BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Modernisasi dimulai di Italia pada abad ke-16 dan tersebar ke sebagian besar ke wilayah dunia Barat dalam lima abad berikutnya. Manusia yang telah mengalami modernisasi, terungkap pada sikap mentalnya yang maju, berpikir rasional, berjiwa wiraswasta, berorientasi ke masa depan dan seterusnya. Modernisasi sebagai salah satu proses yang memebawa kehidupan dari suatu ingkat sederhana menuju tingkat yang lebih kompleks telah menjadi suatu proses global yang turut pula merubah kehidupan kultural manusia. Dalam konteks ini, modernisasi
adalah
suatu
perubahan
bentuk
kehidupan
manusia
dan
lingkungannya. Dalam hal ini penggunaan dan fungsi kain ulos dalam kehidupan masyarakat Batak Kain ulos yang berakar pada kebudayaan masyarakat Batak merupakan suatu hasil karya dalam kehidupan kultural Batak Toba yang memuat nilai-nilai kehidupan masyarakat Batak Toba, tidak saja berfungsi sebagai kain (pakaian) melainkan juga sebagai representasi status sosial, simbol kehidupan dan juga pengetahuan masyarakat Batak Toba akan lingkungan.
Koentjaraningrat (2000:342), modernisasi merupakan usaha penyesuaian hidup dengan konstelasi dunia sekarang ini. Untuk mencapai tingkat modern harus berpedoman pada dunia sekitar yang mengalami kemajuan. Modernisasi yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya bersifat fisik material saja, melainkan lebih daripada itu, yaitu dengan dilandasi oleh sikap mental yang mendalam. Berdasarkan pembahasan di atas maka modernisasi juga mempunyai dampak positif dan dampak negatif bagi masyarakat. Beberapa dampak positif dari modernisasi adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mudah dalam mengakses informasi, sedangkan dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi membuat masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju, sehingga menciptakan kehidupan yang lebih baik. Globalisasi mendorong pertumbuhan industri canggih yang merupakan salah satu upaya mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dilihat dari dampak negatifnya, modernisasi munculnya pola hidup konsumtif. Adanya modernisasi dan globalisasi mendorong perkembangan industri yang pesat untuk penyediaan barang kebutuhan masyarakat sehingga tingkat konsumsi masyarakat juga akan meningkat. Kebudayaan lokal semakin dikuatkan dari segi nilai dan segi moral kepada masyarakat. Walaupun keadaan modernisasi tidak dapat dihindari tetapi masyarakat mampu membangun citra kebudayaan yang tetap utuh dengan
keragaman. Keragaman ini adalah suatu kondisi dalam masyarakat dimana terdapat perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang, terutama suku bangsa dan ras, serta agama dan keyakinan, ideologi, adat kesopanan, serta situasi ekonomi. Kebudayaan lokal suatu daerah merupakan simbol bahwa banyak sekali jenis kesenian yang ada terutama Indonesia. Baik itu pakaiaan, bahasa, lagu, tarian, dan makanan. Hal ini menjadi awal muncul kembalinya kebudayaan bangsa Indonesia. Perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal abad ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi 1. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antar bangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan. Percepatan tersebut menyadarkan masyarakat akhirnya back to nature atau kembali pada pemikiran mengenai penggunaan bahan-bahan alam dalam kehidupan. Salah satu hasil kebudayaan dari etnis Batak adalah tenun kain ulos 2. Kain ulos merupakan salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun 1 Komunikasi digital adalah teknologi yang berbasis sinyal elektrik komputer, sinyalnya bersifat terputus-putus dan menggunakan sistem bilangan biner. Bilangan biner tersebut akan membentuk kode-kode yang merepresentasikan suatu informasi tertentu.
2 Penulisan kata ulos dalam skripsi ini secara bergantian mempergunakan antara metode penulisan italic maupun biasa, penulisan italic diutamakan bagi kata ulos dengan sambungan jenis ulos tersebut sedangkan penulisan biasa dipergunakan ketika kata ulos sebagai sebentuk kain.
dikembangkan oleh masyarakat Batak yang berdiam di Sumatera Utara. Dari bahasa asalnya, ulos berasal dari kata kain. Pada jaman dahulu sebelum orang Batak mengenal tekstil buatan luar, ulos artinya dalam bahasa Batak Toba adalah pakaian sehari-hari. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket atau kain tenun, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin (biasa disingkat dengan ATBM). Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak (Siahaan. 2004 : 58-59), selain itu secara historis terungkap bahwa antara asal-mula kehidupan memiliki keterkaitan dengan asal-mula kain pada masyarakat Batak sebagaimana dikatakan oleh Niessen (2013:13) sebagai : “ ... seorang leluhur perempuan yang berada di dua dunia sekaligus yaitu dunia manusia dan dunia mitos. Dia mengejewantahkan dan mewakili keesaan asal-mula spiritual dan asal-mula fisik tenunmenenun”.
