BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sejak akhir abad dua puluhan, kebangkitan agama, khususnya Islam di Indonesia menyediakan ruang bagi tumbuhnya gerakan-gerakan Islam. Gerakan tersebut ditengarai memiliki dua arus besar, yakni sekularisme yang berusaha memisahkan isu-isu transendental dan temporal, dengan memisahkan kekuasaan Tuhan
dan
kekuasaan
manusia,
dan
diseberang
lainnya
adalah
arus
fundamentalisme, sebuah gerakan yang meyakini bahwa Islam memiliki perangkat-perangkat transendental dan temporal sekaligus, yang mampu mengatasi realitas zaman. Gerakan fundamentalisme Islam tersebut boleh jadi merupakan respon terhadap fenomena terpinggirkannya nilai-nilai moral dan agama dalam seluruh segi kehidupan, sehingga upaya-upaya untuk kembali pada purifikasi nilai-nilai Islam dan melakukan implementasi nilai-nilai Islam dalam seluruh segi kehidupan meningkat secara dramatis. Salah satu gerakan Islam yang mewakili arus tersebut adalah gerakan Tarbiyah. Agama berkaitan erat dengan berkembangnya himpunan-himpunan sukarela dan pertumbuhan masyarakat sipil di berbagai negara. Meskipun disebutkan gerakan kembali ke dalam agama mungkin sekali akan mengambil bentuk lebih lunak, namun sekaligus dinyatakan bahwa agama berperan pada
15
norma-norma yang terbentuk pada masyarakat dan keinginan untuk hidup tertib dan aman.1 Gerakan Tarbiyah sebagai salah satu representasi gerakan yang berupaya untuk kembali kepada pemurnian Islam, tumbuh dan bersemi dikampus-kampus umum yang sekuler. Gerakan ini berawal dari kelompok-kelompok studi yang muncul sebagai respon yang cukup kompromis terhadap kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) pada tahun 1978, yang telah mempersempit ruang gerak mahasiswa dalam menjalankan aktifitasnya. Setiap aktivitas mahasiswa harus mendapat persetujuan pimpinan perguruan tinggi, dan pimpinan perguruan tinggi harus menjadi penanggungjawab penuh atas segala sesuatu yang terjadi dalam kampus.2 Cikal bakal kelompok jama’ah muslim Tarbiyah yang berawal dari aktifitas kelompok-kelompok studi diperguruan tinggi tersebut kemudian terpolarisasi menjadi dua kelompok besar yakni mahasiswa yang mendalami kajian sosialpolitik-ekonomi yang berbasis pada tradisi kritis Barat, dan yang kedua adalah kelompok yang berbasis pada kajian-kajian dalam bingkai keagamaan. Kelompok yang terakhir inilah yang kemudian mengembangkan diri, mengalami dinamisasi serta transformasi menjadi sebuah gerakan keagamaan yang dekat dengan pemikiran dakwah Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang kemudian sering disebut
1
2
Fukuyama, F. Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta: 2005. Damanik, A.S. Fenomena Partai Keadilan. Transformasi 20 tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Penerbit Teraju. Jakarta: 2002.
16
sebagai gerakan Tarbiyah, yang kemudian melakukan transformasi organisasi menjadi PK (Partai Keadilan) dan kemudian PKS (Partai Keadilan Sejahtera).3 Salah satu karakter dari gerakan Tarbiyah atau PKS (Partai Keadilan Sejahtera) ini adalah mendasarkan diri pada pemikiran Ikhwanul Muslimin yang holistik-integralistik atau sering disebut sebagai kaffah. Pemahaman ini didasarkan pada interpretasi atau tafsir Al-Qur’an surat Al-Baqarah, ayat 208 berikut ini4, Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kedalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu ikuti langkahlangkah setan. Sungguh, ia musuh nyata bagimu. Secara operasional, pemikiran yang holistik-integralistik ini tercermin pada tujuan-tujuan gerakannya yang mengadopsi pemikiran Hasan Al-Banna, ketua (Mursyid Aam) Ikhwanul Muslimin pertama, yakni : 1. Perbaikan individu, sehingga menjadi seorang yang kuat fisiknya, kokoh akhlaknya, luas wawasannya, mampu mencari penghidupan, selamat akidahnya, benar ibadahnya, memiliki motivasi dari dalam dirinya, perhatian akan waktunya, rapi urusannya dan bermanfaat bagi orang lain; 2. Pembentukan keluarga muslim, mengkondisikan keluarga agar menghargai pemikirannya (fikrah), menjaga etika Islam dalam setiap aktivitas kehidupan rumah tangganya, memilih pasangan yang baik dan mengerti hak dan kewajibannya, mendidik anak-anak dan membantunya dengan didikan yang baik, membimbing mereka dalam prinsip-prinsip Islam;
3
Damanik, A.S. Fenomena Partai Keadilan. Transformasi 20 tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Penerbit Teraju. Jakarta: 2002. 4 Kementerian Agama RI. 2010. Al- Qur’an Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadits Sahih: PT Sygma Examedia Arkanleema. Hal 32
