BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berbicara mengenai frekuensi dalam media penyiaran, maka kita tak akan
lepas
dari
penyebarluasannya
istilah
frekuensi
memang
publik.
menggunakan
Media
penyiaran,
medium
dalam
gelombang
elektromagnetik, yakni spektrum fekuensi gelombang radio.1 Dengan kekhasan ini, media penyiaran layak disebut sebagai media yang berkarakter publik dan muncullah ungkapan “broadcasting is public”. Karakter publik dari media penyiaran dapat ditelusuri melalui pemahaman terhadap berbagai definisi penyiaran. Definisi atas penyiaran umumnya berangkat dari aspek teknologi atau teknis penyiaran dan atau merupakan penjabaran yang ada dalam perundangan atau regulasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya, definisi dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang menyatakan: Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/ atau sarana transmisi di darat, di laut, atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/ atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.2 Head
dan
Sterling
(1987:3)
menekankan
bahwa
penyiaran
(broadcasting) adalah teknologi yang berbasis gelombang radio. Melihat bahwa spektrum 3 merupakan komoditi publik dan merupakan sumber daya, maka muncul satu teori yang berbicara “the spectrum as a public resource”, atau spektrum frekuensi gelombang radio sebagai barang kekayaan publik. Penyiaran berbasis spektrum gelombang radio disadari amat penting bagi penyelenggaraan komunikasi nirkabel dan diseminasi informasi pada masyarakat. Potensi kekuatan yang luar biasa ini kemudian memberi wewenang pada pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang mengatur 1
Gelombang elektromagnetik merupakan sebuah gejala alam yang bekerja dengan prinsip yang sama di wilayah manapun di bumi. Gelombang ini memiliki besaran fisika yang disebut frekuensi. 2 Pasal 1 ayat (2) dalam Bab I UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. 3 Penggunaan istilah spektrum, gelombang, frekuensi dalam penelitian ini mengacu pada hal yang sama, yakni frekuensi gelombang radio yang digunakan di media penyiaran.
1
tentang penggunaan frekuensi publik tadi, untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kepentingan rakyat. Adanya regulasi tentang penggunaan frekuensi publik merupakan konsekuensi dari penyelenggaraan penyiaran yang bergantung pada gelombang elektromagnetik. Terlebih, karena kanal-kanal gelombang radio bersifat tetap dan terbatas, sementara jumlah penggunanya terus bertambah.4 Dari sejumlah keterangan diatas, terkandung nilai-nilai dan karakter penyiaran yang secara implisit mengaitkannya dengan kepentingan publik. Spektrum
frekuensi
radio
adalah
gelombang
elektromagnetik
yang
dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.5 Dalam konteks pengaturan penyiaran, publik diartikan dalam dua kerangka kerja, yaitu (1) khalayak, pemirsa, dan pendengar dan (2) partisipan aktif yang memiliki dan mengontrol dunia penyiaran. Frekuensi yang digunakan oleh lembaga penyiaran adalah milik warga negara dan sifatnya terbatas yang dimiliki dan digunakan satu pihak, misalnya saluran 37 UHF6 sehingga pihak lain tidak bisa menggunakannya. Jika frekuensi tersebut tetap dipakai akan terjadi noise pada output siaran yang bukan hanya merugikan pemilik media tapi juga merugikan publik.7 Seperti yang telah diketahui, kebijakan-kebijakan di Indonesia bisa saja menjadi saling bertentangan. Media massa bisa jadi merupakan sektor di mana kontradiksi semacam ini paling jelas terlihat dan memiliki dampak yang merugikan bagi banyak orang. Namun, hal ini tetap diabaikan, misalnya Undang-Undang Penyiaran Nomor 32/2002 yang berupaya mengangkat keberagaman konten dan kepemilikan media massa. Regulasi lain seperti 4
Siregar, Ashadi. 2001. Menyingkap Media Penyiaran: Membaca Televisi Melihat Radio. Yogyakarta: LP3Y. Hal.5 5 Pasal 1 ayat (8) dalam Bab I UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran 6 Ultra High Frequency (UHF) merupakan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi antara 300 MHz sampai dengan 3 GHz (3.000 MHz). Panjang gelombang berkisar dari satu sampai 10 desimeter atau sekitar 10 cm sampai 1 meter, sehingga UHF juga dikenal sebagai gelombang desimeter. Gelombang radio dengan frekuensi di atas pita UHF adalah super high frequency atau frekuensi super tinggi (SHF) dan extremely high frequency atau frekuensi ekstrem tinggi (EHF).Sedangkan sinyal frekuensi yang lebih rendah termasuk ke dalam very high frequency atau frekuensi sangat tinggi (VHF). Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Frekuensi_ultra_tinggi 7 Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LKiS. Hal. 16
2
Peraturan Pemerintah Nomor 49-52/2005 yang seharusnya mendukung UU Penyiaran, justru merusak nilai-nilai tersebut dengan mengizinkan perusahaan atau kelompok media untuk beroperasi hingga mencakup 75% dari total provinsi di Indonesia. Hasilnya, tidak hanya semangat keberagaman media yang tak tercapai, namun kontradiksi kebijakan ini, disengaja ataupun tidak, juga menimbulkan konsekuensi buruk dalam perkembangan media massa di Indonesia.8 Menyoal kebijakan penggunaan frekuensi, di Indonesia, penggunaan frekuensi tersebut—termasuk oleh penyiaran—jelas diatur harus ditujukan bagi kepentingan publik. Selain itu, juga harus ada jaminan melalui regulasi bahwa pihak yang memperoleh lisensi untuk menggunakan gelombang udara harus menghormati hak semua orang yang tidak dapat menguasainya (Siregar, 2001). 9 Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 menempatkan frekuensi gelombang radio yang digunakan oleh televisi tak ubahnya tanah, air, dan udara, yang merupakan milik publik dan untuk dimanfaatkan seluasluasnya bagi kepentingan publik. Turunan dari semangat ini dinyatakan dengan lebih tegas pada Pasal 34 ayat (4): “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”. Selaras dengan Undang-Undang Penyiaran, dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS) Pasal 11 ayat (2) dinyatakan bahwa: “Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran”.
8 Nugroho, Y., Siregar, MF., Laksmi, S. 2012. Mapping Media Policy in Indonesia.Report Series. Engaging Media, Empowering Society: Assessing media policy and governance in Indonesia through the lens of citizens’ rights. Research collaboration of Centre for Innovation Policy and Governance and HIVOS Regional Office Southeast Asia, funded by Ford Foundation.. Jakarta: CIPG and HIVOS. Hal.2 9 Ashadi Siregar. Etika Siaran Televisi. Makalah disampaikan pada Seminar Konsep dan Pola Siaran Televisi Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tanggal 2 Juni 1990
3
Ditambah lagi dengan Peraturan KPU yang hanya memperbolehkan partai politik melakukan kampanye di media massa pada 21 hari sebelum masa tenang.10 Bila merujuk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), ada begitu banyak pertimbangan melalui peraturan perundangundangan mengenai pedoman perilaku penyiaran. Salah satu bunyi aturan tersebut adalah pemilik lembaga penyiaran atau kelompoknya itu dilarang memanfaatkan lembaga penyiaran secara tidak berimbang atau hanya untuk kepentingan kelompoknya. Belum lagi, jika didukung dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Undang-Undang Penyiaran Nomor 32/2002 pun jelas-jelas mengatur bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutaman kepentingan golongan tertentu. Setelah memahami dasar tentang posisi frekuensi dan penggunaannya bagi publik, sekarang marilah melihat secara empiris apa yang terjadi di lingkup penyiaran di Indonesia. Dalam konteks Indonesia saat ini, lembaga yang ditunjuk sebagai penyelenggara penyiaran adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI berstatus sebagai Lembaga Negara Independen, yang pada
praktiknya mencakup
tiga
kegiatan,
yakni
regulasi/pengaturan,
pengawasan, dan pengembangan. Kegiatan regulasi atau pengaturan ini yang membuat KPI dapat disebut sebagai regulator penyiaran, walaupun pada praktiknya mengenai izin penyiaran juga melibatkan pemerintah dan negara.
11
Sebagai regulator
penyiaran, KPI secara ideal memiliki posisi yang penting dalam mengontrol dan mengawasi jalannya kegiatan penyiaran. Karenanya, soal pengaturan penggunaan frekuensi publik juga menjadi tugas dan wewenang yang harus dijalankan oleh KPI. Secara fundamental, KPI sebenarnya sudah memiliki satu komponen dasar untung menjalankan fungsi dan kodratnya sebagai regulator penyiaran, yakni Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.Kemudian secara implementatif, KPI juga memiliki Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
10 Peraturan KPU Nomor 16 Tahun 2014. Diunduh ttp://www.kpu.go.id/dmdocuments/6e5784e1a35de80b7e794d1fd566ca62.pdf 11 Dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
4
dari
Program Siaran (P3SPS) yang seharusnya menjadi pedoman bagi para pelaku industri penyiaran. UU Penyiaran dan P3SPS tersebut seharusnya bisa menjadi senjata ampuh bagi KPI. Artinya, posisi KPI (seharusnya) sudah jelas dan cukup kuat dalam mengatur penggunaan frekuensi publik. Kemudian, berkaitan dengan penggunaan frekuensi publik jelang Pemilu 2014, muncul nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara KPI dan Bawaslu. Nota kesepahaman yang isinya mengatur iklan kampanye Pemilu ini muncul dan diperbaharui setiap lima tahun sekali, menjelang masa Pemilu. Tujuan dibentuknya nota kesepahaman ini adalah untuk menyamakan pemahaman tentang pengawasan pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye Pemilihan Umum antara Badan Pengawas Pemilihan Umum
dan
Komisi
Penyiaran
Indonesia.
Namun,
munculnya
nota
kesepahaman ini sempat dianggap memperlemah posisi KPI dalam menjalankan tugasnya sebagai regulator penyiaran. Dalam ketentuan kampanye melalui media televisi, KPI menetapkan bahwa iklan partai politik tak boleh disiarkan lebih dari 10 kali dalam sehari. Akan tetapi, fakta-fakta yang terjadi di lapangan sangat memprihatinkan. Berdasarkan informasi awal
dari
KPI, maka Bawaslu menyampaikan
perkembangan pengawasan dan proses pengawasan terhadap dugaan pelanggaran iklan kampanye peserta Pemilu yang melebihi spot sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, yakni:12 1) Partai NasDem, dengan dugaan pelanggaran memiliki 12 spot iklan kampanye dalam sehari di Metro TV. Perkembangan penanganan pelanggarannya adalah sebagai berikut: a. Klarifikasi NasDem tanggal 24 Maret 2014 pukul 11.00 WIB, namun tidak hadir. b. Klarifikasi Metro TV tanggal 24 Maret 2014 pukul 15.00 WIB, dihadiri oleh Putra Nababan, M. Efendi dan Firdaus Hidayat 2) Partai Golkar, dengan dugaan pelanggaran memiliki 15 spot iklan kampanye dalam sehari di ANTV dan 16 Spot iklan kampanye dalam
12
Diunduh dari http://www.bawaslu.go.id/jdownloads/2014/laporan-pengawasan-tgl-25-032014.pdf
5
sehari di Indosiar. Perkembangan penanganan pelanggarannya adalah sebagai berikut: a. Klarifikasi Golkar tanggal 24 Maret 2014 pukul 11.00 WIB, ada Pengurus DPP Partai Golkar yang hadir, tetapi tidak menyampaikan klarifikasi terkait kasus tersebut. b. Klarifikasi ANTV tanggal 24 Maret 2014 pukul 15.00 WIB, namun tidak hadir. c. Klarifikasi INDOSIAR tanggal 24 Maret 2014 pukul 11.00 WIB, namun tidak hadir. 3) Partai Hanura, dengan dugaan pelanggaran memiliki 15 spot iklan kampanye dalamsehari di Global TV, 13 spot di RCTI, dan 13 spot di MNC TV. Perkembangan penanganan pelanggarannya adalah sebagai berikut: a. Klarifikasi Hanura tanggal 24 Maret 2014 pukul 09.00 WIB tetapi tidak hadir b. Klarifikasi Global TV tanggal 24 Maret 2014 pukul 09.00 WIB, tetapi tidak hadir. Mengenai hal diatas, lagi-lagi KPI sebagai pengawas penyiaran juga tidak bisa berbuat banyak dalam menindak pemilik media. Kita patut bertanya mengapa hal ini masih saja bisa terjadi. Banyak yang menduga bahwa masih terdapat banyak celah bagi para konglomerat media untuk melanggar aturan KPI, bahkan tak sedikit juga yang menilai bahwa ada sistem yang salah.Lalu, dalam kasus ini, bagaimana sebenarnya peran KPI dalam mengawasi penggunaan frekuensi milik publik?
