BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Afganistan adalah sebuah negara Islam yang terletak di Asia Tengah. Pada abad ketiga sampai abad kedelapan, agama Budha adalah agama yang berpengaruh di Afganistan. Islam baru masuk pada akhir abad ketujuh, dan mulai menyebar di Afganistan ketika penyerbu Arab dari Dinasti Umayyad menggulingkan kekaisaran Persia dari Sassanians. Pada abad kesepuluh, para penguasa Muslim memanggil Samanids dari Bukhara (sekarang Uzbekistan), untuk memperluas pengaruh Islam ke dalam Afganistan. Perubahan lengkap Afganistan menjadi Islam terjadi selama kekuasaan Gaznavids di abad kesebelas. Sepanjang abad ke-16 dan ke-21 terjadi peperangan hingga turuntemurun berebut kekuasaan, mulai dari perang antar suku di Afghanistan hingga perang dengan negara lain seperti Inggris, Uni Soviet dan Amerika Serikat1. Kemarau panjang dan negara yang didera konflik berkepanjangan ini membuat Afganistan menjadi salah satu negara miskin di dunia. Konflik merupakan salah satu contoh penyebab terjadinya kekerasan. Perang yang sedang berlangsung, warisan sejarah penuh konflik dan hasil pemerintahan yang buruk memperparah eksistensi tindak kekerasan di Afganistan. Tindak kekerasan terhadap perempuan juga merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang terjadi di berbagai belahan bumi dan semakin hari 1
Kenneth Katzman. 2013. Afghanistan: Post-Taliban Governance, Security, and U.S Policy. Congressional Research Service. 19 September 2013, hlm. 1.
1
2
semakin sering diperbincangkan. Kekerasan bisa muncul secara terbuka tanpa ditutup-tutupi tetapi dapat juga diselubungi dengan macam-macam tabu dan mitos sehingga menjadi rahasia tertutup atau bahkan akhirnya sama sekali tidak dipahami sebagai bentuk kekerasan2. Dalam laporan C. Everett Koop, 20.000 perempuan Bosnia diperkosa tentara Serbia, dan pada tahun 1997-1999 terjadi pembunuhan terhadap 11.252 perempuan di India terkait dengan permasalahan mas kawin3. Di Afganistan, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sudah menjadi hal yang umum terjadi. Bentuk-bentuk kekerasan mencakup setiap aspek kehidupan perempuan dan anak perempuan seperti: kesehatan, mata pencaharian, akses untuk sumber daya sosial dan budaya, serta kesempatan untuk memperoleh pendidikan4. Pecahnya konflik bersenjata pada tahun 1978 ditandai dengan peristiwa yang sangat berbahaya, tidak terkecuali bagi perempuan. Selama pendudukan Soviet, mereka melakukan aksi pengeboman melalui udara, memporak-porandakan Afganistan dan membuat negara ini menjadi miskin. Kemudian periode Mujahidin (1992-1996), terjadi peperangan internal yang memperburuk segala aspek kehidupan di Afganistan. Hak dan kebebasan perempuan sangat terbatas. Banyak terjadi pelanggaran HAM berat terhadap perempuan seperti eksekusi di luar hukum, penyiksaan, kekerasan seksual, 2
E. Kristi Poerwandari. 2004. Mengungkap Selubung Kekerasan: Telaah Filsafat Manusia. Bandung: Kepustakaan Eja Insani, hlm. 1. 3 Susi Eja Yuarsi. 2002. Tembok Tradisi dan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: Kerja sama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation, hlm. 1. 4 Diya Nijhowne & Lauryn Oates. 2008. Living with Violence: A National Report on Domestic Abuse in Afghanistan. Washington: Global Rights, hlm. 1.
3
penghilangan, pemindahan, kawin paksa, perdagangan dan penculikan. Selanjutnya pada masa pendudukan Taliban, mereka menerapkan hukum Islam secara keras. Perempuan dan anak perempuan pun menjadi korban dari aturan yang ditetapkan. Mereka mengalami diskriminasi, hanya diperbolehkan di rumah untuk melakukan kegiatan rumah tangga. Mereka tidak diizinkan keluar atau tampil di depan umum kecuali didampingi oleh mahramnya5. Sejarah memiliki banyak pengaruh untuk menjaga dan meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan perempuan Afganistan. Sebagian besar perempuan di Afganistan tidak berdaya akibat struktur kekuasaan dan tatanan sosial, seperti perempuan digunakan sebagai komoditas yang dapat ditukar untuk keuntungan komersial atau politik. Dalam banyak media dan laporan penelitian, diungkapkan bahwa banyak perempuan yang berpartisipasi di dalam kehidupan publik, mereka telah diintimidasi, diancam, diserang, bahkan dibunuh6. Berbagai macam kekerasan digunakan untuk mengontrol dan menundukan perempuan. Menurut Sylvia Walby, kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan laki-laki adalah suatu struktur, meskipun bentuknya tampak individual dan berbeda-beda. Kekerasan adalah perilaku yang secara rutin dialami oleh perempuan7. Masyarakat Afganistan memandang perempuan sebagai penjaga budaya dan penjaga „kehormatan‟ keluarga. Akibatnya perempuan akan 5
UNAMA & OHCHR. 2009. Silence is Violenece: End The Abuse of Women in Afghanistan. Kabul, Afghanistan, 8 Juli 2009, hlm. 5. https://www.ohchr.org/Documents/Countries/ReportViolenceAgainstWomen.pdf diakses pada 16 Oktober 2013. 6 Ibid, hlm. 9-10. 7 Kamla Bhasin. 1996. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, hlm. 16.
4
dianggap tidak menghormati keluarga dan masyarakat ketika mereka mengalami kekerasan seksual. Untuk menjaga „kehormatan‟ dan mencegah terjadinya pengucilan dan penghinaan, perempuan Afganistan yang menjadi korban harus tetap bungkam di bawah banyak tekanan8. Perkosaan dan ancaman perkosaan adalah cara lain dari dominasi terhadap perempuan melalui pemberlakuan gagasan tentang „malu‟ dan „kehormatan‟. Dalam mengontrol seksualitas, pakaian, tindakan, dan gerak perempuan, mereka diawasi oleh aturan-aturan bertingkah laku keluarga, sosial, budaya, dan agama9. Kekerasan terhadap perempuan menjadi berita sehari-hari kehidupan manusia dan banyak menginspirasi karya-karya para sastrawan. Novel Syngué sabour-Pierre de patience merupakan salah satu contoh novel yang mengangkat tema kekerasan di dalamnya. Novel ini adalah salah satu karya Atiq Rahimi dan merupakan novelnya yang pertama kali ditulis langsung menggunakan bahasa Prancis. Atiq Rahimi lahir di Kabul, Afganistan pada tanggal 26 Februari 1962. Ia tinggal di Afganistan hingga berumur 20-an. Setelah invasi Soviet ia melarikan diri ke Pakistan. Di Pakistan, Atiq Rahimi menetap hingga akhirnya mendapat suaka politik di Prancis pada tahun 1984. Ia pun berkewarganegaraan ganda, yaitu Afganistan dan Prancis. Setelah mendapatkan gelar doktor di bidang komunikasi audiovisual dari Sorbonne, Atiq Rahimi menjadi sutradara dan telah menyutradarai film-film dokumenter dan beberapa iklan untuk televisi Prancis. Sejak tahun 2000, ia telah 8 9
Ibid, hlm. 21-22. Bhasin, Op. Cit., hlm. 9.
5
melahirkan empat karya novel, diantaranya Terre et Cendres (Earth and Ashes, 2000). Film dari adaptasi novel tersebut berhasil masuk dalam Official Selection pada Festival Film Cannes dan mendapat penghargaan Prix du Regard vers l’Avenir pada tahun 2004. Selain novel tersebut Atiq Rahimi juga menulis novel Les mille maisons du rêve et de la terreur yang diterbitkan di Prancis pada tahun 200210. Kemudian pada tahun 2005, Atiq Rahimi melahirkan karya yaitu novel Le Retour Imaginaire. Selanjutnya Syngué sabour-Pierre de patience berhasil meraih penghargaan sastra yang paling prestisius di Prancis yaitu Prix Goncourt pada bulan November 2008. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam tiga puluh tiga bahasa dan juga telah diadaptasi ke dalam film. Film adaptasi novel tersebut juga telah mendapat penghargaan The Best Film pada Festival Film Internasional Eurasia 2012 di Kazakstan. Syngué sabour-Pierre de patience ditulis setelah kedatangan kembali Atiq Rahimi ke Afganistan, setelah tumbangnya rezim Taliban pada tahun 2002. Saat ini Atiq Rahimi melewatkan hari-harinya di dua negara, yaitu Kabul, Afganistan dan Prancis11. Cerita dalam novel Syngué sabour-Pierre de patience dikisahkan melalui monolog panjang tokoh perempuan. Latar tempat novel ini berada di suatu tempat di Afganistan ataupun di tempat lain yang memiliki latar sama
10
Ali Nematollahy. 2003. Les mille maisons du rêve et de la terreur by Atiq Rahimi; Sabrina Nouri. World Literature Today, Vol. 77, No. 1 Apr. - Jun., 2003. Oklahoma: Board of Regents of the University of Oklahoma. http://www.jstor.org/stable/40157823 diakses pada tanggal 26 Oktober 2013. 11 Long, Kate. 2009. Author Profile: Atiq Rahimi. World Literature Today, Vol. 83, No. 2, Mar. Apr. 2009. Oklahoma: Board of Regents of the University of Oklahoma, hlm. 5. http://www.jstor.org/stable/20621513 diakses pada 26 Oktober 2013.
6
yaitu di lingkungan yang sedang terjadi konflik. Dalam novel diceritakan hidup seorang perempuan dengan suaminya yang tak berdaya akibat sebuah peluru yang bersarang di lehernya. Mereka telah ditelantarkan oleh keluarga dan saudara-saudara laki-laki sang suami. Suatu hari, kewaspadaan sang perempuan berubah. Ia mulai menceritakan kebenaran kepada suaminya yang koma. Ia menceritakan tentang masa kecilnya, penderitaannya, kekecewaankekecewaannya,
kesepiannya,
mimpi-mimpinya,
hasrat
dan
rahasia-
rahasianya. Ia mengatakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah bisa ia katakan kepada sang lelaki. Sepuluh tahun hidup di bawah kendali sang suami, selama itu pula sang tokoh utama perempuan tidak pernah mengutarakan suara hatinya. Syngué sabour (batu kesabaran), yaitu sebuah batu ajaib yang berasal dari mitos Persia yang menyerap kesedihan dalam rahasia yang diceritakan kepadanya. Sang perempuan dengan terang-terangan dan tidak terkendali menceritakan pengakuannya kepada sang suami mengenai seks dan cinta, mengenai kemarahannya terhadap laki-laki yang tidak pernah pengertian kepadanya, orang yang menganiaya dan yang tidak pernah menunjukkan rasa hormat serta kebaikan kepadanya. Ia menyampaikan semua kepada sang suami dengan sangat berani bahwa ia mencari kebebasan untuk terlepas dari penderitaannya. Setelah melihat tidak ada reaksi apa-apa dari suaminya, kemudian ia mulai melakukan tindakan di luar batas, dan melakukan hubungan seksual dengan seorang remaja. Pada bagian akhir cerita sang tokoh utama perempuan tewas di tangan sang suami yang tiba-tiba saja
7
bangun dari komanya. Menurut legenda batu kesabaran tersebut menyebutkan bahwa ketika batu itu telah menyerap semua masalah yang dicurahkan kepadanya, maka batu tersebut akan meledak dan menjadi penyebab dari akhir dunia12. Dalam penelitian ini penulis memilih objek material berupa novel karya Atiq Rahimi yang berjudul Syngué sabour-Pierre de patience (2008) karena sebagian besar isi cerita di dalamnya merupakan representasi tindak kekerasan terhadap perempuan. Novel ini menarik untuk dianalisis karena mengambil latar tempat di Afganistan atau di tempat lain13 yang serupa yaitu tempat dengan lingkungan yang sedang terjadi konflik dan peperangan seperti dalam realitas Afganistan hingga saat ini. Untuk dapat mengungkap makna representasi kekerasan terhadap tokoh utama perempuan dalam novel tersebut, penulis akan menggunakan metode analisis semiotika, yaitu denotasi dan konotasi Roland Barthes. Metode ini dipilih karena analisis semiotika mampu mengungkap makna sampai ke tataran hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah teks.
1.2 Rumusan Masalah Kekerasan terhadap perempuan banyak dijumpai dalam novel Syngué sabour-Pierre de patience. Kekerasan terjadi dalam ranah domestik maupun publik dengan bentuk kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan mental. Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah: 12 13
Atiq Rahimi. 2008. Syngué sabour-Pierre de patience. Paris: P.O.L éditeur, hlm. 86-90. Ibid, hlm.11.
8
1. Apa saja tanda-tanda yang muncul sebagai representasi kekerasan terhadap tokoh utama perempuan dalam novel Syngué sabour-Pierre de patience dan 2. Apa makna denotasi dan konotasi yang terkandung dalam tanda-tanda tersebut.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian karya sastra ini adalah: 1. Untuk mengetahui tanda-tanda yang muncul sebagai representasi kekerasan terhadap tokoh utama perempuan dalam novel Syngué sabour-Pierre de patience dan 2. Mengungkapkan makna denotasi dan konotasi yang terkandung dari tanda-tanda dalam novel Syngué sabour-Pierre de patience.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian sastra yang mengangkat tema kekerasan sudah pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa diantaranya adalah skripsi dengan judul “Makna Simbolik Tindakan Kekerasan dalam Notre-Dame de Paris” disusun oleh Retno Dewanti (2010) yang membahas tentang kekerasan yang dialami oleh La Esmeralda. Pada penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa kekerasan yang muncul adalah kekerasan fisik, kekerasan psikologi, dan kekerasan seksual. Kekerasan yang terjadi pada tokoh La Esmeralda terjadi akibat status sosial, sehingga membuatnya mendapat pandangan dan
9
perlakuan yang berbeda oleh masyarakat maupun hukum. Kekerasan dan tekanan yang dialami oleh La Esmeralda menjadi penyebab dari akhir kehidupannya di tiang gantungan. Kenyo Kharisma K. (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Reproduksi Kekerasan Pasca Holocaust pada Roman L’Aube Karya Elie Wiesel” menggunakan teori kekerasan dan teori sosiologi sastra menghasilkan kesimpulan bahwa reproduksi kekerasan yang terjadi berbentuk spiral, karena rantainya tidak pernah terputus bahkan terus memanjang. Tokoh utama yang bernama Elisha merupakan salah satu korban sekaligus pelaku kekerasan. Karena Elisha pernah menjadi korban kekerasan pada masa Holocaust, maka ketika ia berhasil terbebas dari masa tersebut ia ingin membalas dendam sehingga terjadi pengulangan kekerasan. Analisis mengenai kekerasan juga pernah dilakukan oleh Yohan Panggabean (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Kekerasan Dalam Tiga Seri Komik Astérix; Le Bouclier Arverne, Astérix et Cléopâtre, dan Aux Jeux Olympiques: Tinjauan Semiotika”. Jenis-jenis kekerasan yang terdapat dalam laporan penelitian ini adalah kekerasan rumah tangga, kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan kekerasan seksual. Tindak kekerasan didominasi oleh tokoh utama Astérix dan Obelix. Kekerasan yang banyak ditampilkan adalah kekerasan secara fisik dan psikologis dengan adanya gambargambar/adegan-adegan yang menunjukkan penggunaan kekuatan otot sebagai solusi dalam penyelesaian masalah serta kebiasaan berkata-kata kasar pada zaman tersebut.
10
Selain meninjau penelitian-penelitian sastra yang pernah dilakukan dengan tema kekerasan, peneliti juga meninjau penelitian-penelitian sastra sebelumnya yang menerapkan teori semiotika Roland Barthes, beberapa di antaranya skripsi yang ditulis oleh Renat Galih Gunara pada tahun 2012 dengan judul “Nilai Moral dalam Novel Sans Famille karya Hector Malot Tinjauan Lima Kode Semiotik Roland Barthes”. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori mengenai aspek moral dan teori lima kode semiotik Roland Barthes. Kesimpulan dari penelitian tersebut disebutkan bahwa novel tersebut mengandung pesan moral yang universal dan pembaca dapat memperoleh makna di dalamnya berupa bagaimana berperilaku dalam kehidupan sehingga dapat mendidik menjadi pribadi yang lebih bermartabat. Analisis yang menerapkan semiotika Roland Barthes juga dilakukan oleh Dinia Fitria Sari pada skripsi yang berjudul “Representasi Budaya Korea dalam Komik Gung: Analisis Semiotika Denotasi dan Konotasi Roland Barthes” (2012). Dalam penelitian tersebut, penerapan teori dalam pembahasan yang dilakukan sudah sesuai, akan tetapi tidak dilengkapi dengan dengan sumber-sumber acuan yang relevan agar penelitian tetap bersifat objektif. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut yaitu adat tradisional Korea yang bersumber dari konfusianisme masih dijunjung tinggi dalam kehidupan modern. Indah Pertiwi dalam skripsinya yang berjudul “Feminisme Liberal dalam Novel Rêves de Femmes: Une Enfance Au Harem karya Fatima Mernissi Sebuah Analisis Semiotik Roland Barthes” (2013) menggunakan
11
teori lima kode semiotika Roland Barthes dan teori kritik sastra feminis. Dengan menggunakan dua teori tersebut diperoleh kesimpulan unsur-unsur feminisme yang muncul menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan melakukan pemberontakan. Feminisme liberal memiliki peran penting dalam membuka akses wanita meraih pendidikan dan tataran sosial. Perempuan dalam novel tersebut menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam tinjauan pustaka peneliti juga menemukan dua penelitian yang menggunakan objek material novel Syngué sabour-Pierre de patience. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ali Shahab pada tahun 2013 yang berjudul “Narasi Perempuan dalam Novel Francophone: Analisis Magical Realism atas Novel Syngué Sabour karya Atiq Rahimi“. Dalam penelitian ini digunakan teori feminisme Hélène Sixous, Julia Kristeva, dan Woodworth, sedangkan dari segi model naratifnya digunakan teori magical realism. Penelitian ini bertujuan untuk menguak bagaimana suara perempuan dinarasikan dan menarasikan dirinya sendiri. Menurut Shahab, gerakan feminisme sudah dimulai sejak lama akan tetapi gerakan tersebut belum menemukan bentuk yang sesuai sehingga muncul berbagai macam gerakan dengan sebutan yang berbeda, salah satunya gerakan feminisme radikal kultural. Gerakan tersebut tidak berhasil mencapai cita-cita para perempuan. Sedangkan gerakan yang lebih moderat yaitu gerakan politik yang bersifat anarkis seperti strategi puitika Julia Kristeva dan pandangan Hélène Sixous yang menganjurkan perempuan untuk menulis dengan tubuhnya dan
12
mengutamakan seksualitas perempuan menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Magical realism yang digunakan oleh Atiq Rahimi berhasil meneriakkan suara magis perempuan yang sebelumnya terbungkam dan selama beribu tahun terpendam oleh dominannya model naratif realisme saintifik yang bersifat patriarkal dan phalocentric. Sumber-sumber tradisional yang diambil dari suasana perang Afganistan dengan rejim Taliban, dan tokoh perempuan yang muslimah yang berbicara dengan bahasa yang vulgar dan berani menghujat nabi, hal tersebut dapat menarik perhatian pembaca khususnya Prancis. Hujatan-hujatan yang berani terhadap agama Islam pun memiliki resiko bagi pengarangnya. Akan tetapi dari segi teknik naratif magical realism yang digunakan, novel tersebut bisa dianggap cukup berhasil sehingga layak untuk mendapatkan Prix Goncourt. Kedua, skripsi yang ditulis pada tahun 2014 oleh Halimah Nur Sa‟adah dengan judul “Perjuangan Eksistensi Diri Perempuan dalam Novel Syngué Sabour karya Atiq Rahimi. Dalam skripsi ini digunakan teori feminisme-eksistensialis Simone de Beauvoir. Teori tersebut menyebutkan berbagai macam nilai dalam budaya patriarkhi yang mengakibatkan terkungkungnya eksistensi diri perempuan. Selain itu disebutkan pula upayaupaya yang harus dilakukan agar eksistensi diri perempuan dapat terwujud sebagaimana mestinya. Sa‟adah menyebutkan dalam novel tersebut ada dua hal yang telah dilakukan oleh perempuan dalam perjuangan eksistensi diri yaitu kebebasan berpikir dan berbicara serta perlawanan terhadap pihak-pihak penindas. Perempuan tersebut telah mencapai dan mewujudkan eksistensi
13
dirinya yang selama ini terperangkap dalam nilai-nilai budaya patriarkhi. Kelemahan dalam skripsi tersebut yaitu kurangnya sumber-sumber referensi yang relevan untuk mendukung tulisan Sa‟adah, sehingga dalam skripsi tersebut ditemukan beberapa kalimat yang bersifat subjektif. Dari beberapa informasi yang telah disebutkan di atas, yang menjadi pembeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini menekankan analisis representasi tindak kekerasan terhadap tokoh utama perempuan dalam novel Syngué sabour-Pierre de patience karya Atiq Rahimi dengan analisis semiotika Roland Barthes.
1.5 Landasan Teori 1.5.1 Teori Kekerasan Dilihat dari segi subjek, kekerasan dibedakan menjadi dua yaitu kekerasan domestik atau yang sering disebut kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan publik. Kekerasan domestik adalah segala macam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan korban seperti, suami, istri, ibu mertua, atau hubungan keluarga yang lain. Sedangkan kekerasan publik adalah semua bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan atau perkawinan terhadap korban14. Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia berasal dari
14
Yuarsi, Op. Cit., hlm. 10-11.
14
berbagai sumber, dan salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan ini disebut kekerasan gender. Menurut Fakih15 yang termasuk ke dalam kategori kekerasan gender yaitu: Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, yaitu perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika adanya pemaksaan dalam mendapatkan
pelayanan
seksual
tanpa
kerelaan
yang
bersangkutan.
Ketidakrelaan ini sering tidak bisa terekspresikan diakibatkan oleh berbagai faktor, seperti ketakutan, malu, keterpaksaan ekonomi, sosial maupun kultural, dan tidak ada pilihan lain. Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). Ketiga, bentuk penyiksaan terhadap organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan pada anak perempuan. Dalam masyarakat tertentu, bermacam-macam alasan dilontarkan untuk melakukan penyunatan ini. Tetapi alasan yang paling kuat adalah adanya anggapan dan bias gender di masyarakat, yakni untuk mengontrol kaum perempuan. Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara 15
Mansour Fakih. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 17-20.
15
juga menarik pajak dari mereka. Di lain sisi seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat pusat kegiatan mereka ramai dikunjungi orang. Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dengan menjadikan tubuh mereka sebagai objek demi keuntungan seseorang. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization). Keluarga Berencana menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Untuk memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan dijadikan korban demi program tersebut, meski semua orang tahu permasalahan tersebut tidak hanya berasal dari kaum perempuan saja tetapi juga kaum laki-laki. Karena adanya bias gender, perempuan dipaksa melakukan sterilisasi yang sering membahayakan fisik ataupun jiwa mereka. Ketujuh, adalah jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum, seperti dalam bis. Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan di masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual.
16
Ada beberapa bentuk yang bisa dikategorikan pelecehan seksual (Fakih, 1996: 21). Di antaranya: 1. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat tidak sopan. 2. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor. 3. Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya. 4. Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya. 5. Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan. Pada survei yang dilakukan Alfred Marks, ditemukan bentuk pelecehan yang paling umum yaitu rabaan atau tepukan, ucapan atau gurauan seksual secara teratur, dilihat dari ujung rambut sampai ujung kaki dan pandangan cabul pada bagian-bagian tubuh16. Poerwandari17 menyebutkan ada beberapa bentuk kekerasan, yaitu: Fisik:
pemukulan,
menyakiti, melukai;
pengeroyokan,
penggunaan
senjata
penyiksaan, penggunaan obat untuk
untuk
menyakiti,
penghancuran fisik, pembunuhan dalam berbagai wujud. Seksual/reproduksi: serangan atau upaya fisik untuk melukai pada alat seksual/reproduksi; ataupun serangan psikologis (kegiatan merendahkan, menghina) yang diarahkan pada penghayatan seksual subjek. Contoh: 16
Rohan Collier. 1998. Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan Minoritas. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, hlm. 9. 17 Poerwandari, Op. Cit., hlm. 12.
17
manipulasi seksual pada anak (atau pihak yang tidak memiliki posisi setara), pemaksaan hubungan seksual/perkosaan, pemaksaan bentuk-bentuk hubungan seksual, sadisme dalam hubungan seksual, mutilasi alat seksual, pemaksaan aborsi, penghamilan paksa, dan bentuk-bentuk lain. Psikologis:
penyerangan
harga
diri,
penghancuran
motivasi,
perendahan, kegiatan mempermalukan, upaya membuat takut, teror dalam berbagai bentuk. Contoh: makian kata-kata kasar, ancaman, penguntitan, penghinaan; dan banyak bentuk kekerasan fisik/seksual yang berdampak psikologis, contoh: penelanjangan dan pemerkosaan. Deprivasi (kehilangan atau terampasnya sesuatu hal yang sangat diinginkan atau sangat dicintai18): penelantaran seperti penelantaran anak; penjauhan diri dari pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, buang air, udara, bersosialisasi, bekerja, dan lain-lain) dalam berbagai bentuk. Contoh: pengurungan, pembiaran tanpa makanan dan minuman, pembiaran orang sakit serius. Sedangkan menurut Kalibonso dan Luhulima19 ada beberapa bentuk dan jenis tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga yaitu: a. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cidera, luka atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan kematian.