17
3. Membimbing masyarakat, dengan menyebarkan dakwah, mencegah perilaku jahat dan keji, mendukung perilaku mulia dan utama, bersegera mengerjakan kebaikan, membawa opini masyarakat pada pemikiran Islam, mewarnai kehidupan dengan Islam dengan terus-menerus; 4. Pembebasan tanah air dari penguasa asing dan penjajah, baik secara politik, ekonomi maupun moral; 5. Memperbaiki pemerintahan; 6. Mengembalikan kejayaan ummat Islam; 7. Menjadi guru dunia.5 Setiap pergerakan baik berbasiskan ideologi agama maupun tidak, memiliki nilai-nilai yang dibagi diantara anggotanya6, demikian pula gerakan Tarbiyah, nilai-nilai tersebut diantaranya adalah: 1. Menyebarkan nilai-nilai dalam kelompok, yang terbagi dalam dua kelompok besar, pertama, pembentukan karakter pribadi-pribadi Islam dan kedua, pembentukan karakter aktivis gerakan; 2. Nilai-nilai yang disebarkan dalam kelompok dilakukan dalam kegiatan yang sering disebut sebagai liqa, secara harafiah berarti pertemuan atau perjumpaan, umumnya dilakukan sepekan sekali yang dilakukan dengan sistematis dan kontinyu. Pertemuan ini dihadiri 5-12 orang secara tetap, yang disebut sebagai muttarobbi dipimpin seorang fasilitator, atau pembina yang
5
6
Hawwa, S. Membina Angkatan Mujahid. Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan Al-Bana dalam Risalah Ta’alim. Era Intermedia. Solo: 2000. Damanik, A.S. Fenomena Partai Keadilan. Transformasi 20 tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Penerbit Teraju. Jakarta: 2002.
18
disebut sebagai murobbi demikian seterusnya sehingga membentuk sistem sel yang teratur dan terstruktur rapi; 3. Melakukan kegiatan penyebaran nilai-nilai (nasrul fikrah) dengan kegiatan yang beragam: dauroh atau training, outbound, rihlah atau perjalanan atau darmawisata, mabit atau bermalam untuk melakukan kegiatan ibadah seperti shalat malam bersama (qiyamul lail), seminar atau bedah buku dengan tematema yang beragam dari tema yang serius seperti isu negara dalam Islam hingga tema-tema perkawinan dan kecantikan bagi muslimah. Mencermati tujuan dan misi dari jama’ah muslim Tarbiyah khususnya pada point dua yakni pembentukan keluarga muslim, terlihat pijakan penting dari fenomena perjodohan diantara anggota jama’ah muslim Tarbiyah. Penelitian ini bertujuan untuk dapat melihat bagaimana makna perjodohan melalui BKKBS bagi para anggota jamaah muslim Tarbiyah serta bagaimana otoritas kader perempuan yang berusia diatas 30 tahun dalam memilih jodohnya. Penelitian ini berawal dari pengamatan peneliti dengan keberadaan sebuah lembaga pernikahan (BKKBS) yang merupakan nilai lokal yang dibentuk oleh PKS DIY, sementara diwilayah lain belum melembagakan biro jodoh antar kader ini. Berawal dari banyaknya keluhan para anggota jama’ah khususnya perempuan dalam proses BKKBS yang begitu lama. Dalam perkembangannya, Badan Konseling Keluarga Bahagia Sejahtera ini nampaknya tidak hanya respon positif namun juga mendapatkan respon yang negatif dari anggota jama’ahnya seperti keluhan akan keterbatasan BKKBS dalam memfasilitasi, memediasi, dan menginisiasi proses perjodohan.
19
1.2 Rumusan Masalah Kemunculan BKKBS sejalan dengan cita-cita Jama’ah Muslim Tarbiyah dimana keluarga sebagai basis pembentukan pribadi muslim untuk kemudian mendorong kepada masyarakat dan negara yang kuat yang berawal dari keluarga yang dibangunnya. Akan tetapi seiring perkembangannya BKKBS mendapat pro dan kontra dari internal jama’ah sendiri, dimana sebuah lembaga perjodohan yang lahir dari organisasi yang menjadikan kekuatan utamanya pada pengorganisasian kader namun tidak berpihak sepenuhnya pada kepentingan kader secara personal. Hal ini terlihat dari adanya unsur kepentingan politik yang lebih dominan dalam prosesnya. Penelitian ini difokuskan pada perempuan dalam Jama’ah Muslim Tarbiyah yang sudah matang secara usia namun belum menemukan jodohnya di BKKBS. Sehingga peneliti berupaya melihat apa makna perjodohan melalui BKKBS ini bagi anggota jama’ah muslim Tarbiyah. Berangkat dari realitas diatas, muncul permasalahan sebagai pengarah jalannya penelitian; 1. Bagaimana para perempuan dalam memaknai ruang perjodohan di BKKBS? 2. Bagaimana otoritas perempuan lajang yang berusia di atas 30 tahun dalam proses perjodohan di BKKBS?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pemaknaan perjodohan melalui BKKBS bagi anggota jama’ah Tarbiyah serta mengeksplorasi bagaimana otoritas perempuan lajang yang berusia diatas 30 tahun dalam proses perjodohan di BKKBS.
20
1.4. Manfaat Penelitian 1.
Mendapatkan gambaran anggota jama’ah memaknai BKKBS dan
bagaimana otoritas perempuan lajang yang berusia diatas 30 tahun dalam proses perjodohan di BKKBS; 2.
Sebagai sumbangan ide bagi kelompok jama’ah muslim Tarbiyah dalam
mengevaluasi
kinerjanya
demi
meningkatkan
kualitas
sebagai
lembaga
perjodohan BKKBS yang menjadi strategi dakwahnya, sehingga kekecewaan dan ketidakpuasan dari anggota dalam perjodohan dapat diantisipasi.
1.5. Tinjauan Pustaka Ada banyak kajian yang mengangkat tema tentang Partai Keadilan Sejahtera, diantaranya
Penelitian oleh Muhammad Furkon (2004) “Partai
Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer”. Furkon membahas mengenai ideologi dan implementasi politik kaum muda muslim Indonesia kontemporer yang menggambarkan ideologi PKS dengan kader-kader muda sebagai penggerak partai. Selanjutnya oleh Djony Edward (2006) ”Efek Bola Salju Partai Keadilan Sejahtera” tentang kisah sukses PKS dalam mengantongi suara di pemilu yang diawali dari sebuah gerakan mahasiswa yang berbasis masjid lalu kemudian menjadi sebuah partai politik. Selanjutnya oleh Ali Said Damanik (2002) “Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia” tentang fenomena pendahulu PKS yang menggambarkan PKS sebagai sebuah partai politik yang memiliki pondasi awal dari pergerakan dakwah kampus. Kemudian yang terbaru
21
oleh Burhanuddin Muhtadi (2012) “Dilema PKS: Suara dan Syariah” dimana PKS sebagai alat formal dalam menerapkan syari’at Islam melalui partai politik yang beradaptasi dengan proses demokrasi melalui perjuangan politik dalam parlemen. Selanjutnya oleh Muhammad Imadudin Rahmat (2008) “Ideologi Politik PKS Dari Masjid Kampus Ke Gedung Parlemen”. Rahmat mengkaji partai berideologi moderat ini dimana gerakan dakwah kampus yang dikenal dengan julukan kaum tarbiyah sebagai pondasi awal menuju gedung parlemen. Reddy Kusuma Wardani jurusan Sosiologi Universitas Sriwijaya (2009) dengan judul: “Pernikahan Komunitas Muslim Studi Kasus Pada Jamaah Tarbiyah Kota Palembang”. Penelitian tersebut mendeskripsikan bagaimana tahapan proses pernikahan dalam komunitas tarbiyah dan gambaran umum kehidupan sebuah keluarga tarbiyah yang telah difasilitasi oleh biro jodoh dalam struktur PKS. Perbedaan dari banyaknya penelitian diatas dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah, fokus mengkaji makna BKKBS dan bagaimana otoritas perempuan dalam proses perjodohan di BKKBS.
1.6 Kerangka Pemikiran 1.6.1. Makna dan Interaksi Sosial Makna adalah istilah yang sentral dari sosiologi humanis. Makna sangat nampak terlihat dalam Interaksionisme Blumer yang bertumpu pada tiga premis utama yang melibatkan makna:7
7
Soeprapto, Riyadi. Interaksi Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2002.
22
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka; 2, Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan
orang
lain; 3.Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung. Berpijak dari tiga point penting makna diatas, bahwa anggota jama’ah muslim tarbiyah khususnya bagi perempuan (akhwat) mereka bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang diperoleh dari hasil interaksi serta pengalaman mereka dalam mengikuti sistem perjodohan yang mereka lalui dalam jama’ah yang dalam hal ini adalah BKKBS. Kelompok halaqoh yang rutin sepekan sekali menjadi interaksi rutin yang mampu menciptakan makna dalam diri anggota. Rasa kepercayaan, keakraban, kenyamanan dan saling memahami satu sama lain pada akhirya menciptakan makna yang mengikat satu dengan lainnya. Bahkan ada ikatan yang jauh lebih kuat dari pada ikatan secara personal dalam kelompok, yaitu ikatan kelompok jama’ah itu sendiri bagi individu. Sosiolog menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Interaksi ini melibatkan hubungan kader dengan kader lainnya dalam jama’ah muslim Tarbiyah. Kader tarbiyah adalah acting subject, makhluk hidup yang senantiasa bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan kader tarbiyah ini dilandaskan pada makna-makna subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan atau saat tindakan itu dilaksanakan. Sementara jama’ah Tarbiyah ibarat Masyarakat yang merupakan suatu satuan
23
yang bersifat kompleks, yang terdiri dari relasi-relasi antar manusia yang relatif besar dan berpola. Interaksi sosial sebagai subject matter adalah interaksi sosial dengan dimensi horisontal dan vertikal. Horisontal tak hanya bermakna interaksi antar individu dengan individu lainnya, tetapi meliputi kelompok dan struktur sosial. Karena itu faktor kultural, ekonomi, dan politik tak dapat diabaikan. Perjalanan sosial manusia tak lepas dari masa lalu dan masa mendatang, sehingga aspek vertikal (sejarah) menjadi penting. Esensi dari teori interaksi simbolik adalah suatu aktifitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol-simbol yang diberi makna. Bahwa individu dapat ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Dengan demikian, teori ini menggunakan paradigma individu sebagai subyek utama dalam realitas sosial.8 Teori interaksi simbolik mengasumsikan bahwa individu-individu melalui aksi dan interaksinya yang komunikatif, dengan memanfaatkan simbol-simbol bahasa serta isyarat lainnya yang akan megkonstruk masyarakatnya.9 Perspektif interaksionis simbolik berusaha memahami perilaku anggota jama’ah dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan pemahaman orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Penganut interaksionisme simbolik
8
Deddy, Mulyana. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainya, Remaja Rosdakarya: Bandung.