B. Rumusan Masalah “Bagaimana posisi KPI dalam mengawasi isi siaran berkaitan dengan penggunaan frekuensi publik pada Pilpres 2014 setelah adanya nota kesepahaman antara KPI dan Bawaslu tentang kerjasama pengawasan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilihan Umum?”
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya posisi Komisi Penyiaran Indonesia dalam mengawasi isi siaran berdasarkan 6
penggunaan frekuensi publik pada Pilpres 2014 setelah adanya nota kesepahaman antara KPI dan Bawaslu tentang kerjasama pengawasan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilihan Umum.
D. Manfaat Penelitian Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan satu pemecahan masalah dalam rangka meningkatkan kualitas isi penyiaran televisi swasta di Indonesia agar berguna bagi publik, bukan bagi para pemiliknya. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang regulasi dan kondisi penyiaran di Indonesia dewasa ini, baik bagi masyarakat umum maupun bagi kalangan akademis, khususnya bidang Ilmu Komunikasi. E. Kerangka Pemikiran Berbagai permasalahan dan kasus yang terjadi pada penyelenggaraan penyiaran di Indonesia menimbulkan anggapan bahwa kebijakan media gagal meregulasi media itu sendiri sebagai sebuah industri. Artinya, kebijakan yang ada tidak mampu mengatur prinsip ekonomi politik yang berorientasi pada keuntungan yang diterapkan oleh media. Sementara itu, para pembuat kebijakan dan pemerintah gagal mengatur batasan praktik yang tegas antara monopoli dan oligopoli.13 Ketiadaan kebijakan yang secara khusus mempertimbangkan aspek komersial industri media dan mengatur aktivitasnya merupakan salah satu faktor yang memungkinkan ekspansi industri yang pesat, seperti apa yang terjadi di Indonesia. Meskipun UU Penyiaran Nomor 32/2002 telah memuat sejumlah batasan (Pasal 18) dan melarang kepemilikan silang, namun Peraturan Pemerintah Nomor 50/2005 gagal mendukung kebijakan tersebut. 14 Di masa mendatang, kebijakan media perlu meletakkan dan memperlakukan industri media dalam sektor khusus, dengan pertimbangan bahwa industri ini mempergunakan sumber daya milik publik, sehingga tidak 13
(Nugroho, Siregar, and Laksmi, 2012) - Nugroho, Y., Siregar, MF., Laksmi, S. 2012. Mapping Media Policy in Indonesia.Report Series. Engaging Media, Empowering Society: Assessing media policy and governance in Indonesia through the lens of citizens’ rights. Research collaboration of Centre for Innovation Policy and Governance and HIVOS Regional Office Southeast Asia, funded by Ford Foundation. Jakarta: CIPG and HIVOS. Hal.9 14 Ibid. Hal.9
7
seharusnya diberi kebebasan untuk memanfaatkannya demi kepentingan pribadi. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk melihat kondisi pertimbangan kebijakan dan regulasi penyiaran yang berlaku di berbagai negara dan di Indonesia sendiri, serta bagaimana regulator media penyiaran di Indonesia menerapkan
regulasi
yang
telah
dibuat
dalam
menangani
kasus
penyalahgunaan frekuensi publik.
1.
Konsep Penyiaran dan Pengaturan Frekuensi Penyiaran merupakan istilah yang sangat populer di kalangan
masyarakat. Namun, apa sebenarnya esensi dari kata tersebut? Masduki menyatakan bahwa penyiaran adalah sebuah proses transmisi kata dan/atau gambar yang menginformasikan sesuatu yang dimengerti oleh publik, dan dalam jadwal yang telah diumumkan sebelumnya, serta melalui suatu pita frekuensi oleh stasiun yang telah mendapat ijin oleh pemerintah. Ia juga mengutip Minister of Communication, Information Technology, and The Arts ke dalam bukunya, penyiaran adalah; The transmision of speech, music and/or picture informs that the general public can understand, on a regular and announced schedule, on a frequency band for whichi the public has receivers, by a station licensed by government for that purpose.15 Dalam konteks Indonesia, konsep penyiaran telah didefinisikan secara legal formal oleh pemerintah. Konsepsi ini diterangkan dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan; Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaan dan/atau transmisi darar, di laut, atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
15
Minister of Communication, Information Tecnology and the Arts, pada penjelasan definisi broadcasting service pada Broadcasting Act 1992 dalam Masduki. Hal.2
8
Dalam mengkaji sistem penyiaran, Joseph R. Dominick menggagas dua teori penting. Pertama, teori keterbatasan (the scarcity theory). 16 Teori ini mencatat bahwa gelombang elektromagnetik bersifat terbatas. Keterbatasan ini hanya mampu dipakai oleh stasiun penyiaran secara terbatas sehingga hanya segelintir orang yang menggunakannya. Artinya, meskipun Indonesia luas dan dapat di petak-petakkan dalam begitu banyak “daerah siaran”, jumlah sumber alam tidak akan bertambah atau berlebih. Oleh karena itu, teori kelangkaan ini sampai menyimpulkan bahwa hanya sejumlah kecil orang yang bisa dipilih untuk mendapat jatah spektrum. Mereka yang beruntung dapat memakainya, tidak boleh menganggap spektrum sebagai hak milik, tetapi hanya menjadi “trustee” atau “wakil” yang bertanggungjawab kepada publik. Kedua, teori keberadaan yang meresap (the pervasive presence theory). Teori ini mengasumsikan bahwa media penyiaran sengat dominan pengaruhnya terhadap masyarakat melalui pesan yang begitu ofensif dan masuk pada wilayah pribadi, sehingga perlu diatur agar semua kepentingan masyarakat bisa terwadahi dan terlindungi. Teori ini mengharuskan peran negara melalui proses yang demokratis dalam membuat regulasi yang mengatur isi media penyiaran. Spektrum diposisikan sebagai sumber alam milik bersama yang terbatas, yang harus dikelola dan diatur untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sesuai dengan konstitusi. Karena itu, alokasi penggunaannya haruslah sedemikian rupa untuk mewujudkan pelaksanaan demokrasi, sarana inti penunjang hak asasi manusia, penyalur kebebasan berpendapat, dan milik seluruh bangsa Indonesia, di seluruh daerah, sesuai dengan semangat reformasi yang melahirkan sejumlah amandemen konstitusi, yang dirumuskan lebih lanjut oleh UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain itumedia penyiaran dikontrol ketat pada dua wilayah dan alasan, yaitu (1) wilayah isi, yang dikontrol karena ada alasan politik 16
Joseph R. Dominick dalam Masduki.Hal. 4
9
dan kultural, dan (2) wilayah infrastruktur terutama frekuensi, dikontrol karena alasan teknologi dan ekonomi. 17 Wilayah ke dua inilah yang akan menjadi bagian dan pembahasan penting dalam penelitian ini. Karena dengan sisa frekuensi yang sangat kurang dari jumlah stasiun siarannya, diperlukan regulasi yang pasti untuk memberikan lisensi pada siapa yang sebenarnya berhak menggunakan frekuensi tersebut. Pentingnya meregulasi frekuensi akan dijelaskan pada poin berikutnya. 2.
