BAB I PENGANTAR
1.1 Pendahuluan Kawasan Pecinan Semarang, merupakan salah satu kawasan permukiman tradisional yang unik dan kondisinya masih baik. Permukiman unik tersebut, kemudian menjadi daya tarik banyak orang untuk datang dengan berbagai alasan seperti
melihat/ jalan-jalan, berbelanja barang bagus tapi murah, mencari
makanan enak atau pun sembahyan. Keunikan ini juga menarik banyak peneliti untuk melakukan kajian di Kawasan tersebut. Widodo (1988) meneliti tentang sejarah perkembangan kawasan dalam kontek kota Semarang, morfologi dan tipologi kawasan dan ruko, serta rasionalistas dan dilanjutkan oleh Prawito (2010) dengan menambahan kajian perbandingan antara
Pecinan Semarang dengan
Pecinan Lasem, perbandingan tipologi ruko dengan ruko di Tiongkok Selatan dan dengan bangunan rumah Jawa. Penelitian arsitektur dan ragam hias bangunan klenteng dilakukan oleh Widiani, dkk. Penelitian rumah tinggal masyarakat Cina diteliti oleh
Sudarwami (2004).
Penelitian elemen arsitektur kota sebagai
pertimbangan untuk menyusun panduan rancang bangun untuk pengembangan kawasan diteliti oleh Kurniawati (2004). Karakter visual area klenteng diteliti oleh Sudarmi (2004). Potensi lasekap kawasan serta ruang terbuka diteliti oleh penelititi dari tahun 2000 sampai tahun 2002. Selain penelitian (research), penelitian preskiptif juga sudah dilakukan diantaranya tahun 2004 Riyanto meneliti pengembangan
kawasan Pecinan sebagai kawasan wisata warisan
budaya berdasarkan persepsi masyarakat, Widjanarko (1996) yang menata koridor Pasar Gang Baru dan Sanjaya (2004) yang menata koridor Jalan Gang Pinggir sebagai Pedestrian Mall Pecinan Semarang. Keunikan yang ada di kawasan Pecinan tersebut, bukan terjadi secara tidak sengaja, tentu ada alasan atau pun konsep yang mendasari. Penelitian terkait dengan upaya ekplorasi konsep dan teori ruang di Pecinan dari hasil penelusuran peneliti belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang berangkat dari
1
keunikan. Dari uraian di paragraf pertama terlihat bahwa penelitian yang dilakukan di kawasan Pecinan Semarang, banyak mengarah pada penelitian sejarah, morfologi, tipologi, arsitektur bangunan serta penelitian yang terkait dengan upaya penataan dan pengembangan kawasan. Penelitian ini akan mencoba mengeksplorasi konsep dan teori ruang kawasan dari dari sisi keunikan fisik dan ruang lainnya di Pecinan Pada penelitian ini, peneliti melihat keunikan fisik dan visual kawasan Pecinan terbentuk dari sejarah panjang Etnis Tionghoa di Semarang. Etnis Tionghoa diperkirakan mendarat pertama kali di Semarang sejak tahun 1416. Orang Tionghoa yang datang ke Semarang ini tinggal di sekitar Sam Poo Tong (Klenteng Gedong Batu). Mereka menetap di sekitar Sam Poo Tong, dengan alasan untuk mencari berkah atau “sawab” dari Sam Poo Kong. Lokasi Gedung Batu ini berada di tepi Sungai Semarang. Lokasi tersebut dianggap strategis karena berada di teluk yang menjadi bandar besar dengan nama Bergota. Pada saat itu, Semarang masih berupa “tegalan” dengan beberapa rumah penduduk pribumi. Lokasi Semarang menurut orang Tionghoa pada waktu itu tidak begitu sehat. Hal ini karena lokasi Semarang berdampingan dengan comberan/ rawa-rawa. Gedung Batu kemudian yang kondisinya lebih nyaman dan memiliki hongsui yang baik kemudian menjadi pilihan bagi kaum Tionghoa (Liem, TJ, 1931:2-3). Tahun 1940 pemukim Tionghoa ini di sekitar Gedung Batu Simongan di pindahkan oleh Belanda di sebelah selatannya Pemukim Bangsa Eropa. Hal ini dilakukan karena adanya kekhawatiran Bangsa Belanda akan terjadinya kerusuhan Tionghoa di Batavia dan
Surakarta. Pada waktu itu pemukim Tionghoa
