BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung Berdasarkan struktur anatomi, jantung hewan mamalia terbagi menjadi 4 ruang yaitu atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan kanan, serta memiliki empat katup, yaitu dua katup atrio ventrikular (AV) yang terdiri dari katup trikuspidalis dan katup bikuspidalis. Dua katup semilunar yang terdiri dari katup aorta dan katup pulmonari. Jantung juga memiliki sistem sirkulasi sistemik yaitu berupa aorta, arteri, arteriole dan kapiler. Sedangkan sistem sirkulasi pulmonik terdiri dari vena cava, vena dan venula (Cunningham, 2002).
Gambar 1. Gambaran penampang jantung (O’Grady dan O’Sullivan, 2004)
4
5
Jantung memiliki tiga tipe otot utama yakni : otot atrium, otot ventrikel dan serabut otot eksitatorik dan konduksi khusus. Tipe otot atrium dan otot ventrikel berkontraksi dengan cara yang sama seperti otot rangka, hanya saja durasi kontraksi otot-otot tersebut lebih lama. Sebaliknya, serabut-serabut khusus ekstitatorik dan konduksi berkontraksi dengan lemah sekali sebab serabut-serabut ini hanya mengandung sedikit serabut kontraktil yang memperlihatkan pelepasan muatan listrik yang berirama yang otomatis (Guyton dan Hall, 2008). Kekuatan kontraksi jantung, kecepatan denyut jantung serta aliran darah dipengaruhi dan dikontrol oleh syaraf otonom yang berpusat pada medulla oblongata. Otot jantung diinervasi oleh sistem syaraf simpatis dan parasimpatis, stimulasi syaraf-syaraf parasimpatis (vagus) cenderung untuk menghambat kerja jantung dengan menurunkan daya kontraksi dari otot jantung. Sebaliknya, rangsangan syaraf simpatis akan bekerja meningkatkan aktivitas jantung dan tenaga kontraksi, kecepatan kontraksi, kecepatan konduksi impuls dan aliran darah (Frandson, 1992) dalam (Swedianto, 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung adalah jenis hewan, ukuran tubuh, umur dan jenis kelamin, sedangkan kondisi fisiologis yang dapat meningkatkan frekuensi jantung yaitu laktasi, shock, pergerakan atau exercise, posisi hewan, saat makan dan pengaruh lingkungan seperti suhu (Cunningham, 2002; Gavahan, 2003). Jantung dibentuk oleh tiga jenis sel eksitasi yaitu sel pacu jantung (pacemaker), sel penghantar listrik (konduksi) dan sel miokardium. Sel pacemaker sebagai dominan berada di nodus sinoatrial (SA) mencetuskan
6
impuls bergantung aktivitas syaraf otonom. Sel konduksi seperti halnya kabel sirkuit, dimana sel ini menghantarkan arus listrik dengan cepat dan efisien ke seluruh jantung. Sedangkan sel miokardium bertanggung jawab terhadap kontraksi dan relaksasi berulang sehingga dapat mengalirkan darah ke seluruh tubuh (Thaler, 2009). Peristiwa permulaan denyut jantung hingga denyut jantung berikutnya disebut siklus jantung. Siklus jantung diawali oleh pembentukan potensial aksi yang spontan dari nodus SA. Nodus SA terletak pada dinding lateral superior atrium kanan dekat tempat masuk vena cava superior dan potensial aksi menjalar dari sini dengan kecepatan tinggi menuju sel-sel yang ada pada kedua atrium dan melalui berkas A-V menuju ventrikel melalui sistem konduksi jantung (Guyton dan Hall, 2008). Sistem konduksi jantung yang menyalurkan arus bioelektrik yang jauh lebih cepat dan lebih efisien dibandingkan sel-sel jantung lain, maka gelombang depolarisasi jantung yang berasal dari nodus SA akan merambat lebih cepat mengikuti urutan jalur sistem konduksi ini, yaitu dari nodus SA menuju ke nodus AV, sesudah itu berjalan mengikuti berkas His dan membelok sedikit ke arah ventrikel kanan sesuai dengan percabangan berkas His, kemudian melalui septum menuju ke apex melalui serabut Purkinje dan menyebar ke kedua ventrikel (Cunningham, 2002; Boswood, 2008).
