BAB I Pengantar
“Gerindra Menang, Prabowo Presiden!” (Slogan Partai Gerindra Menuju Pemilu 2014)
A. Latar Belakang Momen pemilihan umum merupakan sebuah momen yang secara berkala diselenggarakan oleh sebuah negara demokratis. Penyelenggaraannya merupakan sebuah simbol dianutnya sistem politik demokrasi di suatu negara. Pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal. Pertama, pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, pemilu menjadi indikator Negara demokrasi. Bahkan tidak ada satupun Negara yang mengklaim dirinya demokratis tanpa melaksanakan pemilu sekalipun Negara itu pada hakikatnya adalah otoriter (Pamungkas, 2009). Dalam sebuah Negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu pilar utama dari sebuah proses akumulasi kehendak masyarakat (Sardini, 2011). Partai Politik dan pemilu adalah dua bagian tak terpisahkan. Sebagai sebuah negara penganut demokrasi, keberadaan partai politik dan pemilu adalah sebuah keniscayaan, bagai dua sisi mata uang. Partai politik merupakan salah satu bagian dalam infrastruktur sebuah negara demokrasi. Partai politik adalah sebuah organisasi yang melakukan rekrutmen untuk mengikuti pemilihan (election) dan menduduki kekuasaan di pemerintahan. Dalam pengertian ini, paling tidak kita mendapatkan satu kunci bahwa partai politik pada dasarnya memang tercipta untuk memburu kekuasaan, terutama di saat momen-momen pemilu (electoral moment). 1
Dalam salah satu dinamikanya, momen pemilu selalu memunculkan partai-partai baru yang juga masuk dalam arena politik untuk meramaikan pertarungan memperebutkan kekuasaan di negeri ini (Pamungkas, 2011).1 Pada pemilu 2004 lalu, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) muncul sebagai partai baru yang meramaikan arena dan cukup berhasil meraup suara pemilih. Pada pemilu 2009, dua partai baru pun muncul yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), yang lolos verifikasi KPU dan secara mengejutkan mampu melampaui Parliamentary Threshold pada pemilu legislatif dan menduduki kursi parlemen. Menjelang pemilu 2014 lalu, partaipartai baru pun bermunculan. Tercatat ada 14 partai baru yang mendaftarkan diri pada Kementerian Hukum dan HAM, dan hanya Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang lolos menjadi peserta pemilu dan berhasil melaju ke parlemen. 2 Arena pertarungan partai politik memang jauh lebih terasa kuat pasca reformasi. Sebelum reformasi, jumlah partai politik dan organisasi politik dibatasi oleh kekuasaan pemerintah dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Keran demokrasi yang mengucur bebas membuat banyak pihak beramai-ramai membentuk partai politik. Perubahan mendasar dalam sistem politik ini disertai perubahan besar pada sistem pemerintahan Indonesia. Pasca amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, konstitusi dasar Indonesia tersebut menyepakati perubahan pada sistem pemilihan presiden dan wakil presiden dari dipilih oleh MPR menjadi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. 3 Dalam konteks ini, perubahan konstitusi menyebabkan penguatan sistem presidensial dalam sistem pemerintahan Indonesia. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung ini akhirnya mengubah manuver partai politik yang tadinya hanya fokus berburu kekuasaan di legislatif saja, menjadi 1
Sigit Pamungkas menjelaskan bahwa fenomena suksesnya partai baru masuk ke parlemen telah terjadi pasca reformasi. Sepanjang 4 kali penyelenggaraan pemilu legislatif pasca reformasi selalu terjadi fenomena demikian. Baca : Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia. Institute for Democracy and Welfarism : Yogyakarta, halaman 197-200. 2 Dikutip dari kompas.com pada bulan Juni 2014. 3 Pasal 6A Ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
2
ikut berburu kekuasaan baik di legislatif maupun eksekutif. Kekuasaan eksekutif menjadi salah satu target kekuasaan bagi partai. Jabatan presiden dan wakil presiden menjadi sebuah primadona untuk diperebutkan oleh partai-partai yang ada. Kekuasaan presiden yang sangat besar dan setara dengan kekuasaan legislatif, menjadi sebuah daya tarik bagi partai politik. Pasca perubahan UUD 1945 dan pengumuman pelaksanaan pilpres langsung, tercatat ada beberapa partai baru yang diindikasikan didirikan dengan tujuan mengejar kekuasaan eksekutif. Partai Demokrat yang mengusung SBY, Partai Gerindra yang mengusung Prabowo, serta Partai Hanura yang mengusung Wiranto, adalah partai-partai baru yang disebut-sebut secara kuat bertujuan mengusung capres-capres. Keberadaan partai tersebut identik kuat dengan keberadaan seorang tokoh Tokoh Sentral yang menjadi veto player partai. Hal ini menunjukkan motif Partai Presiden dalam proses dan motif pendirian partai. Artinya mereka sejak awal teridentifikasi sebagai Partai Presiden. Meskipun partai-partai lama juga menunjukkan manuver serupa, namun fenomena Partai Presiden terlihat kuat pada partaipartai baru tersebut sejak awal pendiriannya. Partai-partai lama pun mengalami kecenderungan bergerak ke arah Partai Presiden (Ufen, 2006). Pada tahun 2008 lalu, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) muncul sebagai salah satu partai yang mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden RI. Sejak awal kemunculannya, partai ini secara terang-terangan mengatakan pada publik akan membawa Prabowo Subianto menjadi presiden melalui pilpres. Partai Gerindra, memang tidak lepas dari sosok Prabowo Subianto. Sejak awal muncul, partai ini beriklan di televisi dengan memunculkan sosok Prabowo Subianto sebagai tokoh utama yang mempromosikan organisasi politik baru ini. Indikasi bahwa partai ini bertujuan kuat untuk membawa nama Prabowo Subianto ke panggung politik nasional secara terbuka menjadi dugaan yang kuat. Dalam konteks Partai Gerindra, Prabowo Subianto menjadi Tokoh Sentral kuat dari elit partai dan menjadi tokoh sentral untuk dicapreskan dari Partai Gerindra. Kecenderungan fenomena
3
