Earlier Nineteenth Century, BKI volume. 131, 1975., From Plantation to Padi-field: The Origin of the Nineteenh Century Transformation of Java’s Sugar Industry, (Modern Asia Studies, 1980) dan Capitalism and Commodity Production in Java. Capitalism and Colonial Production. Hamzah (eds.) (London & Canberra: Croom Helm, 1982). 20
21 Uemura Yasuo, Perkebunan Tebu dan Masyarakat Pedesaan di Jawa. Dalam Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan SosialEkonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Diedit oleh Akira Nagazumi dan Taufik Abdullah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986).
Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997). 22
15
menguatkan latar belakang petani pada masa sekarang, dan tentunya pembentukan pola pikir petani yang secara langsung juga menjadi tenaga kerja atau kuli pada saat itu sangat terpengaruh oleh sistem kolonial yang telah menjadi tradisi bagi mereka. Buku itu membahas politik perkebunan pemerintah termasuk di dalamnya merupakan perombakan pemilikan tanah di Cirebon pada awal abad ke-20, yang pada dasarnya sangat merugikan petani. Selain Jan Breman, Mubyarto23 pun memiliki karya yang mengangkat tentang tenaga kerja dengan memaparkan kajian sosial ekonomi seputar perkebunan dan tenaga kerja yang berperan sangat dominan dalam kelangsungan sebuah mesin industri gula. Menurutnya tenaga kerja adalah faktor terpenting dalam suatu perkebunan maupun industri gula. Mengingat masalah tenaga kerja terkait dengan fungsi ekonomi dan martabat manusia, maka penangananya justru terasa lebih krusial. Bukubuku tulisan Mubyarto itu pada umumnya banyak membahas tentang
industri
gula
di
Indonesia,
namun
sangat
sedikit
pembahasan-pembahasannya mengenai petani tebu dan kondisi sosial ekonomi Karesidenan Pekalongan.
Mubyarto, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Aditya Media, 1992). 23
16
Karya berikutnya yang ditulis oleh H.C. Prinsen Geerlings24 serta Murbyarto dan Daryanti25, lebih mengambarkan tentang eksistensi industri atau pabrik-pabrik gula serta kesulitankesulitan sejak dari awal bermunculannya di beberapa wilayah di Jawa. Selanjutnya karya yang tidak kalah penting adalah buku gabungan dari beberapa pakar terkemuka dari lembaga perguruan tinggi yang mendalami berbagai cabang ilmu sosial yang menyoroti permasalahan secara terpadu di satu daerah tertentu yaitu pesisir utara Jawa Tengah. Karya mereka tergabung dalam buku berjudul “Di Bawah Asap Pabrik Gula: Masyarakat Desa di Pesisir Jawa Sepanjang Abad ke-20. Buku tersebut dieditori oleh Hiroyosi Kano, Frans Hüsken dan Djoko Suryo. Dalam buku itu kisah bagaimana modal
asing
dalam
abad
ke-19
mulai
mencampuri
dan
mempengaruhi kehidupan ekonomi di desa serta pertanian rakyat yang gurem jelas diilustrasikan dengan peranan pabrik gula Comal. Sementara beberapa karya yang di tulis oleh Robert van Niel26, A.M. Djuliati Suroyo27 serata Nasaruddin Anshoriy, C.H28
H.C. Prinsen Geerligs, The world’s Cane Sugar Industry Past & Present, (Inggris: Manchester, 1912). 24
Mubyarto dan Daryanti, Gula: Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Mitra dan Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan Universitas Gadjah Mada, 1991). 25
Robert van Niel, Java Under the Cultivation Sistem, (Jakarta: LP3ES, 2003). 26
17
menjelaskan
bagaimana
masa
cultuurstelsel
berlangsung
di
Indonesia. Demikian beberapa referensi yang dianggap relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan, tahap ini dilakukan sebagai cara untuk memaparkan aspek mana yang telah diteliti dan aspek mana yang masih tersisa untuk diteliti.
E.
Kerangka Teoretis
Kondisi sosial dan ekonomi Indonesia pada masa kolonial bersifat tidak sinkronis. Kehidupan ekonomi hanya menguntungkan satu sub-kelas kecil yaitu bangsa Belanda (Eropa); sedangkan bangsa Indonesia (penduduk pribumi) yang merupakan bagian terbesar dari
masyarakat
kolonial
menderita
karena
hidup
dalam
kemiskinan. Kekayaan dan keuntungan yang dimiliki golongan mayoritas Belanda diperoleh dengan cara melakukan eksploitasi ekonomi atas golongan mayoritas penduduk pribumi yang pada umumnya petani Jawa. Kondisi sosial ekonomi itu dimungkinkan oleh dukungan kebijakan ekonomi kolonial, yang dalam hal ini Cultuurstelsel. Banyak sekali tulisan mengenai Cultuurstelsel yang isinya menggugat tentang kebijakan yang dicetuskan oleh Belanda 27
A.M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Karesidenan Kedu 1800-1890, (Jakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000). Nasaruddin Anshoriy, C.H, Bangsa Inlander Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara, (Yogyakarta: LKiS, 2008). 28
18
tersebut. Cultuurstelsel selalu diartikan dengan tanam paksa. Padahal jika dilihat dari segi bahasa, istilah “tanam paksa” bukanlah merupakan terjemahan yang tepat untuk Cultuurstelsel, yang tepat mestinya adalah sistem budidaya tanaman. Tetapi dari segi realitas - menurut P. Swantoro29, istilah tanam paksa tepat sekali
untuk
menerjemahkan
Culturstelsel.