7
Gambar 2. Konduksi jantung, Sumber: Jiang dan Mangharam (2013).
Muatan listrik sel-sel jantung dalam keadaan normal mengalami depolarisasi dan repolarisasi. Pada keadaan istirahat (repolarisasi) maka muatan listrik di luar sel positif dan di dalam sel negatif. Pada keadaan depolarisasi maka muatan listrik di luar sel negatif dan di dalam sel positif. Fase depolarisasi, terjadi akibat penyebaran rangsang. (Atkins et al., 1995; Guyton dan Hall, 2008). Depolarisasi dan repolarisasi ini merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus agar jantung tetap berdenyut. Kedua proses ini saling bergantung satu sama lain. Depolarisasi hanya dapat timbul setelah sel dalam keadaan repolarisasi, sebaliknya repolarisasi baru terjadi setelah sel berdepolarisasi (Schwartz et al., 2002). Tabel 1. Muatan Listrik Sel Otot Jantung. Keadaan Sel Otot Istirahat / Repolarisasi Depolarisasi (Sumber: Widjaja, 2009)
Muatan Listrik Di luar Sel Di dalam Sel Positif Negatif Negatif Positif
8
Gambar 3.
Gambar Konduksi jantung yang digambarkan pada kertas EKG (http://faculty.ksu.edu.sa)
2.2 Elektrokardiogram Menurut Atkins et al (1995), pengertian elektrokardiogram (EKG) adalah gambaran rekaman dari potensial listrik yang dihasilkan oleh miokardium selama fase perbedaan siklus jantung. EKG merupakan salah satu alat diagnosa untuk memastikan adanya gangguan jantung, dari serangkaian pemeriksaan biasa yang dilakukan oleh dokter hewan dalam menentukan penyakit pasiennya (Battaglia, 2007). Manfaat penggunaan elektrokardiogram yaitu untuk mendeteksi kelainan-kelainan irama dan frekuensi jantung, mendeteksi adanya hipertropi jantung, mendeteksi kemungkinan adanya gangguan metabolisme, gangguan elektrolit dan membantu diagnosa serta pengobatan dari masalah irama jantung (Boswood, 2008).
Elektrokardiografi
adalah
ilmu
yang
mempelajari
tentang
9
elektrokardiogram. Elektrokardiograf adalah alat yang digunakan untuk melihat rekaman EKG dan denyut jantung (Cunningham, 2002). Saat impuls jantung melewati jantung, arus listrik juga akan menyebar dari jantung ke dalam jaringan didekatannya disekeliling jantung. Sebagian kecil dari arus listrik ini akan menyebar ke segala arah diseluruh permukaan tubuh sehingga dapat terekam oleh elektroda EKG yang ditempelkan kebagian tubuh (Guyton dan Hall, 2008). Sepasang elektroda yaitu satu elektroda positif (anode) dan satu elektroda negatif (katode) (Schwartz et al., 2002). Pasangan elektroda dalam perekaman EKG dinamakan sadapan atau hantaran atau disebut juga lead (Kertohoesodo, 1987). Sadapan EKG standar pada hewan biasanya menggunakan sadapan ekstremitas, yang terdiri dari enam sadapan. Enam sadapan standar direkam dari elektroda yang dipasang pada ekstremitas. Enam sadapan ekstremitas terdiri dari tiga buah sadapan bipolar standar, yaitu sadapan I, II dan III, serta tiga buah sadapan lengan sebagai sadapan tambahan, yaitu aVR, aVL dan aVF (Hampton, 2006; Thaler, 2009). Sadapan ekstremitas bipolar standar, yaitu: Sadapan I dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kiri sebagai kutub positif dan lengan kanan sebagai kutub negatif. Sudut orientasi 0o (Thaler, 2009). Menggambarkan perbedaan potensial antara lengan kanan (RA) dan lengan kiri (LA), dimana LA bermuatan lebih positif dari pada RA (Widjaja, 2009). Sadapan II dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub positif dan lengan kanan
10
sebagai kutub negatif. Sudut orientasi 60o (Thaler, 2009). Menggambarkan perbedaan potensial antara lengan kanan (RA) dan tungkai kiri (LL) (Widjaja, 2009). Sadapan III dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub positif dan lengan kiri sebagai kutub negatif. Sudut orientasi 120o (Thaler, 2009). Menggambarkan perbedaan potensial antara lengan kiri (LA) dan tungkai kiri, dimana LL bermuatan lebih positif dari LA (Widjaja, 2009). Sadapan ekstremitas tambahan menurut Thaler (2009): Sadapan aVL dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kiri sebagai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasi -30o. Sadapan aVR dibuat dengan cara menjadikan lengan kanan sebagai kutub positif dan ektremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasi -150o. Sadapan aVF dibuat dengan cara tungkai sebagai kutub positif dan ektremitas lainnya sebagai kutub negatif. Sudut orientasi +90o.
Gambar 4. Gambaran sudut orientasi pada enam sadapan ekstremitas yang bergantian sebagai kutub positif atau negatif (Martin, 2007).
11
Menurut Karim dan Kabo (1996), ada tiga dasar hukum EKG dari Goldberger yaitu: 1. Arus depolarisasi jantung yang merambat menuju ke elektroda positif (meninggalkan elektroda negatif) menimbulkan defleksi positif. 2. Arus depolarisasi jantung yang merambat menuju elektroda negatif (meninggalkan elektroda positif) menimbulkan defleksi negatif. 3. Arus depolarisasi jantung yang bergerak tegak lurus terhadap sumbu antara dua elektroda menimbulkan defleksi bifasik.
Tabel 2. Arah Defleksi Jantung Arah Impuls Menuju Elektroda (Positif) Menuju Elektroda (Negatif) Menuju kemudian menjauhi Elektroda (Sumber: Widjaja, 2009)
Arah Defleksi Ke atas (Positif) Ke bawah (Negatif) Bifasik
Hubungan antara gambaran elektrokardiogram dengan siklus jantung terlihat pada gelombang-gelombang P, Q, R, S dan T yang terekam pada elektrokardiogram. Gelombang-gelombang ini merupakan tegangan listrik yang ditimbulkan oleh jantung dan direkam oleh elektrokardigraf dari permukaan tubuh (Guyton dan Hall, 2008). Penjelasan mengenai gelombang P, Q, R, S dan T pada sadapan II adalah sebagai berikut: 1. Gelombang P menggambarkan aktivitas depolarisasi atrium dan arah gelombang P normal selalu positif di II dan selalu negatif di aVR (Widjaja,
12
2009). Gelombang P pada elektrokardiogram mewakili aktivasi listrik pada atria miokardium sewaktu mengadakan depolarisasi. Setengah bagian pertama gelombang P mewakili depolarisasi atrium kanan dan setengah bagian yang lain mewakili depolarisasi atrium kiri. Gelombang P yang normal berupa defleksi positif. Kepentingan gelombang P yaitu untuk menandakan adanya aktivitas atrium, menunjukkan arah aktivitas atrium dan menunjukkan tanda-tanda hipertropi atrium (Gavahan, 2003). 2. Gelombang Q adalah defleksi ke bawah yang pertama dari kompleks QRS (Widjaja, 2009). Gelombang Q adalah defleksi negatif yang ditimbulkan oleh arus depolarisasi yang berjalan menjauhi sadapan yang bersangkutan. Dengan kata lain gelombang Q menggambarkan awal dari fase depolarisasi ventrikel. Kepentingan gelombang Q yaitu menunjukkan adanya infark otot jantung. Gelombang Q yang normal harus memenuhi kriteria yaitu berupa defleksi negatif (Martin, 2007). 3. Gelombang R adalah defleksi positif pertama dari kompleks QRS (Widjaja, 2009). Menggambarkan fase depolarisasi ventrikel. Kepentingan gelombang R untuk menandakan adanya pembesaran ventrikel kiri dan hambatan pada serabut jantung kiri atau left bundle branch block (Martin, 2007). 4. Gelombang S adalah defleksi negatif sesudah gelombang R (Widjaja, 2009). Gelombang S menggambarkan fase depolarisasi ventrikel kanan. Kepentingan gelombang S yaitu untuk mengetahui adanya pembesaran ventrikel kanan dan hambatan pada serabut jantung kanan atau right
13