Partai Presiden inilah yang teridentifikasi kuat berada dalam tubuh Partai Gerindra. Fenomena ini yang kemudian membuat penulis memilih Partai Gerindra untuk dijadikan obyek kajian. Tulisan ini akan melacak lebih jauh bagaimana fenomena Partai Presiden (Presidentialized Party) berlangsung di Partai Gerindra. Tulisan ini akan menelusuri bagaimana motif politik utama pembentukan Partai Gerindra dalam konteks Presidentialized Party. Sebagai partai yang disebut-sebut dibentuk hanya untuk mencalonkan presiden, Partai Gerindra saat itu dihadapkan pada sebuah upaya untuk memenangi pemilu eksekutif yang digelar pada tahun 2009 dan 2014 lalu. Tentunya, banyak hal yang akan dilakukan oleh partai untuk mencapai tujuannya menguasai eksekutif. Dari sinilah satu hal menarik dapat dilihat bahwa dinamika partai ini jauh lebih kuat di arena perebutan jabatan eksekutif dibandingkan legislatif. Pada pemilu 2009, Prabowo dicalonkan menjadi wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri dari PDIP. Namun pasangan ini kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono. Pada pemilu 2014 lalu, pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto - Hatta Rajasa yang diusung oleh Partai Gerindra bersama keenam partai lainnya (Golkar, PAN, PPP, PKS, Demokrat, dan PBB), kembali gagal untuk memenangi pemilu. Pasangan tersebut kalah dengan selisih sekitar 8 juta suara dari pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang diusung PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura. Kegagalan ini kemudian menandai bahwa momentum Partai Gerindra untuk mengusung Prabowo Subianto telah hilang. Sementara itu, Partai Gerindra selama ini disebut-sebut memiliki tujuan utama hanya untuk mempresidenkan Prabowo Subianto saja. Dengan habisnya momentum Gerindra untuk mempresidenkan Prabowo Subianto, maka partai ini dapat dikatakan telah kehabisan tujuan dan harus melakukan banyak pembenahan (evaluasi organisasi) dalam tujuan berpartainya kedepan. Dalam mempersiapkan diri dalam pemilu 2019 lima tahun mendatang,
4
tentunya partai ini harus mengubah manuver dan motifnya berpartai. Dinamika politik yang akan terjadi pada partai yang mengalami presidensialisasi ini mungkin akan sangat beragam dan kompleks. Hal ini akan menjadi hal menarik untuk dikupas.
B. Perumusan Masalah Pertanyaan besar (kunci) yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Bagaimana fenomena Presidentialized Party berlangsung di Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)?”
Untuk selanjutnya pertanyaan besar yang dirumuskan di atas dapat dibreakdown menjadi beberapa pertanyaan detail sebagai berikut : 1. Bagaimana konteks kemunculan dan perkembangan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dalam kerangka Presidentialized Party? 2. Bagaimana karakter dan pola pengorganisasian Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dalam kerangka Presidentialized Party?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui konteks kemunculan dan perkembangan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dalam kerangka Presidentialized Party. 2. Mengetahui karakter dan pola pengorganisasian Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dalam kerangka Presidentialized Party.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan bermanfaat sebagai berikut :
5
1. Bagi Ilmu Politik Tulisan ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta kajian dalam bidang Ilmu Politik dalam ranah kajian tentang kepartaian dan pemilu. Khususnya, tulisan ini dapat menjadi pemerkaya referensi terkait partai-partai yang dipresidensialisasikan (Presidentialized Party) yang masih sangat minim, terutama pada konteks Indonesia. 2. Bagi Akademisi dan Mahasiswa Tulisan ini dapat digunakan untuk memperdalam pengetahuan dan wawasan terkait pemilu dan kepartaian. Akademisi dan mahasiswa pun dapat merujuk pada tulisan ini untuk melakukan penelitian lebih mendalam terkait bahasan politik kepartaian dan pemilu, lebih khusus mengenai Presidentialized Party. 3. Bagi Partai Politik Tulisan ini dapat dipakai sebagai rujukan dan pertimbangan dalam proses pengorganisasian partai politik serta sebagai rujukan untuk strategi partai menuju pemilu, terutama jika partai bertujuan untuk mencalonkan kandidatnya menjadi Presiden. 4. Bagi Masyarakat Tulisan ini dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat secara umum maupun masyarakat pemilik hak pilih dalam pemilu.
E. Landasan Teori E.1. Definisi Partai Presiden (Presidentialized Party) Semenjak amandemen konstitusi, perkenalan tentang pemilihan presiden langsung dan penguatan sistem presidensial melalui penambahan kompleksitas cara impeachment, eksekutif telah tumbuh lebih kuat dalam hubungannya dengan parlemen (legislatif). Partai politik telah kehilangan saluran memilih presiden melalui Majelis
6
Permusyawaratan Rakyat karena kini calon presiden diusung langung oleh partai politik dan dipilih oleh rakyat (Ufen, 2006). Pemilihan presiden secara langsung telah mendorong terbentuknya partai sebagai kendaraan kandidat presiden. Partai semacam ini disebut sebagai Partai Presiden (Ufen, 2006 : 17). Partai presiden adalah partai yang dalam pendirian awalnya memang sengaja diciptakan untuk mengusung kandidat atau tokoh tertentu untuk menduduki jabatan eksekutif (presiden). Contoh paling baik dari Partai Presiden adalah Partai Demokrat yang didirikan dan fasilitasi pembentukannya oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Atau dengan kata lain, SBY adalah sang Tokoh Sentral dalam partai. Dalam sejarah politik Indonesia pasca reformasi, hanya Partai Demokrat sebagai Partai Presiden yang berhasil. Kondisi ini sangat kontras dengan masa sebelum reformasi dimana Partai presiden di masa pemilihan tidak langsung saat itu, menjadi tidak punya kekuatan apa-apa (Ufen, 2006 : 17). Partai presiden seperti partai demokrat tidak memiliki platform yang jelas dan masih kekurangan struktur organisasi kuat, terutama di bawah level nasional (level daerah). Pada kongres 2005 misalkan, Kristiani Herawati, istri Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil ketua partai, diberitakan merekayasa saudara iparnya agar menduduki jabatan tinggi di partai. Partai Demokrat mungkin akan bertahan selama Susilo masih bertahan di partai (Ufen, 2006 : 18).
