BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Tesis ini bertujuan untuk memahami bagaimana turisme Bali hadir tidak hanya sebagai akibat yang sifatnya dirancang negara, namun juga dirancang sebagai akibat dari pertemuan antara masyarakat kosmopolitan dan budaya tradisional Bali. Pertemuan itu mereifikasi kebudayaan Bali sebagai suatu paket konsumtif spiritual dan estetis yang mudah dicerna oleh kelas menengah Barat sebagai akibat dari interaksi tradisi dengan masyarakat kosmopolitan. Pada saat yang bersamaan muncul masyarakat Bali yang menyambut kesempatan tersebut dengan baik. Pertemuan ini tidak hanya melahirkan sebuah relasi yang sifatnya ekonomi, namun juga sosial, budaya dan hubungan perkawinan. Tesis ini melihat hubungan kosmopolitan antara global dan lokal bersifat subversif terhadap kerangka turisme negara. Pendapat ini dapat dibuktikan dengan membandingkan keadaan turisme Bali dari dua rezim penyelenggara turisme yang berbeda, yaitu tahun 1920an oleh pemerintah kolonial Belanda dan 1970an oleh pemerintah Orde Baru. Hubungan kosmopolitan dari ekspatriat Barat dengan masyarakat lokal Bali pada tahun 1920an hingga 1930an, dalam level tertentu dibatasi melalui peraturan visa, dan berbagai bentuk pengawasan dari aparatur negara. Hal ini dilakukan oleh rezim kolonialisme guna menekan ide-ide modernitas seperti nasionalisme, kesetaraan kelas dan gender yang dibawa oleh ekspatriat Barat di Bali. 1
Hal ini kontradiktif ketika kedatangan para ekspatriat tersebut di Bali terjadi justru akibat pelembagaan turisme yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Ditandai
dengan
dibukannya
cabang
Vereeniging
Toeristenverkeer in Nederlandsch Indie (VTNI) di Bali tahun 1914 yang mengatur jalur lalu lintas pariwisata. Pemerintah beranggapan hubungan kosmopolitan ini dapat mengganggu tatanan politik, sosial dan budaya dalam kerangka kolonialisme Belanda di Bali. Selain berkat pelembagaan turisme, kedatangan ekspatriat Barat tersebut tidak lepas dari ide-ide orientalisme yang menjadi faktor pendorong tingginya minat para ekspatriat untuk mengeksplorasi wilayah Timur. Ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak ada warga asing yang berkunjung ke Bali, namun kunjungan sebelum VTNI membuka cabang di Bali sangat kecil jumlahnya, lebih pada alasan birokrasi kolonial maupun penelitian yang dilakukan dalam kerangka kolonialisme. Daya pikat Bali yang terakumulasi dalam berbagai catatan dan laporan sebelum dan awal abad ke-20 mendorong kedatangan gelombang ekspatriat pada awal abad ke-20. Imaji Bali sebagai surga di-produksi dan terus direproduksi oleh ide-ide orientalisme. Bali. VTNI dalam brosur-brosurnya menyebut Bali sebagai “Mutiara Kepulauan Nusa Tenggara”1 Pola yang sama terjadi pada turisme hippies di Bali yang muncul pada tahun 1968 dan berkembang pada 1971. Pemerintah Orde Baru selaku rezim penyelenggara turisme di Bali beranggapan bahwa hubungan kosmopolitan antara turis hippies dan masyarakat lokal dapat mengganggu kerangka turisme yang telah Picturesque Dutch East Indies, “The Official Tourist Bureau of Weltevreden (Java)”, Inter Ocean, 6/8, 1925, 526-529. 1
2
disusun negara. Wacana pembangunan nasional yang menjadi landasan ideologi ekonomi Orde Baru, menganggap turis hippies yang membawa ide-ide kebebasan hidup ini dapat merusak tatanan politik, sosial dan budaya masyarakat Bali. Padahal turisme Bali internasional yang kita kenal saat ini, bukan hanya akibat dari kebijakan pemerintah tapi sebagai akibat dari kerjasama kosmopolitan antara lokal Bali dengan turis hippies. Dalam prosesnya terbentuk hubunganhubungan unik, yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia. Keunikan yang dimiliki Bali ini menjadi jawaban mengapa turisme Bali lebih sukses daripada daerah lain di Indonesia. Proses penciptaan kelembagaan ekonomi menjadi industri ini didorong oleh relasi yang sifatnya pribadi. Hal ini dapat memberi sumbangan untuk memahami bagaimana relasi ekonomi di Bali tercipta. Tesis ini membuktikan ketika dua unsur kebudayaan bertemu, maka itu akan membentuk jenis relasi ekonomi baru yang pada akhirnya terwujud sebagai industri turisme. Kehadiran turisme hippies2 di Bali tahun 1968 dan berkembang pesat pada tahun 1971, merupakan wujud nyata hubungan kosmopolitan melalui pertemuan antara turis hippies dan masyarakat lokal. Turisme hippies yang dimaksud dalam tesis ini adalah bentuk turisme yang kemunculannya berkaitan dengan pertemuan turis yang dipengaruhi ide-ide budaya tandingan hippies dengan lokal Bali. Pertemuan itu tidak hanya memberikan keuntungan secara ekonomi pada masyarakat Bali yang mampu membaca peluang ekonomi, namun juga bentuk
2
. Untuk kategori budaya tandingan hippies dapat dilihat dalam : Kenneth Westhues, Society’s Shadow : Studies in the Sociology of Counterculture, (Toronto: McGraw Hill Ryerson Limited, 1972), hlm. 10 dan Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an, (Tangerang, Marjin Kiri, 2010). Hlm 39-40. 3
relasi lain seperti budaya, gaya hidup, perubahan cara pandang dan transfer ilmu untuk kepentingan pariwisata. Hippies merupakan salah satu bentuk budaya tandingan (counter culture). Hippies pada dasarnya merupakan sebuah gagasan tentang suatu cara hidup tentang kehidupan yang berbeda dengan yang dominan pada waktu itu. Hippies merupakan gerakan tanpa bentuk yang para anggotanya tidak memiliki kartu anggota, dan tidak dibatasi oleh umur, maupun negara. Keberadaan mereka secara kasat mata dapat dilihat dari penampilannya yang eksentrik. Rambut panjang, jenggot yang dibiarkan tak dicukur, memakai pakaian longgar aneka warna (psikedelik), sandal, menggunakan manik-manik, serta kaum perempuannya tidak memakai bra3. Kenneth Westhues4, hippies dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu : heads, weekenders, dan plastic hippies. Yang pertama adalah kategori gagasan yang menawarkan kebebasan dalam hidup dan menjadikan kehidupan modern sebagai penyebab manusia jauh dari sifat kemanusiaannya dan seakan lari dari kebebasannya. Kategori kedua adalah kelompok yang hidup dalam gagasan tentang kebebasan namun meninggalkannya pada lain waktu. Sementara yang ketiga adalah plastic hippies merupakan kelompok yang sama sekali tidak memahami gagasan kebebasan hippies akan tetapi memakai atribut yang pada waktu itu dapat merepresentasikan hippies. Rambut panjang (gondrong) tergerai,
3
Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong Politik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, (Jakarta : Marjin Kiri, 2007). Hlm. 42. 4 Kenneth Westhues, society’s Shadown: Studies in the Sosiology of Countercultures, (Toronto: McGraw-Hillryerson Limited, 1972). Hlm. 122-136 4
pakaian loose, mengkonsumsi jamur atau narkotika sejenis untuk menciptakan apa yang disebut halusinasi. Tiga kategori yang dirumuskan oleh Westhues ini tidak mampu menjelaskan bagaimana hippies yang melakukan perjalanan hippie trail-nya hingga Bali. Maka tesis ini akan menyebut kelompok hippies ini menjadi kelompok yang masuk kategori leisure hippie. Terminologi ini digunakan untuk menjelaskan sekelompok remaja yang menjalani gagasan hidup kebebasan hippies, beberapa dari mereka enggan disebut sebagai hippies. Mereka memiliki pengalaman latarbelakang budaya, sosial, dan politik Barat, baik yang pernah terlibat dalam gerakan protes mahasiswa, maupun dalam misi pribadi untuk datang ke daerah yang baru dalam jalur hippie trail, dengan tujuan untuk “melihat dunia”. Berbekal uang dalam bentuk traveler cheque yang diperkirakan cukup untuk hidup selama dalam perjalanan di jalur hippie trail. Mereka tidak menginginkan menjadi berlimpah materi, tetapi yang penting cukup untuk mencukupi gaya hidup mereka sebagai hippies yang gemar mengunjungi satu tempat ke tempat lain. Dari persehubungan itu muncul agen lokal yang mampu membaca peluang ekonomi dan memberikan pengaruh pada perubahan sosial, ekonomi di Kuta dan Ubud. Peluang itu terwujud dalam usaha pada bidang akomodasi seperti losmen, restoran, art shop dan art gallery. Kemunculan Kuta dan Ubud dari desa tradisional menjadi daerah tujuan utama pariwisata di Bali besar mendapat pengaruh turisme hippies. Namun hubungan kosmopolitan dalam turisme hippies
5
ini dianggap subversif terhadap kerangka turisme pemerintah Orde Baru, sehingga ditempuh cara-cara untuk menekan jumlah turis hippies di Bali. Turisme hippies ini, tidak secara acak memilih dua desa tradisional Kuta dan Ubud menjadi tempat untuk singgah (sojourn) maupun menetap (settlement). Simpul-simpul informasi yang terjalin sejak awal tahun 1920an di Ubud dan tahun 1930an di Kuta, terakumulasi dalam jalinan ide-ide orientalisme yang berkembang pada waktu itu, memantapkan mitos Bali sebagai surga. Kolonialisme melalui proyek baliseering untuk “melindungi” kebudayaan Bali dari kerusakan yang dianggap datang dari luar, seperti modernisme, nasionalisme dan Islam. Bali terisolasi dan menjadi laboratorium hidup bagi para ekspatriat pada periode 1920an hingga 1930an. Menghasilkan karya-karya dan membuat nama Bali dikenal secara internasional lebih dulu dari pada nama Indonesia, melalui mitos “surga” yang dihasilkan oleh kolaborasi ide-ide orientalisme dan kolonialisme Belanda. Dalam historiografi Indonesia, turisme Bali yang dipengaruhi ide-ide hippies belum mendapat perhatian dari para sarjana peminat Bali. Beberapa peminat bali seperti Henk Schulte-Nordholt, Adrian Vickers, Geoffrey Robinson, Michel Picard, I Nyoman Wijaya5 dan I Ngurah Suryawan6, dalam karyanya menitikberatkan program baliseering sebagai peletak dasar pembentukan budaya Bali yang dipetik 40 tahun kemudian oleh Orde Baru melalui proyek “Pariwisata
I Nyoman Wijaya, “Mencintai Diri Sendiri : Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007, Disertasi, Program Pascasarjana FIB, UGM, Yogyakarta, 2009. 6 I Ngurah Suryawan, Kiri Bali Sepilihan Esai Kajian Budaya, (Yogyakarta: Kepel Press, 2013) 5
6
Budaya Bali”. Adrian Vickers dalam karyanya Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, merupakan satu-satunya penulis yang menyertakan hippies sebagai salah satu kelompok turis di Bali, dalam karyanya. Meskipun hanya sedikit dan tidak menempatkan hippies sebagai peletak dasar perkembangan turisme hippies di Kuta dan Ubud, namun kajiannya yang mendalam tentang pariwisata Bali begitu berharga. Penelitian-penelitian sebelumnya penting untuk memberikan gambaran historis bagaimana kepariwisataan Bali muncul. Namun penelitian sebelumnya belum secara mendalam melihat bagaimana hubungan kosmopolitan antara global dan lokal di Bali, bersifat subversif terhadap kerangka turisme negara. Alasan historiografis ini yang membawa kajian ini pada sebuah topik kosmopolitanisme turisme Bali 1920-1970an sebagai salah satu alternatif untuk memahami bagaimana turisme di Bali berkembang. Kajian ini membandingkan dua rezim penyelenggara turisme Bali dalam menyikapi hubungan kosmopolitan antara global dan lokal di Bali. Dalam konteks tahun 1920an hingga 1930an, hubungan kosmopolitan ini terbentuk antara ekspatriat Barat dengan masyarakat Bali. Sedangkan konteks tahun 1970an, hubungan kosmopolitan dilihat dari hubungan antara turis hippies dengan masyarakat Bali.
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian Permasalahan pokok dalam studi ini adalah membandingkan hubungan kosmopolitan antara ekspatriat Barat dan masyarakat Bali tahun 1920an-1930an dengan hubungan kosmopolitan antara turis hippies dan masyarakat Bali tahun 7
1970an, yang sama-sama memiliki sifat subversif terhadap turisme yang diselenggarakan oleh rezim penyelenggara pariwisata.” Sehingga rumusan pertanyaan yang akan dijawab 1. Mengapa ekspatriat Barat datang ke Bali pada tahun 1920an hingga 1930an? 2. Apa tindakan yang dilakukan negara kolonial untuk menekan hubungan kosmopolitan antara ekspatriat Barat dan masyarakat lokal di Bali pada konteks tahun 1930an? 3. Mengapa turis hippies datang ke Bali? 4. Apa saja usaha yang dilakukan negara dalam membentuk turisme di Bali konteks tahun 1960an hingga 1970an? 5. Bagaimana citra turis hippies yang dibangun oleh pemerintah Indonesia, terkait dengan kebudayaan nasional yang sedang dibangun Orde Baru? 6. Bagaimana bentuk hubungan yang kosmopolitan dalam interaksi lokal-global dari turisme hippies? Bali dipilih sebagai lokus penelitian ini, untuk membandingkan hubungan kosmopolitan antara global dan lokal dalam konteks dua rezim penyelenggara pariwisata yang berbeda yaitu negara kolonial dan negara Indonesia pada masa Orde Baru dalam proses sejarah. Hubungan kosmopolitan ini direpresentasikan oleh ekspatriat Barat dengan masyarakat Bali pada konteks kolonial dan untuk konteks Orde Baru direpresentasikan dari hubungan antara turis hippies dengan masyarakat lokal. Kosmopolitanisme menghasilkan hubungan yang bersifat subversif terhadap turisme negara.
8
Tahun 1920an hingga tahun 1930an dituliskan secara khusus karena ini menandakan Bali menjadi saksi dari apa yang dikatakan James Clifford sebagai “travelling culture”7. Periode ini juga menandakan Bali dikunjungi banyak tamu kaya, terkenal dan juga terpelajar dari berbagai negara. Kedatangan para ekspatriat Barat ini didominasi oleh ekspatriat dari Amerika, meskipun ada yang dari Belanda, Jerman, Perancis dan negara Barat lain. para ekspatriat Barat ini tidak memiliki pengalaman kolonialisme Belanda di Hindia Belanda, sehingga dalam prakteknya tidak sedikit yang merasa dihalangi untuk berintekasi lebih dalam dengan masyarakat Bali oleh kebijakan kolonial (colonial policy). Memfokuskan pada Denpasar, Kuta dan Ubud sebagai kesatuan dalam membangun narasi turisme hippies di Bali. Periodisasi turisme hippies dalam tesis ini adalah tahun 1968 hingga akhir tahun 1970-an. Tahun 1968 ditandai dengan kedatangan turis hippies pertama setelah tiga tahun kemunculan budaya tandingan hippies di Amerika. Penyebaran budaya tandingan ini melalui karya seni, musik, film, catatan perjalanan, novel dan media massa. Hal ini membawa Bali menjadi salah satu tujuan dari “hippie trail”. Jika dilihat jarak kedatangan turis hippies ke Bali dengan kemunculan budaya tandingan hippies cukup lama, yaitu tiga tahun 5 September 1965 merupakan penemuan terminologi hippies untuk membedakan dengan generasi Beats oleh Michael Fallon. Dari data yang ada, tidak ditemukan data kunjungan turis hippies dalam jarak waktu 1965-1968. Keadaan politik Indonesia pada waktu itu menjadi alasan minimnya jumlah orang asing yang datang ke Indonesia, Clifford James, “Travelling Cultures”, dalam Culturasl Studies, (ed) Lawrance Grossberg, et. al. (new York : Routledge, 1992), hlm. 96-116. 7
9
terutama Bali. Disatu sisi, peristiwa politik pada 30 September 1965, yang dampaknya justru terasa pasca 1965, menjadikan pariwisata tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Disisi lain, peristiwa ini juga mengakibatkan perubahan struktur dalam pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto. Dua alasan politis ini memberi dampak tidak ditemukannya kegiatan turisme hippies dalam jangka waktu 1965-1968 Akhir tahun 1970-an8. dipilih untuk melihat batasan akhir pembentukan turisme hippies di Bali. selama tahun 1970an merupakan masa dimana pembentukan wajah pariwisata Bali dimulai. Berawal dari respon masyarakat Kuta dan Ubud secara spontan dalam menjawab fenomena turisme hippies melalui pembentukan usaha-usaha informal. Hal ini menarik minat investor lain baik masyarakat lokal dari daerah lain, turis hippies itu sendiri, maupun investor asing. Kuta dan Ubud berubah dari desa tradisional menjadi kota kosmopolitan, tempat bertemunya ide-ide hippies dengan Bali yang tradisional, melahirkan bentuk kesempatan ekonomi baru. Tesis ini mengambil fokus penelitian pada perbandingan dua rezim penyelenggara turisme di Bali yaitu pada periode negara kolonial Belanda tahun 1920an-1930an dan pada periode Orde Baru pada tahun 1970an. Sehingga periode
8
Pada awalnya penelitian ini memfokuskan pada tahun 1970 hingga 1990an, namun atas masukan dari Prof. Henk Schulte-Nordholt untuk lebih memfokuskan pada tahun 1970-an. Hal ini dilakukan untuk melihat dinamika interaksi lokal-global dari fenomena hippies di Kuta (maupun Ubud). Setelah tahun 1980-an, semakin banyak pemain yang terlibat di dalamnuya seperti investor multinasional maupun internasional. Hippies sebagai sebuah way of life sudah tidak begitu terasa gaung nya setelah 1980 atau justru melebur dengan gerakan budaya yang lain, tapi tidak fenomenal seperti awal kemunculannya di Bali (khususnya Kuta) pada pertengahan dekade 1960-an. 10
diantara tahun 1940an hingga awal 1960an tidak ikut dibahasa dalam tesis ini. Selain karena ingin memfokuskan pada hubungan kosmopolitan dari global-lokal di Bali dengan aktor ekspatriat barat dan turis hippies yang ada pada konteks waktu itu, yang tidak dijumpai pada periode tahun 1940an hingga 1960an. Hal ini karena tidak ditemukan data statistik yang menyebutkan jumlah turis asing ke Bali selama periode 1940an hingga awal 1960an. Kelembagaan turisme sendiri masih terhambar dengan adanya konflik politik, sosial dan budaya pada periode masa itu. Sehingga hanya membandingkan periode 1920an hingga 1930an dan 1970an untuk melihat gejala kosmopolitanisme turisme di Bali. Tesis ini juga melacak ide-ide orientaslisme dalam pembentukan imaji Bali sebagai surga sejak awal abad ke-20. Ini membawa turisme Bali lebih sukses dari pada turisme daerah lain di Indonesia. Interaksi lokal-global yang telah terjalin melalui ekspatriat dalam hal perdagangan dan politik membawa Bali hadir dalam ke-khas-an yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Turisme bagai denyut nadi kehidupan bagi masyarakat Bali. Seperti yang dikatakan Michel Picard pariwisata budaya dan budaya pariwisata, keduanya bagaikan dua sisi mata uang, saling melengkapi tidak bisa dipisahkan9. Turisme Bali telah mengubah dan membentuk imaji Bali sebagai surga sesuai dengan jiwa zamannya. C. Kerangka Konseptual
9
Ini juga disampaikan oleh Degung Santikarma dalam Film Dokumenter karya Kerry Negara yang berjudul Done Bali produksi Australian Film Finance Coorporation, tahun 1993, sebagai berikut : “we keep the pritifness of the myth of island of Paradise because that’s they want, what happens now is not culture tourism but tourism culture”. 11
Tulisan ini menggunakan metodologi cosmopolitan history10. Untuk menjelaskan bentuk-bentuk relasi yang muncul dari hubungan antara global, diwakili oleh ekspatriat Barat pada konteks tahun 1920an-1930an dan turis hippies pada konteks waktu tahun 1970an dan lokal, yang diwakili oleh masyarakat Bali pada tahun 1920an dan 1970an. Tulisan ini membandingkan kedua periode tersebut untuk menunjukkan bahwa hubungan kosmopolitan tersebut bersifat subversif terhadap turisme negara. Secara sederhana tesis ini melihat kosmopolitanisme sebagai sense of being part of the world, perasaan menjadi anggota atau warga dunia yang satu. Dalam suasana kosmopolitan, batas-batas budaya bukan penghalang seseorang untuk melakukan mobilitas horizontal. Realitas sosial-budaya yang berbeda justru menyediakan melting-pot bagi proses interaksi dan dialektika antarbudaya 10
Menarik ketika melihat kosmopolitanisme yang disampaikan oleh Bennedict Anderson pada esainya di etnohistori.org. Anderson mengakui terinspirasi menggunakan konsep colonial cosmopolitanism atau “kosmopolitanisme kolonial” dari salah satu tulisan pembuka James T. Siegel pada buku Menjadi Tjamboek Berdoeri, memoar Kwee Tiam Tjing, yang juga dieditori oleh Anderson sendiri. Siegel menerapkan konsep itu untuk melihat perjalanan hidup Kwee Tiam Tjing sebagai keturunan Tionghoa yang hidup di iga zaman, yaitu masa kolonialisme, pendudukan Jepang dan hingga Indonesia poskolonial. Siegel memandang “bahasa” sebagai wujud dari kosmopolitanisme kolonial yang dilakukan oleh Kwee Tiam Tjing sebagai seorang satiris dan kolomnis berbagai surat kabar. Anderson menambahkan bahwa, kepandaian Kwee Tiam Tjing menguasai lima bahasa asing tanpa pernah sekalipun keluar dari Indonesia, menunjukkan sisi cosmopolitan yang unik. Seperti yang dikatakan Anderson, “Doski gak pernah keluar ke dunia yang besar, namun justru dunia yang besar-lah yang datang ke diri-nya, dan tidak dalam bentuk-nya yang kosmopolit”. Kita sering percaya bahwa orang kosmopolitan yang sesungguhnya haruslah seorang musafir yang polyglot, berminat dan mengapresiasi negaranegara tempat ia berpijak. Tipe kosmopolitanisme macam ini cenderung berpikir tentang diri-nya sendiri seperti dalam istilah masa pencerahan sebagai seorang warga negara dunia. Jenis kosmopolitan Kwee merepresentasikan sebaliknya. Lihat : Arif Djati dan Ben Anderson (ed), Menjadi Tjamboek Berduri, Memoar Kwee Tiam Tjing, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2010). 12
tersebut. Perbedaan justru dapat menjadi faktor pemerkaya bagi pendewasaan antar budaya. Tesis ini memandang perbandingan hubungan global-lokal dalam konteks tahun 1920an dan 1970an di Bali antara ekspatriat Barat dan turis hippies dengan masyarakat Bali sebagai bentuk sejarah kosmopolitan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Immanuel Kant11 dengan merumuskan sembilan dalil yang berisikan proses perkembangan peradaban umat manusia dari masa awal hingga masa modern yang dalam prosesnya membentuk nilai-nilai universal seperti hukum, institusi negara dan juga perdagangan yang terintegrasi. Kant dalam hal ini melihat peradaban manusia yang kosmopolit namun dalam pengertian politik. Dalil yang dikembangkan Kant bias kultural karena melihat Yunani sebagai pusat dari peradaban yang mapan. Menarik untuk melihat konsep kosmopolitanisme dari Ulrich Beck, seorang pemikir Jerman untuk membedakan dengan kosmopolitanisme Kant12. Secara sederhana dapat dijelaskan kosmopolitanisme menurut Beck adalah sebuah kondisi berlangsungnya keadaan yang non-linier, bagian proses dialektika dari universal dan partikular. Di sini muncul kemiripan sekaligus ketidakmiripan,
Immanuel Kant, “Idea of a Universal History from a Cosmopolitan Point of View”, Theories of History, (United States : The Free Press, 1959), hlm. 22-33. 12 Kosmopolitanisme bukan seperti yang dimaksudkan oleh Immanuel Kant sebagai obligasi, perintah, yang digunakan untuk memimpin dunia. Kosmopolitanisme dalam risk society-nya Ulrich Beck membuka mata kita pada kewajiban tak terkendali, sesuatu yang terjadi kepada kita, menimpa kita, namun pada saat bersamaan menstimulasi kita untuk membuat melampaui batas awal yang baru (border-transcending new beginnings). 11
13
global dan juga lokal semua terhubung. Relasinya bukan sebagai bentuk polarisasi namun lebih sebagai “hubungan” (connected)13. Jika Kant membagi menjadi sembilan dalil, maka Beck dalam hal ini membagi masyarakat menjadi tiga yaitu pramodernitas (pre-modernity), modernitas pertama (first modernity) dan modernitas kedua (second modernity). Dalam tesis-nya tentang masyarakat resiko (risk society), Beck berpendapat bahwa konflik dalam masyarakat berbeda-beda antara satu periode dengan yang lain. Beck memakai prespektif makro-politik dalam menjelaskan konflik tersebut. Perang agama menjadi konflik dominan pada masa pra-modern, konflik hubungan pemilik modal dengan buruh ada pada masa modernitas pertama, dan benturan budaya risiko (the clash of risk cultures) menjadi konflik fundamental pada modernitas kedua14. Sama seperti Kant, Beck15 dalam hal menjelaskan pembagian
13
Ulrich Beck, The Cosmopolitan Vision, (trans) (Ciaran Cronin, Cambridge : Polity Press, 2006), hlm. 16. 14 Ulrich Beck, “Living in the World Risk Society (A Hobhouse Memorial Publoic Lecture Given on Wednesday 15 Febuary 2006 at the London School of Economics”), Economy and Society Volume 35 Number 3 August 2006, hlm. 329345. 15 Beck tidak seperti pemikir-pemikir lain yang senang menggunakan terminologi “beyond-isme” dan “post-isme”, contohnya dalam melihat zaman setelah modern menjadi pascamodernisme, harfiah dapat diartikan sebagai zaman setelah zaman modern. Arti kata pasca itu sendiri secara leksikon adalah “melampaui” atau “setelah”. Beck menolak ide bahwa saat ini kita telah pindah dari masyarakat modern menuju masyarakat pascamodern. Bagi Beck, kita masih berada dalam masyarakat yang modern, tidak berpindah dari sebuah kondisi yang beyond modern. Sehingga Beck menjelaskan situasi ini menjadi “modernitas kedua” (second modernity). Konsep yang berbeda dijelaskan oleh Lynn Hunt dan Margaret Jacob. Menurutnya definisi pascaodernisme terdiri dari 3 terminologi : “modernitas”, “modernism” dan “poststrukturalisme”. Secara singkat dapat dikatakan, “modernitas” adalah modern industrial dan cara hidup perkotaan. “Modernisme” adalah gerakan dalam seni dan sastra yang bertujuan untuk melihat esensi dari gaya hidup baru (misalnya gedung pencakar langit), sementara itu pascastrukturalisme adalah kritik teoretikal terhadap asumsi modernitas yang 14
masyarakat masih bias-kultural, karena menjadikan masyarakat Eropa sebagai tolok ukur. Pada era modernitas pertama, Beck mengatakan bahwa rasa kebersamaan (sense of belonging) dan solidaritas masih melekat pada satu bangsa (nation) yang setara (equal). Pada modernitas kedua, rasa kebersamaan tidak hanya terikat pada satu bangsa namun solidaritas dapat muncul meskipun dengan orang asing (strangers) dan tidak setara itu menjadi mungkin. Dalam modernitas kosmopolitan ada jarak yang jelas antara perbedaan mobilitas dan migrasi. Pada paradigma negara-bangsa di modernitas pertama, gerakan di dalam negara-bangsa disebut mobilitas, dan gerakan di antara negara-bangsa disebut migrasi. Pada paradigma kosmopolitan masyarakat dapat dijelaskan melalui distribusi tenaga kerja dan kekayaan berbasis pasca bangsa (post-nation)16. Jadi
jika disederhanakan, pemikiran Beck
ini
merupakan hasil
penerjemahan dari pemikiran Kant tentang kosmopolitanisme. Jika diawal Kant dapat ditemukan dalam filsafat, seni, dan kritisisme sejak abad XVII dan XVIII. Ini menandakan bahwa determinan yang dipakai oleh Lynn Hunt berkaitan dengan mikro-politik seperti cara hidup (the way of life) masyarakat perkotaan untuk mendefinisikan apa itu modernitas. Sedangkan Ulrich Beck lebih menyenangi konsep macro politik seperti “negara-bangsa” dan “globalisasi”. Lihat : Joyce Appleby, Lynn Hunt & Margaret Jacob, Thelling the Truth about History, (United States of America: Norton paperback, 1995), hlm. 200-204. 16 Dalam introduksinya Elkins menuliskan : “my book is a world of imaginative non-fiction…. The twenty-first century world envisioned here is the product of my imagination: it is a vision, a scenario, a schema, a model, an interpretation, but the scholarship, facts and related material make it non-fiction rather that fiction”. Elkins mengambil satu asumsi kunci pemikiran politik moden, dan institusi, membalikkan asumsi dan membayangkan seperti apa dunia yang dihasilkan. Asumsi kunci yang digunkana Elkins adalah territoriality sebagai dasar dari otoritas politik. Lihat : David J Elkins, Beyond Sovereignty : Territory and Political Economony in the Twenty-First Century, (Toronto: University of Toronto Press, 1995) hlm. Viii dan 308. 15
membayangkan sebuah kondisi yang diatur dalam hukum-hukum yang universal, namun masih terpusat pada kebudayaan Eropa, Beck sedikit mengelaborasi melalui pembagian masyarakat ke dalam tiga bagian. Dari situ kemudian Beck menjelaskan posisi modernitas yang kosmopolit yaitu ketika distribusi barang maupun manusia sudah tidak melihat batas bangsa. Berbeda dengan Kant dan Beck yang melihat kosmopolitanisme dalam kerangka politik, Kwame Anthony Appiah17 secara sederhana mendefinisikan kosmopolitanisme sebagai “universality plus difference” universalitas sekaligus perbedaan. Menurut dia, poin univesalitas harus didahulukan sebelum perbedaan. Hal ini penting untuk menyublimasi aspek perbedaan dalam kerangka universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Budaya yang berbeda harus dihormati bukan karena ia penting di dalam dirinya, melainkan karena manusia jauh lebih penting dan harus ditempatkan di atas segala-galanya sebagai pemilik budaya. Rumusan konsep kosmopolitanisme yang dibangun dalam tesis ini memberikan ruang kepada kedatangan ekspatriat Barat pada tahun 1920an hingga 1920an dan fenomena turisme hippies di Bali pada pertengahan tahun 1968 hingga
akhir
1970-an
sebagai
wujud
kosmopolitanisme
budaya
yang
menghasilkan hubungan kosmopolitan. Hubungan kosmopolitan yang dimaksud adalah hubungan-hubungan yang bersifat pribadi antara global dan lokal, yang jika dilihat dari kacamata rezim penyelenggara turisme dapat memberikan pengaruh buruk.
17
Ulrich Beck, The Cosmopolitan Vision, (trans) (Ciaran Cronin, Cambridge : Polity Press, 2006), hlm. 16. 16
Dalam konteks tahun 1920an hingga 1930an, pemerintah kolonial Hindia Belanda kuatir ekspatriat Barat membawa ide-ide modernitas seperti nasionalisme dan kesetaraan kelas pada masyarakat Bali dan tidak sesuai dengan kerangka kolonialisme Belanda di Bali. Pada konteks Orde Baru, pemerintah kuatir, turis hippies membawa ide-ide kebebasan dari budaya tandingan (counterculture) pada masyarakat Bali yang dianggap tidak sesuai dengan kerangka pembangunan nasional (national building) yang menjadi ideologi pembangunan ekonomi Orde Baru di segala sektor, termasuk turisme. Sebagai metodologi, sejarah kosmopolitanisme merupakan sub dari tema sejarah sosial. Sebelumnya perlu dipahami kompleksitas kosmopolitanisme sebagai sebuah metodologi dalam historiografi. Ini berkaitan dengan pemahaman konsep transnasion (transnational) dan tanpa batas (borderless). Penyatuan sebagai warga global bisa mengantarkan pada bias-kultural, dengan berkaca pada satu kebudayaan dominan yaitu Barat. Kosmopolitanisme arus utama dalam istilah Calhoun18 mempercayai bahwa dunia akan merujuk pada sebuah kondisi warga global, bukan lagi lokal. Melampaui sekat-sekat bangsa, namun lagi-lagi semua merujuk pada satu hal yang sifatnya general, mencari sebuah pola-pola yang sifatnya umum, sebuah khas rasionalitas Eropa abad pencerahan. Pandangan ini menjadi problematis ketika hal-hal yang sifarnya partikular tidak diperhatikan. Masyarakat di dunia menyatu dalam sebuah imajinasi masyarakat global, menghasilkan relasi ekonomi atau dikenal dengan istilah
18
Craig Calhoun, The class consciousness of frequent travelers: towards a critique of existing cosmopolitanism. in debating cosmopolitics, ed. Daniele Archibugi, (London : Verso, 2003), hlm. 86-116. 17
globalisasi. Bila dikaitkan dengan hal-hal yang sifatnya ideologis politis akan lebih rumit lagi. Ketika masyarakat kosmopolitan terpusat pada satu satuan nilai yang dianggap benar, seperti humanisme, modernitas, dan hukum internasional akan menghasilkan yang disebut sebagai essentially contested concepts19. Karya-karya yang telah ada sebelumnya seperti Henk Schulte-Nordholt, Adrian Vickers dan Michael Picard masih menjadikan negara (baik itu negara kolonial maupun negara Indonesia di bawah Soekarno dan negara Indonesia dibawah Soeharto) sebagai pemain utama pembentukan turisme di Bali. Turis hippies dianggap pembawa masalah, tidak sesuai dengan gaya hidupnya budaya Indonesia, lalu dinafikan begitu saja perannya. Padahal tumbuhnya pusat ekonomi baru di beberapa wilayah di Bali, erat kaitannya dengan turisme hippies ini. Kuta dan Ubud sebagai contoh, merupakan dua wilayah yang perekonomian turisme-nya hadir secara spontan, tidak melalui campur tangan negara. Negara memusatkan perekonomian turisme di Nusa Dua dan Sanur. Kemunculan Ubud dan Kuta sebagai pusat turisme hippies disebabkan oleh interaksi yang terbentuk antara lokal Bali dan turis hippies melalui imaji Bali yang telah dibangun sejak awal tahun 1920an-1930an.
19
Dalam ilmu sosial dikenal konsep-konsep yang diaplikasikan secara global seperti nilai-nilai humanisme, kondisi masyarakat yang modern dan hukum internasional. Artikel ini mendebat penggunaan konsep dalam ilmu sosial itu dengan menggunakan nilai (value) yang berkaca pada kebudayaan dominan, dalam hal ini Barat. Penulis mempertanyakan apakah konsep itu dapat dipergunakan secara global dengan konteks keragaman latarbelakang yang dimiliki masing-masih wilayah. Artikel ini baik karena memberikan prespektif berbeda dalam pemilihan konsep untuk menjelaskan sebuah realitas sosial. Lihat : David Collier, Fernando Daniel, Hidalgo, Andra Olivia Maciuceanu, “Essentially contested concepts: debates and applications”, Journal of Political Ideologis, 11(3), Oktober 2006, hlm. 211-246. 18
Sejarah sebagai sebuah realitas obyektif yang terjadi di masa lalu merupakan tindakan apa saja yang dalam istilah Purwanto20 sifatnya “manusiawi”, bukan sesuatu yang seharusnya dilakukan manusia secara normatif. Keberadaan historiografi Indonesia pascakolonial, belum lepas dari pemahaman teoritik tentang yang tercakup dari fakta sejarah. Sebagai sebuah peristiwa, sejarah ditulis jika hanya kaitannya dengan sesuatu yang penting secara sosial. Peristiwa yang dianggap kurang penting secara sosial (yang sebagian besar adalah sejarah masyarakat kebanyakan)
tidak masuk dalam sejarah21, seperti realiras sosial
adanya turisme hippies di Bali sejak akhir tahun 1960an. D.
Tujuan Penelitian
20
Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006), hlm. 30. 21 Perlu disamakan presepsi mengenai terminologi dari Indonesia Pascakolonial. Sejarah Indonesia pascakolonial disini adalah sejarah Indonesia merujuk pada semangat penulisan sejarah yang Indonesiasentris pasca Seminar Sejarah Pertama tauhn 1957 di Yogyakarta. Resink memiliki pendapat bahwa memahami semangat nasionalisme yang melanda Indonesia pada masa itu membawa kecenderungan untuk menuliskan sejarah yang Indonesiasentris. Dalam beberapa tulisan sejarah yang dihasilkan oleh sejarawan kewarganegaraan asing memiliki kecenderungan Eropasentris maupun Nerlandosentrisnya. Di lain pihak sejawaran Indonesia pada masa itu belum banyak seperti sekarang. Beberapa nama disebutkan oleh Resink adalah Sartono Kartodirjo, Muhammad Yamin dan Pringgodigdo. Namun ada sikap yang diambil Resink dengan tidak mempermasalahkan perbedaan-perbedaan dari aliran Batavia, aliran Utrecht maupun aliran Leiden dari segi ideologi, realisme, prespektif, metode maupun metodologi, hanya berusaha memberikan penjelasan bahwa pada saat itu ada perbedaan aliran yang merujuk pada “kesiswaan” dan “subyektifitas dalam penulisan sejarah Indonesia dan dari ketiga aliran tersebut banyak memberikan usaha yang besar pada bidang sejarah Indonesia. Lihat : G.J Resink, “Suatu Passe-Partout Sekitar Penulis-Penulis Sedjarah Tentang Indonesia” dalam Sekitar Sedjarah Kolonial dan Sedjarah Indonesia, Sedjarawan dan Pegawai Bahasa, (Djakarta: Bharata, 1971), hlm. 1-20. Dan “Laporan Lengkap Stjara I dan II tentang Konsepsi Filsafat Sedjarah Nasional dan Periodisasi Sedjarah Indonesia, diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, 1957. 19
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi penjelasan alternatif tentang pariwisata di Bali. Penelitian ini bertujuan merumuskan hubungan kosmopolitan antara global-lokal dengan melakukan perbandingan antara dua periode yaitu tahun 1920an dan 1970an. Pada periode tahun 1920an hingga 1930an hubungan kosmopolitan global-lokal direpresentasikan melalui ekspatriat Barat dan masyarakat Bali. Sedangkan untuk periode tahun 1970an melihat hubungan kosmopolitan antara turis hippies dan masyarakat Bali. Perbandingan dua periode ini memiliki tujuan untuk melihat kosmopolitanisme sebagai sebuah konsep mengenai persehubungan dua unsur kebudayaan global-lokal dengan semangat being part of the world melalui turisme, selalu berbenturan dengan kerangka turisme yang dikembangkan oleh negara. Selain itu penelitian ini menjawab pertanyaan mengapa Bali di kunjungi oleh ekspatriat Barat sejak tahun 1920an yang memuncak pada tahun 1930an. Senada dengan hal itu, penelitian ini pun menjawab pertanyaan mengapa Bali dikunjungi oleh turis asing yang dipengaruhi ide-ide hippies pada tahun 1968 dan memuncak pada 1971. Semenjak Bali menjadi satu destinasi penting dalam jalur hippie trail, berakibat besarnya jumlah kunjungan turis hippies setiap tahunnya. Hal ini memiliki konsekuensi logis dikeluarkan beberapa kebijakan negara Orde Baru untuk menekan laju turis hippies, sekaligus meningkatkan jumlah turis konvensional yang dianggap lebih memberi keuntungan secara eknomi. Penelitian ini juga bertujuan melihat citra turisme Bali dibangun oleh negara, dalam konteks negara kolonial maupun negara Indonesia terkait dengan pembentukan kerangka kolonialisme dan wacana pembangunan nasional pada 20
masa Orde Baru. Selain itu penelitian ini melihat bentuk hubungan kosmoplit melalui bisnis dan perkawinan yang terjalin dari turisme hippies E. Sumber dan Metode Salah satu dari tujuan ilmu sejarah adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu mengenai peristiwa-peristiwa masa lampau, tentang bagaimana deskripsi peristiwa, penyebab peristiwa itu terjadi, serta perkiraan implikasi atau dampak peristiwa tersebut terhadap bidang kehidupan lainnya22. Maka dari itu langkah utama yang akan dilakukan dalam kajian ini adalah mengumpulkan sumber informasi atau data dari berbagai sumber. Sumber tersebut berupa sumber tertulis maupun sumber tidak tertulis tetapi tetap berpegang teguh pada metode dan metodologi sejarah. Metode dalam penelitian ini salah satunya menggunakan metode virtual melalui grup Facebook “Lost Bali”23. Grup Facebook ini beranggotakan turis hippies yang berkunjung ke Bali dalam “hippie trail” untuk periode akhir 1960 hingga awal 1980. Sumber tidak tertulis lainnya adalah dengan menggunakan media foto untuk memberikan gambaran visual. Kemudian sumber tersebut ditambah dengan beberapa video dokumenter, maupun video klip yang pernah 22
Riyadi Soeprapto, Interaksionis Simbolik : Prespektif Sosiologi Modern (Averroes Press : Malang, 2002), hlm. 70. 23 Di era cyber ini, penggunaan media sosial sebagai salah satu metode pengumpulan sumber dimungkinkan. Batas-batas antar ruang dan waktu semakin cair. Salah satu media sosial yang dipakai dalam metode penelitian adalah Facebook. Lebih spesifiknya lagi yaitu salah satu fitur yang ada dalam Facebook yaitu grup. Dalam hal ini grup yang dijadikan bahan pengumpulan sumber penulis adalah grup “lost bali”. Grup ini didirikan oleh ayah dari Leslie Frankline, yang beranggotakan wisatawan asing yang pernah berkunjung ke Bali pada periode pasca Perang Dunia ke-2. Dengan fitur yang tersedia dalam Facebook, anggota grup ini dimungkinkan untuk saling berbagi dan terus terhubung satu dengan yang lain. 21
diunggah di YouTube atau diunggah personal oleh anggota grup Facebook “Lost Bali”. Bambang Purwanto mengingatkan bahwa sumber simbolik seperti patung, lukisan, karikatur dan ruang dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Alasannya karena pada dasarnya tulisan sejarah tidak hanya berarti atas konstruksi masa lalu melainkan juga dianggap sebagai refleksi kesadaran intelektual dan budaya yang dapat digunakan sekaligus sebagai sumber sejarah.24 Pernyataan dari Purwanto ini turut mengilhami penulis menjadikan cerpen maupun puisi yang diproduksi pada era sezaman dengan fenomena hippies sebagai salah satu sumber dari penelitian ini. I Nyoman Dharma Putra25 dalam penelitiannya mengenai perkembangan sastra di Bali menjadi salah satu rujukan yang dipakai dalam penelitian ini. Dharma Putra dengan sangat baik telah mengelompokkan hubungan antara Bali dan global dalam karya sastra, dalam bentuk cerpen, novel maupun puisi. Hal ini menurut penulis dapat memberikan gambaran realitas sosial masyarakat Bali sejaman. Sumber dokumen pribadi yang tidak bersifat formal resmi seperti arsip, buku atau dokumen-dokumen, ditemukan dari grup “Lost Bali”. Anggota grup “Lost Bali” tidak hanya mengunggah foto yang bersifat pribadi, tetapi juga video, poster, kartu pos, majalah, leaflet, bahkan kuitansi yang merupakan dokumentasi Bambang Purwanto, “Menulis kehidupan sehari-hari Jakarta: Memikirkan kembali sejarah sesial Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt, op.cit., hlm. 274. 25 I Nyoman Dharma Putra, A Literary Mirror : Balinese Reflection of Modernity and Identity in the Twentieth Century, (Leiden, KITLV Press, 2011), hlm. 227-262. 24
22
pribadi. Hal ini membantu dalam pengumpulan data sekunder yang dapat memberikan kerangka terhadap turis hippies itu sendiri26. Satu hal yang harus diperhatikan dari metode ini adalah mengenai “etika penelitian”. Kedudukan peneliti adalah sebagai pembaca diam (silent reader) yang sesekali bertanya atau berkomentar di laman grup. Penulis meminta izin terlebih dulu kepada anggota grup, ketika foto maupun sumber lain yang diunggah dalam laman grup, diambil untuk digunakan dalam penelitian ini. Kritik sumber dan verifikasi dilakukan melalui probing kepada yang bersangkutan, dan membandingkannya dengan sumber lain sejaman. Penelitian menggunakan sumber yang diperoleh dari netizen27 namun tidak menandakan penelitian ini merupakan dari penelitian cyberculture studies28. Tentu
26
Penulis bertindak sebagai silent reader, dengan tidak memberikan intervensi sedikitpun dari setiap wacana yang berkembang dalam setiap posting yang muncul di dalam grup tersebut. Mengamati setiap tanggapan dan wacana yang digulirkan oleh anggota-anggotanya, memberikan sebuah harapan yang besar bagi penulis mengenai presepsi mereka tentang Bali, kini dan juga lampau. Memori yang berupa pengalaman personal, mereka lembagakan dalam bentuk foto, video atau apapun untuk menunjukkan eksistensi dan nostalgia mereka pada Bali. Hal ini begitu berharga dan membantu dalam pengembangan narasi penelitian ini selanjutnya, 27 Netizenship adalah sebuah konsep yang digunakan untuk menjelaskan adanya “penduduk” dari “home” yang terdapat di dunia daring (dalam jaringan). 28 Cyber Cultur Studies adalah sebuah kajian yang mempertanyakan konsep “home” dan “homeland” dalam dunia daring dan luring (luar jaringan). Kini seiring berjalanannya waktu, kemajuan teknologi semakin membuat manusia bisa terhubung satu sama lain meskipun berada dalam wilayah spasial yang berjauhan. Konsep ruang dan waktu menjadi tidak sama antara dunia daring dan luring. Ruang virtual menjadi kajian utama dari cyber culture studies. Hal ini menandakan adanya perbedaan sense of belonging dari konsep “home” yang ada dalam dunia luring dan daring. Hal ini terkadang embodied, terlihat bagaimana ketika kita memperlakukan akun media sosial kita, katakanlah Facebook. Dalam ini penelitian ini melihat grup lost Bali sebagai penelitian luring yang menggunakan media cyber untuk menujang materi, namun bukan cyber culture itu sendiri. Cyber culture studies adalah penelitian yang memakai dunia cyber 23
saja hal ini mungkin dilakukan sebagai sebuah metode dalam penelitian sejarah. Apalagi saat ini kita sudah memasuki yang disebut era digital dan era virtual. Semua orang terhubung satu dengan yang lain dan memiliki wadah untuk saling berkomunikasi tanpa harus bertatap muka secara langsung. Penelitian ini menjadikan turis asing yang pernah datang ke Bali pada 1968-1979 yang mengalami, menjalani dan memahami turisme hippies sebagai bagiand ari pengalaman pribadi mereka di Bali. Tentu saja tisak semuanya berada di Bali saat ini, namun tersebar hingga di belahan dunia lain. Metode wawancara dimungkinkan menggunakan skype, facebook, maupun milis (mailing list). Semua kini mungkin dilakukan sebagai salah satu alternatif dalam metode penelitian sejarah. Penelitian ini juga memakai surat pribadi sebagai sumber yaitu surat menyurat antara Terri McCorrmack dalam perjalanannya di jalur hippie trail kepada orangtuanya di Australia. Surat ini mampu memberi gambaran sosial Bali pada 1968 hingga 1974. Sumber tertulis lain berupa surat kabar, majalah, buku, artikel dalam jurnal, tesis maupun disertasi, serta catatan harian maupun biografi, digunakan untuk membangun narasi dalam penelitian ini. Sumber dari media
sebagai obyek penelitian. Sementara itu penelitian ini melihat bagaimana orangorang terkoneksi satu dengan yang lain, lintas batas dan waktu. Mereka memiliki satu sense of belonging yaitu melihat Bali sebagai sebuah tempat yang menjadi bagian dari perjalanan penting dalam hidup mereka. Bagaimana mereka memaknai identitas mereka sebagai manusia yang hidup dalam dunia luring dan daring ternyata tetap terkoneksi. Namun peneltian ini juga harus berhati-hati, karena representasi “turis hippies” yang ada dalam grup Facebook ini, tentu saja hanya membagi pengalaman positif dari Bali. Metode virtual ini tidak merepresentasikan semua hippies. Lihat : Maria Bakardjieva, Internet Society : The Internet in Everyday Life, (London : Sage Publications Ltd, 2005). Hlm. 2-15. 24
massa adalah surat kabar lokal Suluh Marhaen yang kemudian pada tahun 1970 berganti nama menjadi Bali Post, surat kabar Nusa Tenggara, Majalah Express. Sumber tersebut diperoleh dari perpustakaan Daerah bali di jalan Teuku Umar, Denpasar, Perpustakaan Gedong Kirtya, Singaraja, dan Perpustakaan Medayu Agung Surabaya Laporan-laporan penelitian yang ada di perpustakaan Udayana dari antropolog maupun sejarawan juga digunakan dalam penelitian ini untuk melihat bagaimana hippies sebagai sebuah realitas sosial menjadi diwacanakan dalam ranah akademis. Selain itu, sumber-sumber sastra, berupa novel juga digunakan untuk melihat
bagaimana
latar
belakang,
semangat,
dan
hubungan
sosial
kemasyarakatan yang terjalin dalam proses realitas historis29. Novel yang digunakan berupa karya penulis Indonesia yang dihasilkan pada tahun 1960-an hingga 1970-an. Sumber novel yang digunakan adalah karya Putu Wijaya yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam (1971) dan Tiba-Tiba Malam (1977). Penelitian ini juga menggunakan sumber film yang diproduksi pada tahun 1970an yang dibintangi oleh Benjamin Suaeb pada tahun 1976 yang berjudul Hippies Lokal. Kuntowijoyo menyatakan bahwa novel dapat dijadikan sumber sejarah. Sebagai contoh adalah Mantra Penjinak Ular, karya Pramoedya Ananta Toer,
29
Sastra berhasil menampilkan citra dirinya sejajar sebagai sejarah, karena mampu menghadirkan situasi faktual dari masa lalu sebagai sebuah narasi melalui imajinasi kebahasaanya. Lihat : bambang Purwanto, “Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed), Prespektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 4. 25
Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, menggambarkan sebuah kurun sejarah, hubungan antarmanusianya, dan perubahan-perubahan sosialnya. Sartono juga menggunakan novel karya Boeka, merupakan nama samara P.C.C. Hansen, yang berjudul Pah Troeno, sebagai salah satu sumber sejarah dalam merekontruksi sejarah30. Menurut Kuntowijoyo, maksud pengarang ialah menyajikan sebuah historical truth dan bukan suatu actual accurances atau actual personalities31. Karya sastra menjadi saksi dan diilhami oleh zamannya, dan sebaliknya karya sastra itu dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa sejarah zamannya dengan membentuk public opionion. Selain itu, Hayden White dan Dominick La Capra menyarankan penggunaan sumber narasi alternatif sebagai sumber baru karena hal ini memungkinkan sejarawan mengurangi jarak metafor persamaan antara historiografi dengan imajinasi dari novelis atau pembuat puisi32. Penelitian ini juga memakai sejarah lisan sebagai metode pengumpulan sumber. Penelitian ini telah mewawancarai setidaknya tiga elemen: pertama, ekspatriat yang pernah berkunjung ke Bali pada periode akhir 1960-an hingga 1970-an. Kedua, masyarakat lokal daerah Kuta yang memiliki pengalaman dengan turis hippies pada periode tahun itu. Ketiga, masyarakat Bali yang memiliki usaha
30
Sartono Karto Dirjo, Modern Indonesia Tradition and Transformation : A Socio Historical Presptective (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1991). Hlm. 243-262. 31 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), hlm. 179. 32 Lloyd S. Kramer, “Literature, Criticism and Historical Imagination : The Literacy Challenge of Heyden White and Dominick La Capra” dalam Lynn Hunt, The New Cultural History (Barkeley: University of California Press 1989), hlm. 117-118. 26
hotel generasi awal dan yang mampu kemudian hari membangun bisnis berkaitan dengan turisme hippies. Metode sejarah lisan ini diperlukan untuk melengkapi sumber yang dikumpulkan dari studi pustaka baik berupa buku, puisi, novel, koran maupun laporan-laporan. F. Tinjauan Pustaka Salah satu karya yang menarik untuk disimak dalam mengkaji gaya hidup lintas bangsa (transnation) adalah penelitian yang dilakukan oleh Anthony D’ Andrea, yang berjudul Global Nomads Techno and New Age as transnational counterculture in Ibiza and Goa. Penelitian ini menginvestigasi mobilitas ke dalam strategi ekonomi dan ekpresi gaya hidup yang dilakukan oleh para pelancong transnational dari Spanyol ke India33. D’Andrea menyebut subjek penelitiannya sebagai expressive expatriates dan lebih umumnya sebagai global nomads, sebagai bentuk untuk memikirkan kembali dan merangsang debat dalam globalisasi dan perubahan budaya. Dimensi empirik dari penelitian ini berdasarkan pada multi-site transnational fieldwork yang menghubungkan antara Ibiza di Spanyol dan Goa di India sejak 1998-2003. Penelitian tersebut lebih menjawab bagaimana globalisasi budaya (cultural globalization),
untuk
menjelaskan
proses
global
dari
hipermobilitas
(hypermobility), digitalisasi dan interelasi refleksivitas sebagai bentuk baru dari subjektivitas, identitas dan sosialitas. Berdasarkan skala, kecepatan dan intensitas dari transformasi yang dibawa oleh proses globalisasi, penelitian ini juga dalam konsekuensinya menjawab pertanyaan dari perubahan budaya. Anthony D’ Andrea, Global Nomads Techno and New Age as transnational counterculture in Ibiza and Goa, (London : Routledge, 2007). 33
27
Penelitian yang dilakukan D’Andrea menginvestigasi bentuk kontemporer dari counterculture yang terbentuk akibat proses globalisasi. Penulis berupaya melakukan elaborasi antara techno dance dan gerakan spiritual New Age. Gabungan itu adalah bentuk kritik pada rezim institusi-ideologi modern, namun juga dengan masalah kontradiksi mereka dan juga dijelaskan secara hati-hati. D’Andrea mengidentifikasikan ekspatriat di Ibiza menjadi 5 jenis. Pertama, mereka yang menolak homelands dan mencari jalan keluar dari rezim moralitas state-market. Kedua, mereka yang mengambil bagian dalam budaya kosmopolitan pada bentuk ekspresi individu, yang dimanifestasikan dalam variasi praktek techno dan New Age. Ketiga, mereka mencari hubungan antara labor, leisure dan spiritualitas dalam sebuah gaya hidup yang holistik dalam romantisme budaya non-Barat dan lebih khususnya budaya India. Empat, mereka yang menghubungkan dengan elit budaya –artistik yang memunculkan relasi simbolik dengan politik pariwisata ekonomis, hiburan, dan sektor media yang sesuai dengan bentuk alternatif dalam bentuk komoditas. Lima, ekspatriat yang berkaitan dengan praktek mobilitas yang penting dalam mereproduksi hal penting lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun sebuah jembatan konseptual yang menghubungkan antara “global” dan “critical studies”, yang akan berkontribusi untuk membentuk sebuah evaluasi ulang dari model identitas dan bentuk subjektivitas dibawah kondisi globalisasi34. Sehingga D’Andrea
Dalam kajian mengenai hubungan global dan kajian kritis, D’Andrea memakai beberapa diskusi mengenai gerakan transnasional untuk menjelaskan bagaimana relasi antara transnation secara global. Sementara itu untuk kajian kritis disini D’Andrea memakai gabungan teori-teori dari mahzab kritis Frankfurt dan juga pascastrukturalisme Prancis Foucault, juga Delauze dan Guattari dengan 34
28
beranggapan dalam penelitiannya bahwa budaya tandingan merupakan salah satu bentuk akibat dari globalisasi dan mempengaruhi pembentukan identitas seseorang, sedangkan penulis dalam tesis ini melihat dalam fenomena budaya tandingan hippies di Bali justru menjadi pemicu proses globalisasi Bali itu sendiri. Bali menjadi lebih mendunia dan dikenal luas. Karya kedua adalah karya Adrian Vickers, Bali A Paradise Created35. Ini adalah sebuah penelitian yang memfokuskan pada perubahan citra Bali, yang berasal dari dialektika antara presepsi lokal dan imajinasi Barat atas Bali. Penelitian ini tidak hanya memfokuskan dengan simplifikasi dari imajinasi Barat tapi juga bagaimana masyarakat Bali melihat “dirinya sendiri”. Buku ini memberikan gambaran mengenai ekspresi dari beragam pandangan berdasarkan pengalaman di Bali. Tulisan Vicker berangkat dari wacana yang muncul di beberapa karya Barat atas Bali. sumbernya berasal dari tahun 1920-an, baik dalam bentuk buku, catatan perjalanan maupun artikel dalam majalah seperti Colin McPhee36, Robert Blackwood37, Hickman Powell38, Dirk van Hogendorp39, Helen Eva Yates40, Dan Davies-Moore41, Elliot Napier42.
pandangan kritisnya dari tradisi Weberian-Nietzschean. Mengenai kaitannya dengan hipermobilitas dan diaspora, D’Andrea memakai kajian antropolog pengkaji diaspora James Clifford dan Appadurai Lihat : Urry, Global Complexity, (Malden, Ma: Blackwell, 2003) dan E. Povibelli, “Thinking Sexuality Transnational”, GLQ: A Journal of Gay and Lesbian Studies 5, 1-11. Appadurai, Modernity at Large Culture: Cultural Dimensions of Globalization, (Minneapolis, MN: University of Minnesota Press, 1996). James Clifford, Routes: Travel and Translation in the Late Twentieth Century, (Cambridge, MA: Harvard University Press,1997). 35 Adrian Vickers, Bali A Paradise Created, (Singapore : Tuttle Publishing, an imprint of Periplus Edition (HK) Ltd, 2012) 36 Colin McPhee, A House in Bali, Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1979. 29
Vickers berpendapat dalam karyanya bahwa imaji atas Bali secara masif muncul di Bali pada tahun 1920-an. Gambaran ini terus di reproduksi secara perlahan tetapi pasti. Reproduksi dilakukan secara berlapis-lapis oleh berbagai agen. Para agen ini datang dengan beragam latarbelakang pengalam historis dan ide. Vickers menyebutkan beberapa tokoh penting penting seperti Margaret Mead, salah satu antropolog terkenal pada abad ini yang meletakkan Bali pada peta kajian internasional. Kemudian Soekarno, yang begitu menyukai seni sebagai peletak batu pertama yang menjadikan Bali sebagai yang disebut Vickers sebagai Mother of Culture Indonesia. Lalu Walter Spies, yang menciptakan romantisme dalam hal karya seni di Bali pada tahun 1930-an. Terakhir, Sir Thomas Stamford Raffles sebagai orang pertama yang memiliki perhatian serius pada budaya Bali43 selama masa pemerintahannya di Hindia Belanda. Karya ini penting untuk melihat bagaimana imaji atas Bali terus direproduksi. Ia juga menjadi tinjauan untuk melihat bagaimana ide-ide orientaslime dikembangkan oleh para sarjana asing atas Bali. Dalam kajian ini 37
Robert Blackwood, Beautiful Bali, Melbourne : Hampden Hall, 1970. Hicman Powell, The Last Paradise, London: Jonathan Cape, 1930. 39 Dirk van Hogendorp, Bericht van den Tegenwoordigen Toestand der Bataafschye Bezittingen in Oost-Indieen den Handel op Dezelve, 2nd edn, Delf: Roelofsaert, 1800. 40 Helen Eva Yates, Bali : Enchanted Isle, London : Allen & Unwin, 1933 41 Dan Davies-Moore, “The Girls of Bali”, Inter-Ocean 9 (1928): 485-489. 42 Elliot Napier, travel account from Sydney Morning Herald 20 Oktober 1934. 43 Tidak hanya peduli pada Bali, namun pada era Raffles, Candi Borobudur pertama kali mendapatkan sentuhan ahli untuk dibersihkan dari gundukan tanah yang selama berates-ratus tahun menutupinya. Raffles memiliki ketertarikan yang cukup besar terhadap karya seni, budaya maupun peninggalan berupa bangunan selama masa pemerintahannya. 38
30
sedikit sekali disinggung perihal turis hippies, karena memfokuskan bagaimana imaji Bali itu dibentuk dan direproduksi. Michel Picard44, membangun narasi bagaimana Bali sebagai sebuah entitas budaya sengaja diproduksi, direproduksi dan dibentuk menjadi sebuah komoditas budaya. Picard meletakkan batu pertama pembentukan pariwisata di Bali sejak masa kolonial Belanda. Peristiwa awal yang menandai pembentukan pariwisata Bali adalah perang puputan tahun 1906 dan 1908. Sejak itu Bali mulai diperlakukan “istimewa” dengan dalih untuk melindungi dari pengaruh Islam dan nasionalisme yang mulai berkembang di penjuru Hindia Belanda pada waktu itu. Sebuah proyek besar Balinisasi dengan nama Baliseering, adalah perwujudan nyata dari campur tangan Belanda terhadap pembentukan budaya Bali berdasarkan citra yang muncul dari para orientalis Belanda. Budaya menjadi citra Bali. Inilah tempat para orientalis Belanda, antropolog Amerika, para seniman dan wisatawan, memberikan sumbangsihnya terhadap pembentukan citra Bali. Mereka mengantarkan Bali menjadi sebuah daerah dengan banyak istilah seperti “surga terakhir”, “surga yang hilang”, “pulau seribu dewa”. Julukan-julukan ini memiliki satu pesan yaitu pemujaan secara berlebihan atas citra akan Bali yang diciptakan dari persehubungan yang terbentuk sejak tahun 1908. Setidaknya ada satu hal yang membedakan antara kajian Picard dengan kajian dari penelitian ini. Picard berpendapat bahwa “tujuan pariwisata” Bali yang kini tampak tak terelakkan merupakan hasil dari sejarah yang khas dan dari 44
Michel Picard, Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2006). 31
keputusan-keputusan tertentu. Keputusan tersebut semua ditetapkan diluar Bali sendiri. Pendek kata, perkembangan pariwisata di Bali merupakan sesuatu yang diharuskan dari luar, sehingga masyarakat Bali sendiri mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengannya. Sementara itu dalam riset ini penulis menunjukkan bagaimana hubungan yang terbentuk dari turis hippies dan masyarakat lokal Bali membentuk relasi ekonomi, budaya, dan sosial yang di dalamnya tidak hanya terjadi secara searah. Terdapat dialektika antara lokal dan hippies yang unik disini. Picard lebih menekankan aspek Negara dan swasta multinasional sebagai pemain dalam pembentukan pariwisata Bali. Sebaliknya penelitian ini justru ingin menunjukkan bagaimana relasi ekonomi yang muncul diluar dari negara dan swasta multinasional. Dalam hal ini lokal juga turut ambil bagian. Geoffrey Robinson45 dalam karyanya berpendapat bahwa ada kaitan struktural, untuk tidak mengungkap kaitan kausal, antara hakikat kebijakan serta praktik kolonial Belanda dan karakter konflik serta wacana politik dan sosial yang muncul di Bali. Maksudnya, konfigurasi konflik dan politik serta hakikat wacana politik itu, dalam arti apapun yang membentuk Bali, tidak “alami” atau sudah semestinya ada dari keniscayaan kultural maupun sosioloigis yang spesifik di Bali, melainkan dibentuk. Dalam hal ini peran agen memegang kedudukan penting. Berbeda dengan Vickers yang berusaha mencari genealogi dari pembentukan imaji Bali yang surga, Robinson berusaha menjelaskan kekerasan 45
Geoffrey Robinson, The Dark Side of Paradise : Political Violence in Bali, (Ithaca: Cornell University Press, 1995). 32
politik yang terjadi di Bali pada peristiwa 1965. Ia mengaitkan dengan wacana politik yang dibangun di Bali oleh kekuatan kekuasaan baik kolonial Belanda maupun aristrokat lokal, seperti raja-raja. Korelasi karya Robinson dengan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran kondisi sosial pada temporal 1960-an di Bali, bagaimana masyarakat Bali berada dalam ketakutan yang luar biasa berkaitan dengan peristiwa 65. Namun ternyata, tidak semua orang hidup dalam ketakutan yang mencekam. Beberapa wilayah seperti Kuta dan Ubud terbukti pada tahun akhir 1960-an, mampu membuka diri dari pengaruh diluar yang masuk di desa mereka. Pengaruh luar yang datang dari wisatawan asing salah satunya turis hippies. G. Sistematika Penulisan Tesis ini terbagi menjadi 5 bab dengan masing-masing bab menjawab pertanyaan penelitian. Bab 1 Merupakan bagian pengantar dalam merumuskan permasalahan. Pada bagian ini akan menjelaskan metodologi dan metode yang digunakan. Disamping itu juga menyebutkan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan atas Bali, untuk menunjukkan bahwa penelitian ini masih orisinil dan mungkin untuk dilakukan. Bagian ini akan membicarakan bagaimana conceptual frame work yang dipakai untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan menggunakan metodologi sejarah kosmopolitan. Bab 2 Bagian ini memiliki beberapa tujuan yang akan dicapai. Pertama, menyajikan pembacaan karya-karya yang dihasilkan oleh ekspatriat pada tahun 1920an hingga 1930an, untuk memahami bagaimana Bali dikenal dan menjadi 33
bagian dari jalur hippie trail tiga dekade kemudian. Bali tidak muncul begitu saja sebagai tujuan pariwisata utama, namun merupakan hasil dari simpul-simpul yang dijalin dengan baik oleh para ekspatriat, pemerintah melalui program baliseering maupun reproduksi terus menerus oleh media guna kepentingan keuntungan ekonomi atas Bali. Bagian ini mengajak pembaca untuk melihat wujud kosmopolitanisme dalam hubungan global-lokal antara ekspatriat Barat dan masyarakat lokal, serta bentuk-bentuk sifat subversive yang dihasilkan dari hubungan kosmopolitan ini terhadap turisme negara kolonial. Bab 3 Bab ini menganalisis bagaimana turisme di Bali dibentuk dan siapa saja pihak yang memiliki peran dalam membentuk turisme Bali itu. Tujuan utama bagian ini adalah untuk menjawab pertanyaan “siapa yang menjual Bali”. Di sini akan diuraikan melalui kacamata hubungan global-lokal yang terjalin rumit dalam membentuk citra Bali sebagai surga demi tegaknya turisme di Bali. Mengenai usaha-usaha institusionalisasi turisme hippies di Bali yang melibatkan tidak hanya masyarakat, negara, perusahaan multinasional dan juga kerjasama internasional Dalam proses pelaksanaannya, negara membangun wacana dan citra tersendiri tentang sisi tradisionalisme Bali yang harus ditonjolkan senada dengan wacana nation building yang tengah digalakkan oleh negara. Disisi lain, tentu saja ini bertentangan dengan wacana turisme Bali yang dibangun oleh wisatawan asing yang dipengaruhi oleh budaya tanding hippies. Dari dua pertentangan wacana negara dan hippies ini memunculkan bentuk ekonomi turisme yang berbeda dan turut membentuk turisme Bali di kemudian hari. Bagian ini memperlihatkan
34
bagaimana hubungan global-lokal terus langgeng baik melalui negara sebagai agen, maupun ekspatriat asing yang hippies. Bab 4 Bagian ini berangkat dari sumber primer seperti catatan perjalanan, surat dan kisah pribadi yang diperoleh dari hasil wawancara. Bab 4 bertujuan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana hubungan kosmopolit dalam interaksi lokalglobal dari turisme hippies?”. Bab ini menunjukkan bentuk-bentuk persehubungan yang lahir dari turisme hippies di Bali. Penggambaran dilakukan melalui contohcontoh beberapa warga lokal Bali yang menghasilkan bentuk hubungan seperti relasi ekonomi, relasi sosial, atau bahkan relasi budaya yang turut mengubah selera, cara pandang, teknologi dan lembaga yang menunjang turisme. Ditambah juga pengalaman beberapa hippies global dan hippies lokal yang berangkat dari turisme hippies akhir tahun 1960-an mampu membaca peluang ekonomi dari situ Bab 5 berisi kesimpulan.
35