bundle branch block. Gelombang S yang normal berupa defleksi negatif setelah gelombang R (Martin, 2007). 5. Gelombang T merupakan gambaran fase repolarisasi ventrikel (Widjaja, 2009). Gelombang ini muncul sesaat sesudah berakhirnya segmen. Arah normal gelombang T sesuai dengan arah gelombang utama kompleks. Kepentingan gelombang T yaitu untuk mengetahui adanya infark jantung dan gangguan elektrolit (Gavahan, 2003; Schwartz, 2002). 6. Kompleks QRS menggambarkan seluruh fase depolarisasi ventrikel atau penyebaran impuls di seluruh ventrikel. Secara klinis memiliki arti yang sangat penting dari seluruh gambaran EKG. Terdapat tiga komponen yang membentuk kompleks QRS yaitu gelombang Q, gelombang R dan gelombang S. Bentuk kompleks QRS ditentukan oleh arah dan besarnya arus depolarisasi ventrikel terhadap sadapan EKG dari waktu ke waktu, sehingga setiap sandapan EKG akan merekam gambaran kompleks QRS yang berbeda (Gavahan, 2003). 7. Interval PR adalah arah antara permulaan gelombang P sampai dengan permulaan kompleks QRS. Interval P mewakili waktu yang dibutuhkan oleh impuls dari nodus SA berjalan melewati nodus AV sampai ke berkas His. Gangguan konduksi sepanjang jalur ini akan menyebabkan perubahan interval (Gavahan, 2003). 8. Interval QT adalah jarak antara permulaan gelombang Q sampai dengan akhir gelombang T. Jadi menggambarkan lamanya aktivitas depolarisasi dan repolarisasi ventrikel (Widjaja, 1990).
14
9. Segmen PR adalah gelombang pada saat depolarisasi atrium jantung berakhir hingga bagian awal ventrikel jantung akan berdepolarisasi. Penghantaran depolarisasi tersebut sangat kecil sehingga yang terekam berbentuk garis isoelektris pada kertas EKG (Luna, 2007). 10. Segmen ST adalah mewakili fase permulaan repolarisasi ventrikel. Pengukuran segmen ST dari kompleks QRS akhir sampai durasi gelombang T (Gavahan, 2003).
Gambar 5. Gambaran gelombang yang dihasilkan mesin EKG melalui kertas. Sumber: (O’Grady dan O’Sullivan, 2004). Telemetri merupakan mesin EKG yang dipakai untuk mengamati aktivitas jantung sehari-hari dalam jangka waktu tertentu. Telemetri memiliki sadapan yang diletakkan pada tubuh hewan dan akan merekam aktivitas bioelektrik jantung (Battaglia, 2007). Elektroda terbuat dari materi-materi yang dapat menjamin resistensi yang rendah antara kulit dan permukaan elektroda. Berdasarkan polaritasnya, elektroda EKG dibagi menjadi elektroda positif (anode), negatif (katode) dan netral (“ground electrode”). Elektroda
15
diperlukan untuk merekam gambaran EKG yang ditempatkan pada kaki depan dan belakang. Elektroda warna merah digunakan pada kaki depan kanan, warna kuning digunakan pada kaki depan kiri, warna hijau digunakan pada kaki belakang kiri, warna hitam digunakan pada kaki belakang kanan (Battaglia, 2007). Mesin EKG beserta elektroda dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Mesin EKG model Fukuda M-E C110 “Cardisuny” dan Elektroda. (Sumber : Dokumentasi pribadi)
Pada kertas EKG terdapat kotak-kotak dalam ukuran millimeter (mm), dimana satu kotak kecil berukuran 1 mm x 1 mm dan satu kotak sedang berukuran 5 mm x 5 mm. Umumnya, pada setiap kotak sedang terdapat satu garis tanda yang menunjukkan panjang kertas EKG ialah 5 x 5 mm = 25 mm. Pada rekaman EKG telah ditetapkan bahwa kecepatan rekaman adalah 25 mm/detik dan kekuatan voltage adalah 1 milivolt (mV) = 10 mm atau 0,1 mV = 1 mm, durasi 0,4 detik = 10 mm atau 0,04 detik = 1 mm (Widjaja, 2009).