7
Partai Presiden (Presidentialized Party)
Personalisasi dan Sentralisasi Tokoh oleh klien yang kuat
Elit Partai sebagai Klien. Klien sangat loyal kepada tokoh sentral
Aktivitas Utama Partai untuk Pengusungan Tokoh sentral
Tujuan Pemenangan Eksekutif lebih utama dibanding Pemenangan Legislatif
Platform Partai Kurang Jelas dan Struktur Organisasi Kurang Kuat
Diagram 1.1. Model Kerangka Pikir Karakteristik Fenomena Presidentialized Party
Selain partai presiden, ada istilah lain yang disebut presidensialisasi partai politik. Istilah ini lebih merujuk kepada proses dimana partai yang semenjak awal bukan bertujuan untuk mencalonkan tokoh tertentu dari partai untuk menduduki jabatan presiden, kemudian mengubah manuver dan tujuan politiknya menjadi mengejar kekuasaan eksekutif. Partai jenis ini dalam konteks Indonesia merujuk pada partaipartai “lama”, atau partai yang dari awal didirikan dengan ideologi atau platform yang jelas. PDI-P, Golkar dibawah Jusuf Kalla, PAN dibawah Amien Rais, dan PKB di bawah Abdurrahman Wahid – disebut dipresidenkan (presidentialized) atau mengalami presidensialisasi karena mereka menyiapkan pemimpin kharismatik mereka (atau kandidat dadakan) untuk pemilihan presiden dan mengorganisisr mesin partai untuk
8
mewujudkan tujuan tersebut. Hasil dari proses ini adalah personalisme authoritarian (Ufen, 2006 : 18).
E.2. Konteks Kelahiran Partai Presiden (Presidentialized Party) Ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang munculnya partai politik (Surbakti, 2010 : 113). Pertama, teori kelembagaan. Teori ini mengatakan bahwa kemunculan partai politik karena dibentuk oleh kalangan legislatif untuk mengadakan kontak dengan masyarakat. Kedua, teori situasi historik. Teori ini mengatakan bahwa timbulnya partai politik sebagai upaya untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan masyarakat secara luas, yaitu berupa krisis legitimasi, integrasi dan partisipasi. Untuk mengatasi hal itu dibentuk partai politik. Ketiga, teori pembangunan. Teori ini melihat bahwa munculnya partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi. Menurut Mufti (2013), partai politik adalah institusi yang (a) mencoba mendapatkan pengaruh dalam sebuah negara, kerap dengan mencoba menguasai posisi dalam pemerintahan, dan (b) biasanya mengandung lebih dari satu kepentingan tunggal dari masyarakat dan pada tingkat tertentu berusaha “mengumpulkan kepentingan”. Dalam definisi tersebut, jika dikaitkan dengan konteks partai presiden, partai memang memiliki tujuan untuk menguasai salah satu atau beberapa posisi dalam pemerintahan, termasuk eksekutif. Definisi Mufti tersebut setara dengan definisi Joseph Schlesinger (1991) : “Partai politik adalah kelompok yang terorganisir untuk mendapatkan kontrol atas pemerintahan atas nama kelompok itu dengan memenangi pemilihan jabatan-jabatan publik”. Pendapat semacam ini pun dimiliki Epstein (1980) dan Aldrich (1995). Meskipun begitu, dari banyaknya pendapat yang
9
berkembang, para ilmuwan politik saat ini sedang memberikan banyak perhatian terhadap bagaimana partai-partai modern bekerja.
Diagram 1.2. Model Kerangka Pikir Definisi ParPol Dalam Konteks Partai Presiden
Definisi Partai Politik dan Motif Partai Politik dalam Konteks Partai Presiden
Schlesinger : Mendapatkan kontrol atas pemerintahan dengan memenangi jabatan-jabatan publik
Mufti : Mencoba menguasai posisi dalam pemerintahan & mengumpulkan kepentingan
Berhubungan dengan Fenomena Partai Presiden
Istilah Presiden sudah menjadi sebuah kata yang akrab dengan telinga kita sebagai warga negara Indonesia. Dengan sistem pemerintahan presidensiil (presidensial) yang kita anut sekarang, maka jabatan presiden adalah posisi nomor satu dalam tata pemerintahan Republik Indonesia. Artinya, pemegang jabatan presiden adalah kepala negara plus kepala pemerintahan. Istilah Presidensialisasi Partai Politik dapat dilihat sebagai bentuk penyatuan dua makna kata yaitu presidensial dan partai politik. Istilah presidensial merujuk pada sistem pemerintahan presidensial
(presidensiil).
Sistem
pemerintahan
presidensial
adalah
sistem
pemerintahan yang menempatkan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dan kekuasaan presiden (eksekutif) terpisah dari kekuasaan legislatif (DPR/DPD) dan yudikatif (MA/MK/KY). Indonesia telah menganut sistem 10
pemerintahan presidensiil sejak sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Meskipun Indonesia sempat “mencicipi” sistem pemerintahan parlementer dalam masa demokrasi parlementer 1950-1959, namun itu akhirnya membuat Indonesia sadar bahwa sistem pemerintahan presidensial yang paling tepat. Pasca reformasi, terdapat agenda kuat untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial dan diwujudkan dalam empat kali amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sesungguhnya agenda besar dari amandemen UUD 1945 adalah demokratisasi, yang salah satunya adalah demokratisasi di bidang kekuasaan antar lembaga negara. Demokratisasi dalam bentuk pembagian kekuasaan yang tegas dan jelas antara lembaga-lembaga
negara
sudah
dilakukan.
Kemudian
salah
satu
upaya
pendemokrasian dan penguatan lembaga eksekutif ini dilakukan dengan mekanisme pemilihan kepala eksekutif secara langsung oleh rakyat. Ini adalah upaya penguatan legitimasi terhadap pemerintahan yang sebelumnya kehilangan citra akibat otoritarian kekuasaan selama 32 tahun.
Penguatan Sistem Presidensial
Pesona Presidensialisme
Amandemen UUD 1945
Diagram 1.3. Model Kerangka Pikir Proses Perubahan Struktur Konstitusi
Menurut Samuels (2002), selama beberapa dekade ilmuwan politik telah mengabaikan kemungkinan bahwa perbedaan dalam struktur konstitusional mungkin mempengaruhi asal-usul partai, organisasi, dan perilaku partai. Di bawah
11
parlementarisme, partai berusaha untuk memenangkan kursi legislatif; penargetan eksekutif adalah bersifat langsung dan bahkan merupakan akibat dari pembentukan pasca Pemilu dari koalisi pemerintah. Dibawah presidensialisme, kemungkinan mendapatkan kekuasaan eksekutif secara langsung mengubah organisasi dan pendanaan partai. Memenangkan kekuasaan eksekutif membuat partai mampu mewujudkan tujuannya. Ketika partai ingin memenangkan kekuasaan eksekutif, partai akan mengorganisasi diri dan mengubah arah strategi pemilu daripada ketika mereka hanya mengejar legislatif. Strom (1990) mengatakan bahwa pengejaran kekuasaan eksekutif akan membuat intensitas partai dalam mencari suara menjadi lebih besar. Meskipun begitu, menurut Samuels (2002), pengaruh presidensialisme terhadap partai ini masih sangat kompleks.