Pada awalnya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, sering digunakan pada acara resmi atau upacara adat Batak. Namun dengan adanya modernisasi kini ulos banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan kain gordyn. Hal ini diharapkan agar seluruh masyarakat terutama masyarakat Batak tetap mengenang kain ulos itu sendiri. Ulos adalah hasil karya yang penuh dengan nilai-nilai estetika dan sekaligus sebagai bagian dari hakekat dan keberadaan masyarakat suku Batak sendiri. Sebagai sebuah hasil karya yang telah memiliki
makna yang tinggi, ulos telah menjadi bagian dari sebuah identitas yang memiliki nilai kultur yang tinggi serta mengandung makna ekonomi dan juga makna sosial. Menurut kepercayaan masyakarat Batak terkadang ulos juga diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan. Arti dari mangulosi itu sendiri adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang Batak. Dalam setiap kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita. Dalam Marx, Karl. Capital London: Penguin Classics(1990:165) menuliskan bahwa proses modifikasi sosial memiliki dua bentuk yaitu: festhisme dan alienation, dimana festhisme merupakan modifikasi hasil produksi bersifat internal. Dalam hal ini ulos masyarakat Batak Toba sedangkan alienation adalah bentuk eksternal dimana ulos menjadi sebentuk materi yang berdar dan berkembang diluar lingkungan masyarakat Batak Toba. Kedua bentuk modifikasi tersebut secara bersama-sama mendorong proses perubahan ulos namun memiliki ranah perubahan yang berbeda. Kajian oleh Niessen (2009) yang mendeskripsikan mengenai kain ulos dalam ranah historis, jenis dan simbol yang terdapat pada kain ulos menjadi landasan awal pemikiran penulisan skripsi ini, lebih lanjut kemudian tulisan mengenai kain tenun nusantara yang didalamnya juga termasuk oleh kain ulos juga telah dideskripsikan oleh Sihombing (2014) yang mengetengahkan kondisi kain tenun ulos masa kini, dimana ulos tidak hanya sekedar kain yang bermakna
melainkan sebagai kain yang bernilai ekonomis dan bermanfaat sebagai komoditi dalam perspektif ekonomi kreatif. Contohnya ulos bermata yang terbatas penggunaannya menjadi ulos dengan permata dan memiliki harga jual yang tinggi. Mengutip Savitri (2009:54) mengatakan bahwa: “agar tercipta kondisi yang kondusif bertumbuhnya industri kreatif dan memotifasi talenta yang ada pada masyarakat harus adanya sinergi yang kuat antara cendikiawan/masyarakat terdidik pemerintah dan dunia usaha” Penulis menggabungkan pemahaman antara dua kajian tersebut (Niessen, 2009 dan Sihombing, 2014) dengan mendeskripsikan perubahan fungsi yang terjadi pada kain ulos berikut pula mengenai kegiatan ekonomi kreatif yang terjadi pada kain tenun ulos dalam bentuk modifikasi. Penulis juga melihat secara langsung bagaimana proses pembuatan ulos dilakukan hingga dapat dijual kepasar di lokasi penelitian, suatu proses yang tidak mudah untuk mendapatkan hasil tenunan yang maksimal. Mengutip Niessen (2013:10) yang mengatakan :
“Orang Batak sekarang acapkali mengungkapkan penyesalan dan kekecewaan mendalam karena begitu sulit mengakses warisan kesastraan mereka sendiri, mengetahui bahwa banyak yang tersimpan di Eropa sementara hampir tak ada lagi yang beredar di tanah Batak”. Pendapat oleh Niessen tersebut dapat dipandang secara umum bahwa masyarakat Batak sekarang ini telah kehilangan sedikit dari banyaknya pengetahuan tradisi mereka, dan hal ini juga berkaitan dengan berkurangnya
pengetahuan masyarakat Batak terhadap ulos. Lebih lanjut, Niessen (2013:12) menyatakan dengan tegas bahwa : “Secara sekilas Rangsa ni Tonun adalah suatu paparan, deskripsi, tentang proses menenun. Akan tetapi penyebutan asal-muasal menenun bermakna kegiatan menenun suatu konsekuensi mutlak: kuasa, kewenangan, hormat, hak mengada yang tak tersangkal, kesakralan dan dengan demikian misteri pula, yang secara kekal patut dilestarikan”.
Sejalan dengan penjelasan di atas oleh karena itu saya tertarik untuk melakukan penelitian bagaimana menjaga atau melestarikan budaya, diantaranya kain ulos serta melihat modifikasi apa yang telah dilakukan penenun agar ulos dapat bertahan dan disukai oleh banyak orang dalam perspektif ekonomi kreatif.
1.2. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka sangat penting dalam menentukan jalannya suatu penelitian, walaupun tinjauan pustaka adalah suatu usaha untuk membatasi penelitian yang akan dilakukan tidak keluar dari maksud penelitian. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini disusun secara sistematis agar secara runut dan teratur dideskripsikan untuk menjalankan penelitian.