2.3 Silasin Silasin merupakan golongan alpha2-adrenoceptor stimulant yang menyebabkan tertekannya sistem syaraf pusat memberikan efek sedasi,
16
analgesik dan pada akhirnya ketidaksadaran karena teranestesi. Silasin menyebabkan relaksasi otot, muntah dan menekan termoregulator. Bekerja sebagai penghambat pelepasan norepineprin dan insulin. Efek agonis silasin pada
reseptor
alpha
terletak
di
jantung
dengan
menekan
sistem
kardiovaskular (Seymour dan Novakovski, 2007; Adams, 2001). Menurut Dart (1999), sebagai agen sedativa sering digunakan pada hewan anjing, kucing, kuda untuk handling, bedah minor. Silasin sering juga digunakan sebagai agen preanestesi. Kelemahan silasin adalah efek analgesik yang tidak dapat diukur, mengakibatkan bradikardia jantung, aritmia, hipotensi, hipoventilasi dan menghasilkan efek seperti tertidur.
2.4 Ketamin Ketamin adalah anestetikum golongan nonbarbiturat golongan disosiatif anestesi, yaitu pada dosis rendah dapat sebagai preanestesi dan pada dosis yang lebih tinggi dapat sebagai anestesi umum. Ketamin merupakan analgesik yang kuat dan reaksi anestesinya tidak menyebabkan mengantuk (Kul et al., 2001). Ketamin memperpanjang kerja Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang merupakan zat penghambat neurotransmiter di otak dengan cara menghambat pengikatannya pada ujung syaraf (Cullen, 1997). Reseptor GABA dapat merubah permeabilitas ion Cl- dan menyebabkan pelepasan norepineprin pada syaraf simpatis. Pelepasan GABA pada medula spinalis dapat menyebabkan depolarisasi (Adams, 2001). Selain menghambat kerja
17
GABA, ketamin juga dapat menghambat pelepasan serotonin, norepineprin dan dopamin pada sistem syaraf pusat (Plumb, 2005). Efek secara langsung dari ketamin dapat menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan norepineprin. Pada sistem kardiovaskular, ketamin dapat menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung (takhikardia) dan tekanan darah (Adam, 2001). Ketamin
juga
dapat
mengubah
aktivitas
listrik
jantung
dengan
memperpanjang interval PR dan QT, tetapi tidak mempengaruhi bentuk gelombang EKG (Karim dan Kabo, 2002; McKelvey dan Hollingshead, 2003).
2.5 Kombinasi Ketamin dan Silasin Menurut Steve et al., (1986) pemberian anestesi kombinasi ketamin dan silasin pada anjing dapat mengakibatkan penurunan frekuensi denyut jantung, output jantung, volume stroke, efektifitas ventilasi alveolar, arterial PO2, transport oksigen dan peningkatan secara nyata pada resistensi pembuluh darah. Menurut (Wandia, 2010), pembiusan pada monyet yang dilakukan biasanya menggunakan kombinasi ketamin HCl 10 mg/kg Berat Badan (BB) dan silasin 1 mg/kg BB. Penelitian lain menyebutkan bahwa kombinasi atropin (0,05 mg/kg BB) silasin (2 mg/kg BB) ketamin (7,5 mg/kg BB) adalah kombinasi anestesi parenteral terbaik. Karena mempunyai resiko paling minimal terhadap denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, CO2 respirasi, kekuatan kontraksi jantung, durasi kontraksi dan relaksasi jantung, serta tekanan darah anjing lokal (Sudisma, 2004).
18
2.6 Monyet Ekor Panjang Monyet ekor panjang hidup pada hutan primer dan sekunder mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Pada wilayah dataran tinggi, jenis monyet ini biasanya dijumpai di daerah pertumbuhan sekunder atau pada daerah-daerah perkebunan penduduk. Sering juga ditemukan di hutan bakau sampai ke hutan dekat perkampungan (Supriatna dan Hendra, 2000).
