1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Pelabuhan menjadi salah satu objek historis yang sangat penting bagi perkembangan sosial ekonomi, baik bagi kota pelabuhan,
wilayah
pesisir
tertentu,
maupun
zona-zona
perdagangan dan pelayaran, tempat pelabuhan itu berada. Selain itu, banyak penelitian historis yang mengkaji kota pelabuhan dari berbagai segi,1 meskipun tidak begitu banyak yang secara khusus menganalisis pelabuhan dalam konteks sejarah sosial ekonomi
1Misalnya:
Peter Reeves, et al, “Studying the Asian Port City”, dalam Frank Boeze (ed.), Brides of the Sea: Port Cities of Asia from the 16th – 20th Centuries (Kinsington: New South Wales University Press, 1989); Heather Sutherland, “Ethnicity, Wealth and Power in Colonial Makassar: A Historiographical Reconsideration”, dalam Peter J.M. Nas, The Indonesian City (Dordrecht-Holland: Foris Publication, 1986), hlm. 37-55; Edy Sedyawati, et al, Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1992; N.D. Oram, Colonial Town to Melanesian City Port Moresby 1884-1974 (Canberra: Australian National University Press, 1976); Franklin W. Knight and Peggy K. Liss, Atlantic Port Cities, Economy, Culture, and Society in the Atlantic World 1650-1850 (Knoxville: The University of Tennessee Press, 1991); Han Meyer , De stad en de haven stedebouw als culturele opgave in Londen, Barcelona, New York en Rotterdam: Veranderende relaties tussen stedelijke openbare ruimte en grootschalige infrastrukture (Roterrdam/Utrecht, 1996); Theo Stevens, “Semarang, Central Java and The World Market 18701990” dalam Peter J.M. Nas, Ibid., 56-70.
2
maritim.2 Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan terhadap suatu daerah pelabuhan seringkali menempatkan pelabuhannya pada posisi yang rendah, sehingga apa yang disebut sebagai kota pelabuhan
atau
daerah
pesisir
seringkali
kehilangan
sifat
kemaritimannya. Sebaliknya, penelitian terhadap suatu pelabuhan tanpa mengaitkan dan menganalisis struktur ekonomi daerah penyangga pelabuhan itu sendiri juga akan menghilangkan fungsi ekonomi pelabuhan terhadap jaringan penyangganya. Perkembangan suatu pelabuhan juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas daerah seberang / foreland terutama bidang perdagangan dan pelayaran. Max Weber misalnya, mengatakan bahwa perdagangan jarak jauh merupakan aktivitas yang menjadi inti dari pengertian sebuah kota.3 Sebaliknya perdagangan jarak jauh juga tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi pelabuhan dalam suatu jaringan ekonomi. Pelabuhan mempunyai peranan 2Kata
“maritim” bersinonim dengan kata “bahari”. Indonesia adalah negara bahari, bangsa Indonesia dalam sejarahnya mempunyai aktivitas yang besar di wilayah laut dan laut digunakan sebagai kekuatannya. Baca: Frederick I. Hermawan, Perkembangan Kegiatan Maritim (Bandung: Alumni, 1986). Sebagai negara maritim terbesar di Asia Tenggara, Indonesia mempunyai lebih dari 13.667 pulau yang 6000 buah di antaranya telah mempunyai nama dan 1000 buah di antaranya telah didiami. Wilayah darat mencapai 40% dan wilayah laut mencapai 60%. Baca: Linda Norene Shaffer, Maritime Southeast Asia to 1500 (New York: ME Sharpe, 1984), hlm. 5. 3A.
B. Lapian, “Dunia Maritim Asia Tenggara”, makalah pada Ceramah Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing tentang Sejarah Indonesia, Jakarta, 23 April 1991.
3
dominan atas daerah agraris di pedalaman, karena menawarkan pengapalan bagi produknya. Dengan demikian, perkembangan pelabuhan sangat dipengaruhi oleh daerah penyangga / hinterland dan hubungannya dengan daerah seberang yang diwakili oleh kapal-kapal yang datang ke pelabuhan tersebut.4 Selain itu, hubungan antar pelabuhan dan antara pelabuhan dengan daerah penyangganya telah membentuk jaringan antar wilayah dan berpengaruh
pada
perkembangan
pelabuhan
dan
kota-kota
pelabuhan. 5 Sejumlah
kajian
telah
menunjukkan
bahwa
pelabuhan
mempunyai interkoneksitas sosial-ekonomi dengan wilayah di sekitarnya
khususnya
daerah
penyangga,
sebagaimana
4Rhoads
Murphey, “On Evolution of the Port City”, dalam Frank Broeze (ed.), Brides of the Sea: Port Cities of Asia from the 16 th – 20 th Centuries (Kensington: New South Wales University Press, 1989). Lihat juga: Abdurrachman Surjomihardjo, “Rekonstruksi Sejarah kota Melalui Perkembangan Tiga Jalur Pranata Sosial”, dalam T. Ibrahim Alfian, et al (ed.), Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis (Yogyakarta: UGM Press, 1992). 5Henry
Pirenne tidak mau mendefinisikan pemukiman kota sebagai suatu kota jika tidak hidup atas perdagangan jarak jauh. Baca: Reeves, op.cit., hlm. 29-30. Kota bandar atau kota perdagangan berkembang karena faktor utama ekonomi dan perdagangan seperti Aceh, Malaka, Palembang, Banten, Jakarta, Semarang, Surabaya, Demak, dan Makassar. Lihat: Zulyani Hidayah dan Joko Muji Raharjo, Corak dan Pola Hubungan Sosial Antar Golongan dan Kelompok Etnik di Daerah Perkotaan: Suatu Studi Masalah Pembauran dalam Bidang Sosial Ekonomi Daerah Surabaya Jawa Timur (Jakarta: Direktorat sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), hlm. 5.
4
diperlihatkan dalam studi Robert G. Albion6, Arjen van Klink7, Carl W. Condit8, dan Mon Bin Jamaluddin.9 Pentingnya hubungan antara
kota
dan
laut
dalam
konteks
perkembangan
kota
pelabuhan juga dibahas oleh Josef W. Konvitz.10 Sementara itu, Brian Dietz telah mengkaji hubungan antara pelabuhan dengan pelayaran dan perdagangan sebagai suatu jaringan timbal-balik.11 Dalam perdagangan dan pelayaran baik di tingkat lokal, interregional maupun internasional, pelabuhan berusaha untuk bisa bersaing dengan pelabuhan lainnya sehingga kapal-kapal akan tetap bisa beraktivitas secara efektif dan efisien. Hal ini menyebabkan munculnya keterikatan antara pelabuhan dan kapal-kapal
dagang
yang
memanfaatkan
fungsi
pelabuhan.
6Robert
G. Albion, The Rise of New York Port 1815-1860 (Newton Abbot: David and Charles Publish, 1970). 7Arjen
van Klink, “Towards The Borderless Mainport Rotterdam” (Disertasi tidak diterbitkan pada Erasmus Universiteit Rotterdam, Desember 1995). 8Carl
W. Condit, The Port of New York A History of the Rail and Terminal System from The Grand Central Electrification to The Present (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1981). 9Mon
Bin Jamaluddin, A History of Port Swettenham (Singapore: Malaysia Publications Ltd., 1965). 10Josef
W. Konvitz, Cities and The Sea. Port City Planning in Early Modern Europe (Baltimore and London: The John Hopkins University Press, 1978). 11Brian
Dietz (ed.), The Port and Trade of Early Elizabethan London Documents (London: London Record Society, 1972).
5
Terciptalah jalur-jalur pelayaran yang kemudian menjadi jalur tetap bagi kapal-kapal dari berbagai daerah lain. Itulah sebabnya sering muncul ketidakpuasan terhadap pengelolaan yang buruk suatu pelabuhan karena dianggap oleh para pengguna pelabuhan menghambat perdagangan dan pelayaran yang digelutinya. Akibat lebih jauh adalah pelabuhan akan mengalami kemerosotan fungsi apabila manajemen pelabuhan tidak diperhatikan dalam konteks persaingan dengan pelabuhan lain. Oleh karena itu, dalam pengelolaan suatu pelabuhan siapa yang mengontrol atas jalannya pelabuhan
memegang
peran
penting
untuk
bisa
membawa
pelabuhan sebagai lembaga yang menguntungkan terutama bagi pengguna pelabuhan. Kota-kota di Indonesia,12 yang salah satunya Surabaya, telah menjadi topik kajian yang menarik dalam historiografi Indonesia. Dari beberapa kajian terhadap kota pelabuhan13 dapat diketahui
12Baca:
Peter J.M. Nas, op. cit.; Freek Colombijn, et al (ed.), Kota lama, Kota Baru Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005); Sri Margana dan M. Nursam, Kota-kota di Jawa Identitas, Gaya hidup, dan Permasalahan Sosial (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010). 13Beberapa
hasil manuskrip dan disertasi baru-baru ini tentang sejarah bertema maritim, antara lain: Singgih Tri Sulistiyono, “The Java Sea Network” (Disertasi tidak diterbitkan pada Leiden University, 2003); Sutejo K. Widodo, Ikan Layang Terbang Menjulang Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990 (Semarang: BP Undip dan The Toyota Foundation, 2005); Endang Susilowati, “Perkembangan Pelabuhan dan Pelayaran Perahu di Pelabuhan Banjarmasin”
6
bahwa jalur perdagangan antarkota pelabuhan membentuk jalinan kesatuan antar wilayah.14 Jaringan hegemoni regional atas kotakota pelabuhan yang saling berhubungan itu dapat dijelaskan dengan melihat pelabuhannya itu sendiri.15 Surabaya merupakan salah satu contoh kota pelabuhan utama di Indonesia, khususnya dalam aktivitas perdagangan, industri, dan pelayaran. Keberadaan pelabuhannya menjadi salah satu faktor yang menentukan posisi penting Surabaya. Di samping itu, secara geografis Surabaya juga mempunyai keuntungan alam yang strategis, karena kota ini terletak di muara sungai Brantas yang dapat dilayari menuju ke laut.16 Eksistensi pelabuhan Surabaya telah membuat kota ini menjadi pusat komunikasi dan transportasi
di
Jawa
Timur
serta
pusat
distribusi
barang
(Disertasi tidak diterbitkan pada Universitas Indonesia, 2005); Alexander Claver, “Commerce and Capital in Colonial Java” (Disertasi tidak diterbitkan pada Vrije Universitet Amsterdam, 2006). 14Tentang
hal ini, baca: Setyawati Sulaiman, “Maritime Routes in The Classical Periode”, makalah dalam Supplementary Report for SPAFA Consultative Workshop on Research on Maritime Shipping and Trade Networks in Southeast Asia, Cisarua West Java, Indonesia, 10-17 November 1984; Sedyawati, op.cit., hlm. 2; Sri Sutjiningsih (ed.), Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutera (Jakarta: Depdikbud, 1995); Frank Broeze, “From Imperialism to Independence: The Decline and Re-Emergence on Asian Shipping”, dalam The Great Circle Journal of the Australian Association for Maritime History, Vol. 9, No. 2, October 1987, hlm. 73. 15Reeves,
op.cit., hlm. 38.
16Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indië II, 1859, hlm. 261.
7
perdagangan untuk pulau-pulau di bagian timur Hindia Belanda sejak pertengahan abad XIX.17 Pelabuhan Surabaya menjadi salah satu titik simpul yang sangat penting dalam eksploitasi kolonial. Keberadaan pelabuhan Surabaya
juga
ditopang
oleh
perkembangan
daerah-daerah
sekitarnya yang berfungsi sebagai daerah penyangga. Sejak pertengahan abad XIX, daerah-daerah penyangga itu berkembang cukup
pesat
seiring
dengan
berdirinya
berbagai
industri,
khususnya industri gula, dan perluasan infrastruktur seperti jalur kereta api dan jalan raya ke daerah-daerah pedalaman Jawa Timur. Dengan semakin tersebarnya pabrik gula di kawasan itu, Surabaya tumbuh sebagai daerah pusat industri yang kokoh.18 Perluasan
jaringan
transportasi
juga
semakin
memperbesar
kesempatan daerah pedalaman mengirimkan produk ekspornya
17Selama
masa kolonial, atau lebih tepatnya pada akhir abad XIX, Surabaya telah menjadi pelabuhan komersial yang terbesar di Hindia Belanda. Baca: John C. van Dyke, In Java and The Neighboring Island of the Dutch East Indies (London: Charles Scribner’s Lions, 1929), hlm. 189. 18Tentang
keberhasilan produk tebu dan gula di daerah Surabaya, baca: Uemura Yasao, “Perkebunan Tebu dan Masyarakat Pedesaan Jawa”, dalam Akira Nagazumi (ed.), Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor, 1986), hlm. 42-76. Baca: Howard Dick, “Manufacture”, dalam Howard Dick, James J. Fox, and Jamie Mackie (ed.), Balanced Development East Java in The New Order (Singapore: Oxford University Press, 1993), hlm. 327-328.
8
melalui pelabuhan Surabaya.19 Perkembangan ini menuntut adanya proses yang cepat dan lancar dalam aktivitas pelabuhan, khususnya dalam bongkar muat dan perdagangan ekspor-impor.20 Akan tetapi, pelabuhan Surabaya menghadapi masalah berupa keterbatasan kemampuan untuk menampung berbagai produk
19Dengan
adanya pekerjaan jaringan transportasi ini menyebabkan permintaan tenaga kerja semakin meningkat sejak tahun 1887. Para pekerja tertarik dengan pekerjaan di pabrikpabrik gula sepanjang jalur transportasi yang ada. Mereka menjadi tenaga kerja kasar dengan gaji sebesar 60 sen sehari. Baca: R.E. Elson, Javanese Peasant and The Colonial Sugar Industry: Impact and Change in an East Java Residency, 1830-1940 (Singapore: Oxford University Press, 1984), hlm. 135. Pembangunan jalan kereta api terus dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun modal swasta. Jalur kereta api yang telah terbangun sejak akhir abad XIX antara lain jalur Surabaya–Pasuruan memotong jalur Sidoarjo–Bangil dan Kertasana–Malang semakin memperlancar transportasi antara pedalaman dengan Pelabuhan Surabaya. Selain itu jalur ini juga menghubungkan Sidoarjo–Mojokerto. Dari Kertasana ada jalur ke Wilangan dan jalur Wilangan- Madiun. Baca: P.J. Veth, Java Geologisch, Etnologisch, Historisch deerde deel (Harlem: De Erven F Bohn, 1882), hlm. 852-853 Untuk kepentingan transportasi tiga sampai empat kereta penumpang melewati jalur Waru-Krian-Mojosari, Krian-Kupang, dan KrianJarebeng. Sementara untuk jalur Krian-Sidoarjo dan PemabonPorong dilewati dua sampai tiga kereta sehari. Nota over de stoomtramwegnet in de Surabaja-Delta (Utrecht: J.van Boekhoven, 1885), hlm. 9. Sampai tahun 1925, hampir semua ibukota kabupaten telah dilalui oleh jalur kereta api. Lihat: Anonim, Boekoe Peringatan dari Staatsspoor-en tramwegen di Hindia Belanda 1875-1925 (Weltevreden: Topografische Inrichting, 1925). 20Proses
yang cepat dan lancar menunjukkan efektivitas dan efisiensi pelabuhan. Hal itu menjadi kebutuhan yang semakin mendesak untuk dipenuhi ketika arus barang yang masuk ke dan keluar dari pelabuhan semakin meningkat, baik melalui penyempurnaan peralatan maupun tata kerja pelabuhan. Baca: F. Soeratno, “Perkembangan Teknis dan Sosial di Pelabuhan”, dalam Dunia Maritim No. 12. Th. XXIX Desember 1979, hlm. 22.
9
ekspor-impor, dan juga ketimpangan antara jumlah produksi dari daerah pedalaman dan distribusi ke luar.21 Oleh karena itu, pengembangan pelabuhan Surabaya menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Rencana pengembangan pelabuhan Surabaya telah menjadi pembicaraan serius sejak akhir abad XIX dan kemudian berkembang menjadi perdebatan yang panjang pada awal abad XX.
Selain
itu,
pemerintah
menyadari
bahwa
semakin
meningkatnya produk daerah penyangga untuk ekspor, semakin berkembangnya jalur transportasi darat serta semakin majunya perkapalan yang modern, dibutuhkan campur tangan pemerintah yang
mendesak
untuk
memodernkan
pelabuhan-pelabuhan
dengan perlengkapan yang lebih baik. Rencana modernisasi atas pelabuhan-pelabuhan
tersebut
tidak
hanya
menyangkut
kepentingan internal pelabuhan saja tetapi juga kepentingan 21Berbagai
perdebatan tentang pembangunan Pelabuhan Surabaya dapat dibaca pada: Indische bouwkundige tjidschrift, orgaan der vereeniging van bouwkundigen in Nederlandsch-Indie, 1912, Th.XVII, hal. 26; R.A van Sandick, “Hoe Soerabaja het snelst en goedkoopst te helpen is aan een aanlegplaats voor zeeschepen”, dalam Weekblad de Ingenieur, No. 43 , 26 October 1907, M. van Geus, Soerabaja’s Strijd om een Haven (Soerabaja, 1911); “Havenverbetering te Soerabaja”, dalam De Indische Gids, IX, X, Jilid I Tahun 1907, hlm. 197; “De toekomst van Soerabaja als handels en oorlog haven van gevaar”. Dalam Weekblad voor Indie, No. 27, V, 25 Oktober 1908; “Dossier inzake de haven van Soerabaja 1907”, Archieven Financiën deel I 1816-1930 No. 697, Koleksi ANRI, Jakarta; “De Haven-Kade-en steigerplannen voor Soerabaja en de vaarwaters aldaar”, Weekblad voor Indie NO.14, Th V, 26 Juli 1908; Soerabaiasch Handelsblad, 18 Mei 1910. Lihat juga ‘De Havenplannen voor Soerabaja”, Tijdschrift voor economische geographie, Th I, 1910.
10
berbagai pihak seperti para pelaku ekonomi dan pemerintah sendiri
terutama
dalam
Singapura.
Dalam
perdebatan
ini
menghadapi
perkembangan
jarang
sekali
pengaruh
historis
diungkap
pelabuhan
kota
dalam
Surabaya,
kajian
yang
mendalam. Pada akhirnya pelabuhan Surabaya diputuskan untuk dikembangkan
secara
besar-besaran
menjadi
pelabuhan
internasional yang dapat mengatasi problem internal pelabuhan sekaligus merupakan strategi untuk bisa mengimbangi pelabuhan Singapura
dalam
perdagangan
dan
pelayaran
internasional.
Kebijakan tentang pengembangan pelabuhan ini dimulai pada tahun 1911,
22
setelah sebelumnya juga dilakukan perbaikan
pelabuhan tetapi tidak bisa mengatasi masalah. Pelabuhan Surabaya diperluas dengan membuat dermaga dan kolam baru yang berlokasi di pantai Surabaya sebelah barat muara
Kalimas
dan
memindahkan
aktivitas
pelayaran
dari
pelabuhan lama yang terletak di Kalimas antara muara sampai sekitar Jembatan Merah menuju dermaga dan kolam baru di sebelah barat pelabuhan Kalimas. Sementara pelabuhan lama
22Tentang
proses pembangunan secara fisik pelabuhan Surabaya lihat: J. Kraus en G.J De Jongh, Pulicatie der bescheiden inzake den aanleg eener haven te Soerabaja (Batavia: Landsdrukkerij, 1903); J. Kraus en G.J. de Jongh, Verslag over verbetering van haventoestanden van Soerabaja (Batavia: Landsdrukkerij, 1910); “Het rapport Kraus de Jongh inzake: De verbetering van haventoestanden te Soerabaja”, Indische boukundige tijdshcrift IV, 1911, hlm. 84.
11
tetap difungsikan sebagai pelabuhan bagi kapal-kapal dalam pelayaran pantai atau pelayaran lokal. Kondisi ini seharusnya mengubah pola pengelolaan pelabuhan yang tadinya lebih banyak dikontrol oleh pihak pemerintah menjadi lebih dikontrol oleh pihak swasta. Namun kenyataannya sejak tahun 1913, manajemen pelabuhan
tetap
diatur
di
bawah
pemerintah
dengan
mamasukkannya di wilayah kerja Departemen BOW (Burgerlijk Openbare Werken) atau Departemen Pekerjaan Umum. Selain itu, juga terdapat instansi-instansi pemerintah dan wakil pihak swasta yang
berkepentingan
pelabuhan,
terkait
dalam dalam
pengelolaan manejemen
dan
pengusahaan
pelabuhan.
