1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah Setiap orang tua menginginkan perkembangan anaknya berjalan dengan baik dan normal. Namun adakalanya keinginan dan harapan kita tidak sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Ada beberapa anak yang dilahirkan dengan kondisi tidak wajar salah satunya seperti anak penyandang autisme. Autisme adalah gangguan perkembangan yang digambarkan dengan ketidaknormalan dalam fungsi sosial, berbahasa dan berkomunikasi serta prilaku dan ketertarikan yang tidak wajar (Mash & Wolfe, 2010). Autisme ditandai dengan perbedaan yang mendalam terhadap hubungan sosial yang aneh seperti prilaku yang stereotip (prilaku yang berulang-ulang dan tidak bertujuan) serta gangguan komunikasi yang parah. Gangguan ini biasanya bersifat kronis bahkan ketika sudah dewasa dengan mendapatkan hasil dan kondisi yang baik, namun masih menunjukkan beberapa emosi sosial
dan
pengertian sosial yang terganggu (Otlmanns & Emery, 2012). Gejala Autisme terkait dengan empat ciri yaitu: motivasi sosial, ekspresi sosial, kemampuan sosial serta prilaku yang berulang-ulang dan
semuanya terbatas, dan tidak
sesuai dengan perkembangan individu pada umumnya (Levy, Mandell & Schultz, 2009). Gangguan lain yang menyertai adalah kesulitan dalam berbicara (Shane, Laubscher,
Schlosser,
Flynn,
Sorce
&
Abramson,
2011).
Banyaknya
permasalahan dan gangguan pada anak autisme ini, akhirnya memerlukan banyak pengasuhan dan perawatan dari orang tua agar kelak anak dapat berkembang lebih optimal dan lebih terarah.
2
Sebenarnya ayah dan ibu memiliki peran yang sama pentingnya dalam mengasuh anak. Menurut Bowlby (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) bahwa yang paling dominan dalam mengasuh anak diantara kedua orang tua adalah ibu, karena ibu merupakan objek lekat bagi sang anak. Namun pada satu sisi Ibu juga memiliki tingkat kecemasan yang berlebihan, kecemasan ini mendorong ibu untuk selalu khawatir akan keadaan dan kondisi anaknya. Ibu dengan anak penyandang autis memiliki tanggung jawab pengasuhan yang lebih berat daripada ibu dengan anak kondisi normal. Ibu dengan anak penyandang autis akan merasa sangat khawatir dengan masa depan sang anak, terlebih seorang ibu mempunyai harapan yang tinggi terhadap sang anak yang seringkali berujung pada stres (Ogston, Mackintosh & Myers, 2011). Situasi dan kondisi orang tua dalam menghadapi anak autis dapat digambarkan dari hasil wawancara di bawah ini: “Setiap hidup seperti dalam dunia sendiri.... semua pintu hingga pagar harus dikunci karena khawatir anak kami akan lari keluar dan kami akan sulit untuk menbawanya pulang karena ia akan belari kencang dan tak tau arah seperti burung keluar dari sangkarnya. Ia sering hilang dan membuat semua orang kelabakan. Sementara bila dirumah anakku sibuk mengacak-acak apapun seperti isi kulkas, isi kamar mandi, almari bahkan semua benda-benda di dapur, tidak mengerti apakah semua itu berbahaya atau tidak. aku benar-benar tegang dan jantung seperti mau copot dan yang membuatku miris, manakala hingga larut malam anakku masih terus berlarian di dalam rumah sambil menabrakkan tubuhnya ke dinding, Keringat sudah bercucuran, menangis sambil berlari dan akhirnya tertidur dalam kelelahan. Semua itu hampir setiap hari ku hadapi” (MFP, 20 maret 2012). “Setahuku dari dokter bahwa anak autis tidak boleh makan-makanan yang mengandung gandum-ganduman, sementara anakku senang ngemil.. duh.... repotnya mencegah kalau dilarang dia akan mengamuk badannya tambun dan senang makan, bila sudah marah akan menangis sangat lama dan berlarian di dalam rumah sambil memukul apa yang ia mau... berisik sekali, kadang sampai malu dengan tetangga. Lebih parah lagi bila malam tiba anakku sulit tidur sehingga aku sebagai mamanya sangat kelelahan karena sangat-sangat kurang istirahat. Penat, letih pikiran dan badan semua rasa bercampur aduk sudah” (M.FRK, 4 April 2012).