Gambar 7. Monyet Ekor Panjang Jantan Dewasa (Macaca fascicularis). Sumber : Dokumentasi Pribadi.
Perbedaan jantan dan betina secara morfologis terletak pada perkembangan alat kelamin. Sementara untuk kelompok umur pada monyet dibedakan berdasarkan aktifitas harian dan ukuran tubuh. Jantan dewasa (Adult male) mempunyai ukuran tubuh relatif besar dengan berat 5-9 kg, tegap dan kuat serta lebih agresif dan lincah. Memiliki dada yang lebar dan mengecil pada bagian pinggang, memiliki jambang yang lebih pendek dari
19
betina. Jantan dewasa memiliki penis yang kecil dengan scrotum yang berbentuk tombol bundar, seperti pada Gambar 7. Pada betina dewasa (adult female) memiliki ukuran tubuh 50-75% dari ukuran jantan dewasa dengan berat sekitar 3-6 kg dengan jambang yang terlihat lebih lebat dan kumis yang agak panjang. Kelenjar mammae berkembang dengan baik serta prilaku yang lebih tenang. Individu pradewasa (remaja) mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dari pada individu dewasa dengan warna tubuh yang lebih kecoklat-coklatan dan sudah tidak ada jambul pada kepalanya. Individu yang tergolong anak (juvenile) mempunyai ukuran tubuh lebih kecil daripada individu pradewasa, sudah lepas dari induknya (bergerak secara independent) dan biasanya memiliki tingkah laku bermain yang lebih menonjol dari individu kelompok umur lainnya. Sedangkan individu yang masih bayi (infant) berwarna hitam terlihat jelas berada di dalam gendongan betina dewasa ataupun menggelantung pada perut (Napier dan Napier, 1967).
2.7 Kerangka Konsep Perangsangan kelistrikan jantungnya dipengaruhi oleh Nodus Sinosus (SA) dan Sistem Saraf Pusat (SSP) dalam hal ini adalah otak. Sistem konduksi jantung yang menyalurkan arus bioelektrik yang jauh lebih cepat dan lebih efisien dibandingkan sel-sel jantung lain, maka gelombang depolarisasi jantung yang berasal dari nodus SA akan merambat lebih cepat mengikuti urutan jalur sistem konduksi ini, yaitu dari nodus SA menuju ke nodus AV, sesudah itu berjalan mengikuti berkas His dan membelok sedikit ke arah ventrikel kanan sesuai dengan percabangan berkas His, kemudian
20
melalui septum menuju ke apex melalui serabut Purkinje dan menyebar ke kedua ventrikel (Cunningham, 2002; Boswood, 2008). Peran dari Nodus SA menjadi penting karena merupakan sumber utama kelistrikan jantung, adapun peran dari SSP adalah menurunkan dan meningkatkan kontraksi dari jantung. Dalam penelitian ini yang menggunakan monyet ekor panjang yang kehidupannya masih liar dialam dan ditangkap dengan pemberian anestesi kombinasi ketamin dan silasin. Pemberian agen kombinasi anestesi ketamin dan preanestesi silasin menyebabkan blocking pada SSP (Otak) sehingga otak tidak bisa mempercepat atau memperlambat denyut jantung. Untuk itu akan dilihat di Sadapan II bagaimana elektrokardiogram dari amplitudo gelombang P, kompleks QRS dan gelombang T; durasi gelombang P, kompleks QRS; Interval PR, Interval QT, Interval RR, Segmen PR, Segmen ST, Ritme sinus, Irama jantung dan Denyut jantung dari rekaman yang dihasilkan oleh elektrokardiograf. Secara skema digambarkan pada Gambar 8.
21
Anestesi (Kombinasi ketamin dan silasin)
Nodus Sinosus
Jantung
SSP (OTAK)
Perangsangan Listrik Jantung
Perekaman EKG
Gambaran EKG : Sadapan : Sadapan II Diamati : 1. Amplitudo : P, kompleks QRS, T 2. Durasi : P, kompleks QRS, Interval PR, Interval QT, Interval RR, Segmen PR, Segmen ST 3. Ritme sinus, Irama Jantung, Denyut Jantung Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian.