BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan memperbaiki kondisi kehidupam manusia, masyarakat, bangsa dan negara dari suatu kondisi tertentu kepada tingkat kualitas kehidupan yang lebih baik. Pembangunan nasional dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 merupakan cita-cita dari masyarakat Indonesia. Pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap pembangunan. Sejalan dengan kemajuan pembangunan tersebut, maka penyelenggaraan jasa telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.1 Dalam kehidupan manusia hampir seluruh aktivitasnya tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Dalam berkomunikasi manusia memanfaatkan media atau sarana yang dapat menunjang efektifitas komunikasi yang dilakukan. Dengan demikian pemanfaatan sarana telekomunikasi tersebut memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
1
Danrivanto Budhijanto, 2010, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, & Teknologi Informasi, Regulasi dan Konvergensi, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm.43.
2 Di negara Republik Indonesia keberadaan telekomunikasi diakui sebagai salah satu aspek yang dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga pemerintah memberikan dukungan terhadap lembaga-lembaga penyedia jasa telekomunikasi tersebut untuk dapat memberikan pelayanan maksimal, baik terhadap masyarakat secara umum maupun terhadap institusi pemerintah dan swasta. Bentuk dukungan pemerintah dalam hal ini adalah dengan memberikan konsensi agar telekomunikasi dapat tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan tekhnologi. Pemerintah memberikan dukungan terhadap pengusaha jasa telekomunikasi baik dalam bentuk infra maupun suprastruktur yang dapat mendukung keberhasilan penyedia jasa telekomunikasi sehingga dapat secara maksimal melayani pelanggan. Telekomunikasi merupakan salah satu sarana yang mampu memainkan peranan strategis dalam mendorong peningkatan keberhasilan pembangunan. Selain menjadi komiditas bisnis masyarakat, jasa
telekomunikasi juga
memberikan konstribusi terhadap penerimaan negara bukan pajak. Namun yang terpenting peran telekomunikasi adalah memperlancar arus berita, data dan informasi baik skala nasional maupun internasional. Begitu pentingnya peran telekomunikasi tersebut kemudian mendorong Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat membuat dan mengesahkan berlakunya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999, Tentang Telekomunikasi. Dalam undang-undang tersebut, ditegaskan peran pemerintah dititik beratkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran masyarakat.
3 Danrivanto Budhijanto menilai bahwa: “Peran pemerintah dalam penguasan telekomunikasi merupakan implementasi dari prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”2 PT. Telekomunikasi Indonesia (persero). Tbk, disingkat PT Telkom, merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1991 yang sebelumnya bernama Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel), adalah perusahan yang memegang isin dari pemerintah
untuk
melaksanakan
kegiatan
usaha
bidang
penyelenggara
telekomunkasi di Indonesia. Salah satu usaha PT Telkom adalah menyediakan layanan jasa telepon kabel perorangan untuk kepentingan masyarakat. Meski peran monopoli PT. Telkom dalam mengelolah telekomunikasi di Indonesia telah berakhir dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, yang semangatnya tak dapat dipisahkan dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, namun secara bisnis, terlihat dominasi PT Telkom dalam menguasi segmen pasar telpon rumah yang berbasis kabel masih sangat kuat. Telepon merupakan fasilitas suara dari jarak jauh yang disediakan oleh PT. Telkom (persero) dan perkembangannya saat ini telah mencapai keseluruh pelosok Indonesia. “Telepon sangat berarti di dalam masyarakat karena sifat
2
Danrivanto Budhijanto Ibid, hlm. 45.
4 penggunaannya sangat mudah, praktis dan cepat dalam melakukan aktifitas komunikasi jarak jauh dan dapat menghemat biaya, tenaga dan waktu.”3 Masyarakat sebagai konsumen pengguna telepon rumah yang berbasis kabel yang disediakan oleh PT. Telkom (persero), memiliki posisi tawar lemah karena PT. Telkom (persero) selaku pelaku usaha memiliki kekuasaan penuh mengendalikan pasar. Berbagai kerugian yang dialami konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha. Kondisi konsumen yang lemah dalam hal memperoleh perlindungan hukum perlu ditingkatkan sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Namun, perlu pula diperhatikan dalam memberikan perlindungan konsumen tidak juga mematikan usaha yang dijalankan pelaku usaha. Oleh karena itu sangat penting untuk ditegakkan peraturan perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia seiring dengan upaya menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, sehingga timbul sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha. Pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (3), pelaku usaha adalah : “Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
3
Gouzali Saydam. 2004, Sistem Telekomunikasi di Indonesia. Edisi Revisi, Alfabeta, Bandung, hlm. 24.
5 sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”4 Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi atau disingkat (KBST) Telepon kebel perorangan/ rumah adalah suatu bentuk perjanjian yang harus ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pihak PT. Telkom dan pelanggan telepon kabel perorangan/rumah yang disingkat pelanggan, sebagai syarat berlangganan. Perjanjian ini termasuk dalam kontrak baku. yaitu suatu Kontrak atau perjanjian yang bentuk dan isinya dibuat dan ditentukan sepihak oleh PT. Telkom, sementara pelanggan hanya tinggal menerima dan menandatangani. Salah satu masalah yang dihadapi konsumen sebagai pengguna telepon kabel perorangan yang disediakan oleh PT. Telkom (persero) adalah aspek perlindungan konsumen, terkait dengan perjanjian berlangganan telepon kabel perorangan. Perjanjian berlangganan tersebut, menggunakan perjanjian baku (standar kontrak) yang beberapa ketentuannya masih mengandung klausula eksenorasi, yaitu suatu klausula yang berisi pembatasan tanggung jawab bagi pihak PT. Telkom (Persero) sebagai pelaku usaha, bilamana terjadi kerugian yang disebabkan kegagalan operasional yang dilakukan oleh PT. Telkom (persero). Dalam klausula perjanjian itu, ditetapkan semua syarat yang harus dipenuhi oleh pelanggan, sedangkan jika timbul kerugian yang diakibatkan kelalaian pelanggan/konsumen, PT Telkom (persero) cukup menunjuk pada klausulaklausula perjanjian baku yang telah mengatur hak dan kewajiban serta tanggung jawab konsumen atas kerugian yang timbul tersebut. Selain itu, perjanjian baku tersebut juga disertai lampiran-lampiran sebagai aturan tambahan yang isinya mengikat pelanggan sebagai konsumen telepon rumah. 4
Budiono. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, 2002, Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta, Direktorat Perlindungan Konsumen, Direktoran Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, hlm. 3.
6 Adapun rumusan klausula baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah : “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.5 Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan pengertian perjanjian baku adalah sebagai berikut : ”Hampir seluruh isinya klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan, yang belum dibakukan misalnya harga, jumlah, tempat, waktu dan beberapa hal lain yang spesifik dari obyek perjanjian, jadi yang dibakukan bukan formulir kontrak tapi klausul –klausulnya.” 6 Setiap bentuk perjanjian harus menjadi kesepakatan antara kedua belah pihak dan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang bunyinya untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:7 1. Kesepakatan dari para pihak. Akibatnya, pihak yang tidak sepakat dengan suatu kontrak dan (karenanya) tidak menda tanganinya, tidak terikat oleh kontrakt tersebut. Karena itu, pihak tersebut juga tidak mengemban suatu kewajiban yang ditetapkan oleh kontrak itu. 2. Kecakapan dari masing-masing pihak. Jadi, suatu pihak dapat terikat oleh suatu kontrak hanya jika dia cakap untuk mengikatkan dirinya. 3. Suatu hal tertentu. Dalam hal suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa. 4. Suatu sebab yang halal. Dalam hal ini isi kontrak tersebut tidak bertentangan oleh undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
5
Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Sutan Remy Sjahdeini, 2009, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank DI Indonesia, Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 66. 7 Budiono Kusumohamidjojo,2001, Panduan untuk Merancang Kontrak, PT. Gramedia Widiasarana, Jakarta, hlm.16. 6
7 Para pihak yang membuat kontrak kemudian juga akan tunduk pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang bunyinya: ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”8 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa isi perjanjian atau kontrak baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Dengan kata lain, tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak. Dalam perjanjian baku berlaku adagium, “take it or leave it contract.” Maksudnya apabila setuju dengan isi perjanjian tersebut silakan ambil, dan bila tidak setuju tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan. Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki kekuatan biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausul-klausul tertentu dalam kontrak baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam kontrak baku karena format dan isi kontrak dirancang oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat. Dalam KBST yang yang merancang format dan isi kontrak adalah PT. Telkom, pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, dibanding
dengan kedudukan pelanggan, sehingga
dipastikan bahwa KBST tersebut memuat klausul-klausul yang menguntungkan PT Telkom. Klausul dalam suatu perjanjian yang bersifat
8
Budiono Kusumohamidjojo, ibid, hlm. 17.
meringankan,
8 membatasi bahkan meniadakan
beban atau kewajiban-kewajiban tertentu yang
seharusnya menjadi bebannya dikenal dengan klausula eksonerasi.9 Pengertian konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.10 Lahirnya Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya disingkat UUPK, merupakan era baru dalam perlindungan hukum konsumen
di Indonesia, oleh karena dalam UUPK tersebut konsumen
mendapatkan aspek penguatan perlindungan hukum. Konsumen yang sebelumnya memiliki kedudukan dan posisi tawar (bargaining position), lemah dan sering menjadi obyek aktivitas bisnis dari pelaku usaha demi meraup keuntungan yang besar, sekarang terbentengi dengan berbagai ketentuan yang membatasi kebebasan pelaku usaha. Undang-Undang tersebut
merupakan sarana yang mestinya
dimanfaatkan oleh konsumen untuk meningkatkan posisi tawarnya menjadi semakin
kuat dalam melakukan transaksi bisnis dengan pelaku usaha.
Sejatinyalah dalam melakukan transaksi bisnis yang dipayungi dengan suatu perjanjian, hubungan konsumen dengan pelaku usaha dalam keadaan yang seimbang dan proporsional,
sehingga membawa manfaat dan keuntungan
bersama, termasuk dalam hal ini perjanjian bisnis antara konsumen pengguna
9
Ahmadi Miru, Op.Cit. hlm. 41 Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, PT.Gramedia Widiasara Indonesia, Jakarta, hlm.1. 10
9 telepon kabel perorangan dengan PT. Telkom Makassar, sebagaimana tertuang dalam KBST. Dalam Pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah : “Segala upaya yang menjamin kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen.”11 Penguatan perlindungan hukum terhadap konsumen merupakan salah satu tujuan yang mendasari pembuatan undang undang perlindungan konsumen dengan harapan terciptanya tatanan bisnis yang memiliki kepastian hukum, jujur, berkeadilan serta bertanggung jawab. Demikian Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 3 UUPK, sebagai berikut : “ Perlindungan konsumen bertujuan : a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya. b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. f. Meningkatkan kualitas barang dan / atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan / atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.”12 UUPK
juga merupakan sarana yang sangat potensil bagi masyarakat,
khususnya konsumen pelanggan PT. Telkom (Persero) cabang Makassar, sehingga segala kerugian-kerugian, keluhan-keluhan mengenai ketidak puasan 11 12
Lihat Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan Konsumen. Lihat Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
10 terhadap pelanggan telepon rumah sebagai akibat pelaksanaan Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi (KBST) Telepon rumah dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk melakukan tuntutan perdata kepada pelaku usaha melalui gugatan perorangan kepada
Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) maupun melalui peradilan umum. Demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1) UUPK, sebagai berikut : Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan dilingkungan peradilan umum13. Selain gugatan perorangan,
dalam UUPK diperkanalkan pula gugatan
kelompok masyarakat atau legal action dan gugatan Legal standing oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang pelindungan konsumen serta pemerintah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK sebagai berikut : Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh : a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan. b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yang berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikomsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.14 Gugatan kelompok (class action) atau class representative yang pernah terjadi di Indonesia adalah gugatan oleh perwakilan masyarakat yang mengatasnamakan 13 14
dirinya konsumen Elpiji se Jabotabek ( Jakarta, Bogor,
Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
11 Tangerang, Bekasi ) terhadap Pemerintah Republik Indonesia dan
PT. Pertamina
(Persero). Tbk terkait dengan kenaikan Elpiji secara sepihak oleh Pertamina.”15 Selanjutnya perkara tersebut didaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor 550/PDT.G/2000, dan diputuskan pada Tanggal 9 Oktober 2001 dengan amar pada pokoknya sebagai berikut : a. Menetapkan para penggugat (class representative) bertindak dan berkedudukan hukum untuk mewakili kepentingan hukum masyarakat konsumen Elpiji di Jabotabek ( Jakarta, Bogor. Tangerang, dan Bekasi) b. Menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum. c. Menyatakan Keputusan Pertamina Tanggal 2 November Nomor Kpts097/C0000/2000-S3 tidak sah dan cacat hukum serta memerintahkan pencabutannya; d. Menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 144.000 (seratus empat puluh empat ribu rupiah ) per bulannya kepada masingmasing penggugat (class representative) serta 16.000 (enam belas ribu rupiah) kepada masyarakat konsumen Elpiji (class member’s), dan; e. Memerintahkan pembentukan Komisi Pembayaran Ganti rugi. Sementara itu, gugatan legal standing
pernah dilakukan oleh beberapa
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu dalam perkara antara
Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, Yayasan Kanker Indonesia, melawan PT Jarum Kudus. Tbk. PT HM Sampoerna. Tbk. dan PT Rajawali Citra Indonesia (RCTI) serta PT Surya Citra Televisi (SCTV) pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, perkara mana tercatat Nomor 278/ Pdt.G/ 2002/PN. Jkt. Selatan, terkait dengan materi gugatan penayangan iklan rokok pada RCTI dan SCTV. Meskipun gugatan tersebut pada akhirnya ditolak oleh pengadilan, akan tetapi suatu hal yang harus dicatat bahwa pengadilan yang mengadili perkara tersebut, mengakui
15
Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Adtya Abadi, Bandung, hlm. 300.
12 eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perlindungan Konsumen untuk mengajukan gugatan konsumen di pengadilan.16 Berdasarkan uraian– uraian
telah dikemukakan di atas,
maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Analisis Perjanjian Jasa Telekomunikasi Antara PT. Telkom (Persero) Dengan Pelanggan Pengguna Telepon Kabel Perorangan di Kota Makassar (Suatu Tinjauan Dari Aspek Perlindungan Konsumen). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan klausula eksenorasi `dalam Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Antara PT Telkom (persero) sebagai pihak penyelenggara jasa telekomunikasi dengan pelanggan sebagai konsumen pengguna telepon kabel perorangan di Kota Makassar. 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen di dalam Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi antara PT. Telkom (Persero) Cabang Makassar sebagai pihak penyedia dan penyelenggara jasa telekomunikasi dengan pelanggan sebagai konsumen pengguna telepon kabel perorangan di Kota Makassar. C. Keaslian Penelitian Penelitian
ini
mengkaji
atau
meneliti
tentang
Perjanjian
Jasa
Telekomunikasi antara PT.Telkom (Persero) Cabang Makassar dengan Pelanggan 16
Dedi Herianto, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 251.
13 Pengguna Telepon Kabel di Kota Makassar. Secara substansi penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian telekomunikasi tersebut serta bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian jasa telekomunikasi
yang menitik beratkan pada
sudut pandang Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Meskipun demikian berdasarkan survey penulis, bahwa sebelumnya telah ada penelitian yang meneliti tentang perjanjian telekomunikasi tersebut yaitu Aspek Hukum Sewa MenyewaTelepon antara pelanggan dengan PT. (Persero) Telekomunikasi Indonesia yang diteliti oleh Sirajuddin Saleh pada tahun 1995 dalam bentuk Tesis di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Dalam penelitian tersebut secara substansi pembahasan lebih menekankan pada bentuk perjanjian antara pelanggan telepon dengan PT.Telkom serta sistem pelayanan operasional, dan proses penyelesaian sengketa tunggakan pembayaran yang dilakukan oleh pelanggan. Dari uraian di atas maka menurut penulis, penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Sirajuddin Saleh) tersebut berbeda dengan penelitian ini. Perbedaan tersebut dapat terlihat pada substansi rumusan masalah, dimana pada penelitian sebelumnya penekanan kajian lebih pada bentuk serta proses penyelesaian apabila terjadi sengketa tunggakan pembayaran oleh pelanggan dan pada perjanjian tersebut, sedangkan pada penelitian ini penulis lebih mengkaji perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi pada pelaksanaannya serta perlindungan konsumen pada perjanjian tersebut dengan merujuk pada UUPK,
14 sehingga dengan demikian menurut hemat penulis bahwa penelitian ini tetap relevan dan dapat dipertanggung jawabkan keasliannya. D. Faedah Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan sebagai berikut: a. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam rangka meningkatkan kesadaran, pemahaman konsumen selaku pelanggan terhadap makna klausula eksonerasi dalam Kontrak Berlangganan Sambungan Tekekomunikasi (KBST) telepon kabel perorangan, sehingga dengan demikian pelanggan dapat memahami akibat yang timbul berkenaan dengan klausula eksonerasi tersebut. b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi PT. Telkom untuk lebih mengedepankan aspek perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pelanggan dalam ketentuan-ketentuan Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi (KBST) telepon kabel perorangan sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak-hak konsumen sesuai amanat UUPK. E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: a. Guna mengetahui dan menganalisis Penerapan klausula eksonerasi dalam
Perjanjian Jasa Telekomunikasi Antara PT. Telkom (Persero)
Cabang Makassar sebagai pihak penyedia dan penyelenggara jasa telekomunikasi dengan pelanggan sebagai pengguna telepon kabel perorangan di Kota Makassar.
15 b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya perlindungan hukum terhadap konsumen di dalam perjanjian jasa telekomunikasi antara PT. Telkom (Persero) cabang Makassar sebagai pihak penyedia dan penyelenggara jasa telekomunikasi dengan pelanggan sebagai konsumen pengguna telepon kabel perorangan di Kota Makassar.