Teori
Deskripsi
Penggunaan
Kebudayaan Kebudayaan merupakan hasil pemikiran, perbuatan atau tingkah laku dan wujud fisik (material)
Untuk mengetahui dan menjadi dasar pemahaman dalam penelitian yang nantinya akan dilakukan berdasarkan pemahaman mengenai kebudayaan
Fungsi
Dalam penelitian ini, fungsi akan menjelaskan bentuk pemanfaatan pada ulos bagi masyarakat Batak-Toba
Fungsi secara sederhana merupakan bentuk pemanfaatan yang muncul dari suatu hal Modifikasi Modifikasi dapat diartikan dan Ekonomi secara harfiah sebagai bentuk Kreatif perubahan dan penyesuaian bentuk dari bentuk asal pada bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan, sedangkan ekonomi kreatif adalah proses kegiatan ekonomis yang membawa hasil modifikasi menjadi sebentuk materi kreatif (seni) menjadi komoditas kreasi bernilai ekonomi
Pada penelitian ini modifikasi merupakan unsur yang menentukan dalam bentuk dan penggunaan ulos oleh masyarakat pendukungnya pada perkembangan zaman saat sekarang ini, usaha modifikasi yang dilakukan mencakup modifikasi bentuk, modifikasi penggunaan hingga pada aspek ekonomi yang diperoleh dari proses modifikasi ulos. Ekonomi kreatif dalam penelitian ini adalah kegiatan modifikasi yang dilakukan oleh partonun dalam hal menjadikan ulos sebagai kain yang bernilai adat dan juga sebagai nilai ekonomis.
a. Kebudayaan Kebudayaan diperlukan dalam hal ini untuk melihat penelitian yang akan dilakukan merupakan bagian dari penelitian dengan menggunakan pemahaman kebudayaan, dan fokus utama pada ulos dalam kehidupan masyarakat Batak-Toba
di Kota Medan. Untuk dapat melihat hal tersebut dalam lingkup yang luas, diperlukan adanya pemahaman mengenai kebudayaan sebagai akar dari pengetahuan mengenai ulos yaitu sebagai bagian kriya seni atau pengetahuan berkesenian yang dimunculkan dalam bentuk kain tenun ulos. Merunut pada pemahaman
kebudayaan
yang
mengungkapkan
mengenai
kaitan
antara
kebudayaan dan kesenian, setidaknya dapat dilihat dari pendapat Malinowski (1944:36) yang mengatakan kebudayaan sebagai : “It obviously is the integral whole consisting of implements and consumers good, of constitutional charters for the various social groupings, of human ideas and crafts, belief and customs.” (Ini jelas adalah seluruh kesatuan integral yang terdiri dari kesepakatan dan pengguna yang baik, piagam konstitusional bagi berbagai kelompok sosial, ide-ide manusia dan kerajinan, kepercayaan dan adat istiadat).
Malinowksi dalam pendapat
tersebut
secara
sederhana
memberi
pandangan mengenai kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang integral dan terdiri dari penerapan serta penggunaan yang terdiri dari kelompok sosial, ide pemikiran, materi atau hasil budaya, kepercayaan dan tradisi. Dalam hal ini, ulos termasuk dalam bentuk hasil karya yang berkaitan dengan budaya sebagai bentuk kesatuan penerapan dan penggunaan dalam kehidupan sehari-hari. Secara lebih lanjut, pendapat dari antropolog yang menyetujui bahwa bagian dari kebudayaan tersebut merupakan kesenian, dan dalam konteks ini ulos menjadi bagian pengetahun masyarakat Batak-Toba dalam bentuk seni adalah Hatcher (1999:8) yang mendeskripsikan seni sebagai :
“In studying the art of a particular culture it would be ideal if we could determine the way the people themselves distinguish artistic work from the purrely utilitarian ... In actual modern usage, the word “art” is no longer limited to sculpture and painting, happenings, and whatever, so that the narrow definitions of the past do not limit the cross-cultural view as they once did.” (Dalam mempelajari seni budaya tertentu akan ideal jika kita bisa menentukan cara masyarakat itu sendiri dalam membedakan karya artistik dari bagian utilitarian murni ... Pada penggunaan modern yang sebenarnya, "seni" merupakan kata yang tidak lagi terbatas pada patung dan lukisan, kejadian, dan apa pun, sehingga definisi sempit masa lalu tidak membatasi pandangan lintas-budaya yang pernah mereka lakukan).
