1
BAB I PENGANTAR
I.I. Latar Belakang Masalah Kebudayaan menurut Sukarni Sumarto adalah cara hidup yang dianut secara kolektif dalam suatu masyarakat ( Mardimin, 1994: 55 ). Berdasarkan pemahaman tersebut kebudayaan dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, walaupun kebudayaan pada mulanya ditemukan oleh pribadi yang ingin melakukan perubahan guna mencapai kehidupan yang lebih baik, setelah masyarakat dapat menerima dan menerapkan unsur kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, maka kebudayaan menjadi milik masyarakat, atau dengan pemahaman lain kebudayaan adalah milik bersama atau suatu komunitas kelompok tertentu, meskipun pada mulanya unsur kebudayaan tersebut merupakan penemuan dari pribadi atau perorangan. Pribadi yang menciptakan budaya sebagai ”suatu cara hidup tertentu” yang dibentuk oleh nilai, tradisi, kepercayaan, objek material dan wilayah atau territory (Lull, 1998: 77). Budaya adalah suatu ekologi yang kompleks dan dinamis dari orang, benda, pandangan tentang dunia, kegiatan dan latar belakang (setting) yang secara fundamental bertahan lama tetapi juga berubah dalam komunikasi dan interaksi sosial yang rutin, budaya adalah konteks, sedangkan kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat disebut tradisi ( Mardimin, 1994: 12). Tradisi merupakan bagian dari kebudayaan, kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dimiliki oleh masyarakat pendukungnya dengan jalan 1
2
mempelajarinya, salah satu bentuk kebudayaan adalah tradisi Merti Dusun di Desa Giyombong Kecamatan Bruno Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Merti Dusun bukan mengacu pada arti dusun merupakan bagian administratif dari sebuah desa, namun lebih merupakan bahasa halus ( krama ) dari kata desa. Merti Dusun Desa Giyombong adalah budaya lokal berupa upacara adat yang masih eksist sampai sekarang di desa tersebut. Desa Giyombong merupakan desa yang kaya akan tradisi, seperti beberapa ragam jenis upacara adat, baik upacara adat yang dilaksanakan dengan lintasan hidup seseorang maupun yang dilaksanakan untuk kepentingan bersama. Masyarakat Desa Giyombong masih peduli untuk melaksanakan upacara upacara adat, mereka masih meyakini manfaat dari pelaksanaan upacara adat tersebut, sehingga mereka masih menjaga kelestariannya sampai saat ini. Tesis Efa Ida Amaliyah yang ditulis pada tahun 2010 yang berjudul “ Makna Dan Ritual Bersih Desa Serta Respon di Kalangan Masyarakat Desa Sekoto, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri “, menyatakan bahwa masyarakat tetap melaksanakan Bersih Desa secara turun temurun pada bulan Syuro ( Muharram ), meskipun terdapat perbedaan persepsi masyarakat tentang tradisi tersebut dari sudut pandang agama atau kepercayaan masyarakat setempat. Pelaksanaan ritual tersebut melibatkan partisipasi sebagian besar masyarakat Desa Sekoto, sampai sekarang tesis tersebut masih berlaku. Menurut R. Bandyopahyay dan S. Datta ( 1998 ) daerah tertinggal secara umum memiliki karakeristik sebagai berikut : 1. Biasanya berada di kawasan pedesaan yang memiliki keterbatasan fungsi dan fasilitas yang dimiliki kawasan
3
perkotaan, serta produktivitas pertanian yang sangat rendah, 2. Rendahnya sumber daya alam dan sumber daya manusia, 3. Memiliki struktur pasar yang kecil dan tidak efektif, 4. Rendahnya standar hidup, 5. Sangat jauh dari pusat pembangunan wilayah atau negara. ( Edy, 2009 : 114 ). Senada dengan hal tersebut Almasdi Syahza berpendapat ( 2002 : 2 ) selain jumlah penduduk yang terbatas desa ini juga sulit berkembang karena terisolir, kurangnya sarana umum dan jauh dari pusat pertumbuhan sehingga sulit mendapatkan akses ke pasar, dengan penduduk yang terbatas kapasitas produksi dan permintaan juga menjadi terbatas. Upacara adat Merti Dusun menarik untuk dikaji tersebut adalah terselenggaranya upacara tersebut di Desa Giyombong yang secara geografis berada di daerah ketinggian dan di kelilingi hutan sehingga tidak adanya sinyal komunikasi, kondisi jalan yang sempit dan sulit, tidak mempunyai pasar tradisonal apalagi pasar modern sehingga harga bahan kebutuhan yang tidak dihasilkan oleh desa tersebut menjadi sangat mahal dan produk lokal harganya akan jauh lebih murah daripada harga pasar, sarana pendidikan desa ini hanya memiliki satu buah sekolah dasar dan taman kanak kanak. Upacara Merti Dusun adalah salah satu bentuk upacara adat yang masih dilaksanakan di Desa Giyombong, merupakan sebuah kegiatan yang menjadi simbol rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas segala karunia yang telah diberikan. Karunia tersebut dapat berupa apa saja seperti rezeki, keselamatan atau juga kesalarasan dan ketentraman. Selain sebagai manifestasi rasa syukur kepada Yang Maha Esa, Merti Dusun juga merupakan sebuah perwujudan keselarasan manusia dengan alam. Selama hidupnya manusia telah hidup berdampingan
