1
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah
Matematika siswa seharusnya memperoleh nilai yang maksimal, karena setiap penyelesaian masalah kehidupan tidak terlepas dari kemampuan berpikir logik dan berpikir sistematis. Dalam pelajaran matematika siswa diajarkan berpikir logik dan sistematis untuk menyelesaikan setiap soal. Sudah seharusnya setiap siswa memperoleh nilai yang maksimal. Matematika merupakan ilmu pengetahuan dasar yang melandasi semua disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu sosial. Penguasaan matematika bagi para siswa akan menjadi sarana yang utama untuk mempelajari mata pelajaran lain, baik pada jenjang yang sama maupun pada jenjang yang lebih tinggi (Nawangsari, 2001). Akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika yang mengakibatkan nilai matematikanya rendah. Salah
satu
tujuan
dari
pengajaran
matematika
adalah
untuk
mengembangkan kemampuan penalaran dan kemampuan logika siswa, serta menjadi salah satu metode untuk mengembangkan pola penalaran siswa secara sistematis (Sembiring, Hadi & Dolk, 2008). Mengacu pada tujuan tersebut, maka penting untuk membuat matematika yang diajarkan itu relevan dengan permasalahan sehari-hari yang dihadapi oleh siswa. Dengan demikian siswa dapat menggunakan penalaran dan logika berpikirnya untuk dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya sehari-hari. Sampai saat ini dinas pendidikan melalui sekolah formal masih menerapkan Ujian Nasional (UN), baik tingkat SD, SMP maupun SMA. Hanya
2
saja pada tingkat SD yang awalnya Ujian Nasional berubah menjadi Ujian Sekolah Daerah (USD). Mata pelajaran yang masuk dalam materi USD pada tingkat sekolah dasar adalah bahasa Indonesia, IPA dan matematika. Mata pelajaran matematika menjadi sangat penting karena selain masuk dalam mata pelajaran yang diujikan juga merupakan dasar-dasar dari perhitungan yang akan mendukung ilmu lain termasuk penerapan dan aplikasi dalam kehidupan seharihari. Sampai tahun 2014 matematika masih menjadi salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional (UN). Hal ini berarti bahwa penguasaan siswa pada mata pelajaran matematika sangat penting. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY, Baskara Aji, rata-rata nilai ujian nasional di Yogyakarta tertinggi ada pada mata pelajaran Bahasa Indonesia 8,43; sedang untuk mata pelajaran IPA 7,62, dan terendah ada di mata pelajaran matematika 7,39. Rekapan dari hasil kelulusan tercatat, rata-rata total nilai akhir jenjang SD/MI, Kota Yogyakarta masih meraih nilai terbaik di DIY yaitu dengan rata-rata 23,62, Kabupaten Bantul 23,50, Kabupaten Kulon Progo 23,40, Kabupaten Sleman 23,28, dan Kabupaten Gunung Kidul 22,53. Sedangkan rata-rata nilai total di DIY adalah sekitar 23,26. Dari data di atas mata pelajaran Matematika menempati urutan terendah (Aji, 2013). Pakar matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Pranoto (2011) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika pada siswa sangatlah penting terutama dalam pandangan dunia abad ke-21, yang nantinya melalui matematika diharapkan ilmu ini dapat berfungsi efektif dikehidupan sehari-hari. Realita yang ada sekitar 76,6 persen siswa setingkat SMP dinilai ”buta” matematika. Hal ini menunjukkan bahwa siswa masih sangat rendah dalam penguasaan matematika.
3
Mayer (2011) menjelaskan bahwa kemampuan Matematika merupakan salah satu bentuk dari kemampuan akademik. Kemampuan akademik ini didefinisikan oleh Mayer sebagai suatu kemampuan untuk belajar (the ability to learn). Kemampuan akademik dapat diukur melalui kinerja seseorang dalam tes kemapuan kognitif, seperti salah satunya adalah memecahkan permasalahanpermasalahan cerita yang ada dalam kemampuan Matematika. Hasil penelitian TIMMS (Trends in International Matematics and Science Study) pada tahun 2006 ditemukan mayoritas soal yang diberikan guru matematika di Indonesia terlalu kaku. Soal yang kaku mengakibatkan siswa sering kali merasa bosan dan menganggap matematika sebagai pelajaran yang tidak menyenangkan dan tidak aplikatif dalam kehidupan sehari-hari (Mulis, Martin, Foy & Arora, 2012). Hal yang senada disampaikan oleh pencetus metode matematika dahsyat Siwoyo (2011), bahwa 9 dari 10 anak Indonesia tidak suka pelajaran matematika. Siswa menganggap bahwa matematika adalah pelajaran tersulit dan rata-rata guru matematika galak dan keras ketika menyampaikan pelajaran matematika. Suryabrata (2011) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dibedakan atas faktor fisik dan non fisik. Beberapa hal yang termasuk dalam faktor fisik antara lain: kesehatan secara umum, koordinasi motorik, dan kondisi syaraf. Faktor nonfisik yang dapat mempengaruhi prestasi antara lain: kepribadian, penyesuaian diri, kematangan emosional, abilitas, atau ketrampilan khusus, minat, inteligensi dan efikasi diri. Beberapa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa di antaranya lingkungan rumah, lingkungan sekolah, guru, pergaulan, fasilitas belajar dan bahan ajar yang
4
dipelajari. Hasil penelitian eksperimen terhadap 20 siswa dalam 2 kelas menemukan bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, yaitu (a) materi belajar; (b) program pendidikan; (c) kuantitas dan kualitas guru; dan (d)
iklim
sekolah.
Sekolah yang
membangun suasana kesatuan,
menciptakan proses pembelajaran menyenangkan, guru yang memiliki empati serta mempunyai hubungan baik dengan siswa dalam proses belajar, dapat mewujudkan suasana kondusif dalam proses belajar mengajar, dan pada akhirnya memiliki pengaruh terhadap hasil belajar (Retnoningtyas, 2007). Dalam proses pembelajaran matematika, juga akan mengalami hal yang sama, jika guru dapat membangun suasana pembelajaran yang menyenangkan, memiliki empati serta menjalin hubungan baik dengan siswa Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor internal yaitu kepribadian, penyesuaian diri, kematangan emosional inteligensi, minat, sikap, efikasi diri dan motivasi belajar; faktor eksternal yaitu lingkungan rumah, lingkungan sekolah, interaksi dengan teman sebaya, guru, dan orang tua, fasilitas belajar dan bahan ajar yang dipelajari. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, peneliti tertarik untuk mengaitkan prestasi belajar matematika dengan interaksi guru-siswa dan efikasi diri. Lebih lanjut akan dijelaskan secara rinci alasan memilih variabel interaksi guru-siswa dan efikasi diri dalam kaitan dengan prestasi belajar matematika. Bergin & Bergin (2009) mengatakan bahwa hubungan guru-siswa pada tahun pertama sekolah berpengaruh terhadap keterlibatan dan usaha siswa dalam belajar. Pada tahun kedua hubungan guru-siswa juga berpengaruh terhadap capaian nilai siswa. Pendapat yang sama dikemukakan Hughes dan
5
Kwok (2007) bahwa interaksi guru-siswa memberi kontribusi penting bagi prestasi siswa di sekolah. Omrod (2008) berpendapat bahwa kualitas hubungan guru-siswa adalah salah satu faktor terpenting, yang mempengaruhi kesehatan emosi dan pembelajaran siswa selama di sekolah. Ketika siswa memiliki hubungan yang positif dengan guru, mereka memiliki sikap yang positif untuk belajar. Siswa juga terlibat dalam pembelajaran yang lebih self-regulated, cenderung kurang nakal, dan berprestasi di tingkat yang lebih tinggi. Guru sebagai profesional secara permanen terlibat dalam interaksi dengan siswanya ketika bekerja di dalam kelas. Pada satu sisi, interaksi ini dapat terlihat sebagai proses dinamis yang positif, di mana guru mendidik, mengajar, dan menyediakan apa yang dibutuhkan siswa. Pada sisi lain, proses tersebut dapat terlihat sebagai konfrontasi ketika guru bermaksud untuk mendapatkan perhatian siswa pada pelajaran, sementara siswa mencoba memperoleh kebebasan untuk memenuhi keinginan dan kesukaan mereka (Einarsson & Granstroms, 2002). Bandura (dalam Ormrod, 2008) mengatakan bahwa perilaku atau aksi dari seseorang akan mempengaruhi perilaku, dalam hal ini aksi komunikasi guru di dalam kelas akan mempengaruhi perilaku siswa. Dobransky dan Frymier (2004) berpendapat bahwa interaksi guru-siswa merupakan interaksi antar pribadi yang terjadi di lingkungan sekolah dan saling mempengaruhi satu sama lain. Uitto dan Syrjala (2008) mengungkapkan bahwa hubungan guru-siswa merupakan bagian penting dalam dunia pendidikan dan berkaitan dengan perkembangan belajar siswa di sekolah. Sardiman (2011) memaparkan, interaksi antara guru dengan siswa diharapkan merupakan proses motivasi, yaitu bagaimana dalam proses interaksi tersebut guru mampu memberikan motivasi
6
kepada siswa dan mengembangkan motivasi yang ada pada diri siswa, dengan memberikan penguatan (reinforcement) agar siswa dapat melakukan belajar secara optimal. Soekanto (1999) mengatakan bahwa di dalam interaksinya dengan siswa, guru akan mencoba untuk menguasai kelas supaya interaksi berlangsung dengan seimbang. Prestasi selain dipengaruhi oleh interaksi guru-siswa, juga dipengaruhi oleh efikasi diri siswa. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dan dari hasil wawancara peneliti
tanggal 15 Januari 2014, dengan seorang pengajar
matematika di sekolah dasar dapat diketahui bahwa sebagian siswa masih menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit. Selain itu, para siswa juga sering merasa tidak yakin bisa mengerjakan tugas atau soal yang diberikan oleh guru sebelum mereka mengerjakannya. Kurangnya rasa kepercayaan dan kemantapan hati bahwa mereka mampu mengerjakan tugas atau soal matematika tersebut dapat mempengaruhi pemilihan perilaku siswa. Para siswa yang merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan soal-soal matematika akan menghindari tugas-tugas yang diberikan oleh guru khususnya tugas yang menantang dan sulit. Mereka akan menyerah sebelum mencoba dan kurang berusaha agar dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Pemilihan perilaku inilah yang pada akhirnya mempengaruhi prestasi atau performansi individu. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan lebih bersedia mencoba, lebih banyak berusaha, dan lebih lama bertahan dalam kesulitan dibandingkan dengan individu yang efikasi dirinya lebih rendah. Hal-hal inilah yang pada akhirnya memunculkan prestasi atau performansi yang lebih baik pada individu dengan efikasi diri yang tinggi (Suprawati, 2006).
7
Bassi dkk (2007) mengemukakan bahwa siswa yang memiliki efikasi diri akademik yang tinggi memiliki aspirasi akademik yang tinggi pula, jika dibandingkan dengan siswa yang memiliki efikasi diri akademik rendah. Siswa yang memiliki efikasi diri akademik tinggi juga akan lebih banyak menghabiskan waktu lebih banyak untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengikuti kegiatan belajar dengan pengalaman yang optimal. Selain itu berdasarkan penelitian Zajacova, Lynch dan Espenshade (2005) diperoleh hasil bahwa efikasi diri akademik menjadi prediktor yang kuat dan konsisten terhadap kesuksesan akademik. Penelitian yang dilakukan Wahyudin dkk (2006) menyimpulkan bahwa prestasi siswa dalam pelajaran bahasa Inggris akan meningkat saat siswa memiliki efikasi diri yang tinggi pada bahasa Inggris. Penelitian yang lain yang dilakukan oleh Ayotola dan Adedeji (2009) menunjukkan hasil bahwa efikasi diri matematika, gender, dan kecemasan memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi matematika siswa, sama halnya penelitian yang dilakukan Blake dan Lesser (2006) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara efikasi diri siswa dengan prestasi belajar siswa. Salah satu faktor internal yang penting adalah seberapa besar para siswa yakin bahwa dengan kemampuan yang dimiliki, mereka dapat meraih hasil yang maksimal. Keyakinan seperti ini disebut sebagai efikasi diri, khususnya efikasi diri akademik karena keyakinan ini terkait dengan keberhasilan dalam tugas akademik. Kemampuan kognitif memang memiliki pengaruh yang besar dalam keberhasilan pada tugas akademik. Namun dari penelitian yang dilakukan oleh Collins (dalam Bandura, 1997) tentang beberapa siswa yang memiliki kemampuan matematika beragam, didapatkan hasil bahwa efikasi diri lebih tepat
8
untuk
memprediksi
prestasi
dalam
pelajaran
matematika
dibandingkan
kemampuan matematika yang sebenarnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa siswa yang berprestasi kurang bagus kemungkinan disebabkan oleh kurangnya kemampuan yang dimiliki atau karena siswa memiliki kemampuan namun kurang memiliki efikasi diri untuk mengoptimalkan kemampuannya tersebut. Menurut Bandura (1997), terlepas dari kemampuan kognitif yang dimiliki, siswa yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih berusaha keras dalam mencapai prestasi akademik, memiliki fleksibilitas tinggi dalam strategi pencarian solusi serta lebih akurat dalam evaluasi atas kualitas prestasi yang dicapai. Efikasi diri akademik
juga dianggap sebagai prediktor yang lebih kuat dan
konsisten terhadap keberhasilan (Zajacova dkk, 2005). Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberhasilan dalam tugas akademik, khususnya prestasi dalam pelajaran matematika, tidak hanya terkait pada kecerdasan dan kemampuan kognitif siswa saja namun juga sangat berhubungan dengan seberapa besar siswa yakin dengan kemampuan yang dimiliki, ia dapat berhasil dalam tugastugas disekolah, khususnya dalam pelajaran matematika. Psikologi humanis berpandangan bahwa proses belajar dianggap berhasil jika siswa memahami lingkungannya dan dirinya sendiri (Pintrich & Shunk, 1996). Artinya pemahaman terhadap lingkungan yaitu interaksi guru-siswa merupakan faktor eksternal dan pemahaman terhadap diri sendiri yaitu efikasi diri siswa merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar. Rogers (1962) berpendapat bahwa jika siswa berinteraksi dengan guru yang kongruen, memiliki empati dan menerima tanpa syarat maka dapat diprediksi siswa akan memiliki efikasi diri yang kuat yang akan membantunya mengaktualisasikan diri.
9
Dengan demikian, peneliti mengasumsikan bahwa ada hubungan positif antara interaksi guru siswa dan efikasi diri dengan prestasi belajar matematika siswa. B. Rumusan Masalah Kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa hasil dari proses pembelajaran yang telah dilakukan sekolah masih belum optimal, khususnya pada kemampuan matematika yang ditunjukkan melalui prestasi matematika. Hal ini diduga karena kurangnya efikasi diri yang dimiliki oleh siswa sekolah dasar, selain itu interaksi guru siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah turut mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa sekolah dasar. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ Apakah peranan interaksi guru-siswa dan efikasi diri dapat memprediksi prestasi belajar matematika pada siswa sekolah dasar?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik dari interaksi guru-siswa dan efikasi diri terhadap prestasi belajar matematika pada siswa Sekolah Dasar (SD). Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain berupa manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. 1. Manfaat Teoritis Manfaat secara teoritis dalam penelitian ini adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan, yakni dapat memperkaya khasanah kepustakaan yang terkait dengan kajian efikasi diri dan interaksi guru siswa dalam perolehan hasil belajar siswa khususnya pada prestasi belajar matematika.
10
2. Manfaat Praktis Secara praktis manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan pada institusi pendidikan tentang alternatif untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan yang salah satunya dilihat melalui hasil belajar siswa atau prestasi belajar siswa dengan cara meningkatkan kemampuan siswa yakni dengan cara mengoptimalkan interaksi guru dengan siswa sehingga dapat memberikan kenyamanan pada siswa dan lebih terjalin kedekatan antara guru dan siswa. Serta dapat meningkatkan efikasi diri siswa agar dapat memaksimalkan prestasi belajar yang diraih siswa. Bagi para siswa penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi untuk lebih mengenali dan memahami interaksi guru siswa dan efikasi diri yang dapat menunjang tercapainya tujuan proses belajar yang dijalani di sekolah. Selain itu, manfaat secara praktis dalam penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada para guru, betapa pentingnya peran guru dalam berinteraksi dengan para muridnya terkait dengan peningkatan kemampuan yang dimiliki siswa dan peningkatan prestasi belajar siswa.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Telah ada beberapa penelitian yang membahas tentang prestasi belajar matematika, namun penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitianpenelitian sebelumnya, antara lain: Tesis oleh Ani Endriani (2008) yang berjudul “Hubungan Antara Efikasi Diri dan Konsep Diri Akademik dengan Kecemasan Praktik Mahasiswa FKIP Universitas PGRI Yogykarta”. Penelitian yang dilakukan Ani Endriani bertujuan
11
untuk melihat hubungan antara efikasi diri dan konsep diri dengan kecemasan praktik mengajar. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa 1) ada hubungan positif dan signifikan antara efikasi diri, konsep diri akademik kecemasan praktik mengajar 2) ada hubungan positif antara efikasi diri dan kecemasan praktik mengajar. 3) ada hubungan negatif antara konsep diri akademik dengan kecemasan praktik mengajar. Pada penelitian Ani Endriani variabel bebasnya adalah efikasi diri dan konsep diri sedangkan pada penelitian ini variabel bebasnya adalah interaksi guru-siswa dan efikasi diri. Jurnal oleh Jeane L. Edman dan Brad Brazil (2007) yang berjudul “Perception of Campus Climate, Academic Efficacy and Academic Success Among Community College Students: An Ethnic Comparison”. Memaparkan apakah secara etnik ada perbedaan persepsi terhadap iklim kampus, dukungan sosial dan efikasi akademik pada mahasiswa. Subyek penelitian Jeane L. Edman dan Brad Brazil adalah mahasiswa, sedangkan subyek pada penelitian ini adalah siswa kelas 6 SD. Perbedaan lain adalah pada variabelnya yaitu persepsi akademik, dukungan sosial, sedangkan penelitian ini adalah interaksi guru-siswa, efikasi diri dan prestasi belajar matematika. Penelitian Baran, Erdogan dan Cakmak (2011). Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik apakah kreativitas anak dan kemampuan matematika anak bervariasi atas perbedaan jenis kelamin dan apakah terdapat hubungan antara kreativitas dengan kemampuan matematika. Pada penelitian Baran, dkk subjek berusia enam tahun, sementara penelitian ini menggunakan subjek siswa kelas enam SD (10-12 tahun). Perbedaan lain terletak pada variabelnya yaitu berupa kreativitas, sedangkan penelitian ini menggunakan
12
variabel interaksi guru-siswa dan efikasi diri terhadap prestasi belajar matematika. Jurnal oleh Rahil Mahyuddin, Habibah Elias, Loh Sau Cheong, Muhd Fauzi Muhamad, (2006) yang berjudul “The Relationship Between Student’s Self Efficacy and Their English Language Achievement”. melihat hubungan antara efikasi diri yang dimiliki oleh siswa dengan prestasi pelajaran bahasa Inggris. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa prestasi bahas Inggris akan meningkat ketika siswa memiliki efikasi diri yang tinggi dalam berbahasa. Variabel yang digunakan Rahil, dkk yaitu kemampuan bahasa Inggris, sedangkan penelitian ini menggunakan variabel interaksi guru-siswa dan efikasi diri terhadap prestasi belajar matematika. Tesis oleh Nikmah Rahmawati (2007) yang berjudul “Tingkat Prestasi dan Efikasi Diri Siswa Ditinjau dari Penerapan Program Imersi”. Penelitian yang dilakukan Nikmah bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan dalam efikas diri dan prestasi belajar antara siswa imersi dan reguler. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara siswa imersi dan siswa reguler. Tingkat prestasi siswa imersi lebih tinggi daripada siswa reguler. Demikian pula tingkat efikasi diri siswa imersi lebih tinggi daripada efikasi diri siswa reguler. Penelitian yang dilakukan Nikmah menggunakan variabel penerapan program imersi, sedangkan penelitian ini menggunakan variabel interaksi guru-siswa dan efikasi diri terhadap prestasi belajar matematika. Tesis Hazhira Qudsyi (2012) yang berjudul “Keterlibatan Orang Tua dan Efikasi Diri Matematika dan Prediksinya Terhadap Kemampuan Matematika pada Siswa SD”. bertujuan untuk menguji secara empirik dari keterlibatan orang tua dan efikasi diri matematika terhadap kemampuan matematika pada siswa SD.
13
Hasil penelitian yang diperoleh adalah keterlibatan orang tua dan efikasi diri matematika secara bersama-sama dapat memprediksi kemapuan matematika pada siswa SD, kesimpulan lain bahwa efikasi diri matematika memiliki hubungan signifikan dengan kemampuan matematika, sedangkan keterlibatan orang
tua
tidak
memiliki
hubungan
dengan
kemampuan
matematika.
Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada variabel bebasnya Hazhira menggunakan variabel keterlibatan orang tua, sedangkan peneliti menggunakan variabel interaksi guru-siswa dan efikasi diri terhadap prestasi belajar matematika. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan di atas, tidak ada satupun yang mempunyai kesamaan dengan penelitian ini, terutama dalam variabel bebas yang digunakan dan subyek penelitian yang dikenakan penelitian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini dapat dipastikan keasliannya dan memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.