Dalam pemahaman secara sederhana, Hatcher (1999:8) mengatakan bahwa mempelajari seni sebagai bagian dari kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan manusia dalam aspek estetika, dimana dalam perkembangannya seni tidak terbatas pada bentuk patung dan lukisan saja melainkan sudah melampaui bentuk tersebut. Koentjaraningrat (1980) memberi pendapat bahwa kebudayaan dalam kehidupan secara umum selalu dilekatkan dalam bentuk kesenian dan hal tersebut lazim terjadi dalam tataran definisi secara sederhana mengenai kebudayaan. Kebudayaan
secara
singkat
dideskripsikan
oleh
Koentjaraningrat
(1980:193) sebagai : keseluruhan sistem gagasan atau ide, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar, bergerak dari deskripsi kebudayaan ini, maka ulos dapat dikatakan sebagai hasil karya manusia, untuk menjadikan sebagai suatu hasil karya manusia diperlukan adanya proses penyampaian hasil karya tersebut
kepada generasi selanjutnya, proses transmisi ini meliputi cara pandang, cara pembuatan maupun penggunaan yang dapat diperoleh melalui tiga wujud kebudayaan yang secara singkat dituliskan oleh Koentjaraningrat (1980:201-203) sebagai berikut, yaitu : wujud ide/gagasan, wujud sistem sosial serta wujud kebudayaan fisik. Penelitian mengenai ulos ini akan dilihat sebagai bentuk pengetahuan masyarakat mengenai kain tenun tradisional yang bersinggungan dengan aspek kesenian, yaitu ketika berbicara ulos dalam bentuk motif, warna dan bentuk yang berdasarkan pengetahuan kebudayaan masyarakat Batak-Toba. b. Fungsi Fungsi dalam lingkup penelitian ini merujuk pada penggunaan konsep fungsi yang memiliki definisi yang sama seperti fungsi dalam bahasa yang didefinisikan oleh Jakobson (dalam Marcus dan Myers, 1995:13) yaitu : “a function in which linguistic signs come to be valued not for what they transparently refer to (their signifieds), but for their combination as material, palpable entities. As for painting, in which the representational function is displaced by the painterly.” (fungsi di mana tanda-tanda linguistik datang harus dihargai bukan karena apa yang mereka lihat secara transparan (ditandai oleh mereka), tetapi untuk kombinasi mereka sebagai bahan, bentuk teraba. Adapun lukisan, di mana fungsi representasional digantikan oleh pelukis).
Secara sederhana, definisi mengenai fungsi yang dikemukakan oleh mengutip Jakobson (dalam Marcus dan Myers, 1995:13) adalah mengenai suatu
hal yang dapat memiliki nilai akibat dari proses pencampuran dalam kehidupan, sehingga dalam hal ini ulos merupakan benda (materi) yang memiliki fungsi yang ditimbulkan oleh akibat penggunaan, dan secara singkat tanpa adanya penggunaan maka fungsi dari materi tersebut tidak akan muncul. Niessen (2009:29) mengatakan bahwa dalam bentuk ulos terdapat konsepsi simbol mengenai ruang dan kesuburan wanita Batak, yang didasarkan oleh bahasa, mitologi dan pengetahuan teks atas teknik menenun, secara lengkap Niessen mengatakan : “I explored the symbolic connections between Batak weaving practices and indigenous conceptions of time, space and fertility. Notably, these symbolic analyses require more knowledge of language, myth and indigenous texts than of weaving techniques.” (Aku menjelajahi hubungan simbolis antara praktek tenun Batak dan konsepsi adat dalam konteks durasi waktu, yaitu dalam bentuk ruang dan kesuburan. Khususnya, analisa ini memerlukan simbolik pengetahuan yang lebih mengenai bahasa, mitos dan teks asli dari teknik tenun).
Lebih lanjut Niessen (2009:29) mengatakan bahwa ulos Batak merupakan kombinasi antara kemampuan tradisi masyarakat Batak dengan kemampuan desain terhadap ulos, hal ini secara singkat dinyatakan oleh Niessen sebagai : “Batak do not see textile technique as something separate from design; design and technique are inextricably interconnected. This observation extends far beyond the platitude that design is a manifestation of technical process. Some indigenous technical terms equally denote design categories, and some technical processes appear to be informed by the same mental images or thought structures that inform design.”
(Teknologi tekstil Batak tidak dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari desain, desain dan teknologi tidak dapat dipisahkan. Pengamatan ini jauh melebihi harapan bahwa desain merupakan manifestasi dari proses teknis. Beberapa istilah adat sebagai bentuk kategori desain yang dapat dijelaskan dan beberapa proses teknis lainnya tampaknya dibentuk oleh citra mental yang sama atau struktur mental untuk menginformasikan bentuk desain).”
c. Modifikasi dan Ekonomi Kreatif Perkembangan dari sisi waktu ke waktu dapat menyebabkan suatu aspek dalam kehidupan mengalami proses perubahan, dalam konteks ini perubahan yang dilihat adalah bentuk perubahan pada bentuk kain tradisional adat Batak-Toba, yaitu ulos. Usaha perubahan bentuk ulos dapat dilihat sebagai bentuk usaha dan strategi dalam melestarikan bentuk dan penggunaan kain ulos dalam kehidupan masyarakat Batak-Toba sekarang ini. Secara sederhana, modifikasi dapat diartikan sebagai bentuk perubahan dan penyesuaian bentuk dari bentuk asal pada bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan. Modifikasi dalam lingkup kebudayaan dapat dilihat dari pendapat Kottak (2007:42) yang memberikan pandangan bahwa : “on the basis of cultural learning, people create, remember, and deal with ideas.” (atas dasar pembelajaran budaya, orang menciptakan sesuatu, mengingat, dan berurusan dengan ide-ide).