Hal
sama
juga
diungkapkan oleh Peter Boomgard, yang menulis bahwa pada saat diterapkannya Cultuurstelsel, masyarakat Jawa kurang mendapat rangsangan memadai untuk menghasilkan tanaman perdagangan bagi pasar Eropa, sehingga petani-petani Jawa harus dibujuk (baca:
dipaksa)
garapannya
dan
untuk
menggunakan
sebagian
membudidayakan kopi, nila
dari
sebagian
tenaga
dari
kerjanya
tanah untuk
dan gula30. Begitupula dengan
Sartono Kartodirdjo yang amat jelas mengungkap bagaimana bobroknya sistem yang ditepakan pada rakyat ini. Menurut Sartono, hakikat Cultuurstelsel adalah bahwa penduduk sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus, harus menyediakan sejumlah hasil bumi untuk ekspor seperti yang diinginkan pemerintah31. P. Swantoro, Dari buku ke buku : Sambung Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta: KPG, 2002) 29
30
Peter Boomgard, Anak Jajahan Belanda (Jakarta: KITLV, 2004)
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah pergerakan nasional, (Jakarta: PT Gramedia, 1990). 31
19
Masa cultuurstelsel tidak lepas dari hadirnya para tenaga kerja perkebunan. Tenaga kerja merupakan faktor produksi terpenting yang sulit didapatkan pada masa itu. Atas dasar inilah, kemudian, menurut temuan Jan Breman, diberlakukan sistem perburuhan
yang
sedapat
mungkin
membelenggu
pekerja,
diantaranya melalui kontrak dan uang panjar.32 Kontrak yang diberikan pada tenaga kerja pada waktu itu sangat merugikan mereka, karena para tenaga kerja tidak bisa lari dari belenggu pekerjaan di perkebunan yang begitu berat. Untuk bisa hidup, mereka harus bertahan dengan uang panjar yang diberikan di awal kontrak. Kontrak kerja baru (sjoekoelien) dilakukan dalam jangka waktu 3 tahun. Sementara itu, tenaga kerja yang memutuskan hubungan kerja dianggap melakukan pelanggaran. Sementara itu, pabrik gula yang merupakan komponen daripada
industri
perekonomian
gula,
kolonial
merupakan dan
menjadi
tulang
punggung
katalisator
bagi
pembangunan.33
Breman, Jan. Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997) 32
Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh; Sebuah Kajian Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995) hal. 9-10. 33
20
F.
Sumber Penulisan Dan Metode Penelitian
Penulisan sejarah atau historiografi tentu tidak pernah lepas dari aspek kelengkapan data, apalagi untuk merekonstruksi salah satu aspek masa lampau. Katalogus Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Gajahmada 111, Jakarta, yang dikelompokkan per karesidenan sangat membantu bagi pengumpulan sumber-sumber primer. Meskipun demikian, memang tidak dapat dihindarkan, bahwa
terdapat
celah-celah
yang
dapat
menjadi
sangat
mengganggu dalam merekonstruksi kembali apa yang diinginan. Walaupun cukup fragmentaris, penulis berupaya sedapat mungkin menggali data-data tersebut. Guna memudahkan, untuk pengelompokan ANRI akan dibuat penyingkatan-penyingkatan, seperti Residentie Archieve "Pasar Ikan" 1800-1920, digunakan singkatan RA; Archieven Cultures 1816-1900, digunakan singkatan AC; sedang katalogus ANRI Pekalongan dengan nomor sudut kanan atas 9, digunakan singkatan AKP (Arsip Karesidenan Pekalongan). Untuk besluit-besluit karena tidak ada penomoran (katalogus) arsipnya, maka tetap disebutkan penomoran besluit sesuai dengan yang diberikan oleh Algemeene Secretarie. Juga,
dalam
penulisan
ini
digunakan
sumber-sumber
sejaman seperti tulisan-tulisan L. Vitalis, pejabat Inspecteur der Cultures
(Inspektur
Penanaman)
di
karesidenan-karesidenan
pesisir Utara Jawa Tengah tahun 1834-37, dan penulis-penulis
21
lain yang telah dikumpulkan, diedit dan diterbitkan kembali oleh C.L.M. Penders (1977). Dan juga Ikhtisar Keadaan Politik HindiaBelanda tahun 1839-1844 terbitan ANRI ke-5, yang sangat membantu dalam ringkasan-ringkasan isi dari beberapa besluit, untuk memahami beberapa peristiwa di berbagai karesidenan, termasuk Pekalongan. Selain itu turut pula digunakan Eindresume van het bij Gouvernements besluit dd. 10 Juli 1867 no. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond op Java en Madoera, diterbitkan oleh Bergsma antara 1876 sampai 1896, merupakan hasil penelitian tentang keadaan pemilikan dan atau penguasaan tanah bumiputera yang dilakukan sampai akhir 1860-an (1868-1869). Terbitan-terbitan resmi ini, sebagai sumber sekunder, besar manfaatnya untuk melihat persoalan-persoalan secara lebih mendalam dan menyeluruh. Walaupun terbitanterbitan ini seringkali disusun dengan prasangka-prasangka dan kepentingan-kepentingan mencoba
melacak
tertentu.
