BAB I PENGANTAR Rantjak ranahnjo Minangkabau Poelau Patjo djo (dengan) poelau Ameh (emas) Karambil (pohon kelapa) naoeng menaoengi Pinangnjo (pinangnya) tinggi linggajoeran Poeding ameh djalai mendjalai Roempoet hidjau gantil gantilan Air djanih (jernih) ikannjo (ikannya) jinak Tapian (tepian) ramai de’ nan moedo (muda) Goenoeng tinggi mamoentjak (memuncak) langik (langit) Babarih (berbaris) boekit mangoeliling (mengelilingi) Roemah gadang andjoeng bapereng (bertingkat) Rangkiang balirik (berderet) dihalaman Atoknjo (atapnya) badjalin (berjalin) timah peotih (Berita Koerai, Th. 4, No. 1, Januari 1941, hlm. 5-6) A. Latar Belakang Masalah Para elite baru bumiputera pada periode kolonial, akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, merupakan salah satu topik penelitian yang menarik minat banyak sejarawan dalam hal asal usul, asosiasinya dengan pemerintah kolonial, dan gaya hidup mereka. Para elite baru bumiputera itu merupakan transformasi dari elite tradisi ke elite birokrasi kolonial yang tumbuh sejak akhir abad ke-19. 1 Mereka merupakan penghubung yang efektif antara rakyat pada umumnya dengan pemerintah kolonial. 2 Gaya hidup para elite birokrasi bumiputera itu tidak bisa dilepaskan Lihat Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1983). 1
2
Ibid., hlm. 13. 1
dari nilai-nilai tradisi dan orientasi kosmologi yang mereka anut.3 Kategori lain dari elite baru bumiputera masa kolonial adalah elite modern. Para elite modern terbentuk oleh perkembangan pendidikan Barat.4 Pemerintah kolonial sejak awal abad ke-20 melalui Politik Etis berusaha mengembangkan sistem pendidikan Barat OSVIA, untuk mengisi birokrasi Hindia Belanda, STOVIA di dunia kedokteran, MULO, dan sebagainya.5 Kehadiran elite baru modern bumiputera telah melahirkan gagasan dan orientasi baru dalam bidang politik, dengan munculnya gerakan kebangsaan, seperti Indische Partij yang digagas Douwes Dekker, dr. Cipto, dan Suwardi. 6 Dalam konteks historiografi Indonesia, kemunculan Indische Partij (1911), sebelumnya Boedi Oetomo (1908), Syarikat Islam
(1912),
dan
Partai
Nasional
Indonesia
(1927)
yang
merupakan organisasi bentukkan para elite modern diingati sebagai periode penting transisi serta orientasi mereka menjadi seorang
3
nasionalis.
Linieritas elite
modern
bumiputera
dan
Ibid., 32.
Lihat Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, terj. Zahara Deliar Noer (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). 4
5
Ibid., hlm. 70-78.
6
Ibid., 91. 2
gerakan kebangsaan di atas merupakan benang merah yang senantiasa hadir dalam historiografi Indonesia kontemporer.7 Salah
satu
wilayah
di
Hindia
Belanda
yang
ikut
menyumbang para elite nasionalis di atas adalah Sumatera Barat. Elite nasionalis Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat merupakan salah satu elite baru Indonesia yang memainkan peran penting di awal-awal kemerdekaan. Mereka di antaranya adalah Tan Malaka (mantan ketua PKI), Agus Salim (mantan menteri luar negeri), Mohammad Hatta (mantan wakil presiden RI), Soetan Sjahrir (mantan perdana menteri), Mohammad Natsir (mantan perdana
menteri),
Mohammad
pendidikan), dan banyak lagi.
Yamin
(mantan
menteri
Relatif banyaknya para elite
nasional Indonesia dari Minangkabau telah menarik minat para sejarawan menulis tentang masyarakat Minangkabau, pendidikan Barat di Sumatera Barat, dan peranan adat, Islam, serta modernitas dalam pembentukkan para elite di atas, terutama pada periode kolonial, atau awal abad ke-20. Historiografi yang telah ada tentang elite Minangkabau pada awal abad ke-20 menunjukkan mereka merupakan produk dari masyarakat yang pernah mengalami gejolak ekonomi hebat, dan
Lihat Henk Schulte Nordholt, ―Modernity and Cultural Citizenship in the Netherlands Indies: An Illustrated hypothesis‖, Journal of Southeast Asian Studies, Volume 42, Issue 03, October 2011, hlm. 437. 7
3
wilayah awal yang mengalami proses kolonialisme Belanda.
