1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai media, karya sastra menjadi jembatan yang menghubungkan pikiran-pikiran pengarang yang disampaikan kepada pembaca. Dalam hubungan antara pengarang dengan pembaca, karya sastra menduduki peranperan yang berbeda. Selain berperan dalam transfer informasi dari pengarang ke pembaca, karya sastra juga berperan sebagai teks yang diciptakan pengarang dan sebagai teks yang diresepsi oleh pembaca. Karya sastra merupakan pencitraan dari sosial budaya kehidupan yang diciptakan dari hasil imajinasi pengarang. Ide-ide yang muncul berasal dari hasil imajinasi pengarang. Wellek dan Warren (1993:20) menyatakan bahwa istilah sastra sebagai karya “imajinatif” tidak semua karya sastra merupakan imaji atau khayalan belaka. Beberapa karya sastra memang diciptakan murni dari khayalan pengarang, namun ada pula yang diciptakan berdasarkan pengalaman atau pengamatan yang nyata terhadap suatu realita. Realita inilah yang pada akhirnya dapat memunculkan fenomena-fenomena kehidupan yang dapat menjadi suatu permasalahan. Penciptaan sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam karya sastra hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran masing-masing anggota
2
masyarakat, maupun interaksi yang terjalin di antara seluruh anggotanya. Suatu hal yang dapat dimengerti bahwa karya sastra termasuk di dalamnya karya fiksi merupakan suatu produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politis, etika, religi, dan filosofis. Jenis karya fiksi (prosa) memiliki ciri khas yaitu jenisnya yang bersifat pembeberan.
Melalui
karangan
tersebut,
seakan-akan
pengarang
berusaha
menguraikan seluruh ungkapan perasaan dan pikirannya secara terperinci. Segala peristiwa dan kejadian serta seluruh jalan hidup tokoh ceritanya diuraikan sedemikian rupa hingga pembaca dengan mudah mengikuti jalan ceritanya dari awal hingga selesai. Semua fakta sastra menyiratkan adanya penulis, buku, dan pembaca, atau secara umum dapat dikatakan pencipta, karya, dan publik. Pada semua bagian itu (unsur-unsur dalam karya sastra), kehadiran individu pencipta menimbulkan masalah interpretasi psikologis, moral, filasafat. Media karya menimbulkan masalah estetika, gaya, bahasa, teknik. Adanya kolektivitas publik menimbulkan masalah dari segi historis, politik, sosial, bahkan ekonomi. Demikian halnya dalam studi sastra dituntut metode yang sesuai dengan hakikat dan kenyataan karya sastra itu sendiri. Wellek (dalam Pradopo 2008: 3) mengungkapkan bahwa kesusastraan jangan dikonsepsi hanya sebagai cermin pasif atau tiruan perkembangan politik, masyarakat, atau bahkan intelek manusia. Sastra hendaknya ditetapkan dengan kriteria sastra yang murni. Karya sastra, dalam wujud apa pun memiliki kandungan yang selalu dibalut oleh unsur-unsur estetis. Di samping
3