ditempatkan di sebelah Timur Sungai Kali Semarang, yang pada saat itu sudah ada beberapa Tionghoa yang bermukim di sana. Tahun 1741 karena alasan perluasan permukiman Belanda ke Selatan, Belanda memindahkan permukiman etnis Tionghoa dari sebelah Timur ke sebelah Barat Kali Semarang, tepatnya di selatan Permukiman Belanda (Liem T J, 1931: 4). Struktur jaringan jalan di kawasan mendekati pola grid. Alasan pemilihan aturan pola grid ini belum begitu jelas, tapi telah menunjukkan bahwa sistem grid ortogonal karena pola ini dapat mengakomodasi perbedaan. Pada umumnya
2
sistem grid ortogonal membujur ke arah Utara-Selatan dan Timur-Barat ini dapat ditemukan perbedaan dalam nilai, makna dan berfungsi, sehingga sistem grid dapat dianggap sebagai kerangka dimana kolase elemen fisik dan sosial yang berbeda dapat disatukan. Perbedaan yang bisa dilihat di antaranya adalah perbedaan harga lahan dan perbedaan status sosial (Widodo, 1988: 32-33). Kawasan Pecinan sebagai kawasan perdagangan yang tumbuh mengiringi perkembangan Kota Semarang, juga memiliki keunikan khusus. Kawasan ini tumbuh menjadi pusat perdagangan yang mengelompok sesuai dengan jenis barang dagangannya mau pun kegiatan, seperti pedagang emas di Gang Warung, pedagang kain di Gang Warung, pedagang sayuran dan kelontong di Gang Baru dan pedagang makanan (rumah makan) ada di Wotgandul Timur, serta perbankan di Gang Tengah (Kautsary, 2001:36). Tipologi bangunan di kawasan ini, terutama berada di jalan utama (gang Warung, gang Pinggir, dan Wot Gandul Timur), didominasi oleh Ruko (rumah toko). Sementara yang lainnya berfungsi sebagai hunian dan sebagian sudah berubah menjadi perkantoran modern. Pola-pola bangunan ini mengikuti bentuk tapak dengan ukuran panjang antara 14-40 m dan lebar antara 3-5 m. Ukuran tapak tersebut digolongkan menjadi lima (5) bagian yaitu tipe kecil, menengah, lebar, panjang dan tidak beraturan (Widodo, 1988: 34). Kawasan Pecinan Semarang merupakan kawasan yang didisain berdasarkan tradisi populer masyarakat etnis Tionghoa meskipun lokasinya ditetapkan oleh Belanda. Kawasan ini memiliki karakteristik yang dikatakan cukup unik, yaitu masih berada di lokasi lekuk sungai yang dianggap sebagai sumber dari Chi/Qi. Kawasan ini juga memiliki sistem peruangan yang cukup unik dengan adanya Sembilan klenteng yang dibangun sebagai ucapan syukur masyarakat Pecinan pada masa itu dan sebagai salah satu sarana penolak bala (Liem T J, 1931: 4). Lima bangunan klenteng berada di ujung gang dan sisanya menghadap ke sungai, yang waktu itu merupakan jalur utama transportasi. Kelenteng ini menurut Widodo (1988:30), didirikan oleh masyarakat atau marga tertentu yang cukup kaya dan terpandang antara tahun 1746-1905. Kelenteng tersebut digolongkan
3
menjadi kelenteng masyarakat, kelenteng pencapaian lokal dan kelenteng lingkungan. Masyarakat kawasan Pecinan, walau pun sebagai sudah banyak yang berpindah agama tetapi mereka masih kuat menjalankan tradisi leluhur. Tradisi yang masih diikuti diantaranya berupa ritual upacara sembahyangan. Tradisi yang paling banyak dikenal dan dirayakan warga diantaranya adalah perayaan Imlek yang didalamnya terdapat serangkaian urutan sembahyangan mulai dari malam Sin Cia sampai Cap Go Meh, sembahyangan besar untuk peringatan kedatangan Cheng Hoo (Perayaan Sampo Besar/ Sam Po Tay Djin), perayaan Dewa Obat (Sam Po Kecil/Po Sheng Tay Te), Perayaan Dewi Laut (Thian Sian Seng Bo), sembahyangan arwah gentayangan/ sembahyangan rebutan (King How Ping) dan sembahyangan ulang tahun Dewa Bumi yang disertai dengan kegiatan Jut Bio. Tradisi di atas sangat mempengaruhi fungsi, makna dan preferensi masyarakat terhadap ruang-ruang di Pecinan. Ruang-ruang di kawasan Pecinan sering berganti fungsi terutama ruang jalan dan ruang klenteng. Pada hari-hari biasa, kelenteng merupakan tempat untuk ibadah, tempat bersosialisasi dan mencari rejeki, tetapi pada saat tertentu ruang ini bisa berubah menjadi ruang tempat untuk