BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, keberadaan tanah tidak terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri, sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.1 Kebutuhan akan tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, jumlah badan usaha, dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah. Tanah tidak saja sebagai tempat bermukim, tempat untuk bertani, tetapi juga dipakai sebagai jaminan mendapatkan pinjaman bank, untuk keperluan jual beli dan sewa menyewa.2 Dalam hukum adat jual beli tanah dikenal dengan istilah dalam bentuk jual lepas yaitu suatu penyerahan tanah kepada pihak lain (pembeli), dengan pembayaran harga tanah secara tunai, dimana hak milik atas tanah itu berpindah ke tangan pembeli untuk seterusnya.3 Lazim terdapat kebiasaan untuk melakukannya secara tertulis, yang ditandatangani sendiri oleh penjual, diketahui oleh kepala persekutuan serta turut ditandatangani oleh saksi-saksi yang diperlukan.4 Sedangkan syarat untuk sahnya jual beli tanah menurut hukum adat adalah terpenuhinya tiga unsur yaitu tunai, riil dan terang.5
1
Adrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 31. 2 Florianus SP Sangsun, 2008, Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah, Visimedia, Jakarta, Halaman 1. 3 Ahmad Fauzie Ridwan, 1982, Hukum Tanah Adat, Dewaruci Press, Jakarta, Halaman 38. 4 Ibid. 5 Maria S. W. Sumarjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Buku Kompas, Jakarta, Halaman 119.
1
2
Maria S.W. Sumardjono mengatakan : Tunai adalah bahwa penyerahan hak oleh penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu juga hak sudah beralih. Sifat Riil berarti bahwa kehendak yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan nyata misalnya telah diterimanya uang oleh penjual dan dibuatnya perjanjian di hadapan Kepala Desa. Perbuatan hukum jual beli tanah disebut Terang berarti dilakukan di hadapan Kepala Desa untuk memastikan bahwa perbuatan itu tidak melaggar ketentuan hukum yang berlaku.6 Dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 27 Mei 1975 Nomor : 952/K/Sip/1974 yang menyatakan : “Jual beli adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dalam KUHPerdata dan Hukum Adat, jual beli menurut hukum adat secara riil, dan tunai serta diketahui Kepala Desa”.7 Selain itu dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 30 Juni 1989 Nomor : 3339/Pdt/Sip/1987, yang menyatakan : “Sahnya jual beli menurut hukum adat haruslah dipenuhi dua syarat yaitu tunai dan terang”.8 Dalam hukum adat Batak Toba, pada saat sekarang istilah jual lepas dikenal dengan istilah manggadis pate yang bermakna melepaskan hak atas tanah dengan mendapat sejumlah uang, tanpa hak untuk menebusnya kembali. Sedangkan mamatehon artinya mengalihkan sebidang tanah kepada orang lain mengacu pada pembalikan suatu hubungan gadai menjadi suatu pengalihan untuk selama-lamanya.9 Ketika pengalihan tanah itu dilangsungkan, peristiwa itu sebenarnya harus dihadiri
6 7
Ibid. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 952/K/Sip/1974 tanggal 27 Mei
1975. 8
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 3339/Pdt/Sip/1987 tanggal 30 Juni
1989. 9
J.C.Vergouwen, 2004, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LKiS, Yogjakarta, Halaman 451.
3
oleh pembeli dan penjual, keduanya harus sama-sama menginjakkan kaki di atas tanah
(mandegehon)
untuk
menunjukkan
batas-batas
tanah
dan
untuk
memperkenalkan pemilik baru kepada pemilik tanah yang berbatasan.10 Berdasarkan hasil pra penelitian pada tanggal 10 Mei 2013 yang dilakukan di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir dengan wawancara kepada bapak Wilmar Sirait Kepala Desa Marom, bapak Laurensius Manurung Kepala Desa Sibuntuon, bapak Binsar Manurung Kepala Desa Dolok Nagodang, bapak Maraden Sitorus Kepala Desa Lumban Holbung, dan bapak Maruli Manurung Kepala Desa Partoruan Janjimatogu, bahwa warga masyarakat melakukan jual beli tanah pertanian masih secara hukum adat yaitu antara penjual dan pembeli melakukan jual beli tanah pertanian yang dibuat dalam surat segel yaitu surat perjanjian jual beli yang ditandatangani penjual dan pembeli dengan disaksikan oleh beberapa orang warga masyarakat yang hadir dan menurut kebiasaan sekarang jual beli ini dilakukan tanpa diketahui oleh Kepala Desa ataupun Camat. Selain itu menurut keterangan mereka bahwa warga masyarakat yang memiliki hak atas tanah pertanian tidak ada yang memiliki sertipikat sebagai bukti kepemilikan tanah tersebut. Namun, semenjak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) pada tanggal 24 September 1960 dimuat dalam Lembaran Negara No. 104, yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dalam hukum tanah telah tercipta kesatuan hukum (unifikasi) dibidang pertanahan yaitu keseragaman hak karena tidak dibedakan lagi tanah dengan hak 10
Ibid.
4
barat atau dengan hak adat. Dengan demikian ketentuan yang diatur dalam seluruh Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disebut KUHPerdata) tentang kebendaan telah dicabut dan tidak berlaku lagi, maka pengertian jual-beli tanah bukan lagi suatu perjanjian sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1457 KUHPerdata jo. Pasal 1458 KUHPerdata, melainkan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya yang bersifat tunai. Adapun Pasal 1457 KUHPerdata berbunyi : “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Demikian Pasal 1458 KUHPerdata berbunyi: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang keadaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Saat ini, untuk memperoleh tanah dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu dengan permohonan hak, pemindahan hak. Selanjutnya John Salindeho mengatakan : Dalam masyarakat kita, perolehan hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan pemindahan hak, yaitu dengan melalui jual beli. Pemindahan hak dan Peralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak, antara lain: jual beli, hibah, tukar menukar, pemisahan dan pembagian harta bersama dan pemasukan dalam perusahaan atau inbreng.11
11
John Salindeho, 1987, Masalah Tanah Dalam Pembanguna,Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 37.
5
Selanjutnya dalam UUPA menentukan bahwa setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan pasal 19 ayat (1) UUPA yang merupakan pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak konsumen dari masyarakat.12 Dalam Pasal 20 ayat (1) menyebutkan : “Hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6”. Demikian Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis mengatakan: Bila ada kehendak yang disengaja dan disepakati atas sebidang tanah milik, maka didalamnya ada pengalihan hak atas tanah tersebut. Bila pengalihan tersebut dipaksakan oleh kewenangan dan kekuasaan negara maka disebut dicabut atau mungkin dinasionalisasikan. Dan ini pun harus dengan menempuh persyaratan, sebab terjadi pemutusan hubungan hukum kepemilikan di dalamnya. 13 Untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh PPAT.14 Untuk dibuat akta peralihan hak tersebut, pihak yang memindahkan hak dan pihak yang menerima hak harus menghadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT). Masing-masing pihak dapat diwakili oleh seorang kuasa berdasarkan Surat Kuasa yang sah untuk melakukan perbuatan hukum
12
Budi Harsono, 1982, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Halaman 117. 13 Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2010, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, Halaman 276. 14 Bactiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, Halaman 23.
