BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kring…kring…bunyi bel sepeda, melenggang memecah jalanan desa yang sepi dan asri di kanan kiri tampak sawah yang hijau membentang. Membayangkan kembali keberadaan sepeda onthel atau pit kebo zaman dulu, menghadirkan kerinduan yang mendalam. Sepeda ini mayoritas digunakan oleh masyarakat Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Kini hanya beberapa orang yang masih setia mengayuhkan kakinya pada pit onthel tersebut, bahkan kebanyakan mereka itu adalah para orang tua yang masih menyimpan sepedanya dari dulu kala. Tidak dipungkiri jika perkembangan sepeda kini sudah semakin beragam dan canggih mengikuti kemajuan zaman dan selera pasar. Terbukti dengan munculnya sepeda fixie, balap dan jenis BMX. Tak jarang yang nampak hanyalah didasari karena gaya hidup atau pencitraan. Bersepeda pada zaman dulu memang merupakan alat transportasi yang murah dan digemari, sebelum akhirnya terlindas oleh sepeda motor buatan Cina yang banyak di pasaran. Kemudian akhir-akhir ini bersepeda lebih mengarah pada hobi, komunitas dan pegiatnya. Bukan lagi menjadi alat transportasi yang pokok. Sejak masuk ke Indonesia pada tahun 1914-1916, sepeda adalah alat transportasi utama yang digunakan pada masa kolonial Belanda. Kendaraan ini digunakan oleh para menteri dan pejabat pemerintah pada zaman kolonial. Maka sudah sepantasnya jika sepeda kuno dilestarikan karena dari segi sejarah sepeda juga berjasa sebagai alat transportasi pada masa perjuangan dulu.
2
Sesuatu yang kuno itu belum tentu usang, tidak terpakai dan ketinggalan zaman, namun ia justru unik dan mengandung nilai sejarah yang tinggi. Itulah arti sepeda kuno bagi komunitas VOC (Velocipede Old Classic) Magelang. Saat ini memang kehadiran komunitas penggemar sepeda onthel kuno atau pit kebo di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta semakin banyak. Sejumlah klub sepeda kini berdiri di sejumlah kota. Misalnya Velocipede Old Classsic (VOC) Magelang, Jogja Onthel Community (JOC) Yogyakarta, TAPOC di Muntilan, SOC Salam, MAOT Salaman, BSC Bantul, WOC Wates dan PSOC Klaten. Mendengar kata
VOC sekilas membuat kita teringat pada masa
penjajahan Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie,
yakni sebuah
perserikatan perusahaan Belanda yang memonopoli perdagangan Hindia (Indonesia) pada zaman penjajahan dulu. Namun VOC yang satu ini, Velocipede Old Classic tidak ada hubungannya sama sekali dengan penjajahan. Ini adalah sebuah perkumpulan penggemar sepeda kuno atau pit onthel. Selama hampir 10 tahun waktu yang cukup lama bagi komunitas ini untuk bertahan menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat luas. Berawal dari kecintaan akan sepeda onthel dan didorong oleh kebutuhan akan ruang berekspresi dan saling tukar pendapat mengenai hobi bersepeda, maka pada tanggal 18 Oktober 2003 VOC berdiri atas prakarsa Agung ‘Dragon’, Sigit Mulyono dan Tono. VOC ingin melestarikan alat transportasi berupa sepeda onthel dan mengemban misi mengampanyekan gerakan bersepeda yang menyehatkan. Selain itu kegiatannya juga banyak berlandaskan misi sosial, sejarah, budaya dan kemanusiaan. Hal utama yang ditekankan dalam komunitas ini adalah bagaimana keberadaannya
3
bisa memberi manfaat bukan hanya bagi anggota dan komunitasnya tetapi juga masyarakat luas, terlebih pada para pembuat kebijakan. Maka tidak mengherankan jika kreativitas komunitas ini sangatlah tinggi. Sebuah ide berkesenian yang unik muncul pada tahun 2006. Ketika sebuah acara yang dilaksanakan dalam rangka kegiatan penyuluhan narkoba, VOC yang didukung oleh Dinas Pendidikan Jateng mengadakan pementasan Wayang Onthel. Wayang Onthel di sini fungsinya adalah sebagai media komunikasi dan penyampaian informasi yang pada saat itu diadakan dalam rangka penyuluhan narkoba. Dari namanya sudah jelas wayang ini tidak terbuat dari kulit atau kayu melainkan dari rangkaian onderdil sepeda onthel, begitu juga dengan gunungannya. Ilustrasi musik dan ceritanya tidak seperti wayang klasik yang diambil dari kisah-kisah Ramayana dan Mahabarata. Iringan musiknya sendiri merupakan kolaborasi antara gamelan jawa (kendhang, saron, gong, demung) dengan alat yang terbuat dari onderdil sepeda seperti kunci ring, kunci pas, bel sepeda, jeruji, lagrangan, dan lain- lain. Meski dari onderdil sepeda, namun irama yang dilahirkan pun mampu mengimbangi irama gamelan. Wayang Onthel juga mempunyai sinden, lagu yang dilantunkan adalah gubahan diantaranya, Wayang Onthel Goyang Jakarta, Rewel, Ayo Bersepeda, Lir Ilir dan Sayonara. Dalam perjalanannya VOC bersama Wayang Onthel mempunya i dinamika yang beragam. Telah banyak pentas yang dilakukan Wayang Onthel di berbagai daerah dalam berkesenian dan menyalurkan aspirasi komunitasnya. Bahkan wayang kontemporer ini diyakini sebagai Wayang Onthel pertama yang ada di Indonesia. Sebagai penulis saya melihat bagaimana sebuah komunitas ini mampu hadir memberikan makna tersendiri dalam kehidupan sosial masyarakat
4
melalui ide- ide berkesenian yang unik. Wayang Onthel di sini menjadi sarana untuk menyampaikan aspirasi dalam mengkritisi kehidupan sosial masyarakat dengan segala permasalahannya. Tokoh dan penokohannya sangat sesuai jika dicerminkan dengan keadaan saat ini. Seperti tokoh ‘Roro Dhemes’ yang mewakili gambaran ABG (Anak Baru Gede)
zaman sekarang yang gaul,
mempunyai rasa gengsi yang besar, tidak mau naik sepeda onthel dan lupa pada kearifan-kearifan lokal di tanah Jawa. Wayang Onthel menjadi seni komedi dan parodi yang memang diperlukan pada sebuah masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan hak berpendapat. Sebab tanpa komedi dan tanpa parodi, kebudayaan dan masyarakat kita akan cenderung menjadi fasistik. Bisa dikatakan jika komunitas ini telah berpartisipasi dalam pembentukan kebudayaan kontemporer dan karakter bangsa yang kritis dan kreatif melalui ideide berkesenian Wayang Onthel.
B. Perumusan Masalah Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai hasrat untuk berkumpul dan menjalin relasi satu dengan yang lainnya. Dewasa ini keterbukaan akses dan semakin canggihnya teknologi telah memudahkan proses sosial tersebut. Suatu wadah bernama komunitas menjadi pilihan bagi sekelompok orang yang mempunyai ketertarikan pada hal yang sama. Cohen (1985: 15), “Komunitas merupakan ajang bagi seseorang untuk bisa belajar hidup sebagai makhluk sosial”. Perjalanan sebuah komunitas dalam tumbuh dan berkembang tidak lepas dari banyak faktor yang menyelingkupinya dari segi internal dan eksternal. Eksistensi VOC selama sembilan tahun tentunya menyimpan berbagai cerita pasang surut
5
yang menarik sebagai bahan pembelajaran. Di tengah komunitas-komunitas lain yang justru nampak setengah hati memperjuangkan misi komunitasnya. Bersama Wayang Onthel yang telah enam tahun pula mewarnai kesenian kreatif para pecinta sepeda onthel ini, mereka tumbuh bersama menjaring makna- makna kebudayaan. Sejalan dengan apa yang diungkap oleh Geertz, “Kebudayaan merupakan jaring- jaring makna yang dirajut oleh manusia” (Geertz, 1973). Dalam konteks komunitas penting untuk melihat komposisi anggotanya, posisi kaum muda apakah tersubordinasi dalam berkontribusi merajut jaring-jaring makna sebuah komunitas. Dalam mengkaji komunitas pecinta sepeda onthel dan Wayang Onthel ini, penulis ingin memaparkan permasalahan-permasalahan berkaitan dengan asal mula dan tujuan komunitas ini hadir di tengah masyarakat yang majemuk. Istilah komunitas dan perkembangannya dalam catatan sejarah mempunyai latar belakang masing- masing yang berbeda. Ketika