berbagi, tempat jut bio, tempat pentas seni dan tempat menerima tamu agung. Ruang jalan begitu juga. Ruang ini memiliki fungsi majemuk tidak hanya sebagai tempat sirkulasi untuk mendukung kehidupan perekonomian. Pada saat tertentu ruang ini juga berubah menjadi tempat berdoa, tempat jut bio, tempat upacara keagamaan serta tempat untuk pertunjukan. Beragamnya fungsi yang diwadahi dalam ruang yang sama, membuat masyarakat memberikan makna yang berbeda pada ruang yang sama di saat yang berbeda. Masih sangat banyak sisi keunikan dari fenomena aktivitas, ruang dan penampakan fisik lainnya di Pecinan yang menurut peneliti belum tersentuh. Dari uraian di atas, maka perlu kiranya untuk mengeksplorasi konsep dan teori ruang yang memiliki keterkaitan emosional, kultural dan kesejarahan dengan masyarakat Tionghoa di Pecinan Semarang. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap pengkayaan pemahaman terhadap ruang-ruang yang didesain oleh tradisi popular masyarakat Tionghoa, sehingga karakteristik
4
unik dan interaksi positif antara ruang dan masyarakatnya tetap terjaga dengan baik.
1.2 Penetapan Lokus dan Fokus Penelitian Lokus penelitian ini berada di Kawasan Pecinan Semarang. Pecinan Semarang dipilih sebagai lokus kasus, karena keunikan kawasan yang berbeda dengan Pecinan lain. Pecinan Semarang menurut beberapa tokoh masyarakat setempat dibangun oleh pelarian politik dari Thiongkok yang memiliki latar belakang pengetahuan, budaya, sosial dan ekonomi yang lebih baik dibanding imigran Tionghoa di tempat lain. Latar belakang ini lah yang kemudian memberikan ciri yang khas dalam pembentukan kawasan Pecinan, karena mereka membangun kawasan dengan pertimbangan budaya dan kepercayaan yang mereka bawa dari negara asal. Pemilihan fokus penelitian terkait dengan konsep dan teori ruang dipilih peneliti, karena hal ini belum pernah diteliti di Pecinan. Peneli sebelumnya banyak memfokuskan pada kajian sejarah, morfologi dan transformasi kawasan maupun bangunan khusunya ruko, arsitektur bangunan klenteng dan ruko, serta pengembangan konsep desain kawasan.
1.3 Pertanyaan Penelitian Fenomena yang terjadi di ruang baik di ruang kawasan, ruang jalan, ruang klenteng dan ruang bangunan lainnya yang ditemui peneliti dalam serangkaian pengamatan lapangan serta dari studi awal, menujukkan adanya keunikan yang menimbulkan beberapa pertanyaan penelitian: a. Apa makna ruang bagi masyarakat Pecinan? Pertanyaan ‘apa’ ini diharapkan dapat menjelaskan predikat empiris ruang-ruang di Pecinan, sesuai pemahaman masayakat setempat. Pemahaman predikat ruang ini merupakan tahap awal untuk mengekplorasi ruang-ruang di Pecinan; b. Mengapa makna tersebut terbentuk/terwujud? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan lanjutan, yang diharapkan akan mampu menjelaskan konsep/ hal yang mendasari alasan pemberian predikat ruang sekaligus merupakan tahap untuk mengeksplorasi konsep ruang di Pecinan;
5
c. Bagaimana teori lokal ruang di Pecinan yang mampu menjelaskan terbentuknya makna dan konsep ruang di Pecinan?
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan konsep dan teori lokal ruang yang mampu menjelaskan terbentuknya makna dan konsep ruang yang dibangun oleh komunitas etnis Tionghoa di Kawasan Pecinan.
1.5 Manfaat Penelitian Temuan hasil eksplorasi ini, diharapkan dapat memperkaya khasanah konsep dan teori lokal ruang di Pecinan. Selanjutnya teori dan konsep lokal ini, dapat digunakan praktisi sebagai bahan masukan atau pertimbangan perencana dan perancangan untuk pelestarian kawasan Pecinan agar upaya pelestarian kawasan Pecinan akan mempunyai keterkaitan emosional dan kultur dengan masyarakat setempat. Pada akhirnya karakteristik unik dan interaksi positif antara ruang dan masyarakat yang telah terbentuk dapat tetap terjaga dengan baik.