18
James P. Chaplin. 2009. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 130. Endro Winarno dkk. 2003. Departemen Sosial RI Pengkajian Profil Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga. Yogyakarta: B2P3KS (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial), hlm. 9-10. 19
18
b. Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya pada seseorang. c. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai pada pemaksaan terhadap seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau ketika korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban, dan atau menjauhkannya dari kebutuhan seksual. d. Kekerasan ekonomi adalah setiap perbuatan yang bersifat membatasi seseorang untuk bekerja, baik di dalam maupun di luar rumah, yang menghasilkan uang atau barang; dan membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi; atau tindakan menelantarkan anggota keluarga. e. Perampasan
kemerdekaan
secara
sewenang-wenang
adalah
setiap
perbuatan yang menyebabkan seseorang terisolasi dari lingkungan sosialnya. Luhulima20 mengkategorikan bentuk dan jenis tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga sebagai berikut: a. Kekerasan fisik (memukul, menampar, mencekik, melempari dengan benda keras, menyulut rokok, dan lain lain);
20
Ibid, hlm. 9-10.
19
b. Kekerasan psikologis (berteriak, menyumpah, mengancam, melecehkan, menghina, sikap-sikap yang “tidak hangat”, pengisolasian istri dari pergaulan sosial, dan lain-lain); c. Kekerasan seksual (melakukan tindakan mengarah pada ajakan atau desakan seksual, seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, dan lain-lain); d. Kekerasan finansial (mengambil uang milik korban tanpa persetujuan dari korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial, dan lain-lain); e. Kekerasan spiritual (merendahkan keyakinan yang dianut korban, memaksa korban untuk mengamalkan ritual atau keyakinan tertentu, dan lain-lain). Setiap orang dapat mengembangkan kategorisasi bentuk kekerasan secara berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang melihatnya. Untuk memudahkan dalam memahami bentuk-bentuk kekerasan, maka ada tindakantindakan yang termasuk ke dalam batasan kekerasan yaitu sebagai berikut. Tindakan yang sengaja untuk memaksa, menaklukan, mendominasi, mengendalikan,
menguasai,
menghancurkan,
melalui
cara-cara
fisik,
psikologis, deprivasi ataupun gabungan-gabungannya, dalam beragam bentuk dan atau tindakan yang mungkin tidak disengaja tetapi didasari oleh ketidaktahuan, kekurangpedulian, atau alasan-alasan lain yang menyebabkan subjek secara langsung atau tak langsung terlibat dalam upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dominasi, perendahan manusia lain. Contoh kasus,
20
pembiaran terjadinya penganiayaan atau perkosaan yang diketahui oleh pimpinan, dan dilakukan oleh anak buah. Dalam hal ini, atasan tidak melakukan penganiayaan atau perkosaan, tetapi sikapnya yang membiarkan dapat diartikan ia menyetujui, atau tidak mengambil langkah untuk mencegah atau memberi sanksi agar hal tersebut tidak terulang kembali21. 1.5.2 Teori Semiotika Menurut Preminger semiotika adalah ilmu yang menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Ilmu ini mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti22. Barthes dalam bukunya mengatakan bahwa tanda-tanda merupakan alat yang kita gunakan dalam usaha mencari jalan di dunia ini, di tengahtengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes,
semiologi,
pada
dasarnya
hendak
mempelajari
bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak bisa dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi tetapi juga hendak berkomunikasi, dan mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda23. Dengan menganalisis tanda-tanda (signs) yang terdapat dalam sebuah teks (pesan) kita bisa mengetahui ekspresi emosi dan kognisi si pembuat teks 21
Poerwandari, Op. Cit., hlm. 13. Rachmat Djoko Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 119. 23 Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: IndonesiaTera, hlm. 53. 22
21
tersebut, baik secara denotatif, konotatif, bahkan mitologis. Teks dalam karya sastra dianggap sebagai tanda-tanda yang dibentuk oleh relasi dengan tanda yang
lain.
Tanda
ini
menimbulkan
reaksi
pada
pembaca
untuk
menafsirkannya. Proses penafsiran terjadi karena tanda yang bersangkutan mengacu pada suatu kenyataan24. Dalam bukunya, Pateda25 mengatakan bahwa sekurang-kurangnya ada sembilan macam semiotik yang dikenal saat ini, yaitu: 1. Semiotik analitik, adalah semiotik yang menganalisis sistem tanda. Menurut Peirce, semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide bisa disebut sebagai lambang, sedangkan makna yaitu beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada objek tertentu. 2. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat dialami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dulu tetap seperti sekarang. 3. Semiotik faunal (zoosemiotic), yaitu semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan hewan. Biasanya hewan menghasilkan tanda untuk berkomunikasi dengan sesamanya, akan tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan manusia. 4. Semiotik kultural, adalah semiotik yang khusus mengkaji sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Budaya yang 24
Alex Sobur. 2009. Analisis Teks Media-Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm. 122. 25 Mansoer Pateda. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm. 29-32.