Pendapat tersebut secara sederhana dapat diartikan bahwa kebudayaan bukanlah bentuk yang statis melainkan sebagai bentuk yang dapat berubah dan berkembang sesuai dengan kebutuhan. Modifikasi ulos dilakulan tidak hanya sebagai bentuk usaha strategi melestarikan ulos semata melainkan juga sebagai sebentuk usaha yang dapat memberikan keuntungan secara finansial kepada masyarakat pendukung kebudayaan tersebut secara luas, mengutip Kottak (2007:261) yang memberikan saran untuk dapat memaksimalkan keuntungan dari proses modifikasi tersebut terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : “(1) be culturally compatible, (2) respond to locally perceived needs, (3) involve men and women in planning and carrying ut the changes that affect them, (4) harness traditional organizations, and (5) be flexible.” ((1) secara budaya kompatibel, (2) menanggapi kebutuhan yang dirasakan secara lokal, (3) melibatkan laki-laki dan perempuan dalam perencanaan dan pelaksanaan ut perubahan yang mempengaruhi mereka, (4) memanfaatkan organisasi tradisional, dan (5) bersifat fleksibel).
Proses modifikasi ulos merupakan suatu pilihan yang dilakukan untuk dapat melestarikan bentuk dan penggunaan ulos hingga saat sekarang ini, proses tersebut dapat dilakukan dengan adanya beberapa aspek yang mendukung seperti yang dikemukakan oleh Kottak (2007:261) bahwa proses modifikasi dalam kebudayaan dapat dilakukan dengan adanya aspek dukungan dari masyarakat pendukung kebudayaan tersebut sebagai bagian dari usaha strategi mereka menghadapi perubahan.
Usaha modifikasi terhadap ulos dalam konteks ekonomi kreatif sebagaimana diungkapkan oleh Hawkins (dalam Suryana, 2013:46) merupakan sebentuk modal kreatif, yaitu : “Modal kreatif (creative capital) adalah modal intelektual berupa kekayaan intelektual, seperti desain produk, merek dagang, hak cipta, paten, dan royalti.”
Dalam hal ini, ulos merupakan modal kreatif yang dapat dikembangkan sebagai bagian dari produk kegiatan ekonomi kreatif, dimana ulos merupakan bentuk kekayaan intelektual secara kultural yang dapat dirubah, reka-bentuk dan dikembangkan menjadi materi ekonomis yang berguna bagi kehidupan masyarakat serta hasil yang berdaya saing tinggi. Secara lebih lanjut, kegiatan ekonomi kreatif membutuhkan beberapa modal, mengutip Home Affairs Bureau (2005:41); UNDP-UNCTAD (2008:10) dalam Suryana (2013:46) yaitu : “Modal insani (human capital), modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal struktur kelembagaan (structural institutional capital).”
Dalam penelitian ini, kain ulos memiliki modal yang ditawarkan tersebut sebagai bagian dari proses ekonomi kreatif, dimana modal insani kain ulos terdapat pada kehidupan masyarakat Batak Toba sebagai pengguna ulos dan juga partonun, modal sosial ulos yang berkaitan dengan fungsi dan penggunaan dalam kehidupan, modal budaya dimana ulos memiliki nilai-nilai kultural masyarakat Batak Toba dalam hal motif dan modal struktur kelembagaan yang tersusun antara
struktur kehidupan dalihan na tolu dan struktur pemerintahan sebagai penyokong kegiatan ekonomi kreatif.
3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perubahan fungsi ulos dan juga modifikasi yang dilakukan agar ulos menjadi ekonomi kreatif mempunyai nilai uang pada masyarakat Batak. Pertanyaan penelitian yang akan diajukan adalah : 1. Apa saja fungsi ulos bagi masyarakat Batak-Toba ? 2. Bagaimana modifikasi ulos yang ada saat ini ? 3. Bagaimana kaitan antara modifikasi ulos dan ekonomi kreatif ?
1.4. Tujuan dan Manfaat penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui modifikasi kain ulos yang telah dilakukan dan bagaimana caranya agar masyarakat sekarang tetap melestarikan ulos batak dengan cara menenun bukan hanya menggunakan bahan kimia. Tetap menjaga kelestarian ulos sebagai simbol masyarakat Batak. Hasil penelitiian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca untuk mengenal tentang seluk beluk tenun Batak Toba serta upaya pelestarian tenun Batak Toba dengan modifikasi yang telah dilakukan oleh masyarakat Desa
Parbubu II. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan dan kepustakaan di bidang Antropologi.