9
Riyadi, Soeprapto. 2002. Interaksi Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
24
berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi atau penafsiran mereka atas dunia di sekeliling mereka. Artinya mereka tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan tetapi dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.10Hal ini dapat kita lihat dari interaksi yang dibina oleh anggota jama’ah Tarbiyah dimana mereka membentuk sebuah kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari seorang pembina dan beberapa orang yang dibina. Didalamnya terdapat proses interaksi yang saling timbal balik, saling mempengaruhi dalam hal pengetahuan keagamaan Islam dan banyak hal lainnya. Nilai-nilai dan prinsipprinsip keagamaan yang langsung dipelajari dari sumbernya Al- Qur’an dan Hadits memungkinkan adanya cara berpikir yang sama. Misalnya dalam hal perjodohan. Bagaimana memaknai dan menjalankannya. Selain interaksi simbolik, penulis juga menggunakan pedekatan lain yang menjadi landasan pemahaman terhadap fenomena perjodohan ini yaitu pendekatan dengan teori fenomenologi dari Alfred Schlutz, dimana fenomenologi merupakan ilmu yang berorientasi mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. Dengan kolaborasi kedua teori ini, diharapkan dapat mengungkap fenomena dengan lebih mendalam. Ada empat unsur pokok dari teori Fenomenologi yaitu :11 1.
Perhatian terhadap aktor dengan memahami
makna tindakan aktor yang
ditujukan kepada dirinya sendiri. 10
John R. Hall dalam Deddy, Mulyana. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainya, Remaja Rosdakarya. Bandung: 2002.
11
http://www.academia.edu/3319840/Fenomenologi Alfred Schutz; Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial. Diakses tanggal 03 Februari 2014.
25
2. Memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau pokok dan kepada sikap yang wajar atau alamiah (natural attitude). Teori ini jelas bukan bermaksud fakta sosial secara langsung. Tetapi proses terbentuknya fakta sosial itulah yang menjadi pusat perhatiannya. Artinya bagaimana individu ikut serta dalam proses pembentukan dan pemeliharaan fakta-fakta sosial yang memaksa mereka itu. 3. Memusatkan perhatian kepada masalah makro. Maksudnya mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam hubungannya dengan situasi tertentu. 4. Memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan. Berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam
pergaulan
sehari-hari.
Norma-norma
dan
aturan-aturan
yang
mengendalikan tindakan manusia dan yang memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya. Pendekatan fenomenologi dapat memahami makna tindakan individu yang ditujukan kepada individu itu sendiri, memusatkan perhatian terhadap sesuatu yang wajar dan alami, melihat proses terbentuknya sebuah fakta sosial yakni bagaimana anggota jama’ah ini ikut serta dalam proses pembentukan dan pemeliharaan keinginan jama’ah muslim Tarbiyah atau bagaimana para perempuan lajang ini memaknai BKKBS yang dimaknai oleh jama’ah yang cenderung melemahkan otoritas mereka dalam memiilih jodohnya sesuai kriteria pribadi dan tanpa mengurangi loyalitas mereka terhadap jama’ah. Dari penelitian ini memperlihatkan bahwa anggota jama’ah diikat oleh sebuah kelompok yang
26
berasaskan Islam. Adanya aspek ideologi yang langsung menghubungkan apa-apa yang dialami anggota jama’ah merupakan kehendak Sang Pencipta, mengukuhkan makna ukhuwah (persaudaraan) karena Alloh SWT. Agama berperan pada normanorma yang terbentuk pada masyarakat dan keinginan untuk hidup tertib dan aman.12
Agama
dianggap
memiliki
kerangka
kosmologis
yang
cukup
komprehensif untuk memperkuat motivasi seseorang dalam melakukan pilihanpilihan berdasarkan perintah Tuhan dan berdasarkan nilai-nilai yang diyakini dalam agamanya.13
1.6.2. Ikatan Relasi Kelompok (Halaqoh) Pada penelitian ini, halaqoh dalam jamaah muslim Tarbiyah yaitu proses kegiatan tarbiyah pekanan dalam dinamika kelompok untuk mencapai tujuan dan muwashafat tarbiyah melalui berbagai program. Jumlah peserta dibatasi sesuai kemampuan murabbi untuk bisa memantau dan mengarahkan forum secara optimal.14 Halaqoh secara bahasa berarti lingkaran. Secara istilah, halaqoh dapat diartikan sebagai pertemuan rutin yang didalamnya berlangsung proses tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam) dalam suasana terus mengingat Allah. Halaqoh biasanya berlangsung seminggu sekali dengan durasi minimal sekitar 90 menit. Tempatnya bisa di masjid, musholla kampus, rumah atau bahkan di alam terbuka. Halaqoh selalu dimulai dengan tilawah (membaca ayat Al-Quran). Sebenarnya
12
Fukuyama, F. Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta: 2005. 13 Seul, J.R. 1999. Ours is the Way of God: Religion, Identity and Intergroup Conflict. Journal of Intergroup Conflict. Vol. 36. 5: 553-569. 14 Cahyadi Takariawan dan Ida Nur Laila. 2005. “Menjadi Murabbyah Sukses”. Era Intermedia. Solo: 2005.