Pentingnya Meregulasi Frekuensi Penyiaran Ada alasan yang sangat mendasar mengapa sebuah spektrum
frekuensi penting diregulasi. Secara teknis, spektrum frekuensi merupakan sumber daya alam yang bersifat terbatas dan langka. Sedangkan, publik yang memang berhak atas spektrum frekuensi ini berjumlah sangat banyak dan melebihi sebaran frekuensi yang ada.Publik juga diharapkan terrepresentasi dalam lembaga penyiaran. Oleh
karenanya,
penggunaan
spektrum
frekuensi
perlu
diregulasi.Seperti menurut UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 pasal1 ayat 8, spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang digunakan untuk penyiaran yang merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik, dan sumber daya alam terbatas. Kemudian hampir sama dengan kalimat dalam UU tersebut, Masduki menyebutkan, frekuensi adalah salah satu dari benda alam yang ada sepanjang masa tapi terbatas dan memiliki sifat kelangkaan.18 Dalam studi komunikasi, frekuensi dikategorikan sebagai barang milik pubik (public domain). Dalam hal ini, terdapat tiga pemaknaan atas status frekuensi sebagai domain, yaitu (1) benda publik, (2) milik publik, dan (3) ranah publik. Ketiganya mengandung substansi yang sama dan menegaskan bahwa frekuensi sebagai entitas yang menjadi wilayah kekuasaan publik. Untuk itu, pubik berhak 17 18
Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LKiS. Hal.12 Ibid. Hal.14-15
10
mendapat keuntungan sosial, yang artinya, melalui lembaga penyiaran diharapkan kepentingan mereka dapat terakomodasi.19 Sudibyo juga mengemukakan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang dan ditegakkan adalah bahwa frekuensi adalah milik publik. Spektrum frekuensi radio di udara yang menjadi medium penyiaran bukanlah milik pengusaha/perusahaan media penyiaran, melainkan publik,20 seperti halnya dengan kekayaan hayati di daratan dan di lautan yang bersifat terbatas, sehingga keberadaannya harus dilindungi oleh negara sebagai representasi publik. Muhammad Mufid menuliskan, ada tiga hal yang membuat regulasi penyiaran dipandang penting.
21
Pertama, dalam iklim
demokrasi terdapat hak asasi manusia tentang kebebasan berbicara (freedom of speech) yang menjamin kebebasan seseorang untuk memperoleh dan menyebarkan pendapatnya tanpa ada intervensi, meskipun itu dari pemerintah. Masalah keterbatasan frekuensi juga menjadi pertimbangan penting kemudian. Tanpa regulasi, interfensi sinyal niscaya akan terjadi. Regulasi akan menentukan siapa yang berhak menyiarkan, dan siapa yang tidak. Dalam konteks demikian, regulasi berperan sebagai mekanisme kontrol (control mechanism). Kedua, demokrasi menghendaki adanya sesuatu yang menjamin keberagaman politik dan kebudayaan, dengan menjamin aliran ide dan posisi dari kelompok minoritas. Ketiga, alasan ekonomi. Tanpa regulasi, akan terjadi konsentrasi kepemilikan bahkan monopoli media. Sehingga, sinkronisasi diperlukan bagi penyusunan regulasi media agar tidak berbenturan dengan berbagai kepentingan. 3.
Model Regulasi Penyiaran Demokratis Dalam konteks sejarah, penyiaran merupakan media massa yang
paling diatur atau diregulasi, serta menjadi media yang paling bersistem. Oleh karena itu, sistem penyiaran berbasis pada konsep kepentingan publik dan kelangkaan frekuensi yang mengartikan 19
Ibid. Hal. 15 Agus Sudibyo. 2003. Ekonomi Politik Media Penyiaran.Yogyakarta: Lkis. Hal.xvi-xvii 21 Muhammad Mufid. 2005. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana. Hal.67 20
11
bahwa ada lebih banyak pencari lisensi dibandingkan dengan frekuensi yang tersedia. Dalam hubungannya dengan model pemerintahan suatu negara, Leen d’Haenens dalam Mufid22 membagi model regulasi penyiaran menjadi lima, yaitu: 1) Model Otoriter Tujuan dari model ini adalah menjadikan media penyiaran sebagai alat negara. Radio dan televisi diarahkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan melestarikan kekuasaan. Ciri khas model ini adalah kuatnya lembaga sensor, terutama masalah perbedaan. 2) Model Komunis Walaupun sebagai subkategori dari model otoriter, model ini memiliki semacam tritunggal fungsi yakni propaganda, agitasi, dan organisasi. Model ini juga melarang adanya kepemilikan swasta karena dianggap sebagai media kelas pekerja yang hanya akan menjadi sarana sosialisasi, edukasi, informasi, motivasi, dan mobilisasi. 3) Model Barat-Paternalistik Model ini banyak digunakan di Eropa Barat. Disebut paternalistik karena sifatnya yang top-down23, dimana kebijakan media bukanlah apa yang audiens inginkan, tetapi keyakinan penguasa bahwa kebijakan yang dibuat memang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. 4) Model Barat-Liberal Perbedaan mendasar dengan model sebelumnya adalah pada fungsi
media
komunikasi
komersialnya.
