BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Matematika merupakan ilmu mengenai bilangan, hubungan antar bilangan, dan prosedur operasional dalam penyelesaian masalah tentang bilangan. Matematika dipandang sebagai suatu ilmu pengetahuan dengan pola berfikir yang sistematis, kritis, logis, cermat, dan konsisten, serta membutuhkan daya kreativitas dan inovasi (Martono, Eryanto, & Noor, 2007). Ilmu tentang bilangan ini merupakan salah satu mata pelajaran penting yang diajarkan dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas, bahkan sampai tingkat Perguruan Tinggi. Matematika dikatakan penting karena merupakan salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh siswa, selain kemampuan membaca dan menulis, ketiga kemampuan ini menjadi dasar mempelajari ilmu lainnya (Woolfolk, 2007). Pranoto (2013) memaparkan matematika sebagai keahlian hidup merupakan sebuah keahlian yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu. Matematika merupakan sebuah model keahlian bernalar yang membantu individu dalam melatih logika dan sistematika berpikir (Pranoto, 2013; Sembiring, Hadi, & Dolk, 2008). National Council of Teacher of Mathematics (dalam Varol & Farran, 2006) memaparkan bahwa mereka yang memahami dan bisa mengerjakan masalah matematika akan memiliki peluang yang lebih besar untuk membangun masa depannya. Keahlian matematika ini bahkan menjadi dasar dan sangat berkaitan erat dengan berbagai bidang yang dibutuhkan di era kemajuan teknologi seperti teknik, teknologi dan sains (Das & Das, 2013; Keshavarzi & Ahmadi, 2013).
1
2
Matematika
menyediakan
cara
yang
efisien
dalam
memahami,
menjelaskan, dan mewakili pola dan hubungan dalam dunia dalam bentuk umum yang mudah dimengerti (Emerson & Babtie, 2010). Matematika juga memiliki fungsi prediktif, kemampuan matematika dianggap mampu mencerminkan keahlian umum individu. Hal ini membuat matematika kerap kali menjadi salah satu elemen dasar yang digunakan dalam pengukuran pendidikan. Ujian saringan untuk perguruan tinggi, ujian nasional, tes potensi akademik, dan berbagai macam tes lainnya selalu menggunakan nuansa numerik untuk mengukur kemampuan matematika dasar dari peserta didik. Mengingat pentingnya matematika dalam berbagai bidang kehidupan, maka matematika memiliki porsi yang tidak sedikit dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Pada jenjang pendidikan menengah, alokasi waktu untuk mata pelajaran matematika sekitar empat sampai delapan jam pelajaran dalam seminggu. Meskipun alokasi waktu untuk mata pelajaran ini bisa dikatakan banyak, namun hal ini tidak membuat siswa-siswi memiliki kemampuan matematika yang baik. Hal ini terlihat dari berbagai fenomena permasalahan kemampuan matematika yang kurang memuaskan dan permasalahan matematika lainnya. Pranoto (dalam Latief, 2011), seorang pakar matematika dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan sekitar 76,6% siswa setingkat SMP dinilai buta matematika. Dihitung dari skala enam, kemampuan matematika siswa Indonesia hanya berada pada level kedua dengan profisiensi dibawahnya mencapai 76,6% dari populasi. Ironisnya, secara statistik tidak ada persentase siswa Indonesia yang berada pada level lima dan enam. Menurut definisi level profisiensi dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), siswa
3
dibawah level dua dianggap tidak mampu berfungsi efektif pada kehidupan abad ke-21. Hal ini dikemukakan Pranoto dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Indonesia pada tahun 2011. Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan dua macam survei internasional yang mengukur kemampuan matematika siswa di negaranegara peserta, salah satunya adalah Indonesia. Berdasarkan data dari TIMSS tahun 2011, Indonesia memperoleh rata-rata skor sebesar 386 sedangkan ratarata skor internasional sebesar 500 (Mullis, Martin, Foy, & Arora, 2012). Data dari PISA tahun 2012, Indonesia memperoleh rata-rata skor sebesar 375 dimana ratarata skor internasional sebesar 494 (Organisation for Economic Co-operation and Development [OECD], 2014). Kedua hasil penilaian ini menunjukkan bahwa siswasiswi di Indonesia memiliki kemampuan penguasaan matematika dibawah ratarata skor internasional. Salah satu penyebab rendahnya kemampuan matematika siswa-siswi Indonesia
dikarenakan
adanya
stereotip
negatif
mengenai
matematika.
Matematika seringkali dipersepsikan sebagai mata pelajaran yang sulit dan cenderung dihindari (Ashcraft, 2002). Wimbarti (dalam “Mutu Pendidikan Matematika di Indonesia Rendah,” 2012) pada seminar “Memahami Potensi Anak Berkesukaran Belajar dalam Tinjauan Neurologis dan Psikologis”, menuturkan bahwa matematika adalah salah satu pelajaran di tingkat sekolah dasar yang paling ditakuti oleh siswa. Pendapat yang hampir senada dikemukan oleh Suminta (dalam Humas UGM, 2014) yang mengatakan matematika masih dipandang sebagai salah satu mata pelajaran yang menjadi stresor utama dalam proses belajar di sekolah.
4
Stresor adalah hal-hal yang dapat menimbulkan stres pada diri seseorang. Stres negatif (distres) dapat mengakibatkan kemampuan kognitif yang direduksi sehingga menghambat kinerja matematika yang maksimal. Siswa yang mengalami distres kehilangan kemampuan interpretasi yang benar dari stimulus-stimulus yang diperoleh (Jensen, 2008). Untuk memahami permasalahan di lapangan, peneliti melakukan survei awal dalam studi pendahuluan pada siswa-siswi tingkat sekolah menengah mengenai mata pelajaran yang tidak mereka sukai. Subjek diambil dari empat sekolah negeri dengan perincian dua sekolah menengah pertama (SMP) dan dua sekolah menengah atas (SMA) yang berada di Kota Salatiga. Survei yang dilakukan pada minggu terakhir Oktober 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 190 (51%) dari total 371 siswa memilih mata pelajaran matematika sebagai mata pelajaran yang tidak disukai. Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan oleh siswa sebagai faktor penyebab, yaitu matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dipahami, banyaknya tanggungan rumus dan cara mengajar guru yang tidak menarik minat siswa. Perasaan ketakutan dan ketidaksukaan siswa akan menimbulkan afek negatif dan tentunya mempengaruhi proses pembelajaran. Afek yang berupa perasaan ketidaknyamanan dan ketakutan akan suatu hal yang tidak pasti dalam istilah psikologi dinamakan kecemasan (Ormrod, 2008). Lebih lanjut Ormrod mengatakan bahwa kecemasan akan sangat mengganggu performa siswa jika berada pada tingkat tinggi, hal ini dinamakan debilitating anxiety. Ashcraft (2002) dengan lebih spesifik berpendapat bahwa perasaan ketegangan dan ketakutan siswa sehingga menghambat kinerja pelajaran matematika merupakan bentuk dari kecemasan matematika (math anxiety).
5
Kecemasan matematika ini merupakan salah satu alasan yang paling signifikan dalam mempengaruhi hasil belajar matematika (Erdoğan, Kesici, & Şahin, 2011; Legg & Locker Jr, 2009). Dampak dari kecemasan matematika ini membuat individu cenderung menghindari matematika dalam berbagai bidang kehidupan (Hembree, 1990). Pada konteks belajar, individu dengan kecemasan matematika memiliki motivasi belajar yang rendah, khususnya pada mata pelajaran yang mengandung kemampuan matematika sebagai dasar keilmuan seperti bidang studi fisika, kimia dan sejenisnya (McDonald, 2001). Pada konteks perkuliahan, individu akan cenderung
menunjukkan
preferensi
dalam
memilih fakultas
yang
tidak
bersinggungan dengan matematika (LeFevre, Kulak, & Heymans, 1992). Demikian juga dalam konteks pekerjaan, individu akan cenderung bekerja pada bidang yang tidak memerlukan keahlian matematika dalam deskripsi kerjanya (Ashcraft, 2002). Arem (2010) menyebutkan salah satu penyebab kecemasan matematika dikarenakan adanya stereotip jender. Anggapan bahwa perempuan tidak mampu mengungguli laki-laki dalam hal matematika masih melekat pada budaya tertentu. Hal ini didukung dari penelitian yang dipublikasikan oleh Maccoby dan Jacklin, dengan hasil yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih unggul dalam keterampilan matematika dan visual-spasial, sedangkan perempuan lebih unggul dalam kemampuan verbal (Elliott, Kratochwill, Cook, & Travers, 2000). Namun hasil dari PISA menunjukkan perbedaan kinerja matematika perempuan yang lebih baik dibandingkan laki-laki pada beberapa negara seperti Yordania, Qatar, Thailand dan Malaysia (OECD, 2014). Kontradiktif perbedaan perempuan dan laki-laki dalam bidang matematika, tidak hanya terkait dengan kemampuan matematika tetapi juga kecemasan
6
matematika. Hal ini menyebabkan kajian mengenai perbedaan kecemasan matematika berdasarkan jenis kelamin menjadi topik yang menarik bagi banyak peneliti terdahulu. Sebagian penelitian menunjukkan hasil bahwa tidak ada kaitan antara jenis kelamin dan kecemasan matematika (Birgin, Baloğlu, Çatlıoğlu, & Gürbüz, 2010; Franz, 2005; Keshavarzi & Ahmadi, 2013). Namun dalam penelitian lain yang membahas kecemasan matematika, menemukan perbedaan hasil pada subjek laki-laki dan perempuan, subjek perempuan memiliki kecemasan matematika yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Rubinsten, Bialik, & Solar, 2012; Yüksel-Şahin, 2008). Adanya inkonsistensi hasil dari penelitian sebelumnya membuat peneliti ingin mengkaji kaitan kecemasan matematika dengan jenis kelamin. Temuan menarik lain yang ditemukan peneliti dari studi pendahuluan di SMAN 2 dan SMAN 3 Salatiga adalah banyaknya siswa SMA jurusan peminatan Matematika dan Ilmu Alam (MIA) yang tidak menyukai pelajaran matematika. Sebanyak 29 orang (32%) dari keseluruhan siswa jurusan MIA yang berjumlah 88 orang memilih pelajaran matematika sebagai pelajaran yang tidak mereka sukai. Beberapa siswa menyebutkan bahwa selama mengikuti pelajaran matematika mereka merasakan gejala-gejala kecemasan matematika, seperti keterhambatan kognitif (pusing), tidak nyaman (ingin cepat pulang), dan tertekan (takut tidak bisa). Hal ini sangat disayangkan mengingat matematika merupakan mata pelajaran utama yang harus mereka kuasai sebagai siswa kelas MIA. Kecemasan matematika ternyata juga ditemukan pada siswa yang berasal dari jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Berdasarkan temuan (Rifai, 2014) pada studi pendahuluan di SMA XX Sukoharjo, sebanyak 34% siswa IPS menganggap matematika sebagai pelajaran yang paling sulit jika dibandingkan
7
dengan mata pelajaran lainnya. Selain itu Rifai juga menambahkan data bahwa sebanyak 88% siswa IPS mengalami kecemasan ketika menghadapi pelajaran matematika. Anggreini (2012) dalam penelitiannya yang dilakukan di SMAN 1 Babelan Bekasi menemukan perbedaan kecemasan matematika antara siswa jurusan IPA dan IPS. Berdasarkan hasil temuannya, siswa yang berasal dari jurusan IPA memiliki tingkat kecemasan matematika yang lebih rendah dibandingkan siswa jurusan IPS. Ditemukannya fenomena kecemasan matematika pada siswa yang berasal dari jurusan Sains dan Sosial sangat disayangkan mengingat matematika merupakan mata pelajaran wajib yang diajarkan di jurusan peminatan Matematika dan Ilmu (MIA), Ilmu-ilmu Sosial (IIS) dan juga Ilmu Bahasa Budaya (IBB). Matematika juga berperan pada tingkat pendidikan tinggi, pada beberapa program studi atau jurusan membutuhkan kemampuan matematika sekalipun bukan di bidang sains. Núñez-Peña, Suárez-Pellicioni, dan Bono (2013) menunjukkan bahwa mahasiswa yang berasal dari jurusan ilmu alam ketika SMA memiliki kecemasan matematika yang lebih rendah dibandingkan mereka yang berasal dari jurusan sosial. Perbedaan hasil temuan di lapangan dalam studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rifai dan Anggreini, membuat peneliti tertarik untuk mengkaji kecemasan matematika berdasarkan jurusan peminatan. Oleh karena jurusan peminatan ini hanya ditemukan pada jenjang Sekolah Menengah Atas, maka peneliti mengkerucutkan pemilihan subjek penelitian hanya sebatas tingkat SMA. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, peneliti mencoba meneliti perbedaan kecemasan matematika berdasarkan jenis kelamin dan jurusan peminatan.