itu, unsur imajinatif dan berbagai tafsir adalah ciri yang melekat dan pastinya akan selalu ada. Jika tidak ada unsur-unsur fiktif. karya sastra patut dipertanyakan kesahihannya. Menurut Pradopo (2008: 8) karya sastra merupakan karya kreatif sehingga sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Di samping itu, sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia. Hal ini dikarenakan obyek seni sastra adalah pengalaman hidup manusia terutama menyangkut sosial budaya, kesenian, dan sistem berpikir. Sastra memiliki ciri khas, pada dasarnya sastra bersifat naratif dan karenanya dapat dikategorikan sebagai accepted history. Seni sastra dianggap sebagai jejak sejarah dan mengandung informasi yang dianggap terjadi dan bermakna dalam skala luas dan sempit. Karya sastra diciptakan manusia dengan beberapa alasan yang dikeluarkan oleh pengarang di antaranya yaitu proses berpikir secara fiktif, imajinatif, kontemplasi, dan mengenali realita yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut akan diungkapkan oleh pengarang di dalam maupun di luar cerita, sehingga dalam penciptaan karya tersebut akan terjadi keselarasan atau bisa dikatakan harmonis. Menggeluti dunia sastra adalah panggilan hidup untuk memuliakan nilai dan martabat kemanusiaan, kreativitas sastrawan akan senantiasa diuji oleh zaman dan dinamika peradaban. Karya sastra berfungsi sebagai suatu tindakan komunikasi antara penulis dan pembaca, serta menjembatani antara satu pembaca dengan pembaca lain. Di
4
tingkat cerita, pertanyaan paling penting adalah pandangan terhadap peristiwa, dan perilaku siapa yang ditampilkan, serta pandangan siapa yang diabaikan. Pada periode tertentu dari babakan sejarah kesusastraan, pengklasifikasian yang dilakukan oleh ilmuwan sastra dipandang sebagai pembuatan aturan tertentu terhadap jenis-jenis sastra. Padahal aturan yang dimaksud berasal dari kenyataan keberadaan kesusastraan saat pengklasifikasian itu dilakukan. Sebuah pencipta sastra tidak hanya harus indah, tetapi juga harus bernilai, sehingga bisa memberikan pengalaman-pengalaman baru bagi penikmatnya. Keindahan cipta sastra tidak hanya dapat ditinjau dari kemampuan pengarang dalam mengolah kata-kata maupun bahasa yang akan dituangkan dalam karyanya. Kesusastraan suatu bangsa dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan, begitu juga halnya kesusastraan di Indonesia. Dalam perkembangannya tersebut kesusastraan Indonesia memiliki suatu hal yang dinamakan dengan periode sastra. Periode dalam hal ini dijelaskan oleh Wellek (dalam Pradopo 2008: 2) yaitu sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem norma-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi dan kelenyapannya dapat dirunut. Melalui proses sosialisasi dan internasi nilai sosial yang terbentuk melalui interaksi, masyarakat mengembangkan mitos-mitos tentang gender mengenai hal yang wajib dilakukan oleh laki-laki atau perempuan (Sugihastuti, dkk 2003: 154). Perempuan diberi pekerjaan menyelenggarakan rumah dan mendidik anak. Dalam lingkup pekerjaan yang demikian, perempuan harus bergantung pada laki-laki,
5
jiwanya tidak diberi kebebasan untuk tumbuh dengan sempurna dan puncak kecerdasan, kemajuan yang dapat dicapai oleh perempuan telah dibatasi. Di dalam dunia imajiner, karakter laki-laki adalah pahlawan, sedangkan karakter perempuan dibentuk sesuai dengan gagasan dan fantasi laki-laki. Tokoh perempuan bisa menjadi sosok pahlawan hanya dalam ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh kaum pria. Dengan demikian, kaum perempuan dididik untuk membaca seperti laki-laki dan dengan mudah terpelosok ke dalam kebiasaan mengasingkan dari diri pengalaman-pengalaman serta emosi-emosi perempuan. Kaum perempuan diarahkan untuk berpihak pada karakter laki-laki.