22
terdapat dalam masyarakat juga merupakan sistem, menggunakan tandatanda tertentu yang membedakan dengan masyarakat lain. 5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang meneliti sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Beberapa dari mitos dan cerita lisan telah diketahui memiliki nilai kultural yang tinggi. 6. Semiotik natural, ialah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. 7. Semiotik normatif, yaitu semiotik yang khusus mengkaji sistem tanda yang dibuat manusia yang berwujud norma-norma. 8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menganalisis sistem tanda yang dihasilkan manusia yang berupa lambang, baik lambang yang berupa kata maupun kalimat (bahasa). 9. Semiotik struktural, ialah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. Menurut Pradopo26 ada dua tokoh yang dianggap sebagai pendiri semiotika, yaitu orang Prancis bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan orang Amerika bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914)27. Saussure menyebut ilmu mengenai tanda-tanda ini adalah semiologi, sedangkan Peirce menyebutnya semiotika. Secara prinsip tidak ada perbedaan yang mendasar dari dua nama ilmu tentang tanda tersebut, hanya saja penggunaan semiologi
26 27
Pradopo, Op. Cit., hlm. 119. Sobur, Op. Cit., hlm. 97.
23
menunjukkan pengaruh kubu Saussure dan penggunaan semiotika mengacu pada Peirce28. Roland Barthes dikenal sebagai salah satu pemikir strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga seorang intelektual dan kritikus sastra Prancis yang terkenal. Ia adalah seorang eksponen29 penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Menurut Bartens, Barthes adalah tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an30. Barthes lahir di Paris pada tahun 1915. Dia mempelajari sastra Prancis dan studi-studi klasik di Universitas Paris. Setelah mengajar bahasa Prancis di Universitas Rumania dan Mesir, ia kemudian bergabung dengan Le Centre National de Recherche Scientifique dan mengabdikan hidupnya untuk penelitian dalam bidang sosiologi dan leksikologi. Ia juga merupakan seorang profesor di Le Collège de France hingga akhir hayatnya pada tahun 198031. Menurut pandangan Saussure, makna sebuah tanda dipengaruhi oleh tanda yang lain. Semiotik bertujuan menggali makna hakikat sistem tanda yang beranjak ke luar kaidah tata bahasa dan sintaksis, dan yang mengatur teks yang rumit, tersembunyi, dan bergantung pada kebudayaan. Hal tersebut memunculkan perhatian pada makna tambahan (konotatif) dan arti
28
Kurniawan, Op. Cit., hlm. 51. Orang yang menerangkan atau menafsirkan suatu teori, yang dapat mewakili dan menjadi contoh dari teori tersebut (Tim Penyusun. 2001. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 290). 30 Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm. 63. 31 Lavers, Annette. 1993. Mythologies. London: Vintage Books, hlm. Pertama. 29
24
pertunjukkan (denotatif) terkait dengan kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi tanda32. Dalam setiap sistem signifikasi mengandung satu wilayah ekspresi (E) dan satu wilayah isi atau contenu (C) yang keduanya dihubungkan oleh sebuah relasi (R). Kesatuan dari tingkat-tingkat dan relasinya ini membentuk sebuah sistem (ERC). Sistem tersebut di dalamnya dapat menjadi unsur sederhana dari sebuah sistem yang kedua dan membuatnya menjadi luas. Menurut Hjemslev, sistem bahasa dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi, hal ini disetujui oleh Barthes33. 1. Konotasi 2. Denotasi
E E
C
E
C
Metabahasa
C E
C
Objek Bahasa
Pada artikulasi yang pertama (sebelah kiri), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: (ERC)RC. Pada sistem 1 berkorespondensi dengan tingkat denotasi dan sistem 2 dengan tingkat konotasi. Pada artikulasi yang kedua (sebelah kanan), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua: ER(ERC). Sistem 1 berkorespondensi dengan obyek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa (métalangage34). Jika menggunakan istilah penanda (Pn) dan petanda (Pt) sistem tersebut akan menjadi sebagai berikut.
32
Sobur, Op. Cit., hlm. 126-127. Kurniawan, Op. Cit., hlm. 66-67. 34 Sistem yang wilayah isinya tersusun oleh sistem signifikasi; sebuah métalangage adalah suatu semiotik yang berbicara tentang suatu semiotik (Roland Barthes. 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 83). 33
25
Pn Pn
Pt
Pn
Pt
Pt Pn
Konotasi
Pt
Metabahasa
Barthes juga menyatakan bahwa sistem konotasi adalah sebuah sistem yang bidang ekspresinya (E) atau penandanya (Pn) adalah dirinya yang dikonstitusi oleh sebuah sistem penandaan. Penanda konotasi (konotator) dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk satu konotator tunggal, sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda ini bisa juga disebut fragmen ideologi. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan dan sejarah dan melaluinya dunia lingkungan menyerbu sistem itu. Bisa dikatakan bahwa “ideologi” adalah bentuk petanda konotasi dan “retorika” adalah bentuk konotator35. Menurut Fiske, Roland Barthes membuat model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes tertuju pada gagasan tentang signifikasi dua tahap seperti terlihat pada gambar berikut36. first order reality
second order signs
culture signifier
connotation
denotation signified myth
35 36
Kurniawan, Op. Cit., hlm. 67-68. Sobur, Op. Cit., hlm. 127.
26
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, yaitu makna yang paling nyata dari tanda dan inilah yang disebut denotasi. Konotasi adalah signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Sebagai contoh adalah mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya.
Sedangkan
mitos-mitos
masa
kini
contohnya
mengenai
femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan37. Tujuan dari penelitian semiologis menurut Barthes adalah untuk merekonstitusi penggunaan sistem signifikasi yang lain dari bahasa yang mengacu pada proses yang khas dari suatu aktivitas penandaan, yaitu membangun simulacrum38 dari obyek-obyek yang diobservasi. Penelitian berjalan dengan mematuhi prinsip relevansi yang melukiskan fakta yang dikumpulkan dari satu sudut pandang (hanya hal-hal yang berasosiasi dengan sudut pandang itu) dan menyingkirkan hal lain yang dianggap tidak relevan dari heterogenitas massa fakta. Prinsip ini memiliki konsekuensi adanya 37 38
Ibid, hlm. 128. Konklusi (Barthes, Op. Cit., hlm. 91).
27
sebuah situasi imanensi, yaitu orang mengobservasi sebuah sistem dari dalam39. Prinsip relevansi membangun sebuah korpus. Korpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas dan ditentukan pada perkembangannya oleh analisa dengan semacam kesemenaan. Korpus menurut Barthes harus cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang lengkap. Korpus juga harus bersifat sehomogen mungkin, baik homogen pada tingkat substansi maupun homogen pada taraf waktu (sinkroni). Untuk menentukan dan memilih suatu korpus yaitu tergantung dari hakikat sistem yang dicurigai. Sebuah contoh korpus dari fakta-fakta yang berkaitan dengan makanan, tidak dapat dicampuradukkan dengan kriteria pilihan yang sama terhadap korpus dari model-model mobil. Jika akan merekonstitusi sistem makanan Prancis saat ini, maka harus diputuskan berikutnya kumpulan dokumen mana saja yang akan dianalisa (menu-menu yang ditemukan pada majalah, menu restoran, menu yang diobservasi dalam kehidupan nyata, yaitu menu yang disebutkan melalui mulut atau bahasa lisan)40.
1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sumber data diperoleh dari novel Syngué sabour-Pierre de patience karya Atiq Rahimi, dan beberapa referensi lain yang bersumber dari buku-buku dan 39 40
Kurniawan, Op. Cit., hlm. 70. Ibid, hlm. 70-71.
28
internet yang berhubungan dengan tema penelitian. Adapun langkah kerja dan tahap analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, tahap pemilihan data. Dalam proses penelitian ini, diawali dengan pemilihan objek material yaitu karya sastra, dan novel Syngué sabourPierre de patience karya Atiq Rahimi terbitan P.O.L éditeur (2008) menjadi pilihan penulis. Kedua, melakukan studi pustaka dengan mencari dan mengumpulkan data yang relevan dengan penelitian. Ketiga, mengelompokkan data dengan memisahkan data-data yang ada untuk dikategorikan sebagai data tema latar dan tokoh. Dalam penelitian ini metode semiotika diaplikasikan dengan dua tahapan analisis, sesuai dengan model signifikasi dua tahap semiotika Barthes. Keempat, menentukan data-data yang merepresentasikan bentukbentuk kekerasan terhadap tokoh utama perempuan dalam novel Syngué sabour-Pierre de patience. Data-data tersebut digunakan sebagai korpus penelitian. Korpus-korpus yang diperoleh akan menjadi penanda-penanda tahap kedua. Petandanya adalah nilai-nilai sosial, budaya dan pengetahuan atau Barthes menyebutnya mitos. Kelima, menarik kesimpulan dari semua data yang telah terkumpul dan telah dianalisis. Keenam, menyajikan hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian.
29
1.7 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian laporan penelitian ini dibagi menjadi 3 bab. Pembagian bahasan tiap-tiap bab tersebut adalah sebagai berikut. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari (1) latar belakang penelitian, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) landasan teori, (6) metode penelitian, dan (7) sistematika penyajian. Bab II pembahasan, memuat sinopsis novel, tokoh dan penokohan, dan kemudian hasil penelitian yang dilakukan yaitu bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dan tanda-tanda yang merepresentasikan kekerasan dalam karya sastra yang diteliti dalam wujud apapun beserta makna denotasi dan konotasinya. Bab III merupakan kesimpulan dari hasil analisis tanda yang dilakukan pada bab sebelumnya. Selain bab-bab yang telah disebutkan di atas, sistematika penyajian ini disertai dengan extrait yang berisi intisari dari penelitian yang telah dilakukan dan disajikan dalam bahasa Prancis serta daftar pustaka dan tabel data yang menunjang penelitian ini.