1.6 Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan di permukiman tradisional etnis Tionghoa, pada dasarnya sudah sangat banyak dilakukan. Guna menjamin keaslian penelitian, peneliti mencoba untuk mengkaji beberapa penelitian tentang permukiman tradisional etnis Tionghoa yang sudah dilakukan, baik di negeri Tiongkok tempat asal suku Tionghoa mau pun di permukiman suku Tionghoa di Perantauan di berbagai belahan Dunia. Di Tiongkok, penelitian tentang struktur permukiman tradisional dan simbolismenya sudah dilakukan oleh Rapoport (1986). Stuktur dan tipologi permukiman tradisional diteliti oleh Schnoenauer (1992), Pang (2006), Wang (2009); sementara Junhua (1997) meneliti tipologi permukiman sampai ke tipologi bahan bangunan di luar negara asal, penelitian terkait dengan sejarah karakteristik fisik dan revitalisasi di Pecinan. Di luar Semarang, juga sudah banyak diteliti oleh Lopes (2009), Bass (2003), Lausent, Isabelle and Herrera (2011) dan Kresna (2012).
6
Rapoport (1986) menggambarkan struktur internal permukiman tradisional Tiongkok Kuno sebagai lambang keajaiban kosmos. Pola dasar, pintu gerbang, pola jalan, tembok, lokasi pusat dan keadaan fisik lainnya merupakan aspek astrologi. Wujud permukiman merupakan alat untuk memaksimalkan komunikasi antara surga/ langit, dunia dan alam halus. Model jagat raya yang paling umum adalah adanya sumbu, orientasi mata angin, sentralitas, dan sebuah tembok yang melambangkan kesucian dari pada alat kebertahanan. Rapoport (1986) juga melihat adanya perbedaan antara struktur internal permukiman di Tiongkok Utara dan Selatan. Di Utara tembok kota didirikan terlebih dahulu baru berangsurangsur diisi oleh penduduk. Sementara di Selatan sebaliknya, kawasan perdagangan dan jasa dibangun terlebih dahulu dan tembok dibangun kemudian. Meskipun demikian tembok kota selalu dianggap sebagai sesuatu yang penting. Di dalam tembok kota ini lokasi dikaitkan dengan organisasi sosial, sehingga lingkungan yang berbeda akan menampung kelompok yang berbeda. Pada masa dinasti Han menurut Rapoport (1986) ruang kota terbagi oleh tembok-tembok yang dilengkapi dengan pintu, yang ditutup pada malam hari dan pelaku perjalanan yang melanggar akan mendapatkan hukuman yang berat. Pola dasar kota Tiongkok Utara dapat ditemui tanda-tanda perlindungan Bumi, sumbu dan orientasi mata angin, perlambang dari sebuah pusat dan kebersamaan mikro dan makro kosmos. Makro kosmos kota mencerminkan dunia yang teratur dan suci dan dipisahkan dari dunia yang kotor oleh sebuah tembok. Bagian kota yang suci, dengan demikian dibangun terlebih dahulu sebelum munculnya kebutuhan pertahanan terhadap musuh. Setelah tembok kemudian baru dibangun kuil untuk penghormatan pada leluhur dan dewa Bumi yang semuanya dilakukan dengan upacara khusus. Selain itu kota juga harus memiliki orientasi arah yang benar, bentuk empat persegi dengan tiap sisi tembok melambangkan 4 musim, dan 12 pintu yang melambangkan 12 bulan. Schnoenauer (1992) dalam bukunya History of Housing menjelaskan organisasi hierarki kota, biasanya dibentuk dari distrik yang disebut dengan Hsien, kota kecil yang disebut Yi. Pada distrik perkotaan tradisional memiliki karakteristik yang umumnya berbentuk persegi, yang dibangun berdasarkan
7
kepercayaan Tiongkok kuno, bahwa dunia berbentuk segi empat. Struktur internal jalan biasanya mengarah ke Utara-Selatan dan Barat-Timur, sebagai hasil dari sejumlah bentukan blok besar, akibat pengaruh posisi gerbang kota. Jalan sekunder kurang terstruktur, karena dibentuk oleh elemen bangunan rumah, yang kadang terhenti di ujung jalan yang menyempit atau gang buntu. Jalan utama biasanya berfungsi sebagai pasar. Pada distrik dalam kota ini biasanya terdapat kegiatan ekonomi yang cukup intens, dengan pengelompokan kegiatan dan toko sesuai dengan keahlian dan jenis barang dagangan. Sementara wajah jalan sangat simpel dan tidak jarang hunian hanya memiliki satu daun jendela dan pintu. Junhua and Abramson (1998), dalam penelitiannya yang berjudul Vernacular Architecture in Historic Chinese Cities Quanzhu mencoba mengidentifikasikan