1.5. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2014 hingga Januari 2015. Lokasi penelitian yaitu di Desa Parbubu Sapuran Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara. Sebagai perbandingan dalam melihat ulos saya juga melihat ke daerah Pematang Siantar dan Balige, hal tersebut bertujuan untuk meluaskan pemahaman mengenai pentingnya pelestarian ulos dan perbedaan ulos setiap tempat serta modifikasi yang dilakukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan secara etnografi. Peneliti akan mengungkapkan native’s point of view3. Bagaimana pengaruh globalisasi terhadap ulos batak, serta bagaiman fungsi dan penggunaan ulos batak pada masyarakat batak pada era globalisasi sekarang ini. a. Teknik Observasi Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan lansung di lapangan. Proses pengamatan tersebut dengan cara 3 Native’s point of view adalah mencoba menjelaskan fenomena-fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri.
mengamati cara pembuatan, siapa pelakunya, pola apa yang dilakukan pada setiap ulos, waktu, peristiwa serta aktivitas yang dilakukan oleh para penenun ulos. Penulis melakukan observasi secara langsung dengan mendatangi rumah penduduk yang ada di Desa Parbubu II. Sebagian besar perempuan yang tinggal di desa ini melakukan kegiatan bertenun. Alasan yang paling mendasar adalah untuk menambah kebutuhan rumah tangga. Karena apabila hanya mengandalkan hasil panen padi saja maka tidak akan mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Penulis juga melihat secara langsung bagaimana proses pembuatan benang yang dipintal. Sebelum dipintal maka benang terlebih dahulu dikanji. Observasi dalam bentuk partisipasi dan juga non partisipasi. Dalam penelitian yang akan dilakukan mencakup pada dua bentuk observasi, yaitu proses observasi kepada para penenun ulos yang masih menggunkan alat tenun dan proses obsevasi bagaimana ulos masih dikembangkan bukan hanya untuk acara resmi tetapi juga dapat digunakan pada segala tempat. Observasi yang peneliti lakukan adalah sebentuk pengamatan terhadap kegiatan partonun atau individu yang bertenun di daerah Desa Parbubu II dan juga melakukan observasi terhadap individu yang memiliki keterkaitan terhadap ulos, dalam hal ini peneliti melakukan proses observasi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Merdi Sihombing sebagai desainer kain tenun ulos terhadap kain ulos pada saat sekarang ini. b. Teknik Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dua orang yaitu pewawancara (interviewer) yang memberikan pernyataan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan informasi atau jawaban atas pernyataan tersebut (Moleong, 1991 : 135). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, yaitu peneliti dan informan berinteraksi satu sama lain dalam waktu yang relatif lama sehingga peneliti dapat membangun rapport 4 dengan informan. Untuk menjaga agar wawancara tetap fokus dan sesuai dengan pertanyaan yang dituju maka peneliti menggunakan interview guide. Selain menggunakan
interview guide,
dalam
proses
wawancara
peneliti
juga
menggunakan alat bantu seperti recorder untuk merekam proses wawancara dengan informan. Dan juga menggunakan camera sebagai alat untuk dokumentasi pada saat proses menenun berlangsung. Wawancara penelitian dan observasi dilakukan terhadap individu yang berkaitan dengan kain tenun ulos Batak Toba, diantaranya adalah : partonun, desainer ulos (dalam hal ini Merdi Sihombing), masyarakat pengguna ulos dan juga tokoh adat. c. Informan Informan dipilih secara purposive dan key informant (informan kunci). Key person ini digunakan apabila peneliti sudah memahami informasi awal tentang
4 Rapport adalah proses menjalin hubungan yang baik antara peneliti dengan masyarakat yang akan diteliti tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya.
objek penelitian maupun informan penelitian. Sehingga membutuhkan key person untuk melakukan wawancara mendalam. Setelah menentukan informan kunci peneliti akan melakukan wawancara mendalam terkait tema yang akan diteliti. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Merdi Sihombing, hal ini berkaitan dengan usaha yang dilakukannya terhadap ulos sebagai desainer kain tenun dan juga pengetahuan mengenai ulos yang dimilikinya, selain itu peneliti juga melakukan wawancara terhadap partonun untuk menguatkan data mengenai penggunaan fungsi dan modifikasi ulos pada tingkat individu yang menenun kain tenun ulos, salah satunya peneliti mewawancarai Mama Loise Situmorang yang merupakan seorang penenun Ulos, dan beberapa individu partonun yang terdapat di kilang penenunan ulos Desa Parbubu II sebayak sepuluh (10) orang. Penulis bertemu dengan para wanita partonun yang ada di Desa Parbubu II Mama Loise SItumorang, Op. E. Sinaga, L Boru Hutabarat, Ibu L. Hutauruk, Ida Hutabarat, Hotnida Simorangkir, Ibu M. Simatupang, Merdi Sihombing.
1.6 Pengalaman Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2014 hingga bulan Januari 2015 di kota Desa Parbubu Sapuran Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara, awalnya penulis melakukan penelitian seorang diri selama seminggu dan kemudian pada proses kerja lapangan berikutnya membawa teman sebagai pendamping disaat penulis melakukan observasi dan wawancara.