Adanya
tradisi yang menghendaki perempuan menjadi pengurus rumah tangga dan keluarga, sebagian besar masa hidupnya dihabiskan dalam lingkungan rumah saja. Di samping itu perempuan tidak diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi, memangku jabatan tertentu atau menekuni profesi tertentu. Masyarakat tradisional pada waktu itu beranggapan bahwa bagi seorang perempuan (gadis) sudah cukup jika dia mempunyai keterampilan menulis, membaca dan menghitung (Djajanegara, 2000: 6). Dengan demikian adanya keterbatasan itu membuat nasib perempuan termarjinalisasi. Marginalisasi perempuan menjadikan perempuan sebagai the second class atau warga kelas dua yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Dikotomi nature dan culture telah digunakan untuk menunjukan pemisah dan stratifikasi antara perempuan dan laki-laki. Perempuan yang memiliki sifat alam (nature) harus ditundukan agar mereka lebih berbudaya. Usaha membudayakan perempuan tersebut
6
menyebabkan terjadinya proses produksi dan reproduksi. Ketimpangan hubungan antara perempuan dan laki-laki. Implikasi dari konsep common sense tentang pemosisian yang tidak seimbang telah menjadi kekuatan di dalam pemisahan sektor kehidupan ke dalam sektor ”domestik” dan ”publik”, ketika perempuan dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik, sementara laki-laki ditempatkan sebagai kelompok yang berhak mengisi sektor publik (Abdullah, 1997: 3). Ideologi semacam ini telah disahkan oleh berbagai pranata dan lembaga sosial, yang ini kemudian menjadi fakta sosial tentang status dan peran-peran yang dimainkan oleh perempuan. Peran-peran domestik secara alami dimiliki oleh kaum perempuan. Asumsi terorientasi nature menyatakan bahwa kaum perempuan secara alami memilki sifat (feminim) keibuan, penyabar dan lain-lain. Sifat ini cocok untuk ibu rumah tangga. Akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan (Muthali’in, 2000:39) Kerjasama di sektor publik dapat dilihat pada peranan perempuan di berbagai bidang. Misalnya bidang pertanian, dalam bidang ini kerjasama antara lakilaki dan perempuan waktu penanaman dan pemetakan dilakukan kaum perempuan sedangkan dan pengangkutan dilakukan oleh kaum laki-laki (Muthali’in, 2000:40) Perbedaan domestik dan publik hanya merupakan salah satu ”jalan masuk” untuk melihat kembali pembentukan realitas sosial, ekonomi dan politik perempuan. Dikotomi semacam ini perlu dikaji ulang mengingat gambaran kehidupan kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik perempuan telah berkembang sedemikian pesat. Sejalan dengan persoalan di atas, tiga proses dalam pembentukan realitas
7
perempuan perlu ditekankan: konstruksi, dekontruksi, dan rekontruksi. Dengan demikian dapat terlihat bahwa dari tahun ke tahun keberadaan perempuan dalam novel mengalami perubahan. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengarang sebagai pencipta karya sastra yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial budaya yang berkembang ketika karya sastra itu diciptakan. Berkaitan dengan fenomena dan penerapanya terhadap karya sastra terutama karya sastra Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian tentang potret perempuan yang terdapat dalam novel ”Perempuan Panggung” karya Iman Budhi Santosa dengan pendekatan gender. Selain itu, telah banyak dikemukakan bahwa masalah yang berhubungan dengan perempuan banyak ditemukan pada novel-novel Indonesia beberapa di antaranya menggambarkan perempuan. Potret ”Perempuan Panggung” Karya Iman Budhi Santosa menjadi menarik kerena novel tersebut ditulis dan mengambil latar pada masa ketika perempuan mulai banyak terjun ke dunia publik. Penelitian yang berjudul Potret Perempuan dalam Novel Perempuan Panggung Karya Iman Budhi Santosa adalah pengembangan dari penelitianpenelitian sebelumnya. Penelitian yang menjadi landasan dalam skripsi ini di antaranya skripsi “Potret Perempuan dalam Karya Sastra Indonesia (Studi Komparatif Antara Novel Saman karya Ayu Utami dan Belantik karya Ahmad Tohari)” oleh Elis Dewi Hajar Mastrin (2004), serta skripsi “Analisis Tokoh Perempuan Laila dalam Novel Laila Majnun karya Nizami Ganjavi (Sebuah Tinjauan Strukturalisme)” oleh Nori Sofyawati (2010).
8
Penelitian yang berjudul “Potret Perempuan dalam Karya Sastra Indonesia (Studi Komparatif Antara Novel Saman karya Ayu Utami dan Belantik karya Ahmad Tohari)” oleh Elis Dewi Hajar Mastrin (2004) membahas masalah kedudukan dan peranan tokoh perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat. Kemudian skripsi Nori Sofiyawati (2010) yang berjudul Analisis Tokoh Perempuan Laila dalam Novel Laila Majnun karya Nizami Ganjavi (Sebuah Tinjauan Strukturalisme). Penelitian ini menitikberatkan pada pemikiran dan perasaan yang dialami oleh tokoh Laila. Dengan demikian terlihat adanya perbedaan, bahwa dalam penelitian ini lebih menekankan
pada perjuangan seorang perempuan dalam mempertahankan
prinsipnya di dunia yang tidak mengenal belas kasih yang meliputi peran dan kedudukan perempuan dengan menggunakan persepektif gender. Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian tentang “Potret Perempuan dalam Novel “Perempuan Panggung” Karya Iman Budhi Santosa” perlu dilakukan. 1.2 Masalah 1.2.1 Jangkauan Masalah Jangkauan masalah dalam penelitian ini terkait dengan permasalahan peran, kedudukan, serta kekerasan terhadap perempuan yang tercermin di dalam novel Perempuan Panggung karya Iman Budhi Santosa. Permasalahan tersebut meliputi peran dan kedudukan.
1.2.2 Batasan Masalah
9
Pembatasan masalah ini dimaksudkan untuk membatasi masalah yang diteliti, sehingga akan memudahkan serta mengarahkan peneliti mengadakan penelitian. Penelitian ini dibatasi pada permasalahan peran dan kedudukan yang dialami tokoh perempuan dalam kehidupannya. 1.2.3 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah peran tokoh perempuan dalam novel Perempuan Panggung karya Iman Budhi Santosa? 2) Bagaimanakah kedudukan tokoh perempuan dalam novel Perempuan Panggung karya Iman Budhi Santosa? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah penelitian, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1)
mendeskripsikan peran tokoh perempuan dalam novel Perempuan Panggung karya Iman Budhi Santosa.
2)
mendeskripsikan kedudukan tokoh perempuan di dalam novel Perempuan Panggung karya Iman Budhi Santosa.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut: 1)
secara teoretis, penelitian ini bermanfaat sebagai masukan berbasis riset untuk konsep sastra dengan masyarakat, khususnya memperkaya kajian
10
ekstrinsik karya sastra dengan persepektif gender dalam teori maupun kritik sastra. 2)
secara praktis, penelitian ini dijadikan referensi hasil penelitian bagi peneliti tingkat pemula untuk menganalisis sastra dengan kajian gender.
1.5 Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman dalam mengartikan istilah, maka peneliti mendata beberapa istilah yang disertai dengan pengertiannya. Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1)
Sastra adalah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan ataupun tulis yang dapat menimbulkan rasa bagus. Keindanan merupakan objek yang secara langsung dan hanya dapat ditangkap oleh indera manusia, terutama yang berkaitan dengan aspek kejiwaan afektif yang dikenal dalam proses pembelajaran selama ini (Badudu, 1984: 5).
2)
Novel adalah cerita tentang suatu pencarian yang berdegredasi akan nilainilai otentik yang dilakukan oleh hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga berdegredasi. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik menurut Goldmann tersebut adalah nilai-nilai yang mengorganisasikan dunia-dunia novel secara keseluruhan meskipun hanya secara implisit, nilainilai itu hanya ada dalam kesadaran si novelis, tidak dalam karakter-karakter sadar atau realitas konkrit, singkatnya nilai-nilai otentik itu adalah totalitas kehidupan. (Goldmann dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 15)
11
3) Potret adalah gambaran (dalam hal ini gambaran perempuan) dalam novel “Perempuan Panggung” mengenai kedudukan dan peran perempuan. Potret diartikan sama dengan citra perempuan adalah wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh perempuan (Wiyatmi, 2009: 86). 4) Kedudukan adalah posisi hirarki, suatu wadah hak dan kewajiban, aspek status dari peran yang dikaitkan dengan posisi jumlah peranan ideal dari seorang perempuan (Soekanto, 1990: 264) 5) Peran perempuan adalah peran perempuan yang berada dalam lingkungan keluarga dan rumah tagga seperti mendidik anak (Djajanegara,2004:4) 6) Gender adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula.