BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Seringkali muncul pertanyaan mengenai apakah harapan benar-benar merupakan pengobatan terbaik yang dimiliki seorang individu, terutama pada individu yang sedang menjalani proses penyembuhan dari penyakit kronis yang ia derita, contohnya kanker. Telah lama diketahui bahwa harapan memiliki kekuatan khusus. Banyak penelitian-penelitian terdahulu yang mencoba untuk mengaitkan harapan dengan proses penyembuhan. Bahkan, salah satu psikiater terbaik di abad ke-20, Karl Menninger, mempercayai bahwa harapan merupakan komponen esensial dalam proses penyembuhan (Scioli & Biller., 2009). Orangorang yang meragukan harapan dapat berperan penting bagi proses penyembuhan adalah orang-orang yang meragukan adanya hubungan antara emosi dan kesehatan (Scioli & Biller, 2009). Sebaliknya, penelitian-penelitian terdahulu, bahkan sejak zaman Hippocrates, percaya bahwa pikiran dan emosi seorang individu memiliki peranan penting terhadap proses penyembuhan dari sebuah penyakit (Scioli & Biller, 2009). Seiring perkembangan zaman, penelitian-penelitian yang membuktikan adanya keterkaitan antara emosi dan tubuh pun semakin banyak. Salah satunya adalah terbentuknya pengembangan ilmu psychoneuroimmunology (PNI) yang merupakan kerjasama antara psikolog serta pakar-pakar kesehatan untuk mencari jembatan yang menghubungkan antara emosi dan tubuh (Scioli & Biller, 2009). Dalam disiplin ilmu ini, ditemukan bahwa, emosi positif dan 1
Universitas Sumatera Utara
negatif dapat mempengaruhi hormon-hormon tertentu serta hal-hal yang bekerja di dalam tubuh lainnya yang berkontribusi untuk melawan penyakit (Scioli & Biller, 2009). Sehingga, pakar-pakar ilmu pengetahuan dan kesehatan menyepakati dua hal, yaitu: yang pertama, adanya hubungan dua arah yang menghubungkan pikiran dengan sistem imun dan sistem endokrin, dan yang kedua, pengalaman sosial dan emosional yang positif berkontribusi terhadap proses penyembuhan dari penyakit (Scioli & Biller, 2009). Penelitian-penelitian dalam PNI telah mengalami kemajuan pesat untuk membuktikan adanya keterkaitan antara emosi dan tubuh. Mereka percaya bahwa dengan membangun dan mempertahankan harapan, baik dalam jangka waktu pendek maupun dalam jangka waktu yang tidak berbatas, dapat menstimulasi dan mempertahankan kesehatan sistem saraf, sistem endokrin serta sistem imun tubuh (Scioli & Biller, 2009). Harapan, juga rasa takut, seringkali muncul pada kebanyakan individu dengan penyakit ataupun kondisi tertentu. Terutama pada individu yang menderita penyakit kronis. Penyakit kronis merupakan kondisi yang mengancam
kehidupan,
penyakit
yang
selama
bertahun-tahun
akan
memunculkan rasa sakit, penderitaan dan mengurangi kualitas kehidupan pada seorang individu (Scioli & Biller, 2009). Salah satu penyakit yang termasuk kedalam kategori penyakit kronis adalah kanker. Kanker merupakan salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh kebanyakan orang. Hanya dengan menyebutkan kata “kanker” saja, dapat menimbulkan krisis spiritual dan eksistensial bagi kebanyakan individu. Bagi 2
Universitas Sumatera Utara
seorang
wanita,
mendapatkan
hasil
mammogram
yang
hasilnya
mengindikasikan kemungkinan kanker payudara dapat membuatnya sangat cemas bahkan hingga berbulan-bulan setelah kecurigaan tersebut tidak terbukti (Lerman dkk., 1993 dalam Sarafino., 2011). Selain penyakit itu sendiri, hal lain yang menakutkan dari penyakit ini adalah mengenai alternatif pengobatannya. Walaupun semakin dini penyakit kanker tersebut terdeteksi semakin besar pula kemungkinan individu untuk sembuh, alternatif pengobatan kanker tidak dapat benar-benar menjamin bahwa pasien akan sembuh total. Masih ada resiko bahwa kanker akan muncul kembali serta kemungkinan kematian tidak akan hilang. Banyak pendapat yang mengemukakan bahwa pasien kanker yang menjalani pengobatan kanker mengalami penderitaan yang luar biasa. Dalam beberapa kasus, individu bahkan dapat meninggal karena pengobatan yang ia jalani (Oemiati dkk, 2011). Penyakit ini, beserta dengan alternatif pengobatannya, dapat mengubah kondisi fisik individu dan akan mempengaruhi kondisi psikologis penderita kanker tersebut (Oemiati dkk, 2011). . Sehingga, bagi pasien kanker, alternatif pengobatan dirasakan lebih mengancam dan lebih ditakuti daripada penyakit kanker itu sendiri (Oemiati dkk., 2011). Ancaman kematian dapat menimbulkan stress dan ketakutan bagi orang-orang yang mendapatkan diagnosa kanker. Keadaan ini memunculkan reaksi yang berbeda-beda dari pasien kanker untuk menindaklanjuti
penyakitnya.
Ada
orang-orang
yang
ingin
segera
menindaklanjuti penyakitnya, ada yang menunda, bahkan ada yang menolak
3
Universitas Sumatera Utara
untuk melakukan pengobatan sama sekali (Jacoby & Keinan., 2003). Beberapa penderita kanker bercerita kepada peneliti seperti ini: “waktu tau saya positif kanker, saya ga mikir apa-apa lagi, langsung mikir, mati lah saya ini, mati lah, ga idup lama lagi, trus saya langsung mikir harus berobat, harus berobat, ga mikir yang lain-lain lagi, sampe saya bilang sama dokternya, ayo lah dok, kapan, besok juga saya siap, gitu.. ga da saya mau nunda-nunda” (Komunikasi Personal, Juli 2013) “sebenarnya udah lama kerasa ada benjolan di sini, udah curiga kali saya itu tumor, cuman kan takut, jadi saya diamkan ajah sampe lama juga, tapi suka saya cek.. sampe waktu itu anak saya liat, mah kok ada benjolan itu? Periksa lah, itu lah saya periksa, ternyata udah kanker stadium 2.. langsung saya minta supaya langsung dikerjakan, takut makin parah...” (Komunikasi Personal, Juli 2013) “aduuh, enggak lah, nanti saja, ini juga engga sakit kok, kalo kata orang-orang, kemo itu sakit sekali, takut saya ga kuat” (Komunikasi Personal, Juli 2013) Bagi pasien kanker, mengambil keputusan untuk segera menindaklanjuti penyakitnya bukanlah hal yang sederhana. Pengobatan yang menyakitkan, dapat mengubah kondisi fisik dan mempengaruhi kondisi psikologis pasien, membuat manfaat pengobatan tidak benar-benar dirasakan oleh pasien. Pada penelitian yang melibatkan beberapa penderita kanker payudara yang harus menjalani operasi pengangkatan payudara, diketahui bahwa perubahan pada bentuk tubuh dapat mempengaruhi penyesuaian psikososial dan self-esteem, terutama dikarenakan bahwa payudara dan berat badan merupakan hal yang krusial bagi wanita (Sebastian dkk, 2008 & Pendley dkk, 1995). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa seorang penderita leukimia terpaksa harus mengurangi serta menghentikan beberapa kegiatan yang ia sukai dikarenakan kondisi fisik tubuhnya yang sudah tidak mendukung lagi semenjak menjalani pengobatan 4
Universitas Sumatera Utara
kanker dan hal ini berpengaruh terhadap penyesuaian dirinya (Rizkiana & Retnaningsih., 2009). Berbagai dampak negatif yang didapat dari pengobatan kanker membuat penderita kanker enggan menjalani pengobatan (Oemiati dkk, 2011). Kerabat peneliti yang menderita kanker juga menceritakan: “operasinya sih biasa ajah, tapi pas kemo itu, gitu masuk obatnya trus sakiiiiiiittttt kaliiiiiii, terasa panas kayak tebakar, ngilu-ngilu tulang, sakitnya itu tahan sampek berhari-hari, sampe nangis-nangis pun saya” (Komunikasi Personal, Juli 2013) “sempat malu juga, sedih, saya udah jadi botak, payudara saya udah ngga ada sebelah, suami sama anak-anak saya ajah sempat gak saya kasi bantu kalo pake baju gitu, malu saya diliat, saya kan udah cacat” (Komunikasi Personal, Juli 2013) Keputusan
untuk
menindaklanjuti
ataupun
menunda
pengobatan
dipengaruhi oleh hasil akhir yang dirasa akan mereka dapatkan jika mereka melakukan pengobatan dibandingkan dengan jika mereka tidak melakukan pengobatan (Sarafino & Smith., 2011). Pertimbangan ini didasarkan pada: kemampuan finansial (pengobatan kanker memerlukan biaya yang tidak sedikit dan akan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama bergantung pada tingkat keparahan penyakit), konsekuensi psikososial (operasi pengangkatan payudara dengan menghilangkan bagian tubuh wanita yang dianggap sebagai simbol kecantikan dapat menimbulkan rasa tidak percaya diri bagi penderita kanker payudara) serta fasilitas fisik (dokter, rumah sakit dan obat-obatan dapat dijangkau oleh penderita kanker). Jika usaha-usaha yang akan pasien kanker tempuh dianggap sebanding dengan hasil yang mungkin akan mereka dapatkan, semakin besar pula kemungkinan mereka untuk segera menindaklanjuti penyakitnya, begitu juga sebaliknya (Sarafino & Smith., 2011). 5
Universitas Sumatera Utara
Bagi kebanyakan pasien kanker, hasil akhir yang mereka inginkan dari pengobatan yang akan dijalani adalah kesembuhan. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apa keinginan dari penderita kanker telah dilakukan oleh Sanatani dkk (2007) terhadap 42 orang penderita kanker yang terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu curative treatment intent dan palliative treatment intent. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kesembuhan tetap menjadi hal utama yang diinginkan oleh penderita kanker walaupun mereka mengetahui bahwa pengobatan tidak dapat menjamin kesembuhan total. Keinginan untuk sembuh juga muncul pada pasien yang telah didiagnosa tidak akan bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama. Besarnya kemungkinan untuk sembuh bergantung pada tingkat keparahan penyakit, walaupun begitu kesembuhan dari penyakit kanker tidak dapat dijamin 100% bahkan untuk orang-orang yang patuh melakukan pengobatan (Oemiati dkk., 2011). Peneliti pernah meminta pendapat seorang kerabat mengenai penyakit kanker. Ia mengatakan: “iihh.. seram kali lah kanker itu, banyak yang mati dibuatnya... cuman satu dua ajahnya yang ku tau bisa sembuh, kayak bapak iparku itu.. udah semua di jalanin, semua dikerjakan, sampe keluar negeri pun, udah keluar banyak biaya pun, eh ga lama mati juga nya.. udahlah sakit kali kudengar kalo kemo itu, sampe menjerit-jerit orang di buatnya..itu lah sekarang jadi rajin aku cek cek kesehatan itu.. jangan sampek lah kenak yang kayak gitu jugak” (Komunikasi Personal, Juli 2013)
Memiliki tujuan untuk sembuh tidak langsung membuat pasien kanker bergerak mencari jalan terbaik untuk mencapai kesembuhan tersebut. Tetapi, memiliki alasan-alasan untuk tetap hiduplah yang menjadi tenaga penggerak bagi pasien kanker untuk menindaklanjuti penyakitnya dan berusaha mencapai 6
Universitas Sumatera Utara
kesembuhan (Scioli & Biller., 2009). Aimee Kimball, PhD, seorang direktur untuk pelatihan mental di Pusat Medis Universitas Pittsburgh, menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan hal yang paling penting untuk memunculkan kemauan individu (dalam McGonigal., 2012). Dukungan sosial dan religiusitas mampu memotivasi pasien untuk berobat, membuat pasien kanker untuk tidak menjadi semakin terpuruk dan mampu menumbuhkan perasaan positif di dalam dirinya (Fitriana & Ambarini., 2012 dan Allifni., 2011). Abdullah-zadeh dkk (2011) telah melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk melihat tingkat harapan pada pasien kanker di Iran. Penelitian ini melibatkan pasien yang telah didiagnosa kanker, memiliki kepedulian terhadap penyakitnya dan berusia paling tidak 18 tahun. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa dukungan keluarga berkorelasi positif terhadap kemauan pasien untuk sembuh. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan hasil bahwa umur, jenis kelamin, jenis dan stadium kanker tidak berpengaruh terhadap harapan. Keberadaan keluarga dan teman dapat menyemangati pasien untuk terus melanjutkan pengobatan ketika pasien menolak untuk menjalaninya. Selain itu, karakteristik kepribadian pasien, jika ia memang perduli tentang kesehatan dirinya, akan memunculkan kesadaran bahwa pengobatan merupakan proses yang harus ia jalani untuk mencapai kesembuhan (Sarafino & Smith., 2011). Kerabat peneliti yang menderita kanker tadi juga menceritakan: “sembuh lah.. mau sembuh.. memang sakit kemo itu, tapi cemanalah, itu memang yang harus dijalani, ngapain kita pelihara penyakit ya kan? Untung lah ada anak-anak ini juga, yang bisa ngurus selama saya sakit... ganti-gantian orang ni nungguin saya di rumah sakit... kawan-kawan saya pun tiap hari datang, rame-rame, lucu-lucu, ketawa ajah kalo mereka datang, walopun kalo pas udah sepi suka 7
Universitas Sumatera Utara
nangis kesakitan, tapi saya semangat ajah, percaya kalau kita berusaha, Tuhan pasti akan bantu, kan Tuhan yang menentukan kapan kita bakal mati, jadi saya nikmati ajah semuanya” (Komunikasi Personal, Juli 2013) Tidak hanya itu, penderita kanker yang memiliki alasan-alasan untuk bertahan hidup akan mencari berbagai cara untuk mencapai kesembuhan. Tercapainya kesembuhan bisa melalui pengobatan medis, non-medis atau hal-hal lain yang dirasakan akan bermanfaat bagi kesehatan mereka. Mereka percaya bahwa mereka dapat mengatasi berbagai rintangan yang mungkin muncul dalam perjalanan mereka mencapai kesembuhan dan percaya bahwa mereka dapat mencapai kesembuhan itu (Scioli & Biller., 2009). Kesembuhan (goals), keinginan dan alasan-alasan untuk mencapai kesembuhan (willpower) serta menempuh berbagai cara untuk mencapai kesembuhan (waypower) merupakan hal-hal
yang saling terkait,
yang
mempengaruhi satu sama lain. Keterkaitan antara goals, willpower dan waypower inilah yang dikenal sebagai harapan. Ketiga komponen ini diperlukan untuk menentukan apakah ada atau tidak harapan di dalam diri seseorang (Snyder., 1994). Untuk meningkatkan resiliensi individu yang mengalami penyakit kronis, harapan diketahui dapat membantu individu untuk memobilisasi sumber dayasumber daya yang ia miliki untuk melawan penyakit yang ia derita (Kodish dan Post, 1995). Tidak hanya bergantung dengan pengobatan yang disarankan oleh dokter, penderita kanker diharapkan juga aktif mencari hal-hal lain yang dapat membantu pengobatannya menjadi lebih efektif lagi. Harapan tidak akan lengkap tanpa adanya kemauan untuk memilah, memanfaatkan dan menjalani 8
Universitas Sumatera Utara
pilihan-pilihan maupun sumber daya - sumber daya yang dapat berkontribusi terhadap pengobatan yang lebih efektif. Komponen motivasional diperlukan untuk memunculkan kemauan individu penderita kanker untuk berupaya mencapai kesembuhan. Pada kebanyakan individu yang menderita penyakit kronis, termasuk kanker, harapan juga rasa takut, seringkali muncul (Scioli & Biller, 2009). Harapan merupakan hal yang esensial dan mempertahankan harapan akan memberikan pemberdayaan psikologis bagi pasien dengan penyakit yang parah (Elliot & Olver, 2009). Folkman menyatakan bahwa harapan merupakan proses penilaian kembali yang dapat menurunkan ancaman dari penyakit (Folkman, 2010). Menurut survey yang dilakukan terhadap dokter-dokter spesialis kanker, 90% dari mereka menyetujui bahwa harapan merupakan faktor psikologis yang paling penting yang memiliki hubungan terhadap meningkatnya survival rates bagi pasien kanker (Scioli & Biller., 2009). Dr. Bernie Siegel, seorang onkologis, menawarkan harapan dan ketenangan terhadap orang-orang yang sakit dan berada di ambang kematian dengan menceritan kisah-kisah heroik pasiennya. Menurut Siegel: “Harapan merupakan sumber daya yang menakjubkan bagi dokter. bahkan ketika sesuatu itu tampaknya tidak memiliki harapan, memberikan seseorang harapan tidak akan pernah menjadi langkah yang salah...” (Dr. Bernie Siegel, dalam Scioli & Biller., 2009) Harapan merupakan hal yang esensial bagi kesejahteraan pasien (Herth, 1995) serta meningkatkan kepatuhan pasien untuk mengikuti pengobatan yang disarankan oleh dokter (Gordon & Daugherty., 2003). Adanya anggapan bahwa 9
Universitas Sumatera Utara
penyakit ini merupakan penyakit yang mematikan dan sulit untuk disembuhkan dapat membuat penderita kanker menjadi putus asa dan peseimis akan kesembuhan dirinya sendiri. Sehingga, bukanlah merupakan suatu hal yang mengejutkan jika para pekerja di bidang kesehatan (termasuk dokter, perawat, psikolog)
diharapkan
untuk
dapat
membantu
pasien
membangun,
mempertahankan serta melindungi harapan pasien (Kudish & Post., 1995). Para dokter dan pasien dapat bekerja bersama-sama untuk membangun harapan. Dokter diminta untuk membantu pasien dalam meningkatkan harapan karena harapan merupakan salah satu kekuatan penyembuh yang terdaoat di dalam jiwa manusia. Harapan juga bertanggung jawab dalam meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis dari pasien, serta pemahaman bahwa adanya keterbatasan dokter dalam memprediksi masa depan dengan penuh keyakinan (Kudish & Post., 1995). Berdasarkan uraian dan kisah-kisah singkat di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai dinamika harapan pada penderita kanker. Peneliti tertarik untuk membahas topik ini dikarenakan harapan memiliki peran penting untuk memotivasi munculnya kemauan individu agar berupaya mencapai kesembuhan. Harapan yang berada dalam pikiran masing-masing individu, yang membuat harapan bersifat pribadi, akan memunculkan kisah yang berbeda-beda dan unik selama individu penderita kanker menjalani proses penyembuhan. Selain itu, topik terkait hal ini masih sedikit diteliti, terutama di Indonesia.
10
Universitas Sumatera Utara
I. B. Perumusan Masalah Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian, yaitu bagaimana dinamika harapan pada penderita kanker?
I. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dinamika harapan pada penderita kanker dengan mengetahui harapan seperti apa yang diinginkan oleh penderita kanker dan usaha
penderita kanker dalam mewujudkan harapan
tersebut.
I. D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat : a. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang dinamika harapan pada penderita kanker. b. Menjadi referensi bagi peneliti-peneliti lain dengan kajian serupa. c.
Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi mengenai dinamika harapan pada penderita kanker.
11
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat : a.
Memberikan sumbangan informasi pada penderita kanker, keluarga serta masyarakat mengenai hal-hal terkait dinamika harapan pada penderita kanker.
b. Memberikan masukan atau inspirasi kepada penderita kanker untuk menghadapi penyakit yang diderita dengan cara yang adaptif agar dapat menjalani proses penyembuhan dengan baik. c. Memberikan informasi mengenai pentingnya harapan bagi para penderita kanker, agar keluarga maupun pihak-pihak lain yang terkait dapat memberikan dukungan bagi penderita kanker untuk terus mengembangkan harapan dan menjalani proses penyembuhan. d. Memberikan informasi mengenai hal-hal apa saja yang mempengaruhi munculnya harapan pada penderita kanker.
I. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I
:
Pendahuluan berisi penjelasan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, menfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
:
Landasan Teori berisi
teori-teori
kepustakaan
yang
digunakan sebagai landasan dalam penelitian.
12
Universitas Sumatera Utara
BAB III
:
Metode Penelitian berisi mengenai penjelasan metode penelitian yang digunakan peneliti, mencakup tentang pendekatan pengumpulan
kualitatif, data,
partisipan alat
bantu
penelitian,
metode
pengumpulan
data,
kredibilitas penelitian, prosedur penelitian, dan metode analisa data. BAB IV
:
Hasil dan Pembahasan berisi mengenai uraian hasil penelitian serta pembahasan mengenai hasil penelitian.
BAB V
:
Kesimpulan dan Saran berisi uraian kesimpulan dari hasil penelitian serta saran untuk pihak terkait dan penelitian selanjutnya.
13
Universitas Sumatera Utara