pada abad ke 14 komunitas menunjukkan perbedaan status dan hubungannya. Baru pada abad ke 16 lah komunitas menunjuk pada “kesamaan” dalam identitas atau ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh sebuah kelompok. Sehingga kemudian muncul istilah community of interest. Hal inilah yang relevan dengan menjamurnya komunitas dewasa ini. Identitas yang mereka usung memberikan keberagaman warna yang jika diolah dengan baik menghasilkan kont ribusi yang sifatnya membangun. Maka penulis juga terdorong untuk melihat identitas di dalam VOC di tengah komunitaskomunitas lain terutama komunitas sepeda di berbagai daerah. Membicarakan tumbuh kembangnya komunitas dan produk kebudayaannya dalam hal ini Wayang Onthel pun tak lepas dari bagimana cara-cara untuk mempertahankan
6
eksistensinya dalam menghadapi tantangan ke depan. Eksistensi menjadi tantangan tersendiri bagi koordinator komunitas sebagai motor penggerak bagi anggota-anggotanya. C. Tujuan Menurut Locke (2007:9) tujuan penelitian adalah menunjukkan alasan mengapa penulis ingin melakukan penelitian dan apa yang ingin dicapai dari penelitian tersebut. Hal ini sering disebut dengan tujuan penelitian karena menggambarkan dari tujuan atau maksud dilakukannya penelitian dalam satu atau beberapa kalimat. Penulis mengangkat tema mengenai komunitas VOC dan produk kebudayaannya dengan tujuan ingin mengetahui antara lain: 1. Asal mula dan tujuan dari pembentukan komunitas ini serta dinamika perkembangannya. 2. Identitas komunitas dalam mengusung keberadaannya di tengah banyaknya komunitas lain yang bermunculan. 3. Cara-cara untuk mempertahankan eksistensi komunitasnya agar terus diterima dalam masyarakat luas dan tetap memberikan kontribusinya secara nyata.
D. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang akan penulis angkat dalam tulisan ini adalah: 1. Konsep komunitas dan Identitas dalam Old Bikers VOC Magelang 2. Kajian Budaya Alternatif (Subkultur) dalam dinamika komunitas
7
Komunitas merupakan ajang bagi seseorang untuk bisa belajar hidup sebagai makhluk sosial, Cohen (1985: 15). Kajian mengenai komunitas dalam antropologi tidak lepas dari sosok Victor Turner. Turner melakukan penelitian antropologik ritus dan simbol pada masyarakat Ndembu dan menghasilkan konsep mengenai liminalitas dan komunitas. Kemudian oleh Turner dibedakan antara konsep liminalitas (pre- industrial society) dengan liminoid (post-industrial society) dengan melihat proses kebudayaan dan keadaan masyarakat dewasa ini. Menurutnya komunita terjadi di dalam liminoid. Istilah “komunita” tersebut berasal dari bahasa latin communitas yang dapat diartikan “persekutuan”. Komunita menurut Turner sebagai cara relasi sosial antar pribadi yang konkret, yang langsung. Hubungan yang terjadi adalah hubungan yang lain dengan hubungan yang dialami dalam kehidupan sehari- hari. Dalam kehidupan seharihari relasi antar pribadi dialami dalam struktur, tidak langsung, tidak spontan, terbedakan. Sedangkan dalam komunita, rangkaian relasi sosial dialami sebagai antistruktur, langsung, spontan dan tak terbedakan. Turner menguraikan ciri-ciri komunita yang menunjukkan bahwa model hubungan yang terjadi dalam komunita itu berlainan dengan model dalam hubungan masyarakat sehari- hari. Hal ini yang mampu menjadi bentuk manifestasi komunita dewasa ini. Relevansinya adalah ketika Turner menyebutkan bahwa pengalaman liminal manusia tidak hanya terjadi dalam upacara- upacara atau ritus tetapi juga dalam kehidupan sehari- hari yang biasa. Cara penting untuk masuk ke dalam liminalitas adalah melalui seni, drama, musik, film, lukisan yang menciptakan sesuatu yang melampaui yang normal. Ritual komunita dalam VOC ya ng temporal dan spatial bisa dilihat dari adanya pertemuan-pertemuan, kegiatan pit-pitan, dsb.
8
Identitas merupakan aspek yang sangat luas di dalam kehidupan manusia. Identitas memiliki bermacam- macam bentuk representasi. Salah satu bentuk representasi identitas adalah dalam bentuk material sebuah objek yang menyimbolkan sebuah narasi kebersamaan (Anico dan Peralta, 2009: 1-12). Objek dapat mencerminkan identitas diri dan afiliasi antara individu dan masyarakat (Hooper-Greenhill 2000, 108-111). Ketika sebua h komunitas mengikrarkan keberadaannya di tengah masyarakat secara otomatis ia telah mengusung identitas yang membedakan komunitasnya dengan komunitas lain yang telah ada. Identitas menjadi bagian komitmennya dalam menjaga eksistensi komunitas. Dalam hal ini anggota-anggota dari komunitas VOC mengadopsi identitas yang mencirikan komunitas ini, melalui ekspresi kebudayaan dan pemberian makna. Melalui ekspresi berpakaian, memahami nilai- nilai tertentu dan cara bertingkah laku misalnya. Perwujudan tingkah laku yang jelas berbeda dengan kelompok yang lain. Dengan cara ini lah komunitas membangun wilayah kebudayaannya dan menunjukkan identitasnya. Berkaitan dengan identitas dan kebudayaan, Friedman memberikan beberapa definisi yang berbeda sebagai pemilahan atas identitas yang muncul ketika berhadapan dengan sebuah sistem: (1) objektif yang merupakan produk dari sistem yang lebih luas, berupa properti dari sistem sosial atau bagian dari perilaku dalam organisasi dan mempunyai makna, seperti dialek, gestur, gaya dari produksi dan konsusmsi dari perilaku religi dan simbol dari identitas dan nilai- nilai sosial, (2) identifikasi diri dari populasi atau identitas etnik yang eksklusif, seperti darah, bahasa, (3) diorganisasi bukan untuk kepentingan sistem tapi untuk keluar dari sistem tersebut dengan mengadakan resistensi.
9
Dalam kehidupan sosial, sering kali apa yang ada dan yang berlaku di masyarakat bertolak belakang dengan apa yang ada pada diri masing- masing orang. Setiap orang yang merasakan hal tersebut selalu menginginkan sebuah arena untuk mengaktualisasikan diri meskipun hal tersebut bertentangan dengan apa yang dimiliki atau dipegang atau dipercaya oleh masyarakat luas dan bentuk ini dikenal dengan istilah subkultur. Subkultur atau budaya alternatif banyak dihubungkan dengan anak muda yang merupakan suatu konstruksi diskursif. Telah banyak kajian mengenai subkultur yang lahir dan berkembang pasca perang. Berbagai bentuk musik, gaya, fesyen, aktivitas, waktu senggang, tarian dan bahasa-bahasa khas yang diasosiasikan dengan anak muda kala itu dan akhirnya menjadi persoalan dalam kajian budaya. Secara historis subkultur muncul dan hidup dalam beragam komunitas yang muncul pada era counter culture (budaya tanding) seperti komunitas teddy boy, mod dan rocker serta komunitas skinhead dan punk. “Sekalipun subkultur dapat dirunut ke belakang hingga pada kajian para sosiolog Universitas Chicago pada 1930-an mengenai geng- geng jalanan, adalah Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Universitas Brimingham- lah yang pada 1970-an menjadi pelopor pendekatan yang melihat subkultur bukan sebagai permasalahan yang mesti dicarikan pemecahan. Subkultur, sebaliknya, adalah budaya perlawanan yang harus diberi tempat. Subkultur adalah gejala budaya dalam masyarakat industri ma ju yang umumnya terbentuk berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolis ia diekspresikan dalam bentuk penciptaan gaya (styles) dan tidak semata- mata merupakan penentangan terhadap hegemoni atau solusi dari ketegangan sosial. Subkultur lebih jauh menjadi ruang bagi penganutnya untuk membentuk identitas yang memberikan mereka ‘otonomi’ dalam suatu tatanan sosial masyarakat industrial yang semakin kaku dan mengalienasi1 …”
1
Dikutip dari tulisan Dr. Nicolaas warouw pada lembar testimoni dalam Hebdige, Dick, 1999. Asal-Usul & Ideologi Subkultur Punk (terj.), Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.
10
Melalui motorbike boys, Willis melihat bahwa “perpaduan antara motor, derum, pengendara yang sedang melaju” mengekspresikan budaya, nilai, dan identitas- identitas para motor bikeboys. “Kesolidan, kecekatan resiko, kekuatan motor itu cocok dengan sifat dunia para bikeboys yang konkret dan aman” (Willis, 1978:53). Bagi Willis, subkultur menghidupkan beberapa kritik dan ilham dalam kapitalisme kontemporer dan kebudayaannya. Bagi kajian budaya (cultural studies), kata kultur dalam istilah subkultur mengacu pada “keseluruhan cara hidup” atau “peta-peta makna” yang memungkinkan anggota kultur atau budaya tersebut dapat memahami dunia, awalan “sub” berkonotasi dengan kekhasan dan perbedaan dari masyarakat dominan atau “mainstream”. Dengan demikian, pendefinisian atribut “subkultur” tergantung pada penekanan yang diberikan pada pembedaan antara suatu kelo mpok sosial atau budaya tertentu dengan kebudayaan atau masyarakat yang lebih luas. Penekanannya disini adalah pada keragaman yang ada pada kolektivitas yang lebih luas yang secara gampang, tapi sebenarnya problematis, ditempatkan sebagai yang normal, rata-rata, dan dominan. Dengan kata lain, subkultur dikutuk dengan dan atau menikmati suatu kesadaran “kelainan” (“otherness”) atau perbedaan. (Thornton, 1997: 5) Sementara itu Hebidge dengan kajian punk nya memandang bahwa punk bukan sekedar merespons krisis kemunduran Inggris yang termanifestasi dalam pengangguran, kemiskinan, dan perubahan-perubahan standar moral; yang dilakukan punk adalah men-dramatisasikan-nya. Subkultur menyerupai “kegaduhan/suara” (dibedakan dengan bunyi); berbagai gangguan dalam urutan yang tertata yang bersumber dari kejadian-kejadian nyata dan fenomena pada representasinya di media. Karena itu sebaiknya kita tidak meremehkan kekuatan subkultur sekadar sebagai sebuah metafora yang melambangkan kemungkinan anarki “di luar sana”. Subkultur juga merupakan mekanisme perusakan tatanan semantic yang nyata; semacam blokade sementara dalam sistem reperesentasi. (Hebdige, 1979: 90)
11
Punk menggunakan bahasa media tentang krisis, mendaur ulang bahasa itu dengan ekspresi tubuh dan visual. Gayanya diciptakan dengan memadukan hal- hal yang membangkang dan abnormal: pin-pin pengaman, bin liner, rambut dan wajah yang dicat, kaos-kaos bergrafiti (perlengkapan bondage kulit, stoking jaring ikan, dan lain- lain). Benda dalam hubungannya dengan sang pemilik tidak hanya sekedar berhubungan secara fungsional atau instrumental. Benda-benda bisa juga diletakkan dalam perspektifnya sebagai simbol bagi sesuatu yang lain. Disini kegunaan benda selalu dilingkupi oleh konteks budaya. Benda-benda bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu, namun juga bertindak sebagai tanda-tanda makna dalam hubungan sosial. Arjun Appadurai (1986) menyatakan bahwa, walau dari sudut teoritis manusia sebagai pelaku yang memaknai benda-benda, namun dari sudut metodologis pergerakan bendalah yang menghiasi konteks sosial dan kemanusiaan mereka. Melalui pendekatan ini, penulis ingin mengetahui kemunculan komunitas ini dalam menempatkan sepeda onthel dan produk kebudayaannya yakni Wayang Onthel. Bagaimana sepeda tua ini tidak hanya dihargai sebatas kemampuannya memindahkan (medium transportasi) namun juga melihat apa maknanya sebagai bagian dari kode simbolik yang tua kuno, tapi berdaya, berharga bahkan bagi orang lain. Sepeda onthel yang mampu menghasilkan kreativitas Wayang Onthel menjadi suatu optimalisasi diri atas kondisi yang terbatas. Kebudayaan yang dibentuk kemudian harus dilihat sebagai budaya diferensial (Friedman, 1995; Miller, 1995) yang tumbuh akibat dari adanya interaksi yang terus- menerus antarmanusia, kelompok, dan lingkungan yang terus- menerus mengalami perubahan.
12
Eksistensi menjadi hal yang penting bagi sebuah komunitas untuk tetap hidup dan berkembang di tengah kemunculan komunitas lain, terlebih agar keberadaannya bisa terus diterima oleh masyarakat luas. Beragam cara bisa dilakukan seiring dengan praktik-praktik simbolik yang coba disalurkan pula. Hal ini sejalan dengan pernyataan Peter Worsley, “Cultures traits are not absolutes or simply intellectual categories, but are invoked to provide identities with legitimize claims to rights. They are strategies or weapon in competitions over scarce social goods” (dalam Eriksen, 1993: 36). Bahwa kebudayaan itu tidak melulu secara absolut atau mutlak menjadi kategori intelektual saja, tetapi memberi identitas untuk mendapatkan pengakuan, dan dengan itu menjadikannya sebuah strategi atau senjata ketika ia berkompetisi dengan yang lain. Maka Wayang Onthel yang mengandung kode-kode simbolik dan mewakili identitas milik VOC menjadi senjata komunitas ini dalam berinteraksi dan berkompetisi dengan komunitas lain. Banyak komunitas yang berbondong-bondong melakukan kegiatan bakti sosial atas nama kemanusiaan dan mengusung keberadaan komunitasnya, menegaskan bahwa mereka ada (exist). Namun ada cara berbeda yang tidak biasa dilakukan oleh komunitas lain, bahkan oleh masyarakat lain yang coba dilakukan oleh VOC. Kemampuan tersebut bisa kita lihat dari penjelasan Homi K. Bhabha (1994: 34) bahwa “Culture only emerges as a problem, or a problematic, at the point at which there is a loss contestation or articulation of everyday life, between classes, genders, race, nation”. Karena pada dasarnya manusia berproses dan berekspresi melalui berbagai cara termasuk seni. Kita menghasilkan gagasan-gagasan yang diwujudkan melalui tindakan tertentu dan disinilah letak sebuah identitas itu muncul. Proses penegasan identitas dalam eksistensi yang penting bagi sebuah
13
komunitas, apapun bentuknya dan bisa dengan berkesenian misalnya. Pada akhirnya melalui eksistens i mereka hidup, diakui dan diterima masyarakat luas.
E. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di berbagai tempat disesuaikan dengan kondisi informan, tempat berkumpul, tempat latihan maupun lokasi pementasan. Adapun basecamp atau tempat yang biasa digunakan berkumpul oleh VOC terletak di Sekaran Banyurojo RT 2 RW 5 Mertoyudan Magelang, yang merupakan kediaman dari anggota VOC dan pegiat Wayang Onthel pula. Sedangkan lokasi latihan Wayang Onthel dilakukan tidak jauh dari basecamp tersebut yakni di area Pasar Sekaran, latihan biasa dilakukan pada malam hari ketika mendekati sebuah pementasan maupun acara tertentu yang membutuhkan kehadiran Wayang Onthel, seperti hajatan pernikahan, sunatan, bahkan pengambilan gambar untuk liputan sebuah program di televisi. Dengan melihat lokasi pementasan Wayang Onthel yang tersebar di berbagai tempat, penulis memilih cakupan daerah pementasan di sekitar Magelang, untuk memudahkan koordinasi dan pengambilan data lapangan. Adapun penulis berkesempatan mengikuti pementasan Wayang Onthel di Hotel Puri Asri Magelang pada tanggal 8 November 2012 dalam acara Konven Pendeta dan hajatan pernikahan di Wonosobo pada tanggal 5 Januari 2013. Beberapa anggota VOC yang aktif pula dalam Wayang Onthel juga mempunyai sebuah sanggar di daerah Candi Borobudur, Magelang. Maka penulis juga mengambil lokasi penelitian di daerah Borobudur di mana mereka tergabung ke dalam KSBI (Komunitas Seniman Borobudur Indonesia). Beberapa pertemuan dan wawancara
14
juga dilakukan penulis di daerah dukuh Magelang sebagai tempat tinggal dari motor penggerak VOC, yakni Agung “Dragon”. Beberapa wawancara juga berkembang dari lokasi- lokasi kegiatan VOC seperti dalam acara Magelang Tempoe Doeloe yang berlokasi di Karesidenan Kedu.
2. Pemilihan Informan Menyadari komunitas ini telah berjalan selama sembilan tahun lebih maka penulis membutuhkan banyak responden yakni anggota-anggota komunitas ini bagi variatifnya data. Selain itu juga beberapa pegiat Wayang Onthel yang melakoni kesenian tersebut secara langsung. Penulis lebih menekankan pengambilan data dari perspektif para pelaku kebudayaan atau native’s point of view. To grasp native’s point of view adalah suatu teknik dari praktik pengalaman dekat, sebagaimana dikatakan Geertz: …seeing things from the native's point of view" means. But it does not make it any easier, nor does it lessen the demand for perceptiveness on the part of the fieldworker. To grasp concepts that, for another people, are experience-near, and to do so well enough to place them in illuminating connection with experience-distant concepts theorists have fashioned to capture the general features of social life, is clearly a task at least as delicate. (Geertz, 58: 1983) Beberapa responden dalam komunitas ini sangat penting bagi variatifnya data. Maka dari itu penulis berusaha mengambil native’s point of view baik dari koordinator komunitas ini serta anggota-anggota VOC maupun pegiat Wayang Onthel.
15
3. Metode Pengumpulan Data
Sebuah penelitian tanpa adanya metode seperti rumah tanpa pondasi bangunan. Penulis menyadari pentingnya metode penelitian dalam kajian Antropologi dan ilmu lainnya. Selama melaksanakan penelitian penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pada tahap awal penelitian penulis mengandalkan observasi dan partisipan (kedekatan) dengan subjek penelitiannya dalam hal ini komunitas VOC. Kedalaman komunikasi yang intens dengan subjek penelitian menjadi hal penting bagi kelancaran pengambilan data secara wawancara mendalam (indepth interview). Sebab metode indepth interview, bertujuan untuk menemukan dan mengetahui kebudayaan informan yang diteliti (Spradley, 1997:114). Sehingga diperoleh pemahaman pandangan dari sudut pandang informan (native’s point of view). Sehingga data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Oleh karena itu penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang lain dan belajar berbagai hal dari mereka (Spradlay, 1997:3). Selama proses penelitian penulis juga melakukan observasi partisipan
16
ketika latihan dan pementasan Wayang Onthel berlangsung. Apa yang ada di lapangan bisa ditangkap secara nyata dan menjadi bahan penulisan bagi penelitian ini selain bisa merasakan pengalaman langsung berada di tengah-tengah komunitas VOC dan pegiat Wayang Onthelnya.