BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang “Orang-orang India melintas: tubuh tinggi, kurus, dan hitam, hanya mengenakan kain mengitari pinggang, dipasang antara kakinya, tak ubahnya seperti celana pendek. Kepala mereka memakai sejenis surban… Juga wanita-wanita Keling terdapat disana; ramping, tinggi, dan agung”.1 Kutipan di atas adalah bahasa imajinatif Szekely-Lulofs tentang penampilan fisik orang India di Kota Medan, salah satu etnis
yang
terabaikan
dan
terlupakan
dalam
historiografi
Indonesia.2 Padahal kehadiran orang India di Sumatera Utara sudah berlangsung pada abad ke-11. Hal ini terbukti dengan ditemukannya sebuah prasasti di Lobu Tua (Barus), pantai barat Sumatra. Dari prasasti itu diperoleh informasi adanya aktivitas
M.H. Szekely-Lulofs, Berpacu Nasib di Kebun Karet, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hlm. 39. Lulofs tiba di Sumatera Timur pada tahun 1918, sebagai istri seorang tuan kebun, Hendrik Doffegnies. Pada tahun 1930, Lulofs membuat skandal dengan meninggalkan suaminya dan beralih ke pelukan seorang penulis Hongaria, Laszlo Szekely, yang saat itu juga bekerja di perkebunan Sumatera Timur. Lulofs menulis novel berjudul Rubber pada tahun 1931, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Berpacu Nasib di Kebun Karet. Mengenai kisah hidup Lulofs lihat Anthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe; Dari Marco Polo sampai Tan Malaka, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 318. 1
Di Indonesia, beberapa kajian sejarah yang secara khusus membahas tentang etnik minoritas hanya menghadirkan orang Cina saja, sangat sulit ditemukan kajian tentang sejarah orang India. Kebanyakan karya ilmiah yang membahas orang India masih terbatas pada kajian antropologis dan sosiologis. 2
1
ekonomi dan pemukiman orang Tamil dari India di wilayah Sumatera Utara.3 Keberadaan orang India di wilayah itu semakin jelas sewaktu pengusaha swasta Barat mengembangkan perkebunan tembakau di Sumatera Timur pada akhir abad ke-19. Kebutuhan tenaga kerja yang tidak didapatkan dari penduduk lokal telah mendorong pengusaha perkebunan mendatangkan tenaga kerja asing dari luar daerah. Salah satu di antaranya adalah orang India yang dipekerjakan sebagai kuli kontrak.4 Pada tahun 1883, jumlah kuli kontrak dari India di perkebunan mencapai 1.528 orang, kemudian meningkat menjadi 3.360 orang pada tahun 1898.5 Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan arus kedatangan orang India ke perkebunan. Para pekerja kontrak yang berasal
dari India telah
membentuk
kelompok sosial tersendiri dalam masyarakat perkebunan di Sumatera Timur. Y. Subbarayalu, “Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus; Suatu Peninjauan Kembali”, dalam Claude Guillot (ed.), Lobu Tua Sejarah Awal Barus, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 17. 3
Tenaga kerja kontrak yang pertama dikerahkan ke perkebunan Sumatera Timur pada akhir abad ke-19 adalah orang Cina, kemudian menyusul orang India dan Jawa. Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli; Politik Kolonial, Tuan Kebun dan Kuli di Sumatra Timur pada Awal Abad ke-20, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 23-68. 4
Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth an Economics History of East Sumatra; 1863-1942, (Jakarta : LEKNASLIPI, 1977), hlm. 39. 5
2
Pengusaha
perkebunan
mempekerjakan
kuli-kuli
India
untuk membangun jalan, menggali kanal, dan kusir gerobak sapi (pedati). Selama bekerja di perkebunan, pendapatan riil yang diterima kuli India tidak sebanding dengan biaya hidupnya seharihari. Beban hidup itu masih ditambah dengan eksploitasi kerja, diskriminasi, dan perlakuan kasar dari tandil dan tuan kebun terhadap para pekerja kontrak, termasuk kuli India.6 Kondisi tersebut mendorong kuli-kuli India yang sudah habis masa kontraknya untuk mencari pekerjaan lain di luar perkebunan. Pada
saat
yang
bersamaan,
Kota
Medan
mengalami
perkembangan yang begitu pesat. Modernitas Kota Medan pada awal abad ke-20 yang menawarkan berbagai kesempatan kerja telah menarik minat berbagai kelompok sosial, termasuk orang India yang berstatus “bekas kuli kontrak”. Selain bekas kuli, modernitas Kota Medan juga menarik para pendatang baru dari India. Hal itu dapat dilihat dari peningkatan jumlah orang India yang tinggal di Kota Medan pada periode 1900-1905, dari 1.200 orang menjadi 3.665 orang.7 Jumlah orang India yang tinggal di
Lihat Jan Breman, op.cit., 95-123, 152-158; Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870-1979, (Yogyakartas: Karsa, 2005); dan Mohammad Said, Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya, (Medan: Waspada, 1977). 6
7C.