8
Meskipun dunia kolonial mempengaruhi orang Minangkabau terutama oleh kehidupan kota dan modernitas, tapi nilai-nilai matrilinial yang dianut etnis ini tidak mengalami pergeseran yang yang signifikan. 9 Kehidupan kota dan modernitas merupakan faktor penting bagi terbentuknya elite baru Minangkabau pada awal abad ke-20. 10 Selain kota dan modernitas yang diinspirasi pendidikan Barat, di Sumatera Barat juga muncul kategori elite baru lain, yakni ulama-ulama yang berpikiran maju dalam memahami gaya hidup kota, dan kemajuan pendidikan Barat kala itu.11 Para elite baru dari kalangan ulama-ulama berpikiran maju itu dikenal sebagai pembaru pemikiran Islam.12 Respon orang Minangkabau terhadap nilai modernitas yang berasal dari pendidikan Barat, Islam, dan tradisi merupakan topik Lihat Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). 8
Lihat Jefrey Hadler, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Institute, 2010). 9
Lihat E.E. Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: YOI, 2007). 10
Lihat Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933 (Ithaca: Cornel Modern Indonesia Project, 1971). 11
Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996). 12
4
penelitian yang menarik. Ketiga nilai tersebut dalam realitas kolonial pada abad ke-20 tumbuh di area utama yang disebut kota kolonial. Maka dari itu, menarik bila dilakukan kajian mendalam menyangkut respon dan interaksi orang Minangkabau terhadap modernitas, Islam, dan tradisi dalam dunia kolonial yang juga memiliki tata aturannya sendiri. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Kajian Permasalahan kajian ini bermula pada pemahaman historis tentang elite-elite baru Minangkabau di kota dan respon mereka terhadap kolonial pada awal abad ke-20 dalam penulisan sejarah Indonesia. Dalam paparan latar belakang di atas, historiografi tentang elite baru Minangkabau pada awal abad ke-20 dapat ditempatkan pada dua ketegori. Pertama, historiografi
yang
menempatkan mereka pada konteks kaum nasionalis berpikiran anti-kolonial. Elite yang selalu diacukan dalam historiografi di atas misalnya Tan Malaka, Agus Salim, Hatta, Sjahrir, dan Hamka.13 Kedua, historiografi yang menunjukkan muncul dan lahirnya para elite baru Minangkabau pada awal abad ke-20, lebih disebabkan mereka ingin memberi formulasi alternatif bagi konsep Alam Minangkabau dan pilar-pilarnya (adat dan Islam), yang tengah Lihat misalnya pada karya Audrey R. Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (Jakarta: YOI, 2005). 13
5
melemah karena kehadiran negara kolonial di Sumatera Barat.14 Raihan kemajuan orang Minangkabau melalui pendidikan Barat menurut model historiografi di atas, dianggap sebuah proses alamiah dari situasi yang dihadapi orang Minangkabau pada awal abad ke-20. Pendidikan Barat seakan tidak dianggap penentu kemajuan orang Minangkabau dalam alam kolonial kala itu.15 Dua
model
historiografi
yang
berpandang
Indonesia-
sentrisme16 yang ditunjukkan di atas menempatkan para elite-elite baru Minangkabau di kota, seakan berada pada posisi berhadapan
Lihat misalnya pada karya Taufik Abdullah, ―Modernization in the Minangkabau World: West Sumatera in the Early Decades of the Twentieth Century‖, dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1972, hlm. 179-245.; atau pada karya Jefrey Hadler, op.cit. 14
Alam kolonial maksudnya adalah situasi atau realitas sosio-budaya ciptaan pemerintah kolonial untuk mengukung orang Minangkabau secara politis dan ekonomis. Secara politis alam kolonial terbentuk pasca perang Paderi di pertengahan abad ke-19. Kemenangan militer dan politis yang merembes pada penguasaan kehidupan ekonomi orang Minangkabau di pedalaman Sumatera Barat mengubah tatanan sosial serta adat masyarakat. Lebih jauh dan detil lihat Taufik Abdullah, ―The Making of a Schakel Society: The Minangkabau Region in the Late Nineteenth Century‖, papers, Conference on Modern Indonesian History (Madison: Center for Southeast Asian Studies University of Wisconsin, 1975). 15
Perspektif ini bisa dibaca pada Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (Yogyakarta: Ombak. 2006). 16
6
dengan dunia kolonial, 17 dan berjarak dengan nilai serta realits modernitas 18 yang tumbuh seiring dengan institusi pendidikan Barat. Karya dan perspektif historiografi Indonesia-sentrisme di atas telah menutup kemungkinan realitas historis lain yang menunjukkan adanya elite-elite baru Minangkabau di kota, yang hidup relatif nyaman dalam dunia kolonial, dan menerima pendidikan Barat sebagai titik pijak identitas baru mereka sebagai orang modern
19
pada awal abad ke-20. Mereka itu adalah
Realitas ini menghadirkan sebuah sistem, kultur, dan mentalitas yang diciptakan serta terciptakan oleh kehadiran kekuasaan kolonial di Sumatera Barat, serta masyarakat Minangkabau. Sistem itu terbentuk oleh asosiasi-asosiasi politik dengan elite tradisi Minangkabau. Sementara kulturnya ada pada nilai modernitas kolonial, dan orangnya tidak terbatas pada orang Belanda, tapi juga elite lokal seperti dijelaskan Taufik Abdullah, op.cit. 17
Modernitas adalah konsep yang merujuk pada realitas kekotaan. Modernitas membuka jalan bagi peranan individu dan kesetaraan, ide kemajuan, serta mobilitas. Dalam konteks periode kolonial, modernitas senantiasa diidentikan sebagai bagian dari hegemoni masyarakat Eropa atau Barat di Hindia Belanda. Lihat Henk Schulte Nordholt, ―Modernity and Cultural Citizenship..op.cit., hlm. 438. 18
Menjadi orang modern dalam konteks ini adalah menjadi orang berpendidikan Barat, bisa berbahasa Belanda, bergaya hidup seperti orang Eropa, dan berpikir kritis terhadap tradisi. Berbagai realitas menjadi modern ini bisa dilihat pada antologi yang dieditori Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (Yogyakarta: LKiS, 2005). Selain itu penelitian terbaru soal menjadi orang modern dalam konteks kehidupan sehari-hari di masyarakat Minangkabau di luar Kota Bukittinggi lihat Yelda Syafrina, ―Minangkabau dalam Kemodernan: Kehidupan Sehari-hari di Sumatera Barat19001940an‖, Tesis (Yogyakarta: PPS FIB UGM, 2015). 19
7
sekelompok orang Minangkabau paling awal yang berinteraksi dengan dunia kolonial dan alam modernitas Kota Bukittinggi. 20 Bagi mereka menjadi modern berarti menjadi atau berorientasi pada kolonial, 21 namun dalam perkembangannya para elite kota Minangkabau tersebut mengalami disorientasi. Mereka keluar dari paradigma dunia kolonial yang melingkupi mereka selama ini. Elite-elite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi ingin menjadi modern, tanpa menjadi kolonial. Berdasarkan hal di atas muncul pertanyaan,
siapa
para
elite
baru
Minangkabau
tersebut?;
mengapa mereka mempertanyakan keabsahan dunia modern mereka di Kota Bukittinggi, meski telah hidup nyaman di dalamnya?;
apa
yang
melatari
reorientasi
mereka
sehingga
memutuskan keluar dari cara pandang dunia kolonial yang mengukungi mereka?; dan seperti apa proses kultural para elite baru Minangkabau menjadi modernis, tanpa menjadi kolonial itu? Alam modernitas Kota Bukittinggi ini melingkupi idealisasi gaya hidup modern yang diimpikan orang Minangkabau yang menjadi wargakota dan hadir dalam bentuk tampilan luar seperti pakaian, rumah, kualitas hidup, serta menjadi bagian penting dari rekonstruksi status dan identitas baru yang disandarkan pada modal pendidikan Barat, kekayaan, dan kultural. Lebih detil lihat dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), op.cit. Soal identitas dan status dari sandaran pendidikan Barat lihat E.E. Graves, op.cit. 20
Menjadi kolonial berarti menerima kontrol atas pengetahuan mereka tentang kemajuan oleh pemerintah kolonial. Maka untuk menjadi kolonial juga berarti menerima pandangan modernitas sebagai jalan memberadabkan bumiputera yang terbelakang secara kultur. Lihat Henk Schulte Nordholt, ―Modernity and Cultural Citizenship..‖ op.cit., hlm. 444. 21
8
Ruang lingkup penulisan ini dibatasi secara temporal pada 1905-1942. Kurun 1905 merupakan klimaks proses Bukittinggi menjadi
kota
administrasi
kolonial
melalui
Staatsblad
van
Nenderlandsch-Indie No. 419. Pada kurun yang sama, pemerintah Kota Bukittinggi juga mengadakan sensus lokal untuk mendata siapa
wargakota,
dan
siapa
pendatang
yang
cuma
datang
berkunjung. Kehadiran Bukittinggi sebagai kota, dan sensus lokal pada 1905 di atas dapat dikatakan telah menempatkan para elite baru Minangkabau sebagai wargakota, bukan lagi penduduk nagari-nagari yang ada di luar Kota Bukittinggi. Lingkup temporal penulisan ini dibatasi pada 1942. Selama kurun 1905-1941, eliteelite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi mengalami euforia modernitas
melalui
berbagai
partisipasi
mereka
di
bidang
pendidikan, ekonomi, organisasi, dan media massa. Namun pada 1942, euforia dan dialektika mereka terhenti karena Perang Dunia II. Pengaruh PD II pada 1942 membuat Kota Bukittinggi tidak lagi kondusif bagi aktivitas para elite baru Minagkabau di Kota Bukittinggi. Batasan spasial penulisan ini adalah Kota Bukittinggi. Kota ini merupakan salah satu tujuan utama perantauan orang Minangkabau
yang
datang
dari
kawasan
daerah
Agam,
Tanahdatar, Solok, Pasaman, Pariaman, dan Pesisir Selatan selain Kota Padang. 22 Kota Bukittinggi menjadi tujuan karena menjadi 22
Lihat E.E. Graves, op.cit., hlm. 169.; lihat juga Tsuyoshi 9
pusat
aktivitas
pendidikan
oleh
kehadiran
sekolah-sekolah
pemerintah dan partikelir, perdagangan, dan intelektual. Elite baru Minangkabau yang dimaksud dalam penulisan ini adalah para perantau yang datang menetap di Kota Bukittinggi sejak 1905, dan setelahnya. Mereka menjadi bagian dari tumbuh kembangnya Kota Bukittinggi secara fisik, dan intelektual. Mereka berhasil dalam bidang pendidikan, perdagangan, dan profesinya masing-masing. Ciri utama mereka ada pada pemahaman ulang eksistensi mereka dalam tradisi, dan alam kolonial. Pemahaman itu membuat mereka berorientasi pada ide-ide kemandirian, dan modernisasi adat Minangkabau. Meskipun demikian, orientasi itu tidak
bersifat
kesempatan
politis,
tapi
mendapatkan
pada
aktivitas
pendidikan
secara
pengembangan merata,
adat
Minangkabau yang baru, dan gaya hidup modern. C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan permasalahan dan rumusan kajian di atas, maka
penulisan
berbentuk
tesis
ini
bertujuan;
pertama,
memahami realitas sosiologis dan kultural Kota Bukittinggi pada awal abad ke-20, dan mendeskripsikan latar sosial para elite baru Minangkabau. Kedua, menjelaskan relasi serta interaksi elite baru Minangkabau, melalui ide-ide modernitas mereka, dengan dunia Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). 10
kolonial
Kota
Bukittinggi.
Ketiga,
membandingkan
orientasi
kemodernan elite baru dengan elite lama Minangkabau dalam memahami
dunia
kolonial
Kota
Bukittinggi.
Keempat,
menunjukkan proses para elite baru Minangkabau menegosiasi nilai-nilai modernitas di Kota Bukittinggi. Manfaat penulisan ini diharapkan bisa memberi kontribusi bagi diskusi akademik tentang historiografi Indonesia pada era kolonial. Secara khusus kajian elite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi pada awal abad ke-20 diharapkan bisa memberi gambaran proses keterlibatan dan respon orang Minangkabau terhadap dunia kolonial, dan keberhasilan mereka menggunakan modernitas sebagai jalan kemajuan tanpa perlu menjadi kolonial. D. Tinjauan Pustaka Penelitian
sejarah
tentang
elite
Minangkabau,
telah
melahirkan berbagai historiografi penting. Karya-karya sejarah tersebut memudahkan untuk pemahaman kemunculan, identitas, dan gerakan sosio-kultural kelompok ini. Demikian juga halnya, topik historiografi mengenai modernitas dan dampaknya dalam masyarakat Minangkabau sejak pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20, membuat peneliti generasi selanjutnya kaya dengan pelbagai informasi, ulasan, dan perspektif. Karya-karya sejarah tentang elite Minangkabau dan modernitas itu menjadi
11
dasar legitimasi dan orisinalitas penulisan ini. Salah satu karya tentang
masyarakat
Minangkabau
yang
Minangkabau dipakai
di
dalam
awal
kolonialisme
penulisan
adalah
di
karya
Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi (2008).23 Karya Dobbin di atas merupakan dasar penulis
memahami
perubahan
sosial
masyarakat
nagari
Minangkabau sejak pertengahan abad ke-19. Karya Dobbin memberi peluang untuk meninjau lebih jauh tentang kebangkitan kelompok sosial baru Minangkabau sebagai akibat kolonialisme dan modernitas yang tumbuh di kota-kota pada akhir abad ke-19. Selain itu, untuk memperlihatkan perbedaan dan orisinalitas penulisan ini dengan historiografi yang telah ada, maka narasi tinjauan pustaka selanjutnya akan menjabarkan soal kajian yang membahas elite Minangkabau, sejarah Kota Bukittinggi, dan modernitas dalam masyarakat Minangkabau. Sementara kajian elite baru Minangkabau dengan topik-topik menyangkut gerakan anti-kolonial atau pergerakan kebangsaan, seperti ditunjukkan dalam karya-karya, seperti Abdullah,
24
Kahin,
25
Noer,
23
Lihat Christine Dobbin, op.cit.