foto-foto
yang
Selain
itu
penulis
memungkinkan
juga
untuk
di
masukan sebagai sumber visual. Metode
dalam
penulisan
ini,
adalah
pertama-tama
mendeskripsikan fakta dalam pengelompokan bab maupun subbab. Sedang pendekatan ekonomi-politik yang diajukan Hamzah
22
Alavi34 dalam mengkaji persoalan perubahan sosial, penulis anggap cukup relevan untuk meninjau kembali permasalahan yang berkaitan dengan sistem produksi kolonial di Jawa.35
G.
Sistematika Penulisan
Sebagai kajian sejarah, tulisan ini dibangun terstruktur serta memuat aspek kronologis. Dengan harapan pembaca mampu memahami
dan
memperoleh
informasi
secara
komprehensif
mengenai permasalahan yang dikaji. Tulisan
ini
diawali
dengan,
penekanan
pentingnya
pembahasan bagaimana tenaga kerja kaum tani pada masa cultuurstelsel, di wilayah Karesidenan Pekalongan dalam lingkup pabrik gula, yang diletakan pada Bab I. Bab ini mengantarkan pada fakta bahwa, tenaga kerja kaum tani masa cultuurstelsel khususnya dalam lingkup pabrik gula, belum banyak mendapat pembahasan jika dibandingkan dengan perkembangan pabrik gula pada masa cultuurstelsel. Termuat juga didalamnya pemaparan metode dan bahan-bahan yang digunakan dalam penilisan ini. Garis besar perkembangan industri gula sejak didirikan pada sekitar pertengahan abad ke-17, serta kehidupan singkat
34
Hamzah Alavi, The Structure of Peripheral Capitalism
Upaya menjelaskan Jawa dengan kerangka acuan Alavi, telah dilakukan pula oleh Jan Breman, Penguasaan Tanah Dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial (Jakarta: LP3ES, 1986) 35
23
industri gula di beberapa wilayah sebelum kurun cultuurstelsel, dibahas dalam Bab II. Sementara itu, Bab III akan membahas bagaimana produksi barang dagangan di Pekalongan, ternyata memperlihatkan kekuatan-kekuatan sosial bumiputra yang telah melibatkan
diri
dalam
produksi
barang-dagangan
di
luar
gubernemen. Dalam bab ini pula tergambar adanya konflik kepentingan, disebabkan terdapatnya dua kekuatan mengorganisir barang-dagangan,
dan
sama-sama
menyerap
tenaga
kerja
bumiputera. Basis ekonomi bupati; dan juga diferensiasi petani yang telah terbentuk di pedesaan pada Karesidenan ini, pun tergambar pada bab ini. Pada bab selanjutnya “Organisasi Produksi Industri Gula”, yaitu Bab III, menjabarkan jaringan kerja industri gula, yang meliputi tiga sektor yang berkaitan, antara gubernemen, petani dan pabrik, terutama dalam mendapatkan tenaga kerja dan tanah; dan bagi-modal antara gubernemen dengan pihak pemilik pabrik. Pada tulisan ini, termuat juga kasus keresahan planter onderneming gula di tahun 1842 yang menuntut kenaikan upah, yang
diletakan
pada
Bab
V,
dalam
“Planter
(Pengusaha
Perkebunan Tebu) Menggugat Upah”. Dilanjutkan dengan cara gubernemen menganalisa dan menanggapi peristiwa tersebut. Berakhiri dengan analisa penulis terhadap peristiwa tersebut, yaitu bagaimana memperhitungkan upah dengan kebutuhan
24
sehari-hari para planter. Maksud pemaparan peristiwa tersebut dalam rangka melihat kembali kerja industri modern, yang ditunjukkan dalam pengoperasian upah sebagai pembayar kerja yang telah diambil oleh onderneming dari masyarakat bumiputera. Serta dalam proses penyerapan tenaga kerja tersebut kaum tani telah menggunakan perhitungan rasional dalam menghitung jumlah besarnya upah mereka. Tulisan ini diakhiri dengan jawaban dari permasalahan dan realisasi tujuan penelitian diletakan pada kesimpulan.
25