27
sistem halaqoh ini sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Para sahabat Rasulullah duduk membentuk lingkaran, mereka berdzikir dan memuji Allah, membahas materi-materi agama, saling bercermin tentang ibadah masing-masing serta saling memberi semangat. “Ketika beliau keluar tiba-tiba beliau dapati para sahabat duduk dalam halaqoh (lingkaran). Beliau bertanya, “Apakah yang mendorong kalian duduk seperti ini?”. Mereka menjawab, “Kami duduk berdzikir dan memuji Allah atas hidayah yang Allah berikan sehingga kami memeluk Islam.”Maka Rasulullah bertanya, “Demi Allah, kalian tidak duduk melainkan untuk itu?” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak duduk kecuali untuk itu”. Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya saya bertanya bukan karena ragu-ragu, tetapi Jibril datang kepadaku memberitahukan bahwa Allah membanggakan kalian di depan para malaikat.” (HR Muslim, dari Mu’awiyah) Halaqoh yang rutin dilaksanakan oleh anggota jama’ah muslim Tarbiyah atau yang dapat juga dikatakan sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera merupakan sambungan dari keteladanan sejarah yang telah dicontohkan oleh para sahabat Nabi. Dalam forum seperti itulah para sahabat dibina oleh Rasulullah. Hanya saja saat ini materi-materi halaqoh dikembangkan dan juga memanfaatkan teknologi canggih. Ada beberapa karakter yang dapat mendefinisikan sebuah kelompok yakni:15 1. Interaksi interpersonal, merupakan hubungan personal yang timbal balik, sehingga menunjukkan eksistensi kelompok. Adanya komunikasi langsung, pertemuan yang intens dalam waktu tertentu dikalangan anggota jama’ah muslim Tarbiyah, yang menjadi konteks dalam penelitian ini telah dimulai jauh sebelum gerakan ini membentuk lembaga formal partai. Interaksi tersebut 15
Johnson, D. W., & Johnson, F. P. Joining Together. Group Theory & Group Skills. USA: 1991. Prentice Hall Inc
28
diwadahi dalam sebuah lembaga non formal yang disebut sebagai aktivitas tarbiyah. Aktivitas tarbiyah di definisikan sebagai “cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah atau kodrat manusia, baik secara langsung berupa kata-kata maupun secara tidak langsung berupa keteladanan sesuai dengan perangkatnya yang khas untuk memperoleh perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik”16 atau dalam bahasa ringkas, tarbiyah adalah proses penyiapan manusia yang saleh, agar tercipta suatu keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan, dan tindakan secara keseluruhan. Secara praktis aktivitas tarbiyah ini adalah pertemuan rutin yang diselenggarakan satu pekan sekali antara pembina dan peserta tarbiyah untuk mengkaji nilai-nilai Islam dengan mengacu komponen-komponen tertentu yang melingkupi aktivitas ini. FAKTOR INTERNAL Kurikulum Pelaksanaan Metode Administrasi Evaluasi prasarana
PROSES TARBIYAH
Ideologi Politik Ekonomi Sosial Budaya Hankam dll
FAKTOR EKSTERNAL Gambar 1.1. Peta komponen tarbiyah (Kurikulum Manhaj Tarbiyah, 2002)
16
Mahmud, A. H. Ikhwanul Muslimin Konsep Gerakan Terpadu. Cetakan ke dua. Gema Insani press. Jakarta: 1999
29
2. Persepsi keanggotaan adalah beberapa orang yang terikat dengan interaksi satu dengan yang lainnya dalam sebuah pertemuan langsung, rutin, sehingga masing-masing anggota, saling mengkonfirmasi, bereaksi, sehingga menyadari akan keberadaan orang lain. Pertemuan yang intens dalam jangka waktu yang lama mampu menyebabkan persepsi anggota yang kuat, sehingga menimbulkan kesadaran bahwa individu adalah bagian dari sebuah kelompok. Hal inilah yang terjadi pada anggota Jama’ah Tarbiyah dengan halaqohnya atau pertemuan rutin seminggu sekali. Dalam konteks aktifitas tarbiyah, melalui pertemuan intens tersebut akan dikukuhkan persatuan dan konsep persaudaraan dari tataran kata-kata dan teori menuju kerja dan operasional yang konkret.17 3. Interdependensi,18 bahwa individu dalam kelompok memiliki hubungan satu dengan yang lain secara interdependen, saling mempengaruhi, saling tergantung dalam derajat tertentu. Interdependensi ini dalam konteks aktivitas tarbiyah anggota PKS dikonsepsi dan dipraktikkan dalam sistem halaqoh dan usrah19yakni pada point kedua dari prinsip usrah dan halaqoh yaitu: mengukuhkan ikatan persatuan antar anggota untuk saling mengenal (ta’aruf) saling memahami (tafahum) dan saling menanggung beban (takaful). 4. Tujuan dan motivasi kelompok tidak akan eksis tanpa tujuan. Individu bergabung dengan kelompok untuk mencapai tujuan yang tidak mampu dicapainya sendiri.20 Individu yang bergabung dalam kelompok Jama’ah
17
Al- Banna, H. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Era Intermedia. Solo: 1998. Cartwright dan Sander dalam Johnson, D. W., & Johnson, F. P. 1991. Op. Cit. 19 Mahmud, A. H. Ikhwanul Muslimin Konsep Gerakan Terpadu. Cetakan ke dua. Gema Insani press. Jakarta: 1999 20 Johnson, D. W., & Johnson, F. P. Joining Together. Group Theory & Group Skills. USA: 1991. Prentice Hall Inc 18
30
muslim Tarbiyah, sebagian besar berasal dari universitas-universitas sekuler, beberapa peneliti yang mengamati pertumbuhan kelompok ini menyatakan bahwa secara internal terjadi “kehausan” akan nilai-nilai Islam dikalangan mahasiswa muslim dikampus-kampus sekuler, dan secara eksternal terjadi pengebirian politik kampus dengan adanya NKK/BKK (Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) pada tahun 1978, sehingga tempat yang paling aman untuk mengekspresikan kegelisahan pikir dan idealisme mereka adalah di masjid-masjid kampus.21 Kebutuhan individu ini kemudian bertemu dengan tujuan kelompok yang banyak diinspirasi oleh pemikiran Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tujuan kelompok tarbiyah yang terkait dengan individu adalah:22 a. Membentuk kepribadian islami: secara ideologis (aqidah), ibadah, pemikiran dan wawasan, moral dan etika (akhlak), gerakan, menejerial keorganisasian; b.
Mengukuhkan
makna
persaudaraan
(ukhuwah) dalam
diri
anggota,
persaudaraan karena Allah, karena Islam dan semangat untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran; c. Melatih diri untuk mengemukakan pendapat secara bebas, mau mendengar pendapat orang lain dengan lapang dada dan tidak fanatik atau membanggakan pendapat sendiri;
21
Damanik, A.S. Fenomena Partai Keadilan. Transformasi 20 tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Penerbit Teraju. Jakarta: 2002.
22
Mahmud, A. H. Ikhwanul Muslimin Konsep Gerakan Terpadu. Cetakan ke dua. Gema Insani press. Jakarta: 1999
31
d. Memberdayakan setiap anggota agar mampu mendidik dirinya sendiri, berangkat dari asumsi bahwa dirinyalah yang paling tahu kebutuhan dan potensi, serta keahliannya; e. Bekerjasama antar anggota untuk mengembangkan diri dengan pelatihan; f. Bekerjasama dengan anggota untuk memecahkan berbagai problematika dan kendala yang menghadang aktifitas Islam; g. Bekerja untuk mengkader atau membina orang lain agar mampu memimpin, membina dan mengkader orang lain; Tujuan yang terkait individu ini menampakkan bahwa perilaku kebaikan, perilaku menolong, kerja sukarela atas nama Islam dan atas nama Tuhan adalah tujuan dan nilai-nilai motivasi yang terus-menerus dibagi dalam kelompok. Fungsi-fungsi dari aktifitas sukarela23 adalah
1) Kerja sukarela memberi
kesempatan individu untuk mengekspresikan nilai-nilai yang diyakininya, yang berkaitan dengan kesejahteraan orang lain, 2) Memberikan waktu dan tenaga untuk melayani organisasi sebagai fungsi dan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial, 3) Untuk meningkatkan karir, 4) Sebagai fungsi dari perhatian terhadap komunitas. 5) Relasi struktural. Interaksi individu-individu dalam kelompok umumnya terstruktur dalam norma dan nilai-nilai yang kemudian mengatur anggotanya.24 Norma-norma dan nilai-nilai yang menjadi orientasi individu-individu dalam gerakan tarbiyah, adalah nilai-nilai dan norma-norama Islam (Al Qur’an dan Hadits). Aturan, norma dan nilai-nilai yang senantiasa di 23
24
Snyder, dkk. Sacrificing Time and Effort for the Good of Others: The Benefit and Cost of Volunterism. Dalam Miller, G. Arthur. (ed). The Social Pychology of Good and evil. Guilford Press. New York: 2004. Mc David, dalam Johnson, D. W., & Johnson, F. P. Joining Together. Group Theory & Group Skills. USA: 1991. Prentice Hall Inc.
32
konsolidasi dalam kegiatan tarbiyah berdasarkan pemahaman bahwa Islam harus dipahami dan diterapkan dengan menyeluruh (kaffah) dimulai dari diri sendiri, didakwahkan kepada keluarga dan kemudian masyarakat dan ummat.25 1.7 Metode Penelitian 1.7.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi. Dalam kebudayaan Timur, perkawinan bukanlah ruang publik, ia adalah ruang privat yang nyaris tertutup bagi orang lain, oleh sebab itu pendekatan kuantitatif yang sifatnya verifikasi atau konfirmatori seringkali kurang mampu menangkap ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ sebuah fenomena bisa terjadi. Dengan alasan itulah peneliti memilih penelitian kualitatif untuk memahami fenomena perjodohan dikalangan kelompok jama’ah muslim Tarbiyah. Alasan lain digunakannya metode kualitatif karena dalam penelitian ini tidak dilakukan dalam rangka untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel, tidak menguji hipotesis dan bukan bertujuan untuk membuat sesuatu generalisasi.26 Dalam penelitian ini, penulis akan berusaha memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang obyek penelitian yaitu para anggota jama’ah muslim Tarbiyah yang dalam hal ini peneliti mengkhususkan perempuan lajang berusia 30 tahun keatas, mencoba memperoleh pemahaman yang holistik tentang sebuah fenomena perjodohan antar anggota jama’ah muslim Tarbiyah yaitu bagaimana anggota jama’ah memaknai proses perjodohan melalui BKKBS. dari sanalah nanti 25
Mahmud, A. H. Ikhwanul Muslimin Konsep Gerakan Terpadu. Cetakan ke dua. Gema Insani press. Jakarta: 1999 26 Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Tarsito. Bandung: 1998.
33
diharapkan dapat mengeksplorasi otoritas serta loyalitas anggota terhadap jama’ahnya. Studi fenomenologi menggambarkan makna dari pengalaman kehidupan beberapa anggota jama’ah
Tarbiyah
tentang konsep
perjodohan,
yang
mengeksplorasi struktur kesadaran dari kesadaran anggota jama’ah atau pengalaman internal dari kesadaran akan sebuah makna perjodohan oleh jama’ahnya. Fenomenologi menjelaskan pula konsep das sein atau being there yakni dialog seorang anggota jama’ah dengan dunianya, sehingga cara ini memungkinkan memotret fenomena perjodohan ini dengan pandang dunia dari dalam. 27 Untuk mendapatkan
pandang dunia dari
dalam tersebut, metode
fenomenologi menggunakan beberapa proses inti: epoche, redustion, imaginative variation, dan synthesis of meaning and essences.
28
Epoche adalah kata dalam
bahasa Yunani yang berarti ‘menyingkirkan’ prasangka, bias dan bentuk-bentuk opini tentang sesuatu. Sehingga peneliti diharuskan melihat, memperhatikan, menjadi peka terhadap fenomena perjodohan dalam sebuah jama’ah Tarbiyah ini, tanpa melibatkan prasangka terhadap apa yang dilihat, dipikirkan, dibayangkan atau dirasakan.
27
Polkinghorne, D.E. Phenomenological Research Method. In R.S. Valle & S. Halling (ed) Existensial-phenomenological perspective in Pscychology. 41-60. Plenum. New York: 1989. 28 Moustakas, C. Phenomenological Research Method. Sage Publication. Thousand. Oak: 1994.
34
1.7.2. Unit Analisis Unit analisisnya adalah perempuan yang diteliti dalam jama’ah muslim Tarbiyah. Dalam penelitian ini cara pengambilan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling yakni informan ditentukan secara sengaja yang dalam hal ini ada enam informan utama yang peneliti tentukan secara sengaja. Teknik snowball sampling peneliti gunakan yakni didasarkan petunjuk dari individu sebagai informan kemudian individu tadi diminta menunjuk lagi orang yang sekiranya dapat diwawancarai, demikian seterusnya dan dalam hal ini peneliti terapkan kepada kedelapan informan pendukung. Sumber data primer dalam penelitian kualitatif ini adalah individu, informan adalah individu yang menyediakan informasi yaitu para anggota jama’ah muslim Tarbiyah. Dalam penelitian ini, informan dikategorikan menjadi dua yakni informan utama dan informan pendukung. Informan utama menyediakan informasi melalui interviu formal dan percakapan informal sekaligus nonverbal seperti cara bicara dan hal-hal yang terkait dengan perilakunya, dalam hal ini informan utama adalah akhwat diatas 30 tahun yang pernah mengalami proses dijodohkan melalui BKKBS, sedangkan informan pendukung adalah perempuan lajang dengan beragam usia dan pengurus BKKBS termasuk murobbi/murobbiyah sebagai pihak yang menjodohkan. Informan uatama berbeda dengan lainnya berdasarkan posisinya dan hubungan yang terjalin dengan peneliti yakni lebih intensif dan lebih dekat. Dalam penelitian ini dua macam jenis informan yaitu yang dijodohkan dan yang mengelola lembaga perjodohan. Informan utama dalam penelitian ini yakni yang tergabung dan mengikuti tarbiyah secara intensif
35
minimal 7 tahun, dengan asumsi telah berinteraksi intensif dengan kelompok dimana individu tersebut bergabung menjadi anggota, belum menikah di atas usia 30 tahun.
1.8 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian,
karena
tujuan
utama
penelitian
adalah
mendapatkan
data.
Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, sumber dan cara. Namun secara umum terdapat empat macam teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yaitu; observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka.29 Dalam penelitian ini penulis melakukan teknik pengumpulan data mencakup empat hal, yaitu: a. Observasi Penulis telah melakukan observasi partisipan lebih kurang dua tahun dengan masuk menjadi anggota kelompok halaqoh jama’ah muslim Tarbiyah. Melakukan banyak pengamatan, pendekatan dan berpartisifasi secara langsung disetiap kesempatan. Sehingga penulis memperoleh gambaran yang luas dan mendalam terkait perjodohan. b. Wawancara Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dan informan yang dalam hal ini adalah jama’ah perempuan. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
29
Sugiyono. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Alpabeta. Bandung: 2010.
36
adalah wawancara mendalam, wawancara tak terstrukur, dan wawancara bebas. Peneliti melakukan wawancara secara mendalam kepada enam informan utama. Sebelumnya peneliti telah melakukan pendekatan secara emosi dengan informan sehingga tidak ada lagi kecanggungan dan informan lebih leluasa mengeksplor pengalaman internalnya dalam jama’ah terutama dalam proses perjodohan yang pernah dilaluinya dalam BKKBS. Dalam penelitian ini, wawancara menggunakan beberapa instrumen yaitu berupa panduan wawancara, catatan lapangan dan alat perekam audio. Instrumen tersebut digunakan untuk mempermudah dan memperjelas data yang diperoleh dari kegiatan wawancara. Sehingga data yang didapat dari kegiatan wawancara tersebut akan akurat dan lebih valid. c. Dokumentasi Dokumentasi dalam penelitian ini menggunakan semua data sekunder. Teknik dokumentasi ini dilakukan untuk mendapatkan data pendukung bagi lengkapnya penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Pengumpulan data ini dapat bersumber dari berbagai dokumen yang berhubungan dengan penelitian. Baik yang berasal dari dokumen resmi DPD PKS Sleman maupun BKKBS. e. Studi pustaka Studi pustaka diperlukan untuk menambah referensi yang relevan dan berkaitan dengan penelitian. Referensi tersebut berasal dari buku, jurnal, artikel, majalah, surat kabar, dan hasil browsing di internet serta karya ilmiah lain yang relevan dengan penelitian. Referensi tersebut digunakan untuk mendukung peneliti dalam menyusun laporan penelitian.
37
1.9. Teknik Analisa Data Dalam penelitian kualitatif terbagi dalam tiga tahap analisa data:30 a. Pemprosesan Satuan (Unityzing). Pada tahap ini peneliti melakukan penyajian informasi melalui bentuk teks naratif terlebih dahulu. Artinya data mengenai makna perjodohan dalam jama’ah muslim Tarbiyah akan peneliti sajikan dalam bentuk cerita. Kemudian data tersebut akan diringkas dan disajikan dalam bentuk kalimat yang dapat dimengerti. b. Penyajian Data (Display Data). Pada tahap ini peneliti selalu melakukan uji kebenaran disetiap makna yang muncul dari data mengenai makna perjodohan dalam jamaah muslim Tarbiyah. Setiap data yang menunjang fokus penelitian akan disesuaikan kembali dengan data-data yang didapat dan juga melalui diskusi dengan Pembina (murobi/ah) ataupun dengan perempuan lajang (akhwat) yang sudah beberapa kali berproses dalam perjodohan di BKKBS. c. Kesimpulan. Proses
ini
menggunakan
metode
deskriptif
semata-mata
yang
menggambarkan dan menceritakan penelitian yang sesuai dengan permasalahan di atas. Tentang apa-apa yang berhasil dimengerti berkenaan dengan persoalan makna perjodohan bagi anggota, sehingga lahirlah kesimpulan yang komprehensif dan mendalam.
30
Susanto, Metode Penelitian Sosial, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS, Surakarta: 2006
38
1.10. Sistematika Penulisan Adapapun urutan penyajian laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I. Pada pendahuluan ini akan diuraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian dan yang terakhir adalah sistematika penulisan. BAB II. Deskripsi singkat mengenai sejarah BKKBS. BAB III. Deskripsi mengenai pemaknaan perjodohan melalui BKKBS. BAB IV. Deskripsi tentang otoritas perempuan lajang diatas 30 tahun dalam proses perjdohan di BKKBS. BAB V. Merupakan kesimpulan dari bab sebelumnya sekaligus penutup tulisan karya ilmiah.
39