Lekkerkerker, Land en volk van Sumatra, (Leiden: N.V. Boekhandel en Drukkerij Voorheen E.J. Brill, 1916), hlm. 268; A.W. Naudin Ten Cate, Deli in Woord en Beeld, (Amsterdam : De Bussy, 1905). 3
Kota Medan pada tahun 1905 tampak lebih besar dibandingkan dengan jumlah kuli India di perkebunan pada akhir abad ke-19. Di Kota Medan, orang India memasuki berbagai lapangan pekerjaan. Kebanyakan orang India yang berstatus “bekas kuli kontrak”
terlibat
dalam
pekerjaan
yang
tidak
memerlukan
keahlian khusus, seperti kusir pedati yang menyediakan jasa angkutan barang bagi penduduk kota, pencari rumput untuk sudagar ternak sapi, dan lain-lain.8 Sementara itu, imigran India yang “bukan bekas kuli kontrak” cenderung berkecimpung dalam sektor perdagangan.9 Menurut
Daniel
Perret,
pemerintah
Hindia
Belanda
mengelompokkan orang India ke dalam empat kategori, yaitu orang Keling, orang Benggali, orang Chetti, dan orang Bombay.10 Pengklasifikasian itu tampaknya didasarkan atas perbedaan daerah asal dan budaya. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga memisahkan orang India dengan kelompok sosial lain berdasarkan atribut rasial. Hal itu tampak dalam struktur sosial yang dibentuk pemerintah kolonial. Orang India dan Timur Asing Saifuddin Mahyuddin, dkk, Biografi D. Kumarasamy, (naskah tidak diterbitkan milik penulisnya). Lihat juga Pewarta Deli, 9 Desember 1917; 18 Agustus 1920. 8
A. Mani, “Indian in North Sumatra”, dalam K. S. Sandhu and A. Mani (ed.), Indian Communities in Southeast Asia, (Singapora: ISEAS, 1993), hlm. 58-59. 9
Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas; Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 39. 10
4
lainnya (Cina dan Arab) ditempatkan pada strata sosial di bawah orang Eropa, tetapi masih satu tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan
orang
pribumi.11
Segregasi
rasial
yang
diterapkan
pemerintah kolonial juga terwujud dalam pembagian zona-zona pemukiman di Kota Medan. Kajian Usman Pelly menunjukkan bahwa pemukiman orang India terkonsentrasi di Kampung Keling, terpisah secara spasial dengan pemukiman suku bangsa lain.12 Pemisahan penduduk berdasarkan ras pada akhirnya tidak lagi berfungsi setelah Indonesia menjadi negara yang merdeka. Pada tahun 1958 sebagai contoh, pemukiman orang India tak lagi terkonsentrasi di Kampung Keling, melainkan telah menyebar ke beberapa kampung yang ada di kota ini.13 Bahkan menurut A. Mani,
kehidupan
sehari-hari
orang
India
telah
mengikuti
kebiasaan etnis lain di Kota Medan, seperti mengkonsumsi makanan Melayu, Batak, dan Jawa.14 Dalam perkembangan selanjutnya, orang India memiliki peranan ekonomi yang semakin kuat di Kota Medan, yang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an. Banyak dari mereka Gouw Giok Siong, Warga Negara dan Orang Asing; Berikut Peraturan-peraturan dan Tjontoh-tjontoh, (Jakarta: Penerbit Keng Po, 1958), hlm. 28. 11
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi; Peran Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 78. 12
Lihat Roestam Thaib, dkk, 50 Tahun Kotapradja Medan, (Medan: Kotapradja Medan, 1959), hlm. 141-142. 13
14
A. Mani, op.cit, hlm. 88-91.
5
yang berkecimpung dalam sektor perdagangan, seperti membuka toko tekstil dan peralatan olahraga. Bahkan beberapa di antara mereka berprofesi sebagai dokter, insiyur, pejabat pemerintah, dan pengusaha di level daerah maupun nasional. Selain itu, A. Mani mengemukakan ditemukan
di
bahwa bidang
sebagian pekerjaan
orang yang
India tidak
juga
dapat
membutuhkan
keterampilan khusus, seperti pembantu rumah tangga dan buruh toko.15 Melihat kehidupan orang-orang India di Kota Medan mengalami perubahan seiring arus modernisasi dan fluktuasi politik, maka kajian sejarah orang India di kota ini begitu penting untuk dikemukakan.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Pokok permasalahan yang hendak dikaji dalam studi ini adalah pengaruh mobilitas ruang terhadap kehidupan sehari-hari orang India di Kota Medan sejak awal abad ke-20 sampai 1970-an. Pembahasan akan difokuskan pada dampak mobilitas ruang terhadap perubahan pekerjaan, gaya hidup dan relasi sosial, serta transformasi identitas orang India di Kota Medan. Dari permasalahan pokok di atas muncul pertanyaanpertanyaan berikut ini. Pertama, tentang mobilitas orang India dari perkebunan ke Kota Medan pada akhir abad ke-19. Pada umumnya, orang India yang datang ke perkebunan berasal dari 15Ibid,
hlm. 61 dan 83.
