BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Permasalahan yang dihadapi baik negara maju maupun negara berkembang atas pesatnya perkembangan industrialisasi di segala lini sekilas tampak sama, yaitu terkait masalah pemanfaatan bahan baku dan pengendalian limbah yang sulit terkendali. Kendati mendapati masalah yang sama, namun pola pikir dan tingkat kepedulian masyarakat negara maju sangat berbeda dengan masyarakat negara berkembang. Cara pandang dan fokus terhadap penyelesaian permasalahan yang dihadapi cenderung bertolak belakang. Masyarakat negara maju akan lebih berpikir dan bertindak ketat terhadap persyaratan kegiatan industri yang menyangkut proses produksi dan teknologi pengendalian dampak lingkungan yang terkait pula dengan aspek lain seperti hak asasi manusia. Di sisi lain, di negara berkembang, pemerintahnya masih sibuk berkutat soal pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan program kegiatan lain yang sekiranya difokuskan untuk peningkatan taraf ekonomi penduduknya. Perbedaan pengendalian persoalan lingkungan hidup antara negara maju dan negara berkembang dijabarkan untuk memetakan pada aspek mana yang dapat dijadikan perhatian oleh pemerintah dalam upaya mengendalikan lingkungan atas dampak yang ditimbulkan atas adanya kegiatan industri di sebuah wilayah. Beberapa aspek yang membedakan tata kelola atau pengendalian
1
lingkungan hidup antara negara maju dengan negara berkembang tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini. Tabel 1.1 Perbedaan Pengendalian Lingkungan Hidup antara Negara Maju dengan Negara Berkembang No. 1.
2.
3.
4.
5.
Indikator
Negara Maju
Negara Berkembang
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan Perhatian pemerintah terhadap reaksi masyarakat Teknologi dalam proses produksi
Tinggi dan responsif
Rendah dan kurang responsif Masyarakat bergulat soal pendapatan dan taraf hidup Rendah Lambat bertindak
Tinggi Cepat bertindak
Canggih Limbah memenuhi baku mutu Teknologi dalam Canggih penanggulangan Tanggung jawab masalah lingkungan tinggi Penerapan sanksi hukum Diterapkan secara ketat dan konsisten
Seadanya Limbah sering melampaui baku mutu Jarang tersedia Kurang tanggung jawab Sering terkendala dalam pembuktian Kurang diterapkan karena pertimbangan tenaga kerja.
Sumber: (Manik, 2007: 55) Sejalan
dengan
kepentingan
masyarakat
dan
pemerintah
dalam
berinteraksi seiring upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber kekayaan alam dalam kepentingan di berbagai level dalam industrialisasi, keduanya memerlukan sebuah ruang hidup (lebensraum),basis pemahaman ekologi dan keberadaan kawasan(wilayah) untuk melakukan segala aktivitas tersebut. Ruang merupakan sesuatu yang menyediakan akomodasi dan memungkinkan aktivitas, sedangkan ekologi merupakan unsur interelasi antara organisme dengan lingkungannya, dan kawasan dalam hal ini diartikan sebagai suatu daerah yang memiliki homogenitas sosial, ekonomi, kultural, demografi dan sebagainya (Sumarmi, 2012:17).