3
Wawancara tersebut menggambarkan bahwa betapa besar masalah yang harus dihadapi seorang ibu dengan anak penyandang autis, bahkan tidak jarang mereka merasa bersalah, stres dan bingung dengan langkah yang harus ditempuh agar anak mereka dapat berkembang sebagaimana mestinya. Estes, Olson, Sullivan, Greenson, Winter, Dawson dan Munson (2013) menyatakan bahwa ibu dengan anak penyandang autis mempunyai tingkat stres yang tinggi. Sejalan dengan itu, Oprea dan Stan (2012) menyatakan bahwa ibu dengan anak penyandang autis terbukti mengalami stres dengan emosi negatif seperti merasa bersalah, takut untuk berubah, tidak bahagia dan putus asa. Menurut banyak penelitian bahwa orang tua yang memiliki anak dengan diagnosia autis, secara konsisten dilaporkan memiliki tingkat stres lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak dengan permasalahan pada perkembangan lainnya (Dunn, Burbine, Bowers & Tantleff-Dunn, 2001). Keadaan tersebut diperparah dengan fenomena atau kondisi yang cukup memprihatinkan yaitu jumlah penyandang autisme semakin tahun semakin bertambah sedangkan pelayanan untuk penyandang autisme masih sangat terbatas. Salah satu contoh, penyandang autis di Riau telah mencapai 710 anak, berdasarkan data Dinas Pendidikan Riau 2011, dari jumlah anak autis tersebut baru setengahnya yang bisa dilayani. Berdasarkan pantauan khusus untuk daerah kota Pekanbaru terdata hanya sekitar 20 lembaga yang menangani anak autis (Elyati, 2012). Keberadaan lembaga - lembaga tersebut tidak semuanya mampu untuk menangani setiap persoalan yang dialami oleh anak autis, sehingga kondisi ini membuat para orang tua sangat khawatir dengan keberadaan putra-putri mereka.
4
Hasil wawancara lain yang mendukung, peneliti lakukan terhadap ibu dengan anak penyandang autis adalah: “Ketika tahu bahwa anak saya didignosa autis, saya bingung apa itu autis?.. keterangan dokter tidak memuaskan. Intinya ia hanya menyarankan bahwa kami sebagai orang tuanya untuk segera mencari lembaga yang dapat memberi terapi untuk anak yang berkebutuhan khusus dalam menangani anak autis. Selama menjalani proses terapi kami sebagai orang tuanya pun merasa tidak puas akan layanannya, karena perubahan yang terjadi pada putra kami tidak ada, materi terus keluar dan kami juga tidak dapat ilmunya harus bagaimana mengatasi anak kami setibanya dirumah. Suami saya berkrsimpulan karena putra kami mungkin kurang perhatian, karena kebetulan kami berdua bekerja pada instansi milik pemerintah. Secara otomatis karena saya mamanya jadi saya yang paling merasa bersalah.“ (M-FBB, 45 th, 20 Februari 2012). Berdasarkan wawancara tersebut, ibu dengan anak penyandang autis merasa bahwa perubahan kearah lebih baik dirasa sangat lamban bahkan ada beberapa orang tua yang mengeluhkan tidak adanya perubahan pada anaknya meskipun sudah diterapi. Tidak jarang orang tua juga mengeluhkan bahwa setiap biaya yang dikeluarkan untuk upaya penyembuhan buah hatinya tidak sebanding dengan perubahan yang diharapkan pada anak mereka, artinya orang tua hanya merasakan besarnya biaya yang harus mereka keluarkan, tetapi hasilnya sangat jauh dengan apa yang mereka harapkan. Situasi ini terkadang membuat orang tua khususnya ibu menjadi prihatin karena ibu sebagai pihak yang lebih sering dan dekat dalam mengawasi dan mengikuti perkembangan anaknya. Farrell (2012) mengemukakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh ibu dengan anak autis bukan hanya keletihan secara fisik namun juga secara psikologis, pemenuhan akan biaya kesehatan khusus, terapi, prasarana hingga perhatian secara intensif, sehingga kondisi ini dapat menyebabkan konflik dan stres tinggi. Dalam penelitiannya Farrell juga mengemukakan bahwa kondisi ini didukung oleh keadaan anak, dimana sebagian besar anak autis memiliki gangguan kecemasan tinggi, depresi, gangguan bipolar, schizofrenia dan attention devicit hyperactivity disorder (ADHD). Maston, Adams, Williams dan Rieske (2013)
5
menyatakan bahwa beberapa hambatan yang dihadapi para orang tua untuk keberhasilan terapi anak mereka, yaitu terapi anak autis membutuhkan jangka waktu
yang cukup lama, biaya yang cukup besar serta perlunya dukungan
penuh dari keluarga maupun lingkungan sekitar. Meskipun anak-anak dengan ASD menghadapi banyak tantangan sepanjang hidup mereka sebagai akibat dari gangguan mereka, keluarga mereka juga ternyata terpengaruh oleh gangguan dan keberadaan mereka. Secara khusus, orang tua dari anak-anak dengan ASD mengalami stres yang dimulai sedini mungkin, disaat mereka menyadari ada sesuatu yang berbeda tentang anak mereka dan berpotensi bertahan seumur hidup untuk merawat anaknya. Sehingga orang tua dari anak-anak dengan ASD memiliki tingkat pengalaman stres yang lebih tinggi dibanding orang tua yang memiliki
anak dengan permasalahan yang lain (Blacher & McIntyre, 2006).
Secara umum dan luas bahwa tingkat stres yang dialami orang tua yang memiliki anak autis semakin bertambah dengan semakin bertambahnya spectum atau gangguan pada anak (Crnic & Greenberg, 1990). Menurut Pinel (2009) bahwa stres adalah suatu kondisi psikologi seperti kecemasan dan ketakutan yang ada pada diri individu, serta berpengaruh kepada kesehatan fisik dengan menurunnya imunitas pada diri individu itu sendiri. Secara keseluruhan akan berpengaruh kepada kesetabilan fisik dan psikis dalam kehidupannya. Chang, Rand, Strunk (2000) mendefinisikan stres sebagai keadaan yang berhubungan dengan kelelahan fisik disertai dengan kelelahan secara emosional karena suatu kegiatan atau rutinitas pekerjaan. Stres yang berkepanjangan dikaitkan dengan kesulitan lain seperti kecemasan, depresi, dan isolasi sosial (Maxted, Dickstein, Miller-Loncar, High, Spritz & Liu & Barry, 2005).
6
Pada situasi lain tingkat stres pengasuhan pada ibu anak autis terkadang mampu diatasi oleh ibu itu sendiri, karena keberadaan anak autis yang awalnya menjadi pokok permasalahan dalam keluarga namun dengan berjalannya waktu akhirnya mereka siap menerima keberadaan dan kondisi anaknya. mereka menganggap anak autis sebagai berkah atau bentuk rasa sayang Sang Pencipta agar kita menjadi orang yang lebih mampu bersyukur, sabar dan menerima keberadaannya dengan lapang dada atau ikhlas. “Saya awalnya marah, stres, bingung, karena anak saya tidak kunjung mengalami perubahan seperti anak pada umumnya.. tapi setelah bertahun-tahun bahkan usianya sekarang sudah hampir 18 tahun akhirnya saya menyadari bahwa saya harus ihklas menerima keberadaannya sekarang..... mungkin Allah punya rahasia lain....” (MA ,50 th, Maret, 2012).