8
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Seberapa tinggi tingkat kecemasan matematika pada siswa Sekolah Menengah Atas? 2. Benarkah terdapat perbedaan tingkat kecemasan matematika antara siswa laki-laki dan perempuan? 3. Benarkah terdapat perbedaan tingkat kecemasan matematika antara siswa jurusan peminatan MIA, IIS dan IBB?
C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat kecemasan matematika siswa Sekolah Menengah Atas serta mengetahui perbedaan kecemasan matematika siswa berdasarkan jenis kelamin dan jurusan peminatan. 2. Manfaat Penelitian Dalam bidang teoritis, peneliti mengharapkan penelitian ini memberikan manfaat berupa wawasan teoritik dalam bidang psikologi pendidikan mengenai kecemasan matematika ditinjau dari jenis kelamin dan jurusan peminatan. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat berperan sebagai informasi awal dalam pembuatan rancangan intervensi untuk mengurangi kecemasan matematika pada siswa SMA.
9
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai kecemasan matematika telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya adalah: 1. Suminta (2014) yang melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Matematika pada Siswa SMA”. Hasil penelitian menunjukkan: (1) dukungan akademik orangtua tidak berpengaruh langsung terhadap kecemasan matematika, sementara dukungan akademik teman sebaya berpengaruh positif terhadap kecemasan matematika serta iklim kelas memberikan pengaruh langsung terhadap kecemasan matematika, dan (2) efikasi diri matematika dan flow dapat menjadi mediator pengaruh dukungan akademik orangtua, dukungan akademik teman sebaya, dan iklim kelas terhadap kecemasan matematika siswa SMA. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Saptarina (2014) dengan judul “Pengaruh metode pembelajaran jigsaw dalam mengurangi kecemasan mengikuti pelajaran matematika siswa kelas VIII SMPN 3 Pleret Kabupaten Bantul”. Tujuan dari penelitian iniadalah menguji pengaruh metode pembelajaran jigsaw dalam mengurangi kecemasan mengikuti pelajaran matematika. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan desain penelitian untreated control group design with pretest-posttest. Hasil penelitian menunjukkan metode pembelajaran jigsaw berpengaruh dalam penurunan kecemasan mengikuti pelajaran matematika yang dialami siswa. 3. Keshavarzi dan Ahmadi (2013) dengan judul “A Comparison of Mathematics Anxiety among Students by Gender”. Penelitian ini bertujuan melihat perbedaan kecemasan matematika pada siswa sekolah menengah atas dilihat dari jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kecemasan
10
matematika yang signifikan secara statistik antara laki-laki dan perempuan. Namun dalam aspek pemecahan masalah matematika dan evaluasi, siswa perempuan memperoleh skor yang lebih tinggi. Untuk aspek kecemasan siswa yang terkait dengan guru, siswa laki-laki memiliki skor yang lebih tinggi. 4. Penelitian yang dilakukan Yüksel-Şahin (2008) dengan judul “Mathematics Anxiety among 4th and 5th Grade Turkish Elementary School Students”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah apakah kecemasan matematika siswa secara signifikan bergantung pada kelompok variabel. Berdasarkan kelompok variabel jenis kelamin, hasilnya menunjukkan bahwa siswa perempuan secara signifikan memiliki kecemasan matematika yang lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki. 5. Penelitian berjudul “Effects of Math Anxiety on Student in Higher Education” yang dilakukan oleh Núñez-Peña et. at (2013). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang pernah gagal dalam ujian akhir kursus metodologi penelitian memiliki kecemasan matematika yang lebih tinggi dibanding mereka yang lulus dalam ujian tersebut. Selain itu penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang berasal dari jurusan sains memiliki kecemasan matematika yang lebih rendah. Penelitian yang mengkaji kecemasan matematika memang telah banyak dilakukan, namun penelitian yang mengkaji jenis kelamin dan jurusan peminatan terkait dengan kecemasan matematika belum pernah dilakukan sebelumnya. Selain itu, perbedaan lokasi dan subjek penelitian menjadi faktor pembeda lainnya dari keaslian penelitian.