karakteristik lingkungan dan jalan, serta bangunan kawasan salah satu kawasan bersejarah di kota Peking, yaitu kawasan Quanzhu. Karakteristik yang ditemukan dalam penelitian ini, diantaranya adalah karakter jalan yang sempit, dengan muka bangunan yang sederhana, adanya beberapa rumah kapling besar dalam bentuk courtyart, serta bangunan rumah toko di jalan utama. Di luar jalan-jalan utama, di perkampungan padat penduduk dengan rumah-rumah kecil, selalu dilengkapi dengan kuil kecil/klenteng. Klenteng pada permukiman ini dapat ditemui di sepanjang jalan utama kawasan atau pada perempatan atau tikungan jalan. Klenteng-klenteng ini berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial dan sebagai tempat melakukan aktivitas kerja bersama masyarakat. Selain itu, beberapa material yang banyak digunakan dalam bangunan adalah batu bata dan batu sebagai fondasi. Pang (2006) dalam artikel yang berjudul Morfologi Kota di Kota Tradisional Tiongkok, dengan kasus kawasan perdagangan Zushou, banyak menjelaskan morfologi perkotaan di kota tradisional Tiongkok dari unsur-unsur fisik. Artikel tersebut menjelaskan temuan karakter kekhasan dan keunikan kota-kota tradisional Tiongkok, yang diperlukan untuk mendukung perkembangan Kota Tiongkok modern.
Pada kasus kawasan perdagangan Suzhou karakteristik
morfologi lingkungan perkotaan ditentukan mulai pada skala bangunan (elemen arsitektural), lingkungan (blok permukiman dengan bangunan courtyard dan gang/ jalan sempit) dan distrik perkotaan (tembok kota: benteng kota dan gerbang
8
kota dan sistem sirkulasi: jalan utama, kanal dan tetenger) yang memberikan inspirasi untuk praktek perencanaan dan desain perkotaan hari ini. Wang (2009), memplublikasikan penelitiannya di dalam Proceedings of the 7th International Space Syntax Symposium, Stockholm dengan judul Space Configuration and Movement Pattern of Chinese Traditional Settlement A case study of Wangkou, Wuyuan County.
Penelitian ini tidak difokuskan pada
interpretasi dan re-interpretasi dari ide-ide budaya Konfusianisme, tetapi lebih ditekankan pada analisis sintaksis terhadap perubahan dan perkembangan permukiman akibat proses sosial dan ekonomi. Penelitian ini berlokasi di Wangkou, sebuah kawasan yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan pasar tradisional di Wuyuan, Tiongkok. Data pergerakan pejalan kaki yang diamati pada hari kerja dengan menggunakan metode hitungan gerbang dari segmen jalan secara acak. Alat analisis korelasi statistik digunakan untuk mengetahui sejauh mana tata ruang dapat berdampak atau menentukan pergerakan pejalan kaki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan pergerakan Wangkou sebagian besar berkorelasi dengan sifat global konfigurasi ruang, dan ukuran pilihan terpendek rute di tertentu, bukan lokasi tujuan tertentu seperti toko-toko dan bangunan institusional. Bass (2003) di dalam studinya di Pecinan New York melihat Pecinan hari ini sebagai lingkungan imigran dari New York abad yang lalu. Banyak penduduk Chinatown adalah imigran baru yang bekerja di toko atau dalam lingkungan. Hubungan erat komunitas yang menawarkan kesempatan bagi yang baru tiba Amerika, lingkungan budaya dan kehidupan yang unik banyak menarik wisatawan ke New York. Saat ini, pusat imigran ini tidak lagi kebal dari masalah yang dihadapi kota abad yang lalu. Perumahan penuh sesak, fasilitas sanitasi dan transportasi yang tidak memadai, dan kesempatan kerja tidak cukup. Laporan ini mencakup tren demografi dan ekonomi di lingkungan dan mengkaji hubungan antara area studi dan lingkungan geografis terdekat serta usulan alternatif untuk pembangunan
masa
depan
di
Pecinan
dengan
mengidentifikasi
lokasi
pembangunan yang potensial, menunjukkan perubahan zonasi dan peraturan
9
lainnya, dan serta identifikasi sumber daya yang tersedia untuk mewujudkan perubahan. Handinoto (1999) dalam tulisannya tentang Lingkungan “Pecinan” dalam Tata Ruang Kota Di Jawa ada Masa Kolonial, menceritakan bahwa di dalam tata ruang kota Jawa, kawasan Pecinan sering menjadi “Pusat Perkembangan”. Kawasan ini dicirikan dengan kepadatan tinggi dengan inti elemen dasar pemukiman Tionghoa berupa klenteng, pasar dan pelabuhan, masih terlihat dengan jelas sekali. Jejak fisik tersebut masih banyak dijumpai walau pun ada usaha untuk mengeliminir kehadiran Pecinan, sesudah kemerdekaan dan selama Era Orde Baru. Pola dasar tata ruang Pecinan di Jawa, juga mirip dengan tata ruang daerah pelabuhan di Tiongkok selatan, Fujian dan Guangdong. Hal ini karena kedua provinsi tersebut memiliki karakteristik geografis hampir sama dengan kota-kota di pantai utara Jawa, sehingga terdapat kemungkinan upaya memindahkan tatanan kota, oleh pemukim awal. Kajian morfologi kawasan Pecinan di Pecinan Semarang dan beberapa kota di Jawa dan Asia banyak dalam penelitian Widodo (1998). Widodo banyak mengulas tentang sejarah perkembangan kawasan Pecinan dalam konteks kota Semarang, morfologi kawasan dan tipologi bangunan ruko serta rasionalitas dari keduanya. Karakter Pecinan di pesisir Pulau Jawa ditunjukkan dengan adanya elemen dasar pemukiman Tionghoa berupa klenteng, pasar dan pelabuhan dan aksis jalan utama yang tegak lurus pantai yang ujungnya terdapat klenteng. Selain itu di dalam temuannya khusus di Pecinan Semarang, juga ditemukan karakter jalan berupa grid dengan jalan utama yang didominasi bangunan ruko yang lebarnya 3-5 meter dan panjang 14-40 meter. Di kawasan ini juga ditemukan karakter kelenteng di ujung jalan lingkungan, kelenteng di ujung jalan lokal dan kelenteng masyarakat. Widiani, dkk (1996) mengidentifikasi arsitektur delapan kelenteng di Pecinan. Widiani, dkk., banyak mengkaji arsitektur bangunan di delapan kelenteng beserta detail bangunan. Sementara Prawito (2010) dalam bukunya Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota banyak mengulas tentang arsitektur Tionghoa di Indonesia ini. Buku ini merupakan publikasi dari
10
disertasi penulis yang berjudul The Transformation of Traditional Chinese Architecture, A Way to Interpret Issues on the North-Eastern Coast of Central Java-Indonesia. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Lasem sebagai salah satu obyek pengamatannya. Buku ini banyak mengulas transformasi Pecinan, perbandingannya struktur ruko di Pecinan Semarang dan Tiongkok Selatan, perbandingan rumah Tionghoa yang dibangun di luar Pecinan, transformasi struktur permukiman dan struktur bangunan Pecinan Lasem serta perbandingan antara arsitektur rumah di Pecinan Lasem dengan arsitektur rumah Jawa. Selain itu dalam buku ini juga mengulas sekilas tentang sejarah migrasi orang Tionghoa ke pulau Jawa terutama Jawa Tengah. Tahun 2000-2003 peneliti banyak melakukan kajian terhadap potensi elemen lanskap kota dan potensi ruang terbuka. Elemen-elemen lanskap kota yang ditemukan di antaranya berupa fungtion, line, width, overhead, containment, featurest, serta beberapa elemen ruang terbuka seperti ruang terbuka jalan, sepanjang sungai, ruang terbuka dalam bangunan. Hasil penelitian di tahun awal, kemudian oleh peneliti dilanjutkan untuk mengembangkan konsep pemanfaatan ruang terbuka dan ruang pejalan kaki. Hasil penelitian ini kemudian diperdalam oleh Kurniawati (2004) dengan menambahkan identifikasi elemen arsitektur dan rekomendasi panduan rancang bangun untuk pengembangan kawasan. Riyanto (2004) dalam penelitiannya berjudul Pengembangan Pecinan Semarang sebagai Tempat Wisata Warisan Budaya Berdasarkan Persepsi Mayarakat, mencoba melihat persepsi masyarakat tentang upaya pengembangan kawasan Pecinan sebagai kawasan wisata budaya. Pada tahun tahun 2005, Fajar melakukan penelitian dengan judul Studi Identifikasi dan Penentuan Kawasan Pecinan Lasem. Temuan dari studi ini terkait dengan parameter maujud berupa arsitektur bangunan yaitu arsitektur bangunan rumah tinggal dan tempat ibadah merupakan arsitektur perpaduan antara gaya arsitektur Tionghoa dengan arsitektur kolonial dan arsitektur setempat, ornamen yang dijumpai pada klenteng dan rumah tinggal merupakan hiasan yang mengandung makna filosofis tradisi Tionghoa serta pola ruang kawasan merupakan pola grid yang terbentuk karena orientasi bangunan yang menghadap ke Utara-Selatan atau Barat-Timur.
11
Parameter pusaka mujarat ditemukan aktivitas masyarakat masih berkaitan erat dengan kegiatan perdagangan, kelenteng berfungsi sebagai pusat aktivitas, keterampilan membatik secara turun-temurun dan adanya cerita rakyat tentang keluarga Han. Sudarmi (2004), dalam penelitiannya tentang simbolisme rumah tinggal etnis Tionghoa di Pecinan Semarang menemukan bahwa, simbolisasi rumah tinggal etnis Tionghoa Kawasan Pecinan Semarang dibentuk dan dipengaruhi oleh komponen elemen fisik dan non fisik. Elemen fisik meliputi tipologi, fasade, atap, ornamen, warna rumah tinggal sebagai komponen utama. Elemen non fisik memeperlihatkan bahwa masyarakat etnis Tionghoa di Kawasan Pecinan Semarang umumnya memiliki kepercayaan memuja dewa. Pada kawasan terdapat kelenteng yang terletak pada tusuk sate yang diyakini dapat menangkal hawa buruk kawasan dan juga terletak pada tepi sungai. Penelitian tentang Pecinan dari beberapa kajian penelitian terdahulu terlihat bahwa cenderung ke arah sejarah, morfologi dan arsitektur kawasan. Sedangkan penelitian tentang makna ruang dan sistem nilai dan konsep ruang di Pecinan belum pernah diteliti sebelumnya. Guna menjamin keaslian penelitian, beberapa penelitian yang pernah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.1.
12
Judul
Tabel 1.1. Penelitian yang Memiliki Kesamaan Fokus dan Lokus Penulis Tahun Lokasi Tujuan Metode Mengidentifikasi karakteristik kawasan untuk Project Pembangunan Kembali Kawasan Kota Bersejarah Quanzhu Mengkaji morfologi arsitektur perkotaan Pecinan
Hasil
Kualitatif
Karakteristik lingkungan dan jalan, serta bangunan di kawasan Quanzhu
Kualitatif
Morfologi dan arsitektur permukiman kawasan pecinan
Ada usaha untuk mengeliminir kehadiran Pecinan sesudah kemerdekaan dan terutama selama orde baru berkuasa karena alasan sosial, ekonomi dan politik. Tapi jejak fisik seperti identitas atmosfer lingkungannya yang khas serta bangunan seperti klenteng, ruko dan sebagainya, masih banyak kita jumpai diberbagai kota di Jawa. Ragam jenis desain arsitektur klenteng Potensi road form and town scape
Vernacular Architecture in Historic Chinese Cities Quanzhu
LÜ Junhua., and DB Abramson
1998
Quanzhu
Chinese Settlement in Changing City an Architectural Study of Urban Chinese Settlement in Semarang Lingkungan “Pecinan” Dalam Tata Ruang Kota di Jawa Pada Masa Kolonial. Lingkungan “Pecinan” Dalam Tata Ruang Kota di Jawa Pada Masa Kolonial.
Widodo
1988
Pecinan Semarang
Handinoto
1999
Pecinan Bandung
Mengkaji peran Pecinan terhadap perkembangan morfologi kota di Jawa pada umumnya.
Kualitatif
Arsitektur 8 Klenteng di Kawasan Pecinan Identifikasi Potensi Road Form dan Town Scape Kawasan Pecinan Semarang Identifikasi Potensi Ruang Terbuka Kawasan Pecinan Sebagai Kawasan Pejalan Kaki
Widiani, Dkk
1996
Kautsary, J
2000
Pecinan Semarang Pecinan Semarang
Mengidentifikasikan/menggambarkan arsitektur 8 klenteng Mengidentifikasikan potensi road form & Town scape
Kualitatif Rasionalistik Kualitatif Rasionalistik
Kautsary, J
2001
Pecinan Semarang
Mengidentifikasikan potensi ruang terbuka kawasan Pecinan sebagai kawasan pejalan kaki
Kualitatif Rasionalistik
- Potensi ruang terbuka - Potensi aktivitas - Potensi rute
13
Tabel 1.1. (lanjutan) Penulis
Tahun
Optimalisasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Kawasan Pecinan sebagai Lingkungan Pejalan Kaki: Suatu Strategi Pendukung Revitalisasi Kawasan Little Netherland Sebagai Kawasan Wisata Cinatown: Where Tradition Meets Tomorrow
Judul
Kautsary, J
2002
Pecinan Semarang
Lokasi
Mengembangkan konsep optimal pemanfaatan potensi ruang terbuka untuk pejalan kaki
Tujuan
Kualitatif Rasionalistik
Metode
- Potensi ruang terbuka - Konsep pemanfaatan ruang terbuka untuk pejalan kaki
Hasil
Bass, B
2003
Cinatwn in New York
Mengidentifikasikan karakteristik kawasan dan kecenderungan perubahannya
Kualitatif
Pengembangan Konsep Tata Ruang Sekitar Sungai (River Front) Kali Semarang: Suatu Strategi Optimalisasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Kawasan Pecinan Semarang Karakteristik Tata Ruang dan Morfologi Kawasan Sebagai Arahan panduan Rancang Kota Studi Kasus Kawasan Pecinan Semarang Simbolisasi Rumah Tinggal Etnis Cina Studi Kasus Kawasan Pecinan Semarang
Kautsary, J
2003
Pecinan Semarang
Mengkaji konsep pengembangan tata ruang sekitar sungai
Kualitatif Rasionalistik
Sejarah kawasan Karakteristik fisik, ekonomi, sosial dan kecenderungan perubahan Program-program pengembangan kawasan Konsep tata ruang sekitar sungai Kali Semarang
Kurniawati
2004
Pecinan Semarang
Memberikan arahan rancang bangun berdasarkan karakter arsitektur kawasan
Kualitatif Rasionalistik
- Potensi arsitektur - Panduan rancang bangun kawasan
Sudarmi, MM
2004
Pecinan Semarang
mengkaji berbagai simbolisasi yang muncul pada rumah tinggal etnis Tionghoa
Kualitatif
Elemen fisik, meliputi tipologi, fasade, atap, ornamen, warna Elemen non fisik, masyarakat umumnya menyembah dewa dan adanya klenteng di pinggir kali
14
Tabel 1.1. (lanjutan) Judul
Penulis
Tahun
Lokasi
Tujuan
Metode
Hasil
Studi Identifikasi dan Penentuan Kawasan Pecinan Lasem Chinese-canadians: A Changing Ethnic Communty - Implications For Service Planning Urban Morphology of Traditional Chinese Cities in the Context of Modernization – A Case Study of Suzhou Reimagining Cinatown: An analysis of tourism discourse
Fajar A.H
2005
Pecinan Lasem
Mengidentifikasikan deliniasi kawasan Pecinan Lasem
Kualitatif
Batas Kawasan Pecinan Lasem dan karakternya
Low, H
2006
Toronto Canada
Mengidentifikasikan potensi dan masalah kawasan untuk dasar perencanaan
Kualitatif Rasionalistik
Pang ,WK
2006
Suzhou
Mengidentifikasikan tipologi dan morfologi kawasan untuk acuan pengembangan kota, agar kota berkesinambungan
Kualitatif
Implikasi potensi dan masalah kawasan terhadap rencana pelayanan dan perencanaan kawasan. Tipologi dan morfologi kawasan; Wacana pengembangan wisata modern di Pecinan.
Santos, CA. dkk
2008
Chicago Cinatown
Kualitatif
Space Configuration and Movement Pattern of Chinese Traditional Settlement A case study of Wangkou, Wuyuan County
Wang, H
2009
Wangkou, Wuyuan County
Mengidentifikasikan potensi kawasan untuk pengembangan wisata dan kaitannya antara masa lalu dan saat ini Menemukan implikasi struktur ruang dan perubahan terhadap pertumbuhan dan perubahan permukiman
Positivistik (korelasi)
Objek-objek potensial yang berupa bangunan dan kegiatan yang bisa dikembangkan sebagai objek wisata di Chicago Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan pergerakan di Wangkou sebagian besar berkorelasi dengan sifat konfigurasi umum ruang pada umumnya, dan ukuran pilihan rute terpendek di tertentu, bukan lokasi menarik tertentu seperti toko-toko dan bangunan institusional
Sumber: Ringkasan peneliti yang diolah dari berbagai sumber, 2014
15