Hal
ini
dimaksudkan agar eksploitasi pelabuhan dapat lebih berhasil sehingga bisa memasukkan pendapatan pelabuhan sesuai dengan tujuan dari eksploitasi kolonial. Hal yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini adalah ketika segala sesuatu tentang usaha pengembangan pelabuhan Surabaya telah dilakukan agar menjadi pelabuhan yang bisa menguasai perdagangan dan pelayaran internasional di Hindia Belanda terutama bagian Timur, tetapi yang terjadi adalah justru pelabuhan Surabaya menjadi pusat perdagangan dan pelayaran interregional yang terbesar di Hindia Belanda Timur, bahkan di seluruh wilayah Hindia Belanda. Hal ini terjadi karena pelabuhan Surabaya telah terikat dengan jaringan yang secara tradisional
12
telah berlangsung ratusan tahun yang lalu. Pengembangan pelabuhan
Surabaya
dalam
perdagangan
dan
pelayaran
internasional yang sekaligus dapat bersaing dengan pelabuhan Singapura didukung oleh produk daerah penyangga utama yang bisa dikapalkan ke luar negeri, yaitu gula. Dengan demikian, apa yang
diharapkan
oleh
Pemerintah
Hindia
Belanda
untuk
menjadikan pelabuhan Surabaya sebagai pusat perdagangan dan pelayaran yang bisa bersaing dengan Singapura ternyata tidak sepenuhnya terpenuhi.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan mengkaji tentang terbentuknya pelabuhan Surabaya sebagai pusat pelayaran dan perdagangan interregional ketika Pemerintah Kolonial mencoba mengembangkannya untuk menjadikan pelabuhan Surabaya sebagai pusat pelayaran dan perdagangan internasional. Dengan kata lain, permasalahan dalam disertasi ini adalah: mengapa dan bagaimana terjadi proses pelabuhan Surabaya menjadi pusat pelayaran dan perdagangan interregional, di Hindia Belanda Bagian Timur bukan menjadi pusat pelayaran dan perdagangan pelabuhan internasional yang dapat bersaing dengan Singapura, sebagaimana yang diinginkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
13
Untuk
menjawab
permasalahan
tersebut,
maka
akan
dianalisis empat faktor utama yang saling terkait dalam proses perkembangan pelabuhan Surabaya yang dimaksud. Faktor yang pertama
adalah
mengambil
kebijakan.
kebijakan
Mengapa
untuk
Pemerintah
mengembangkan
Kolonial pelabuhan
Surabaya sebagai pusat pelayaran dan perdagangan internasional utama di wilayah Hindia Belanda Bagian Timur? Hal-hal apa saja yang melatarbelakangi keputusan tersebut? Pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam proses ditetapkannya kebijakan tersebut? Kedua adalah jejaring pelayaran dan perdagangan. Jejaring pelayaran
dan
perdagangan
apa
saja
yang
mempunyai
keterhubungan dengan pelabuhan Surabaya. Bagaimana jejaring pelayaran dan perdagangan ini berproses sebagai pertalian historis yang memengaruhi perkembangan pelabuhan? Faktor ketiga adalah struktur ekonomi daerah penyangga dan kota Surabaya. Bagaimana struktur ekonomi daerah penyangga dan
kota
Surabaya
memengaruhi
perkembangan
pelabuhan
Surabaya. Unsur-unsur dominan apa saja dari struktur ekonomi daerah
penyangga
yang
tidak
bisa
dilepaskan
dari
fungsi
pelabuhan Surabaya. Apakah perkembangan industri di kota Surabaya memengaruhi proses terjadinya pelabuhan Surabaya sebagai
pusat
pelayaran
Indonesia Bagian Timur?
dan
perdagangan
interregional
di
14
Keempat adalah faktor pengelolaan pelabuhan Surabaya. Bagaimana manajemen terhadap pelabuhan berlangsung setelah pelabuhan Surabaya dikembangkan? Siapakah yang mengontrol manajemen pelabuhan Surabaya? Apakah pihak pemerintah ataukah swasta? Apakah sarana dan prasarana pelabuhan mendukung pelayaran dan perdagangan internasional? Apakah terjadi proses bongkar muat yang mendukung fungsi pelabuhan sebagai pelabuhan internasional? Bagaimana kedudukan dan perlakuan terhadap buruh bongkar muat dalam proses tersebut? Pembahasan dalam penelitian ini dibatasi tiga ruang lingkup, yaitu lingkup geografi, lingkup temporal, dan lingkup keilmuan. Ruang lingkup geografi penelitian ini adalah kota Surabaya tempat pelabuhan itu berada. Unit analisis ini akan dilihat sebagai sebuah sistem. Sebagai konsekuensinya, pembahasan juga akan meluas pada daerah-daerah di luar kota Surabaya terutama daerah penyangga pelabuhan dalam konteks jaringan antara kota dan daerah penyangga dengan pelabuhannya. Ruang lingkup temporal penelitian ini difokuskan pada periode tahun 1900-1940. Tahun 1900 diambil sebagai awal penelitian dengan memperhatikan beberapa alasan. Pertama, tahun 1900 merupakan tahun awal bagi pemerintah untuk secara serius
melakukan
pengembangan
pelabuhan
Surabaya.
Pengembangan pelabuhan ini menjadi perdebatan penting pada
15
awal tahun 1900-an hingga mencapai puncaknya pada tahun 1911 saat pemerintah menetapkan kebijakan pengembangan pelabuhan Surabaya sesuai dengan rencana pembangunan yang diajukan oleh J. Kraus dan G. J. de Jongh. Kedua, pada awal abad XX, perkembangan pemukiman Eropa mulai tumbuh di bagian utara kota dan perkembangan kota menuju ke wilayah selatan sampai ke daerah Wonokromo mulai berlangsung. Industri, khususnya yang berhubungan pabrik gula dan perkapalan, berkembang dengan pesat di sekitar Jembatan Merah pada awal abad itu. Salah satu hal penting dalam perkembangan kota pelabuhan Surabaya
saat
itu
adalah
ditetapkannya
Surabaya
sebagai
Gemeente atau kotapraja pada tahun 1906. Penetapan status tersebut diikuti oleh perubahan-perubahan dan perkembangan yang cukup pesat dalam struktur dan wilayah kota. Sementara itu, tahun 1940 diambil sebagai batas akhir penelitian dengan alasan bahwa pada tahun 1940-an merupakan proses pengelolaan pelabuhan menjelang berakhirnya kekuasaan kolonial Hindia Belanda, sekaligus berkaitan dengan sumber statistik masa Kolonial Hindia Belanda yang hampir semuanya berakhir pada tahun 1940, karena Hindia Belanda bersiap-siap menghadapi invasi Jepang.
16
Studi ruang lingkup keilmuan dalam disertasi ini adalah sejarah sosial-ekonomi, karena lebih menekankan tinjauan pada aktivitas
sosial-ekonomi
pelabuhan
dan
perdagangan
dalam
konteks jejaring pelayaran dan perdagangan antara daerah penyangga, kota-kota pelabuhan, dan pelabuhan Surabaya itu sendiri.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hal-hal yang memengaruhi proses pengembangan pelabuhan Surabaya setelah pemerintah
Hindia
mengembangkan
Belanda
pelabuhan
memutuskan Surabaya
kebijakan
menjadi
untuk
pelabuhan
internasional yang dapat menyaingi Singapura di wilayah Hindia Belanda bagian Timur. Beberapa faktor yang diteliti adalah faktorfaktor yang menyebabkan pelabuhan Surabaya menjadi pusat pelayaran dan perdagangan interregional yang terbesar di wilayah Hindia Belanda. Untuk menyajikan analisis dan sintesis tentang faktor-faktor penyebab dan akibat, maka penelitian ini juga ingin menjelaskan kebijakan
pemerintah
tentang
pengembangan
pelabuhan
internasional yang tidak mempertimbangkan kondisi struktur ekonomi di wilayah penyangga pelabuhan sebagai pendukung utama aktivitas ekonomi pelabuhan. Hal ini terjadi karena
17
struktur ekonomi daerah penyangga dan kota Surabaya lebih memberikan dukungan kepada pelabuhan Surabaya dalam proses pelayaran dan perdagangan interregional daripada internasional. Kekuatan industri di kota Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya mengalami perkembangan, tetapi lebih banyak pada industri yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pabrik gula, produk untuk pasar lokal dan dikirim ke berbagai wilayah di Hindia Belanda bagian Timur. Selain itu, penelitian ini juga akan membuktikan bahwa jejaring dalam pelayaran dan perdagangan pelabuhan Surabaya tidak bisa dilepaskan dengan pertalian sejarahnya yang secara tradisi memang didominasi oleh pelayaran interregional, terutama untuk wilayah Hindia Belanda Bagian Timur, sehingga terjadi interaksi dalam pelayaran dan perdagangan yang mendorong terwujudnya
pelabuhan
Surabaya
menjadi
pusat
pelayaran
perdagangan interregional. Ketika pelabuhan Surabaya benar-benar dikembangkan yang secara tata ruang menjadi lebih besar, maka penelitian ini juga akan menjelaskan tentang manajemen dan sarana prasarana pelabuhan.
Manajemen
pelabuhan
sebelum
dikembangkan
dikontrol dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam rencana pengembangan pelabuhan Surabaya yang telah ditetapkan, maka manajemen pelabuhan akan dilakukan oleh swasta, tetapi tetap
18
dalam kontrol pemerintah. Rupanya rencana ini tidak sepenuhnya dijalankan karena manajemen tidak mengalami perubahan yang berarti.
Dalam
hal
sarana
dan
prasarana,
hal
itu
akan
menentukan cepat atau lambatnya proses bongkar muat sehingga diharapkan tidak terjadi kongesti atas kapal-kapal yang berlabuh. Namun demikian, sarana dan prasarana yang dikembangkan ternyata tidak memadai untuk keberlangsungan pelayaran dan perdagangan internasional. Dalam menjelaskan
hal
bongkar
penggunaan
muat, dan
penelitian perlakuan
ini
juga
terhadap
akan buruh
pelabuhan dalam sistem pelabuhan. Hal ini sangat menarik untuk dijelaskan karena buruh pelabuhan sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelabuhan, sebagian besar berdatangan dari berbagai daerah penyangganya, yang masih mempunyai ikatan dengan daerah asalnya. Dalam hal ini, akan dibuktikan bahwa pelabuhan Surabaya meskipun telah dikembangkan menjadi pelabuhan besar bertaraf internasional, tetapi perlakuan terhadap buruh
pelabuhan
dalam
sistem
pelabuhan
modern,
masih
berlangsung secara tradisional, sehingga proses bongkar muat yang berlangsung tidak mampu mendukung rencana pemerintah menjadikan pelabuhan Surabaya sebagai pelabuhan internasional yang dapat bersaing dengan Singapura.
19
D. Tinjauan Pustaka Penelitian
sejarah
sosial
ekonomi
pelabuhan
Surabaya
penting dilakukan, karena sejauh ini kajian-kajian tentang Surabaya belum banyak menyinggung aspek pelabuhannya secara mendalam. Beberapa penelitian sejarah baik mengenai Surabaya maupun pelabuhannya perlu dikemukaan di sini dan sekaligus menjadi informasi ilmiah untuk mengetahui sisi-sisi mana yang telah diteliti dan bagian-bagian mana yang belum ditelaah. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memperoleh nuansa baru yang relevan dan penting bagi perkembangan sejarah sosial ekonomi di Indonesia, khususnya Surabaya. Howard
Dick,
banyak
melakukan
penelitian
tentang
Surabaya. Karya terbarunya, yaitu “Surabaya City of Work, A Socioeconomic History, 1900-2000” merupakan karya yang cukup lengkap
membahas
kota
Surabaya
pada
abad
XX.23
Dick
menjelaskan banyak aspek dari kota Surabaya sebagai Kota Kerja, meliputi pemerintahan, industri, tanah, dan perdagangan. Dalam bab II berjudul episodes, Dick menyinggung selintas tentang perdebatan besar pelabuhan, yang ingin ditunjukkan kepada pembaca
bahwa
posisi
pelabuhan
Surabaya
ketika
akan
dikembangkan merupakan masalah pelik untuk menjadi sebuah
23Howard
Dick, Surabaya City of Work, A Socioeconomic History, 1900-2000 (Athens: Ohio University Press, 2002).
20
keputusan. Secara garis besar episode peristiwa penting yang diulas
sebelum
tahun
1900
meliputi
masa
VOC,
formasi
pemerintahan, dan sedikit tentang perusahaan swasta. Namun demikian, secara khusus, Dick tidak menguraikan pelabuhan Surabaya
itu
sendiri,
kecuali
menyinggung
keterkaitan
perdagangan antara Surabaya dengan kota-kota lain di Indonesia. Inilah yang membedakan karya Dick dengan disertasi ini. Sebelumnya, kajian tentang perekonomian kota Surabaya telah
dilakukan
oleh
Howard
Dick.24
Penelitian
ini
lebih
menekankan pada perkembangan kota Surabaya sebagai kota metropolitan yang berhasil menata perkembangan ekonominya. Penduduk, letak geografis, dan perkembangan infrastruktur kota dan jaringan transportasi yang menjadi fokus penelitian Dick merupakan unsur-unsur penting yang menopang perkembangan perekonomian Surabaya. Dari kondisi ini Surabaya berkembang menjadi kota industri dan perdagangan terbesar kedua setelah Jakarta. Dalam beberapa kasus Dick menunjukkan bahwa Surabaya
mampu
mengungguli
Jakarta,
Semarang,
dan
Bandung.25 Namun demikian, Dick tidak menyinggung peran
24Howard
Dick, “The Economic Role of Surabaya”, dalam Howard Dick, James J. Fox, Jamie Mackie (ed). “Balanced Development East Java in The New Order. Singapore: Oxford University Press, 1993), hlm. 326. 25Ibid.,
hlm. 329.
21
pelabuhan Surabaya sebagai unsur utama kemajuan ekonomi Surabaya. Disertasi ini selain membedakan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dick, sekaligus memberikan pemahaman perkembangan sosial ekonomi dari sisi sistem jaringan ekonomi kota Surabaya. Dalam penelitian yang lain, Howard Dick juga mengulas perkembangan ekonomi Jawa Timur yang dalam banyak bagian juga membahas Surabaya.26 Jawa Timur merupakan kawasan ekonomi yang penting dan sejak pertengahan abad XIX telah terintegrasi ke dalam jaringan perekonomian dunia bersamaan dengan
perkembangan
ekspor
hasil
perkebunan.
Namun
demikian, peran pelabuhan Surabaya belum diulas secara lebih mendalam dalam kajian Dick. Disertasi ini akan melengkapi kajian tentang Surabaya dalam konteks sebagai pusat distribusi barang perdagangan di Jawa Timur yang telah menunjukkan adanya jalinan dalam perkembangan ekonomi Jawa Timur dari sisi aktivitas pelabuhannya. Sementara dalam hubungan antara pelabuhan dan daerah penyangga, Ranjit Singh menjelaskan bahwa perkembangan suatu pelabuhan karena dukungan daerah penyangganya. Hal ini terjadi pada kota pelabuhan Brunai yang berkembang menjadi kota 26Howard
Dick, ”The Transformation of Comparative Advantage East Java 1920-1990”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 31 No 1, April 1995, hlm. 41-72.
22
pelabuhan yang besar berkat dukungan daerah Sabah sebagai daerah penyangga yang kaya akan produk-produk ekspor. Namun demikian perkembangan itu juga didukung oleh lokasi yang strategis dari Brunai yang pada abad XVII dan XVIII karena melakukan kontak dagang dengan negeri Cina.27 Kajian ini berbeda fokusnya dengan disertasi ini yang mencoba menganalisis hubungan antara pelabuhan dengan struktur ekonomi daerah penyangga dan dukungan industri terhadap pelabuhannya itu sendiri. Kurangnya perhatian para peneliti terhadap keberadaan pelabuhan Surabaya juga tampak dalam beberapa kajian tentang perkembangan kota itu. Johan Silas,28 misalnya, telah meneliti perkembangan kampung-kampung di Surabaya sejak kampung ditata oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935 hingga berlangsungnya program perbaikan kampung pada masa Orde Baru. Dikatakannya bahwa pertumbuhan kampung-kampung di Surabaya pada masa kolonial mengikuti area perdagangan di sekitar Jembatan Merah menuju ke daerah selatan kota. Secara 27Ranjit
Singh, D.S. “Brunai and the Hinterland of Sabah: Commercial and economic Relations with Special reference of the Second Half of Nineteenth Century”, dalam J. Kathirithamby-Wells dan John Viliers (ed.), The Southeast Asian Port And Polity, Rise and Demise (Singapore: Singapore University Press, 1990), hlm. 231. 28Johan
Silas, Surabaya 1293-1993 a City of Partnership (Surabaya: Municipal Government of Surabaya, 1993).
23
implisit Silas tampaknya ingin menyatakan bahwa sebelum periode Revolusi, kawasan perdagangan yang terletak di sekitar pelabuhan
menjadi
“pengendali”
dalam
penataan
kawasan
pemukiman penduduk. Namun demikian, Silas tidak menjelaskan bagaimana hubungan sistemik antara kawasan perdagangan, pemukiman penduduk, dan pelabuhan sebagai pusat aktivitas perdagangan. Silas telah merekontruksi perkembangan fisik kota Surabaya dengan analisis yang berawal dari pelabuhan lama di sekitar Jembatan Merah. Sementara dalam disertasi ini, kajian yang dapat disumbangkan adalah perkembangan fisik dan space kota dengan dikembangkannya pelabuhan Surabaya setelah tahun 1911, terutama menyangkut pergudangan dan kantor-kantor dagang. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Handinoto yang membahas perkembangan kota Surabaya dari segi arsitektur.29 Dalam
penelitiannya,
Handinoto
memaparkan
sejarah
kota
Surabaya secara deskriptif dan lebih melihat perkembangan bentuk
arsitektur
gedung-gedung
kolonial
saja.
Sementara
perkembangan kondisi fisik dan arsitektur pelabuhan, yang juga merupakan salah satu warisan kolonial Hindia Belanda, sama
29Handinoto.
Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda Surabaya di Surabaya 1870-1940 (Yogyakarta: Andi, 1996).
24
sekali tidak disinggung. Disertasi ini menjadi penting untuk melengkapi kajian terhadap kota Surabaya, tetapi yang masih “melupakan” pelabuhannya. Dalam
hal
hubungan
antara
perdagangan
laut
dan
pelabuhan, E.L. Poelinggomang30 telah merekonstruksi sejarah perdagangan
yang
perdagangan
di
mengaitkan Indonesia
pelabuhan bagian
Makassar
timur.
dengan
Poelinggomang
menjelaskan bahwa munculnya pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan bebas didorong oleh kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pelabuhan Singapura yang demikian maju. Selain itu juga dilandasi oleh keinginan pemerintah untuk meredam konflik perdagangan yang disebabkan oleh perbedaan sistem perdagangan dan pelabuhan yang berlangsung di Makassar dan Singapura. Perbedaannya
dengan
disertasi
ini
adalah
bahwa
Poelinggomang lebih menyoroti kebijakan pemerintah, sedang disertasi ini lebih menyorot pada implikasi dari struktur ekonomi daerah penyangga dan industri di kota Surabaya terhadap kebijakan pengembangan pelabuhan mempunyai ikatan historis yang perlu dipertimbangkan.
30E.L.
Poelinggomang, “Proteksi dan Perdagangan Bebas. Kajian tentang Perdagangan Makassar pada Abad ke-19” (Disertasi tidak diterbitkan pada Vrije Universiteit Amsterdam, 1991).
25
Sementara itu, penelitian secara khusus tentang demografi regional Surabaya dilakukan oleh J.A.C. Mackie.31 Dikatakan olehnya bahwa sejak sebelum dan sesudah Perang Dunia II, Karesidenan Surabaya telah mengalami pertumbuhan penduduk yang
tinggi
dan
fluktuatif
apabila
dibandingkan
dengan
karesidenan yang lain. Perbedaan tinggi rendahnya pertumbuhan penduduk ini disebabkan oleh pertumbuhan areal tebu dan ekspansi industri gula. Di samping itu, pertumbuhan penduduk kota Surabaya yang tinggi juga disebabkan oleh adanya daya tarik Surabaya sebagai kota industri, sehingga menjadi tujuan migrasi bagi penduduk dari daerah lain. Masyarakat kota Surabaya akhirnya mengalami transformasi heterogenetic.32 Salah satu penyebab terjadinya migrasi menuju ke kota Surabaya adalah karena eksistensi pelabuhannya. Secara historis
31Jamie
A. Mackie, “Regional Demographic History as a clue to socio economic change: Residency Surabaya 1890-1990 as a case study”, paper dalam The First Conference on Indonesia Modern Economic History. Jakarta, 1-4 October 1991. 32Proses
tranformasi heterogenetic menunjuk pada terbentuknya masyarakat kota sebagai hasil penyatuan kelompokkelompok sosial yang berasal dari luar, misalnya adalah para pencari kerja dari berbagai daerah atau etnis yang berurbanisasi ke Surabaya dan kemudian membentuk komunitas dalam struktur sosial Surabaya. Jika terbentuknya masyarakat kota merupakan hasil perkembangan dari dalam masyarakat itu sendiri, maka proses itu disebut transformasi orthogenetic. Clifford Geertz, The Social History of an Indonesian Town (Massachussets: The Massachussets Insitute of Technology, 1965), hlm. 3.
26
juga diketahui bahwa kebanyakan buruh pelabuhan yang bekerja di kompleks pelabuhan Surabaya berasal dari luar Surabaya.33 Dengan demikian, menjadi hal yang menarik dan urgen untuk melihat dan menganalisis komunitas buruh pelabuhan sebagai bagian
dari
sistem
pelabuhan
yang
dikembangkan
sebagai
pelabuhan internasional. Dalam konteks dinamika sejarah sosial yang menghadirkan kelompok-kelompok sosial, maka penting kiranya menelaah karya William H. Frederick.34 Dari karya Frederick ini diketahui bahwa massa perkotaan mempunyai peranan penting dalam revolusi di Surabaya. Karya ini banyak mengulas tentang perubahan sosial pada masyarakat Surabaya, baik menyangkut golongan priyayi, pemuda, maupun massa kota dan para pemimpin organisasi massa.
33Sarjana
Sigit Wahyudi dalam disertasinya yang berjudul “Perkebunan Tebu dan Perubahan Sosial di Keresidenan Surabaya, 1890-1937” (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2005) menyatakan bahwa perkembangan industri gula di Karesidenan Surabaya telah memengaruhi terjadinya migrasi penduduk dari berbagai daerah untuk bermigrasi ke Surabaya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik dengan bekerja di pelabuhan. Hal ini didukung pula oleh fakta bahwa buruh pelabuhan Surabaya didominasi oleh mereka yang berasal dari daerah-daerah perkebunan tebu seperti Lamongan dan Madura. William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia, Surabaya 1926-1946 (Jakarta: Gramedia dan Yayasan Karti Sarana, 1989). 34
27
Secara keseluruhan karya ini sangat menarik karena sejarah sosial
Surabaya
dibangun
dari
biografi
rakyat
dan
lebih
mengandalkan metode wawancara. Namun demikian, penelitian ini tidak mengulas tentang massa kota yang habitasinya di pelabuhan
Surabaya,
organisasi
buruh
termasuk
pelabuhan
dalam
Surabaya
pembahasan dalam
tentang
revolusi
dan
pembentukan aksi massa. Tentang perkampungan dan ruang kota Surabaya dalam kaitannya dengan kemiskinan rakyat dan perebutan ruang kota, diulas dalam disertasi Purnawan Basundoro berjudul Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota di Surabaya 1900-1960-an,35 telah memberikan informasi penting terkait dengan disertasi ini. Disertasi Purnawan ini mengungkapkan tentang perebutan ruang di kota Surabaya yang melibatkan rakyat miskin, ketika kota Surabaya tumbuh dan berkembang sebagai kota industri dan bisnis terkemuka di Indonesia pada awal abad ke-20 sampai tahun 1960-an. Keterkaitan antara disertasi karya Purnawan dengan
disertasi
ini
terletak
pada
munculnya
paradoks
perkembangan kota dan ekonomi dengan sektor-sektor industri, perdagangan, dan infrastruktur transportasi. Paradoks yang dianalisis oleh Purnawan dikaitkan dengan kemiskinan dan 35Purnawan
Basundaro, “Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota di Surabaya 1900-1960-an” (Disertasi tidak diterbitkan pada Universitas Gadjahmada Yogyakarta, 2011).
28
perebutan ruang kota, sementara dalam disertasi ini paradoks perkembangan infrastruktur, industri, dan ekonomi kota Surabaya dianalisis
dalam
kaitannya
dengan
kedudukan
pelabuhan
Surabaya. Berkaitan dengan buruh pelabuhan, Agustinus Supriyono, telah menulis disertasi tentang pemogokan buruh pelabuhan Semarang
tahun 1900-1955 dengan penekanan pada masalah
pemogokan-pemogokan buruh, baik yang pernah terjadi pada masa kolonial, masa revolusi maupun pada masa republik. Walaupun fokus dari studi ini adalah buruh pelabuhan, akan tetapi studi mengenai kota pelabuhan dan pelabuhan juga dibahas oleh Agus sebagai latar belakang masalah perburuhan.36 Agus menjelaskan, bahwa sebagai penyebab umum dari konflik perburuhan di pelabuhan Semarang yang berkembang menjadi aksi-aksi pemogokan dan aksi-aksi lainnya, baik pada zaman kolonial Belanda, revolusi maupun republik adalah tidak seimbangnya hubungan antara kondisi fisik pelabuhan dengan fungsi pelabuhan. Di samping memiliki ciri-ciri umum sebagai pelabuhan
komersial,
karakterirstiknya
pelabuhan
tersendiri.
Semarang
Karakteristik
itu
juga
memiliki
pertama-tama
terletak pada fisik pelabuhannya sendiri, yaitu walaupun hanya 36Agustinus
Supriyono, “Pemogokan Buruh Pelabuhan Semarang 1900-1955” (Disertasi tidak diterbitkan pada Vrije Universiteit Amsterdam, 2007).
29
bisa
berlabuh
pelayaran
kapal-kapal
antar
pulau,
dalam
tetapi
negeri
dari segi
dengan
jangkauan
fungsinya
ia
juga
merupakan pelabuhan samudra tempat berlabuh kapal-kapal besar
dengan
jangkauan
pelayaran
dan
perdagangan
internasional. Kondisi ini membedakan proses bongkar muat. Pada pelayaran antar pulau bongkar muat dilakukan di dermaga, sedang pada pelayaran internasional bongkar muat dilakukan di perairan pelabuhan dengan menggunakan perahu-perahu kecil (kapal
tongkang)
menuju
ke
pelabuhan.
Hal
inilah
yang
menyebabkan terjadinya disparitas perlakuan terhadap buruh sehingga
memunculkan
ketidakpuasan
dan
berujung
pada
pemogokan buruh kapal tongkang. Hal yang membedakan adalah bahwa buruh yang dibahas dalam disertasi Agus adalah buruh kapal tongkang, sedangkan dalam disertasi ini yang dibahas adalah buruh pelabuhan terutama buruh bongkar muat atau buruh dermaga. Selanjutnya, John Ingleson juga telah membahas berbagai kegiatan buruh dan serikat buruh di Jawa pada periode 19081926, termasuk di Surabaya. Meskipun ia juga menyinggung tentang pemogokan buruh, tetapi kajiannya lebih difokuskan pada pemogokan buruh yang terjadi di kota Surabaya secara umum, dan tidak secara khusus menceritakan pemogokan buruh yang
30
terjadi di pelabuhan. 37 Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa hal penting yang perlu dikemukakan, khususnya tentang buruh pelabuhan Surabaya. Pada umumnya serikat buruh di Surabaya berada di bawah kepemimpinan Serikat
komunis.
Pekerja
Buruh
Pelabuhan
dan
pelabuhan Lautan
tercakup (SPPL).
dalam Jumlah
keanggotaan SPPL tidak begitu besar. Pada tahun 1925, SPPL berhasil merekrut pekerja di pangkalan Angkatan Laut (AL) dengan jumlah anggota 700 orang dan perusahaan dermaga 400 orang anggota, sementara buruh pelabuhan yang berhasil direkrut hanya berjumlah 250 orang. Hal ini antara lain disebabkan oleh penolakan buruh pelabuhan untuk menjadi anggota SPPL, seperti yang dilakukan buruh pelabuhan asal Madura sejak 1925. Penolakan buruh Madura berkaitan dengan adanya hubungan mereka yang erat dengan para mandor yang mempekerjakan mereka, dan para mandor umumnya berada di luar serikat.38
37John
Ingleson, In Search of Justice Worker and Unions in Colonial Java 1908-1926 (Singapore: Oxford Univercity Press, 1986). 38Semua
ketua serikat buruh di Surabaya adalah tokoh PKI, namun kepengurusannya mengalami sedikit perubahan dari tahun ke tahun, yang kebanyakan terdiri atas buruh ahli di industri swasta. Situasi SPPL sama, yaitu sebagai ketua dan wakil ketua petugas serikat profesional dan PKI, tetapi sekretarisnya adalah wakil pengawas, bendahara adalah mandor dan komisarisnya adalah juru gambar di pelabuhan. Ingleson, op.cit., hlm. 296.
31
Hubungan semacam itu juga menjelaskan mengapa para buruh dalam melakukan pemogokan dimulai dari inisiatif sendiri, dan baru kemudian melibatkan serikat. Pemogokan itu umumnya dipicu oleh tingkat upah yang tidak mampu menjangkau harga kebutuhan pokok yang terus mengalami kenaikan. Selain itu, perlakuan majikan secara tidak wajar terhadap buruh dan ketakutan terhadap keamanan uang pensiun serta sumbangan kematian yang berasal dari pemotongan upah mereka juga turut mendorong terjadinya pemogokan buruh.39 Kalau Ingleson lebih banyak menjelaskan tentang pemogokan buruh di Surabaya secara umum, maka bagian buruh pelabuhan dalam disertasi ini lebih memfokuskan pada kehidupan buruh pelabuhan khususnya buruh bongkar muat dalam sistem pelabuhan. Jalinan
antara
wilayah
lautan
dan
daratan
membuat
pelabuhan menduduki posisi penting dalam proses dinamika pertemuan budaya. Jalinan budaya antara wilayah lautan dan daratan dihubungkan oleh pelabuhan.40 Dari seberang lautlah
39Ketakutan
ini ternyata terbukti ketika para pekerja mengetahui bahwa perusahaan menggunakan uang sumbangansumbangan itu saat dikembalikan kepada buruh yang dipecat. Ingleson, op.cit., hlm. 299. 40Pengertian
budaya dalam konteks ini meliputi segi-segi sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam arti fisik, pelabuhan merupakan terminal point tempat terjadinya pemindahan barang dari alat transportasi laut ke alat transportasi darat. Dengan demikian pelabuhan selalu peka terhadap
32
budaya asing masuk melalui pelabuhan dan di sinilah interaksi budaya dengan segala implikasinya terjadi.41 Hal ini telah ditegaskan
pula
oleh
Rhoads
Murphey42
yang
meneliti
perkembangan kota-kota pelabuhan di Asia. Perubahan terhadap salah satu bagian dari sistem pengelolaan pelabuhan, dalam hal ini sarana dan prasarana bongkar-muat, harusnya membawa perubahan pula pada perlakuan terhadap buruh pelabuhan.43 Dengan demikian, ada hubungan antara perkembangan sistem pengelolaan pelabuhan dengan tenaga kerja atau buruh yang bekerja di pelabuhan. Secara rasional memang teori ini benar, tetapi kajian disertasi ini ternyata justru menunjukkan hal yang tidak sama, karena kondisi buruh di pelabuhan Surabaya setelah pengembangan pelabuhan, ternyata tetap sama seperti sebelum pelabuhan perkembangan ekonomi, teknologi, sosial, dan politik baik yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Dirjen Perhubungan Laut Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan, “Masalah Tolok Ukur Kepelabuhanan”, makalah Lokakarya Keuangan Pelabuhan di Surabaya, Februari 1982, Jakarta, hlm. 1. 41R.P.
Soepono, “Remarks on Maritime Shipping in Prehistorie Times in Indonesia”, dalam Suplementary Report for SPAFA Consultative Workshop on Research on Maritime Shippng and Trade Networks in Southeast Asia (1-W7), Cisarua West Jawa, Indonesia, 20-17 November 1984, hlm. 146. “Mengkaji Sejarah Asia Tenggara”, dalam Suara Merdeka, Selasa 6 Maret 1990. 42Murphey, 43Baca:
loc.cit.
A.A. Evans, Technical and Social Change in Ports (Geneva: International Harbour office, 1969).
33
dikembangkan. Memang ada pengembangan terhadap ruang daerah
pelabuhan
dan
sarana
prasarananya,
tetapi
sistem
rekruitmen dan pengelolaan terhadap buruh pelabuhan tidak mengalami perubahan. Mereka tetap bekerja seperti sebelum pelabuhan dikembangkan. Dari berbagai pustaka yang ditelaah ini dapat disimpulkan bahwa kajian tentang Surabaya dari berbagai aspeknya, ternyata masih “melupakan” pelabuhannya. Dinamika sosial ekonomi Jawa Timur
dan
kota
Surabaya
beserta
aspek-aspek
yang
melingkupinya telah memperkaya khazanah karya ilmiah. Namun demikian, jejaring yang terkait dengan pelabuhan pelayaran, dan perdagangan perlu dilakukan untuk melengkapi historiografi Surabaya. Demikian halnya dengan kajian migrasi penduduk dan pelabuhan di Jawa Timur dan Surabaya banyak diletakkan pada konteks perkebunan dan industri, namun kurang memperhatikan buruh pelabuhan, khususnya buruh bongkar muat. Dengan demikian, disertasi ini akan melengkapi kajian sosial ekonomi Surabaya dari sisi yang berbeda.
E. Kerangka Konseptual “Pelabuhan” merupakan pengindonesiaan dari kata harbour dalam bahasa Inggris. Di dalam bahasa Inggris sendiri, kata harbour bersinonim dengan kata port. Meskipun demikian, Rhoads
34
Murphey berpendapat bahwa harbour dan port sesungguhnya merupakan
dua
penegasan
konsep
yang
pengertian
kemungkinan
berbeda.
pelabuhan
terjadinya
Implikasinya,
untuk
definisi
perlu
menghindari
konseptual
yang
multiinterpretatif. Selain berguna sebagai kerangka referensi, penegasan definisi konseptual ini juga akan menjadi “pemandu” jalannya penelitian ini. Pengertian pelabuhan dalam disertasi ini mengacu kepada pengertian port dari Murphey, yang lebih menekankan pada aspek ekonomi. Pelabuhan dengan demikian dilihat
sebagai
komoditas
pusat
antara
tukar-menukar
daerah
penyangga
atau dan
keluar-masuk
daerah
seberang
Pengertian ini membedakannya dari harbour, yaitu pelabuhan sebagai tempat berlindung atau berteduh kapal-kapal. Pelabuhan dalam pengertian terakhir ini mempunyai acuan pada aspek fisik.44 Meskipun dalam disertasi ini juga dibahas tentang pengembangan pelabuhan secara fisik. Pengertian pelabuhan sebagai harbour akan berimplikasi pada fungsi-fungsi sarana dan prasarananya. Pembahasan tentang pelaksanaan dan penerapan atas
fungsi-fungsi
fisik
pelabuhan
inilah
yang
selanjutnya
menjadikan konsep port bisa berlangsung secara efektif. Pelabuhan yang mengacu pada konsep ekonomi di samping berfungsi sebagai tempat atau pusat tukar-menukar atau keluar44Murphey,
op. cit., hlm. 231.
35
masuk barang perdagangan juga menjadi salah satu syarat bagi kosmopolitannya suatu wilayah atau kota pelabuhan beserta dampak yang ditimbulkannya.45 Berdasarkan konsep ini diperoleh pengertian tentang adanya hubungan antara daerah penyangga dan daerah seberang karena adanya aktivitas suatu pelabuhan. Bagi wilayah pedalaman, pelabuhan berfungsi menarik kapalkapal dari daerah seberang dalam perdagangan laut atas produk pedalaman. Dengan demikian jelaslah, bahwa unsur pertalian historis akan membawa perubahan dan berpengaruh pada “nasib” sebuah pelabuhan, apakah pelabuhan akan berjaya, stagnan, atau mengalami kemerosotan kedudukan dan fungsi. Bagi pelabuhan Surabaya, ternyata terjadi perubahan atas fungsi pelabuhan dalam pelayaran yang ketika dikembangkan kapasitasnya dengan tujuan menjadi pelabuhan pusat pelayaran dan perdagangan 45Pelabuhan
bukan asal saja sebagai tempat berlabuh, tetapi juga tempat kapal berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar, dan angin dan arus yang kuat. Dalam jaringan lalu-lintas di sebuah negeri kepulauan, seperti Indonesia, fungsi pelabuhan ialah sebagai penghubung antara jalan darat dengan jalan maritim. Baca Sartono Kartodirdjo, et al, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 60. Selanjutnya K.N. Chaudhuri menjelaskan bahwa hubungan antara darat dan laut ditentukan oleh beberapa faktor yang terjalin dengan waktu atau sejarah yang menambah pengaruh pada berbagai nasib pelabuhan dan kota yang mendapatkan hasil dari perdagangan laut. Baca K.N. Chaudhuri, Trade and Civilization in the Indian Ocean An Economic History from the Rise of Islam to 1750 (Cambridge University Press, 1989), hlm. 161.
36
internasional yang sekaligus dapat menyaingi Singapura ternyata yang terjadi justru menjadi pusat pelayaran dan perdagangan interregional di Hindia Belanda. Ada berbagai jenis atau klasifikasi tentang pelabuhan. Berdasarkan pengelolaannya ada pelabuhan yang diusahakan (Bedrijf Havens) dan yang tidak diusahakan (Niet Bedrif Havens). Berdasarkan kegiatan perdagangan dan pelayaran yang dilakukan oleh pelabuhan, Surabaya termasuk pelabuhan internasional. Pelabuhan internasional adalah pelabuhan bebas dan terbuka tanpa pembatasan bagi semua kapal asing yang berlabuh. Aktivitas utama pada pelabuhan internasional adalah kegiatan ekspor dan impor.46 Menurut
Bintarto47,
selain
mempunyai
arti
ekonomis,
pelabuhan juga mempunyai arti budaya, politis, dan geografis. Arti ekonomis
pelabuhan
berlangsungnya kegiatan
kegiatan
ekonomi
perdagangan
tampak
laut
yang
dari
pelayaran terkait
merupakan
fungsinya dan
ekspor-impor
lainnya.
salah
sebagai
satu
pusat serta
Pelayaran
dan
variabel
yang
46Baca:
Wouter Cool, “Nederlandsch Indische havenraden”, dalam Koloniale Studien, I, Th.V, 1920 (Weltevreden: Albrecht and Co, 1920), hlm. 3-26. Lihat juga F.J.A Broeze, “Java Shipping 1820-1850: Preliminary Survey” dalam Archipelago 18, 1979, hlm. 253-254. 47R.
Bintarto, Beberapa Aspek Geografi (Yogyakarta: Penerbit Karya, 1968), hlm. 33.
37
menentukan sebuah indikasi tentang berfungsi atau tidaknya sebuah pelabuhan. Pelayaran itu sendiri dapat dikategorikan manjadi empat jenis, berdasarkan pada analisis perjalanan kapal dan jenis kapal sesuai dengan aktivitasnya. Empat jenis pelayaraan itu adalah: 1). Pelayaran
Global;
2).
Pelayaran
Antar
Asia;
3).
Pelayaran
Antarpulau; dan 4). Pelayaran Lokal atau pelayaran pantai. Pelayaran lokal tidak berlangsung melebihi perairan Pantai Utara Jawa. Pelayaran Antarpulau menunjuk pada pelayaran yang melewati Laut Jawa, tetapi tidak meninggalkan batas-batas kepulauan Indonesia-Malaya.48 Jenis pelayaraan global dan pelayaran antar Asia inilah yang termasuk dalam kategori pelayaraan internasional. Sementara jenis pelayaran antar pulau dan pelayaran lokal atau pelayaraan pantai termasuk dalam pelayaran interregional sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini. Dalam hal perdagangan antara daerah penyangga Surabaya menuju ke pelabuhan termasuk dalam jejaring perdagangan lokal. Hal inilah yang melandasi sebagian besar arah penelitian ini, karena kegiatan ekonomi yang terkait dengan fungsi pelabuhan berkembang saling terjalin dalam hubungan sebab-akibat secara historis.
48Gerrit
J. Knaap, “Shipping and Trade in Java, c. 1775; A Quantitative Analysis”, Modern Asian Studies Vol 33, 1999 No.2
38
Dari
segi
geografis,
manajemen,
dan
komersial,
fungsi
pelabuhan meliputi kegiatan sejak kapal memasuki pelabuhan, melakukan bongkar muat, sampai kapal meninggalkan pelabuhan dengan tujuan memperlancar layanan pelabuhan.49 Ternyata, pertalian historis tentang pengelolaan dan penerapan kebijakan pengembangan pelabuhan, menjadi faktor yang dominan dalam memengaruhi sistem pelayaran, bongkar muat, pengangkutan, dan lain-lain, dari suatu pelabuhan. Apakah pelabuhan itu kemudian
akan
berhasil
atau
tidak
dalam
pelayaran
dan
perdagangan sangat dipengaruhi oleh masa lalunya. Jaringan suatu pelabuhan terhadap daerah lain juga sangat ditentukan oleh
pelayaran yang terikat
oleh sistem pelabuhan
Surabaya. Menurut F. A. Sutjipto Tjiptoatmodjo,50 kota-kota di sekitar Selat Madura merupakan sebuah sistem antarhubungan yang menentukan jalannya fungsi integratif. Fungsi integratif ini terjalin, salah satunya melalui perdagangan. Dalam perspektif ini perdagangan laut dilihat sebagai faktor utama hubungan antar kota-kota pantai, yang sudah tentu peran pelabuhan sangat vital dalam perspektif ini. Berdasarkan pemikiran ini, intensitas 49Tentang
hal ini, baca: Herman A.C. Lawalata, Pelabuhan dan Niaga Pelayaran (Port Operation) (Jakarta: Aksara Baru, 1981), hlm. 22-23. 50F.A.
Sutjipto Tjiptoatmodjo, “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura Abad ke-17 sampai Medio Abad ke-19” (Disertasi tidak diterbitkan pada Universitas Gadjahmada Yogyakarta, 1983).
39
hubungan sosial-ekonomi, perdagangan, dan pelayaran yang berlangsung di pelabuhan Surabaya diasumsikan mempunyai fungsi integratif dalam pembentukan jaringan antar daerah. Itulah sebabnya pelabuhan Surabaya secara historis telah mempunyai jalur-jalur pelayaran yang secara tradisi telah berfungsi integratif, sehingga jalur-jalur pelayaran interegional tersebut sulit untuk berubah
meskipun
pelabuhan
secara
fisik
dikembangkan
kapasitasnya untuk meningkatkan pelayaran dan perdagangan internasional. Pelabuhan Surabaya selain mempunyai keuntungan alami karena letaknya yang strategis, juga masih ditambah dengan adanya sungai Brantas dan sungai Bengawan Solo yang bisa dilayari oleh perahu dagang sampai abad XIX. Kedua sungai ini telah membuka jalan masuk ke pedalaman yang subur dan padat penduduknya. Sungai Brantas sendiri mempunyai sebuah delta luas dan subur yang membentang di antara kedua cabang muaranya, Kalimas dan Kali Porong, yang menjadi batas di sebelah selatan Sidoarjo dengan Mojokerto dan Bangil di wilayah Kabupaten Pasuruan.51
51Delta
Seiring dengan pembangunan
jalan
ini merupakan delta terbesar dan paling terkenal di Jawa dengan lebar mencapai 24 paal (36,144 km) dari utara ke selatan dan panjangnya 29 paal (43,68 km) dari timur ke barat. Delta ini beberapa abad yang lalu merupakan teluk luas yang letaknya di dekat pantai ibukota kerajaan Majapahit, yang terpisah 26 paal dari laut. Seperti delta yang lainnya, pada
40
kereta api, maka wilayah penyangga Surabaya telah membentuk jaringan dalam struktur ekonomi yang mapan. Sebagian besar hasil
produksi
daerah
pedalaman
telah
menjadi
komoditas
perdagangan baik interregional maupun internasional. Kesemuanya ini berlangsung dalam hubungan yang saling kait dan didukung oleh jaringan transportasi, baik jalan kereta api maupun jalan raya, yang menghubungkan pelabuhan dengan daerah penyangga.52 Dengan demikian jelas, bahwa struktur ekonomi
wilayah
pelabuhan
penyangga
dalam
perdagangannya.
tentunya
menjalankan
Konsep
daerah
akan
fungsi
memengaruhi
pelayaran
penyangga
bagi
dan
Surabaya
menunjuk daerah penyangga bagi pelabuhan Surabaya, yaitu wilayah Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Timur. Oleh karena itu, bisa dipahami jika memburuknya
produk
perdagangan
di
daerah
penyangga
mulanya delta ini merupakan kolam pasir dan lumpur. Pada masa lampau sungai Kediri berakhir di laut dekat ibukota kerajaan Majapahit. Ketika delta ini menjulang di atas air, sungai ini memanjang sampai Surabaya dan Porong. Delta ini sendiri dipotong oleh berbagai sungai kecil yang airnya sebagian berasal dari cabang utama dan sebagian dari sawah. Itulah sebabnya delta ini menjadi subur dan sekarang mencakup distrik Surabaya yang kaya. Baca selengkapnya: “De Staad der Soerabajasche havenwerken”, dalam Indisch bouwkundig tijdschrift, VI, 1913, jlm. 876. 52Arries
Christopher, A Port System in A Developing Regional Economy, Evolution and Response in North Sumatra, Indonesia (Ann Arbor: University of Kentucky, 1989).
41
Surabaya
telah
menyebabkan
aktivitas
pelayaran
dan
perdagangan internasional di pelabuhan Surabaya mengalami penurunan. Operasionalisasi pelabuhan pada hakikatnya merupakan sebuah sistem,53 yang terdiri atas tiga elemen, yaitu Port Administration atau Port Authority, Port Business (Perusahaan Pelabuhan), dan Port Users (Pengguna Jasa Pelabuhan). Sistem ini berlangsung dengan dukungan subsistem yang lain yaitu sarana dan prasarana pelabuhan. Untuk bisa menjelaskan sistem pelabuhan agar sesuai dengan tujuan maka diperlukan manajemen. Dalam konteks ini, manajemen dilihat sebagai suatu cara untuk mengendalikan dan mengembangkan pengaturan
53Istilah
suatu
terhadap
sistem
ekonomi
fungsi-fungsi
dari
dengan
melakukan
subsistem-subsistem
sistem (Yunani: systema) bisa berarti entitas dan sekaligus alat analisis. Suatu sistem merupakan entitas yang tersusun dari berbagai unsur, unit, atau subsistem yang terintegrasi. Relasi di antara subsistem bersifat teratur dan berkesinambungan untuk menyangga keseimbangan sistem itu sendiri. Dengan demikian, suatu sistem selalu berkaitan dengan pengertian fungsi atau bersifat fungsional. Artinya, suatu sistem terdiri dari sejumlah subsistem yang berfungsi secara timbal-balik, saling memberi dan menerima (resiprocity) guna memelihara keseimbangan (equilibrium) suatu entitas sistemik tertentu. Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Antropologi Koentjaraningrat Sebuah Tafsir Epistemologis”, dalam E.K.M. Masinambow (ed.), Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (Jakarta: AAI-YOI, 1997), hlm. 44-45.
42
pelabuhan seefisien mungkin.54 Salah satu subsistem pelabuhan yang menjadi ujung tombak bagi kegiatan pelayaran dan ekspor impor adalah berfungsinya sarana dan prasarana pelabuhan. Apabila dermaga dan pergudangan menjadi sarana bongkar muat bagi kapal-kapal yang datang dan berangkat, maka buruh bongkar muat menjadi prasarana yang sangat menentukan dalam proses tersebut. Buruh pelabuhan inilah yang menjadi ujung tombak bagi berjalannya perlayaran dan perdagangan serta hal-hal yang terkait dengan bongkar muat. Sikap dan perlakuan terhadap buruh pelabuhan akan memengaruhi sebuah sistem pelabuhan itu berjalan secara efektif atau tidak. Pemerintah cenderung membiarkan perusahaan-perusahaan tertentu yang mendominasi dan monopoli sarana pelabuhan khususnya dermaga dan gudang, sehingga kontrol atas buruh pelabuhan dipegang sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan
pelayaran
melalui
mandor,
sehingga
nasib buruh sangat bergantung pada mereka sebagai majikan. Apabila cara pengelolaan terhadap sarana dan prasarana serta buruh
pelabuhan
54Ada
ini
tidak
sesuai
dengan
tujuan
pula perspektif lain dari manajemen, yaitu suatu kelompok profesional yang menyelenggarakan suatu proses manajemen. Selain itu ada pula perspektif politis, yaitu manajemen sebagai suatu sistem power dan otoritas yang dipegang oleh individu atau kelompok yang berbeda yang digunakan sebagai taktik dan strategi di dalam mengejar suatu tujuan. Baca J. Child, “Manajemen”, dalam S.R. Parker, et al, Sosiologi Industri (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 166.
43
dikembangkannya pelabuhan, maka hal ini akan menjadi salah satu sebab tejadinya ketimpangan atas kerja pelabuhan tersebut. Hal lain yang menyebabkan kurang berhasilnya pelabuhan Surabaya adalah tidak sesuainya kontrol manajemen pelabuhan antara yang diputuskan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan kenyataan yang terjadi. Kebijakan menentukan bahwa untuk
menjadikan
pelabuhan
Surabaya
sebagai
pelabuhan
internasional yang modern, pemerintah harus melibatkan peran swasta yang lebih besar dalam mengelola pelabuhan. Namun demikian, rupanya peranan pemerintah tetap dominan dalam mengontrol
manajemen
pelabuhan.
Meskipun
pelabuhan
Surabaya juga mengalami “masa swasta” pada periode 1920-an, akan tetapi perusahaan-perusahaan swasta hanya diperkenankan menyewa dermaga dan membangun gudang-gudang dalam jangka waktu tertentu saja. Dermaga
di
pelabuhan
Surabaya
bisa
dimonopoli
pengelolaannya oleh swasta, tetapi hanya sebatas periode kontrak yang dibuat antara mereka dan pemerintah, sehingga gejolak persaingan antar perusahaan di Surabaya sering terjadi. Lobi-lobi pihak swasta kepada pemerintah dilakukan melalui Perkumpulan Perusahaan Dagang Surabaya (Handel Vereeniging Surabaya) dan pengangkatan wakil perusahaan dagang dalam Komisi Bantuan (Commissie
van
Bijstand).
Namun,
karena
kuatnya
kontrol
44
pemerintah atas pengelolaan pelabuhan menyebabkan peran swasta dalam sistem pelabuhan mengalami kendala. F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian sejarah sosial ekonomi. Oleh karena itu, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah, yaitu proses menguji secara kritis sumbersumber yang telah dikumpulkan baik sumber primer, sekunder maupun tersier. Pengumpulan sumber-sumber sejarah banyak dilakukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Sumbersumber primer yang berupa arsip seperti
Archieven Financiën,
Dossier inzake de haven van Soerabaja, In-en uitvoerrechten en accijnzen, stuken inzake doanegebouwen Soerabaja niet tekening 1922, Arsip Marine, dan lain-lain banyak dikumpulkan dari ANRI. Untuk surat-surat kabar lama serta terbitan pemerintah maupun berbagai majalah kolonial, seperti Indisch Bouwkundig Tijdschrift, De Waterstaats Ingenieur, Koloniale
Studien, Tijdschrift voor
Nederlands Indië banyak ditemukan dari Perpustakaan Nasional. Berbagai sumber tentang Surabaya banyak ditemukan di Nationaal Archief (NA), Den Haag, baik dalam bentuk arsip-arsip tulis tangan, microfis maupun microfilm. Berbagai koleksi yang diteliti antara lain arsip Ministerie van Kolonien en Opvolgers, Ministerie van Marine, Algemeene Secretarie, Collectie Documentatie
45
Bureau voor Overzees Recht ca.1900-1958, Drogdok Maatschappij Soerabaja,
Koninklijk
Paaketvaart
Maatschappij,
Spoorweg
Maatschappij, Inventaris van het archief van Ir. Wouter Cool (18771947), dan lain-lain. Selain itu, sumber primer dan sekunder juga banyak penulis dapatkan dari KITLV, baik berupa buku-buku, hasil penelitian, terbitan
pemerintah
seperti
Koloniaal
Verslag,
Verslag
der
Burgerlijk Openbare Werken, Verslag der Gemeente Soerabaja, Het rappart Kraus de Jongh, Indisch Verslag, Inlandsche Pers Overzicht, Droogdok Maatschappij Soerabaja berbagai besluit, surat kabar, majalah sejaman yang terkait, dan lain-lain. Berbagai lembaga yang menyimpan arsip-arsip di Amsterdam juga penulis kunjungi. Di International Instituut voor Social Geschiedenis (IISG), banyak penulis dapatkan arsip yang terkait dengan perburuhan dan laporan tahunan pelabuhan, seperti Jaarverslag Haven van Soerabaja, termasuk beberapa surat kabat seperti Berdjoeang, Soerabaiaasch Handelsblad, dll. Selain itu, penulis juga mencari sumber di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) untuk menemukan
berbagai
informasi
dari
buku-buku
terbitan
pemerintah yang terkait lainnya. Pada tahun 2004, penulis juga mengunjungi Gedung Arsip Departemen Pekerjaan Umum di Citereup, Bogor. Di gedung ini menjadi tempat penyimpanan arsip-arsip kolonial Departemen
46
Pekerjaan Umum. Namun demikian arsip yang ada tidak teratur dan tidak ada “jalan masuk” untuk mencari dan menemukan arsip tertentu. Hal ini disebabkan karena arsip hanya diletakkan di rakrak besi dan ditumpuk tanpa ada keterangan sedikitpun. Dalam kesempatan melakukan riset arsip di sana, penulis sempat membuatkan “jalan masuk” secara sederhana dan menata pada salah satu rak, khususnya arsip-arsip pelabuhan. Rak sudah penulis beri petunjuk berupa informasi tentang isi dari map-map yang
ditata
ditemukan
di
atas
adalah
rak
tersebut. Kebanyakan
gambar-gambar
teknis
arsip
tentang
yang proses
pembangunan pelabuhan. Ketika penulis melakukan riset di Surabaya, juga melakukan pencarian arsip di kantor PT Pelindo III Surabaya. Di sana ternyata juga tersimpan arsip-arsip kolonial, meskipun tidak lengkap. Namun demikian untuk arsip sekitar tahun 1960-1980 cukup banyak koleksi yang dihimpun oleh PT. Pelindo III Surabaya. seperti BPM Tambatan Benoa, Djalur-djalur Djalan Wilayah Selatan, Dock No. IIIa 2.17, Maintz Producten Handel, dan sebagainya. Setelah sumber-sumber dari berbagai tempat tersebut terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah melakukan kritik sumber. Tahap interpretasi
selanjutnya terhadap
adalah
fakta
untuk
melakukan memperoleh
sintesis
dan
pemahaman
47
terhadap fakta sejarah. Interpretasi dilakukan dengan
cara
membandingkan dan menghubungkan antara fakta yang satu dengan yang lain dalam rangkaian sebab akibat secara kronologis. Tahap terakhir adalah melakukan historiografi atau
penulisan
sejarah secara sistematis dan ilmiah untuk memperoleh suatu kesimpulan.
G. Sistematika Pembahasan Pembahasan Perdagangan
tentang
Interregional;
“Menjadi Pelabuhan
Pusat
Pelayaran
Surabaya
dan
1900-1940”
dalam disertasi ini akan diungkapkan secara deskriptif, analitis, dan kronologis dalam delapan bab. Diawali dengan pengantar yang di dalamnya menguraikan hal-hal yang mendasari penelitian ini seperti latar belakang pentingnya penelitian ini,
permasalahan
dan ruang lingkup, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka konseptual. Berbagai persoalan yang diajukan dalam permasalahan dan hal penting yang menjadi “tulang punggung” sejarah sosial ekonomi pelabuhan Surabaya yang menjadi inti penjelasan, disajikan pada Bab III sampai Bab VII. Sebagai latar belakang historis, dalam penelitian ini, diungkapkan Surabaya: Kota Pelabuhan Terbesar di Wilayah Timur Nusantara yang dipaparkan dalam Bab II.
48
Surabaya merupakan kota pelabuhan terbesar di Indonesia setelah Batavia. Posisi ini telah berlangsung sejak abad XIX yang lalu, ketika Surabaya menjadi pusat perdagangan dan eksporimpor di wilayah Indonesia Bagian Timur. Kota ini semakin berkembang sejak era Politik Pintu Terbuka diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Bab ini disajikan agar pembaca mengetahui dimana letak Surabaya dan pelabuhannya, sekaligus agar diperoleh pemahaman tentang kontinuitas historis atas Surabaya dan pelabuhannya. Pembahasan tentang Surabaya dalam jejaring pelayaran dan perdagangan dalam Bab III untuk menjelaskan pertalian sejarah dari sebuah proses yang mengikat perkembangan pelabuhan Surabaya itu sendiri. Inilah sebuah perjalanan historis yang melihat apakah kebijakan untuk mengembangkan pelabuhan Surabaya
memperhatikan
jejaring
dalam
pelayaran
dan
perdagangan yang melatarbelakangi baik tingkat regional maupun internasional. Uraian
selanjutnya
mengulas
tentang
kebijakan
pengembangan pelabuhan Surabaya. Ada beberapa fakta historis yang mengemuka dan dijadikan alasan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan berbagai pihak yang berkepentingan atas pelabuhan
untuk
mengembangkannya
menjadi
pelabuhan
internasional modern yang bisa mengatasi persoalan internal dan
49
eksternal
pelabuhan
Meningkatnya
yang
produk
terkait
daerah
dengan
bab
penyangga
sebelumnya.
terutama
gula,
menyebabkan meningkatnya kegiatan perkapalan dan eksporimpor. Pada gilirannya, kapasitas pelabuhan Surabaya mengalami penurunan karena banyak kapal yang keluar masuk pelabuhan dan melakukan bongkar muat barang mengalami penundaan. Inilah yang menjadi alasan utama dikembangkannya pelabuhan menjadi lebih besar, bertaraf internasional dan diharapkan dapat menyaingi Singapura. Dalam proses mencapai keputusan untuk mengembangkan pelabuhan ternyata harus didahului dengan perdebatan
panjang
mempertimbangkan
karena
antara
salah
satunya
harus
kepentingan
komersial
dengan
pertahanan. Keseluruhan uraian ini disajikan dalam Bab IV Penjelasan tentang keinginan besar dari berbagai pihak yang terkait dalam menentukan kebijakan dengan kenyataan yang harus dihadapi disajikan dalam Bab V dengan judul Kendala dalam Pengembangan Pelabuhan. Bab ini menjelaskan beberapa uraian,
perdebatan
yang
berlarut-larut;
kendala
dalam
pengembangan fisik; dan menghadapi pelabuhan Singapura. Subbab
tentang
perdebatan
yang
berlarut-larut
perlu
dikemukakan dalam disertasi ini karena hampir 20 tahun yang berlangsung sejak akhir abad XIX, sehingga pelabuhan Surabaya yang seharusnya segera dikembangkan pada awal tahun 1900
50
menjadi tertunda. Selain itu perdebatan tentang bagaimana mengatasi problem tentang pengembangan pelabuhan Surabaya ini merupakan masalah yang menjadi perhatian banyak pihak dan mengemuka dalam sejarah sosial ekonomi Surabaya, tetapi jarang disinggung oleh para peneliti secara utuh. Pembahasan tentang kendala dalam pengembangan fisik perlu dikemukakan karena hal itu menjadikan rencana pembangunan yang harusnya selesai dalam waktu 5 tahun menjadi molor sampai 16 tahun, setelah semua sarana prasarana pelabuhan selesai dibangun tahun 1927. Sementara subbab tentang menghadapi pelabuhan Singapura jelas
merupakan
masalah
yang
menjadi
kendala
dalam
pengembangan pelabuhan Surabaya, karena selain menjadi salah satu
ambisi
Pemerintah
Kolonial,
ternyata
selama
proses
pengembangan pelabuhan hingga tahun 1900, pelayaran dan perdagangan
internasional
di
pelabuhan
Surabaya
tetap
didominasi oleh kapal-kapal Singapura dan Inggris. Kontrol pemerintah atas pengelolaan pelabuhan dijelaskan dalam bab tersendiri karena salah satu tujuan dari pengembangan pelabuhan Surabaya adalah memberikan peran swasta yang lebih besar
dalam
kenyataanya
manajemen pemerintah
pelabuhan. masih
Meskipun
mendominasi
demikian, pengelolaan
pelabuhan. Penjelasan ini disajikan dalam Bab VI, sekaligus diungkapkan subbab-subbabnya, yaitu tentang manajemen yang
51
enggan
berubah.
pelabuhan
Subbab
dikembangkan,
ini
menjelaskan
maka
syarat
bahwa
utama
setelah
yang
harus
berubah adalah manajemen. Manajemen yang direncanakan memberikan
kesempatan
kepada
pihak
swasta
untuk
mengelolanya dan pemerintah hanya mengawasi saja, ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti. Hampir semua lini dalam struktur pengelolaan pelabuhan dijalankan kembali oleh pemerintah, meskipun ada wakil dari pihak swasta, namun hanya sekedar sebagai pelengkap saja. Bahkan pada lembaga yang bersifat
sebagai
pembantu
(Commissie van
Bijstand)
untuk
melaksanakan kebijakan, pihak swasta hanya diwakili oleh satu orang saja. Demikian
halnya
pada
struktur
pelaksana
pengelola
pelabuhan, hampir semua jabatan dipegang oleh orang-orang pemerintah, yang berasal dari dinas terkait. Hal ini tentunya memengaruhi
ujung
tombak
dari
proses
pelayaran
dan
perdagangan, yaitu bongkar muat. Banyak terjadi stagnasi dan keterlambatan dalam proses ini yang salah satu sebabnya adalah sarana dan prasarana yang kurang memadai. Selanjutnya, ketika sarana dermaga digunakan dalam proses bongkar muat, ternyata faktor utama yang mendukung proses tersebut, yaitu buruh pelabuhan juga mengalami perlakuan yang tidak berubah, yaitu cenderung diabaikan peran pentingnya dalam proses bongkar
52
muat ini. Itulah sebabnya, dalam Bab ini dijabarkan tentang buruh bongkar muat yang terabaikan. Apa yang diuraikan pada Bab III, IV, V, dan VI ini menjadi pembahasan yang menunjukkan pelabuhan
Surabaya
semakin
sibuk dengan
pelayaran
dan
perdagangan interregional. Hal ini semakin diperkuat oleh faktor pendukung dan aktivitas dalam pelayaran dan perdagangan interregional yang dijabarkan dalam Bab VII. Bab ini terdiri atas tiga subbab utama yang mendukung fakta-fakta historis yang berlangsung, yaitu: struktur ekonomi daerah penyangga, peran industri dalam aktivitas pelabuhan, dan pelayaran dan eksporimpor yang berlangsung di pelabuhan. Seluruh rangkaian pembahasan yang telah disajikan dalam Bab II sampai dengan Bab VII diakhiri dengan simpulan yang diuraikan dalam Bab VIII.