Obervasi dan wawancara yang dilakukan tidak dapat dilakukan dengan begitu saja, pada awalnya penulis datang kerumah saudara penulis untuk dapat mengetahui dimana bisa ditemukan penenun ulos yang masih menggunakan mesin penenun manual. Manual yang dimaksudkan disini adalah penenun yang masih menggunakan alat tenun yang terbuat dari kayu sebagai alat membuat kain ulos. Setelah mendapatkan informasi dari saudara penulis, kemudian penulis meminta bantuan agar dapat diantar ke desa yang menjadi salah satu pusat pembuatan kain teun ulos. Setelah sampai pada desa yang dituju awalnya masyarakat merasa canggung karena kedatangan saya. Kemudian saudara penulis menjelaskan maksud dan tujuan saya datang kesana dengan menggunakan bahasa Batak. Penulis kemudian berbicara kepada para penduduk menggunakan bahasa Indonesia dengan sopan dan meminta bantuan juga kerja sama agar dapat menyelesaikan penulisa skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan. Hari pertama yang penulis lakukan adalah melakukan pendekatan dengan beberapa para wanita penenun ulos. Mereka sangat antusias dalam menjawab pertanyaan. Sambil bertanya beberapa pertanyaan yang telah penulis siapkan sebelumnya, penulis juga mengambil foto mereka saat melakukan proses menenun. Kemudian pertanyaan yang sudah saya siapkan perlahan penulis tanyakan, beberapa warga yang dikunjungi sangat senang pada saat diwawancari. Sampai penulis tiba pada sebuah rumah seorang warga yang bercerita bahwa dahulu tahun 1967 dia pernah dibawa ke Belanda untuk mengikuti festival kain tenun ulos. Pengalaman itu merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bagi penenun. Dia bercerita satu sisi dia sangat bangga bahwa bisa memperkenalkan
budaya Indonesia khususnya budaya Batak, memperkenalkan kain ulos kemata dunia dan disisi lain bagi si penenun bahwa ini pengalaman dia bisa pergi keluar negeri tidak mengeluarkan biaya apa pun, baik itu biaya transportasi, akomodasi, dan lain sebagainya. Cuaca pada saat itu memang tidak mendukung. Hujan sangat deras sehingga suhu udara pun terasa dingin, dengan meminjam motor saudara, penulis tetap melakukan perjalanan. Kemudian penulis berkunjung lagi ke rumah warga yang lain, sesampainya dirumah warga yang lain saya mulai bercerita maksud dan tujuan saya datang ke rumah mereka dan mereka setuju untuk saya melakukan wawancara dan pengamatan berhubungan dengan proses pembuataan kain ulos. Rangkuman yang saya dapat dari para pengrajin ulos mereka membuat tenun ulos untuk meningkatkan kebutuhan ekonomi. Dengan begitu mereka tidak hanya menunggu hasil panen selama 5 bulan lamanya. Karena dalam seminggu para pembuat ulos dapat menghasilkan ulos seminggu 3 lembar. Setelah ulos selesai ditenun mereka jual kembali. Biasanya ada orang yang akan datang ke desa mereka untuk membeli ulos yang sudah selesai. Perlembar ulos dibandrol dengan harga Rp 25.000 – Rp 30.000. Hal ini sungguhlah sangat membantu warga desa Parbubu sambil menantikan hasil panen padi mereka. Perjalanan dan kerja lapangan yang penulis lakukan juga mendapatkan beragam pengetahuan mengenai ulos, ulos yang selama ini hanya dikenakan pada saat-saat tertentu saja ternyata dapat dipergunakan bahkan dibentuk sesuai dengan
keinginan pemesannya, hal ini merupakan bagian dari modifikasi dan perkembangan kain tenun ulos menghadapi persaingan global. Pada suatu waktu di awal tahun 2015 di bulan Januari, penulis diberitahukan oleh seorang teman untuk bertemu dengan seorang antropolog yang telah meneliti kain tenun ulos di Tanah Batak yang bernama Sandra Niessen yang secara kebetulan lagi berada di Kota Medan dan mengadakan diskusi mengenai ulos, namun pada saat itu penulis berhalangan untuk menghadiri acara tersebut akan tetapi teman tersebut menolong penulis dengan menanyakan beberapa hal yang dapat membantu penulisan skripsi ini yang akhirnya penulis mendapatkan beberapa informasi mengenai kain tenun ulos dari sisi sejarah perkembangannya. Dalam kesempatan lain peneliti berbincang-bincang kepada seorang teman tentang pengalaman selama di Desa Parbubu II dan apa tujuan datang kesana, lalu teman penulis tersebut mengatakan bahwa dia mengenal seorang desainer yang mengangkat kain tenun ulos sebagai sumber inspirasinya. Penulis sanggat antusias dan bertanya kapan ada waktu dan kesempatan untuk bertemu dengannya dan teman penulis itu berjanji dia akan mencoba menghubungi desainer ulos yang bernama Merdi Sihombing. Karena Merdi tidak berdomisili di Medan tetapi di Jakarta, lumayan sulit untuk menemuinya. Kemudian pada suatu waktu teman penulis mengatakan bahwa Merdi sedang berada di Medan, teman penulis juga menggatakan bahwa harus segera kesana karena besok dia akan pergi ke Nias. Maka sang penulis pun datang kerumahnya di jalan Sei Belutu.
Penulis memberitahukan maksud dan tujuan kedatangan untuk bertemu Merdi dan Merdi pun dengan senang hati menerima penulis untuk berbincang untuk membahas jenis ulos. Rumah dengan aksen Batak pun ditampilkan disetiap sudut ruangan rumah Merdi, bertemu langsung dengan seorang desainer yang cukup dibilang papan atas merupakan pengalaman yang tak telupakan bagi penulis. Awalnya penulis merasa canggung untuk mengobrol dengan sosok Merdi tetapi dengan berjalannya waktu rasa canggung itu pun hilang. Dia bercerita banyak tentang pengalamannya kepada penulis. Lalu penulis bertanya kepada Merdi kenapa dia sangat tertarik menggunakan ulos sebagai bentuk desainnya dan Merdi berkata dia sangat bosan melihat seorang desainer yang hanya itu-itu saja, hanya menjahit baju untuk pernikahan. Padahal banyak dari suku di Indonesia yang mempunyai jenis kain yang sanggat indah, maka dari itu saya menggambil kain tenun ulos sebagai bahan dia menghasilkan karya-karyanya. Merdi juga bercerita kalau zaman dulu ulos itu menggunakan batu permata atau kini sering disebut dengan swarovski. Tetapi dengan bergesernya waktu swarovski itu pun hilang sehingga sekarang digantikan dengan manik-manik kecil atau disebut sekarang dengan ulos bermata. Penulis bertanya kira-kira berapa harga ulos swarovski yang ditawarkan Merdi kepada pembeli dan dia menjawab hampir Rp. 50.000.000. Lalu Merdi mengeluarkan hasil ulos yang sudah dimodifikasinya sendiri dari lemari di ruang tamu tempat kami berbincang. Penulis sangat kagum dengan kain tenun Batak tersebut, aneka warna, motif dan bentuk yang sangat memukau dan juga terlihat sangat cantik. Merdi menunjukkan apa itu jugia kepada penulis
dan memberitahukan jenis-jenis ulos yang mengantung pada dinding rumah Merdi sebagai hiasan. Ulos yang mengantung itu adalah Ulos Ragi Hotang, Ulos Ragi Hidup. Dan Merdi bercerita banyak mengapa disebut dengan Ulos Ragi Hotang dan mengapa disebut Ragi Hidup. Disebut dengan Ragi Hotang karena mereka terinspirasi dari kayu rotan, apabila rotan itu dibelah maka akan ada motif pada kayu tersebut ide itulah yang dituangkan penenun pada kain ulos tersebut. Filosofi dari rotan juga menjadi awal untuk membuat Ulos Ragi Hotang, karena rotan sangat kuat maka ulos ini berikan kepada pasangan yang sudah menikah diharapkan mereka akan terus bersatu selamanya sama halnya dengan rotan. Ragi Hotang juga disebut juga dengan ulos hela. Hal serupa juga terjadi Merdi menceritakan Ulos Ragi Hidup, Ulos ini mempunyai lima bagian dalam satu lebar kain ulos. Dan setiap bagian pada ulos ini berbeda-beda, tidak hanya itu saja motif pada bagian depan dan belakang juga berbeda. Motif depan sebagai laki-laki dan motif belakang sebagai perempuan. Merdi juga menjelaskan jenis motifnya juga berbeda, pada motif belakang lebih besar dari motif depan itu dilambangkan sebagai perempuan yang harus mandiri, rajin bekerja, dan tidak pemalas. Kedatangan penulis dan seorang teman ke rumah Merdi juga membuat Merdi bangga hal ini dikarena dengan dijadikan ulos sebagai judul skripsi maka dia mengharapkan skripsi ini dapat dibaca oleh orang banyak dan menjadi inspirasi setiap orang yang membacanya. Waktu sudah larut malam maka penulis dan teman berpamitan untuk pulang dan memberikan Merdi waktu untuk istirahat karena besok pagi Merdi akan berangkat ke Nias.
Pada saat akan berpamitan pulang Merdi memberikan sebuah buku yang dia tulis sendiri dan dibubuhi dengan tanda tangan Merdi. Buku tersebut menceritakan bagaimana jenis ulos dan juga proses membuat ulos yang awalnya hanya terbuat dari kapas, pewarnaan pada benang menggunakan jenis tumbuhtumbuhan, hingga ulos dapat digunakan pada berbagai acara dan kesempatan, pengalaman yang sangat mengagumkan bagi penulis bisa bertemu dengan Merdi. Beragam informan yang penulis temui di lapangan memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan mengenai kain tenun ulos, karena secara langsung kain tenun ulos dalam kehidupan masyarakat Batak Toba tidak hanya sebagai bagian dari pakaian melainkan juga menyimpan pengetahuan budaya dalam lintasan sejarah perkembangan. Secara singkat Merdi Sihombing berkata kepada penulis bahwasanya kain tenun ulos adalah sehelai kain yang bercerita. Penulis menyadari bahwa pada proses kerja lapangan yang penulis lakukan adalah bagian dari mendengarkan, mencatat dari perjalanan pembuatan sehelai kain yang bercerita yaitu kain tenun ulos.