6
Straits Settlement. Mereka didatangkan oleh tuan-tuan kebun melalui broker-broker yang ada di Straits Settlement untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak di perkebunan Sumatera Timur. Berkaitan dengan hal itu, siapa saja orang India yang datang ke perkebunan? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi mereka datang ke perkebunan? Apa saja jenis pekerjaan yang ditekuni ketika berada di perkebunan? Bagaimana kondisi sosial-ekonomi mereka ketika bekerja di perkebunan? Dari beberapa pertanyaan tersebut, pertanyaan yang menarik untuk lebih dikaji adalah dalam hal apakah dan sejauh manakah kehidupan perkebunan mendorong orang India melakukan mobilitas horizontal dari lingkungan perkebunan ke ruang Kota Medan? Kedua, mobilitas orang India ke Kota Medan pada awal abad ke-20. Pesatnya pertumbuhan sektor perkebunan telah berimbas terhadap perkembangan Kota Medan menjadi pusat kegiatan ekonomi
dan
pemerintahan.
Akibatnya,
Medan
mengalami
metamorfosis menjadi sebuah kota modern ciptaan kolonial. Modernitas Kota Medan kemudian menarik banyak orang India berpindah ke kota tersebut. Untuk itu muncul pertanyaan, dalam hal apakah dan sejauh manakah perkembangan yang terjadi di Kota
Medan
menarik
orang
India
untuk
berpindah
dari
perkebunan ke Kota Medan? Bagaimana dan siapa saja orang India yang kemudian bermigrasi ke Kota Medan?
7
Ketiga, tentang kehidupan sehari-hari orang India di Kota Medan pada masa kolonial. Setelah berpindah ke Kota Medan, apa saja jenis pekerjaan yang ditekuni orang India? Bagaimana strategi usaha yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? Dalam hal apakah dan sejauh manakah perubahan pekerjaan berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari orang India? Bagaimana representasi gaya hidup orang India dalam kehidupan sehari-hari di Kota Medan, baik dari segi penampilan, budaya atau agama, dan lain sebagainya? Dalam hal apakah dan sejauh manakah orang India mengidentifikasi diri dan berelasi dengan kelompok sosial lain di Kota Medan? Keempat,
realitas
kehidupan
orang
India
pada
masa
penjajahan Jepang sampai menjadi warganegara Indonesia. Apa dan bagaimana kondisi sosial-ekonomi orang India pada masa Jepang? Apa saja peristiwa yang dialami orang India pada masa pergolakan sosial? Bagaimana proses orang India ketika menjadi warganegara Indonesia? Bagaimana komposisi jumlah orang India di Kota Medan? Dimana saja mereka bermukim di Kota Medan? Apa saja jenis pekerjaan orang India setelah menjadi warganegara Indonesia?
Bagaimana
orang
India
merekonstruksi
ulang
identitasnya setelah menjadi warganegara Indonesia melalui aktivitas budaya, pendidikan, organisasi seni dan olahraga? Subjek studi ini adalah orang India yang secara spasial telah tinggal di Kota Medan. Cakupan waktu dalam studi ini dibatasi
8
dari awal abad ke-20 sampai 1970-an. Dipilihnya awal abad ke-20 sebagai batasan awal karena pada periode ini migrasi orang India ke Kota Medan meningkat cukup pesat. Hal itu tampak dari populasi mereka yang mencapai lebih dari tiga ribu orang pada pertengahan tahun 1900-an, yang diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan dengan akhir abad ke-19. Peningkatan jumlah orang India yang memasuki Kota Medan pada tahun 1900-an terkait erat dengan modernitas kota yang memberikan berbagai kesempatan kerja bagi orang India. Tahun 1970-an dipilih sebagai batasan waktu akhir dengan pertimbangan bahwa kehidupan sehari-hari orang India mengalami berbagai perubahan, terutama dari segi pekerjaan. Orang India telah memasuki beragam sektor usaha, mulai dari perdagangan, transportasi sampai tenaga ahli. Bahkan beberapa orang India mulai merambah dunia bisnis dan industri, baik skala kecil maupun besar.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Ada tiga tujuan penting dalam penelitian ini.Pertama, menjelaskan perubahan okupasi pada kelompok sosial orang India seiring dengan perubahan tempat tinggal. Kedua, menjelaskan transformasi identitas migran India ketika mereka menetap di Kota Medan.
Berkaitan
dengan
hal
itu,
tujuan
ketiga
adalah
mengungkapkan kenyataan sosial dari kehidupan sehari-sehari orang India di Kota Medan.
9
Mengingat
kajian
sejarah
tentang
orang
India
belum
mendapat tempat dalam historiografi Indonesia, maka studi ini bermanfaat untuk mengisi kekurangan itu dengan menghadirkan sejarah kehidupan sehari-hari orang India di Kota Medan. Sampai saat ini sebagian besar kajian sejarah lokal di Kota Medan masih didominasi tema-tema politik, karenanya studi ini barang kali dapat menjadi batu loncatan untuk studi yang akan datang, studi yang lebih besar dan beraneka ragam mengenai pengalaman hidup sehari-hari masyarakat atau orang kebanyakan.
D. Tinjauan Pustaka Sampai saat ini, kajian ilmiah yang membahas tentang sejarah kelompok minoritas di Indonesia hanya berkutat pada orang Tionghoa, seperti karya akademis Leo Suryadinata tentang politik Tionghoa peranakan di Jawa,16 Mona Lohanda tentang kapitan Cina di Batavia,17 dan Abdul Wahid tentang kondisi ekonomi orang Tionghoa di Kota Cirebon pada masa depresi ekonomi 1930-an.18 Sementara itu, karya ilmiah tentang sejarah
Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa, 1917-1942, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). 16
Mona Lohanda, The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942; A history of Chinese establishment in colonial society, (Jakarta: Djambatan, 1996). 17
Abdul Wahid, Bertahan di Tengah Krisis; Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon Pada Masa Depresi Ekonomi, 1930-1940, (Yogyakarta: Ombak, 2009). 18
10
orang India yang hidup dan tinggal di Indonesia masih sangat terbatas. Gambaran mengenai kehidupan orang India justru lebih mudah ditemukan dalam kajian ilmiah yang dilakukan oleh sosiolog dan antropolog. Adapun tulisan yang mengkaji tentang kehidupan orang India adalah sebuah artikel yang ditulis A. Mani, seorang sosiolog dari Institute of Southeast Asian Studies Singapura, dengan judul Indians in North Sumatra.19 Sampai saat ini, tulisan A. Mani merupakan studi sosiologi yang paling menyeluruh mengenai etnis India di Sumatera Utara. Artikel ini membahas tentang migrasi, kondisi sosial-ekonomi, lembaga keagamaan, dan organisasi sosiabudaya orang India di Sumatera Utara. Tulisan A. Mani ini memberikan pemahaman awal mengenai kehidupan orang-orang India di Sumatera Utara, terutama Tamil dan Sikh. Begitu juga dengan artikel A. Mani yang berjudul Sikh In Multhi-Etnhic Indonesia, telah memberikan inspirasi untuk studi ini, khususnya mengenai kondisi sosial-ekonomi dan identitas orang Sikh.20 Kajian lainnya tentang orang India adalah artikel yang ditulis Zulkifli B. Lubis dengan judul Kajian Awal Tentang Komunitas Tamil dan Punjabi di Medan: Adaptasi dan Jaringan
19
A. Mani, op.cit, hlm. 46-97.
A. Mani, “Sikh in Multi-ethnic Indonesia”, dalam Samsul A. B. & Arunajeet Kaur (ed.), Sikh in Southeast Asia; Negotiating an Identity, (Singapore: ISEAS, 2011), hlm. 142-165. 20
11
Sosial.21 Karya ini juga bukan kajian sejarah, melainkan kajian antropologi yang menekankan pada jaringan sosial dan proses adaptasi orang Tamil dan Sikh dengan kelompok etnik lain di Kota Medan. Meskipun begitu, kajian ini memberi masukan mengenai bagaimana karakteristik sosial-budaya orang India di Kota Medan. Sementara itu, terbitan yang membahas tentang sejarah orang India adalah buku Tengku Luckman Sinar yang berjudul Orang India di Sumatera Utara.22 Meskipun buku ini merupakan kajian pertama tentang sejarah orang India, namun cakupan wilayahnya lebih luas, yaitu Sumatera Utara. Buku ini lebih mirip kronik yang menjelaskan urutan-urutan setiap peristiwa yang dialami orang India mulai sejak awal abad ke-3 sampai abad ke20. Bahkan pada taraf tertentu, kajian Lukman Sinar memiliki fokus perhatian yang sama dengan kajian A. Mani. Meskipun begitu, Lukman Sinar memberi tambahan informasi mengenai hubungan masyarakat India dengan masyarakat di pantai barat dan
pantai
timur
Sumatera
pada
abad
ke-3
M,
upacara
perkawinan dan ritual keagamaan yang dilakukan orang Tamil dan Sikh di Sumatera Utara.
Zulkifli B. Lubis, “Kajian Awal Tentang Komunitas Tamil dan Punjabi di Medan; Adaptasi dan Jaringan Sosial, Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI, Vol. 1, No. 3, Desember 2005, hlm. 136-146. 21
Tengku Luckman Sinar, Orang India di Sumatera Utara, (Medan: Forkala Sumut, 2008). 22
12
Dari tulisan-tulisan yang ada itu, sangat sulit ditemukan gambaran tentang masa lalu kehidupan sehari-hari orang India yang telah menetap di Kota Medan sejak masa kolonial. Bahkan dalam kajian-kajian sejarah yang secara khusus membahas tentang buruh perkebunan di Sumatera Timur juga tidak memberi banyak informasi yang diharapkan mengenai kehidupan buruh India. Kajian sejarah yang membahas tentang buruh perkebunan di Sumatera Timur antara lain adalah tulisan Jan Breman yang berjudul Menjinakkan Sang Kuli; Politik Kolonial, Tuan Kebun dan Kuli di Sumatra Timur pada awal abad ke-20,23 kemudian karya Ann Laura Stoler dengan judul Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870-1979,24buku Mohammad Said yang berjudul Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya,25 artikel Sjafri Sairin dengan judul The Appeal of Plantation
Labour:
Economic
Imperatives
and
Cultural
Considerations Among Javanese Workers in North Sumatra,26 serta karya akademis Keizerina Devi Azwar yang berjudul Poanale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum
23
Jan Breman, loc.cit.
24
Ann Laura Stoler, loc.cit.
25
Mohammad Said, loc.cit.
Sjafri Sairin, “The Appeal of Plantation Labour: Economic Imperatives and Cultural Considerations Among Javanese Workers in North Sumatra”, Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 11, No. 1, April 1996, hlm. 1-23. 26
13
di Sumatera Timur.27 Meskipun karya-karya tersebut membahas masalah kehidupan sosial-ekonomi buruh perkebunan, mulai dari proses rekrutmen, komposisi buruh, organisasi pekerjaan, upah buruh, sampai buruknya kontrol perburuhan, namun tidak diperoleh informasi yang memadai tentang kondisi sosial-ekonomi buruh India, karena yang banyak dibahas adalah kehidupan buruh Cina dan Jawa. Sementara
itu,
gambaran
mengenai
perkembangan
perkebunan milik para pemodal swasta Barat di Sumatera Timur dibahas dalam Toean Keboen dan Petani; Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947 karya Karl J. Pelzer,28 dan karya akademis Thee Kian Wie yang berjudul Plantation Agriculture and Export Growth an Economis History of East Sumatra, 1863-1942.29 Kedua karya ini penting untuk lebih memahami keterkaitan antara perkembangan industri perkebunan dengan pengerahan tenaga kerja kontrak dari luar Sumatera Timur, khususnya tenaga kerja kontrak yang berasal dari India.
Keizerina Devi Azwar, Poenale Sanctie; Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur 1870-1950, (Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2004). 27
Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani; Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985). 28
29
Thee Kian Wie, loc.cit.
14
Pertumbuhan sektor perkebunan telah berimbas terhadap perkembangan Kota Medan. Pada awal abad ke-20, Medan tumbuh sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan ekonomi. Kondisi tersebut kemudian menarik para pendatang dari luar kota untuk mengadu nasib, salah satunya adalah orang
India.
Beberapa kajian tentang sejarah Kota Medan yang ditulis oleh Cor Passchier30, Drik. A. Buiskool31, Tengku Luckman Sinar32, dan M.A, Loderichs33 lebih menekankan pada perkembangan morfologi, infrastruktur kota, pertumbuhan ekonomi, pemerintahan kota, dan peran penting perkebunan dalam perkembangan kota Medan. Dari tulisan-tulisan yang ada itu tidak banyak ditemukan informasi yang diharapkan tentang masa lalu dari kehidupan sehari-hari orang India. Pembahasan tentang orang India hanya sebatas
uraian
komposisi
penduduk
dan
pembagian
zona
pemukiman berdasarkan ras yang dilakukan pemerintah kota pada masa kolonial. Cor Passchier, “Medan; Urban Development by Planters and Entrepreneurs 1870-1940”, dalam Peter J. M. Nas (ed.), Issues in Urban Development; Case Studies from Indonesia, (Nederland: Research School CNWS University Leden, 1995). 30
Drik A. Buiskool, “Medan; A Plantation City on the East Coast of Sumatra 1870-1942”, dalam Freek Colombijn, et al., (ed.), Kota Lama Kota Baru; Sejarah Kota-Kota di Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2005), hlm. 273-300. 31
Tengku Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, (Medan: Satgas MABMI Medan, 2005). 32
M.A. Loderichs, et al., Medan; Beeld van een Stad, (Purmerend: Asia Maior, 1997). 33
15
Bahkan hampir sebagian besar tulisan sejarah tentang Kota Medan itu juga belum mampu menghadirkan rakyat dalam penulisan sejarah Kota Medan. Kecuali tulisan tentang sejarah identitas etno-religius Batak Toba di Kota Medan karya Johan Hasselgren.34 Gambaran tentang tentang masa lalu kehidupan masyarakat Kota Medan justru lebih mudah ditemukan dalam kajian ilmiah yang dilakukan oleh antropolog, seperti karya akademis Usman Pelly yang berjudul Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.35 Berdasarkan karya-karya di atas, dapat dikatakan bahwa studi ilmiah mengenai sejarah orang India di Kota Medan masih sangat langka, apalagi kajian yang membahas tentang sejarah kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena itu, tesis ini mencoba menghadirkan realitas masa lalu dari kehidupan sehari-hari orang India di Kota Medan sejak awal abad ke-20 sampai 1970-an, sebuah kajian yang belum pernah dibahas oleh peneliti lain.
E. Kerangka Konseptual dan Pendekatan Kajian sejarah kehidupan sehari-hari menekankan pada pengalaman orang biasa yang cenderung ini hilang ditelan tematema besar, peran elite, dan kelompok dominan dalam penulisan Johan Hasselgren, Batak Toba di Medan; Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan, 1912-1965. (Medan: Bina Media Perintis, 2008). 34
35
Usman Pelly, loc.cit.
16
sejarah.36 Sebagaimana dikemukakan Alf Ludtke, sejarah seharihari
(alltagsgeschichte)
memusatkan
perhatian
adalah
sebuah
kajian
sejarah
pada
unit-unit
kecil,
baik
yang
material
maupun intelektual dari kehidupan sehari-hari orang biasa. Sebagaisebuah kajian, sejarah sehari-hari tidak hanya menelaah aktivitas keseharian orang biasa, melainkan juga pengalaman populer mereka ketika berada di lingkungan tempat kerja, keluarga, tetangga dan sekolah.37 Dengan demikian, menulis sejarah kehidupan sehari-hari dapat menghadirkan lebih banyak kenyataan sosial dari masa lalu orang-orang biasa yang selama ini terabaikan dalam historiografi Indonesia.
Dalam
konteks
historiografi
Indonesia,
Bambang
Purwanto menekankan sejarah kehidupan sehari-hari sebagai salah satu kategori dalam sejarah sosial.38 Oleh karena itu, prinsip-prinsip
sejarah
sosial
akan
digunakan
untuk
Henk Schulte Nordholt dan Fridus Steijlen, “Don’t forget to remember me; Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-hari di Indonesia pada Abad ke-21, dalam Henk Schulte Nordholt, et al. (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 377. 36
Alf Ludtke, “Introduction: What Is the History of Everyday Life and Who Are Its Practitioners?”, dalam Alf Ludtke (ed.), The History of Everyday Life; Reconstructing Historical Experience and Ways of Life, (Princeton: Princeton University Press, 1995), hlm. 340. 37
Bambang Purwanto, “Menulis Kehidupan Sehari-Hari Jakarta; Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt, et al. (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 264-276. 38
17
mengungkapkan
pengalaman
hidup
sehari-hari
orang
India
setelah mereka berpindah ke Kota Medan. Secara substantif, untuk memahami proses perpindahan orang India ke Kota Medan diperlukan konsep mengenai mobilitas penduduk. Menurut Soegijanto Padmo, aspek yang lazim dibahas dalam pembicaraan tentang mobilitas penduduk adalah faktor pendorong (pushing factor) dan faktor penarik (pulling factor). Pada masa awal penyebab utama bagi terjadinya mobilitas penduduk adalah faktor pendorong yang berupa tekanan yang sangat berat dari rezim penguasa, kemiskinan, bencana alam, dan faktor lain seperti politik. Sementara itu, faktor penarik bagi timbulnya mobilitas penduduk adalah berita tentang peluang yang lebih besar untuk usaha di daerah baru lewat dari berbagai saluran komunikasi. Informasi tentang hal itu yang dibawa oleh imigran yang telah berhasil merupakan informasi yang sangat efektif. Faktor
penarik
lainnya
adalah
kesempatan
memperoleh
pendapatan lebih besar di daerah baru sehingga memotivasi penduduk untuk berpindah.39 Kota merupakan daerah tujuan yang paling diminati para pendatang. Menurut Wertheim, perluasan administrasi sipil dan meningkatnya perdagangan di kota-kota modern Indonesia pada awal
abad
ke-20
telah
menawarkan
berbagai
kesempatan
Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta, 2004), hlm. 4044. 39
18
kerjabagi penduduk dari luar kota, sehingga mereka berduyunduyun ke kota untuk mendapatkan peluang ekonomi tersebut, karena kondisi di daerah asal mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup warganya.40 Dengan demikian, tujuan seseorang berpindah ke kota adalah untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik dari daerah asalnya. Berpindah ke kota dengan tujuan mencari pekerjaan baru merupakan usaha melakukan mobilitas sosial. Menurut Irawati Pattinasarany, mobilitas sosial dalam pengertian sosiologi secara umum merupakan perubahan status sosial atau status pekerjaan seseorang. Proses mobilitas sosial dapat terjadi dari posisi rendah ke posisi yang lebih tinggi, atau sebaliknya.41 Dalam konteks perkotaan di Indonesia, para ahli ilmu sosial dan kependudukan berpendapat bahwa sebagian besar pendatang di kota justru lebih banyak terlibat dalam berbagai pekerjaan di sektor nonformal karena jumlah pendatang tidak sebanding dengan kesempatan kerja yang tersedia. Para pendatang yang terlibat dalam berbagai pekerjaan di sektor nonformal itu telah menjadi
sebuah
komunitas
yang
tidak
terpisahkan
dalam
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 145-146. 40
Indera Ratna Irawati Pattinasarany, “Mobilitas Sosial Vertikal Antar Generasi; Kajian Terhadap Masyarakat Kota di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur”, Disertasi Program Studi Pasca Sarjana Sosiologi, Universitas Indonesia, 2012, hlm. 22. 41
19
kehidupan sehari-hari masyarakat miskin perkotaan.42 Bahkan Bambang Purwanto dalam kajiannya tentang kehidupan seharihari orang kebanyakan di Jakarta menunjukkan bahwa kehadiran para migran dalam jumlah besar di kota juga tidak dibarengi dengan ketersediaan lingkungan yang layak. Akibatnya, para migran harus mengalami berbagai kesulitan dalam kehidupan sehari-harinya, seperti kesejahteraan hidup yang rendah, mutu lingkungan yang jauh dari layak, penderitaan fisik maupun mental, sampai dengan kematian.43 Meskipun mengalami berbagai kesulitan hidup, sebagian besar
migran
tidak
serta-merta
pergi
meninggalkan
kota.
Melainkan sebaliknya, merespon setiap situasi yang dihadapi untuk tetap bertahan hidup di kota. Respon para migran di perkotaan tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi yang menyangkut
pemenuhan
kesejahteraan
hidup
sehari-hari,
melainkan juga dengan lingkungan dan gaya hidup perkotaan. Akan tetapi, tidak dapat pula dimungkiri adanya pendatang yang memperoleh keberhasilan dan kemakmuran, atau menjadi kaya
Lihat Lea Jellinek, Seperti Roda Berputar; Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta, (Jakarta: LP3ES, 1994); Gavin Jones and Bondan Supraptilah, “Underutilization of Labour in Palembang and Ujung Pandang”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 12 (2), Juli 1976, hlm. 30-57; Alison J. Murray, Pedagang Jalanan dan Pelacur Jakarta; Sebuah Kajian Antropologi Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1994); Indrawati Gunawan, “Wanita di Sektor Informal”, Prisma, No. 5, Tahun XXI, 1992, hlm. 23-37. 42
43
Bambang Purwanto, op.cit., hlm. 250-264.
20
setelah berpindah ke kota. Dengan begitu, mobilitas ruang pada satu sisi dapat merubah kondisi hidup pelakunya menjadi lebih baik dari sebelumnya, namun di sisi lain juga dapat membawa berbagai kesulitan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
F. Sumber Penulisan dan Metode Penelitian Pada
awal
penelitian,
pencarian
sumber
dilakukan
dibeberapa perpustakaan di Yogyakarta, yaitu Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Pusat StudiPedesaan UGM, Hatta Corner, dan Perpustakaan Ignatius. Dari empat perpustakaan itu ditemukan laporan-laporan tentang perkembangan perkebunan di Sumatera Timur yang dipublikasi pada awal abad ke-20, serta kronik-kronik tahunan terbitan Ooskust van Sumatra Instituut yang
memuat
fakta-fakta
ekonomi,
budaya,
dan
politik
di
Sumatera Timur. Selain itu, penulis juga menemukan karya-karya sejarah tentang masyarakat perkebunan di Sumatera Timur, dan beberapa literatur tentang sejarah Kota Medan. Sumber-sumber tersebut memberi banyak informasi mengenai kehidupan orang India yang dipekerjakan sebagai kuli kontrak di perkebunan, namun tidak banyak membantu untuk mengungkap kehidupan sehari-hari orang India di Kota Medan. Begitu pula dengan catatan-catatan arsip yang ada di Arsip Nasional
Republik
memberikan
Indonesia
informasi
terkait
(ANRI)
Jakarta,
dengan
tema
tidak
banyak
penelitian
ini.
21
Gambaran tentang masa lalu kehidupan sehari-hari orang India di Kota Medan justru lebih mudah ditemukan dalam berita surat kabar lokal yang dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional di Jakarta. Selama penelitian di Perpustakaan Nasional, surat kabar terbitan Medan yang dibaca secara teratur adalah Pewarta Deli, Andalas, Pelita Andalas, Tjin Po, Sinar Deli, Benih Merdeka, Benih Timoer, dan De Sumatra Post. Namun informasi yang diperoleh dari delapan surat kabar itu hanya mengenai kehidupan sehari-hari orang India pada masa kolonial. Sementara itu, surat kabar lokal yang terbit pada masa kemerdekaan seperti Waspada dan Mestika tidak banyak memberikan informasi yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Ketimpangan informasi ini coba ditutupi dengan melakukan penelusuran sumber di Kota Medan. Perpustakaan pertama yang dikunjungi di Kota Medan adalah Pustaka Humaniora. Dari pengelola Pustaka Humaniora, Dr. Ichwan Azhari, penulis memperoleh biografi D. Kumarasamy, seorang tokoh Tamil, yang ditulis oleh Saifuddin Mahyuddin, dkk. Penulis sangat beruntung mendapatkan biografi yang tidak diterbitkan ini, karena informasi yang diperoleh tidak hanya mengenai kehidupan Kumarasamy, melainkan juga kehidupan sosial, politik, dan aktivitas budaya orang-orang Tamil di Kota Medan sejak masa kolonial hingga kemerdekaan. Setelah
mengunjungi
Pustaka
Humaniora,
pencarian
sumber dilanjutkan ke Perpustakaan Daerah Kota Medan dan
22
Perpustakaan
Daerah
Propinsi
Sumatera
Utara.
Sangat
disayangkan, tidak ditemukan literatur tentang orang India dari dua perpustakaan tersebut. Kebanyakan literatur yang dikoleksi dua perpustakaan itu hanya berkisar tentang persoalan politik dan
ekonomi,
terutama
revolusi
dan
perkebunan.
Untuk
melengkapi kekurangan sumber, terutama periode pascakolonial, maka dilakukan wawancara dengan beberapa orang India yang berumur di atas enam puluh tahun. Selain
sumber
lisan
dan
tertulis,
penelitian
ini
juga
menggunakan foto sebagai sumber penulisan. Sebagian besar foto diperoleh dari webside KITLV dan Tropenmuseum. Foto selalu menyimpan
banyak
cerita
dibaliknya.
Latar
belakang
foto
misalnya, jika foto diambil di rumah, akan menunjukkan gaya hidup tiap keluarga. Demikian juga dengan data lain tentang perabot rumah, pakaian, kendaraan, dan klangenan, mungkin terungkap lewat foto.44 Setelah sumber tertulis, lisan dan visual didapatkan, selanjutnya dilakukan verifikasi terhadap sumbersumber
tersebut.
Foto
contohnya,
dilihat
terlebih
dahulu
autentisitasnya, apakah hasil dari pemotretan alami atau justru hasil manipulasi studio. Kemudian diuji kredibilitasnya dengan cara melihat subjek yang ditampilkan foto, apakah sudah lazim pada masa ketika foto itu diproduksi. Selesai melakukan verifikasi,
Kuntowijoyo, Pengantar Bentang, 2005), hlm. 97. 44
Ilmu
Sejarah,
(Yogyakarta:
23
tahap
selanjutnya
terkandung
dalam
adalah sumber,
menguraikan kemudian
fakta-fakta
yang
menyatukannya,
dan
terakhir menyajikannya dalam tulisan. Dengan demikian, metode penelitian dalam studi ini sepenuhnya menggunakan metode sejarah, dimulai dari tahap pencarian sumber, verifikasi sumber, perumusan fakta, sampai penyajian pemikiran baru
dalam
tulisan.45
G. Sistematika Penulisan Setelah bab pengantar, penulisan tesis ini selanjutnya memaparkan tentang proses migrasi dan kehidupan orang India di perkebunan
tembakau
Sumatera
Timurseperti
yang
akan
diuraikan dalam bab II. Bab ini hendak menjelaskan faktor-faktor penyebab kedatangan orang India ke perkebunan tembakau di Sumatera Timur,
proses rekrutmen, dan
kehidupan
sosial-
ekonomi mereka selama bekerja di perkebunan. Selanjutnya, bab III membahas tentang mobilitas orang India ke Kota Medan. Bab ini hendak menjelaskan pengaruh pertumbuhan ekonomi Kota Medan dalam menarik kuli-kuli India yang sudah berakhir masa kontraknya untuk mengadu nasib di kota tersebut. Selain bekas kuli, bab III juga akan dibahas orang-orang India yang bermigrasi ke Kota Medan tanpa lebih dulu bekerja di perkebunan. Mengenai metode penelitian sejarah, lihat Gilbert J. Garraghan, A Guide to Historical Method, (New York: East Fordham Road, 1940). 45
24
Bab IV menguraikan tentang kehidupan sehari-hari orang India pada awal abad ke-20 berdasarkan penelahaan terhadap aktivitas ekonomi, gaya hidup, relasi sosial, dan pengalamanpengalaman populer pada saat beraktivitas di lingkungan tempat kerja, keluarga, tetangga, dan di ruang publik Kota Medan. Pada awal abad ke-20, Medan sudah menjadi kota yang multietnis dengan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Untuk melihat karakteristik budaya orang India di Kota Medan, maka bab IV juga akan membahas promosi identitas yang dilakukan orang-orang India dalam bentuk pergelaran budaya, ritual agama, organisasi sosial-budaya, dan lain sebagainya. Bab V dicurahkan untuk diskusi mengenai dinamika kehidupan orang-orang India di Kota Medan pada saat terjadinya transisi kekuasaan politik dari rezim kolonial Belanda ke militer Jepang hingga pemerintah Indonesia. Maksudnya adalah untuk menunjukkan dampak perubahan rezim terhadap kehidupan sosial-politik dan ekonomi orang India. Sebagai penutup, bab VII akan memberikan jawaban dari permasalahan dan realisasi tujuan penelitian.
25