BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Perkembangan batik di Surakarta tidak dapat dilepaskan dari peran keraton Mataram sebagai pusat tradisi dan adat istiadat.1 Sebagai pusat tradisi dan adat istiadat, keraton Mataram pernah mengalami perkembangan setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755
yang
berdampak
pada
pembagian
wilayah
Mataram.
Perjanjian tersebut tidak saja membagi wilayah Mataram, tetapi turut pula mempengaruhi pembagian segala isèn-isèn Keprabon termasuk busana. Keraton Kasunanan Surakarta lebih murah hati, dapat menerima variasi-variasi, karena kawasannya lebih besar
dan
lebih
mantap.
Sedangkan
Keraton
Kasultanan
Yogyakarta yang usianya lebih muda, memiliki kawasan yang lebih kecil dan lebih sadar akan identitasnya.2 Selanjutnya,
di
keraton
Kasunanan
Surakarta,
mulai
membuat busana yang lebih bervariasi, termasuk kain batik untuk nyampingan, corak batiknya pun mengalami perubahan dan penyesuaian hingga menemukan bentuknya yang konstan
1Timbul Haryono, “Motif Ragam Hias Batik Filosofi dan Maknanya”, Makalah Seminar Nasional Batik di Mata Bangsa Indonesia dan Dunia, (Yogyakarta: Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad,17 Mei 2008), 4. 2Iwan Tirta, Batik Sebuah Lakon (Jakarta, PT. Gaya Pavorit Press, 2009), 85
1
2
dan stabil yang disebut batik gagrak Surakarta atau gaya Surakarta. Perkembangan corak batik di Surakarta yang begitu pesat serta pemakaian yang kurang sesuai pada saat itu, justru menurunkan kandungan nilai budaya batik. Akibatnya, tatanan penggunaan batik pun menjadi kabur. Kain batik yang dipakai bangsawan dan kawula menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, Pakoe Boewono III membuat suatu “tatanan pemakaian kain batik yang ada di Nagari Surakarta”.3 Dengan tatanan tersebut, seseorang yang memakai busana dengan ragam hias batik dan atribut tertentu di keraton dengan cepat diketahui derajat, pangkat, dan kedudukan pemakainya dalam hierarki keraton, terutama pada saat pisowanan dan penyelenggaraan upacara serta penobatan raja. Tradisi busana di keraton harus dipatuhi. Motif kain batik dan sistem pemakaiannya diatur sesuai dengan pangkat dan kedudukan pemakainya.4 Kekhususan
batik
keraton
merupakan
batik
dengan
pola
tradisional yang semula tumbuh dan berkembang di keratonkeraton
Jawa. Tata
susun
ragam hias dan
pewarnaannya
3Ana déné kang arupa jejarit kang kalebu larangan ingsun, bathik sawat lan bathik parang, bathik kang calacap modang, bangun tulak, lenga teleng lan tumpal, apa déné bathik cemukiran kang calacap lung-lungan, kang sun wenangaké anganggoa pepatihingsun lan sentananingsun, déné kawulaningsun padha wedia” (Honggopuro, 2002), 9. 4Moeryati Sudibyo, Busana Keraton Surakarta Hadiningrat (Jakarta: Grasindo 2003), XXII.
3
merupakan
paduan
pandangan
hidup,
yang
mengagumkan
dan
kepribadian
antara
seni,
lingkungan
adat, yang
melahirkannya, yakni lingkungan keraton.5 Peningkatan kebutuhan kain batik di lingkungan keraton menuntut upaya pembuatan kain batik dalam jumlah dan kualitas (bahan, proses, dan ornamen) yang sesuai. Semula, pembuatan batik hanya dikerjakan oleh para putri di lingkungan keraton. Hal ini terjadi karena keterampilan membuat batik belum banyak dikuasai masyarakat. Aktivitas membatik, masih dipandang penuh sebagai nilai kerohanian, yang bersumber dari pemusatan pikiran, kesabaran, dan kebersihan jiwa dengan dilandasi permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Iwan Tirta, proses pembuatan batik di keraton merupakan kegiatan bagi perempuan-perempuan bangsawan. Sesungguhnya keterlibatan mereka hanya sebatas mengubah desain dalam pembubuhan malam atau lilin batik di atas kain. Seorang perempuan ningrat tidak akan pernah terlibat langsung dalam “kerja kasar”, seperti ngerok malam, atau merebus kain.6 Akibatnya, proses pembuatan batik tidak terselesaikan dengan tuntas. Hal ini disampaikan pula oleh Soedewi Samsi, sebagai berikut.
5Santosa Doellah, Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan (Surakarta: Danar Hadi, 2002), 54. 6Iwan Tirta, 2009, 85.
4
Proses pembuatan batik keraton, umumnya hanya sampai proses ngèngrèng (penggambaran dengan canting lilin yang pertama). Proses selanjutnya dilakukan di luar keraton. Hal inilah yang kemudian memacu tumbuhnya usaha batik tulis di luar keraton. Lama-kelamaan usaha ini semakin berkembang menjadi usaha-usaha yang tidak hanya meneruskan pekerjaan dari keraton.7 Seiring dengan meningkatnya kebutuhan kain batik bagi keluarga dan kerabat bangsawan di lingkungan keraton dan masyarakat biasa di luar istana, pembuatan batik sudah tidak mungkin lagi tergantung kepada para putri dan abdi dalem di dalam keraton. Meningkatnya kebutuhan kain batik mendorong para konsumen batik menjadi produsen batik. Para wanita yang semula membuat batik di rumah hanya untuk kebutuhan keluarga mulai memproduksi kain batik untuk dijual kepada konsumen atau tengkulak. Sejak saat inilah mulai tumbuh usaha pembuatan batik skala kecil. Pada awalnya produksi batik yang dibeli oleh para pedagang adalah batik yang memiliki pola aplikasi sesuai kehendak pembatik sendiri. Tidak lama sesudah itu para pedagang batik memesan pola yang sesuai dengan keinginan konsumen kepada para pembatik.8 Kegiatan usaha pembuatan batik di luar tembok istana telah mendorong tumbuhnya industri batik yang lebih besar. Industri
7Soedewi Samsi, “Motif dan Proses Membatik”, Makalah Disajikan Pada Seminar Batik Nusantara (Surakarta : 28 Juli 2007), 1-2. 8Hermen C. Veldhiesen, Fabric of Enchantment (Los Angeles: Country Museum of Art, 1997), 39.
5
batik ini dikelola oleh para saudagar sekitar tahun 1850-an. Daerah perkembangan usaha pembuatan batik yang dikelola oleh para saudagar di Surakarta, meliputi: Kauman, Kratonan, dan Laweyan.9 Kehadiran usaha batik di daerah ini dianggap sebagai jawaban adanya peningkatan kebutuhan kain batik dalam jumlah yang semakin besar dan beraneka ragam, serta sebagai jawaban terhadap
perubahan
selera
masyarakat
yang
semula
menggunakan kain tenun sebagai bahan pakaian sehari-hari ke penggunaan kain batik. Untuk mengimbangi peningkatan ini, para saudagar merekrut pekerja terampil dari luar daerah. Para pekerja yang direkrut diharuskan tinggal dalam rumah tangga saudagar,10 dan keturunan mereka (para pekerja) dipelihara dengan baik.11 Oleh sebab itu, batik yang diproduksi oleh para saudagar tersebut sering disebut batik Sudagaran.12 Para saudagar melakukan pengubahan dan penambahan pada
pola
batik
larangan
sesuai
selera
mereka.
Hal
ini
dimaksudkan agar pola batik yang telah diubah dapat diminati dan dipakai oleh masyarakat umum. Selain itu, mereka juga
9Doellah,
2002, 126. yang memperdagangkan sesuatu dalam jumlah besar pedagang besar…. Kain batik. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1232. 11Tirta, 2009, 85. 12Adalah wastra batik yang dihasilkan oleh kalangan saudagar batik, polanya bersumber pada pola-pola batik keraton, baik pola larangan maupun pola batik keraton lainnya. Ragam hias utama serta isèn-isèn polanya digubah sedemikian rupa sesuai selera kaum saudagar. Mereka juga menciptakan polapola baru, baik ragam hias utama maupun isèn-isèn-nya. (Doellah, 2002), 124. 10Orang
6
melakukan upaya percepatan proses produksi dengan inovasi canting cap dari tembaga. Penggunaan canting cap ini telah membawa perubahan besar terutama bagi peningkatan kuantitas produk batik dengan harga relatif murah. Sistem cap dibawa dari Semarang ke Surakarta pada tahun 1840, di lingkungan Ngabehi Resodipoero Djiwanggo di Kampung Kauman, tempat para saudagar pribumi, sebagai cikal bakal industri batik di Kota Surakarta.13 Proses batik cap di Kauman awalnya sangat dirahasiakan. Namun, lambat laun sistem itu berhasil ditiru dan berkembang menjadi usaha batik cap di sebelah timur Kota Surakarta (Serengan dan Warung Pelem), dan di sebelah barat kota (Tegalsari, Kabangan, dan Laweyan).14 Dengan mempergunakan peralatan cap dari tembaga, proses penciptaan batik menjadi semakin mudah dan cepat serta hasilnya lebih murah. Lama-kelamaan, cara ini disempurnakan sehingga timbullah industri batik dengan produksi besar seperti keadaan sekarang ini.15 Sejak pertengahan abad XIX, dengan dibukanya pasar-pasar baru
dan
adanya
inovasi
teknis
dalam
membatik,
terjadi
13Heriyanto Atmojo, Batik Tulis Tradisional Kauman Solo (Surakarta: Tiga Serangkai, 2008), 33. 14Periksa, 1930, Batik Raport II, (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1930), Bab V. Wilayah Kerajaan I Surakarta. 15W. Kertcher. Perindustrian Batik di Pulau Jawa, diterjemahkan oleh Poey Keng Seng (Rhein: Badische Anilin & Soda Fabrik AG. Ludwigshafena, 1954), 6.
7
transformasi industri yang berjalan melalui dua tahap. Tahap pertama (tahun 1850-an), berdirinya pusat industri batik di Surakarta
yang
terletak
di
tengah
kota,
seperti
Kauman,
Keprabon, dan Pasar Kliwon. Tahap kedua (tahun 1870-an), pasarpasar lokal yang terus meluas seiring makin hebatnya penetrasi perkebunan Belanda di pedesaan, semakin lancarnya jalur atau transportasi perdagangan, dan cepatnya proses produksi melalui metode cap.16 Hai ini menyuburkan pusat-pusat industri batik di pinggiran kota Surakarta, khususnya di Laweyan. Para pengusaha batik di Laweyan mendirikan tempat produksi batik cap dalam skala besar pada awal 1870-an. Mereka pada umumnya secara ekonomi dan sosial lebih kuat dan secara budaya lebih otonom.17 Perkembangan
teknik
batik
cap
di
Laweyan
lebih
disebabkan oleh meningkatnya permintaan produk batik yang relatif murah dan mudah diperoleh. Meningkatnya permintaan terhadap batik membuat para pengusaha melakukan percepatan proses
produksi.
Adapun
tujuan
percepatan
proses
seperti
disampaikan oleh Jasper dan Mas Pirngadie sebagai berikut.
16Membatik
cap atau „ngecap‟ ialah pekerjaan membuat batikan dengan cara mengecapkan lilin batik cair pada permukaan kain. Alat cap atau sering disebut canting cap adalah motif batik berbentuk „stèmpel’ yang dibuat dari plat tembaga. Sewan Susanto Sk., Seni Kerajinan Batik (Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian RI, 1980), 30. 17Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat Jawa 19121926. Terjemahan Hilman Farid (Jakarta: Grafiti, 2005), 33.
8
Batik merupakan pakaian masyarakat yang mudah diperjualbelikan secara besar-besaran. Para saudagar tersebut lebih mementingkan segi keuntungan dari pada segi seninya. Para saudagar tersebut menggunakan stempel (cap) batik dari tembaga yang dicelupkan ke dalam lilin panas dan menekankan pada kain sehingga diperoleh gambar-gambar secara teratur dan selalu berulang-ulang.18 Perkembangan industri batik di Laweyan tidak dapat dipisahkan dari peran Haji Samanhoedi. Bersama saudara, teman, dan pengikutnya, beliau mendirikan perkumpulan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1912. Pendirian Perkumpulan SDI diawali dengan didirikannya Rekso Roemekso (sebuah organisasi ronda) untuk menjaga keamanan daerah Laweyan. Haji Samanhoedi merupakan seorang pengusaha batik terkemuka di Laweyan yang pada tahun 1900 dan 1910-an membuat jaringan dagang di bagian timur dan barat Jawa yang cenderung bebas dari pedagang borongan Tionghoa dan Arab.19 Akhir abad ke-19, para saudagar Laweyan membuat batik sudagaran dengan memasukkan unsur batik pesisiran yang terkenal halus dengan warna-warna yang berani. Hasilnya tampak pada batik “tiga negeri” (batik yang dibuat di tiga daerah: merah mengkudu dibuat di Lasem, warna biru muda dibuat di Kudus atau Pekalongan, dan warna soga untuk latar biasa dibuat di 18Periksa JE. Jasper en Mas Pirngadie, De Inlandsche Kunstnijverheid In Nederlandsch Indiè III De Batikkusnt (Van Regeeringswege Gendrukt en Vitgegeven Te‟s-Gravenhage door de Bouk & Konstdrukkerij V/II, Mounton & Co-1916, 2). 19Shiraishi, 2005, 55-56.
9
Surakarta, Yogyakarta, dan Banyumas).20 Selain mendapatkan pengaruh dari batik pesisiran, ornamen batik sudagaran juga mendapatkan pengaruh dari “batik Belanda”, berupa ragam hias bukètan, buntal, atau kéong (paisley) dengan warna-warna yang cerah yang dipadukan dengan pola larangan sehingga tercipta pola baru. Pengaruh batik pesisiran dan pengaruh “batik Belanda” pada batik sudagaran, merupakan bukti adanya perpaduan antara ragam hias setempat dengan unsur ragam hias dari budaya “luar”. Kenyataan ini juga mencerminkan tumbuhnya komersialisasi produk batik, yang mengindikasikan adanya penggabungan gaya daerah dengan hubungan motif dan makna yang semakin lemah. Seiring dengan hal itu, permintaan batik juga mulai terbentuk sesuai keinginan fashion dan bukan atas dasar penyesuaian pemahaman terhadap makna simbolis.21 Perkembangan
usaha
batik
ini
ternyata
menimbulkan
permasalahan baru. Ketersediaan tenaga pembatik yang melimpah berbanding terbalik dengan ketersediaan kain/mori yang sangat terbatas pada masa penjajahan Jepang. Hal ini mendorong para saudagar
membuat
batik
secara
padat
karya
sehingga
mempengaruhi tampilan batik sudagaran pada saat itu, antara
20Doellah, 21Fiona
21.
2002, 125. Kerlogue, The Book of Batik (Singapore: Archipelago Press, 2004),
10
lain dengan membuat isèn latar yang sangat halus seperti pada batik Java Hokokai. Hadirnya ragam hias dengan berbagai jenis isèn
batik
yang
rumit
dan
penuh
dengan
cecek,
telah
memunculkan pola yang terkenal saat itu yakni alas-alasan kupu, alas-alasan sato wana, alas-alasan buron samudra, dan urang watang.22 Sekitar tahun 1950-an, muncul pola baru pada batik sudagaran. Pada waktu itu, tampak tampilan batik dengan ciri isèn-isèn yang padat dengan bentuk cecek (cecek tetel atau cecek dhèmpèl). Pola isèn-isèn batik dengan cecek tetel dikenal dengan nama Batik Tribusana, sedangkan pola batik dengan pola tanpa isèn, dengan klowong cecek di atas latar biru diberi nama „gedhong kosong’. Industri batik Laweyan, kemudian mengalami fase pembuatan batik secara meteran, dengan cara mengembangkan batik sandang menjadi batik téjo pada tahun 1956.23 Sentra batik di Laweyan pernah mengalami kejayaan dalam kurun waktu relatif lama, akan tetapi mulai tahun 1980-an usaha pembuatan
batik
di
Laweyan
mengalami
kelesuan
yang
berkepanjangan, dan hampir mengalami kepunahan. Kondisi memprihatinkan ini dipicu adanya perkembangan batik printing, 22Doellah,
2002, 125. sandang umumnya diproduksi menurut ukuran kain kebaya batik halus klasik. Selanjutnya karena barang itu diproduksi dengan kualitas dan biaya produksi yang rendah, maka batik ini menjadi barang konsumsi rakyat. Demikian pula batik tejo diproduksi tidak lagi mengikuti pola ukuran kain batik melainkan lebih bebas mengikuti ukuran meteran. Soedarmono, mbok Masè Pengusaha Batik Lawèyan Awal Abad 20 (Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia, 2006), 45. 23Batik
11
yaitu tekstil bermotif batik yang dibuat dengan proses cetak sablon.24 Batik printing ini telah menjadi pesaing batik tulis dan batik cap. Hal tersebut menyebabkan pengusaha batik tulis dan batik
cap
mengalami
kebangkrutan,
karena
kalah
dengan
pengusaha-pengusaha besar yang menghasilkan batik printing. Seiring dengan membanjirnya batik printing terjadilah pergeseran pasar dari batik tradisional ke batik printing. Batik tradisional makin lama makin menipis, sebaliknya produksi batik printing terus meningkat. Saat ini keberadaan batik printing sudah menggeser batik tradisional.25 Perkembangan industri batik Laweyan juga dipengaruhi oleh munculnya perusahaan-perusahaan batik di Surakarta dalam skala industri besar pasca Orde Baru. Seperti Batik Danarhadi, Batik Semar, dan Batik Keris mempunyai kantor pusat di Solo. Batik Keris mempunyai toko di hampir setiap kota besar di Jawa, terletak di lahan luas tempat industri batik modern mempekerjakan 8.000 pekerja, perusahaan Dan Liris memproduksi kain yang akan di batik, walaupun perusahaan ini lebih banyak menyuplai untuk pasar domestik 10%, produknya di ekspor ke negara Asean, Jepang, Eropa dan Australia. Produk Batik Keris mencakup semua jenis produk batik, dari canting tradisional sampai proses modern sama-sama digunakan.26
24Salah satu teknik printing dengan menggunakan screen/kasa. Doellah, 2008, 258. 25Edward Soaloon Simandjuntak dkk., “Batik Tradisional Semakin Terpojok Labelisasi Untuk Apa?”, Majalah Prisma (Jakarta: 8 Agustus 1998), 77. 26Silvia Praser-LU, Indonesian Batik Proses. Patterns and Places (Singapore: Oxford University Press, 1991), 66.
12
Beberapa perusahaan besar oleh sebagian perajin dianggap sebagai pesaing yang tidak seimbang. Akan tetapi, beberapa perusahaan besar ini terkadang menjalin kerjasama dengan para perajin batik di Laweyan untuk memasarkan produk batik Laweyan
dalam
jumlah
yang
sangat
terbatas
dan
dengan
persyaratan yang ketat. Pasar produk batik Laweyan belum mampu terangkat walaupun sebagian perajin telah melakukan kerjasama dengan beberapa perusahaan batik skala besar. Keterpurukan dialami oleh industri batik Laweyan, terutama sebelum krisis ekonomi pada tahun 1997. Pada saat itu pemesan batik yang datang ke Laweyan sangat berkurang. Namun, pada masa krisis tersebut justru banyak orang yang datang ke Laweyan untuk “berburu koleksi batik kuno” milik masyarakat Laweyan, untuk dibeli dan dijadikan koleksi pribadi atau dijual kembali agar mendapatkan keuntungan. Dalam hal ini sebuah artefak tidak hanya harus memiliki potensi komoditas, pemiliknya juga harus memiliki keinginan untuk menjualnya.27 Walaupun dilanda keterpurukan dalam usaha, kondisi artefak yang berupa kain batik kuno, peralatan membatik, dan benda bersejarah milik masyarakat di wilayah Kelurahan Laweyan, tidak terjual secara tragis, tetapi masih sangat banyak yang 27Maruška Svasšek, Anthropology Cultural Production (London: Pluto Press, 2007), 101.
13
tersisa. Pada awal tahun 2003 tumbuh kesadaran masyarakat Laweyan terutama pengusaha batik, akademisi, dan Pemerintah Kota
Surakarta
terhadap
potensi
warisan
budaya
yang
terbengkalai di Laweyan. Kawasan yang unik, situs bersejarah, rumah-rumah saudagar batik, berbagai artefak berupa peralatan, dan karya batik kuno, diselamatkan sebagai warisan budaya. Kesadaran ini menumbuhkan dan mengkristalkan keinginan masyarakat
untuk
mengangkat
kembali
eksistensi
Laweyan
sebagai sentra industri batik yang pernah mengalami kejayaan. Menindaklanjuti keinginan masyarakat tersebut, digagas rencana pendirian kampung batik. Puncaknya, pada tanggal 25 Oktober 2004 Slamet Suryanto yang pada saat itu menjabat Walikota Surakarta, secara simbolis melakukan peletakan batu pertama pembangunan tugu Laweyan, di perempatan jalan atau lokasi
bekas
pasar
Laweyan
Pembangunan
tugu
tersebut
yang
disebut
menandai
pasar
mati.
dicanangkannya
Kelurahan Laweyan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Surakarta
bernama
Kampoeng
Batik
Laweyan.
Pasca
dicanangkannya Kampoeng Batik Laweyan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Surakarta, hal ini diharapkan dapat meyakinkan dampak
masyarakat
positif
bagi
bahwa
pariwisata
perekonomian,
itu
terutama
memberikan dampak
dari
14
multifliyer effect yang ditimbulkannya.28 Adanya peningkatan permintaan wisatawan atas cenderamata dapat menghidupkan usaha seni kerajinan, utamanya batik yang dibuat oleh industri setempat. Dalam menghadapi peningkatan industri pariwisata itu diperlukan keseimbangan antara nilai seni dan nilai uang pada produk seni untuk wisata.29 Setelah Kelurahan Laweyan menjadi daerah tujuan wisata bernama Kampoeng Batik Laweyan, sejak tanggal 25 Oktober 2004 daerah ini ditetapkan pula statusnya sebagai Klaster Industri Batik, yang dikelola oleh Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL). Hal ini sesuai dengan Surat Keterangan BAPPEDA Kota Surakarta nomor 050/1.250 tanggal 17 Oktober 2008. Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), pada awalnya dibentuk oleh masyarakat di wilayah Kelurahan Laweyan dengan tujuan untuk membuat wadah yang dapat mewujudkan
keinginan
masyarakat,
dalam
mengembangkan
Kampoeng Batik Laweyan sebagai daerah tujuan wisata dan untuk mengembangkan Klaster Batik Laweyan. Masyarakat harus selalu memaksimalkan partisipasinya dalam pengembangan kampung
28Oka A. Yoeti, Ekonomi Pariwisata (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), 62. 29R.M. Soedarsono, “Dampak Pariwisata Terhadap Perkembangan Seni di Indonesia”, Pidato Pada Dies Natalis Institut Seni Indonesia (Yogyakarta: 26 Juli 1988), 10.
15
batik, agar setiap anggota masyarakat dapat terlibat aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengevaluasian, penjagaan keberlangsungan program, serta untuk penciptaan kembali masa depan masyarakat dan individu.30 Sejak diresmikannya Laweyan menjadi Kampung Batik sebagai salah satu daerah tujuan wisata, pada tahun ini (2014), daerah ini setiap hari dikunjungi sekitar 200 orang wisatawan. Pada hari-hari libur seperti Sabtu dan Minggu pengunjung Kampoeng Batik Laweyan dapat mencapai 500 orang. Dengan hadirnya para wisatawan, para perajin batik di wilayah Laweyan semakin tertantang untuk mengembangkan inovasi produk yang berorientasi pada pasar yang baru, yaitu pasar setempat melalui showroom-showroom yang semakin baik. Pengembangan
inovasi
berbasis
budaya
lokal
perlu
difasilitasi oleh Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, dengan struktur kepengurusan yang dikelola masyarakat setempat dengan
pusat
kegiatan
juga
di
Kampoeng
Batik
Laweyan.
Pengembangan inovasi berbasis warisan budaya sangat berguna tidak saja untuk menggerakkan masyarakat, tetapi juga untuk menjaga warisan budaya mereka agar tetap hidup. 31
30Ife
dan Tesoriero, 2008, 285. Arizpe, Cultural Heritage And Globalization, Values And Heritage Conservation, Research Report (Los Angeles: The Getty Conservation Institute, 2000), 35-36. 31Louders
16
Laweyan telah mengukir sejarahnya sebagai salah satu sentra industri batik yang memberikan kontribusi terhadap Indonesia sebagai negara penghasil batik. Kehidupan batik di Indonesia pernah terusik oleh upaya dari Malaysia yang akan menjadikan batik sebagai budaya asli dari negara tersebut. Upaya Malaysia tersebut bertentangan dengan pendapat seorang sarjana Belanda J.L.A. Brandes (1889) yang menyebutkan bahwa batik merupakan salah satu dari sepuluh butir kekayaan budaya bangsa Indonesia (Jawa),32 sebelum tersentuh oleh budaya India. Pendapat
tersebut
menyatakan
bahwa
dipertegas Batik
oleh
adalah
Timbul
satu
dari
Haryono kekayaan
yang asli
Indonesia. Batik merupakan salah satu unsur “local genius” yang menjadi ciri inti kebudayaan masyarakat.33 Upaya yang dilakukan oleh
Malaysia
memicu
sentimen
baru,
yaitu
naiknya
rasa
kecintaan masyarakat Indonesia terhadap batik di dalam negeri. Rasa
cinta
itu
berdampak
pada
meningkatnya
permintaan
terhadap kain batik. Peningkatan permintaan ini direspon positif oleh para perajin batik Laweyan untuk turut serta meningkatkan omzet penjualannya.
32Sepuluh butir kekayaan budaya bangsa Indonesia yang telah ada sejak pra-hindu yaitu 1) wayang, 2) gamelan, 3) tembang, 4) membatik, 5) teknologi logam, 6) sistem mata uang, 7) pelayaran, 8) astronomi, 9) sistem pengairan (irigasi), 10) dan sistem pemerintahan. 33Haryono, 2008, 1-2.
17
Upaya Malaysia untuk mengakui batik sebagai budaya asli mereka tidak berhasil. United Nation Education Scientific and Cultural
Organization
(UNESCO),
yang
menangani
masalah
pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya, menetapkan batik sebagai budaya tak-benda (intangible cultural heritage) yang dihasilkan oleh Indonesia. Batik ditetapkan sebagai world heritage oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009, di Abu Dhabi yang dipimpin oleh Wakil Direktur Jenderal UNESCO. 34 Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Masyarakat Kampoeng Batik Laweyan pun turut serta memperingati hari batik tersebut dengan mengadakan serangkaian kegiatan dalam format “Festival Laweyan” yang diharapkan dapat menambah daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi Kampoeng Batik Laweyan.35 Penetapan batik sebagai budaya tak-benda warisan dunia, membawa
konsekuensi
kepada
pemerintah
dan
masyarakat
Indonesia untuk sungguh-sungguh memperhatikan kehidupan batik. Perhatian ini termasuk pewarisannya kepada generasi baru,
34Intangible
Cultural Heritage (ICH), sebagai praktik representasi, ekspresi, serta pengetahuan dan keterampilan yang oleh komunitas, kelompok, dan dalam beberapa kasus juga individu mengakui sebagai warisan budaya mereka. ICH merupakan pengetahuan tradisional yang umumnya secara lisan masih dapat dipraktikkan, terus dikreasikan, dan diturunkan kepada generasi berikut. http://arkeologi.web.id 35Seperti Festival Laweyan yang telah dilaksanakan pada tanggal 25 September sampai dengan tanggal 2 Oktober 2014, untuk menyambut Hari Batik Nasional dan dalam rangka Dasawarsa Kampoeng Batik Laweyan yang dikelola oleh Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL).
18
pemastian
dipenuhinya
hak-hak
pembatik,
dan
proses
pembuatannya yang tidak merusak lingkungan, seperti yang disyaratkan konvensi. Batik lahir bersama keanekaragaman adat dan kepercayaan, serta
sikap
budaya
masyarakat
di
berbagai
daerah.
Batik
tradisional dari berbagai daerah telah menjadi milik bersama masyarakat Indonesia (public domain). Hak ciptanya dipegang oleh negara, untuk menghindari sengketa penguasaan yang mungkin timbul di antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. 36 Laweyan sebagai kawasan industri batik memiliki keunikan tersendiri dilihat dari perjalanan sejarahnya, terlebih dengan tidak berproduksinya beberapa pusat industri batik di berbagai daerah. Industri batik Laweyan hingga saat ini masih mampu bertahan hidup.
Industri
ini
mampu
memberi
kontribusi
terhadap
komoditas seni kerajinan batik bagi pasar lokal, nasional, dan mancanegara. Industri batik di Laweyan telah terbukti mampu bertahan hidup (survival) di tengah perkembangan tekstil modern, pengaruh lingkungan, dan perubahan zaman. Kehadiran kain batik dengan berbagai ornamen sebagai produk industri kreatif di Laweyan, tentu telah melalui gagasan dan pertimbangan dari pembuatnya. Sebagai suatu gagasan 36Seni batik dilindungi UUHC, pengaturan perlindungan terhadap seni batik tradisional baru diatur di dalam UUHC 2002. Periksa Afrilyanna Purba dkk., Trips-WTO dan Hukum HKI Indonesia: Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 26-52.
19
kreatif yang bersifat baru dan inovatif batik dapat diwujudkan sesuai kebutuhan pemakai. Inovasi senantiasa mengarah pada market focused. Industri yang berorientasi pada “product facused”, sangat mungkin menghasilkan “terobosan-terobosan”, namun belum tentu diminati pemakai.37 Untuk menghasilkan seni kerajinan batik yang sesuai dengan
keinginan
pengguna,
masyarakat
industri
batik
di
Laweyan selalu menyesuaikan diri terhadap lingkungan internal di perusahaan
sebagai
sebuah
kelompok/organisasi
dan
menyesuaikan diri terhadap faktor eksternal terutama terhadap lima
jenis
kekuatan
keberlangsungan
persaingan
usaha.
Faktor
yang
dapat
eksternal
mempengaruhi
itu
adalah:
(1)
masuknya pendatang baru, (2) ancaman produk pengganti, (3) kekuatan tawar menawar pembeli, (4) kekuatan tawar menawar pemasok, dan (5) persaingan di antara pesaing yang ada.38 Di samping kelima faktor persaingan dalam industri tersebut masih ada
faktor
eksternal
lain
yang
mampu
mempengaruhi
perkembangan usaha, yaitu: teknologi, kebijakan pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat. 39
37Zuhal, Knowledge And Inovation Platform Kekuatan Daya Saing (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), 78. 38Michael E. Porter, Competitive Strategy, Alih Bahasa, Agus Maulana (Jakarta: Erlangga, 1996), 5. 39Poerwanto, Budaya Perusahaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 71.
20
Dewasa
ini
seni
kerajinan
batik
di
Laweyan,
telah
berkembang luas ke dalam berbagai sektor kebutuhan kain batik bagi masyarakat. Selain tetap bertahan sebagai sebuah seni, simbol, dan komponen tradisi Jawa, batik juga menjadi komoditas dalam bentuk bahan dasar untuk aneka ragam kebutuhan masa kini, seperti untuk fashion (pakaian), kain kebutuhan rumah tangga, dan kelengkapan dekorasi interior. Dengan demikian, batik senantiasa diusahakan tampil mengikuti kecenderungan mode dan dibuat dalam aneka bahan dasar.40 Batik sebagai salah satu karya budaya bangsa Indonesia telah mengalami perkembangan seiring dengan perjalanan waktu. Perkembangan yang terjadi telah pula membuktikan bahwa batik sangat dinamis dapat menyesuaikan diri dalam bentuk, ruang dan waktu.41 Laweyan sebagai daerah penghasil batik telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Hal itu menunjukkan adanya suatu kegiatan usaha yang tidak statis, tetapi senantiasa berada dalam dinamika sosial di setiap kelompok/unit usaha pembuatan batik di Laweyan,42 sesuai dengan perkembangan lingkungan dan 40Binarul
Anas, “Batik dalam Tantangan Modernitas”, Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Kebangkitan Batik Indonesia: Batik di Mata Bangsa Indonesia dan Dunia (Yogyakarta: 17 Mei 2008), 2. 41Haryono, 2008, 1. 42Dinamika sosial merupakan gerak masyarakat secara terus menerus yang menimbulkan perubahan di tata hidup pada masyarakat yang bersangkutan. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 329.
21
semangat zaman. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa batik Laweyan sangat dinamis seiring kehendak pembuatnya/perajin yang selalu berinteraksi, berupaya tetap bertahan hidup, dan menjaga kelangsungan usaha dalam dinamika sosial dan ekonomi. Dinamika sosial dan ekonomi yang dimaksud adalah gerak masyarakat secara terus menerus yang menimbulkan perubahan di tata hidup masyarakat yang bersangkutan.43 Dinamika gerak kekuatan
masyarakat
perajin
batik
berlangsung
di
setiap
kelompok/perusahaan yang berada di Kampoeng Batik Laweyan. Dinamika
tersebut
menimbulkan
aktivitas
ekonomi
dalam
pembuatan batik sebagai komoditas. Hal ini sangat berpengaruh pada pemilihan dan penggunaan bahan dan peralatan dalam pembuatan batik, proses yang diterapkan untuk menghasilkan batik, dan penampilan ornamen batik. Fenomena seni kerajinan batik Laweyan yang dibuat oleh para perajin, untuk sandaran hidup keluarga perajin dan untuk keberlangsungan hidup perusahaan, sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian tentang seni kerajinan batik semacam ini sangat
berhubungan
dengan
masalah
sosial
dan
ekonomi,
sehingga studi interdisipliner sangat relevan dalam penelitian kebudayaan.44
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, 329. Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 43. 43
44Kuntowijoyo,
22
B. Rumusan Masalah Sentra industri kerajinan batik Laweyan memiliki latar belakang historis yang sangat panjang. Industri batik di daerah ini telah
menunjukkan
kemampuannya
dalam
bertahan
hidup,
sehingga industri batik di daerah ini tidak pernah mengalami kepunahan. Sementara di tempat lain, banyak sentra batik sudah tidak berproduksi lagi. Berdasarkan
uraian
di
atas,
terdapat
beberapa
permasalahan penting sebagai fokus perhatian untuk dikaji dalam penelitian disertasi ini. 1. Mengapa usaha di bidang seni kerajinan batik di wilayah Kelurahan
Laweyan
mampu
bertahan
hidup
di
tengah
dinamika sosial dan kondisi zaman? 2. Bagaimana
ide
dasar
pembuatan
seni
kerajinan
batik,
perancangan desain, dan proses pembuatan/produksi seni kerajinan batik di wilayah Kelurahan Laweyan? 3. Bagaimana bentuk, fungsi, dan makna seni kerajinan batik di wilayah Kelurahan Laweyan dalam konteks dinamika sosial dan ekonomi
masyarakat
Laweyan,
sejak
ditetapkan
daerah
tersebut menjadi Kampoeng Batik Laweyan pada tahun 2004?
23
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Secara
umum,
disertasi
ini
bertujuan
untuk
mengungkapkan situasi estetis batik Laweyan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi industri batik Laweyan sehingga mampu bertahan hidup di tengah perkembangan industri tekstil modern. Kerajinan
batik
tidak
dapat
dilepaskan
dari
masyarakat
pembuatnya, yaitu masyarakat yang memiliki struktur atas (keluarga majikan), struktur bawah (para pekerja biasa), dan fungsi-fungsi tertentu dalam industri batik. Dengan demikian, disertasi ini mempunyai tujuan utama sebagai berikut. a. Mengkaji usaha-usaha pembuatan kerajinan batik di wilayah Kelurahan Laweyan yang mampu bertahan hidup dari sebelum reformasi (pada saat industri batik Laweyan hampir punah tahun 1980-1990) hingga sekarang (2014). b. Mengetahui proses terwujudnya aspek estetis kerajinan batik di Kampoeng Batik Laweyan yang terkait dengan ide pembuatan, desain, dan proses pembuatan batik. c. Menganalisis estetika seni kerajinan batik di wilayah Kelurahan Laweyan sejak ditetapkannya kelurahan tersebut menjadi Kampoeng Batik Laweyan tahun 2004, dikaitkan dengan pengaruh batik keraton, batik sudagaran, pengaruh seniman
24
seni lukis kontemporer dengan media batik, dan pengaruh pariwisata di Kampoeng Batik Laweyan.
2. Manfaat penelitian Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu, baik secara teoretis, maupun praktis. a. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pemerhati dan praktisi seni khususnya bidang seni kerajinan batik, lembaga pendidikan, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait. Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat meningkatkan pemahaman tentang kerajinan batik Laweyan sebagai salah satu produk industri kreatif yang mampu bersaing dalam ekonomi global. b. Secara praktis, hasil temuan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang elemen-elemen penting dari budaya lokal (suatu kepemilikan yang diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya),
termasuk
di
dalamnya
etos
berwirausaha
kerajinan batik produk masyarakat berbasis lokalitas. Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat dimanfaatkan untuk pengembangan desain, inovasi peralatan proses batik. Selain itu,
penelitian
ini
diharapkan
dapat
dipakai
untuk
meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan pengembangan
25
cluster kerajinan batik di Indonesia agar mereka memiliki sistem kerjasama di antara industri sejenis untuk memperkuat posisinya di tengah persaingan dengan tekstil selain batik.
D. Tinjauan Pustaka Seni kerajinan batik Laweyan merupakan produk yang dinamis dari sebuah industri kreatif. Industri ini merupakan bagian dari kegiatan masyarakat Laweyan yang terkait dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi produk. Laweyan memiliki daya tarik bagi para peneliti, dan apabila telah ada peneliti sebelumnya sudah barang tentu, hasil penelitiannya akan dapat dijadikan rujukan yang bermanfaat. Ada beberapa pustaka yang terkait langsung dengan Laweyan sebagai suatu wilayah penghasil batik di Surakarta disampaikan sebagai berikut. P. De Kat Angelino menulis buku berjudul Batik Raport II45 pada tahun 1930 yang berisi laporan tentang industri batik di Surakarta, yang meliputi perusahaan batik milik orang Cina, Arab, dan Jawa. Penelitian tentang perusahaan batik milik orang Jawa difokuskan di Laweyan. Disebutkan bahwa jumlah usaha batik di Surakarta milik orang Jawa sebanyak 236 perusahaan dan sekitar 205 perusahaan berada di Laweyan dengan produksi batik cap
45P.
De Kat Angelino, Batik Raport II (Weltevreden: Landsdrukery, 1930).
26
dan sedikit memproduksi batik tulis, serta pemasarannya yang dipengaruhi oleh musim panen. Industri batik di Laweyan didominasi oleh para pekerja atau buruh laki-laki (buruh cap dan kuli babar, celep) dan sedikit buruh perempuan (buruh tulis dan kuli mberet, kerok). Selain itu, di lingkungan industri batik Laweyan dikenal juga pekerja pembuat stempel atau canting cap dari tembaga, dan istilah pemborong batik (prembé). Menurut Angelino, lingkungan kerja pada industri batik di Laweyan dilengkapi
pada
umumnya
saluran
jelek,
pembuangan
gelap,
sempit
limbah.
dan
Penelitian
kurang Angelino
terfokus pada jumlah kuantitatif dari industri batik di Laweyan, jenis pekerjaan, dan kondisi lingkungan kerja. Penelitian ini memang tidak membahas proses pembuatan batik serta ornamen batik yang sedang berlangsung pada saat itu. Suzanne
April
Brenner
dalam
bukunya
berjudul
The
Domestication of Desire: Women, Wealth, And Modernity In Java 46, berbicara tentang keadaan sosial ekonomi di Kota Solo, Jawa Tengah, tepatnya daerah Laweyan. Istilah domestication dalam buku ini dapat berarti sebagai penjinak (membuat sesuatu terkontrol) dan juga berarti mengubah hal tersebut menjadi sesuatu yang bernilai bagi keluarga. Laweyan merupakan pusat 46Suzanne April Brenner, The Domestication of Desire: Women, Wealth and Modernity In Java (New Jersey: Princeton University Press, 2002).
27
(locus) dari ideologi, kekuasaan, dan perubahan sosial. Laweyan memiliki posisi yang aneh antara kekuasaan saat ini dengan pemodal yang berkuasa. Masyarakat Laweyan menganggap dirinya sebagai penjaga dari kebudayaan tradisi. Laweyan telah digerogoti oleh kapitalisme, modernisasi, dan campur tangan penguasa dari luar. Masyarakat lokal Laweyan berputar pada bentuk khusus ekonomi domestik yang tidak sekadar konsumsi materi dan produksi, tetapi juga manajemen kontrol hasrat manusia, aspek spiritual, dan nilai budaya. Penelitian
Brenner fokus pada peran
wanita
(juragan
perempuan) di dalam rumah tangga dan di dalam perdagangan batik sebagai penjinak hasrat yang dapat membawa kemakmuran ekonomi keluarga. Penelitian ini tidak membahas peran wanita di dalam
proses
produksi
batik
di
Laweyan
serta
tampilan
ornamentik batik Laweyan pada saat itu. Penelitian tradisi lisan yang berjudul Suatu Pengamatan Tradisi Lisan dalam Kebudayaan Jawa Studi Kasus Masyarakat Laweyan di Surakarta47 tahun 1985, yang dilakukan oleh Sarsono dan Suyatno merupakan penelitian tradisi lisan yang berkembang di masyarakat dalam kebudayaan Jawa. Penelitian ini sangat
47Sarsono dan Suyatno, Suatu Pengamatan Tradisi Lisan dalam Kebudayaan Jawa: Studi Kasus Masyarakat Laweyan Surakarta (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Javanologi, 1995), 198.
28
penting artinya dalam usaha memahami unsur-unsur tradisi lisan masa lampau dalam kehidupan masyarakat Jawa. Masyarakat Laweyan dalam kehidupan modern dewasa ini, masih mempunyai unsur-unsur tradisional yang berlatar belakang sejarah masa lampau tentang pentingnya kampung tersebut. Berdasar pada sumber lisan, kampung Pajang adalah pusat keraton Pajang, sedangkan kampung Laweyan adalah tempat tinggal Kyai Ageng Henis, tokoh Islam akhir abad ke-16. Struktur sosial masyarakat terdiri dari empat lapisan horizontal, yaitu: (1) wong sudagar, (2) wong mutihan, (3) wong priyayi, dan (4) wong cilik. Penelitian Sarsono
dan
Suyatno
mengupas
beberapa
legenda
tentang
Laweyan dari sudut pandang tradisi lisan menurut masyarakat setempat. Penelitian ini tidak membahas aktivitas industri batik di Laweyan yang dikelola oleh para sudagar batik. Soedarmono dalam bukunya berjudul Mbok Masé Pengusaha Batik Laweyan Solo Awal Abad 2048 merupakan hasil penelitian Tesis Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada tahun 1987. Penelitian ini menjelaskan tentang fenomena sejarah lokal “Mbok Masé saudagar perempuan” dalam perannya di dalam keluarga dan perdagangan batik di Laweyan pada awal abad ke-20. Bahwa status
kekuasaan
wanita
secara
struktural
fungsional
di
perusahaan maupun dalam keluarga berada di atas peranan laki48Soedarmono,
2006, 1-145.
29
laki. Laweyan sebagai kampung batik dengan pertumbuhan industri batik yang produknya telah dikonsumsi masyarakat luas pada
saat
itu,
tidak
dapat
dipisahkan
dari
etos
juragan
perempuan. Perempuan di lingkungan ini mampu membawa industri batik Laweyan ke masa keemasan, sehingga para saudagar batik Laweyan memperoleh apa yang dicita-citakan kebanyakan orang, yaitu: drajat, pangkat, dan semat. Peningkatan kekayaan dari para saudagar batik, rupanya telah mengangkat status sosialnya sejajar dengan status bangsawan. Menurut mereka (para saudagar) hanya dengan kerja keras, hemat, dan disiplin tinggi, kedudukan dan kekayaan itu akan diperoleh tanpa harus mengorbankan harga diri di bawah perintah orang lain. Penelitian
Soedarmono,
seperti
halnya
penelitian
Angelino,
membahas pertumbuhan industri batik di Laweyan pada awal abad ke-20, namun belum/tidak membahas struktur dan fungsi para pekerja di perusahaan, proses produksi di dalam industri batik, dan penampilan ornamen batik yang dihasilkan. Penelitian tentang “Pemukiman Pengusaha Batik di Laweyan Surakarta”49 pemukiman
yang
dilakukan
pengusaha
memperlihatkan
bahwa
batik
oleh
Widayati
Laweyan.
dalam
Hasil
membangun
mengkaji penelitian
pola ini
pemukiman,
pengusaha batik Laweyan mengalami sikap ambiguitas. Sikap 49Naniek Widayati, Settlement of Batik Entrepreneurs in Surakarta (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2004), 1-202.
30
ambiguitas ini dibagi menjadi dua: pertama, sikap ambiguitas menyangkut pola pemukimannya, yaitu adanya kesadaran pada diri pengusaha batik bahwa mereka bukanlah bangsawan keraton. Kesadaran ini memunculkan kesepakatan tidak tertulis bagi mereka untuk tidak membangun rumah dengan atap joglo, yang merupakan lambang atap rumah bangsawan. Namun, mereka tetap membuat petanèn yang lengkap dan mewah, serta masih diterapkannya sistem ruang rumah Jawa yang memiliki halaman luas, yang difungsikan untuk menjemur batik. Bentuk bangunan rumah didesain dengan arsitektur indish, dilengkapi dengan paviliun atau lojèn. Mata pencaharian sebagai pengusaha batik memiliki konsekuensi, bahwa rumah berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus
sebagai pabrik atau
tempat
usaha,
yang
dikelilingi oleh tembok tinggi lengkap dengan regol sebagai pintu masuk dalam kawasan “kekuasaan”. Kedua, sikap ambiguitas menyangkut kedudukan terkadang
pola
perekonomiannya.
pengusaha melebihi
batik
Hal
Laweyan
bangsawan
ini
terkait
dengan
keraton.
dengan
kekayaannya
Akibatnya,
mereka
memiliki perasaan seolah telah menjadi bangsawan. Dari pola membangun pemukiman, masyarakat Laweyan terkesan sangat tertutup walaupun apabila dicermati lebih jauh sebenarnya tidak demikian. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya pintu butulan (pintu tembusan) yang disediakan untuk keluar masuk kerabat, saudara,
31
dan tetangga. Adapun apabila dilihat dari sisi perdagangan, mereka merupakan masyarakat yang sangat terbuka. Pengusaha batik Laweyan Surakarta, dalam membangun tempat pemukimannya tidak sekadar menunjukkan kekayaannya, tetapi dapat pula bermakna sebagai “perbedaan nonkonflik”, baik terhadap pemegang otoritas kultural maupun terhadap para penguasa politik dan ekonomi riil. Penelitian Widayati, memang tidak membahas aktivitas perbatikan di Laweyan dan produk batik Laweyan, penelitian ini hanya fokus pada pola pemukiman pengusaha batik Laweyan. Berdasarkan hasil penelitian dan publikasi di atas, maka penelitian untuk disertasi ini secara substansial belum dilakukan oleh orang lain, sehingga originalitasnya dapat dipertanggung jawabkan.
E. Landasan Teori Ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini banyak bersinggungan dengan persoalan seni kerajinan batik di Laweyan. Untuk itu, diperlukan perumusan konsep atas istilah-istilah yang digunakan sebagai ranah analisis agar terjadi kesepahaman antara peneliti dan pembaca, serta memberikan arah dalam
32
penyusunan kerangka teori.50 Selain itu, landasan teori juga berfungsi
sebagai
dasar
strategis
pelaksanaan
penelitian.51
Sebelum melangkah lebih jauh mengenai landasan teori, terlebih dahulu disampaikan beberapa pengertian di dalam penelitian ini. Pengertian seni kerajinan sering diartikan sebagai pekerjaan atau kerajinan tangan.52 Selanjutnya, pengertian seni kriya atau crafts atau handicrafts dipertegas oleh Soedarso, yaitu: (1) sesuatu yang dibuat dengan tangan, (2) umumnya dibuat dengan sangat dekoratif atau
secara
visual sangat
indah, dan
(3) sering
merupakan barang guna.53 Ditambahkan bahwa bisa saja dalam pembuatannya
menggunakan
alat,
dengan
syarat
bahwa
sepanjang proses pembuatan si pembuat harus sepenuhnya dapat menguasai alat tersebut.54 Sementara itu, proses penciptaan seni kerajinan mengarah pada hasil seni buatan tangan untuk memenuhi kebutuhan publik lewat produk fungsional praktis layanan umum.55
50Periksa
Mely G. Tan. “Masalah Perencanaan Penelitian” dalam Koetjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1977), 32-36. 51Kaelan M.S. Metode Penelitian Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005), 239. 52Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa: Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 742. 53Soedarso Sp., Trilogi Seni (Yogyakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia, 2006), 107. 54Periksa, Encyclopedia of World Art (New York: McGraw-Hill Book Compay Inc, 1963), 269. 55SP. Gustami, Butir-Butir Estetika Timur Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia (Yogyakarta: Prasista, 2007), 344.
33
Sebagaimana sering disampaikan oleh para pakar pada berbagai kesempatan bahwa batik telah lama menjadi bagian dari seni kerajinan di Indonesia dan telah lama menyatu dalam siklus kehidupan masyarakat, khususnya di Pulau Jawa. Adapun pengertian batik telah disampaikan oleh Bratasiswara dalam Ensiklopedi berjudul Bau Warna Adat Tata Cara Jawa, sebagai berikut. Bathikan (batik), merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kerajinan kain bercorak warna-warni yang penggarapannya menggunakan malam (lilin). Setiap orang Indonesia sudah mengenal batik, yakni bahan sandang, perlengkapan rumah tangga, serta hiasan-hiasan. Batik adalah suatu lukisan di atas mori (kain putih), secara tidak langsung dengan perantara malam (lilin) dan canting, baik canting tulis maupun canting cap sebelum dicelup warna. Pada awalnya bathikan (perbatikan) merupakan kerajinan tradisional yang dikerjakan di rumah tangga keluarga dari desa-desa kemudian berlangsung menjadi perusahaan kerajinan batik yang penuh seluk beluk di dalamnya.56 Pengertian batik cenderung dimaknai dari sisi teknik pembuatan, dengan cara melekatkan bahan perintang warna berupa malam atau lilin batik untuk menghasilkan ragam hias tertentu. Susanto dalam buku Seni Kerajinan Batik Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan teknik pembuatan batik adalah proses pengerjaan dari permulaan, yaitu dari mori batik sampai menjadi kain batik. Proses pengerjaan tersebut dapat 56R. Harmanto Bratasiswara, Ensiklopedi: Bau Warna Adat Tata Cara Jawa (Jakarta: Yayasan Suryo Sumirat, 2000), 85.
34
dibagi menjadi dua bagian, yakni: (1) persiapan terdiri dari macam-macam pekerjaan pada kain sehingga menjadi kain yang siap untuk dibatik, dan (2) membuat batik meliputi pekerjaan: menulis atau mengecap dan melukis dengan lilin batik; memberi warna pada kain dengan cara mencelup atau mencolet, dan menghilangkan lilin pada kain dengan mengerok atau melorot.57 Pengertian Laweyan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Laweyan sebagai lokasi penelitian, yaitu di wilayah Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.58 Laweyan terletak di bagian barat Kota Surakarta. Wilayah Kelurahan Laweyan dikenal sebagai pemukiman penduduk yang padat, tempat untuk membuat batik, menjual batik, dan sebagai salah satu tempat tujuan wisata di Surakarta. Dinamika sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gerak masyarakat secara terus menerus yang menimbulkan perubahan-perubahan di dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan.59 Gerak dan kekuatan masyarakat industri batik di Laweyan berlangsung di setiap kelompok/perusahaan batik, dimana para pekerja saling berinteraksi secara dinamis untuk mencapai tujuan perusahaan. Dinamika dapat terjadi karena 57Sewan Susanto, Seni Kerajinan Batik Indonesia (Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian RI, 1980), 6-7. 58Widayati, Setlement of Batik Enterpreneurs In Surakarta (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2004), 43. 59Departemen Pendidikan Nasional, 2008, 329.
35
antar pekerja mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama-sama.60 Dinamika sosial yang berlangsung di kelompok/perusahaan batik terkait dengan proses adaptasi terhadap kondisi internal perusahaan batik, sebagai sebuah organisasi yang memiliki struktur dan fungsi dari para pekerjanya, untuk memberikan tanggapan atas kekuatan eksternal yang menimpa sistem itu.61 Kekuatan eksternal yang dapat memberikan pengaruh besar terhadap kelangsungan hidup industri, termasuk industri batik di Laweyan adalah kekuatan para pesaing yang berpengaruh pada perkembangan ekonomi masyarakat setempat. Perkembangan ekonomi dalam masyarakat pada dasarnya berangkat dari sistem tradisional menuju sistem yang lebih modern. Pendapat Weber yang dikutip oleh Geertz, menyatakan bahwa perubahan ekonomi itu merupakan bagian dari perubahanperubahan yang lebih luas yang terjadi di segenap lingkungan masyarakat dan bukan hanya satu mata rantai yang terisolasi berdiri sendiri dari serangkaian peristiwa.62 Perkembangan
ekonomi
lokal
Laweyan
masa
lampau
bergerak dari sistem ekonomi pasar sederhana (perdagangan
60Slamet
Santosa, Dinamika Kelompok (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 9. H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Terjemahan Alimandan (Jakarta: PT Asli Mahasatya, 2001), 9. 62Clifford Geertz, Penjaja dan Raja, terjemahan S. Supono (Jakarta: Badan Penerbit Indonesia Raya, 1973,154. 61Robert
36
lawé), menuju pada sistem ekonomi firma, di mana perdagangan dan industri batik dilakukan lewat serangkaian pranata sosial, dan
berlaku
sistem
organisasi.63
Sistem
oganisasi
akan
memudahkan pengelolaan para pekerja/perajin disetiap tahap proses produksi yang terkadang di kerjakan di berbagai tempat, dan dinamika sosial yang berlangsung di kelompok/perusahaan batik, akan melahirkan produk batik untuk komoditas, sesuai dengan
karakter
masyarakat
pembuatnya,
di
perusahaan-
perusahan batik. Konteks permasalahan yang dikaji adalah antara tahun 2004 hingga tahun 2014, dengan pertimbangan bahwa pada kurun waktu tersebut telah terjadi beberapa catatan peristiwa penting, yang terkait dengan pertumbuhan industri batik di Laweyan. Peristiwa itu di antaranya adalah. 1. Sebelum masa Reformasi, industri batik di Laweyan mengalami
keterpurukan
dan
bahkan
hampir
mengalami
kepunahan, terutama pada tahun 1980 hingga 1990-an, sebagai akibat menurunnya daya beli masyarakat. Hanya sebagian kecil perajin batik di Kelurahan Laweyan yang masih mampu bertahan hidup dan menjalankan proses produksinya. Perusahaan yang
63Soedarmono “Laweyan Tempo Doloe: Etos Kerja Para Pengusaha Batik”, dalam Laporan: Sarasehan Industri Batik, Koperasi Batik dan Perubahan Struktur Sosial Ekonomi (Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 1990), 101.
37
mampu bertahan hidup tersebut mampu menghindarkan industri batik Laweyan dari kepunahan.64 2. Sejarah tekstil modern, termasuk “batik printing”, terjadi pada
awal
Orde
Baru.
Pemerintah
Republik
Indonesia
mengeluarkan kebijakan guna pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan industri dan investasi. Hal ini dilakukan untuk membuka peluang masuknya Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967, dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968, melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kebijakan ini berdampak pada sektor industri manufaktur di berbagai daerah dan terutama di Karesidenan Surakarta. Industri manufaktur memiliki karakter di mana tenaga kerja, teknologimesin, dan bahan baku terkonsentrasi di bawah satu atap. Namun, rangkaian pekerjaan dominan diselesaikan oleh mesin untuk menghasilkan produk secara massal. 65 Salah satu produk massal dari industri manufaktur ini berupa tekstil dengan berbagai ornamen. Penetrasi PMA dan Sebuah misal kasus perkembangan pariwisata di Prawirotaman Yogyakarta, di tempat ini telah terjadi alih profesi yang semula pengusaha batik dan tenun ke usaha rumah penginapan. Mereka berganti pekerjaan karena pada tahun 1980-an kedua jenis usaha itu mengalami kemunduran bahkan kemerosotan disebabkan oleh menurunnya pemakai serta munculnya kreasikreasi baru. Kodiran, Perkembangan Kebudayaan dan Implikasinya Terhadap Perubahan Sosial, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Sastra (Ilmu Budaya), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Juni 2000, 13. 65Mahendra Wijaya, Ekonomi Komersial Ganda: Perkembangan Kompleksitas Jaringan Ekonomi Pembatikan di Surakarta (Surakarta: Lembaga Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS [UNS Press], 2010), 12. 64
38
PMDN
di
bidang
industri
pertekstilan
terbukti
mampu
memberikan kontribusi terhadap ketersediaan bahan sandang di dalam negeri. Namun, produk tekstil dari usaha besar ini terkadang menjadi pesaing produk dari industri kecil, terutama salah satu produknya yang berupa kain bermotif batik dengan proses printing atau batik printing.66 Usaha pembuatan batik buatan
tangan
yang
telah
menjadi
sumber
penghidupan
masyarakat luas, kini kelangsungan hidupnya terdesak oleh munculnya produk massal berupa batik printing. Batik sebagai benda seni dan sumber penghidupan terutama bagi masyarakat di pedesaan, tampaknya semakin sulit memperoleh kembali masa kejayaannya. Hal ini dikarenakan telah terjadi pergeseran pasar dari batik tradisional ke batik printing dan telah pula terjadi pergeseran daerah penghasil batik.67 Kondisi kehidupan batik tradisional yang memprihatinkan ini berlangsung hingga sekarang (2014). Pemerintah seharusnya melakukan langkah-langkah atau usaha-usaha untuk melindungi usaha kecil, mengingat semakin terdesaknya para pengusaha
66Istilah
batik printing muncul sekitar tahun 70-an, berawal dari mulai dipergunakannya berbagai serat buatan, seperti polyester, polamyda, dan lycra, Proses pembatikan pada kain berbahan serat buatan dengan cara menggunakan teknik sablon dan cetak printing. Kain hasil teknik-teknik tersebut biasanya disebut dengan tekstil dengan pola yang tersusun dari ragam hias batik atau batik printing. Persaingan yang tinggi antara printing dengan batik yang mempergunakan canting cap tidak dapat dihindari, karena kedua jenis produk tersebut ditujukan pada sekmen pasar yang sama. Dalam persaingan batik printing memiliki nilai kompetitif yang lebih tinggi dibanding batik yang diproses dengan canting cap. Wijaya, 2010, 65. 67Simandjuntak, 1982, 73.
39
pribumi yang disebabkan oleh masuknya modal dalam bentuk PMDN dan PMA.68 Hasil penyelidikan lapangan Geertz terhadap kondisi pengusaha menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki golongan “entrepreneurs” yang memiliki kekuatan dan kelemahan berbeda-beda. Akibatnya, ada daerah-daerah yang sanggup secara agresif memanfaatkan kebijakan-kebijakan pemerintah dan ada pula daerah-daerah yang tidak begitu memerlukan kebijakankebijakan yang terlalu khusus dalam hal pembinaan pengusaha pribumi karena memiliki “entrepreneurs” yang tangguh.69 3. Krisis moneter dan kerusuhan-kerusuhan sosial pada bulan Mei 1998 dan disusul dengan kerusuhan sosial bulan Oktober 1999 berdampak pada kenaikan harga bahan baku untuk membatik hingga mencapai 300%. Hal ini membuat beaya produksi
semakin
tinggi,
sementara
daya
beli
masyarakat
menurun. Usaha pembuatan batik di Laweyan semakin terpuruk, pasca krisis moneter dan kerusuhan sosial ini. Banyak perajin menjual peralatan membatik (peralatan batik cap yang dijual kiloan), menjual koleksi batik kuno, dan bahkan menjual rumah tinggal. 4. Tidak
ingin
hanyut
dalam
keterpurukan
yang
berkepanjangan, masyarakat di Kelurahan Laweyan berupaya
68Periksa, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Pengusaha Pribumi dan Proses Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Sebuah Tanggapan Atas Hipotesa-Hipotesa Geertz”, dalam Cliford Geertz, Penjaja dan Raja terjemahan Supono (Jakarta, PT Badan Penerbit Indonesia, 1973), XX. 69Kuntjoro-Jakti, 1973, XIX-XX.
40
bangkit,
dengan
menggagas
dan
merealisasikan
pendirian
Kampoeng Batik Laweyan pada tahun 2004 sebagai daerah tujuan wisata yang sekaligus sebagai klaster batik. Implikasi industri pariwisata terhadap kehidupan sosial, di antaranya adalah tumbuhnya kelompok-kelompok kesatuan sosial baru. Industri pariwisata juga menimbulkan diversifikasi lapangan pekerjaan baru. Ia juga menarik pendatang baru dari daerah lain. Sebagai akibatnya industri ini merangsang mobilitas sosial yang umumnya digerakkan oleh motif-motif ekonomi, seperti: group guides, usaha kuliner, industri kecil cinderamata, pelayanan pariwisata/agen
perjalanan,
cultural
event,
dan
usaha
penginapan.70 5. Upaya Malaysia untuk mengakui batik sebagai warisan budaya mereka, menyebabkan sentimen di dalam negeri yang berdampak pada peningkatan permintaan batik tahun 2007/2008. Upaya Malaysia tersebut gugur setelah PBB melalui UNESCO mengakui batik sebagai budaya non-benda yang dihasilkan oleh Indonesia, pada tanggal 2 Oktober 2009. 6. Pemilihan kurun waktu penelitian setelah berdirinya Kampoeng Batik Laweyan hingga tahun 2014, diharapkan dapat menjadi Laweyan
pijakan terdapat
untuk
membuktikan
usaha
pembuatan
bahwa
di
Kelurahan
batik
yang
mampu
melakukan penyesuaian-penyesuaian, serta mampu bertahan 70
Oka A. Yoeti, 2008, 3-4.
41
hidup dan menjaga keberlangsungannya, di tengah dinamika sosial dan ekonomi masyarakat pembuatnya. Pengertian dinamika adalah kekuatan gerak yang dimiliki sekumpulan orang dalam masyarakat yang dapat menimbulkan perubahan di tata hidup masyarakat
yang
bersangkutan.71
Dengan
kata
lain
yang
dimaksud dinamika dalam penelitian ini adalah dinamika dari para pekerja batik yang terhimpun di setiap usaha pembuatan batik Laweyan yang mampu mewarnai perkembangannya dari waktu ke waktu. Untuk membahas permasalahan seni kerajinan batik di Laweyan secara mendalam diperlukan beberapa pendekatan dan teori yang terkait dengan disiplin lain. Pendekatan multidisiplin (interdisipliner), jelas sangat dimungkinkan, bahkan dianjurkan.72 Adapun beberapa pendekatan dan teori yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut. 1. Untuk menjawab permasalahan mengapa usaha di bidang seni kerajinan batik di wilayah Kelurahan Laweyan mampu bertahan hidup di tengah dinamika lingkungan dan zaman, digunakan teori fungsionalisme struktural yang disampaikan oleh Talcolt Parsons. Teori ini digunakan untuk menganalisis faktor-
71Departemen
Pendidikan Nasional, 2008, 329. Soedarsono, Metodologi Penelitian Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung, MSPI Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001), 194. Periksa, Pendekatan-pendekatan: Seni dan Sejarah “Pengantar” dalam Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Pengantar dan Penterjemah Oleh R.M. Soedarsono (Bandung: Arti.line Untuk MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), 2000, XIX-XXXII. 72R.M.
42
faktor yang mempengaruhi usaha batik Laweyan hingga bertahan hidup dan berkelanjutan di tengah perkembangan sosial dan ekonomi. Parsons menggunakan empat sistem yang meliputi: Adaptation; Goal/Attaiment; Intergration, dan Latency. Empat imperatif fungsional ini disebut sebagai skema AGIL. Agar bertahan hidup, sistem harus menjalankan keempat fungsi sebagai berikut. Pertama, adaptasi: sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar, ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya. Kedua, pencapaian tujuan; sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Ketiga, integrasi; sistem harus mengatur hubungan-hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, ia harus mengatur hubungan antar ketiga imperatif fungsional tersebut (A.G.L). Keempat, latensi (pemeliharaan pola); sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaharui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut73. Organisasi merupakan didefinisikan
produktif
suatu oleh
sistem
seperti
usaha
sosial
yang
posisinya
dalam
pembuatan konkrit.
kegiatan
batik,
Tujuannya
perekonomian.
Organisasi ini memiliki sistem terintegrasi untuk menyatukan tujuan. Seperti sistem sosial lainnya, organisasi ini tunduk pada pola internal dan harus memiliki nilai-nilai terlembaga dan tradisi kulturalnya sendiri.74 Organisasi hidup dalam sebuah sistem 73George
Riztzer dan Douglas J. Gooodman, 2008, 257. Hamilton, Talcoltt Parsons dan Pemikirannya Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), 174. 74Peter
43
sosial yang saling mempengaruhi dalam sebuah lingkungan yang kompleks, terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang sosial,
ekonomi,
budaya,
motivasi,
dan
pengalaman
yang
berbeda.75 Pendapat Talcott Parsons tentang fungsi dapat dijabarkan sebagai suatu gugusan aktivitas yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan sistem.76 Adapun sistem sosial, terdiri dari. Beragam aktor individual yang berinteraksi satu sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik atau lingkungan, faktor yang cenderung termotivasi ke arah “optimalisasi kepuasan” dan hubungannya dengan situasi mereka, termasuk hubungan satu dengan yang lain, didefinisikan dan diperantarai dalam bentuk sistem simbol yang terstruktur secara kultural dan dimiliki bersama.77 Analisis kebutuhannya sistem
dalam
sosiologis harus
terhadap
dipusatkan
memenuhi
sistem
pada
kebutuhan
dengan
fungsi dan
segala
bagian-bagian memelihara
keserasiannya.78 Struktur sosial pada masyarakat industri batik Laweyan tampak dipengaruhi oleh fungsi individu-individu sebagai masyarakat produsen.79 Pola hubungan antara para pekerja dari keluarga majikan dan pekerja biasa di dalam perusahaan batik, 75Purwanto, 76
Budaya Perusahaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 29. George Riztzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Alih Bahasa Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), 257. 77Riztzer dan Goodman, 2008, 259. 78Sarjono Sukanto, Talcoltt Parsons: Fungsionalisme Imperatif (Jakarta: Rajawali, 1986). 5. 79Produsen merupakan perusahaan yang memproduksi barang/jasa hasil olahan dari faktor-faktor produksi. Mereka memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, sebagaimana disebut sebagai produsen/perusahaan. Dalam menjawab masalah ekonomi, ia mesti didasarkan pada keuntungan yang maksimum. Wilson Bangun, Teori Ekonomi Mikro (Bandung: Refika Editama, 2007), 11.
44
telah membentuk struktur sosial dalam masyarakat industri Laweyan.80 Sementara itu, peran struktur keluarga majikan, kuat pengaruhnya terhadap struktur fungsional tenaga buruh. 81 Baik kelompok pekerja dari keluarga majikan dan kelompok pekerja biasa, memiliki peranan yang penting dalam keberlangsungan industri batik di Laweyan. Struktur pekerja keluarga besar juragan atau majikan batik di Laweyan, terdiri dari majikan laki-laki, majikan perempuan, anak laki-laki, dan anak perempuan yang terlibat dalam kegiatan industri. Puncak struktur sosial masyarakat industri batik di Laweyan menunjukkan peran majikan laki-laki. Adapun struktur di bawah pekerja dari keluarga majikan adalah pekerja biasa yang terdiri dari tukang gambar, kuli cap, kuli nyanting, kuli celup, kuli nggirah, tukang nglorot, dan tukang lempit. Teori Talcott Parsons dengan empat sistem tindakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Sistem adaptasi atau kemampuan untuk menyesuaikan diri memiliki peranan yang sangat besar dalam keberlangsungan usaha pembuatan batik di Laweyan. Adaptasi dapat diartikan sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya dengan 80Sebagai gambaran mengenai kelompok kerja di Laweyan, terdiri dari: buruh cap, kuli babar, kuli celep (kuli pewarna), kuli mberét (pemberi warna pada tepian kain), kuli kerok (pengerukan malam), tukang kemplong (tukang menghaluskan kain blaco) dan tukang batik. Di samping itu di luar perusahaan terdapat prembé dan tukang pembuat cap. Angelino, 1930, 136-139. 81Soedarmono, 2006, 75.
45
lingkungannya.82
Adaptasi
kemampuan
sistem
dari
dapat untuk
pula
dikatakan
menyesuaikan
diri,
sebagai dengan
mendayagunakan potensi sumber daya yang ada. Adaptasi dalam masyarakat produsen memiliki tujuan agar kegiatan produksi senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan iklim permintaan, sehingga perusahaan tetap hidup berkelanjutan. Terdapat
beberapa
faktor
yang
dapat
mempengaruhi
keberlangsungan usaha pembuatan batik, yaitu: (1) faktor internal dalam perusahaan batik untuk melakukan inovasi baru dalam hal bahan baku batik, proses pembuatan, pola hias batik, dan sistem organisasi perusahaan batik, (2) faktor eksternal berupa tekanan para pesaing, kebijakan pemerintah, dan faktor penekan yang lainnya. b. Sistem tujuan (goal), digunakan untuk menjelaskan tujuan atau hal-hal yang menjadi latar belakang dari masyarakat Laweyan dalam usaha pembatikan. Usaha pembatikan merupakan suatu organisasi bisnis, organisasi produktif yang berorientasi pada nilai ekonomis. Sebagai unit sosial, organisasi ini terdiri atas individu-individu yang memiliki latar belakang sosial, ekonomi, budaya, motivasi, dan pengalaman yang berbeda. Individuindividu ini terhimpun dalam struktur fungsi tertentu untuk mencapai tujuan perusahaan. Penelitian ini cenderung pada upaya 82David Kaplan, Robert A. Marners, Teori Budaya, Penerjemah Landung Simatupang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 112.
46
menganalisis tujuan atau latar belakang para pengusaha dalam memproduksi kain batik di tengah persaingan tekstil modern terutama
“batik
printing”.
Selain
itu,
penelitian
ini
juga
menganalisis tujuan para pekerja bagian produksi (pendesain, pembatik, pewarnaan, penghilangan lilin, dan proses penyelesaian akhir) dalam kegiatan pembatikan. Tujuan merupakan sumber motivasi kerja yang utama, dan akan mengarahkan tindakan yang harus dilakukan.83 c. Subsistem integratif digunakan untuk menganalisis: (1) proses pelembagaan agar sistem sosial yang lebih besar dapat berfungsi/mekanisme kendali sosial; (2) berfungsinya suatu unit dalam suatu sistem sesuai motivasi individu-individu. Sistem terkait dengan sistem keorganisasian, dalam hal menyatukan pemikiran dan tindakan serta bagaimana merubah perilaku individu ke perilaku organisasional.84 Dalam penelitian ini dikaji mengenai perilaku para pekerja dalam penyatuan tujuan organisasi, khususnya penyatuan dan pengelolaan masyarakat pekerja di dalam proses produksi. d. Subsistem
pemeliharaan
pola,
digunakan
untuk
membahas pola budaya terlembaga yang berpusat pada orientasi nilai agar pelaku dapat melaksanakan sistem nilai-nilai terlembaga 83Stephen P. Robbins-Timothy Judge, Perilaku Organisasi. Penerjemah Diana Angelica (Jakarta: Salemba Empat, 2003), 237. 84Poerwanto, Budaya Perusahaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 16.
47
yang relevan.85 Dalam hal ini peneliti menganalisis bagaimana upaya-upaya untuk menciptakan nilai-nilai yang dianut, serta pelaksanaan nilai-nilai yang diwariskan itu. Nilai-nilai tersebut merupakan
sesuatu
yang
berharga
untuk
dipahami
dan
dilaksanakan serta ditindaklanjuti sebagai landasan komitmen organisasi. Nilai-nilai ini sering ditemukan oleh para pendiri perusahaan yang akan dijadikan pola watak organisasi yang mengutamakan nilai-nilai kebaikan yang harus diterima dan disepakati untuk menjadi roh kehidupan organisasi.86 Nilai budaya dalam industri dapat berupa etos kerja terkait dengan ciri khas semangat kerja dan keyakinan dari pengusaha batik Laweyan. Etos dan kehidupan merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi bagi tindakan seseorang secara terusmenerus, baik secara konsep maupun pelaksanaannya.87 Etos kerja para pengusaha batik, terutama pengusaha majikan laki-laki dalam industri batik Laweyan, menjadi perhatian dalam penelitian ini. Adapun etika bisnis yang memuat norma-norma yang semestinya ditaati oleh komunitas tertentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi para pelaku bisnis. Etika bisnis memang bukan istilah Jawa. Orang Jawa menyebut bisnis dengan istilah dagang
85Periksa, Talcolt Parsons & N. Smelser, Economy and Society (New York: Macmillan, 1956), 39-51. 86Poerwanto, 2008, 16. 87Daryono, Etos Dagang Orang Jawa: Pengalaman Dagang Raja Mangkunegara IV (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 14.
48
atau dol-tinuku. Konsep tuna satak bathi sanak, menjadi salah satu ciri khas bisnis orang Jawa. Konsep semacam ini menandai bahwa bisnis bagi orang Jawa tidak sekadar mengejar untung dalam bentuk material, melainkan juga ranah sosial, dan bahkan spiritual.88 2. Teori penciptaan seni kriya, digunakan untuk membahas permasalahan mengenai proses pembuatan seni kerajinan batik di Laweyan. Penciptaan ini meliputi eksplorasi ide dasar pembuatan batik, proses desain batik, dan perwujudan atau pembuatan batik. Untuk membahas proses pembuatan batik di Laweyan, peneliti meminjam pendekatan penciptaan seni kriya yang disampaikan oleh SP. Gustami dalam bukunya yang berjudul Butir-butir Estetika Timur: Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia. Buku ini menjelaskan bahwa dalam konteks metodologis terdapat tiga pilar utama penciptaan seni kriya, yaitu eksplorasi, perancangan, dan perwujudan. Pertama, eksplorasi yaitu aktivitas untuk menggali sumber ide dengan langkah penelusuran dan identifikasi masalah, penggalian dan pengumpulan data sekunder, referensi, pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan simpul penting yang menjadi material solusi dalam perancangan. Kedua, perancangan berdasarkan butir penting hasil analisis, diteruskan visualisasi gagasan yang diungkapkan dalam berbagai bentuk alternatif untuk ditetapkan pilihan terbaik yang akan dipergunakan sebagai acuan perwujudan. Ketiga, perwujudan bentuk prototipe, yakni tahap 88Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa: Pedoman Beretiket dalam Menjalani Kehidupan Sehari-hari (Yogyakarta: Narasi, 2010), 236.
49
pengalihan dari gagasan yang merujuk pada sketsa alternatif menjadi bentuk karya seni yang dikehendaki. 89 Eksplorasi atau penggalian ide dasar merupakan upaya eksplorasi
dari
gagasan
untuk
menemukan
kebaruan
dan
perubahan yang dilakukan. Dalam usaha batik, masyarakat terbiasa menggali gagasan baru “berbasis tradisi”. Gagasan ini telah disampaikan dari generasi ke generasi dan dikembangkan secara terus-menerus sebagai respons terhadap lingkungan yang sedang berubah.90 Perubahan itu tidak selalu terjadi karena adanya pengaruh dari luar, tetapi dalam rangka pembaruan kebudayaan itu sendiri. Pembaruan yang terkait penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan baru tenaga kerja, dan penggunaan teknologi baru. Semua hal ini akan menyebabkan adanya sistem produksi dan hasil produk-produk baru. Semua proses kebudayaan terurai di atas, dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan dalam ilmu antropologi khususnya, disebut inovasi.91 Zuhal menyampaikan
dalam bahwa
buku
Knowledge
inovasi
bukanlah
and
Innovation,
sekadar
usaha
memunculkan gagasan-gagasan kreatif. Lebih dari itu, inovasi 89Gustami, Butir-Butir Estetika Timur Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia (Yogyakarta: Prasista, 2007) 332-333. 90Jin Ife dan Frank Tesoriero, Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi Community Development, terjemahan Satriawan Manulang dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 451. 91Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta: UI- Press, 1990),108.
50
merupakan upaya terfokus untuk menggabungkan gagasan kreatif dengan sumber daya dan kecakapan tertentu untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai. Selanjutnya disampaikan bahwa, inovasi bukanlah suatu istilah teknis. Ia merupakan istilah sosial ekonomi yang menggambarkan kebutuhan pasar atas sesuatu yang bersifat baru dan berguna bagi para pengguna akhir. Suatu gagasan disebut kreatif bila ia bersifat “baru” dan “berharga” dan inovatif bila dapat diwujudkan sesuai kebutuhan pemakai. Dilihat dari kacamata industri dan para pengusaha, inovasi itu haruslah selalu “market focused”.92 Untuk menghasilkan produk yang memiliki kebaruan dan tetap berorientasi pada pengguna diperlukan rancangan atau desain yang akan diproses lebih lanjut menjadi sebuah produk akhir. Peran desain di dalam industri kerajinan batik sangat dominan, karena desain yang baik dan sesuai fungsinya dapat menjadi penentu daya saing sebuah produk batik. Victor Papanek dalam buku Design For The Real World93 menyatakan bahwa sebuah tindakan di mana sebuah desain harus memenuhi tujuannya adalah fungsi. Perpaduan antara bentuk dan fungsi adalah menyatu. Hal ini menunjukkan perlunya tindakan dinamis dalam hubungannya membuat fungsi menjadi
92Zuhal,
2010, 78. Victor Papanek, Design Real World (New York: Batam Books,
93Periksa:
1973), 16.
51
perhatian utama yang merupakan upaya sangat kompleks dalam proses desain. Terdapat beberapa persyaratan untuk mendapatkan solusi paling sesuai dalam sebuah desain agar desain menjadi “baik”. Rizaly menyampaikan pendapatnya bahwa desain yang “baik” harus memenuhi syarat: (1) perwajahan, (2) fungsi, (3) kualitas, (4) keselamatan, dan (5) kelayakan untuk diproduksi dan kelayakan dalam
hal
harga.
Pada
kriteria
perwajahan
(appearance)
khususnya, perlu dikaji sentuhan-sentuhan estetis pada bentuk, warna, detail, ukuran, dan daya pikat atau kesan. Selanjutnya disampaikan
pula
bahwa
di dalam
desain
tekstil
terdapat
persyaratan pokok dan pertimbangan lainnya agar desain tersebut memenuhi syarat tertentu, antara lain: fungsional, keindahan, bahan, dan teknis pembuatan. Di samping persyaratan pokok di atas, terdapat pertimbangan lain yang tak kalah penting, yaitu trend mode, selera konsumen, dan pemasaran.94 Unit desain pada sebuah perusahaan sering ditempatkan pada
bagian
proses
produksi.
Desain-desain
terpilih
akan
ditindaklanjuti ke dalam proses pembatikan dengan canting. Perlu ditegaskan bahwa salah satu ciri khas kain batik Indonesia
94Nanang Rizali, Tinjauan Desain Tekstil (Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS. UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press), 2006), 20-58.
52
adalah penggunaan canting.95 Sementara itu, untuk menghasilkan produk yang inovatif, seorang perajin harus memiliki keterampilan yang memadai, sehingga ia mampu mewujudkan produk yang sesuai dengan rancangan yang telah ditetapkan sebelumnya.96 Seiring meningkatnya tuntutan pengguna terhadap produk batik yang lebih “murah” dipergunakan alat cap (canting cap) sebagai pengganti canting tulis, untuk mempercepat proses pembatikan.97 Proses pembuatan batik tulis maupun batik cap, dapat
dibagi
menjadi
dua
tahap,
yakni:
(1)
persiapan:
mempersiapkan peralatan, bahan pewarna, dan mempersiapkan kain agar kain siap untuk dibatik, dan (2) membuat batik yang meliputi pekerjaan: nyanthing atau ngecap dengan malam atau lilin batik, memberi warna pada kain dengan cara mencelup atau mencolet, dan menghilangkan lilin pada kain dengan ngerok atau nglorot, serta finishing dan pengemasan.98 Untuk menampilkan pola-pola tertentu sesuai kehendak masyarakat
pembuatnya,
memenuhi
fungsi
yang
bentuk
visual
disesuaikan
diarahkan dengan
untuk
keinginan
penggunanya. Jannet Wolff dalam buku The Social Production of
95Tirta,
2009,19. Sumardjo, Filsafat Seni (Bandung: ITB, 2000), 311. 97Nian S. Djumena, Batik dan Mitra: Batik and its kind (Jakarta: Jambatan, 1990), 2. 98Susanto, 1980, 6-7 96Jacob
53
Art, menunjukkan bagaimana aktivitas praktik dan kreativitas mempunyai hubungan yang sama dengan struktur sosial di mana para individu terhimpun dalam sistem sosial. Selanjutnya, Wolf menyampaikan pula bahwa di dalam aktivitas produksi terdapat beberapa faktor yang dianggap dapat mempengaruhi sebuah produksi, antara lain: teknologi, institusi sosial, sistem sponsor atau pelindung, mediator, dan faktor ekonomi.99 3.
Pendekatan
estetis,
digunakan
untuk
membahas
permasalahan bentuk, media, dan makna batik Laweyan. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan estetis yang disampaikan oleh Feldman dalam buku Art as Image and Idea yang menelaah beberapa aspek, antara lain: (1) the function of art: personal, social, physical; (2) style of art: objective accuary, formal order, emotion, fantasy; (3) structure of art: gramar, design, aesthetics; (4) the interaction of medium and meaning.100 Wujud visual batik Laweyan memperlihatkan bentuk indrawi yang dibuat oleh para perajin. Bentuk disebut pula sebagai wujud atau kenyataan yang tampak secara konkret. Dalam bahasa sehari-hari sering digunakan istilah “rupa” untuk menyebut sesuatu yang terwujud. Batik sebagai salah satu wujud dari berbagai jenis seni kerajinan memiliki unsur atau elemen visual 99Janet Wolff, The Social Production of Art (New York: ST. Martin Press, 1981), 9. 100Edmund Burke Feldman, Art Image And Idea (Englewood Cliff, New Jersey: Prentice-Hall, INC. 1967). 3.
54
seni rupa yang terdiri dari garis, warna, shape, tekstur, gelap terang, dan lain-lain. Dari unsur-unsur ini akan disusun ke dalam prinsip organisasi bentuk antara lain: unity, balance, rhythm, dan proportion. Setiap karya seni rupa pada dasarnya merupakan suatu hasil “ramuan” dari unsur-unsur yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadi “menarik” dan memiliki fungsi tertentu. Batik merupakan sehelai wastra, yakni sehelai kain batik beragam hias batik tertentu. Pembuatan batik mempergunakan teknik celup rintang dengan malam atau lilin batik sebagai bahan perintang warna.101 Estetika di dalam kain batik dapat terlihat dari ornamen yang ditampilkannya. Ornamen ini di samping tugasnya menghiasi atau menambah indah suatu penampilan menjadi bagus dan menarik, juga mempengaruhi pula dalam segi penghargaan,
baik
segi
spriritual
pola
batik
dapat
maupun
segi
material/
finansial.102 Adapun
dikelompokkan
berdasarkan
bentuk dan gayanya. Berdasarkan bentuk, pola batik terbagi atas dua kelompok besar, yaitu pola geometris dan pola nongeometris. Adapun menurut lokasi pusat persebaran gaya seninya dapat dibedakan
menjadi
dua,
yaitu
gaya
pedalaman
dan
gaya
pesisiran.103 Pola batik di Pulau Jawa, dapat dirinci menjadi tiga unsur pokok, yaitu: (1) ragam hias utama, yaitu ragam hias yang 101Doellah,
2002,10. Gustami, Nukilan Ornamentik Indonesia (Yogyakarta: Arindo Nusa Media, 2008), 4. 103Haryono, 2008, 10. 102S.P.
55
menjadi unsur penyusun utama pola batik; (2) isèn-isèn atau isèn pola atau pengisi bagian ragam hias utama; dan (3) ragam hias pengisi ditempatkan di latar pola sebagai penyeimbang bidang agar pola secara keseluruhan nampak serasi. 104 Masyarakat pengguna batik terkadang dapat dengan mudah menangkap wujud estetis pada kerajinan batik. Hal ini disebabkan keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetis adalah sifat yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang terhadap karya hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifatsifat indah pada suatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya.105 Sesuai namanya, seni kerajinan dibuat dengan rajin-rapi dan memiliki tendensi sebagai benda guna. Menurut Sulivan, dalam sebuah karya terlihat “bentuk mengikuti fungsi”. Bentuk ditentukan oleh fungsinya. Hiasan-hiasan ditambahkan untuk menutup dari kekosongan ketelanjangan, sehingga bisa terlihat indah.106 Sementara itu, menurut pendapat Gustami, kerajinan dapat menjadi konsumsi rakyat kecil dan layanan umum.107
104Doellah,
2002,19. Liang Gie, Filsafat Keindahan (Yogyakarta: Pusat Ilmu Berguna (PUBIB), 2004), 49. 106Periksa Sullivan dalam Feldman, 1967, 123. 107Gustami, 2007, 349. 105The
56
Pendapat ini menegaskan bahwa seni kerajinan memiliki fungsi yang sangat luas bagi masyarakat. Fungsi seni, menurut Feldman, dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, seni untuk kebutuhan ekspresi pribadi. Kedua, seni untuk memenuhi fungsi sosial. Dalam hal ini terutama yang berkaitan dengan pertunjukan, perayaan, dan komunikasi, apabila: (1) seni cenderung mempengaruhi perilaku kelompok masyarakat; (2) seni diciptakan untuk dilihat atau digunakan pada acara utama di situasi publik, dan (3) seni yang mengekspresikan
atau
menggambarkan
aspek
sosial
atau
keberadaan kelompok sebagai lawan dan jenis-jenis pengalaman individu. Ketiga, seni untuk memenuhi kebutuhan fisik terkait dengan benda-benda terapan yang memiliki kegunaan praktis.108 Batik merupakan sebuah karya seni. Seni kerajinan batik memiliki akar di dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, batik tidak terpisah dari pribadi genius yang menciptakan, ras bangsa, kondisi sosial, dan sisi intelektual pengukir zamannya, bahkan selera manusianya, karena semua itu berperan menentukan karakteristik karya seni.109 Karakter suatu karya dapat dilihat melalui wujud visual dan fungsinya. Sebuah karya seni kerajinan memiliki karakter yang terkait dengan persoalan ekspresi estetik
108Feldman,
1967, 4-70. H.B. Sutopo, Kritik Seni Holistik Sebagai Model Pendekatan Penelitian Kualitatif, Pidato Pengukuhan Guru Besar di UNS , Juni 1995, 9. 109Periksa
57
yang sangat dekat dengan kondisi dan situasi sekitarnya. Bahkan, watak si pencipta pun terekam di dalamnya, mewarnai, dan menjiwai hasil karya seni yang diciptakannya. Adapun perihal karakter dapat diterjemahkan sebagai watak, yaitu inti yang menjiwai suatu
perwujudan. Dengan
demikian, karakter si
pencipta dapat dibaca melalui karya seni yang dihasilkan. 110 Feldman mengemukakan seni kerajinan atau handicraft memiliki beberapa karakter, yaitu: (1) muncul pembagian kerja untuk mempersingkat pekerjaan dan terdapat kesatuan kontrol; (2) para perajin “unggulan” tidak hanya mengerjakan idenya sendiri, namun juga menyesuaikan desainnya dengan permintaan klien atau pelanggannya, hasilnya berupa variasi produk mereka; (3) keunikan dari benda seni kerajinan tangan bisa berdasar kekhasan teknik dari para perajin atau keinginan khusus para pelanggan,
dan
tidak
semua
perajin
menciptakan
karya
berdasarkan pelanggan tertentu; (4) keunikan kerajinan tidak hanya berdasarkan pada keinginan pribadi para pelanggan namun pada pemahaman perajin terhadap karyanya dan keinginan untuk menyempurnakan karyanya; (5) situasi ekonomi perajin tidak pasti karena mereka bersaing dengan benda-benda yang diproduksi secara massal; (6) mereka bisa saja terancam oleh karya perajin lain
yang
bermutu
110Gustami,
lebih
2008, 20-21.
rendah;
kecuali
jika
dapat
58
mempertahankan keunggulan karyanya; (7) ciri seni kerajinan tangan pada zaman pra industri, yaitu kesamaan relatifnya; (8) masyarakat dan perajin tinggal bersama yang disebut “tradisi rakyat” tidak menghargai pekerjaan mereka sebagai sesuatu yang berharga, mereka mengubah mode pembuatan, cara berpikir dan bertindak sangat lambat karena hanya rangsangan dari luar; (9) para perajin kecil tetap menolak hal-hal baru, para perajin senang menggunakan rumusan dan pola-pola pada karya mereka yang diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya, bagi mereka kegiatan
yang diwariskan
tersebut
merupakan
tradisi
yang
dihormati yang harus mereka lalui semirip mungkin; (10) beberapa tradisi seni kerajinan cenderung menampilkan perkembangan keahlian
teknis
tingkat
tinggi,
karena
para
perajin
lebih
berkonsentrasi pada penguasaan bidang keahlian; (11) pada budaya
rakyat, permasalahan desain, perajin
tidak banyak
mengubah desain; (12) kriya seni buatan tangan lebih dihargai pelanggan karena mereka tahu dan mempercayai perajinnya; (13) salah satu ciri seni kerajinan tangan yaitu masih tetap bertahan di antara produk-produk yang dibuat dengan mesin, karena mesin hanya bisa membuat produk dengan kualitas yang sama secara terus-menerus.111
111Feldman,
1967, 113-116.
59
4. Teori seni pariwisata Kampoeng Batik Laweyan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Surakarta telah diresmikan secara simbolis melalui peletakan batu pertama dalam pembangunan tugu pada tahun 2004,
di
lokasi
“pasar
mati”
yang
diduga
sebagai
pusat
perdagangan lawé dimasa lampau. Peresmian ini dilakukan oleh Slamet Suryanto yang saat itu menjabat sebagai Walikota Surakarta. Sejak saat itulah era Kampoeng Batik Laweyan dimulai sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Surakarta. Para wisatawan pun mulai berkunjung ke Kampoeng Batik Laweyan.112 Para perajin mulai menyesuaikan diri dengan suasana baru tesebut. Desain pertama pengembangan Kampoeng Batik Laweyan adalah untuk wisata budaya, karena di kampung ini terdapat beberapa peninggalan sejarah. Kampoeng Batik Laweyan juga disiapkan untuk wisata kreatif dan edukatif bagi para siswa, mahasiswa,
dan
masyarakat
umum
untuk
menambah
pengetahuan dan keterampilan membatik secara langsung di rumah para perajin batik. Di Kampung Laweyan para wisatawan berkolaborasi dengan instruktur untuk membuat batik secara langsung. Hasil kolaborasi yang berupa buah tangan terkadang Sebelum kampung batik diresmikan hanya satu dua orang yang mengunjungi Laweyan, kini setiap harinya ada sekitar 200 orang wisatawan, dan pada hari libur bisa mencapai 500 orang wisatawan, mengunjungi Laweyan tanpa karcis masuk artinya tidak dipungut biaya. Wawancara dengan Widiharso (sekretaris Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan), 2013. 112
60
lebih mengesankan dibandingkan dengan suvenir yang dibeli secara langsung. Kedatangan para wisatawan di Kampoeng Batik Laweyan ditanggapi oleh para penduduk kampung ini dengan membuka showroom untuk memajang produk mereka dan sekaligus sebagai tempat menjual batik. Menjamurnya showroom batik di kawasan ini menyebabkan wilayah ini menjadi “pasar” atau sebagai tempat menjual dan membeli batik. Ini merupakan fenomena baru, karena pada waktu sebelum Kampoeng Batik Laweyan didirikan, para konsumen hanya dapat membeli batik Laweyan melalui agenagen. Para pengusaha tidak melayani pembelian langsung. Melalui showroom ini masyarakat perajin mulai tertantang inovasinya untuk menyediakan kerajinan batik untuk pasar setempat yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan. Teori seni wisata yang dikemukakan oleh R.M. Soedarsono, menyatakan
bahwa
seni
yang
dikemas
untuk
memenuhi
kebutuhan komunitas wisatawan harus memiliki lima ciri khusus, yaitu: (1) tiruan dari aslinya; (2) singkat atau padat atau bentuk mini dari aslinya; (3) penuh variasi; (4) ditinggalkan nilai-nilai sakral, magis, simbolisnya; dan (5) murah harganya.113 Digunakan untuk menjelaskan keterkaitan pariwisata dengan seni kerajinan batik di Kampoeng Batik Laweyan. 113R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia dan (Bandung: Musyawarah Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 3.
Pariwisata
61
5. Pendekatan historis Pendekatan historis dipakai untuk melihat usaha pembuatan batik yang mampu bertahan hidup, proses pembuatan batik, dan wujud visual batik yang tidak dapat pertumbuhan
budaya
di
masa
terlepas dari proses
lalu.
Dalam
rangkaian
pertumbuhan budaya terjadi tumpang tindih, bercampur baur, atau kadang-kadang hadir berdampingannya unsur-unsur lama dan baru.114 Pendekatan sejarah, khususnya pendekatan sejarah kebudayaan, digunakan dalam penelitian ini. Tugas sejarah kebudayaan
menurut
Johan
Huizinga
yang
dikutip
oleh
Kuntowijoyo, ialah mencari pola-pola kehidupan, kesenian, dan cara
berpikir
secara
bersama-sama
dari
suatu
zaman.115
Pendekatan sejarah kebudayaan akan menemukan a whole social order, di mana produk estetik dan intelektual hanyalah ekspresi dari kegiatan-kegiatan sosial.116 Usaha pembuatan batik yang dijalani oleh masyarakat Laweyan mengalami kondisi pasang surut yang dipengaruhi oleh para
pesaing dan
perkembangan
selera
pasar.
Tumbuhnya
industri besar yang bergerak dalam bidang pertekstilan yang merupakan bagian dari implementasi kebijakan pemerintah Orde
114Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, alih bahasa RM. Soedarsono (Bandung: Artiline, 2000), xx. 115Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 167. 116Periksa Williams, 1983, 11-12. dan Kuntowijoyo, 2003, 135.
62
Baru dalam rangka percepatan pertumbuhan industri, terutama melalui PMA dan PMDN pada tahun 1968 hingga 1969 menjadi pengaruh
pasang
surutnya
produksi
batik
di
Laweyan.
Pertumbuhan industri dengan modal besar dianggap sebagai pemicu munculnya industri tekstil manufaktur. Salah satu jenis produk massal tersebut adalah batik printing. Perkembangan
industri
tekstil
printing,
sangat
terasa
pengaruhnya, terutama pada tahun 1980-an, karena batik printing ini telah membanjiri pasar. Hal ini juga menyebabkan etnis Jawa mengalami kebangkrutan, dikalahkan oleh para pemegang modal yang lebih besar (kebanyakan etnis Cina dan orang Jawa yang memiliki akses politik).117 Penampilan tekstil bermotif batik dari proses printing dengan teknologi pencetakan tekstil modern, secara tampilan telah mampu mendekati batik tulis dan batik cap yang dapat membingungkan serta merugikan konsumen. Oleh karena itu,
pada
pertengahan
tahun
1982,
Menteri
Perindustrian
mengharuskan semua kain yang “berbau” batik, diberi label di tepi kain. Labelisasi ditujukan untuk memberikan informasi dan melindungi para konsumen, agar mengetahui dengan jelas, perbedaan batik tradisional dan sablon atau tekstil bermotif batik.118
Pengaruh
batik
printing
telah
berdampak
pada
terdesaknya usaha-usaha batik tradisional di berbagai daerah.
117Brenner,
2002, 9-10. 1982, 73.
118Simandjuntak,
63
Hingga sekarang pengaruh industri besar yang menghasilkan batik printing secara massal masih dirasakan oleh pengusaha batik di berbagai daerah, termasuk di Laweyan. Pada tahun 2004 dimulailah era Kampoeng Batik Laweyan sebagai daerah tujuan wisata di Surakarta. Hal ini berdampak pada
semakin
banyaknya
kunjungan
para
wisatawan
yang
berkunjung di daerah ini. Banyaknya wisatawan yang datang sangat
berpengaruh
pada
dinamika
sosial
dan
ekonomi
masyarakat perajin yang terhimpun di perusahaan-perusahaan batik di Kampoeng Batik Laweyan.
F. Metode Penelitian Penelitian disertasi berjudul “Kerajinan Batik Laweyan dalam Dinamika Sosial dan Ekonomi” ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif.119 Alasan mengapa dipergunakan metode kualitatif,
karena
metode
ini
dapat
dipergunakan
untuk
mendapatkan wawasan yang lebih luas dari objeknya. Metode kualitatif dapat juga memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkap oleh metode kuantitatif,120 karena data kualitatif merupakan sumber diskripsi yang luas dan 119Menyiratkan
penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat belum diukur (jika memang diukur) dari sisi kuantitas, jumlah intensitas, atau frekuensi. Para peneliti kualitatif menekankan sifat realita yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang efektif dan tekanan situasi yang membentuk penyelidikan. Norman S Denzim & Yvonna S. Lincoliln, Hand Book Qualitative Research alih bahasa Daryatno dkk (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009), 6. 120Strauss Anslem & Juliet Gorbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 5.
64
berlandaskan kokoh, serta memuat penjelasan tentang prosesproses yang terjadi dalam lingkup setempat.121 Lokasi penelitian adalah di wilayah Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Sedangkan waktu penelitian dimulai tahun 2009 sampai dengan awal tahun 2015. Penelitian ini lebih menekankan segi proses dengan latar belakang alamiah berupa
fenomena-fenomena
beragam
sumber
data.
yang
Untuk
ada itu,
serta dalam
memanfaatkan penelitian
ini
dipergunakan strategi penelitian studi kasus. Menurut Robert K. Yin, kekuatan yang unik dari studi kasus adalah kemampuannya untuk berhubungan sepenuhnya dengan berbagai jenis buktidokumen, peralatan, wawancara, dan observasi partisipan.122 Fokus
penelitian
sudah
ditentukan
terlebih
dahulu
dalam
rumusan. Untuk itu, strategi penelitian dalam penelitian ini dapat digolongkan dalam studi kasus tunggal terpancang (embeded). Kegiatan dalam pengumpulan data memakai beberapa teknik, sebagai berikut. 1. Wawancara Tujuan
utama
melakukan
wawancara
adalah
untuk
menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, 121Matthew B. Miles & Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif Terj. The Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Presss, 1992), 1. 122Robert K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode alih bahasa Djanzakir (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1947), 18.
65
motivasi tanggapan/persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan dan sebagainya.123 Teknik wawancara, di dalam penelitian ini dilakukan dengan cara tidak terstruktur ketat atau sering disebut sebagai teknik “wawancara mendalam”.124 Sementara itu, bentuk pertanyaan deskriptif dapat dipergunakan karena merupakan tipe pertanyaan yang paling mudah untuk diajukan dan digunakan dalam semua wawancara.125 Dalam wawancara ini, pihak yang diwawancarai bukan sebagai responden, melainkan sebagai narasumber yang memiliki
informasi
yang
diperlukan
dalam
penelitian
dan
diharapkan dapat memberikan informasi tersebut. Narasumber yang dianggap memiliki informasi itu antara lain: Pengusaha atau majikan dalam perusahaan batik, pelaksana produksi batik (pembatik, pemberi warna, pendesain dan pelaku dalam proses produksi lainnya), Ketua Forum Komunikasi Kampoeng Batik Laweyan (FKKBL), Lurah Laweyan, Ketua Lembaga Pemberdayaan Kelurahan (LPMK), sesepuh kelurahan, pemerhati Kampoeng Batik Laweyan, pecinta batik, perkumpulan masyarakat Laweyan, orang yang memiliki pengaruh dalam industri batik, pengguna batik, pedagang/pembeli batik, dan kurator Museum Batik Danar Hadi.
123Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar dan Teori Terapannya Dalam Penelitian (Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press, 2002), 58. 124Sutopo, 2002, 59. 125James F. Spradley, Metode Etnografi (PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997), 78.
66
2. Observasi Menurut Lincoln dan Guba yang dikutip Moleong, ada beberapa
alasan
pengamatan
yang
didasarkan
pengalaman
langsung. Pengalaman langsung merupakan alat ampuh untuk mengetes suatu kebenaran.126 Teknik observasi berpeluang untuk memeriksa perangkat fisik sebagai salah satu sumber bukti. Robert K. Yin menyebut perangkat fisik atau kultural dapat berupa peralatan teknologi atau instrumen, pekerjaan seni, atau berbagai bukti lainnya.127 Pengamatan pada kegiatan penelitian ini tertuju pada: (a) aktivitas pembuatan batik di “pabrik” atau bengkel kerja, (b)
pameran
produk
dan
aktivitas
penjualan
langsung
di
showroom, (c) kondisi bahan dan peralatan untuk membuat batik, (d) artefak seni kerajinan batik produk perajin batik Laweyan, (e) data tertulis, arsip dan dokumen di Kelurahan Laweyan maupun di FPKBL, dan (f) penggunaan seni kerajinan batik Laweyan. Keabsahan validitas
data
penelitian
untuk
dilakukan
menjamin dengan
atau
mendapatkan
menggunakan
teknik
triangulasi sumber. Peneliti dapat memperoleh informasi dari narasumber yang berbeda posisinya dengan teknik wawancara mendalam, sehingga informasi dari narasumber yang satu dapat dibandingkan
dengan
informasi
dari
narasumber
lainnya.
126Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996), 125. 127Yin, 1997, 109-110.
67
Triangulasi metode juga dilakukan untuk mengumpulkan data sejenis, namun dengan metode yang berbeda. Review informan/ narasumber
juga
dilakukan
pada
waktu
peneliti
sudah
mendapatkan data, namun masih belum utuh menyeluruh, maka unit-unit laporan yang telah disusun perlu dikomunikasikan dengan narasumber, khususnya dengan narasumber utama. 128 Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi.129 Kegiatan interaktif dilakukan pada tiga komponen tersebut dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus. Dalam proses yang berbentuk siklus, peneliti selalu bergerak di antara tiga komponen analisis. Reduksi data dan sajian data harus disusun pada waktu peneliti mendapatkan inti dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan kegiatan penarikan simpulan. Apabila di dalam penarikan simpulan dirasa masih kurang mantap, maka peneliti wajib kembali melakukan kegiatan pengumpulan
data
yang
sudah
terfokus
untuk
mencari
pendukung simpulan yang ada. Kegiatan pendalaman data ke lapangan studi dilakukan untuk menjamin mantapnya hasil
128Sutopo,
2002, 81-82. B Miles and Michael Huberman, Qualitatif Data Analysis: Are Source Book Of Method (Berverly Hills CA: Sage Publication, 1984), 16. 129Mathew
68
penelitian.130 Adapun proses interaktif ini digambarkan dengan skema sebagai berikut. Pengumpulan Data
I. Reduksi Data
II. Sajian Data
III. Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi Sumber: Mathew B. Miles dan A. Michael Huberman.131
G. Sistematika Penulisan Laporan penelitian untuk disertasi ini diuraikan menjadi enam
bab.
Masing-masing
bab
akan
menunjukkan
fokus
pembahasan sesuai dengan pokok penelitian. Bab I: Pengantar, berisi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Kondisi geografis, demografis, sejarah Kampoeng Batik Laweyan, berisi: lingkungan alam, kondisi lingkungan masyarakat, prasarana, potensi lingkungan yang berpengaruh, dan sejarah Kampoeng Batik Laweyan.
130Sutopo,
1992, 6. B. Miles dan Michael Huberman, 1992, 23.
131Matthew
69
Bab III: Profil klaster seni kerajinan batik Laweyan, berisi: keberadaan usaha pembuatan batik di Kampoeng Batik Laweyan, profil usaha yang mampu bertahan hidup, struktur dan fungsi pekerja dalam perusahaan batik, dan kemampuan perajin batik untuk bertahan hidup. Bab IV: Ide kreatif, perancangan pola, dan perwujudan kerajinan batik Laweyan, berisi: eksplorasi gagasan pembuatan batik, perancangan pola batik Laweyan, dan proses perwujudan batik Laweyan. Bab V: Bentuk, fungsi, gaya, dan makna seni kerajinan batik Laweyan, berisi: bentuk batik Laweyan, fungsi batik Laweyan, gaya seni, dan interaksi media dan makna. Bab VI: Kesimpulan dan saran, berisi: kesimpulan dari seluruh bab dan saran.