dan
hiburan,
Disamping
media
juga
sebagai
media
berfungsi
untuk
mengembangkan hubungan yang penting dengan aspek lain yang mendukung independensi ekonomi dan keuangan 5) Model Demokratis-Partisipan Model ini dikembangkan oleh orang-orang yang mempercayai 22
Ibid. Hal.70 Istilah ini dimaknai sebagai sebuah gaya kepemimpinan birokrat kepada birokrat lain yang levelnya lebih rendah. Ide dan kebijakan berasal dari birokrat lebih tinggi dengan menganggap bahwa kebijakan inilah yang terbaik untuk birokrat level bawahnya. 23
12
media sebagai media yang penuh dengan kekuatan (the powerful medium). Pada banyak hal, model ini banyak dipengaruhi oleh mazhab kritis. Oleh karenanya, kemudian banyak muncul media-media penyiaran alternatif.Selain itu, model penyiaran ini bersifat dua arah (two-way communication).
Mengingat
bahwa
Indonesia
menganut
konsep
negara
demokrasi, konsepsi tentang sistem penyiarannya pun sedikit banyak terpengaruh dengan ideologi tersebut. Anggapan bahwa media adalah suatu medium yang mempunyai kekuatan sehingga perlu diatur sedemikian rupa demi menjaga terakomodasinya kepentingan masyarakat luas, merupakan salah satu keyakinan disini. Sebuah
sistem
media
yang
demokratis
itu
seharusnya
merepresentasikan semua kepentingan masyarakat secara signifikan. Korporasi demokratis melibatkan sebuah proses tawar-menawar melalui partai dan kelompok yang membawa ideologi dan kepentingan sosial ke dalam sebuah konsensus, seperti yang dikatakan oleh Hallin dan Mancini: A democratic media system should represent all significant interest in society. Democratic corporatism involves a process of bargaining through which parties and group with distinc ideologies and social interest strive to reach concensus. Jadi disini jelas terlihat bahwa di dalam sistem media demokratis, semua kepentingan publik harus terepresentasi dalam medianya. Hal ini penting, mengingat dalam penyiaran, lembaga siaran menggunakan ranah publik berupa kanal frekuensi. Sehingga, mau tak mau, apa yang dilakukan oleh lembaga penyiaran dapat merepresentasian kepentingan publik. Serta, pada prosesnya nanti, tawar-menawar untuk mencapai sebuah konsensus adalah hal mutlak yang harus dilakukan, bukan keputusan sepihak. Di negara demokratis, biasanya aturan main mengenai frekuensi dibahas mendalam oleh parlemen dan pemerintah dengan memegang teguh prinsip-prinsip keadilan, dan ditujukan sepenuhnya untuk
13
kepentingan publik.
24
Dalam konteks penelitian ini, pernyataan
Masduki tersebut sangat relevan, karena frekuensi merupakan hal yang bersifat sangat penting dan esensial, sehingga penggunaannya pun harus diatur dan diseleksi sedemikian rupa melalui tahapantahapan yang cukup panjang.
4. Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia Prinsip dasar penyelenggaraan penyiaran pada dasarnya berkaitan dengan prinsip-prinsip penjaminan dari negara agar aktivitas yang dilakukan oleh lembaga penyiaran memiliki dampak yang positif bagi publik. Prinsip dasar penyelenggaraan penyiaran inilah yang menjadi pegangan dalam pelaksanaan penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Dalam hal ini, publik harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat, memanfaatkan, mendapat perlindungan, serta mendapat keuntungan dari kegiatan penyiaran. Guna mencapai keberhasilan dari prinsip ini, juga dibutuhkan prinsip lain, yang secara melekat (embedded) menyokongnya, yakni prinsip keberagaman pemilikan (diversity of ownership) dan keberagaman isi (diversity of content), dan prinsip keterbukaan akses, partisipasi, serta perlindungan dan kontrol publik. Prinsip keberagaman kepemilikan berarti adanya keberagaman pemilik yang tidak saling berhubungan satu sama lainnya. Prinsip ini bertujuan agar tidak terjadi konsentrasi kepemilikan modal (capital) dalam lembaga penyiaran, serta saat bersamaan diarahkan untuk mendorong adanya perlibatan modal dari masyarakat luas di Indonesia. Oleh karena itu, prinsip ini harus dipegang teguh dalam rangka mencegah terjadinya monopoli dan oligopoli, menciptakan sistem persaingan yang sehat, serta memiliki manfaat ekonomi bagi masyarakat luas. Prinsip keberagaman isi berarti adanya keberagaman isi (konten) siaran yang sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar 24
Muhammad Mufid. 2005. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana.Hal.20
14
Program Siaran. Keberagaman isi bertujuan agar tidak terjadi monopoli informasi yang dilakukan oleh pelaku industri penyiaran. Prinsip keterbukaan akses, partisipasi, serta perlindungan dan kontrol publik berarti membuka peluang akses bagi setiap warga negara untuk menggunakan dan mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional. Undang-undang memberi hak, kewajiban dan tanggungjawab serta partisipasi masyarakat untuk mengembangkan penyiaran, seperti mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi
di
lembaga
penyiaran
serta
mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan untuk mengawasi dan melindungi publik dari isi siaran yang merugikan mereka. Melalui ketiga prinsip ini, negara diharapkan dapat melakukan penjaminan terhadap publik melalui penciptaan iklim yang kompetitif antar lembaga penyiaran agar bersaing secara sehat dalam menyediakan informasi kepada publik dengan harapan bahwa penggunaan frekuensi akan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
5. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Dalam Pembatasan Kepemilikan dan Penggunaan Frekuensi Jika kita melakukan pemetaan atas kepemilikan lembaga penyiaran televisi di Indonesia, maka dapat diketahui latar belakang perlunya mengatur pembatasan kepemilikan media. Salah satu alasan yang telah disampaikan sebelumnya adalah untuk mencegah monopoli informasi dan penguasaan terhadap pembentukan opini publik. Kenyataan di lapangan bahwa penguasaan atas lebih dari satu stasiun televisi oleh suatu badan usaha (dalam hal ini Hary Tanoe dengan MNC Grupnya) menyebabkan alokasi frekuensi menjadi tidak merata dan tidak adil. Jika melihat Undang-undang Penyiaran, maka ditemukan alasan-alasan hukum adanya pembatasan kepemilikan frekuensi. Dalam konstitusi Undang-undang Dasar Tahun 1945, sudah 15
dengan tegas dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. UUD sebagai landasan konstitusional negara menjamin kemerdekaan berpendapat dan memperoleh informasi dengan media apapun sebagai perwujudan penghormatan atas HAM, sebagaimana diatur dalam pasal 28 F UUD 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Akan tetapi sebaliknya, kemerdekaan tersebut juga harus seimbang antara kemerdekaan diri sendiri dan juga kemerdekaan orang lain, sehingga tidak menyinggung hak orang lain. Dasar internasional terkait kebebasan atas informasi sebagai HAM adalah Pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia. Pasal ini menerangkan bahwa: Setiap orang berhak atas kebebasan beropini dan berekspresi; hak ini meliputi kebebasan untuk memiliki opini tanpa intervensi serta untuk mencari, menerima, dan mengungkapkan informasi serta gagasan melalui media apapun dan tidak terikat garis perbatasan. Alasan demokrasi menjadi dasar dalam penyusunan Undangundang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Di Indonesia, setiap individu memiliki kebebasan berbicara (freedom of speech), untuk kemudian memperoleh dan menyebarkan pendapatnya tanpa intervensi dari pemerintah. Namun pada saat bersamaan, berlaku pula UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi yang membatasi adanya batasan dalam menggunakan frekuensi gelombang radio.25 Dapat disimpulkan bahwa implementasi nilai-nilai demokrasi dan HAM dalam industri dan pelaksanaan kegiatan penyiaran di Indonesia juga menghendaki kriteria yang jelas, adil, merata, dan seimbang dalam pengaturan akses media.26
25
Muhammad Mufid. 2007. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana. Hal. 67 Leen d’Haenens. 2001. Western Broadcasting The Dawn of The 21st Century. New York: Mouten De Gruyter. Hal. 24-26 26
16
6. Keterbatasan Sumber Daya Dalam Pembatasan Kepemilikan dan Penggunaan Frekuensi Spektrum Frekuensi Radio merupakan sumber daya alam terbatas. Dikatakan terbatas karena spektrum frekuensi merupakan gelombang elektromagnetik yang merambat diudara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan dan tidak dapat dibuat atau didaur ulang oleh manusia. Oleh karena itu, spektrum frekuensi merupakan ranah publik yang berfungsi untuk penyiaran. Izin kepemilikan frekuensi memiliki hak kebendaan dan memberikan hak kepemilikan kepada pemegangnya. Hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Namun, spektrum ini tidak dapat dikuasai dan atau dimiliki secara individual. Oleh karena itu, negara menguasai dan mengaturnya sebagai sumber daya untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Spektrum
elektromagnetik
merupakan
jantung
lembaga
penyiaran televisi swasta. Spektrum ini digunakan sebagai media penghantar untuk memancarkan program siaran televisi. Di berbagai negara demokrasi, penggunaan spektrum ini diatur oleh suatu lembaga yang diberi wewenang khusus di bidang penyiaran. Sebaliknya, apabila penggunaannya tidak diatur, maka dampaknya akan terjadi interferensi sinyal televisi karena kemungkinan terjadinya dua atau lebih stasiun televisi berada di frekuensi yang sama lebih besar. Kondisi diatas menjelaskan bahwa keterbatasan sumber daya (frekuensi) juga menjadi salah satu dasar yang penting dalam mengatur pembatasan kepemilikan dan penggunaan frekuensi. Sumber daya yang dimaksud disini ialah frekuensi itu sendiri. Frekuensi pada dasarnya tidak boleh dimiliki oleh seorang individu atau badan usaha secara monopoli. Alasan utamanya adalah karena jumlah frekuensi yang terbatas, maka tidak mungkin seluruh individu atau badan usaha menggunakannya secara bersamaan untuk menyiarkan sesuatu. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran telah mengatur bahwa setiap lembaga penyiaran wajib memperoleh
izin
penyelenggaraan 17
sebelum
menyelenggarakan
kegiatannya. 27 Izin penyelenggaraan kegiatan penyiaran inilah yang menjadi kontrol bagi penggunaan frekuensi dalam kerangka pemanfaatan bagi kepentingan publik dan pemenuhan hak publik atas informasi yang berimbang. Hal ini dikarenakan frekuensi yang merupakan ranah publik dan pemanfaatan sebesar-besarnya ditujukan untuk kepentingan publik. Maka dapat disimpulkan, sumber daya yang terbatas juga merupakan salah satu alasan dan pertimbangan pokok perlunya keterbatasan pemilikan atas lembaga penyiaran televisi.Selain itu, pada dasarnya lembaga penyiaran hanya meminjam frekuensi yang terbatas itu dari publik.
7. Posisi Komisi Penyiaran Indonesia dan Badan Pengawas Pemilu Dalam Konteks Pelaksanaan Pemilu Sebagai lembaga yang memiliki kaitan langsung dengan ranah dan
kepentingan
publik,
maka
seyogyanya
lembaga-lembaga
penyiaran baik radio maupun televisi dikelola dan diawasi kegiatan penyelenggaraannya secara ketat. Dalam lingkup intern lembagalembaga penyiaran memang terdapat sub bagian yang bertugas melakukan pengelolaan dan pengawasan secara internal. Namun, kita tak menutup mata terhadap realitas pengelolaan dan pengawasan secara internal sangat berpotensi pada terjadinya pelbagai bentuk penyimpangan mengingat adanya tabrakan kepentingan satu sama lain. Oleh karena itu, perlu adanya bentuk pengelolaan dan pengawasan lembaga-lembaga
penyiaran
secara
eksternal
dan
independen
sehingga terbentuklah lembaga regulasi penyiaran. Akan tetapi, kondisi menjadi sangat ironis ketika perangkat hukum di Indonesia, baik peraturan perundang-undangannya maupun penegak hukumnya, seperti tidak mempunyai batasan yang jelas mengenai praktik pelaksanaan media yang ideal sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Meskipun pada akhirnya sangat sulit untuk melaksanakan sistem pers yang netral, akan tetapi peran hukum 27
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 33 ayat (1)
18
secara nyata harusnya bisa tetap dijalankan sebagai konsekuensi logis dari apa yang telah dirancang oleh lembaga hukum penyiaran itu sendiri.
a. Komisi Penyiaran Indonesia Sebagai Lembaga Negara Independen dan Ekstra Yudisial Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga regulasi penyiaran nasional Indonesia yang memegang peranan penting dalam upaya pengelolaan dan pengawasan terhadap segenap lembaga dan aktivitas penyiaran nasional Indonesia. KPI dibentuk dan berdiri pada tahun 2002 dengan berdasarkan payung hukum Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang mengisyaratkan penyiaran pada ranah publik harus dikelola dan diawasi oleh lembaga independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Berbeda
dengan
semangat
dalam
Undang-undang
penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah. Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). 19
Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia. Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan. Maka sejak disahkannya undang-undang tersebut, terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar dalam semangat undangundang tersebut adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah
kepada
sebuah
badan
pengatur
independen
(Independent regulatory body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen dimaksudkan untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu dimana pengelolaan sistem penyiaran masih berada ditangan pemerintah, sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan 20
kekuasaan. Sistem penyiaran pada saat itu tidak hanya digunakan untuk mendukung hegemoni rezim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tapi juga digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan pengusaha. Terjemahan semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada di daerah tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli informasi seperti yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan sistem siaran
berjaringan
juga
dimaksudkan
untuk
merangsang
pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat lokal. Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah informasi yang sesuai dengan kebutuhan polik, sosial dan budayanya. Disamping itu,
keberadaan lembaga penyiaran
sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit keberadaan lembaga-lembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara lebih maksimal.28 Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (3) Undangundang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menegaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut: 1.
menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;
2.
ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;
3.
ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;
28
Lihat http://www.kpi.go.id/index.php/dasar-pembentukan
21
4.
memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
5.
menampung,
meneliti,
dan
menindaklanjuti
aduan,
sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan 6.
menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
Melihat ketentuan dalam ketentuan tersebut, maka KPI berkewajiban melakukan pengawasan dan mengontrol programprogram dari semua lembaga penyiaran. Disamping itu, Undangundang
meberikan
kebebasan
seluas-luas
bagi
peranan
masyarakat untuk melakukan pemantauan terhadap programprogram penyiaran yang ada. Hal tersebut didukung dengan proses pemiliham anggota KPI yang mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga diharapkan para anggota KPI mampu menyelami dan memahami kondisi sosial di masyarakat. Keberadaan KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat. Hal yang menarik adalah kedudukan lembaga KPI baik dari sisi Hukum amupun politik, dimana KPI diposisi dan didudukkan sebagai lembaga kuasi negara atau auxilarry state institution. Posisi tersebut menyetarakan posisi KPI dengan lembaga-lembaga lainnya seperti KPK, Lembaga Arbitrase, BPSK, ataupun KPPU.29 Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam 29
Marbun, Ricky. 7 April 2012. Peranan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Menegakkan Hukum Penyiaran di Indonesia.Diunduh dari https://www.academia.edu/5625128/PERANAN_KOMISI_PENYIARAN_INDONESIA
22
melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya. Dengan demikian, KPI berhak mengeluarkan sebuah pengaturan
yang
berkaitan
dengan
kegiatan
penyiaran
sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Penyiaran bahwa KPI berhak mengeluarkan Standar Program Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran, dimana disebutkan bahwa Standar Program Siaran adalah merupakan panduan tentang batasanbatasan apa yang boleh dan tidak boleh dalam penayangan program siaran. Sedangkan Pedoman Perilaku Penyiaran adalah ketentuan-ketentuan bagi Lembaga Penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyelenggarakan dan mengawasi sistem penyiaran nasional Indonesia. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Standar Program siaran ditujukan terhadap materi-materi dari program yang akan ditayangkan atau disiarkan oleh Lembaga Penyiaran. Sedangkan Pedoman Perilaku Penyiaran lebih menitikberatkan pada pedoman perilaku secara administratif kepada Lembagalembaga Penyiaran. Hal yang kemudian menjadi persoalan adalah bahwa seringkali lembaga-lembaga penyiaran tersebut beberapa diantaranya sering mendapat teguran karena menyiarkan suatu program yang telah diberikan batasan-batasannya melalui Standar Program Siaran.
23
b. Badan Pengawas Pemilu Dalam Pengawasan Pemilihan Umum di Indonesia Lembaga lain selain Komisi Penyiaran Indonesia yang memiliki urgensi dalam konteks penelitian ini ialah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pengawasan pemilu di negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Bawaslu dipimpin oleh 5 orang anggota Bawaslu dari kalangan profesional yang memiliki kemampuan dalam pengawasan terhadap pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Terlebih, mereka harus netral dan tidak menjadi anggota partai politik tertentu. Dalam melaksanakan tugasnya, Bawaslu didukung oleh Kesekretariatan Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal. Kedudukan Sekretaris Jenderal didukung oleh 4 kepala biro yang terdiri dari Biro Administrasi, Biro Teknis Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu, dan Biro Hukum, Humas dan Pengawasan Internal, serta 1 (satu) Biro Administrasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Bawaslu juga memiliki jajaran yang bersifat permanen hingga tingkat Provinsi yang dikenal dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi. Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota hingga desa, masih bersifat ad hoc (sementara). Dalam menjalankan tugasnya, Bawaslu memiliki dua tugas yakni melaksanakan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran.
Dari
mengedepankan
kedua
tugas
pengawasan
tersebut,
Pemilu
Bawaslu
berbasis
lebih
pencegahan
terhadap berbagai potensi pelanggaran dalam Pemilu. Dalam konteks pelaksanaan Pemilihan Umum 2014 sendiri, posisi Bawaslu berfungsi dalam menerima laporan, menerima dugaan 24
pelanggaran, dan menindaklanjuti dengan memutus perkara atau memberikan rekomendasi perkara kepada pihak lain yang terkait, seperti KPI ataupun KPU.
F. Objek Penelitian Yang menjadi objek penelitian dalam riset kualitatif ini adalah nota kesepahaman antara KPI dan Bawaslu (Nomor 02/NK/BAWASLU/II/2013— Nomor 03/NK/KPI/II/2013) tentang kerjasama pengawasan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilihan Umum.
G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Untuk studi kasus mengenai posisi KPI dalam mengatur penggunaan frekuensi milik publik jelang Pilpres 2014, kaitannya adalah dengan hukum media. Jenis penelitian yang digunakan disini adalah eksploratif. Oleh karena itu, rumusan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah “bagaimana”, demi menjawab apa yang menjadi pertanyaan terbesar dalam penelitian ini. Penelitian ini sendiri berusaha untuk menggali data dan fakta yang ada di lapangan, baik melalui narasumber maupun dokumen ataupun tekstual dengan membuat deskripsi secara faktual, sistematis, dan juga akurat. Berbagai data yang diperlukan akan dihimpun oleh peneliti, bukan hanya sekedar untuk mendeskripsikan apa yang terjadi di lapangan, namun juga mencari implikasi yang terjadi serta solusi terbaik yang ditawarkan agar kasus serupa bisa diminimalisir dalam penyiaran di Indonesia, dan juga solusi terbaik untuk kasus serupa ataupun penelitian selanjutnya. Dalam hal ini, peneliti akan terjun langsung ke lapangan dan semuanya dilakukan di lapangan. Rumusan masalah, data sebagai sumber teori, teori yang akan mempermudah pengolahan data, maupun teori baru yang lahir dan berkembang nantinya akan bersumber dari lapangan.
25
2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus, yang menggunakan salah satu atau lebih contoh untul dianalisis
secara
mendalam,
untuk
mendeskripsikan
keadaan
sesungguhnya terhadap tema besar yang akan diteliti. Berbagai sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk membantu peneliti dalam menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif berbagai fenomena yang diangkat dalam penelitian ini secara sistematis. Dalam kajian hukum media, metode studi kasus dianggap yang paling tepat di ranah metodologi kualitatif. Pasalnya, fenomena yang dikaji mengenai hukum media ini mempunyai sifat partikularistik yang khas dan heruistik. Sifat penelitian ini adalah induktif, berangkat dari fakta yang ada di lapangan, dan sangat memungkinkan memunculkan hasil akhir yang deskriptif. Studi kasus menjadi metode yang cocok untuk meneliti fenomena ini menjadi kajian yang menarik dan tetap ilmiah. Pada kajian mengenai hukum media ini, studi kasus sengaja dipilih karena dalam metode studi kasus peneliti bisa mempelajari, memahami, dan menginterpretasi suatu kasus dalam konteks yang alamiah tanpa intervensi dari pihak luar. Schramm menambahkan, diantara semua ragam studi kasus, kecenderungan yang paling menonjol adalah upaya untuk menyoroti suatu atau seperangkat keputusan, yakni mengapa keputusan itu diambil, bagaimana ia diterapkan, dan apa hasilnya. Landasan inilah yang menjadi latar belakang mengapa peneliti menggunakan metode studi kasus dalam penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data Robert K. Yin dalam Studi kasus Desain dan Metode menyebutkan, bukti atau data untuk keperluan penelitian studi kasus bisa berasal dari enam sumber, yaitu dokumen, rekaman arsip, wawancara,
pengamatan
langsung,
26
observasi
partisipan,
dan
perangkat-perangkat fisik.30 a. Wawancara Wawancara disini berfungsi sebagai instrumen penelitian yang cukup mendukung dalam menjawab pertanyaan penelitian dan juga untuk memperkuat data. Peneliti melakukan in-depth interview oleh berbagai pihak yang mempunyai kapabilitas dan kompetensi soal permasalahan penyiaran yang diteliti, yaitu S. Rahmat M. Arifin, S. Si sebagai Komisioner KPI dalam bidang isi siaran dan Moh.Nur.Huda, M.Si sebagai asisten ahli KPI. b. Rekaman Arsip Dalam penelitian ini peneliti akan turut serta menggunakan pertimbangan melalui rekaman arsip mengenai hukum media. Arsip yang akan diteliti adalah arsip-arsip regulasi berupa nota kesepahaman yang dimaksud serta arsip-arsip yang ada di KPI yang meliputi hasil pertemuan dan pembahasan rancangan maupun evaluasi terhadap P3SPS tahun 2012 dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Arsip-arsip tersebut akan diakses di Sekretariat KPI Pusat. c. Dokumentasi Dokumen-dokumen yang akan menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah konsep-konsep kebijakan penggunaan frekuensi publik yang terdapat pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program siaran (P3SPS), Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, serta studi literasi konseptual mengenai broadcast media regulation dan media policymaking process dalam buku “Law and The Media”.
4. Metode Analisis Data Yin menyebutkan analisis bukti (data) terdiri atas pengujian, pengkategorian, pentabulasian, ataupun pengombinasian kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu penelitian. Dalam 30
Robert K. Yin. Studi Kasus Desain dan Metode.2002. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal.
18
27
strategi seperti ini, tiga teknik menganalisis hendaknya dipergunakan, yakni penjodohan pola, pembuatan penjelasan, dan analisis deret waktu.31 Senada dengan Yin, Miles dan Huberman menyebutkan analisis dalam studi kasus setidaknya mencakup tiga kegiatan. Pertama, reduksi data. Pada fase ini, peneliti akan terlebih dahulu memilah data mana saja yang akan dipakai untuk penelitiannya, dan data mana yang akan diabaikan. Kedua, penyajian data. Setelah data terpilah, maka langkah
selanjutnya
adalah
menyusun
informasi
berdasarkan
ketentuan yang sudah ditentukan oleh peneliti sendiri. Setelah itu, yang ketiga adaah penarikan kesimpulan. Atas informaasi yang sudah dipilah dan disusun, kemudian dijalin dengan pola-pola yang akan menghubungkan sebagai kesimpulan.
5. Metode Penulisan Laporan Strategi penulisan laporan pada metode studi kasus secara sederhana dipilah menjadi beberapa macam, yaitu analisis linear, komparatif, kronologis, pengembangan teori, struktur ketegangan, dan tak beraturan. Namun berdasarkan analisis yang digunakan dalam penelitian ini, dimana tidak hanya reduksi dan penyajian data yang terlibat, namun juga analisis teks undang-undang, maka metode penulisan laporan yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara kronologis. Melalui penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana alur secara kronologis mengenai posisi KPI sebagai regulator penyiaran di Indonesia yang secara fungsional seharusnya sudah kuat dengan P3SPS dan UU Penyiaran, namun seolah mengalami keterhambatan dengan adanya nota kesepahaman yang dibuat bersama Bawaslu.
31
Ibid. Hal 133
28