4
dengan alam, dan banyak mengambil materi dari alam, namun demikian, pemanfaatan itu tidak boleh terlepas dari tata cara sehingga bisa menimbulkan eksploitasi berlebihan terhadap alam, sebab pada hakikatnya manusia dan alam harus saling melengkapi. Merti Dusun dilakukan oleh masyarakat Desa Giyombong dengan mengadakan acara yang mengungkapkan rasa untuk bersyukur kepada Allah SWT atas rezeki yang telah diterima. Warga Desa Giyombong membuat ambeng atau ancak ( bahasa Desa Giyombong ) yang terbuat dari kayu dan berbentuk seperti ranjang dengan ukuran rata-rata 3x2 meter, di dalam ambeng ada ingkung ayam kampung, jenang, wajik, ketan, telur, buah-buahan, rokok, bahkan ada yang mengisi dengan sejumlah uang. Isi ambeng tersebut digunakan khusus untuk dibagikan kepada yang hadir di acara tersebut, sehingga ketika Desa Giyombong sedang melakukan tasyakuran tersebut, banyak masyarakat luar desa menghadiri dan menikmati ambeng tersebut, oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk diteliti untuk mencari akar masalah dari bagaimana partisipasi masyarakat rela untuk mengeluarkan pemikiran, biaya, tenaga, yang banyak hanya untuk sebuah tradisi disatu sisi, namun disisi lain desa tersebut masuk ke dalam kategori desa terisolir dan dihubungkan dengan apakah kelangsungan tradisi Merti Dusun tersebut akan memperkokoh atau bahkan mengancam ketahanan sosial budaya, sebab Merti Dusun adalah merupakan budaya lokal yang menjadi kekuatan budaya Bangsa Indonesia, sekaligus sebagai benteng pertahanan kebudayaan agar selalu terpelihara demi tegaknya NKRI, maka dalam penelitian yang akan dilaksanakan ini akan mengambil judul “ Partisipasi masyarakat dalam tradisi
5
Merti Dusun dan implikasinya terhadap ketahanan sosial budaya ( studi di Desa Giyombong Kecamatan Bruno Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah ) “.
I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, terdapat persoalan pokok yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian ini, yakni: 1. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam tradisi Merti Dusun di Desa Giyombong Kecamatan Bruno Kabupaten Purworejo saat ini. 2. Bagaimana implikasi partisipasi masyarakat dalam tradisi Merti Dusun terhadap ketahanan sosial budaya.
I.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan di atas, maka tujuan penelitian ini menjawab kedua rumusan masalah yang telah diajukan. Tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui partisipasi masyarakat dalam tradisi Merti Dusun di Desa Giyombong Kecamatan Bruno Kabupaten Purworejo saat ini, tahap ini merupakan tahap untuk mengetahui partisapasi masyarakat dalam tradisi Merti Dusun di Desa Giyombong Kecamatan Bruno Kabupaten Purworejo saat ini. 2. Mengetahui implikasi partisipasi masyarakat dalam tradisi Merti Dusun terhadap ketahanan sosial budaya. Tahap ini merupakan tahap untuk mengetahui
Implikasi
terkait
dengan
partisipasi
masyarakat
pelaksanaan tradisi Merti Dusun terhadap ketahanan sosial budaya.
dalam
6
I.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi studi bidang sosial, khususnya yang berkaitan dengan dampak tradisi Merti Dusun sehingga dapat membuka pikiran semua pihak untuk lebih memperhatikan hal tersebut guna terlaksananya pembangunan daerah. 2. Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan lembaga serta instansi yang terkait tradisi Merti Dusun dalam menentukan kebijakan atau strategi yang tepat dalam rangka mendukung terciptanya Ketahanan Sosial Budaya. 3. Bagi masyarakat Kabupaten Purworejo khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, dalam pelaksanaan tradisi Merti Dusun demi kelangsungan pembangunan daerah dan pembangunan bangsa pada umumnya, selain merupakan bahan masukan atau sumber informasi untuk pembangunan bangsa di segala bidang, khususnya di bidang ketahanan sosial budaya yang merupakan bagian dari ketahanan nasional.
I.5. Keaslian Penelitian Tema
Partisipasi Masyarakat
Dalam Tradisi Merti
Dusun Dan
Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Budaya Di Desa Giyombong Kecamatan Bruno Kabupaten Purworejo merupakan tema yang menarik, sebab sepengetahuan peneliti belum pernah dijadikan obyek kajian oleh penelitian sebelumnya, terlebih yang menjadikan Desa Giyombong Kecamatan Bruno Kabupaten Purworejo sebagai lokasi penelitian, hal ini berdasarkan hasil penelusuran peneliti baik di
7
program S2
Ketahanan Nasional maupun Perpustakaan Pusat Sekolah
Pascasarjana UGM Yogyakarta. Peneliti menemukan beberapa hasil penelitian terdahulu yang menjadi inspirasi dalam mencari obyek penelitian yang lain, diantaranya adalah : Tesis dengan judul “ Seni Pertunjukan Incling : Transformasi Pemujaan Binatang Totem Menjadi Upacara Bersih Desa Di Kulon Progo Yogyakarta “ yang ditulis oleh saudara Langen Bronto Sutrisno pada Tahun 2010 . Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukan Dan Seni Rupa. Tesis ini menggambarkan bagaimana proses perubahan seni pertunjukan Incling atau Jaran Kepang dari kepercayaaan endhang jaran dan danyang desa menjadi bukan sebuah pemujaan terhadap sesuatau yang gaib tetapi bergeser makna hanya sebagai salah seni pertunjukan dalam upacara merti atau bersih desa. Tesis lain yang berjudul “ Ritual Suran Di Dusun Kudusan, Desa Tirto Kecamatan Grabag Kab Magelang “ Sebuah Kajian Penampilan yang di tulis oleh Surya Farid Sathotho ( 2010 ), Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukan Dan Seni Rupa, tesis ini mendeskripsikan bagaimana tradisi Suran atau Selamatan di Bulan Sura atau Syuro’ ( menurut kalender Qamariyah / Islam ) dilihat sebagai salah satu perlambang dari proses kehidupan dimana ada perebutan kekuasaan oleh banyak pihak karena dalam acara ini disimbolkan dengan saling berebut gunungan yang diasumsikan sebagai kekayaan, kekuasaan dan kemakmuran. Penelusuran referensi di atas menunjukkan bahwa karya ilmiah atau kajian tentang ketahanan sosial budaya dalam hubungan dengan adat istiadat atau tradisi Merti Dusun belum ada, dengan kata lain karya tulis tersebut belum mewakili
8
secara rinci masalah ketahanan budaya atau Ketahanan sosial budaya, karena hanya berkisar pada kajian Merti Desa sebagai pergeseran makna salah satu proses dalam tradisi tersebut yaitu dari kepercayaaan endhang jaran dan danyang desa menjadi bukan sebuah pemujaan terhadap sesuatau yang gaib tetapi bergeser makna hanya sebagai salah seni pertunjukan dalam upacara merti / bersih desa ( Langen Bronto Sutrisno. 2010 ), dan sebagai pertunjukan seni sebagimana yang tulis oleh Surya Farid Sathotho ( 2010 ) sebagai salah satu perlambang dari proses kehidupan, dimana ada perebutan kekuasaan oleh banyak pihak karena dalam acara ini disimbolkan dengan saling berebut gunungan yang diasumsikan sebagai kekayaan, kekuasaan dan kemakmuran, adapun perbedaan penelitian mengenai Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Tradisi Merti Dusun Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan sosial budaya ( Studi Di Desa Giyombong, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah ) dengan yang dilakukan oleh peneliti terdahulu adalah Ruang lingkup penelitian ini terbatas kepada lingkup lokasi Desa Giyombong yang memiliki pelaksanaan Tradisi Merti Dusun setiap tahun sekali dimana desa tersebut bisa dikategorikan desa terpencil, dimana salah satu indikatornya adalah terletak jauh dari pusat pemerintahan, minimnya sarana pendidikan, tidak ada sarana pasar, berada di daerah ketinggian dan di kelilingi hutan Pinus perhutani sehingga tidak ada sarana komunikasi sinyal telephone yang masuk ke desa tersebut serta minimnya sarana transportasi baik dari segi kendaraan ataupun jalan yang menuju ke desa tersebut sehingga desa tersebut seperti desa terisolir yang menyebabkan harga barang yang tidak dihasilkan di desa tersebut menjadi sangat mahal, namun sebaliknya, yaitu harga
9
komoditas desa tersebut menjadi lebih murah dari harga pasar, penelitian ini menganalisis bagaimana partisipasi masyarakat desa tersebut dalam Tradisi Merti Dusun dan bagaimana implikasinya pada ketahanan sosial budaya.