2
Hal ini menjelaskan bahwa suatu wilayah memiliki hubungan fungsional keterkaitan antara satu unsur atau komponen yang ada di dalamnya. Secara fungsional, sebuah wilayah dapat disebut wilayah dengan sistem kompleks karena di dalamnya terdapat unsur dan atau komponen yang saling terkait, yaitu (1) sistem ekologi (ekosistem), (2) sistem sosial, dan (3) sistem ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem (Rustiadi, dkk, 2011:31). Oleh sebab itu, seluruh aktivitas dalam wilayah sistem kompleks harus dikaji secara komprehensif, tanpa meninggalkan salah satu sistem yang saling terkait di atas secara parsial. Sebagai sebuah sistem wilayah kompleks, wilayah perdesaan masa sekarang juga turut dihadapkan pada berbagai lingkaran perubahan yang signifikan. Perubahan yang sangat kompleks ternyata mengarah pada kondisi ekosistem yang berdampak terhadap kondisi sosial-ekonomi wilayah tersebut (Schouten, et.al, 2009). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa hal ini menjadi masalah serius yang jika tidak ditangani dengan pengelolaan lingkungan wilayah perdesaan yang baik, akan berdampak buruk terhadap masa depan wilayah perdesaan tersebut. Berkaca pada kondisi Kabupaten Gunungkidul, wilayah yang notabene merupakan kabupaten terluas di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu seluas 1.485,36 km2 atau 46,63% dari luas wilayah DIY (Lakip Gunungkidul, 2013), belum merasakan detak pembangunan secara merata. Meskipun semakin tersohor dengan pembangunan sektor pariwisata yang sangat menonjol, ternyata hal ini belum mampu mendorong peningkatan taraf hidup atau kesejahteraan
3
masyarakat Kabupaten Gunungkidul secara keseluruhan. Kehidupan sebagian besar masyarakat Kabupaten Gunungkidul yang masih dipengaruhi oleh karakteristik penduduk asli yaitu karakteristik khas perdesaan, terlebih pada pengembangan aspek sosial dan ekonomi. Sejatinya, Kabupaten Gunungkidul memiliki beragam potensi industri mulai dari skala rumah tangga hingga manufaktur besar dengan beragam varian unit usaha atau industri. Menurut Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010, industri yang berkembang di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 19.255 unit usaha dengan kategori jenis usaha antara lain pengolahan pangan, batik, bahan bangunan, kerajinan dan industri logam dan elektronik, dimana jenis usaha yang paling banyak berkembang adalah industri pengolahan pangan. Limbah industri yang dihasilkan oleh jenis industri tersebut memiliki kadar beban pencemaran yang tinggi terkait pengukuran BOD (Biochemical Oxygen Demand), yaitu pengukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk mengurai semua zat organik, dimana jika suatu badan air tercemar oleh zat organik maka bakteri akan menghabiskan oksigen terlarut, COD (Chemical Oxygen Demand), yaitu ukuran pencemran air oleh zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses biologis dan dapat menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air dan TSS (Total Suspended Solid), yaitu zat tersuspensi yang jika masuk ke badan air akan menyebabkan pendangkalan (Indonesian-publichealth.com, diakses 6 April 2015). Dibandingkan dengan usaha atau industri lainnya, beban pencemaran yang ditimbulkan oleh usaha atau
4
industri tahu dan tempe terukur lebih tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.2, berikut ini. Tabel 1.2 Beban Limbah Industri di Gunungkidul No.
Jenis Industri
Produksi
(1) 1 2 3 4
(2) Batik Olahan Makanan Tempe Olahan Makanan Tahu Penggergajian Batu
(3) 30.000 m 2.400 ton 216.000 kg 90.000 m2
Beban Limbah Cair (ton/tahun) BOD COD TSS (4) (5) (6) 0,5665 2,6957 0,162 103,2634 72,6221 186,3936 0,055 6,274 4,5274 0,0006 0,0016 0,0096
Sumber: Buku Laporan SLHD Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2014
Industri pengolahan pangan tahu-tempe tersebut banyak terdapat di perdesaan dikelola langsung oleh masyarakat setempat dalam skala usaha rumah tangga. Sekalipun dalam skala rumah tangga, namun jika kegiatan yang dilakukan secara masif dengan jumlah pegiat industri didalamnya cukup banyak, maka akan sangat berpengaruh terhadap kondisi ekologi dan sosial di lingkungan wilayah tersebut. Masyarakat perdesaan yang di dalamnya terdapat beragam profesi dan kegiatan, terutama bertani dan beternak, merasa dirugikan. Terkait hal di atas, melalui Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010, yang merupakan hasil kerja lintas sektor yang melibatkan Badan Perencanaan
Pembangunan
Daerah,
Badan
Lingkungan
Hidup,
Dinas
Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, dan Dinas Pekerjaan Umum, secara khusus memetakan keberadaan sentra industri tahu yang berada di lingkup Kabupaten Gunungkidul yang disinyalir memiliki dampak negatif terhadap lingkungan.
5
Dalam kurun waktu tahun 2006 hingga 2009, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah merealisasikan pembangunan sarana sanitasi yang diterapkan pada wilayah-wilayah yang dinilai memerlukan solusi pengendalian lingkungan, sekaligus sebagai proyek percontohan untuk diterapkan di seluruh wilayah Kabupaten Gunungkidul di masa mendatang. Terdapat beberapa hasil program pembangunan sanimas berbasis teknologi IPAL Komunal yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul di beberapa wilayah di Kabupaten Gunungkidul, baik pembangunan sarana sanitasi bagi limbah domestik masyarakat maupun limbah industri tahu, yang dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut ini. Tabel 1.3 Hasil Program Pembangunan Sanimas di Kabupaten Gunungkidul Jumlah Pelayanan 14 Kelompok pengrajin 7 Kelompok pengrajin 150 Jiwa
Tahun Operasi 2006
Sumber Limbah Limbah tahu
2007
Limbah tahu
2007
Limbah domestik
350 juta
70 KK 350 Jiwa
2008
Limbah domestik
350 juta
50 KK 200 Jiwa
2008
Limbah domestik
-
700 Jiwa
2008
Limbah domestik
350 juta
77 KK 344 Jiwa
2009
Limbah domestik
350 juta
65 KK 260 Jiwa
2009
Limbah domestik
No
Nama Kelompok
Alamat
Dana
1.
KSM Sari Mulyo I Ketua : Yono Pawiro KSM Sari Rejo Ketua : Purwodiharjo KSM Nglegani Ketua : Abdulrohim
Sumbermulyo Kepek, Wonosari Besari, Siraman, Wonosari PonPes Mardhotulloh Playen Jeruk, Kepek, Wonosari
720 juta
Tawarsari, Wonosari
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KSM Liberti Ketua : Hadi Siswoyo KSM Ngudi Raharjo Ketua : Suprapto KSM Al Hikmah Ketua : Subayu KSM Puri Handayani Ketua : Sunardi KSM Jambu sari Ketua : Muji Mulyatno
PonPes Al Hikmah, Karangmojo Ledoksari, Wonosari Sumberjo, Ngawu, Playen
300 juta
350 juta
Sumber: Buku Putih Sanitasi Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010
6
Selain sentra industri tahu di Desa Kepek dan Desa Siraman, Kecamatan Wonosari yang menjadi sasaran program pembangunan Sanitasi berbasis masyarakat (Sanimas) dalam rangka pengendalian lingkungan industri yang terdapat pada daftar tersebut, terdapat satu wilayah yang di dalamnya juga terdapat sentra industri tahu, yaitu Dusun Dringo, Desa Bendung, Kecamatan Semin, yang menjadi sasaran program Sanimas yang terealisasi pada pertengahan tahun 2010. Gangguan lingkungan akibat limbah produksi tahu terjadi dalam kurun waktu yang lama, mulai sekitar tahun 1970 hingga awal tahun 2010. Pencemaran limbah yang menyebabkan kerusakan lingungan dan ketidaknyamanan tersebut membuat kondusivitas sistem sosial di Dusun Dringo terganggu. Terjadi konflik kepentingan selama periode tersebut antara kelompok industri tahu dengan kelompok masyarakat umum yang sebagian besar berprofesi sebagai petani yang tanaman pertaniannya turut rusak akibat air tanah yang sangat asam. Sebelum terlaksana program Sanimas, bara konflik yang terus terpendam (laten) cenderung sulit untuk padam, karena sebagian dari kedua kelompok tersebut masih memiliki hubungan kekerabatan (extended family), sehingga terkadang muncul keengganan, baik dalam mengkomunikasikan permasalahan hingga penyelesaian akhir kasus tersebut. Dalam mengimplementasikan program pembangunan Sanitasi berbasis masyarakat tersebut, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mendelegasikan tugas dan tanggungjawab pelaksanaan pembangunan dalam rangka pengelolaan dan pengendalian lingkungan industri tahu di Dusun Dringo tersebut kepada sebuah kelompok yang di dalamya beranggotakan para pengrajin tahu di wilayah tersebut.