6
tersebut.15 Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi: ”Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku”.16 Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.17 Di dalam tata cara jual beli tanah sebagai salah satu bentuk peralihan hak atas tanah, haruslah dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT atau PPAT Sementara, dengan suatu akta otentik berupa akta jual beli tanah, sebagaimana dalam Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan : “Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuatnya”. Untuk mendapatkan bukti yang kuat dan lebih luas daya pembuktiaannya, Akta jual beli yang telah dilakukan dihadapan PPAT dalam proses balik nama haruslah didaftarkan pada kantor 15
Efendi Perangin, 1994, Praktek Jual Beli, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Halaman 12. Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah), Djambatan, Jakarta, Halaman 538-539. 17 Ibid, Halaman 677. 16
7
pertanahan. PPAT Sementara (selanjutnya disebut PPATS) sebagaimana diuraikan di atas apabila dalam suatu daerah tidak terdapat PPAT, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berbunyi : Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPATS”. Dari permasalahan yang ada, maka dilakukan penelitian terhadap legalitas jual beli tanah pertanian pada masyarakat di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir, yang tidak dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, yang dapat menimbulkan perkara atau sengketa pada masyarakat dikemudian hari. B. Perumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
yang
telah
diuraikan
di
atas,
maka
permasalahannya dalam penelitian ini adalah : 1.
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pelaksanaan jual beli tanah pertanian masih dilakukan berdasarkan hukum adat pada masyarakat Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir?
2.
Bagaimana pelaksanaan jual beli tanah pertanian di kalangan masyarakat Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir?
3.
Bagaimana legalitas jual beli tanah pertanian berdasarkan hukum adat pada masyarakat Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir?
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada topik penelitian dan permasalahan yang diajukan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dengan penelitian ini adalah :
8
1.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan jual beli tanah pertanian masih dilakukan berdasarkan hukum adat pada masyarakat Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir.
2.
Untuk mengetahui pelaksanaan jual beli tanah pertanian di kalangan Masyarakat Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir.
3.
Untuk mengetahui legalitas jual beli tanah pertanian berdasarkan hukum adat pada masyarakat Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir.
D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis antara lain : 1.
Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi
perkembangan
ilmu
hukum
dan
memberi
sumbangan
pemikiran
dalam
memperbanyak referensi ilmu hukum, khususnya bidang hukum Agraria yang berkaitan dengan jual beli tanah pertanian berdasarkan hukum adat. 2.
Secara Praktis Dapat memberikan suatu pemahaman yang mendalam serta bahan pegangan
bagi masyarakat khususnya masyarakat di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir tentang pentingnya suatu bukti kepemilikan tanah dalam upaya mendapatkan perlindungan dan jaminan kepastian hukum. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan dari hasil penelusuran kepustakaaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pascasarjana Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul : “Legalitas
9
Jual Beli Tanah Pertanian Berdasarkan Hukum Adat : Studi Pada Masyarakat Di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir”, belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun hasil cek bersih dari Tata Usaha Pascasarjana Kenotariatan Universitas Sumatera Utara penelitian tentang jual beli tanah pernah dilakukan oleh : 1. Nursuhadi, Nim : 002111035 dengan judul : Penyimpangan Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah (Studi Mengenai Penyimpangan Jual Beli Tanah Bersertifikat Hak Milik Di Kecamatan kota Kisaran Barat, Kabupaten Asahan. 2. Wuryandari Dwi Astuti, Nim : 017011066 : Keabsahan Jual Beli Tanah Hak Tanpa melalui PPAT (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan). 3. Febrina Lorence Sitepu, Nim : 097005022 dengan judul : Analisis Mengenai Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Berikut Bagunan Diatasnya. Dengan demikian, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problema) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis bagi peneliti yuridis empiris tentang legalitas jual beli tanah pertanian berdasarkan hukum adat pada masyarakat Kecamatan Uluan
10
Kabupaten Toba Samosir, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.18 Kerangka Teori merupakan susunan dari beberapa anggapan anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,19 sedangkan teori itu sendiri adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan suatu abstraksi intektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.20 Gorys Keraf21 mendefinisikan teori sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Konstinuitas perkembangan ilmu hukum, selain tergantung pada metodelogi aktivitas penelitian dan imajinitas sosial sangat ditentukan oleh teori.22 Kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami legalitas dan akibat hukum jual beli tanah pertanian berdasarkan hukum adat pada masyarakat Kecamatan uluan Kabupaten Toba Samosir sebagai kaidah
18
M.Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Halaman 80. Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Halaman 73. 20 Op. Cit., Halaman 27. 21 Gorys Keraf, 2001, Argumentasi Dan Narasi, Gramedia, Jakarta, Halaman 47. 22 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Halaman 6. 19
11
hukum atau sebagai isi kaidah hukum yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan. Teori kepastian hukum merupakan salah satu penganut aliran positivisme yang lebih melihat hukum itu sebagai sesuatu otonom atau hukum dalam bentuk peraturan tertulis. Artinya karena hukum itu otonom, sehingga semata-mata untuk kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan kewajiban seseorang. Jadi Kerangka Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum yaitu sebagaimana diuraikan oleh H. Affan Mukti, : Keanekaan suku dan adat istiadat yang sejak dulunya sudah ada di Indonesia maka tanpa disadari pelaksanaan kegiatan jual beli mengenai pertanahan yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat tidak akan memberikan adanya kepastian hukum serta akan menimbulkan kesengsaraan bagi pemilik tanah namun dengan UUPA dapat memberikan menjamin akan kepastian hak serta menentukan apa yang menjadi hak dan kewajiban bagi pihak yang melakukan perjanjian tersebut.23 Kepastian hukum merupakan syarat untuk melahirkan ketertiban. Untuk mencapai ketertiban hukum diperlukan adanya keteraturan dalam masyarakat. Hukum diartikan sebagai tata hukum atas hukum positif tertulis.24 Keberlakuan hukum ditengah masyarakat bukan lagi untuk mencapai keadilan semata, tetapi juga harus memberikan kepastian. Kepastian hukum diharapkan dapat menjadi pedoman, baik bagi masyarakat maupun bagi aparatur hukum dalam mengambil keputusan.25
23
H. Affan Mukti, 2010, Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, USU Press, Medan, Halaman 20. 24 Suhaidi, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, Halaman 8. 25 Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.
12
Usaha menuju kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuanketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan, untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat Recht Kadaster artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapt mengetahui status hukum dari tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan bebanbeban apa yang melekat di atas tanah tersebut.26 Menurut Van Kant tujuan hukum adalah menjaga setiap kepentingan manusia agar tidak diganggu dan terjamin kepastiannya.27 Hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat antara lain : a. Sebagai sarana pengendali sosial. b. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial c. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu.28 Kerangka teori bertujuan untuk mencari kepastian hukum dari perbandingan dua sistem hukum yang dilakukan yaitu kepastian hukum jual beli di bidang Hukum Agraria (pertanahan) dalam pemberlakuan jual beli tanah pertanian menurut hukum 26
Adrian Sutedi, Op. Cit., Halaman 132. Jonathan Sarwono, 2006, Metode Penelitian Hukum Kuantitatif Dan Kualitatif,Graha Ilmu, Yogyakarta, Halaman 74. 28 Budiono Kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil (Problematik Filsafat Hukum), Grasindo, Jakarta, Halaman 126. 27
13
adat ke dalam hukum Nasional (UUPA). Kepastian hukum tidak hanya mencakup hukum in concreto (pada saat penegakan dan penerapan). Kepastian Hukum ditemukan juga oleh tatanan hukum in concreto. Begitu pula proses peradilan apalagi proses peradilan bukanlah satu-satunya tempat final menemukan kepastian hukum. Paling kurang, ada lima komponen yang mempengaruhi kepastian hukum yaitu peraturan perundang-undangan, pelayanan birokrasi, proses peradilan, kegaduhan politik dan kegaduhan sosial.29 Dengan demikian dalam kerangka teori ini memakai teori kepastian hukum dan perbandingan hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hall menegaskan : “to be sapiens is to be a comparatist”.
30
Melalui sejarah yang panjang, teknik
perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh diseluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap bidang hukum. Artinya, perbandingan hukum mencoba untuk mempelajari dan meneliti hukum dengan menggunakan perbandingan yang sistematik dari dua atau lebih sistem hukum, bagian hukum, cabang hukum, serta aspek-aspek yang terkait dengan ilmu hukum. Sistem hukum yang dimaksud dalam penelitian ini berangkat dari konsep Lawrence Meir Friedman yaitu : 1. structure (struktur) adalah kerangka atau kerangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan 29
Sulaikin Lubis, Wismar’Ain Marzuki dan Gemala Dewi, 2008, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Halaman 72. 30 Hall, 1963, Comparative Law And Soscial Theory, Baton Rouge, Halaman 9. Sebagaimana dikutip oleh Doddi Panjaitan dalam web sitenya, yaitu http://doddipanjaitan.Blogspot. com/feeds /646335829640532399/comments/default, Friday, January 25, 2008, mengenai Perbandingan Hukum (3).
14
batasan terhadap keseluruhan, 2. substance (substansi) adalah aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mancakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun, dan 3. legal cultur (kultur hukum) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Dengan kata lain kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menetukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.31 Demikian teori kepastian hukum yang digunakan dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan
teori
yang
dikemukakan
oleh
Ter
Haar
yaitu
teori
Beslissingenleer (teori keputusan) bahwa hukum adat adalah seluruh peraturanperaturan yang menjelma pada keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht) serta pengaruh (invloed) dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.32 Para fungsionaris hukum tersebut terdiri dari kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas-petugas di lapangan agama, petugas-petugas desa lainnya.33 Keputusan itu bukan saja hanya mengenai suatu sengketa yang resmi, tetapi juga di luar itu, berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup
31 Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab Dan Solusinya), Ghalia Indonsia Anggota IKAPI, Makassar, Hal. 1-2. 32 Ojak Nainggolan, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Indonesia Media & Law Policy Centre (IMPLC), Medan, Halaman 109. 33 Ibid.
15
kemasyarakatan angota-anggota persekutuan itu.34 Artinya
”Keputusan tersebut
dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat”.35 Untuk mendapatkan kepastian hukum atas sebidang tanah, memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, jelas dan dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal tersebut tercapai melalui pendaftaran tanah.
36
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. 37 Demikian pengertian pendaftaran tanah dalam ketentuan umum Pasal 1 PP No. 24 Tahun 1997. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktiannya yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis, sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, artinya hukum
34
Bushar Muhammad, 1975, Asas-Asas Hukum Adat, Pradnya Pramita, Jakarta, Halaman 9. http://pengertianpendidikan.com/pengertian-hukum-adat, Rabu, tanggal 8 Mei 2013. 36 Florianus SP Sangsun, Loc. Cit. 37 Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesi (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya), Djambatan, Jakarta, Halaman 460. 35
16
hanya memberikan jaminan atas bukti hak kepemilikan tersebut kepada seseorang, dan bukti ini tidak satu-satunya sebagai bukti, hanya alat bukti yang kuat saja.38 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah diperkaya dengan ketentuan Pasal 19 UUPA yaitu:39 a. Bahwa diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. b. Di zaman informasi ini maka Kantor Pertanahan sebagai Kantor di garis depan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah, baik untuk pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan Negara dan juga bagi masyarakat sendiri informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan terkait tanah. Informasi tersebut terbuka untuk umum, artinya dapat diberikan informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah/bangunan yang ada. c. Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal yang wajar.40 Demikian juga pendapat Maria Sumarjono : Bahwa UUPA menganut sistem registration of title (pendaftaran hak). Dalam hal jual beli hak milik atas tanah didasarkan pada hukum adat, dimana jual beli bersifat tunai, maka saat beralihnya hak kepada sipembeli adalah saat jual beli dilakukan dihadapan PPAT. Namun demikian untuk mengikat pihak ketiga termasuk pemerintah, setelah dilakukan jual beli dihadapan PPAT, harus dilakukan pendaftaran terlebih dahulu.41 Pasal 5 UUPA yang berbunnyi sebagai berikut : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan 38
Mhd. Yamin Lubis Dan Abd. Rahim Lubis, Op. Cit., Halaman 112. Adrian Sutedi, Op. Cit., Halaman 116. 40 A.P. Parlidungan, 1999, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, (Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997), Mandar Maju, Bandung, Halaman 2. 41 Maria S.W. Sumardjono sebagaimana dikutip oleh Adrian Sutedi, Op.Cit., Halaman 85. 39
17
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatunya dengan mengindahkan unsurunsur yang bersandar kepada hukum agama. Dari ketentuan Pasal 5 dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang merupakan dasar hukum agraria itu haruslah hukum adat yang : 1.
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa;
2.
tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia;
3.
tidak bertentangan dengan UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian akibatnya dalam peralihan hak atas tanah khususnya jual
beli tanah, sebelum berlakunya UUPA juga dikenal dua lembaga hukum jual beli tanah, yaitu yang diatur oleh KUHPerdata dan yang diatur oleh hukum adat. Dalam hukum adat, pada dasarnya setiap perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan suatu hak atas tanah seperti jual beli tanah akan mendapat perlindungan hukum jika perbuatan hukum itu dilakukan secara sah. Untuk menjamin bahwa suatu jual beli itu sah, maka harus dilakukan secara terang, suatu perbuatan hukum jual beli dilakukan secara terang, jika dilaksanakan dengan sepengetahuan pimpinan persekutuan atau kepala desa yang sekaligus bertindak sebagai saksi dan menjamin sahnya perbuatan hukum jual beli tersebut. Menurut Hilman Hadikusuma : Bagi masyarakat adat dalam tata cara jual beli tanah, bukan unsur subjektif atau objektif tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan (bulat mufakat) tunai dan tidak tercela, yang dimaksud tidak tercela yaitu masyarakat lingkungannnya tidak ada yang mempersoalkan, tidak ada yang merasakan terjadinya perjanjian itu tidak baik. Sebaliknya walaupun perjanjian
18
itu dibuat dihadapan Kepala Kampung jika masyarakat mempersoalkan, menganggap hal itu tidak baik, maka perjanjian itu sebenarnya tidak sah.42 2.
Konsepsi Konsepsi berasal dari bahasa latin conceptus yang memiliki arti sebagai
kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan. Konsepsi adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usah membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operation definition.43 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai.44 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahaan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu : a.
Legalitas adalah sah sesuai dengan aturan atau perundang-undangan.
b.
Jual beli adalah peralihan hak atas tanah yang dilakukan di bawah tangan antara penjual dan pembeli. Di bawah tangan maksudnya perbuatan hukum mengenai peralihan sebidang tanah atas kesepakatan para pihak yang tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang.
c.
Tanah pertanian adalah meliputi tanah darat maupun tanah sawah. 42
Hilman Hadikusumah, 1982, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung, Halaman 129. Sutan Remi Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut banker Indonesia, Bandung, Halaman 10. 44 Tan Kamelo, 2002, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan Dan Perjanjian Di Sumetera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, Halaman 35. 43
19
d.
Hukum adat adalah hukum adat Batak Toba.
e.
Masyarakat adalah masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir.
f.
Jual lepas adalah peralihan tanah kepada orang lain untuk selama-lamanya dengan menerima harga pembayaran secara tunai.
g.
Kertas Segel : adalah Kertas resmi dari negara untuk menuangkan tulisan perjanjian dua orang atau lebih dan tidak perlu lagi menggunakan benda meterai.
G. Metode Penelitian Soerjono Soekanto mengatakan : Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahanpermasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.45 1.
Sifat Penelitian Sesuai dengan karekteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk
menganalisis bagaimana legalitas jual beli tanah pertanian berdasarkan hukum adat pada masyarakat di Kecamatan Uluan, maka penelitian ini bersifat deskriptif Analitis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis,
45
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, Halaman 43.
20
faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik, atau faktor-faktor tertentu.46 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yaitu penelitian dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan47 yaitu penelitian terhadap efektivitas hukum dengan mempelajari peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Data atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh langsung dari para responden melalui penelitian lapangan (field research) yaitu masyarakat di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir yang melakukan jual beli tanah pertanian. 3.
Lokasi Penelitian Dalam rangka mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat terhadap
jawaban permasalahan dalam penelitian tesis ini, maka penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara. Namun mengingat luasnya wilayah Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir yang terdiri dari 17 Desa, maka diambil 5 Desa sebagai sampel yaitu : a.
Desa Marom;
b.
Desa Sibuntuon;
c.
Desa Partoruan Janjimatogu. 46
Ibid. Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman 41. 47
21
d. Desa Dolok Nagodang; e. Desa Lumban Holbung; Dipilih karena luas tanah pertanian (persawahan) yang lebih tinggi dan banyaknya dilakukan jual beli tanah pertanian. 4.
Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi dalam melakukan penelitian ini adalah seluruh warga masyarakat Batak Toba yang pernah melakukan jual beli tanah pertanian berdasarkan hukum adat dilokasi penelitian. Jual beli tersebut terhitung sejak tahun keluarnya UUPA atau lahirnya peraturan pelaksananya yaitu tahun 1961 hingga sekarang tahun 2013 dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah. b. Sampel Penelitian adalah diambil 20 orang warga masyarakat, masing-masing 4 orang dari setiap desa yaitu Desa Marom, Desa Lumban Holbung, Desa Sibuntuon, Desa Dolok Nagodang dan Desa Partoruan Janjimatogu Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir. Dengan syarat warga masyarakat yang dipilih sebagai sampel penelitian adalah warga masyarakat yang pernah melakukan jual beli tanah pertanian berdasarkan hukum adat setempat. Untuk melengkapi data dalam penelitian ini, maka dilakukan juga wawancara
dengan nara sumber/informan lainnya sebagai tambahan data yaitu : a. Kepala Desa yang terdiri dari : Kepala Desa Marom, Kepala Desa Lumban Holbung, Kepala Desa Sibuntuon, Kepala Desa Dolok Nagodang dan Kepala Desa Partoruan Janjimatogu;
22
b.
Pengetua Adat;
c.
Camat Kecamatan Uluan;
d.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Toba Samosir.
5.
Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
2 cara yaitu : a.
Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dilakukan untuk menghimpun data sekunder yang terdiri dari : 1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, yaitu : a) Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria; b) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah; c) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; d) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah; e) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
23
f)
Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait.
2) Bahan Hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu : a) Kepustakaan yang berkaitan dengan Hukum Agraria; b) Kepustakaan yang berkaitan dengan PPAT. c) Bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan perjanjian jual-beli tanah. 3) Bahan hukum tersier adalah bahan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. b.
Penelitian lapangan (field research) yaitu dilakukan untuk menghimpun data primer dengan wawancara dilakukan secara langsung kepada warga masyarakat, Kepala Desa, Pengetua Adat, Camat dan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang ada di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara.
6.
Alat Pengumpulan Data Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka
dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran akan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpulan data, yaitu : a.
Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan
24
membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasikan dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu jual beli tanah pertanian. b.
Wawancara, dilakukan baik terhadap responden maupun informan yang telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung, yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lengkap serta mempunyai kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan.
7. Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.48 Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yaitu “upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”.49 Data yang diperoleh disusun secara sistematis, kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis
48
Lexy, J. Moleong, 1994, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, Halaman 280. 49 Ibid., Halaman 248.
25
yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari secara utuh. Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berpikir induktif-deduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah dianalisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.50 Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara berfikir yang bersifat induktif yaitu data hasil penelitian dari hal yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Dengan metode induktif diharapkan akan diperoleh jawaban permasalahan.
50
H.B Sutopo, 1998, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif, UNS Press, Surakarta, Halaman 37.