Di negara Korea Selatan diharapkan para orang tua untuk mampu mengelola stres dalam mengasuh dan membesarkan anak-anak mereka, artinya ada sikap penerimaan terhadap kondisi anak termasuk anak penyandang cacat dan autisme. Karena masyarakat Korea Selatan, tradisi dan budayanya secara tidak langsung dibangun atas gagasan dan ajaran Konfusianisme dari Cina. pengaruh besar Konfusianisme filusuf dari Cina ini tidak hanya di Korea Selatan tetapi berpengaruh di beberapa negara Asia Timur lainnya (Ryder, Yang, Zhu, Yao, Yi, Heine & Bagby, 2008). Setiap orang tua pada dasarnya tetap berharap agar dengan berjalannya waktu ada banyak perubahan bagi buah hatinya jauh kearah lebih baik, khususnya ibu. Ibu dengan penyandang autis membutuhkan suatu usaha yang cukup besar untuk menghadapi setiap permasalahan dalam pengasuhan anaknya agar perkembangan anak dapat terarah dan lebih optimal. Untuk itu seorang ibu harus memiliki kecerdasan adversitas yang baik dalam mengasuh
7
anak dengan gangguan autis. Menurut Stoltz (1997) kecerdasan adversitas merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan untuk bertahan hidup dimana didalamnya terdapat sikap optimis, pantang menyerah, kreatif, memiliki motivasi yang kuat, berani mengambil resiko serta melakuan banyak usaha serta belajar untuk melakukan suatu perubahan. Kecerdasan adversitas yang dimiliki oleh ibu dengan anak penyandang autis digunakan untuk bertahan maupun mengatasi setiap hambatan dan kesulitan dalam pengasuhan anak tersebut. Individu dengan kecerdasan adversitas yang tinggi akan mampu untuk memandang suatu masalah dengan memasukkan emosi positif, merasa optimis, memikirkan dan meyakinkan diri bahwa hal-hal yang buruk akan menjadi lebih baik (Taylor, Barr, Stevens, Bryson-Taylor, Agho, Jacob & Raphael, 2010). Seorang ibu akan berusaha untuk tangguh dan ulet menghadapi tantangan pengasuhan dengan tidak memperpanjang gejala stres, depresi ataupun perilaku menyimpang seperti merokok dan minum-minuman keras, hal tersebut berdampak pada kesejahteraan ibu dan anak (Easterbrooks, Chaudhuri, Bartlett & Copeman, 2011). Kecerdasan adversitas yag dimiliki oleh seorang ibu dalam menghadapi anak autis tidak semata-mata terletak pada kecerdasan adversitas itu sendiri. Seorang ibu sebagai anggota keluarga juga membutuhkan dukungan dari luar dirinya, yaitu adanya dukungan sosial. Salah satu dukungan sosial yang sangat dekat dan dibutuhkan adalah dukungan dari pasangan atau dukungan dari suami. Banyak diantara ibu dengan anak penyandang autis mengeluhkan minimnya
dukungan dari
suami
dalam
mengasuh
anak.
Hal
tersebut
diungkapkan oleh salah satu ibu dari anak penyandang autis: “Saya bingung bagaimana mengatasi anak autis, saya sampai berhenti bekerja hanya untuk mengurus anak. Papanya cenderung tidak mau tahu apa
8
lagi beliau kerja dilapangan....... jarang pulang. setiap papanya pulang pasti marah-marah karena perkembangan anak belum juga menunjukkan perubahan. Saya dipersalahkan dan saya merasa sangat takut,was-was ketika papanya ada dirumah, kasian dengan anak saya, karena papanya tidak memperhatikan justru malah membenci anak saya. Miris selali kalau menyaksikannya mbak... padahal meski seperti itu kondisi anak saya, pastiya dia juga butuh perhatian dan kasih sayang saya memang betul-betul tertekan mbak.... “ (M-A, 39 th, 10 April 2012). Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa, ibu dengan anak penyandang autis merasa bingung, cemas hingga akhirnya menjadi stres ketika tidak mendapatkan dukungan dari suami dalam mengasuh anak. Greenglass, Fiksenbaum dan Eaton (2006) menjelaskan bahwa dukungan pasangan
atau suami merupakan kemampuan suami untuk membantu istri
berupa informasi, nasehat, atau sesuatu untuk membesarkan hati agar istri yang lebih aktif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Saidmen, Yirmiya, Milshtein, Ebstein dan Levy (2011) menjelaskan bahwa ayah kurang peka dan kurang perduli terhadap kondisi anak autis sementara ibu begitu jauh lebih dekat dan perduli dan tidak dapat terpisahkan terhadap masalah yang dialami buah hatinya. Papageorgiou dan Kalyva (2010) menyatakan bahwa dukungan sosial dari teman, tenaga profesional dan pasangan sangat berpengaruh pada menurunnya tingkat stres dan menumbuhkan harapan pada orang tua dari anak penyandang autis. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, dukungan sosial keluarga
terutama
pasangan
berpengaruh
pada
menurunnya
distres,
meningkatkan kesejahteraan dan adaptasi pada ibu dari anak penyandang autis. Ibu dengan anak penyandang autis sangat rentan terhadap stres pengasuhan. Stres pengasuhan anak autis muncul karena anak autis merupakan anak berkebutuhan khusus yang memiliki perbedaan dan keterbatasan dalam berhubungan sosial, dan tidak sesuai dengan perkembangan individu pada umumnya. Ibu sebagai objek lekat anak akan serta merta menjadi sangat
9
kesulitan dalam menghadapi, mendidik serta mengasuh agar anak penyandang autis dapat berkembang lebih baik. Stres pada ibu ini akan semakin menjadi parah jika ibu tidak memiliki kecerdasan adversitas dan dukungan pasangan yang baik. Tanpa kecerdasan adversitas, ibu dengan anak autis akan larut dalam masalah-masalah pengasuhan, dan semakin tidak berdaya untuk menangani anak tersebut. Selain itu, dengan tidak adanya dukungan dari pasangan atau suami maka hal ini akan menambah semakin sulit bagi ibu dalam mengatasi masalah anak autis tersebut. Untuk itu dengan adanya Kecerdasan adversitas yang baik dari ibu serta adanya dukungan dari pasangan atau suami secara baik dan otimal maka diharapkan akan dapat meringankan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis. Berdasarkan berbagai fenomena di atas maka peneliti ingin mengatahui sejauh mana hubungan kecerdasan adversitas dan dukungan pasangan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis.
B. Rumusan Masalah Mengingat
bahwa
anak
autis
merupakan
anak
yang
mengalami
permasalahan dalam tumbuh kembangnya baik secara fisik dan psikis maka keberadaannya membutuhkan penanganan yang lebih serius, intensif dan lebih bijaksana terutama dalam lingkungan keluarga. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah kecerdasan adversitas dan dukungan pasangan berhubungan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis dan variabel manakah yang mempunyai sumbangan lebih besar untuk stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis.
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang sebelumnya maka secara
masalah di atas yang sudah diuraikan
secara umum penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan hubungan kecerdasan adversitas dan dukungan pasangan terhadap stres pengasuhan pada ibu
yang memiliki anak autis. Serta untuk
mengetahui sejauh mana atau seberapa besar kontribusi kecerdasan adversitas dan dukungan pasangan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Secara
teoritis,
penelitian
ini
dapat
memberikan
kontribusi
bagi
pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan, klinis dan sosial yang berkaitan dengan hubungan kecerdasan adversitas dan dukungan pasangan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis. 2. Secara praktis, penelitian ini nantinya dapat memberikan informasi tentang hubungan kecerdasan adversitas dan dukungan pasangan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis, secara khusus serta bagi keluarga dan lingkungan secara umum. Penelitian ini juga dapat memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya.
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang stres pada ibu dalam menghadapi anak yang berkebutuhan khusus telah banyak dilakukan. Demikian juga dengan dukungan pasangan. Penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis dilakukan oleh Nova (2003) dengan judul Hubungan perilaku coping dan self esteem dengan tingkat kecemasan sosial ibu anak autis
11
di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian untuk dukungan pasangan juga telah ada diantaranya adalah Primastuti (2005) mengenai hubungan antara dukungan suami dan dukungan guru dengan problem focused ibu anak berbakat intelektual. Penelitian ini dilakukan terhadap 34 ibu anak berbakat yang menjadi klien pada Center for Giftedness, Fakultas Psikologi, Unika Soegijapranata, Semarang. Penelitian yang berkaitan dengan kecerdasan adversitas juga telah dilakukan oleh Nurdin (2007) dengan judul Kebermaknaan hidup narapidana ditinjau dari konsep diri dan kecerdasan adversitas. Subyek penelitian ini adalah para narapidana yang berada di Lembaga Permasyarakatan Makasar. Hasil penelitiannya menunjukkan kecerdasan adversitas memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kebermaknaan hidup. Dalam
penelitian
ini
penulis
bermaksud
ingin
menguji
hubungan
kecerdasan adversitas dan dukungan pasangan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis. Dari contoh beberapa penelitian di atas perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan adalah : 1. subyek penelitiannya, 2. Waktu dan tempat penelitian, 3. Metode penelitian.