7
Strategi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ini merupakan pengejawantahan salah satu paradigma tata kelola pemerintahan (administrasi publik) yang paling demokratis yakni administrasi by public, suatu konsep yang sangat berorientasi pada unsur pemberdayaan masyarakat. Diterapkannya mekanisme pemberdayaan masyarakat (community empowering) dengan merangkul kelompok pengrajin tahu setempat menjadi sebuah entry point yang strategis bagi wujud kemandirian dalam masyarakat itu sendiri. Upaya yang menggugah seluruh pihak baik para pengrajin tahu maupun masyarakat sekitar menjadi sebuah energi tersendiri bagi penyelesaian permasalahan lingkungan dusun setempat. Konsep tersebut merupakan realisasi sasaran kegiatan pemerintah yang menekankan
pada
aspek
“empowerment”,
yaitu
pemerintah
berupaya
memfasilitasi masyarakat agar mampu mengatur hidupnya tanpa harus sepenuhnya tergantung terus-menerus pada pemerintah (Keban, 2008:5). Dampak positif pemikiran tersebut adalah masyarakat dapat memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, mulai dari penentuan kebutuhan sampai pada pelaksanaan dan penilaian hasil, sementara pemerintah menjalankan perannya sebagai fasilitator serta dapat lebih fokus pada urusan-urusan kepemerintahan yang strategis. Pengelolaan lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan salah satu teknologi tepat guna menjadi sebuah tanggungjawab yang besar dalam menjaga amanah yang telah diberikan oleh pemerintah terkait. Pada titik itulah bersamaan dengan realisasi pembangunan sarana sanitasi pengelolaan limbah tahu di Dusun Dringo, nama Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Ngudi Subur diberikan sebagai bentuk pengakuan atau legitimasi yang kuat dalam
8
menjalankan pembangunan sekaligus mengelola sanitasi berbasis masyarakat dari seluruh lapisan tanggungjawab jabatan yang diamanatkan. Memikul tanggung jawab besar tidak hanya dalam mengelola dan membangun fisik lingkungan dusun pada khususnya, namun juga harus mampu meningkatkan partisipasi masyarakat untuk membangun kepedulian dan kapasitas masyarakat sekitar agar apa yang telah diupayakan tidak sekedar menjadi sebuah fenomena semata, namun harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Peran yang dijalankan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Ngudi Subur dengan melibatkan seluruh masyarakat di Dusun Dringo merupakan cerminan sekaligus tantangan
bahwa
keberadaan
usaha
atau
industri
yang
tidak
hanya
mempertimbangkan aspek ekonomi semata, namun juga menghitung dampak yang ditimbulkan terkait aspek sosial dan ekologis di suatu wilayah dalam rangka mewujudkan kawasan atau sentra industri yang berwawasan lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini berupaya untuk mengungkap benang merah serta kaitan strategis antara eksekusi agenda pembangunan pemerintah daerah dengan implementasi nyata pada suatu wilayah sasaran, terkait upaya perwujudan kemandirian, ketangguhan dan ketahanan wilayah tersebut. Perspektif tersebut menjadi basis pemikiran dalam penelitian ini, sebab sebuah rencana berikut agenda eksekusi pembangunan dari pemerintah terhadap sebuah wilayah seringkali cenderung tidak tuntas hingga meninggalkan celah ketergantungan masyarakat pada wilayah yang menjadi sasaran pembangunan kepada pemerintah itu sendiri secara terus menerus.
9
1.2 Permasalahan Penelitian Keberadaan sebuah lingkungan industri akan selalu memiliki dampak buruk terhadap wilayah tempat berlangsungnya kegiatan industri tersebut jika tidak didukung oleh tata kelola yang sinergis antar stakeholders terkait. Mekanisme pendekatan pemberdayaan melalui Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Ngudi Subur dengan pendampingan pemerintah daerah setempat serta peran lembaga swadaya masyarakat pegiat lingkungan merupakan sebuah strategi atau kebijakan yang diterapkan dalam mengelola sebuah lingkungan industri di wilayah perdesaan sesuai dengan paradigma pembangunan berkelanjutan melalui konsep Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, secara umum pertanyaan penelitianyang dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peran Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Ngudi Subur sebagai pelaku industri dalam mengelola lingkungan industri berdasarkan konsep Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan? 2. Bagaimana implikasi atas pengelolaan lingkungan industri berdasarkan konsep Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Ngudi Subur terhadap ketahanan wilayah Dusun Dringo?
1.3 Keaslian Penelitian Terdapat beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan peran dan keberadaan Kelompok Swadaya Masyarakat dalam mengelola lingkungan dan
10
sumber daya alam di suatu wilayah khususnya perdesaan. Akan tetapi,berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, baik terkait dengan tema, lokasi, lingkup, batasan dan rumusan permasalahan penelitian, bahwa judul penelitian yaitu Peran Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Ngudi Subur dalam Mengelola Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan dan Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah (Kasus di Dusun Dringo, Desa Bendung, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta), sejauh pengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, diyakini bahwa penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Adapun perbandingan penelitian ini dengan penelitian lain dengan topik penelitian sejenis terkait peran sebuah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dalam pengelolaan lingkungan di suatu wilayah. Seperti penelitian yang dilakukan Tsung-hsiu Tsai dan Tse-fong Tseng (2002), dalam penelitian yang berjudul Kelompok Swadaya Pengelolaan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan. Penelitian ini menekankan bahwa wilayah perdesaan membutuhkan keberadaan Kelompok Swadaya Pengelolaan Lingkungan terkait pengelolaan lingkungan sesuai karakteristik wilayah perdesaan bersangkutan, tidak lagi mengacu pada kebijakan terpusat. Tujuan adanya Kelompok Swadaya Pengelolaan Lingkungan wilayah perdesaan adalah untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat desa setempat dan mengarahkannya pada peningkatan aspek ekologis, sosial dan ekonomi pada agenda pembangunan berkelanjutan wilayah perdesaan tersebut. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Bayu Hartono (2014), yang berjudulPeran Masyarakat dan Pemerintah Dalam Pengelolaan Air Limbah
11
Domestik di Sub DAS Gajah Wong, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sinergitas antara partisipasi dan peran masyarakat bersama dengan pemerintah terkait beragam kegiatan dan inventarisasi dampak lingkungan yang dihasilkan oleh air limbah domestik di Sub DAS Gajah Wong.Dalam penelitian ini, pemerintah dalam mengimplementasikan agenda strategisnya dengan membentuk kelompok masyarakat terpadu sebagai penanggungjawab sekaligus pengelola air limbah domestik dengan terbangunnya sarana IPAL dan septictank komunal, wc umum, dan bak penampungan air. Beberapa penelitian tersebut mengetengahkan konsep yang sejenis dengan penelitian yang peneliti lakukan, terkait peran dan keberadaan Kelompok Swadaya Masyarakat dalam pengelolaan lingkungan wilayah perdesaan, namun terdapat beberapa perbedaan substantif di dalamnya. Bahwa, penelitian ini dilakukan dengan obyek sebuah Kelompok Swadaya Masyarakat yang dinilai perannya dalam mengelola lingkungan industri tahu berdasarkan konsep Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan (Eco Industrial Park) sekaligus mengkaji implikasi yang ditimbulkan dalam meningkatkan performansi aspek ekologis, sosial dan ekonomi suatu wilayah. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan strategis atas latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu: 1. Menganalisis peran Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Ngudi Subur sebagai pelaku industri dalam mengelola lingkungan industri berdasarkan konsep Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan (Eco Industrial Park). 12
2. Mengkaji implikasi atas pengelolaan lingkungan industri berdasarkan konsep Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan (Eco Industrial Park) oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Ngudi Subur terhadap ketahanan wilayah Dusun Dringo.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memiliki dan memberi nilai manfaat untuk: 1. Saran, masukan, pertimbangan dan media umpan balik yang solutif dan konstruktif bagi upaya perbaikan kebijakan instansi pemerintah dan stakeholder
agar
dalam
merumuskan
sebuah
kebijakan
terkait
pembangunan terhadap suatu wilayah tidak lagi berorientasi sektoral, namun berorientasi sistem yang menyeluruh dan terpadu; 2. Sumbangan pemikiran dan referensi bagi peneliti lainnya dalam melakukan penelitian sejenis atau disiplin ilmu lain terkait lingkup pengelolaan lingkungan hidup, administrasi/ kebijakan publik dan ketahanan nasional; 3. Pribadi peneliti dalam pengembangan kapasitas dan kapabilitas diri untuk
turut menguatkan tekad dan pengayaan ilmu terkait perhatian khusus terhadap pembangunan berkelanjutan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.
13