Diagram 1.4. Model Kerangka Pikir Pengaruh Struktur Konstitusional Terhadap ParPol
Perubahan Perilaku, Organisasi, dan Motif Partai Politik
Perubahan Struktur Konstitusional
Konsep David J. Samuels 2002
Perubahan rezim kekuasaan mengakibatkan perubahan sistem politik. Sistem politik sendiri akhirnya berpengaruh pada sistem pemerintahan. Berbagai dinamika dalam sistem pemerintahan inilah yang kemudian juga turut mempengaruhi prosesproses elektoral yang berlangsung di ranah intermediary. Pada setiap proses-proses elektoral terutama pada konteks Indonesia pasca reformasi, pembahasan calon
12
presiden hampir selalu mendahului pembahasan isu pemilu itu sendiri, baik untuk eksekutif (baca: pilpres) maupun legislatif.
Diagram 1.5. Model Kerangka Pikir Pengaruh Struktur Konstitusional Terhadap Perubahan Manuver ParPol
Perubahan Struktur Konstitusional
Pilpres Langsung
Penguatan Sistem Presidensialisme
Kekuasaan Presiden Besar
Pesona Eksekutif (Presiden)
Manuver Partai Memenangkan Kekuasaan Eksekutif
E.3.
Karakter dan Pola Pengorganisasian Partai Presiden (Presidentialized
Party) Partai presiden konsern memperjuangkan kebijakan tertentu. Dalam kasus ini, maka organisasi partai akan dikesampingkan dan tenggelam di dalam agenda setting dan ideologi partai (Samuels, 2002 : 471). Pemilihan presiden, terutama pada sistem 2 putaran (two round system), semakin mengaburkan pembagian ideologi. Pasangan presiden dan wakil presiden semakin kabur batas ideologi-religiusitas dan geografinya.
13
Hal inilah yang menjadikan banyak bentuk koalisi yang terbentuk pada dua kali ronde pemilu pada pilpres 2004. Poguntke dan Webb (2005) menyatakan bahwa presidensialisasi juga justru terjadi di sistem non-presidensial. Alasan pertama karena internasionalisasi politik modern yang dibarengi oleh “bias eksekutif” proses politik. Kedua, karena menurunnya stabilitas garis politik yang mengurangi loyalitas partai tradisional. Ketiga, karena meningkatnya kapasitas pemimpin politik untuk “melewati” mesin partainya dan memunculkan daya tarik ke publik secara langsung. Faktor-faktor ini memiliki pengaruh pada perkembangan partai di era demokrasi ini (Poguntke dan Webb, 2005). Karakter Partai Presiden sungguh unik, tepat pada pertengahan periode pemerintahan (saat pemerintahan telah berjalan separuh periode), agenda-agenda elektoral mulai dimainkan baik oleh individu politisi di parlemen ataupun di pemerintahan (party in government) maupun partai secara organisasi (party as organisation) pada Partai Presiden (Kawamura, 2013). Namun, yang terjadi adalah pola presidensialisasi partai politik yang membentuk Partai Presiden. Presidensialisasi adalah bukan sekadar personalisasi yang menjadi ciri pengelolaan partai sejak pemilihan langsung 2004. Artinya, presiden menjadi sumber legitimasi elit dalam partai (Kawamura, 2013). Dulu Riswanda Imawan (dalam Budi, 2012) berujar bahwa rakyat Indonesia telah berpindah dari level supporter menjadi voter. Akan tetapi, kini, justru elite yang berpindah dari aktor menjadi suporter terhadap Tokoh Sentralnya (Budi, 2012). Untuk menjernihkan pemahaman ini, ada tiga cara untuk memahami parpol yaitu keanggotaan, kecenderungan aliran (bukan ideologi), dan perilaku. Pertama, berdasarkan kluster konstituen, Indonesia hanya memiliki tiga partai, yaitu partai
14
yang ”memakan” semua golongan, partai dengan representasi kelas sosial, dan partai dengan diferensiasi paham masyarakat. Secara ideologi hanya ada dua: partai nasional dan partai agama. Dalam kategori perilaku, kita hanya punya satu partai: partai elite. Realitas kutu loncat atau perpindahan politisi dari satu partai ke partai lain sekalipun memiliki pertentangan arus aliran, menunjukkan tidak ada loyalitas lembaga, yang ada adalah loyalitas terhadap presiden (presidency loyalty). Perpindahan politisi ini yang menjelaskan terpecahnya suara (split voting) dalam pemilu, yaitu orang yang memilih partai tertentu di level daerah, belum tentu memilih partai yang sama di level pusat. Kemudian, semakin jelas jika dihadapkan antara pilihan legislatif (partai) dan eksekutif (presiden). Presidency loyalty itulah yang menjelaskan kemunculan pernyataan politisi yang mendeklarasikan diri sebagai klien atas Tokoh Sentral yang sedang berkuasa, bukan anggota, apalagi aktor politik. Muara atas hal ini cukup fatal: parpol bukan menjadi organisasi politik, melainkan pelembagaan kepentingan yang membajak demokrasi dengan pola dan motif pemburu rente. Tak mengherankan jika ada banyak ”partai faksi” yang muncul pasca kongres partai atau kekalahan dalam pilpres (Budi, 2012). Berbeda dengan parlementarisme, presidensialisme kita memungkinkan partai mengejar kursi eksekutif langsung sehingga orientasi kebijakan dan tujuan bisa jadi terletak pada perolehan kursi eksekutif, bukan legislatif. Ini yang menjelaskan pilpres bukan sekadar prestise partai sebagai organisasi, melainkan bagian dari driving goals. Perilaku partai mengikuti logika ini (Kawamura, 2013). Jika partai kalah di perolehan kursi terbanyak parlemen, belum tentu dia kalah untuk memimpin penyelenggaraan negara pasca-pemilu karena ruang menangkap kursi eksekutif bisa dilakukan tanpa menggantungkan pada proses pemilu legislatif yang sekuensial (Samuels, 2002).
15
Menurut David Samuels (2002) dalam tulisannya berjudul Presidentialized Parties, formasi konstitusional berimbas pada perilaku parpol. Thomas Poguntke and Paul Webb (2007) dalam tulisannya berjudul Presidentialization of Politics, misalnya, membeberkan pengalaman di 14 negara Eropa dan Amerika bahwa pemimpin eksekutif, baik dalam konsep presidensial maupun parlementer, punya otonomi yang semakin luas untuk tak selalu mengonfirmasi keputusan politiknya dengan elite (pemimpin politik) di partai ataupun secara organisasional dengan partai asalnya. Hal ini berlaku sama di Indonesia ketika semua elit mengamini struktur budaya paternalistik (atau maternalistik pada periode 2002-2004 yang terjadi) di lembaga partai. Akhirnya, perwajahan Tokoh Sentral-klien yang dominan sepanjang rezim Soeharto di level negara kini terdesentralisasi ke dalam tubuh parpol, yaitu ada dua pilihan: paternalistik atau maternalistik (Budi, 2012). Dua pilihan ini berkarakter sama selain hanya soal seksologi pucuk pemimpin yang membedakan. Artinya, hasil survei yang menunjukkan sebuah partai mempunyai elektabilitas tinggi sama sekali tak menjamin capres yang diusung dari kader partai terkait akan bernasib baik. Salah jika partai harus dengan teguh menginginkan hanya dari kadernya yang pantas dicalonkan. Gerindra, misalnya, hanya mendapatkan suara kecil jauh di bawah tiga partai
besar,
tetapi
Tokoh
Sentral
partai
Prabowo
Subianto
berada
di
posisi puncak dalam semua survei. Kita tak bisa mereplikasi logika parlementer dalam beberapa otoritas dan privilese yang dimiliki presidensialisme. Apalagi, koalisi yang dibangun dalam perebutan kursi eksekutif (baca: presiden) didasarkan pada pembagian kue kekuasaan, sama sekali tak ada perbincangan ideologi apalagi tentang platform (Budi, 2012). Sesekali memang membangun konsensus bersama, konsensus dalam pola ini hanya mensyaratkan dua hal: hanya menyangkut isu publik yang dianggap populer
16
atau strategis bagi pemangku kepentingan koalisi dan isu yang menyangkut nasib (elite) partai dalam koalisi. Presidensialisme mendorong partai pada vote-seeking behavior atau perilaku partai apa pun bentuknya ditujukan untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya (Samuels, 2002). Kecenderungan presidensialisasi partai akhirnya membagi parpol dalam tiga model: partai yang terbajak elite, partai yang mencari elite, dan partai yang mencari partai lain (Arya Budi, 2012). Fakta di Indonesia menunjukkan dari partai atau elemen mana pun kandidat eksekutif berasal, dia akan berakhir sama: manajer sebuah negara. Sekali lagi, yang akan hadir kemudian adalah state manager bukan state leader. Pemimpin eksekutif (baca: presiden) cukup memastikan warga negara bisa kenyang dan aman. Sepanjang dua hal ini diupayakan, maka dianggap tidak perlu untuk mengambil posisi tegas dalam turbulensi ekstranasional. Proses penentuan capres dalam partai menunjukkan pola yang sama dengan rezim Soeharto: kronisme. Pola yang sudah lama kita hujat ketika negara mulai ditata dalam logika-logika demokrasi, seperti terselenggaranya tiga hal penting: pemilu yang sehat untuk memastikan hak politik setiap warga negara tak terbajak oligarki, proses pengambilan keputusan yang partisipatif melalui mekanisme bottom-up, dan kehadiran ruang-ruang deliberasi isu-isu publik di media sebagai bentuk amplifikasi rencana kebijakan negara. Namun, yang terjadi kini, kepemimpinan politik hadir atau dihadirkan tanpa proses klarifikasi sebagaimana tiga tatanan penting demokrasi tersebut. Alhasil, elite yang muncul akan bernasib kesepian karena dirinya tak merefleksikan kepentingan partai dan tak membangun jawaban atas kebutuhan rakyat. Sehingga hanya akan sampai pada kepemimpinan manajerial, bukan kepemimpinan rakyat. Jika bisa kita ambil contoh, kasus di Paraguay ketika Fernando Lugo dimakzulkan oleh parlemen karena pembelaannya pada rakyat kecil yang digusur oleh
17
perusahaan milik oposisi tak akan terjadi di Indonesia karena kepemimpinan yang dibangun adalah kepemimpinan manajerial. Pemimpin politik adalah elite penguasa. Fenomena presidensialisasi partai politik pasca reformasi melahirkan partaipartai presiden atau dalam bahasa lain disebut sebagai Partai Karismatik (Panebianco, 1988 : 145). Meskipun kedua istilah ini sebenarnya berbeda, namun menunjukkan karakteristik dan ciri khas yang sama. Dua terminologi yang pada dasarnya serupa ini merupakan jenis partai yang muncul pasca reformasi. Partai jenis ini muncul sebagai akibat problem institusionalisasi partai politik. Institusionalisasi partai politik pasca reformasi masih lemah dan kemudian berimplikasi secara lebih luas. Randall dan Svasand (2002, 12) mendefinisikan institusionalisasi sebagai proses pelembagaan partai dalam bentuk pola perilaku dan nilai serta budaya politik yang terintegrasi. Randall dan Svasand menyebut kandungan utama institusionalisasi partai, yaitu aspek internal-eksternal dan struktur-kultural. Jika kedua dimensi ini dipersilangkan, akan menghasilkan model sebagai berikut : (1) derajat kesisteman yang merupakan produk persilangan struktur-internal; (2) derajat identitas nilai hasil dari perkawinan aspek kultural-internal; (3) otonomi keputusan merupakan taerik menarikantara aspek eksternal dan struktural; (4) citra opini publik, yakni proses reifikasi partai hasil dari gabungan eksternal dan kultural. Diantara keempat dimensi kelembagaan partai itu, derajat kesistemanlah yang paling krusial dalam menentukan sehat tidaknya partai. Derajat kesisteman diukur melalui sejauh mana fungsi-fungsi partai berjalan, mekanisme transparansidalam pengambilan keputusan , dan bagaimana penyelesaian konflik internal sesuai dengan Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga. Derajat kesisteman juga mengatur kepatuhan dan disiplin organisasi terhadap keputusan yang sudah diambil secara kolektif sesuai dengan konstitusi partai sebagai aturan mainnya.
18
Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada 3 masalah utama yang menghalangi institusionalisasi partai (Muhtadi, 2015 : 100). Pertama, model genetik partai-partai kita secara umum lebih dipengaruhi oleh karisma figur. Kedua, ketersediaan sumberdaya, terutama pembiayaan partai, baik dari sisi kebutuhan operasional partai (party finance) maupun pemilihan umum (campaign finance). Ketiga adalah adalah masalah faksionalisasi. Menurut Muhtadi (2015 : 100), karisma figur mempengaruhi genetik partaipartai. Panebianco (1988 : 145), menyebut model ini sebagai partai karismatik yang ditandai oleh peleburan secara total identitas partai dengan pemimpinnya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah Megawati Soekarnoputri, Partai Demokrat adalah Susilo Bambang Yudhoyono, dan Partai Gerindra adalah titisan Prabowo Subianto merupakan sebagian contoh betapa partai sebagai institusi publik mengalami proses personalisasi. Derajat kesisteman sulit dilahirkan dalam kehidupan partai karena partai menjadi “properti” pemimpin karismatiknya. Akibatnya, kongres hanya sekedar menjadi “abdi dalem”, sedangkan jabatan kunci diserahkan ke formatur tunggal (Muhtadi, 2015 : 100). Partai kemudian hanya bertumpu pada personal appeals, bukan institusional appeals. Keberadaan veto player semacam ini memang mengurangi potensi konflik, meski cuma sementara. Model genetik Partai Golkar atau Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai pembanding, bukan merupakan jenis partai karismatik. Mereka tidak memiliki pemimpin yang punya magical ability (Etzioni., 1961) atau dalam istilah Willner (1984) adalah powerfull aura. Partai semacam ini diragukan punya nafas panjang. Model karismatik ini tak ubahnya sebuah fans club (Muhtadi, 2015). Konstitusi partai bisa disesuaikan dengan kemauan tokohnya. Loyalitas dan
19
Tokoh Sentralase kepada pemimpin lebih menentukan jenjang karir politik ketimbang meritokrasi.
F. Definisi Konseptual Definisi konseptual dirancang untuk memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai konsep-konsep yang hendak diteliti sehingga tidak menimbulkan interpretasi ganda dari variabel-variabel yang diteliti, adapun yang menjadi konsep dalam penelitian ini adalah : F.1. Konteks kemunculan Partai Presiden (Presidentialized Party) Kemunculan Partai Presiden diawali dengan perubahan struktur konstitusional di ranah negara khususnya dalam hubungannya dengan kekuasaan presiden. Persitiwa ini kemudian memunculkan pesona kekuasaan presiden yang berpengaruh pada perubahan
karakter
dan
perilaku
partai
politik,
hal
ini
disebut
sebagai
Presidentialization of Politics. Kemunculan partai-partai memiliki driving goals untuk mencalonkan tokoh tertentu menjadi presiden dalam arena elektoral. F.2. Definisi Partai Presiden (Presidentialized Party) Partai Presiden (Presidentialized Party) adalah partai yang sejak awal pendiriannya telah menunjukkan perilaku khusus untuk mengusung tokoh tertentu dalam partai untuk menduduki jabatan presiden (eksekutif), dimana karakter ini adalah akibat dari adanya Presidentialization of Politics yang terjadi pada partai-partai politik Indonesia pasca reformasi. F.3. Karakter dan Pola Pengorganisasian Partai Presiden (Presidentialized Party) Partai Presiden (Presidentialized Party) memiliki karakter-karakter seperti adanya fenomena Personalisasi dan Sentralisasi Tokoh oleh klien yang kuat , di dalamnya elit Partai berperan sebagai Klien dan Klien sangat loyal kepada Tokoh Sentral
20
Partai. Karakter lainnya adalah aktivitas utama partai untuk pengusungan Tokoh Sentral serta tujuan pemenangan eksekutif lebih utama dibandingkan pemenangan legislatif. Disamping itu, platform Partai Kurang Jelas dan Struktur Organisasi Kurang Kuat. Pola Pengorganisasian Partai Presiden dilihat dari pembuatan keputusan internal dan dan mekanisme pembiayaan partai yang semuanya tersentralisasi pada tokoh tertentu di lingkaran tokoh sentral partai. Pembuatan keputusan internal dimonopoli oleh Tokoh Sentral dan Tokoh Sentral menguasai pendanaan internal partai. Pola pengorganisasian juga dapat dilihat dari bagaimana partai berkoalisi, berstrategi, dan bermanuver untuk mewujudkan tujuannya.
G. Definisi Operasional G.1.
Konteks
kemunculan
Partai
Gerindra
sebagai
Partai
Presiden
(Presidentialized Party) Partai Gerindra sebagai Partai Presiden muncul sebagai akibat dari perubahan struktur konstitusional dalam bentuk Amandemen UUD 1945 yang memunculkan pesona kekuasaan presiden di Indonesia sehingga Partai Gerindra sengaja didirikan dengan driving goals untuk mencalonkan tokoh tertentu dalam pemilihan eksekutif (presiden). G.2.
Definisi Partai Gerindra sebagai Partai Presiden (Presidentialized Party) Partai Gerindra sebagai Partai Presiden adalah partai yang sejak awal
pendiriannya memiliki tujuan utama untuk mengusung tokoh tertentu yang merupakan Tokoh Sentral Partai Gerindra untuk maju dalam pemilihan presiden di Indonesia.
21
G.3.
Karakter
dan Pola Pengorganisasian Partai Gerindra sebagai Partai
Presiden (Presidentialized Party) Partai Gerindra memiliki karakter-karakter Partai Presiden, yaitu adanya Personalisasi dan Sentralisasi Tokoh oleh klien yang kuat, elit-elit Partai Gerindra adalah klien bagi seorang Tokoh Sentral, dan memiliki struktur organisasi kurang kuat dan platform partai kurang jelas. Segala aktivitas Partai Gerindra diorganisir untuk mencapai tujuan pemenangan sang Tokoh Sentral sebagai calon presiden. Pola Pengorganisasian Partai Gerindra dapat dilihat dari pembuatan keputusan internal dan mekanisme pembiayaan partai yang semuanya tersentralisasi pada tokoh Prabowo Subianto di lingkaran tokoh sentral partai. Pembuatan keputusan internal dimonopoli oleh Tokoh Sentral Prabowo Subianto dan Tokoh Sentral menguasai pendanaan internal partai. Pengorganisasian Partai Gerindra sebagai Partai Presiden juga dilihat dari bagaimana partai baik itu di parlemen (party in parliament) dan partai sebagai organisasi (party as organizations) merespon dan mengolah berbagai isu publik dan kebijakan publik untuk memenuhi tujuannya. Pengorganisasian Partai Gerindra kemudian dilihat dari bagaimana Gerindra bermanuver dan berstrategi untuk mewujudkan driving goalsnya dalam mempresidenkan Prabowo Subianto.
H. Metode Penelitian H.1. Metode Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui dua metode yaitu metode dokumentasi dan metode wawancara. Penulis mengkombinasikan keduanya karena kedua metode tersebut dapat saling melengkapi satu sama lain dalam menyajikan data dalam penelitian ini. 1) Dokumentasi Tertulis (Written Document)
22
Karena penelitian ini berusaha mengeksplorasi proses dan dinamika partai presiden, maka data historis atau kronologis menjadi penting. Dokumentasi data dilakukan dengan mengumpulkan beberapa buku teks, jurnal, artikel (artikel online atau artikel media massa), serta referensi-referensi terkait partai presiden untuk dianalisa dan ditelaah lebih lanjut. Media massa utama yang dijadikan acuan adalah Majalah Gema Indonesia Raya (GIR), Majalah TEMPO, dan Majalah GATRA. Pemilihan majalah Gema Indonesia Raya disebabkan karena majalah ini adalah majalah internal Partai Gerindra yang secara periodik mengupas berbagai aktivitas dan dinamika partai secara lengkap dan berkala. Pemilihan TEMPO dan GATRA disebabkan karena kredibilitas dan kedetailan informasi TEMPO dan GATRA dalam proses pemberitaan. Kemudian, jurnal utama yang diakses adalah berbagai jurnal ilmiah yang mengangkat kasus presidensialisme, presidensialisasi partai, dan Partai Gerindra. Acuan utama artikel online adalah Kompas.com dan Merdeka.com karena alasan kredibilitas, ketersediaan, dan keakuratan berita. Selain itu, pemilihan media massa online tersebut karena media massa tersebut paling banyak memblowup berita terkait Partai Gerindra. Buku teks yang dijadikan acuan adalah buku teks yang ditulis oleh ahli di bidang politik, hukum, sosial, atau sejenisnya yang mumpuni membahas tentang presidensialisme, Partai Presiden, presidensialisasi partai politik, dan Partai Gerindra. 2) Wawancara (interview) Data juga diambil menggunakan metode wawancara dengan Tokoh-tokoh yang berperan (tokoh-tokoh struktural) dalam Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Selain tokoh-tokoh struktural, penulis juga memilih tokoh-tokoh yang berperan dalam awal pembentukan Partai Gerindra. Pada awal penelitian, penulis berencana kuat untuk mewawancarai tokoh-tokoh berikut : a) Fadli Zon
23
Fadli Zon kini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Gerindra. Posisi Fadli Zon begitu penting, selain menjabat sebagai tokoh struktural partai yang telah banyak melewati dinamika perjalanan Partai Gerindra dari awal berdiri hingga saat ini, Fadli juga merupakan salah satu penggagas awal dan pencetus terbentuknya Partai Gerindra bersama dengan Hashim Djojohadikusumo. Pada awalnya penulis berencana mewawancarai beliau secara langsung dan tidak langsung. Proses komunikasi dilakukan dengan beliau namun tidak ada respon yang semestinya atau dapat dikatakan beliau kurang mau merespon. Wawancara pun hanya dilakukan satu kali waktu via sms (short message service), sehingga ketersediaan informasi sangat sedikit akibat ketidaksediaan informan. Disebabkan pertimbangan bahwa wawancara dengan beliau akan menjadi tidak efektif dan cenderung normatif, maka penulis memutuskan untuk menganalisis berbagai pernyataan beliau di media publik. b) Prabowo Subianto Prabowo Subianto kini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Gerindra menggantikan Almarhum Suhardi, setelah sebelumnya beliau pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Prabowo adalah calon presiden nomor urut 1 dari Koalisi Merah Putih dalam Pemilu Presiden 2014. Penulis berencana mewawancarai beliau secara langsung dan tidak langsung. Namun, menemui dan menghubungi Prabowo Subianto adalah kemungkinan yang sangat kecil. Berbagai metode telah dilakukan untuk menghubungi Prabowo namun tiada hasil dan tidak ada respon yang pasti. Dengan ketidakefektifan wawancara langsung yang direncanakan maka penulis memutuskan untuk menganalisis berbagai pernyataan beliau di media publik. c) Hashim Djojohadikusumo
24
Hashim Djojohadikusumo adalah seorang pengusaha, adik dari Prabowo Subianto. Penulis berencana mewawancarai beliau secara langsung dan tidak langsung. Proses komunikasi dilakukan dengan beliau namun tidak ada respon yang semestinya atau dapat dikatakan beliau kurang mau merespon. Disebabkan pertimbangan bahwa wawancara dengan beliau akan menjadi tidak efektif dan cenderung normatif, maka penulis memutuskan untuk menganalisis berbagai pernyataan beliau di media publik. d) Ahmad Muzani Ahmad Muzani adalah salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Gerindra periode 2014-2019. Ahmad Muzani adalah salah satu perumus pembentukan partai. Penulis berencana mewawancarai beliau secara langsung dan tidak langsung. Proses komunikasi dilakukan dengan beliau namun tidak ada respon yang semestinya atau dapat dikatakan beliau kurang mau merespon. Disebabkan pertimbangan bahwa wawancara dengan beliau akan menjadi tidak efektif dan cenderung normatif, maka penulis memutuskan untuk menganalisis berbagai pernyataan beliau di media publik. Penulis dalam berbagai kesempatan mampu mewawancarai Badan Komunikasi Partai Gerindra via media sosial Facebook, Twitter, dan Email. Selain itu penulis juga berkesempatan mewawancarai anggota dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra di Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga menjadi salah satu informan kunci dalam proses pembentukan Partai Gerindra. Wawancara dilakukan dengan bendahara dan sekertaris DPD Gerindra DIY, Bapak Septo Hartono dan Bapak Guntur Ayudhianto. Dalam metode pengumpulan data dalam bentuk wawancara, maka penulis menggunakan rumus 5W + 1H untuk mengajukan pertanyaan kepada narasumber yang bersangkutan. Pertanyaan dalam wawancara diformulasikan dari definisi operasional untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci dalam rumusan masalah.
25
Pertanyaan penelitian akan dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan tema pertanyaan yang akan diajukan, yaitu bagaimana konteks kemunculan Partai Gerindra sebagai Partai Presiden serta bagaimana karakter dan pola pengorganisasian Partai Gerindra sebagai Partai Presiden (Presidentialized Party)..
H.2. Metode Analisa Data Metode analisa yang digunakan adalah metode analisa kualitatif dengan perspektif interpretasi. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan pendekatan pelacakan proses (process tracking). Menurut Goldstone (2003), “pelacakan proses menyangkut upaya menganalisis suatu kasus dalam serangkaian peristiwa dan menunjukkan bagaimana peristiwa-peristiwa ini berkaitan dengan kepentingan dan situasi yang dihadapi oleh kelompok atau aktor-aktor individu”. Berikut adalah tahapan analisa data yang digunakan dalam penelitian ini (Mustika, 2004) : 1. Reduksi Data Proses membaca dengan hati-hati data yang terekam dalam literatur untuk kemudian diidentifikasi dan dikategorisasi. Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Ia merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian data mana yang diperlukan, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah
bagian yang tersebar, cerita apa yang sedang berkembang, semuanya itu
merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. 4 Dalam konteks Partai Presiden, segala temuan di lapangan baik itu dari
4
Mustika Zed. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan.. Yayasan Obor Indonesia : Jakarta (Hal 19)
26
wawancara maupun dokumen-dokumen akan direduksi sehingga data-data yang ada akan terpilih untuk dianalisis. 2. Pengorganisasian Data Proses penyusunan kembali semua informasi yang telah diidentifikasi dalam literatur. Dalam konteks Partai Presiden, setelah temuan lapangan mengenai Partai Gerindra direduksi, kemudian dilakukan proses penyusunan dan pengorganisasian data agar tersusun secara sistematis sehingga memudahkan proses analisis. 3. Interpretasi Proses pengambilan kesimpulan dan intisari dari substansi yang telah diorganisasi dan disusun untuk kemudian ditulis kembali dalam karya tulis. Pembuatan kesimpulan pun akan dilakukan berdasarkan alur kejadian yang sudah diruntutkan sehingga rumusan masalah yang ditulis dalam penelitian ini dapat terjawab. Bahkan dimungkinkan sejak pengambilan data. 5 Dalam proses interpretasi dan pengambilan kesimpulan, kerangka analisis akan menggunakan kerangka berpikir sesuai dengan landasan teoritik yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu alur memahami konsep Presidensialisasi Partai Politik dan Presidentialized Party dari David J. Samuels, Koichi Kawamura, Ufen, serta Poguntke & Webb, serta beberapa kajian Partai Presiden yang kontekstual di Indonesia, untuk kemudian menjelaskan temuan-temuan lapangan yang ada dalam penelitian ini.
H.3. Waktu dan Tempat Penelitian 1) Tanggal Pengumpulan Data, Pencarian Data, Analisa Data, dan Penulisan Pengumpulan dan pencarian data dilakukan dari bulan September 2014 hingga Februari 2015. Analisa data dilakukan pada bulan September 2014 hingga Februari 2015.
5
Ibid, Hal 16.
27
Selanjutnya penulisan juga dilakukan dari bulan September 2014 hingga Februari 2015. Waktu pengumpulan data dan penulisan dilakukan secara insidental. 2) Tempat Pengumpulan, Pencarian Data, Analisa Data, dan Penulisan Pengumpulan data berlokasi di tempat-tempat sebagai berikut : a) Kantor DPD Partai Gerindra Daerah Istimewa Yogyakarta, Jalan Ringroad Utara Maguwoharjo, Sleman, DIY. b) Perpustakaan FISIPOL UGM. c) Perpustakaan Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM. d) Kantor Distribusi Majalah TEMPO DIY dan Majalah Gatra DIY. Sementara itu, penulisan dan penyusunan karya tulis ilmiah dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada.
I. Sistematika Bab Guna memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai rencana penelitian, maka penulis membagi penelitian ini kedalam lima bab dan beberapa sub bab. Untuk itu penulis menyusun sistematika bab sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang fenomena Partai Presiden pada Partai Gerindra, perumusan masalah yang timbul dari fenomena tersebut, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori yang dipakai sebagai pondasi awal untuk menganalisis data, landasan konseptual sebagai upaya pembatasan pembahasan, landasan operasional terkait operasionalisasi konsep yang dipakai, metode penelitian, dan sistematika bab.
BAB II Konteks Presidensialisasi Partai Politik di Indonesia dan Kelahiran Partai Presiden
28
Bab ini akan bercerita mengenai bagaimanakah alur sejarah kemunculan Partai Gerindra beserta dinamika-dinamika politik yang menyertainya dibungkus dengan kerangka Partai Presiden.
BAB III Profil Partai Gerindra dan Kelahiran Partai Gerindra dalam konteks Presidentialized Party Bab ini akan menjelaskan mengenai profil dari Partai Gerindra untuk membeikan informasi normatif mengenai karakteristik partai ini. Bab ini mencakup penjelasan mengenai ideologi, platform, profil ketua dan pengurus, karakter anggota, serta perolehan kursi. Bab ini juga menelusuri dan menganalisis motif utama pendirian Partai Gerindra dalam usaha-usahanya mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada momen-momen elektoral pemilu 2009 dan 2014.
BAB IV Karakter dan Pengorganisasian Partai Gerindra dalam konteks Presidentialized Party Bab ini akan menganalisis dinamika karakter dan pengorganisasian Partai Gerindra dengan kerangka Partai Presiden secara lebih mendalam dalam usahausahanya mengusung Prabowo Subianto sebagai caalon presiden dalam Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Bab ini juga akan menganalisis bagaimana Partai Gerindra sebagai partai baru yang lolos ke parlemen mengorganisir diri dengan merespon dan “bermain” dalam berbagai isu dan kebijakan publik. Termasuk juga, bab ini akan mengupas bagaimana perkembangan pola-pola karakter dan pengorganisasian partai pasca pemilu 2014.
BAB V Penutup Bab ini akan memberikan kesimpulan akhir dari uraian penjelasan bab-bab sebelumnya. Bab ini berisi mengenai abstraksi atau konseptualisasi untuk
29
menganalisis temuan-temuan yang ada di bab-bab sebelumnya sehingga pada akhirnya akan menjawab pertanyaan penelitian dalam tulisan ini.
30