24
Lihat Taufik Abdullah, Schools and Politics: op.cit.
25
Lihat Audrey R. Kahin, op.cit.
26
Lihat Deliar Noer, op.cit.
26
dan
12
Schrieke,
27
serta Young,
28
menjadi pembanding dan sumber
sekunder penulisan ini. E.E Graves mencoba mengungkap konstruk dan perubahan sosial masyarakat Minangkabau ketika reorganisasi sekolahsekolah pemerintah dan maraknya sekolah-sekolah partikelir dibangun di nagari-nagari Minangkabau melalui Asal Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX (2007). 29 Sedang Taufik Abdullah, menyoroti munculnya elite schakel Minangkabau sebagai kelompok awal yang disasar pemerintah kolonial untuk dimodernisasikan melalui ―The Making of a Schakel Society: The Minangkabau Region in the Late Nineteenth Century‖.30 Dua kajian tersebut, pada Graves, terdapat gambaran yang luas atas kebangkitan seluruh sekolah-sekolah yang berdiri di Minangkabau sampai awal abad ke-20. Graves menyatakan
modernitas
kolonial
lewat
institusi
pendidikan
memberi jalan terbentuknya para elite Minangkabau secara umum. Namun Graves tidak menjelaskan pengategorisasian elite Lihat B.J.O Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat (Jakarta: Bharatara, 1973). 27
Lihat Ken Young, Islamic Peasant and The State: The 1908 Anti-Tax Rebellion in West Sumatera (New Haven: Yale Universty, 1994). 28
29
Lihat E.E. Graves, op.cit.
Lihat Taufik Society..op.cit. 30
Abdullah,
―The
Making
of
a
Schakel
13
tersebut, dan orientasi apa yang mereka miliki. Pada tulisan Abdullah, elite schakel meliputi bentuk mobilitas elite tradisi atau lama Minangkabau, bukan orang biasa yang dibentuk secara politis. Sejarah Kota Bukittinggi dan aspek simboliknya telah pula dilakukan dan ditulis Zulqayyim, Boekittinggi Tempo Doeloe, 31 serta Peter J.M. Nas dan Martin A. van Bakel, ―Simbolisme Kota Kecil: Arti dari Lingkungan yang Sudah Jadi di Bukittinggi dan Payakumbuh‖.
32
Dua
tulisan
tersebut
merupakan
referensi
penting mengetahui dan memahami konteks Kota Bukittinggi masa kolonial. Namun karya Zulqayyim tidak menunjukkan kemunculan dan orientasi elite baru Minangkabau di kota ini, sementara J.M. Nas dan Van Bakel menjelaskan simbol-simbol modernitas tinggalan kolonial di dua kota, Bukittinggi dan Payakumbuh. Kajian tentang modernitas di masyarakat Minangkabau di kurun awal kolonialisme pada pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20 diantaranya dijabarkan oleh Abdullah dalam ―Modernization in the Minangkabau World: West Sumatera in the
Lihat Zulqayyim, Boekittinggi Tempo Doeloe, (Padang: Andalas University Press, 2006). 31
Lihat Peter J. M. Nas, Kota-Kota Indonesia Bunga Rampai (Yogyakarta: UGM Press, 2007). 32
14
Early Decades of the Twentieth Century‖ (1972).33 Modernisasi di dekade awal abad ke-20 di Minangkabau merupakan pemicu munculnya para kaum terpelajar (Islam) yang ingin memberi alternatif formulasi Alam Minangkabau dan pilar-pilarnya (adat dan Islam) yang tengah melemah karena kehadiran negara kolonial. Abdullah menyatakan, negara dan simbol modernitas kolonial hanyalah latar bukan panggung dialektika antara-nilai modernisme Islam dan adat yang ingin membangun kembali ―Alam Minangkabau‖.
34
Jeffrey Hadler, mengurai dan menjabarkan
fenomena relasi modernitas yang tumbuh di Minangkabau di masa kolonial dengan dinamisme budaya Minangkabau yang terjalin dengan kondisi ketidakpastian yang luas dan tidak terhindarkan melalui Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialise di Minangkabau. 35 Namun dua karya di atas tidak menunjukkan respon, dan bentuk partisipasi modernitas perantau Minangkabau, yang berada pada posisi ketidakpastian dalam gerakan restrukturisasi nagari oleh pemerintah kolonial, dan berdampak
pada
banyaknya
orang-orang
non-penghulu
itu
Lihat Taufik Abdullah, ―Modernization in the Minangkabau World..‖ op.cit., hlm. 179-245. 33
Alam Minangkabau adalah idealisasi konsep adat dalam masyarakat Minangkabau, melingkupi kawasan darek dan rantau. Lebih detil penjabarannya soal Alam Minangkabau lihat Taufik Abdullah, The Making of a Schakel Society..‖ op.cit., hlm. 15. 34
35
Lihat Jeffrey Hadler, op.cit. 15
merantau ke Kota Bukittinggi pada akhir abad ke-19, dan menetap sebagai wargakota pada awal abad ke-20. Penulisan penting tentang pengaruh modernitas dan gaya hidup dalam kehidupan wargakota di Sumatera Barat di masa kolonial diuraikan Nico J.G. Kaptein, ‖Southeast Asian Debates and Middle Eastern Inspiration: European Dress in Minangkabau at Beginning of the 20th Century‖.36 Kaptein menjabarkan debat pemakaian pakaian modern wargakota Minangkabau. Kaptein menunjukkan gaya hidup modern bukan ruang kultural yang bisa dinegosiasi dan diterima sebagian wargakota Minangkabau yang masih kuat dalam pemahaman tekstual Islam mereka. Sebagian dari mereka menilai haram berpakaian laiknya orang Belanda. Berdasarkan
karya-karya
yang
telah
ada
tentang
elite
Minangkabau, Kota Bukittinggi, dan modernitas, dapat dikatakan bahwa
historiografi
yang
membahas
tentang
elite
baru
di
perkotaan awal abad ke-20 masih tampak sangat terbatas, apalagi bila konteksnya di Kota Bukittinggi. Padahal elite baru tersebut, merupakan generasi Minangkabau paling awal yang bersentuhan dan menerima modernitas kolonial. Mereka menerima modernitas kolonial tanpa ada rujukan sebelumnya tentang nilai kemajuan Nico J.G. Kaptein, ‖Southeast Asian Debates and Middle Eastern Inspiration: European Dress in Minangkabau at Beginning of the 20th Century‖ dalam Eric Tagliacozzo (Ed.), Southeast Asia and the Middle East: Islam, Movement, and the Longue Dure (Singapore: NUS Press-Stanford University Press, 2009). 36
16
tersebut. Untuk itu, penulisan tesis ini menjadi penting membahas latar belakang kemunculan, internalisasi modernitas mereka dalam gaya hidup, dan reaktualisasi mereka dalam dunia kolonial dan alam modernitas Kota Bukittinggi, dalam periode 1905-1942. E. Kerangka Konseptual dan Pendekatan Dunia
kolonial Kota
Bukittinggi,
dan Sumatera Barat
umumnya pada awal abad ke-20, adalah panggung di antara aktor-aktor utama, meliputi pemerintah kolonial, penghulu, dan perantau Minangkabau. Ketiganya memainkan lakon yang berbeda untuk mencapai tujuan dan orientasi masing-masing, namun berhasil menghasilkan satu cerita tentang realitas masyarakat kota dengan ide-ide serta manifestasi modernitas masing-masing aktor. Salah satu aktor dan lakon dari panggung dunia kolonial Sumatera Barat umumnya, dan Kota Bukittinggi khususnya adalah para perantau Minangkabau. Para perantau Minangkabau merupakan aktor watak yang sukses dalam dunia kolonial Kota Bukittinggi pada awal abad ke-20. Mereka berhasil karena telah memiliki modal awal modernitas melalui pendidikan Barat. Raihan awal itu memudahkan mereka mengalami proses reorientasi untuk tujuan-tujuan tradisional maupun baru yang mereka dapatkan dari
pengembangan
dinamika
dunia
pengetahuan,
kolonial
sendiri.
jaringan Elite
intelektual,
baru
yang
dan
awalnya
17
perantau, dan sebagaimana seorang perantau, mereka secara cerdik dan pragmatik mampu membaca munculnya kesempatan baru, dan akhirnya menegaskan posisi serta identitas baru mereka dalam
masyarakat
tradisi
serta
kolonial
Kota
Bukittinggi
khususnya, dan Minangkabau umumnya. Wajah utama dunia kolonial pada awal abad ke-20 adalah kota dan urbanisasi yang menjadi saluran bagi ide-ide di kalangan bumiputera. 37 Perkembangan ide-ide baru kaum bumiputera itu tidak bisa dilepaskan dari ketertarikan mereka pada modernitas, terutama gaya hidup. 38 Namun akses terhadap gaya hidup itu tidak dapat mereka dapatkan tanpa bergabung dalam kerangka sistem kolonial yang ada, 39 atau dalam penulisan ini disebut dengan modernitas kolonial. Penerimaan kaum bumiputera dalam kerangka modernitas kolonial secara langsung memperkuat regim kolonial,
karena
sebagian
pemerintah kolonial.
40
dari mereka
ingin
bekerja
pada
Namun di sisi yang lain, modernitas
kolonial adalah hasil interaksi dari hubungan antara dominasi dan
Lihat A.J. Stockwell, ―Conceptions of Community in Colonial Southeast Asia‖, Transactions of the Royal Historical Society, Vol. 8 (1998), pp. 337-355, hlm. 341. 37
Lihat Henk Schulte Nordholt, ―Modernity and Cultural Citizenship...‖, op.cit., hlm. 438. 38
39
Ibid.
40
Ibid. 18
ketergantungan. 41 Interaksi sosial dalam modernitas kolonial di atas membentuk sebuah modus yang mengatur relasi kuasa dari pemerintah kolonial dan kaum-kaum urban bumiputera sejak awal abad ke-20. Modus itu menegaskan relasi yang ketat menjadi modernis berarti menjadi kolonial. Pada awal abad ke-20 kota-kota kolonial di Sumatera Barat, utamanya di Kota Bukittinggi, membentuk apa yang bisa disebut kultur modernitas kolonial yang terefleksi pada gaya hidup orang-orang Eropa atau Barat. Pada periode awal, elite baru Minangkabau tidak bisa melepaskan diri dari
modus
modernitas
kolonial
tersebut.
Namun
dalam
perkembangannya, sebagai perantau yang berbekal nilai-nilai tradisi yang kuat, dan diperkaya oleh progresifitas capaian alam pemikiran
modern,
mereka
beradaptasi
terhadap
tuntutan-
tuntutan modernitas kolonial Kota Bukittinggi. Mereka juga mendapatkan akses informasi yang relatif banyak tentang dunia modern lain, seperti Mesir misalnya. Para elite baru mengolah dan meresapi secara cerdas berbagai informasi yang mereka dapatkan, dan akhirnya merancang ulang sistem-sistem baru bagi tindakan atau tingkah laku mereka agar mampu menyesuaikan diri dengan
Lihat Anthony D King, ―The Language of Colonial Urbanization‖, Sociology, Vol. 8, No. 1 (January 1974), pp. 81-110, hlm. 84; Lihat juga analitis soal ini dalam Joost Cote, ―Missionary Albert Kruyt and Colonial Modernity in the Dutch East Indies‖, Itinerario, Vol. 34, Special Issue 03, December 2010, hlm. 11-24. 41
19
situasi dan kondisi yang berkembang. 42 Penyesuaian diri dalam realitas baru para elite baru dipedomani dari konsepsi tradisi sakali aia gadang sakali tapian barubah, sekali air besar maka sekali tepian berubah. Artinya setiap perubahan yang terjadi ibarat air besar yang melanda segala tatanan yang akan membawa perubahan sistem sosio-kultural mereka. Dalam konteks tersebut para elite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi pada awal abad ke-20 berusaha meminta bahkan menuntut pengakuan atas aspek-aspek tertentu dari kemajuan mereka, dan memberikan bentuk atas model modernitas mereka itu.43 Elite-elite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi pada abad ke-20 merupakan sebuah kelas sosial baru yang mencari tempat dalam masyarakat. 44 Mereka berusaha mendapatkan pengakuan atas identitas baru mereka yang merupakan paduan antara tradisi, modernitas, dan kreasi atau invensi intelektual dalam masyarakat
Kota
Bukittinggi.
Sartono
Kartodirdjo
menyebut
Lihat lebih lanjut di John William Benet, Adaptation as Social Process in the Ecological Transition: Cultural Anthropology in Human Adaptation (New York: Pengamon Press Inc, 1976), hlm. 274. 42
Lihat lebih jauh Frederick Cooper, Colonialism in question: Theory, knowledge, history (Berkeley: University of California Press, 2005), pp. 113–49., dalam Henk Schulte Nordholt, ―Modernity and Cultural Citizenship...‖, op.cit., hlm. 439. 43
Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 62. 44
20
kategori elite baru kota Minangkabau di atas sebagai kaum intelektual, atau golongan kelas menengah.45 Menurut Robert Van Niel para elite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi di atas dapat disebut dengan elite modern. 46 Lebih jauh Van Niel menjelaskan elite modern merupakan penggenapan elite tradisional yang berorientasi pada kosmologis dan berdasarkan turunan. Elite modern, meliputi administratur, pegawai pemerintah, teknisi, orang-orang profesional, dan intelektual. Namun secara garis besar, para elite modern menurut Van Niel tersebut juga dibedakan pada dua elite; fungsional, dan politik. Elite fungsional merupakan pemimpin-pemimpin yang mengabdikan diri untuk kelangsungan
berfungsinya
suatu
negara
dan
masyarakat.
Sedangkan elite politik adalah orang-orang yang terlibat aktivitas politik untuk tujuan-tujuan kekuasaan, atau sekedar perubahan politik saja dalam masyarakat. 47 Selain itu, Heather Sutherland menyebut elite pribumi yang muncul di masa kolonial sebagai elite birokrasi. 48 Elite birokrasi merupakan penerus dan pelindung tradisi-tradisi aristokrasi pribumi. Para elite birokrasi tersebut Lihat Sartono Kartodirdjo (penyunting), ―Kata Pengantar‖, Elite dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. x-xi. 45
46
Lihat Robert Van Niel, op.cit.
47
Ibid., hlm. 12.
48
Lihat Heather Sutherland, op.cit.
21
merupakan
kelanjutan
kelas
lama
yang
berkuasa.
49
Pada
masyarakat Minangkabau, elite yang disebut Sutherland tersebut meliputi para elite schakel yang muncul dan terbentuk pada pertengahan abad ke-19 seperti dijelaskan Taufik Abdullah. 50 Elite baru yang dimaksud dalam penulisan ini mendekati yang apa yang didefinisikan Van Niel, yakni elite modern. Elite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi merupakan para pegawai kolonial,
profesional,
dan
intelektual.
Mereka
sebagian
mengabdikan diri pada sistem kekuasaan kolonial, tapi tidak terlibat pada aktivitas politik untuk meruntuhkan negara kolonial (Hindia Belanda), kecuali secara kultural berusaha mempengaruhi perubahan kebijakan menyangkut akses pendidikan dan ruang lebih untuk ekspresi tradisi (adat Minangkabau modern), serta modernitas baru mereka. Para elite baru yang asalnya dari perantau itu yang secara genealogis, sebagian dari mereka bukan turunan atau kelanjutan kelas lama yang berkuasa di nagari. Sebagian yang lain meliputi elite lama yang memiliki orientasi baru, bukan demi keberlangsungan misi kolonial pemerintah Hindia Belanda di Minangkabau tapi pada adat baru yang modern.
49
Ibid., hlm. 13.
Lihat Taufik Society...‖op.cit. 50
Abdullah,
―The
Making
of
a
Schakel
22
Para elite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi mengawali peralihan orientasi mereka dari dunia kolonial ketika pendidikan Barat telah cukup memberi mereka kesadaran atas realitas sosiologis dan kultural yang mereka dapatkan. Mereka merasa terliyan-kan atau dianggap ―lain‖ (alien) oleh masyarakat tradisi, dan Eropah di Bukittinggi. Posisi sosialogis mereka dalam masyarakat awalnya dianggap menyimpang seperti halnya Hanafi dalam cerita Salah Asuhan karya Abdoel Moeis (2002). Dilema Hanafi, meski tokoh rekayasa Abdoel Moeis, merupakan sebuah fakta mentalitas yang melanda para elite baru Minangkabau pada awalnya. Mereka berada pada posisi dilematis, dalam kondisi batin yang terbelah Mereka seakan tidak mempunyai norma dan sistem nilai yang jelas; tidak di dunia lama yang mulai ditinggalkannya dan tidak pula di dunia baru yang ingin direngkuhnya. Di satu sisi, mereka berusaha memegang teguh nilai-nilai dunia lamanya walaupun sepotong-sepotong, tetapi di lain pihak, juga berusaha merengkuh nilai-nilai dari dunia baru yang diterimanya. 51 Maka presentasi diri
dari
keanonimitasan—ketiadaan
identitas
yang
jelas—
tersebut, akhirnya menghasilkan keinginan untuk aktualisasi di satu sisi, dan pencitraan di sisi lainnya. Mereka ingin menjadi modern yang tidak lagi senafas dengan kolonialisme. Elite baru itu Konsep liminalitas ini lihat Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: Perspektif Antropologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 197. 51
23
ingin menjadi modernis baru dengan orientasi yang melampauhi modernitas kolonial. Hal itu mereka tunjukan pada berbagai aktivitas kulturalnya, organisasi, dan tampilan luar yang tampak pada fungsi komunal hunian pribadi mereka di Kota Bukitinggi. Namun hal paling penting dari pegubahan orientasi para elite baru Minangkabau adalah pada rasa percaya diri mereka untuk terlibat dalam dinamika yang berkembang di Kota Bukittinggi, dan kemampuan memahami diri mereka sebagai subyek yang mandiri ketika berhadapan dengan dunia kolonial. F. Metode dan Sumber Proses kerja penulisan ini dimulai dengan langkah awal mengumpulkan berkaitan
sumber-sumber
dengan
topik
sejarah
penulisan.
atau
Untuk
heuristik
yang
memahami
dan
menjelaskan elite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi dan negosiasi kemodernan mereka tanpa menjadi kolonial digunakan sumber-sumber
tertulis,
lisan,
dan
visual.
Sumber-sumber
tersebut didapatkan dari perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, perpustakaan Pusat UGM, perpustakaan Hatta UGM, Pustaka
Nasional
Dokumentasi,
RI
Informasi
Jakarta,
dan
Kebudayaan
perpustakaan Minangkabau
Pusat (PDIKM)
Padangpanjang. Melalui penelusuran sumber-sumber tertulis atau tercetak di perpustakan dan di atas, telah didapatkan surat kabar-
24
surat kabar yang terbit pada 1910an sampai 1930an, foto-foto masa kolonial, catatan perjalanan, buku, tesis, dan disertasi yang berkaitan langsung dengan topik penulisan ini. Beberapa surat kabar yang didapatkan melalui perpustakaan itu meliputi Aboean Goeroe-Goeroe, Berito Minangkabau, Hedangan Koerai, Berita Koerai, Medan Poetri, Perdamaijan, dan sebagainya yang bisa ditelusuri di dalam daftar pustaka. Surat kabar-surat kabar tersebut diletakan sejajar sesama arsip lain. Sementara artikel opini yang ada dalam surat kabar sezaman diletakan di bagian karya tulis, seperti buku, dan jurnal karena merupakan pendapat pribadi si pengarang. Penelusuran di perpustakaan Pusat UGM memberi penulis otobiografi-otobiografi yang ditulis orang-orang yang mengisahkan hidupnya di masa kolonial di Sumatera Barat, seperti
Djuir
Muhammad,
Memoar
Seorang Sosialis
(1997),
Muhammad Radjab, Semasa Ketjil di Kampung 1913-1928 (1950), dan Mien Soedarpo, Kenangan Masa Lampau (1994). Penulis juga mendapatkan gambaran arsitektur rumah keluarga Nawawi gelar Soetan Ma’moer, dan Iljas Bagindo Marah di Kota Bukittinggi yang masih sesuai dengan aslinya. Penulis juga mencocokan arsitektur rumah keduanya dengan buku otobiografi yang ditulis cucu-cucu mereka, meliputi Mohammad Hatta dan Mien Soedarpo. Sumber lisan sebagai salah satu sumber primer penulisan tesis ini penulis dapat dari wawancara dengan informan yang 25
tinggal di Kota Bukittinggi. Pada awalnya menulis mengalami kesulitan menemukan informan di Kota Bukittinggi yang pernah mengalami hidup di periode 1905-1942. Umumnya mereka sudah meninggal, bahkan sulit memintai informasi kepada anak turunan orang-orang pernah hidup di masa kolonial. Mereka menyatakan tidak lagi ingat cerita kehidupan orangtuanya di Kota Bukittinggi masa awal abad ke-20. Beruntung penulis akhirnya dikenalkan dua orang anak Nagari Kurai, Hendra gelar Mangkuto dan Mustaqim, pada seorang perempuan, Juniar, berumur 83 tahun (2013), dan Datuk Baranam umur 73 tahun (2013). Wawancara telah dilakukan dengan Juniar (83 th) dan Datuk Baranam (73 th) di
Kota
Bukittinggi.
Juniar
adalah
mantan
siswi
Sekolah
Meisjevervolg I di Kota Bukittinggi pada 1939-1942. Melalui cerita Juniar penulis mendapakan gambaran kehidupan sekolah dan murid pribumi Minangkabau di sekolah modern. Sementara Datuk Baranam adalah anak seorang penghulu Suku Kurai yang masih ingat cerita-cerita ayahnya tentang kehidupan sehari-hari nagari dan kehidupan suku Kurai di akhir 1930an. Penulis bertemu dan melakukan wawancara dengan dua orang tersebut sebanyak satu kali,
sebab
kondisi fisik
keduanya
yang
sakit-sakitan
dan
permintaan keluarga narasumber. Selain itu, untuk mendapatkan gambaran sosial dan wahana pemahaman yang utuh, penulisan tesis ini juga menggunakan karya sastra, seperti Salah Asuhan 26
karya Abdoel Moeis (2002), dan Sengsara Membawa Nikmat karya Toelis Soetan Sati (2010).52 Langkah kedua dari metode penulisan ini adalah kritik terhadap sumber-sumber sejarah yang telah didapatkan tersebut; ekstern dan intern. Sumber-sumber itu diseleksi dan diidentifikasi berdasarkan penulis, tempat sumber dikeluarkan, dan tahun terbitnya, sehingga dapat dipisahkan mana data yang primer dan sekunder,
otentik
sekaligus
orisinil.
Setelah
itu
dilakukan
pembandingan dengan sumber sumber lain sehingga diperoleh fakta sejarah yang benar-benar relevan. Langkah ketiga metode penulisan
ini
adalah
menginterpretasi
fakta
historis
yang
Sejarah sosial Indonesia dalam periode-periode tertentu terekam dalam berbagai karya sastra yang lahir pada zaman itu. Karya itu dapat menghadirkan nuansa faktual dari masa lalu melalui imajinasi kebahasaannya. Penggunaan karya sastra memberi ilustrasi atau fakta mentalitas dari kelampauan dalam narasi sejarah oleh para sejarawan Indonesia bukan tren baru. Sartono Kartodirdjo, Kuntowijoyo, dan Taufik Abdullah merupakan beberapa sejarawan terkemuka Indonesia yang turut memberi kerangka acuan bagaimana menggunakan karya sastra memperkaya khasanah ilustrasi historiografi. Sartono Kartodirdjo menggunakan novel karya P.C.C. Hansen, Pah Troeno, sementara Taufik Abdullah menjelaskan hubungan penting sejarah Minangkabau dengan Kaba Cindur Mato. Baca lebih jauh Bambang Purwanto, ―Menulis Kehidupan Sehari-Hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia‖ dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari (eds.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 4., Sartono Kartodirdjo, Modern Indonesia Tradition and Transformation: A Socio Historical Perspective (Yogyakarta: UGM Press, 1991)., Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)., Taufik Abdullah, ―Some Notes on Kaba Tjindua Mato: an Example of Minangkabau Traditional Literature‖, dalam Jurnal Indonesia, Vol. 9. April 1970. 52
27
didapatkan dari pembacaan data-data sejarah yang terseleksi. Dengan melakukan tafsir sejarah akan terbentuk satu imajinasi sejarah yang siap dituliskan sebagai langkah terakhir metode penulisan, yakni historiografi. Penulisan sejarah dari penulisan ini juga menggunakan cara berpikir (metodologi) yang didasarkan konsep ilmu sosial lain, untuk membangun sebuah konstruksi sejarah yang lebih luas, sehingga dapat menjelaskan relasi antara struktur dan agensi, antara negara kolonial, masyarakat kolonial, dan elite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi dalam kurun 1905-1942. G. Sistematika Penulisan Hasil penulisan berbentuk tesis ini diatur secara sistematis dan metodologis berdasarkan kerangka konseptual yang ada, sehingga
memudahkan
pembahasan.
Penekanan
pentingnya
pembahasan elite baru Minangkabau dan negosiasi modernitas kolonial Kota Bukittinggi sepanjang periode 1905-1942 diletakan di Bab I. Bab awal ini merupakan pengantar meliputi latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup kajian, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, kerangka konseptual dan pendekatan, metode dan sumber penulisan, serta sistematika penulisan. Konstruksi elite baru Minangkabau dan modernitas Kota Bukittinggi dielaborasi di Bab II. Bab kedua merupakan titik
28
pijak pembahasan bab-bab selanjutnya. Bab ini menjelaskan asal usul elite baru dan usaha mereka menjadi bagian dari kehidupan serta gaya hidup modern di Kota Bukittinggi. Bab III menjelaskan latar belakang keinginan elite baru Minangkabau mendapatkan pengakuan sosiologis dan kultural dalam masyarakat modern Kota Bukittinggi. Bagian akhir bab ini menjelaskan jalan negosiatif elite baru sebagai repartisipasi dalam masyarakat
dan
menjelaskan
dunia
usaha
modern
reaktualisasi
Kota para
Bukittinggi. elite
Bab
baru
IV
untuk
mendapatkan pengakuan serta tempat dalam masyarakat tradisi, serta modern Kota Bukittinggi. Bab ini fokus pada reaktualisasi modernitas lima tokoh elite baru, meliputi Datuk Sanggoeno Diradjo, Nawawi gelar Soetan Ma’moer, Iljas gelar Bagindo Marah, Syekh Muhammad Djamil Djamek, dan Syarifah Nawawi. Lima orang di atas adalah contoh elite baru Minangkabau di Kota Bukittinggi. Mereka berhasil menjadi modernis, tanpa menjadi kolonial.
Namun
dikategorisasikan
sebelumnya berdasarkan
para modal
elite
baru
modernitas
akan dan
orientasinya. Bab V menjabarkan proses negosiasi elite baru terhadap modernitas kolonial. Proses negosiasi itu diposisikan sebagai sebuah dialektika kultural dengan pengategorian adanya tesa, anti-tesa, dan sintesa. Untuk itu fokus bab ini adalah menjelaskan 29
hubungan sosio-kultural elite baru ini dengan realitas modernitas kolonial di satu sisi, dan ide-ide serta orientasi mereka yang dikonseptualisasi
dalam
kemadjoean
di
sisi
lain.
Melalui
penjelasan hubungan tersebut para elite baru menempatkan modernitas kolonial sebagai tesa, dan ide-ide kemadjoean sebagai anti-tesanya.
Melalui
dialektika
tesa
anti-tesa
itu,
mereka
membayangkan sebuah alam modernitas baru, doenia majdoe. Bab VI adalah kesimpulan sebagai jawaban dan manifestasi tujuan penulisan. Bab ini menegaskan pentingnya penulisan tesis, dan relevansinya dengan perkembangan historiografi Indonesia kontemporer.
30