1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam sejarah sastra Indonesia pada awal tahun 2000 dan sesudahnya, bermunculan perempuan-perempuan pengarang yang menulis masalah-masalah yang dihadapi perempuan dalam karya-karyanya, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Melalui catatan sejarah sastra Indonesia pula, masalah-masalah perempuan yang diangkat oleh perempuan-perempuan pengarang ini cenderung mengenai isu-isu seksualitas dalam karya-karya mereka, baik isu-isu seksualitas sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Isu-isu seksualitas yang dikisahkan perempuan-perempuan pengarang ini selanjutnya memunculkan istilah sastra wangi sekaligus istilah sastra seksual serta memunculkan pro dan kontra dalam dunia sastra Indonesia. Selain disebabkan isu-isu seksualitas dalam karya-karyanya yang menggunakan bahasa yang dianggap vulgar oleh sebagian masyarakat, istilah sastra wangi muncul karena perempuan-perempuan pengarang yang berkarya pada awal tahun 2000an tersebut merupakan perempuan-perempuan muda, cantik, dan wangi. Sebagaimana Meidy Loekito mengemukakan bahwa sastra wangi merupakan sebutan untuk generasi sastrawan perempuan masa kini yang muda dan cantik (2003: 147). Selanjutnya pula, Loekito menjelaskan bahwa penyebutan sastra wangi tidak dapat dipisahkan dari dua hal, yaitu perempuan sebagai pengarangnya dan seks sebagai isi cerita. Sastra wangi merupakan terobosan baru dalam dunia sastra Indonesia pascaorba yang menawarkan
2 hal-hal yang bersifat seksualitas, dengan cerita seputar hubungan perkelaminan, homoseksualitas, dan kelainan seksual lain, yang merupakan pelecehan terhadap sastra (2003: 130). Dengan demikian kemunculan istilah sastra wangi dalam sastra Indonesia ditujukan sebagai labelisasi terhadap perempuan-perempuan pengarang muda dan cantik yang menulis cerita seputar seksualitas dan segala masalah yang ada di dalam seksualitas itu sendiri. Sementara itu, sebagian masyarakat yang lain menganggap bahwa cerita-cerita tentang seksualitas dengan menggunakan bahasa-bahasa yang dianggap vulgar itu adalah pembaruan bagi dunia sastra Indonesia. Negara membungkam pembaruan yang disuarakan oleh perempuan-perempuan pengarang akan seksualitas yang masa Orde Baru. Sebagaimana dinyatakan oleh Arivia bahwa selama masa Orde Baru berkuasa, perempuan secara biologis didefinisikan sebagai manusia yang lemah, sensitif, dan emosional, sehingga peran publiknya tidak mendapatkan posisi yang setara. Tubuh perempuan didefinisikan secara maternal lengkap dengan atribut-atributnya sebagai makhluk keibuan, perawat, dan lemah lembut yang menampilkan sosok perempuan yang diterima oleh masyarakat patriarkal (2006: 85-86). Berawal dari definisi biologis yang dilekatkan pada perempuan tersebut, maka ketika masa pemerintahan Orde Baru tidak lagi berkuasa dan perempuan-perempuan pengarang menulis karya-karya yang menyuarakan pembebasan atas tubuhnya, maka perempuan-perempuan pengarang ini mendapatkan labelisasi sastra wangi, sebuah bentuk lain dari pornografi, sastra seksual sebagaimana dinyatakan Loekito (2003). Akan tetapi, Mohamad menyampaikan bahwa unsur seksualitas dalam karya sastra tidak secara cepat disimpulkan sebagai bentuk pornografi, karena pornografi dan sastra memiliki perbedaan yang sangat mencolok.
3 Sebuah karya sastra mengutamakan keindahan suatu cerita dan memiliki bobot sendiri, walaupun ditulis dengan unsur seksualitas. Arivia juga menyatakan bahwa seksualitas merupakan hal yang sah dimiliki manusia dan dibutuhkan dalam kehidupan, sehingga semestinya diterima dengan sikap wajar dan tanpa ketegangan, sebagaimana manusia menerima tubuhnya sendiri (1980: 60). Salah satu di antara perempuan-perempuan pengarang yang menjadi bagian dalam pro dan kontra labelisasi sastra wangi di Indonesia ini adalah Djenar Maesa Ayu, yang juga menjadi objek penelitian ini. Karya-karya Djenar tidak saja cukup berani menampilkan tema-tema yang kontroversial, tetapi juga memperkenalkan suatu gaya penulisan yang merupakan pembaruan berarti dalam perkembangan sastra Indonesia saat ini (Oh, 2012: xxvi). Bandel juga menyampaikan bahwa bila dilihat dari segi tema karyanya, karya Djenar membawa warna baru yang bisa dikatakan cukup menarik. Djenar menjadi bagian dari mode “tulisan berbau seks” yang sedang melanda Indonesia, namun tulisannya memiliki arah khas. Tema yang sering digarapnya adalah trauma masa kecil, hubungan problematis seorang gadis dengan orangtuanya, dan pelecehan seksual, di samping persoalan lain yang berhubungan dengan seksualitas, moralitas, dan gender, misalnya perselingkuhan dan dunia pelacur kelas atas (2006:143). Pada bagian lain, Bandel menyampaikan bahwa Djenar menulis karya dengan mengikuti pilihan tema yang sedang “laku” di masyarakat, yaitu tema seksualitas dan melupakan eksplorasi yang lebih dalam pada karya-karya yang ditulisnya, sehingga Djenar telah/sedang menghancurkan sebuah potensi menjanjikan yang dimilikinya sebagai penulis perempuan (2006: 162163). Pendapat Bandel tersebut menempatkan Djenar berada di dua ranah sekaligus, yaitu pertama, dalam ranah sastra wangi dengan menyebut Djenar sebagai penulis yang
4 menjadi bagian dari mode “tulisan berbau seks”, ketika bahasa-bahasa yang digunakan Djenar mengarah pada bahasa yang vulgar dan kedua, menyebut tulisan Djenar memiliki arah khas dengan tema tentang trauma masa kecil, hubungan problematis seorang gadis dengan orangtuanya, pelecehan seksual, seksualitas, moralitas, dan gender. Bila penggunaan bahasa Djenar dianggap vulgar dan digolongkan sebagai bagian dari sastra wangi di Indonesia, maka Arivia menyebut bahwa Djenar Maesa Ayu telah melakukan capaian yang luar biasa dan patut dicatat telah melahirkan karya-karya sastra penting dan bukan sekadar “sastra wangi”, karena sebutan “sastra wangi” jelas mengganggu bila yang dimaksudkan adalah karya mereka tidak penting (ringan) (2006: 165). Bagi Arivia, Djenar menyampaikan pendobrakan atas keterkungkungan perempuan melalui bahasa yang digunakannya, karena berpikir dan menulis di dalam “kotak” (yang ditentukan
laki-laki)
membuat
perempuan
kehilangan
makna
yang
dicari,
membingungkan, dan tidak mengerti aturan-aturan yang bermain di dalam dunia simbolik. Sebab “kotak” yang dipaksakan merupakan suara otoritas laki-laki yang selalu memeriksa, menakutkan, membodohkan, menguburkan dan menciutkan diri, dan membekap napas perempuan untuk berekspresi (2006: 168). Selain itu, Djenar juga menyampaikan potret pahit soal hak reproduksi perempuan yang selama ini diabaikan, bahkan oleh perempuan itu sendiri dan Djenar menyampaikannya melalui bahasa yang keluar dari “kotak” untuk menggambarkan kepedihan dan kemarahan yang dirasakan perempuan sekaligus membangun solidaritas perempuan dalam membela rumah rahim mereka (2006: 168-169). Bila penggunaan bahasa Djenar dianggap vulgar dan digolongkan sebagai bagian sastra wangi di Indonesia, maka Arivia menolak sebutan tersebut, karena tidak ada separatisme perempuan—laki-laki dalam penulisan sastra,
5 yang ada hanyalah pembedaan tulisan bagus dan tulisan jelek (good writing and bad writing) dalam penulisan sastra. Bila penyebutan sastra wangi terjadi akibat perempuan menuliskan karya dengan tema yang lebih dekat pada cinta, keluarga, dan seksualitas perempuan, maka itu tidaklah benar, karena banyak juga laki-laki seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan Sapardi Djoko Damono juga menuliskan karya dengan tema-tema yang sama dengan pengarang-pengarang perempuan (2006: 163). Dengan demikian Arivia berpendapat bahwa cinta, keluarga, seksualitas merupakan tema-tema karya yang dapat ditulis oleh siapa saja, baik pengarang perempuan maupun laki-laki. Begitu pula dengan bahasa yang digunakan sebagai media dalam karya sastra oleh pengarang-pengarang tersebut, yang sesungguhnya merupakan bahasa milik pengarang perempuan dan lakilaki, bahasa manusia secara universal, terlepas dari “kotak” bahasa laki-laki dan perempuan. Dengan demikian penggunaan bahasa dalam karya sastra merupakan sebuah mediasi (perantara); sebuah sarana untuk menyampaikan pemikiran, representasi, penyampai konsep pengarang tentang dunia idenya pada pembaca. Sebagaimana Gadamer menyampaikan bahwa bahasa merupakan mediasi pemahaman bagi manusia tentang dunia hidupnya, sehingga bahasa merupakan sarana interaksi bagi pemahaman. Selanjutnya, pemahaman bahasa terjadi ketika seseorang menjadikan dunia sebagai proses dan meletakkannya di antara kelompok (masyarakat), seperti sebuah objek yang diperdebatkan. Dunia sebagai ruang terbuka tempat manusia berada merupakan bidang pemahaman secara bersama yang diciptakan oleh bahasa sebagai dunia, sehingga manusia ada melalui bahasa (Palmer, 2003: 245).
6 Keberadaan manusia melalui bahasa sebagai proses tak-sadar yang dialami setiap manusia ini disampaikan Lacan bahwa manusia hadir melalui bahasa sejak awal pembentukan diri sebagai subjek ke dunia melalui simbolik. Kehadiran manusia diwakili oleh bahasa, oleh objek-objek khusus yang disebut “kata-kata”, dalam hal ini Lacan menggunakan istilah “penanda” untuk menggantikan “kata”. Bila seseorang berbicara atau menulis, ia selalu mewujudkan dirinya dalam bahasa, dengan penanda-penanda. Penanda-penanda adalah satu-satunya cara subjek itu dapat mewujudkan dirinya (Hill, 2002: 29-30). Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi dan interaksi antarmanusia dalam bermasyarakat, termasuk di dalamnya sarana mediasi (perantara) antara pengarang dengan pembaca dalam karya sastra, sarana bagi pembaca untuk mengetahui ekspresi pengarang dalam menyampaikan dunia idenya melalui penandapenanda yang dihadirkan dalam bahasa karya sastra. Begitu pula dengan penggunaan bahasa Djenar yang digunakan sebagai penyampai pesan dan ekspresi keberadaannya sebagai pengarang pada pembaca (masyarakat), termasuk isu-isu seksualitas di dalam karya-karyanya. Dalam penelitian ini, objek penelitian yang digunakan adalah karya-karya Djenar Maesa Ayu (yang selanjutnya akan disebut DMA), terutama karya-karya awal yaitu Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Nayla, dan Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek (yang selanjutnya akan disebut sebagai karya “4in1 Djenar”). Pengambilan objek penelitian terhadap karya-karya DMA ini dilakukan peneliti atas beberapa pertimbangan (1) DMA merupakan salah satu perempuan pengarang yang termasuk dalam pro dan kontra generasi sastra wangi dalam sejarah sastra di
7 Indonesia, karena kemunculan karya-karyanya menggunakan bahasa-bahasa vulgar dan sarat dengan isu-isu seksualitas; (2) isu-isu seksualitas yang diangkat DMA dalam karyakaryanya memiliki ciri khas sebagaimana disebut oleh Katrin Bandel yang mengangkat tentang trauma masa kecil, hubungan problematis seorang gadis dengan orangtuanya, pelecehan seksual, seksualitas, moralitas, dan gender; dan (3) karya-karya DMA yang termasuk dalam “4in1 Djenar” merupakan karya-karya yang mendapat banyak tanggapan dari pembaca dengan adanya beberapa kali cetak ulang, desain ulang sampul buku-buku dengan foto DMA di bagian sampulnya, dan adanya transformasi film dari karya yang ditulis oleh DMA. Atas beberapa pertimbangan tersebut, peneliti mengambil hipotesis bahwa DMA sebagai pengarang mewujudkan/mengekspresikan dirinya dalam bahasa melalui karya-karyanya, yang sarat dengan isu-isu seksualitas untuk menyampaikan keberadaannya sebagai manusia (subjek) dan diakui keberadaan (subjektivitas)nya sebagai subjek di masyarakat. Guna membuktikan kebenaran hipotesis tersebut, penelitian ini menggunakan kajian psikoanalisis Lacanian yang mengacu pada pernyataan Lacan bahwa subjek lahir dan mewujudkan diri (ada) di dalam bahasa, sehingga pengarang sebagai subjek ada melalui bahasa yang menjadi media karya-karyanya. Dengan menggunakan kajian psikoanalisis Lacanian, penelitian ini diharapkan mampu membuktikan kebenaran atas hipotesis yang muncul bahwa DMA sebagai pengarang mewujudkan/mengekspresikan dirinya dalam bahasa melalui karyakaryanya, yang sarat dengan isu-isu seksualitas untuk menyampaikan keberadaannya sebagai manusia (subjek) dan diakui keberadaan (subjektivitas)nya sebagai subjek di masyarakat.
B. Rumusan Masalah
8 Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang tersebut, masalah yang ada dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. (1) Bagaimana bahasa pada karya “4in1 Djenar” yang mengekspresikan subjektivitas subjek melalui mekanisme metafora dan metonimia yang digunakan pada bahasa (penanda) dalam kerangka psikoanalisis Lacanian? (2) Subjektivitas apa sajakah yang diekspresikan subjek serta kecenderungan psikis subjek yang muncul melalui tokoh cerita pada karya “4in1 Djenar”?
C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan dari hasil penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi bahasa pada karya “4in1 Djenar” yang mengekspresikan subjektivitas subjek melalui mekanisme metafora dan metonimia yang digunakan pada bahasa (penanda) dalam kerangka psikoanalisis Lacanian dan (2) mengidentifikasi subjektivitas subjek serta kecenderungan psikis subjek yang muncul melalui tokoh cerita pada karya “4in1 Djenar” pada khususnya dan seluruh karya DMA pada umumnya dalam kerangka psikoanalisis Lacanian.
D. Tinjauan Pustaka DMA merupakan salah satu penulis perempuan Indonesia yang karya-karyanya telah banyak tersebar di berbagai media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Republika, Koran Tempo, Majalah Cosmopolitan, Lampung Post, dan Majalah Djakarta!. Karya-karya DMA yang telah dibukukan antara lain Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), Nayla, Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-Laki, dan T(w)ITIT! Selain menulis cerpen, DMA juga menyutradarai
9 film, yang berasal dari karyanya sendiri Mereka Bilang, Saya Monyet! dan mendapatkan Piala Citra sebagai sutradara terbaik. DMA juga bermain peran dalam beberapa film antara lain Boneka dari Indiana, Koper, Cinta Setaman, Dikejar Setan, Melodi, Purple Love, dan SAIA. Karya-karya DMA yang dibahas dalam penelitian ini adalah Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), Nayla, dan Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek. Selanjutnya, empat karya DMA tersebut akan disebut “4in1 Djenar”. Keempat karya tersebut belum pernah diteliti secara keseluruhan, tetapi pernah diteliti secara terpisah dengan pendekatan yang berbeda dengan yang dilakukan dalam penelitian ini. Adapun pencarian terhadap penelitian-penelitian terhadap karya-karya tersebut secara terpisah terdapat pada bagian berikut. Mereka Bilang, Saya Monyet! sebagai sebuah kumcer pernah diteliti oleh Devi Yanti Kurniasari (2010, UMM) dengan judul Kajian Psikologi Tokoh Wanita dalam Kumpulan Cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! Karya Djenar Maesa Ayu. Penelitian Kurniasari dilatarbelakangi adanya ketimpangan sosial yang dialami wanita dalam sebuah masyarakat yang mengalami pelecehan dan penindasan yang digambarkan pada kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet!. Dengan latar belakang penelitian tersebut, penelitian ini mengangkat beberapa masalah penelitian antara lain (1) bagaimana bentuk pelecehan seksual, penindasan, dan perlawanan tokoh wanita pada kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu?; (2) bagaimana fungsi pelecehan seksual, penindasan, dan perlawanan tokoh wanita pada kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu?; dan (3) bagaimana makna pelecehan seksual, penindasan, dan perlawanan tokoh wanita dalam
10 kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! yang ada dalam masyarakat? Ketiga permasalahan dalam penelitian Kurniasari dikupas dengan menggunakan pendekatan psikologi tokoh secara umum yang melibatkan teks sastra. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan bahwa di dalam kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! mengandung (1) bentuk-bentuk pelecehan seksual, penindasan, dan perlawanan berupa pemerkosaan, kekerasan fisik dan mental, serta perlawanan dengan melakukan tindakan-tindakan nyata, seperti memukul dan berteriak; (2) fungsi pelecehan seksual, penindasan, dan perlawanan yang menempatkan wanita menjadi makhluk yang lemah dan hidup dalam trauma, sekaligus menempatkan wanita menjadi makhluk yang kuat dan pemberani, sehingga wanita memiliki kemampuan untuk memberontak dan melawan pelecehan seksual dan penindasan yang dialaminya; (3) makna pelecehan seksual, penindasan, dan perlawanan yang ada di dalam kumpulan cerpen menempatkan wanita sebagai makhluk yang lemah, tidak mampu mengembangkan potensi diri, dan tidak memiliki bargaining position dalam masyarakat, sehingga wanita memiliki hambatan dalam perkembangan psikologisnya. Berdasarkan pembahasan dalam penelitian tersebut masih terdapat kekurangan akibat ketidaksesuaian antara pendekatan dan metode yang digunakan dalam menjawab masalah penelitian. Di bagian latar belakang penelitian Kurniasari disebutkan mengenai faktor ketimpangan sosial yang tidak muncul dalam masalah yang diteliti, sehingga berimbas pada ketidaksesuaian pendekatan yang digunakan dalam menjawab masalah penelitian. Selanjutnya, cerpen Lintah dan Melukis Jendela sebagai bagian dari kumcer Mereka Bilang, Saya Monyet! juga pernah diteliti oleh Suseno (2010, UGM) dalam penelitian berjudul Transformasi Politis Filmisasi Sastra Indonesia: Kajian Ekranisasi
11 Cerpen Lintah dan Melukis Jendela ke dalam Film Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu dalam Perspektif Posmodernism Hutcheon. Penelitian Suseno dilatarbelakangi adanya fenomena filmisasi karya sastra yang sedang marak di Indonesia, termasuk filmisasi atas cerpen Lintah dan Melukis Jendela dalam sebuah film, yang selanjutnya disebut sebagai transformasi. Transformasi dalam penelitian ini merupakan transformasi yang unik, karena menempatkan dua buah cerpen dalam sebuah film, sehingga menghasilkan sebuah film yang kaya akan perubahan signifikan. Penelitian ini menggunakan teori ekranisasi dalam perspektif posmodernisme Hutcheon untuk mencari jawaban atas permasalahan mengenai (1) perubahan-perubahan yang muncul dalam pelayarputihan cerpen Lintah dan Melukis Jendela ke dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet! dan (2) aspek-aspek ideologis-politis yang memengaruhi perubahan dalam pelayarputihan cerpen Lintah dan Melukis Jendela ke dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet! Berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian Suseno, penelitian tersebut menghasilkan beberapa hal, yaitu (1) terjadi perubahan signifikan yang muncul dalam transformasi karya yang meliputi perubahan tokoh utama dari kecil menjadi besar, penciptaan tokoh-tokoh baru, perubahan karakter tokoh, perubahan latar cerita, serta perubahan alur cerita; (2) terjadi transformasi menghasilkan sebuah film postmodern yang hadir dalam fragmentasi alur dan dualitas karakter tokoh utama; (3) film MBSM melalui representasi posmodernismenya merupakan konter dominasi kekuasaan dari yang kuat terhadap yang lemah; (4) film MBSM menyerukan suara ideologi atas penerobosan idealitas, penerobosan norma, serta pelarian dari beban masa lalu yang menghantui; dan (5) film MBSM merupakan respons terhadap wacana ‘sastra perkotaan’, yang representasinya menyuarakan bahwa kenormalan atau idealitas
12 merupakan produk kultural yang kerap digunakan sebagai sarana pelabelan serta pelanggengan dominasi/kekuasaan. Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) sebagai kumcer pernah diteliti oleh Anis Lissaidah (2009, UMM) dengan judul Feminisme dalam Kumpulan Cerpen Jangan Mainmain
(dengan
Kelaminmu)
karya
Djenar
Maesa
Ayu.
Penelitian
Lissaidah
dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran perempuan atas hak-hak hidup yang selama ini terabaikan dalam kehidupan bermasyarakat, yang selanjutnya dimunculkan dalam karya sastra oleh pengarang, yaitu Djenar Maesa Ayu. Melalui karyanya, Djenar menyampaikan pemberontakan kaum perempuan yang memunculkan gagasan tentang feminisme. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti pada penelitian ini menyampaikan beberapa permasalahan, yaitu (1) bagaimanakah gagasan feminisme dimunculkan melalui tokoh-tokoh?; (2) bagaimanakah gagasan feminisme dimunculkan melalui peristiwa yang dikisahkan?; (3) bagaimanakah gagasan feminisme dimunculkan melalui konflik-konflik; dan (4) bagaimanakah gagasan feminisme dimunculkan melalui amanat? Selanjutnya, peneliti pada penelitian ini menggunakan pendekatan objektif, khususnya melalui sudut pandang feminisme untuk menjawab permasalahanpermasalahan tersebut hingga menghasilkan beberapa simpulan bahwa (1) gagasan feminisme yang dimunculkan melalui tokoh-tokoh direfleksikan melalui sikap tokoh, tampilan tokoh, cara berbahasa, dan prinsip hidup tokoh yang menentang ideologi patriarki;
(2)
gagasan
feminisme
yang
dimunculkan
melalui
peristiwa
direfleksikan melalui tokoh perempuan yang berani mendobrak segala intimidasi yang dilakukan terhadap dirinya; (3) gagasan feminisme yang dimunculkan melalui konflikkonflik direfleksikan oleh pengarang melalui tokoh utama yang mempunyai rasa percaya
13 diri begitu tinggi dengan prinsip-prinsip hidup yang diyakininya; dan (4) gagasan feminisme yang dimunculkan melalui amanat direfleksikan bahwa perempuan bisa mendominasi pria dalam menyelesaikan konflik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti atas feminisme dalam karya Djenar ini terdapat kekurangan bahwa ketidaksesuaian latar belakang dengan teori/pendekatan yang digunakan mengakibatkan permasalahan-permasalahan substansial tidak muncul pada penelitian ini, seperti ideologi pengarang yang tidak dapat dilacak dengan menggunakan pendekatan objektif. Selain itu, secara lepas, kumcer ini juga diteliti oleh Amanda Reziki Briana (2007, UMM) dengan judul Realitas Budaya Perempuan Metropolitan dalam Cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Moral, dan Staccato: Analisis Semiotik. Penelitian ini didasari oleh adanya fenomena bahwa penulis-penulis perempuan muda hadir dengan karya-karya bermuatan seks, yang salah satunya adalah Djenar yang hadir dengan karya-karya yang dipadati oleh manusia-manusia yang terluka, terkhianati, dan terpinggirkan. Dengan latar belakang tersebut, Briana dalam penelitiannya mengangkat permasalahan
mengenai
gambaran
budaya
perempuan
metropolitan
yang
direpresentasikan pada karya sastra dan mengetahui makna atas representasi budaya perempuan metropolitan yang hadir di dalam karya sastra. Untuk menjawab permasalahan yang muncul pada penelitian tersebut, peneliti menggunakan pendekatan psikologi sosial dan semiotika terhadap teks karya sastra yang menjadi objek penelitian. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Briana menghasilkan simpulan bahwa terdapat pergeseran budaya dalam gaya hidup perempuan metropolitan dan pola pikir pria masa kini terhadap keberadaan perempuan akibat adanya globalisasi, kemajuan
14 teknologi, dan pemberontakan perempuan pada budaya patriarki yang masih sangat kental dalam budaya Indonesia. Selanjutnya, Nayla sebagai novel diteliti oleh Kusmiarti (2009, UGM) dengan judul Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu Suatu Tinjauan Sosiologis. Penelitian Kusmiarti dilatarbelakangi oleh keberadaan novel Nayla sebagai karya sastra yang memenuhi kategori unggulan dan memiliki keterkaitan dengan kehidupan, yaitu adanya permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Dengan latar belakang tersebut, penelitian Kusmiarti mengangkat beberapa masalah penelitian, yaitu (1) bagaimana kondisi sosial budaya dalam novel Nayla; (2) bagaimana KDRT yang terjadi dalam novel Nayla; dan (3) bagaimana solusi untuk mengatasi KDRT dalam novel Nayla. Guna menjawab
masalah-masalah
yang
muncul
pada
penelitian
tersebut,
peneliti
menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan semiotik. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan semiotik, penelitian tersebut menghasilkan simpulan bahwa kehidupan rumah tangga di Indonesia rentan dengan kekerasan yang berakibat kesengsaraan bagi perempuan dan anak-anak. Pada novel tersebut, Nayla digambarkan sebagai anak-anak korban KDRT, yang ketika dewasa menjadi penulis terkenal. Gambaran tersebut dihadirkan Djenar sebagai salah satu solusi bahwa korban KDRT tidak semestinya berputus asa dalam hidup dan tetap memiliki kreativitas yang bermanfaat bagi orang lain di sekitarnya. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan gambaran kondisi sosial masyarakat Indonesia yang penuh kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran yang dimulai di dalam lingkup rumah tangga pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
15 Nayla sebagai sebuah novel juga pernah diteliti oleh Etri Jayanti (2013, UNP) dengan judul Erotisme dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu. Penelitian Jayanti dilatarbelakangi oleh adanya sikap pro dan kontra di masyarakat mengenai kemunculan karya Djenar, yang di satu sisi banyak dibaca karena memiliki kebaruan dengan mengungkapkan seks —yang sebelumnya tabu disampaikan— sebagai bagian kehidupan masyarakat, sedangkan di sisi lain karya ini termasuk karya yang mengarah pada pornografi yang tidak sesuai dengan kepribadian dan moral bangsa Indonesia. Selanjutnya, berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian Jayanti menyampaikan permasalahan, yaitu bagaimana bentuk erotisme yang diungkapkan dalam novel Nayla karya Djenar. Sesuai dengan permasalahan yang ada, peneliti menggunakan pendekatan objektif untuk menemukan bentuk-bentuk erotisme dalam teks sastra, yang menghasilkan bahwa bentuk erotisme yang muncul pada novel Nayla meliputi perilaku cumbuan, ciuman, senggama, dan lain-lain yang digunakan oleh Djenar mengarah pada bentuk-bentuk pornografi, sehingga novel Nayla tidak sesuai dijadikan sebagai bahan bacaan di tingkat sekolah di Indonesia. Selain itu, Nayla juga diteliti oleh Dian Yunita Rahmawati (2010, UMM) dengan judul Analisis Watak Tokoh Utama pada Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu: Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra. Penelitian Rahmawati dilatarbelakangi oleh kemunculan Nayla sebagai novel karya Djenar Maesa Ayu dengan tema seksualitas, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual. Kekerasan dalam rumah tangga dilakukan oleh tokoh Ibu pada Nayla yang berimbas pada perkembangan kepribadian Nayla selanjutnya. Dengan latar belakang tersebut, permasalahan yang muncul pada penelitian Rahmawati meliputi (1) bagaimana kualitas watak tokoh utama ditinjau dari segi emosionalitas pada
16 novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu?; (2) bagaimana kualitas watak tokoh utama ditinjau dari segi aktivitas pada novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu; dan (3) bagaimana kualitas watak tokoh utama ditinjau dari proses pengiring/fungsi sekunder pada novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu? Guna menjawab permasalahan yang muncul pada penelitian tersebut, peneliti menggunakan teori tipologi Heymans dan metode deskriptif analisis. Selanjutnya, penelitian Rahmawati menghasilkan hasil penelitian bahwa kualitas kejiwaan Nayla sebagai tokoh utama memiliki kualitas kejiwaan yang rumit ditinjau dari (1) emosionalitas, yang meliputi temperamental, sering tertawa sendiri, tidak memiliki perhatian penuh/tidak fokus, teguh pendirian, tidak toleran, jujur, tidak ambisius; (2) aktivitas, yang meliputi mudah bahagia, menghindari masalah, berpandangan luas, membina hubungan kembali bila terjadi perselisihan, sering putus asa, melihat permasalahan sebagai masalah besar, memiliki libido tinggi, sulit membuka hati; dan (3) proses pengiring/fungsi sekunder, yang meliputi tenang, tidak mudah menyerah, suka menolong, memiliki ingatan yang kuat, berpikiran terbuka, konsekuen, mudah bertindak terburu-buru, egois. Novel Nayla juga diteliti oleh Esa Putri Yohana (2012, Unpad) dengan judul Trauma Tokoh Nayla dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu. Penelitian Yohana dilatarbelakangi oleh adanya fenomena karya-karya sastra yang ditulis perempuanperempuan pengarang dengan tema psikologis, baik yang berkisah kekerasan maupun seksualitas, yang salah satunya ditulis oleh Djenar Maesa Ayu dalam novel Nayla. Dengan adanya tema psikologis mengenai kekerasan dan seksualitas pada novel Nayla tersebut, maka penelitian Yohana mengangkat permasalahan mengenai pengaruh trauma yang dialami tokoh utama (Nayla) pada kepribadian dan kehidupannya
17 sebagai seorang pengarang. Permasalahan yang ada diidentifikasi dengan pendekatan psikologi sastra dan teori psikoanalisis Freud. Penelitian Yohana menghasilkan beberapa simpulan, yaitu (1) adanya penyiksaan fisik dan psikis serta pelecehan seksual yang dialami Nayla semasa kecil memberikan trauma dalam kehidupannya dan berpengaruh pada struktur kepribadian Nayla yang tidak seimbang; (2) adanya pengalamanpengalaman traumatis atas penyiksaan yang dilakukan oleh ibu dan pelecehan seksual oleh kekasih ibunya memberikan inspirasi terhadap tulisan-tulisan Nayla yang umumnya berkisah tentang hubungan problematis antara ibu dan anak serta pelecehan seksual yang dialami anak-anak; dan (3) trauma yang mengikat kehidupan Nayla yang berdampak pada tema tulisan-tulisan yang dihasilkannya, yaitu bertema kekerasan dan seksualitas yang dikisahkan dari sudut pandang perempuan menggunakan teknik aliran kesadaran (stream of consciousness). Akan tetapi, penelitian Yohana memiliki kekurangan bahwa tidak adanya pembatas yang jelas antara tokoh utama (Nayla) yang menjadi penulis dalam cerita dengan penulis cerita (Djenar) bila dihubungkan dengan penggunaan teori psikoanalisis Freud. Selanjutnya, novel Nayla juga diteliti oleh Maria Cahyaning Kesuma (2012, UNS) dengan judul Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu: Tinjauan Sosiologi Sastra. Penelitian Kesuma dilatarbelakangi oleh kemunculan novel Nayla di masyarakat dengan tema hubungan ibu dan anak yang tidak harmonis akibat kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami anak. Tema yang dihadirkan Djenar merupakan tema yang dekat dengan kondisi masyarakat di Indonesia, yaitu adanya kekerasan dalam rumah tangga yang dalam hal ini perempuan dan anak sering menjadi korban. Dengan latar belakang tersebut, Kesuma pada penelitiannya menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk
18 mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang muncul, yaitu (1) bagaimana tema yang dikandung dalam novel Nayla karya Djenar?; (2) bagaimana nilai-nilai sosial yang dikandung dalam novel Nayla karya Djenar?; dan (3) bagaimana tanggapan komunitas pembaca/masyarakat terhadap novel Nayla karya Djenar? Selanjutnya, penelitian Kesuma menghasilkan hasil penelitian berupa (1) tema dalam novel ini adalah tema cinta yang terdistorsi antarmanusia dalam setiap wujud relasinya antarsesama, antara laki-laki dan perempuan, antara ibu dan anak, yang diceritakan dengan alur maju-mundur, dengan beberapa tokoh yang mendominasi cerita seperti Nayla, Juli, Ayah dan Ibu Ratu, Ibu, dan Ben; latar atau setting yang digunakan adalah kota Jakarta pada kisaran tahun 1980-an sampai dengan 2005 yang dilatarbelakangi kehidupan masyarakat kelas atas; (2) nilai-nilai sosial yang terdapat pada novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu meliputi nilai material, nilai vital, nilai kerohanian; berdasarkan sifatnya, nilai yang terdapat pada novel tersebut meliputi nilai kepribadian, nilai kebendaan, nilai biologis, nilai kepatuhan hukum, nilai pengetahuan, nilai agama, dan nilai keindahan; berdasarkan cirinya, nilai yang terdapat pada novel tersebut meliputi nilai yang tercernakan (internalized value) dan nilai dominan; berdasarkan tingkat keberadaannya, nilai yang terdapat pada novel tersebut meliputi nilai yang berdiri sendiri dan nilai yang tidak berdiri sendiri; dan (3) tanggapan komunitas pembaca terhadap novel Nayla meliputi cerita yang khas dengan mengangkat Nayla sebagai tokoh utama yang mengalami perlakuan keras dari ibunya dan penggunaan bahasa yang vulgar oleh pengarangnya. Setelah meninjau penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek material penelitian ini, selanjutnya akan dibahas penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek formal penelitian, yaitu psikoanalisis Lacanian dalam kajian
19 sastra. Pertama, penelitian yang berjudul Seksualitas Perempuan dalam Saman dan Larung karya Ayu Utami: Sebuah Tinjauan Psikoanalisis Lacanian oleh Ririe Rengganis (2004, UGM). Penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh kemunculan Ayu Utami sebagai perempuan pengarang di Indonesia dengan karya Saman dan (selanjutnya) Larung sebagai karya sastra yang dianggap mendobrak tabu mengenai seksualitas yang sebelumnya tidak pernah disampaikan melalui bahasa, terutama oleh perempuan. Dengan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang muncul pada penelitian tersebut, yaitu (1) bagaimana seksualitas perempuan subjek-subjek yang berbicara dalam novel Saman dan Larung melalui pandangan dan perilaku serta hubungannya dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang melatari keberadaannya sebagai subjek perempuan dalam masyarakat?; dan (2) bagaimana penggunaan bahasa subjek-subjek perempuan di dalam novel Saman dan Larung dalam menampilkan subjektivitas dan menyuarakan seksualitas sebagai subjek perempuan dalam masyarakat? Berdasarkan latar belakang dan masalah-masalah yang muncul pada penelitian tersebut, peneliti menggunakan tinjauan psikoanalisis Lacanian dan metode penafsiran untuk menjawab masalah-masalah penelitian. Selanjutnya, penelitian tersebut menghasilkan beberapa simpulan antara lain, (1) perempuan memiliki kemampuan menyampaikan subjektivitas dan seksualitas dalam bahasa mereka sesuai dengan sistem norma dan ajaran yang sebelumnya telah membentuknya (melatari keberadaan subjek); (2) perempuan memiliki kemampuan untuk mendobrak konstruksi bahasa, konstruksi politik, dan konstruksi budaya yang sebelumnya meletakkan perempuan sebagai subjek subordinat dalam masalah seksualitas dengan mengungkapkan pikiran melalui suara (bahasa) mengenai seksualitas dari sudut pandang subjek perempuan; (3) Subjek-subjek perempuan dalam
20 Saman dan Larung mewakili karakter perempuan yang berbeda tingkatan dalam menampilkan subjektivitas dan menyuarakan seksualitas sebagai subjek perempuan dalam masyarakat; (4) Subjek-subjek perempuan dalam Saman dan Larung merupakan representasi Ayu Utami sebagai subjek penulis dalam memandang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat mengenai kebebasan perempuan yang terkurung dalam dominasi wacana patriarki; dan (5) terjadi pelanggaran pragmatik yang dilakukan oleh Ayu Utami sebagai penulis Saman dan Larung, terutama dalam masalah seksualitas dalam masyarakat yang cenderung patriarki tersebut dianggap sebagai sebuah “proses” pemerolehan bahasa Ayu sebagai individu dalam masyarakat. Selanjutnya, yang kedua, penelitian yang berhubungan dengan psikoanalisis Lacanian antara lain pernah dilakukan oleh Ricky Aptifive Manik (2013, UGM) dengan judul penelitian Hasrat N. Riantiarno dalam Trilogi Cermin (Cermin Merah, Cermin Bening, Cermin Cinta) Kajian Psikoanalisis. Penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh keberadaan karya-karya sastra sesungguhnya merupakan bentuk manifestasi dari hasrat yang berasal dari ketidaksadaran penulisnya. Begitu pula dengan N. Riantiarno sebagai penulis Trilogi Cermin (Cermin Merah, Cermin Bening, Cermin Cinta). Selanjutnya, dari latar belakang tersebut muncul masalah penelitian, yaitu bagaimana hasrat N. Riantiarno sebagai hasrat subjek yang berkekurangan (lackness) di dalam trilogi Cermin? Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang disampaikan oleh Manik pada penelitiannya, teori dan metode yang digunakan pada penelitian tersebut adalah teori dan metode psikonalisis Lacanian. Teori dan metode ini menemukan hasrat penulis melalui mekanisme metafora dan metonimia melalui kehadiran penanda-penanda dalam bahasa yang digunakan sebagai media karya sastra. Selanjutnya, mekanisme metafora
21 dan metonimia yang digunakan pada penelitian akan mengidentifikasi hasrat narsistik dan hasrat anaklitik pada penulis, sehingga hasrat penulis dapat diidentifikasi. Pada akhirnya, penelitian ini menghasilkan jawaban atas permasalahan yang muncul di bagian awal bahwa karya trilogi N. Riantiarno (Cermin Merah, Cermin Bening, Cermin Cinta) merupakan manifestasi hasrat dan kekurangan yang ada pada diri manusia, terutama diri Nano sebagai penulis karya. Sebagaimana kajian psikoanalisis Lacanian, hasrat Nano sebagai penulis dalam karyanya adalah seorang yang jujur, konsisten, berani, loyal, bertanggungjawab, ulet, pekerja keras, setia, dan demokratis sebagai hasil identifkasi dirinya terhadap citra ideal ayahnya. Selain itu, ketiga karya Nano mengidentifikasi hasrat Nano sebagai penulis menjadi dua bagian, yaitu hasrat narsistik berupa stigmatisasi homoseksual dan keluarga tapol G-30-S/PKI serta hasrat anaklitik berupa keinginannya untuk menjadi sosok diri sebagai seniman yang ideal. Penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan psikoanalisis adalah penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Wiji Astuti dengan judul Hasrat Pengarang dalam Kumpulan Cerpen Sampan Zulaiha: Perspektif Lacanian (2014, UGM). Penelitian Astuti dilatarbelakangi oleh adanya hubungan antarmanusia dalam masyarakat yang saling membutuhkan, begitu pula hubungan pengarang sebagai manusia dengan manusiamanusia lain di sekitarnya. Kebutuhan interaksi antarmanusia tersebut tidak saja terletak pada kebutuhan fisik semata, tetapi juga melibatkan kebutuhan psikis, yang pada giliran selanjutnya akan melahirkan hasrat. Hasrat yang dimiliki pengarang termanifestasi pada karya-karya yang ditulisnya melalui penanda-penanda bahasa. Dari latar belakang penelitian tersebut, muncul masalah penelitian yang meliputi (1) bagaimana rangkaian penanda sebagai manifestasi hasrat dituliskan secara metaforik dan metonimik dalam
22 kumpulan cerpen Sampan Zulaiha? dan (2) bagaimana hasrat pengarang dalam kumpulan cerpen Sampan Zulaiha? Berdasarkan latar belakang dan masalah yang muncul pada penelitian tersebut, maka Astuti dalam penelitiannya menggunakan teori dan metode psikoanalisis Lacanian. Teori dan metode yang digunakan pada penelitian tersebut adalah dengan menganalisis teks sebagai manifestasi hasrat melalui mekanisme metafora dan metonimia melalui penanda-penanda yang ada dalam kumpulan cerpen. Selanjutnya, berdasarkan teori dan metode yang digunakan pada penelitian tersebut, disimpulkan bahwa kumpulan cerpen Sampan Zulaiha adalah manifestasi hasrat dan kekurangan diri Hasan Al Banna sebagai penulisnya. Hasrat Hasan Al Banna antara lain untuk menjadi anak laki-laki kesayangan ‘doli hasian’; menjadi masyarakat suku asli Sumatera Utara; dan menjadi ‘seorang pandai fiksi’. Akan tetapi, sebagaimana telah disampaikan dalam perspektif Lacan bahwa hasrat subjek selalu akan berkekurangan, hasrat Hasan untuk menjadi sosok yang ideal tidak akan pernah mencapai kepuasan. Berdasarkan pencarian terhadap penelitian-penelitian karya DMA dan penelitianpenelitian yang menggunakan kajian psikoanalisis Lacanian yang telah dilakukan sebelumnya, kajian bahasa sebagai pembentuk subjek pada “4in1 Djenar” karya DMA dengan menggunakan kajian psikoanalisis Lacanian ini belum pernah dilakukan sebelumnya. E. Landasan Teori 1. Subjek dalam Psikoanalisis Lacanian Teori awal subjektivitas Lacan disusun antara masa penerbitan tesis doktoralnya atas “self punishing paranoia” (1932) dan awal seminarnya di RS Saint Anne di Paris
23 (1953) yang merevolusi pandangan atas dimensi imajiner subjek. Perubahan tersebut dilakukan Lacan karena adanya perbedaan mendasar bahwa ego sesungguhnya adalah konstruksi imajiner yang posisinya berseberangan dengan subjek tak-sadar. Ego menempati fungsi imajiner subjek, tetapi keberadaan subjek tidak dapat direduksi oleh dimensi imajinernya (Chiesa, 2007: 13). Ego bukanlah subjek, melainkan sebagai penghubung identifikasi alienasi subjek dalam imajiner liyan (liyan merupakan bayangan cermin subjek). Dengan demikian, psikoanalisis tidak bertujuan untuk menguatkan ego, tetapi menyadarkan subjek atas ketidaksadaran yang muncul melalui alienasi imajiner, ketika ketidaksadaran yang muncul dipahami sebagai struktur simbolik (Chiesa, 2007: 14). Selanjutnya Lacan menjelaskan bahwa identifikasi imajiner terjadi di dalam diri subjek melalui ketidaksadaran atas bayangan dirinya di dalam cermin yang diidentifikasi sebagai dirinya. Bayangan di dalam cermin inilah yang selanjutnya disebut sebagai ego (liyan) yang mengalienasi subjek dari dirinya. Lacan mengidentifikasi imajiner sebagai perangkat utama yang membangun manusia. Berdasarkan penjelasan Lacan tersebut, dalam teori subjektivitas terjadi paradoks antara subjektivitas dengan kehidupan manusia (Chiesa, 2007: 15). Paradoks yang terjadi dalam subjektivitas ini sebagai akibat yang diterima subjek ketika mengalami tahap cermin di masa kanak-kanaknya, ketika subjek mengenali dirinya dalam bayangan liyan di dalam cermin dan mengidentifikasi bayangan tersebut sebagai dirinya, sehingga terjadi kesalahan pengenalan atas dirinya dengan bayangan liyan. Pada tahapan ini terjadi mis-recognisi pertama, yaitu ego teralienasi. Selanjutnya, mis-recognisi kedua dialami ego yang menempatkan diri sebagai liyan. Berdasar pada penjelasan Lacan tersebut, egolah yang menempatkan subjek sebagai
24 subjek dan liyan sebagai liyan, sehingga subjek tidak dapat direduksi menjadi ego. Misrecognisi ego yang dialami anak pada tahap cerminnya akan menempatkan ego sebagai objek mental dan ketidakmampuan ego menerima dialektika (Chiesa, 2007: 16-17). Ketidakmampuan ego menerima dialektika ini disebabkan oleh ketidakutuhan dan ketidaksamaan yang dialami subjek sejak masa kanak-kanak sebagai akibat dari sebuah tahap yang disebut Lacan sebagai tahap cermin (mirror stage). Pada tahap ini, anak mulai mengidentifikasi diri secara utuh dalam bayangan cermin sebagai “Aku”, meski identifikasi yang dilakukan dalam tahap ini merupakan pengenalan yang keliru (misrecognition), karena sang anak menganggap bahwa bayangan yang ada dalam cermin adalah bayangan dirinya. Hal inilah yang menyebabkan konsep keutuhan pada seseorang adalah konsep yang didapat dari pengenalan yang salah –keutuhan yang tidak utuh dan tidak sama–, sehingga gambaran tentang keutuhan diri seseorang hanya sebuah fantasi (Roudinesco, 1990: 25-34). Manusia sebagai subjek menurut Lacan tidak lagi dipahami sebagai suatu pelaku yang otonom, tetapi subjek dipahami sebagai akibat dari banyak hal seperti hasrat, bahasa, wilayah ketaksadaran, dan lainnya (ego imajiner). Keberadaan subjek bukan didasarkan pada kondisi biologis semata, melainkan subjek di dalam logika (subjek taksadar). Dalam sexuation1, Lacan menyampaikan bahwa baik lelaki maupun perempuan membayar harga yang sama untuk menjadi makhluk sosial. Keduanya membentuk identitas melalui rasa kehilangan (lack). Penafsiran ulang Lacan terhadap konsep penisenvy dalam pemikiran Freud menunjukkan bahwa Subjek memiliki hasrat untuk berada di dalam suatu kelompok lain (Evans, 1996:184). Penolakan terhadap pembedaan jenis
1
Sexuation adalah pemahaman mengenai pembedaan jenis kelamin menurut pemikiran Jacques Lacan.
25 kelamin berdasarkan kategori fisik-biologis ini telah memberi pemikiran baru bagi feminisme dan kebudayaan. Dengan pembaruan ini, Lacan memberikan jawaban bagi homoseksualitas dan lesbianitas, karena baik heteroseksual maupun homoseksual, setiap manusia ditarik ke arah yang lain karena ketidakutuhan dan ketidaksamaan (Wright, 1998:205-207). Berdasar pada penjelasan Lacan mengenai posisi ego dan subjek tak-sadar dalam psikoanalisis, selanjutnya Lacan membagi konsep diri struktur dasar manusia dalam tiga tatanan yang berhubungan dengan tiga tatanan dalam psikis manusia, yaitu tatanan imajiner, tatanan simbolik, dan tatanan riil. Ketiga tatanan tersebut memiliki hubungan yang saling terkait dan bertautan sebagaimana dalam gambar berikut.
1.1 Tatanan Imajiner Tatanan imajiner merupakan sebuah tatanan ketika proses tahap cermin (mirrorstage) terjadi mendahului tatanan simbolik. Tatanan ini terjadi ketika Subjek tidak dapat mengenali diri secara utuh dan baru mendapatkan gambaran diri secara utuh dalam cermin. Proses ini akan berkembang dan seseorang akan mulai mencari gambaran diri dan mengidentifikasi diri dalam gambaran lain yang dilihatnya. Proses mencari dan mengidentifikasi ini yang kemudian melahirkan keterpecahan diri Subjek (Lacan, 1988: 80)
26 Tatanan imajiner merupakan tatanan yang dipenuhi dengan gambaran-gambaran, baik bersifat sadar maupun tidak sadar. Tatanan ini mendahului bahasa dan pemahaman tentang seksualitas. Dalam tatanan ini persepsi visual amat memegang peranan, yang disebut Lacan sebagai tatapan (gaze) dan menjadi medium bagi hasrat. Tatapan ini yang memisahkan hasrat dengan objeknya, sehingga menciptakan sebuah jarak antara Subjek dengan dirinya dan antara Subjek dengan dunia luar. Dalam tatanan ini, Subjek mengalami alienasi dengan diri sendiri dan diidentifikasi dengan Yang Lain, yang bukan dirinya dalam pantulan cermin (cermin sebagai metafora) yang ilusif. Lebih lanjut, Lacan menyatakan bahwa proses identifikasi Subjek melalui cermin ini merupakan fase normal dalam perkembangan diri. Si Anak melihat dirinya sebagaimana ibunya melihat dirinya (yaitu sebagai Liyan) sebelum anak mampu melihat diri sendiri. Lacan mengklaim bahwa proses penemuan diri infantil ini berfungsi sebagai paradigma dari semua hubungan selanjutnya. Diri selalu menemukan diri melalui refleksi diri pada yang lain. (Kurniasih, 2009:300). 1.2 Tatanan Simbolik Tatanan simbolik merupakan tatanan yang mengacu kepada simbol. Simbol yang dimaksudkan dalam tatanan simbolik adalah “penanda”, yang tidak memiliki maknanya sendiri, tetapi hanya berfungsi untuk menunjuk kepada “petanda”. Penanda berfungsi dalam hubungannya dengan petanda, sehingga dalam tatanan ini Subjek mulai terbentuk. Menurut Lacan, pembentukan Subjek merupakan efek dari tatanan simbolik (Lacan, 1977:279). Tatanan simbolik merupakan tatanan yang dipenuhi dengan dimensi bahasa. Bahasa dalam tatanan ini berfungsi sebagai penanda, yang tidak memiliki keberadaan
27 sendiri, tetapi berfungsi untuk menandakan apa yang bukan dirinya (Yang Lain). Tatanan ini dipahami sebagai tempat bagi Yang Lain. Misal ketika seorang anak mulai memiliki ide tentang Yang Lain dan mulai mengidentifikasi diri dengan Yang Lain, yang membuatnya menjadi Subjek dalam tatanan simbolik. Tatanan simbolik menghubungkan manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam tatanan ini, konsep waktu dan sejarah mulai muncul, juga kesadaran akan kekinian dan harapan akan masa depan mulai hadir, termasuk kesadaran akan kematian. Dengan demikian, tatanan simbolik ini berkaitan dengan kebudayaan, berbeda dengan tatanan imajiner yang dikaitkan dengan sifat alamiah. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, bahasa muncul sebagai akibat dari kehilangan (lack), yang selanjutnya akan memunculkan hasrat. Hasrat yang dimaksud dalam tatanan simbolik merupakan hasrat tidak sadar akan sesuatu yang hilang dan tidak dapat dijangkau, dan diproyeksikan dalam imago. Bila manusia gagal memasuki tatanan simbolik, manusia tersebut akan mengalami psikosis. Hal ini terjadi karena manusia tersebut tidak berhasil membentuk subjeknya sendiri yang terlepas dari manusia lainnya. 1.3 Tatanan Riil Lacan menyebutkan bahwa tatanan riil merupakan tatanan yang bertindak sebagai pengaman, yang terbentuk secara perlahan, dan terus mengalami perubahan. Tatanan ini akan selalu kembali ke tempat yang sama dan sesuatu yang tidak mungkin (Lacan, 1977:40). Tatanan ini adalah tatanan yang mendahului simbolisasi dan imajinasi, terlepas dari tatanan simbolik, tetapi memungkinkan terjadinya tatanan simbolik. Dalam bahasa terdapat jarak antara bahasa dan makna sesungguhnya, sehingga manusia tidak mungkin dikenali keutuhannya. Hal ini terjadi karena setiap manusia juga
28 memiliki lubang-lubang dalam inti keberadaannya sebagai manusia. Keinginan manusia untuk mencapai keutuhan ini yang menjadikan manusia sebagai objek hasrat. Dalam simbolisasi, seseorang kehilangan objek dari hasrat ini, karena bahasa tidak pernah berhasil mengekspresikan keutuhan akibat adanya jarak antara bahasa dengan maknanya. Jarak antara bahasa dengan makna yang tidak terekspresikan inilah yang membuat manusia terus berbicara (berbahasa). Dalam tatanan riil, tidak ada bahasa karena tidak ada rasa kehilangan (lack) atau ketidaksempurnaan. Dalam tatanan ini yang ada hanya keutuhan, sehingga Lacan menyebut tatanan ini sebagai tatanan yang melampaui bahasa dan tidak dapat diungkapkan dengan bahasa, karena tatanan ini terletak di luar atau melampaui jaringanjaringan penanda. Selanjutnya,
Lacan
menyampaikan
bahwa
tatanan
ini
merupakan
ketidakmungkinan itu sendiri, tatanan yang tidak mungkin untuk dibayangkan, dan tidak mungkin dimasukkan ke dalam Simbolik, sehingga tidak mungkin diraih. Tatanan ini adalah objek dari kegelisahan yang tidak dapat dijelaskan, karena terjadi sebelum proses simbolisasi dan yang merangsang timbulnya hasrat. Lacan juga menyebut tatanan ini sebagai tatanan yang mendukung fantasi dan fantasi mendukung tatanan ini (Lacan, 1977:41). Untuk menjelaskan kondisi Subjek yang masuk ke dalam tatanan riil ini, Lacan menggunakan istilah yang digunakan Aristoteles, tuché. Selain itu, Lacan juga menggunakan istilah automaton, yang juga digunakan Aristoteles, untuk menjelaskan rantai penanda-penanda. Bagi Lacan, tatanan riil ini melampaui automaton. Tatanan riil merupakan tatanan yang digambarkan sebagai yang selalu kembali, dorongan dari
29 tanda-tanda, yang jika melaluinya kita melihat diri dikendalikan oleh prinsip kesenangan. Lacan menyebut bahwa pertemuan dengan tatanan riil ini terjadi dalam trauma, terletak membentang dari trauma sampai ke fantasi. Tatanan riil ini direpresentasikan melalui kejadian, suara, hal kecil dari kenyataan, dan yang membuktikan bahwa kita tidak sedang bermimpi. Tatanan riil merupakan sesuatu yang mengatur kegiatan Subjek. 1.4 Relasi antara Tatanan Imajiner, Tatanan Simbolik, dan Tatanan Riil Setelah penjelasan masing-masing atas ketiga tatanan sebelumnya, maka di bagian ini dijelaskan relasi antara ketiganya. Di dalam relasi antara ketiganya terdapat proses simbolisasi. Proses simbolisasi melalui objek a, tatanan simbolik kembali pada tatanan riil, yang mengakibatkan perpecahan dalam diri subjek. Proses ini terjadi terusmenerus dan berulang-ulang. Proses simbolisasi ini digambarkan dalam diagram berikut. Imajiner
benci
cinta
obyek a Real
Simbolik pengabaian
Dalam proses simbolisasi tersebut, Lacan menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang muncul dalam persimpangan antara dua tatanan; pada persimpangan antara tatanan simbolik dengan imajiner muncul cinta, persimpangan antara tatanan imajiner dengan tatanan riil muncul benci, dan persimpangan antara tatanan riil dan tatanan simbolik muncul pengabaian (Lacan, 1988: 271). Kemunculan cinta, benci, dan
30 pengabaian dalam proses simbolisasi ini terjadi karena menurut Lacan dalam tatanan riil diibaratkan sebagai sesuatu yang tidak mungkin dan tidak terkatakan, dalam tatanan imajiner diibaratkan dengan khayalan dan kekeliruan, sedangkan dalam tatanan simbolik diibaratkan dengan kekuasaan dan hukum. Dari ketiga tatanan tersebut, Lacan menjelaskan bahwa tatanan simbolik merupakan tatanan yang paling utama. Sebab melalui tatanan simbolik, tatanan imajiner dan tatanan riil dapat dipahami. Akan tetapi, tatanan simbolik merupakan tatanan yang paling rumit, sehingga tatanan simbolik mendominasi dan memungkinkan terjadinya tatanan imajiner dan tatanan riil (Lacan, 1988: 271). Selanjutnya, Lacan menjelaskan dalam “Seminar on The Purloined Letter” bahwa subjektivitas lahir dari adanya persimpangan/perpotongan/ketegangan hubungan antara Liyan dan Subjek dalam hubungan simbolik dengan hubungan antara ego (objek a) dan bayangan
cerminnya
(objek
a’)
persimpangan/perpotongan/ketegangan
dalam tersebut,
hubungan subjek
imajiner.
Dalam
“mendengar”
Liyan
menyampaikan pesan yang disampaikan oleh dirinya sendiri, tetapi pesan disampaikan dalam bentuk yang berkebalikan, sehingga keberadaan tatanan simbolik subjek lebih mudah
diidentifikasi
daripada
tatanan
Persimpangan/perpotongan/ketegangan digambarkan pada Schema L berikut.
imajinernya hubungan
(Evans,
simbolik
1996: dan
169-170).
imajiner
ini
31
Tatanan simbolik subjek tak-sadar dapat diidentifikasi melalui bahasa/ucapan yang dihubungkan dengan hukum Ayah, di mana tatanan imajiner lebih memuat tuntutan Ibu, sehingga Liyan merupakan tempat membentuk subjek tanpa disadari oleh seseorang yang selanjutnya disebut sebagai subjektivitas (Lacan, 2006: 40-41).
1.5 Kemunculan Hasrat melalui Tegangan Ego (Imajiner) dengan Subjek TakSadar (Simbolik) Hasrat (desire) sudah muncul dalam pemikiran Freud dan diasosiasikan sebagai harapan atau keinginan yang bersifat tidak disadari (ketika mimpi merupakan realisasi atas hasrat) dan berhubungan dengan pemenuhan atas hasrat itu sendiri. Dalam pemahaman Freud, hasrat tersimpan dalam wilayah ketaksadaran dan menjadi dorongan bagi tindakan seseorang untuk mencari pemenuhan atas hasratnya. Hasrat dalam pemikiran Freud dipahami sebagai hasrat seksual (libidinal desire) (Lacan, 1977:57). Selanjutnya, Lacan mengacu pada pemikiran Freud bahwa hasrat seseorang adalah hasrat Yang Lain. Menurut Lacan, keberadaan seseorang secara fisik di dunia ini adalah sebagai perwujudan hasrat liyan (kesenangan, kuasa, pemenuhan, dan lainnya).
32 Keberadaan seseorang adalah akibat hasrat orang lain. Hasrat ada mendahului dan menjadi alasan bagi kelahiran seseorang, misal lahirnya seorang anak sebagai hasrat dari sang ibu. Hal ini menjelaskan bahwa hasrat-hasrat yang memenuhi wilayah ketaksadaran seseorang adalah hasrat-hasrat asing, hasrat yang Lain, yang ada di sekelilingnya. Hasrat yang Lain ini dengan aktif akan diambil atau masuk ke dalam wilayah ketaksadaran melalui bahasa. Hasrat yang Lain ini adalah penyebab dan bukan tujuan dari hasrat seseorang. Pernyataan “hasrat seseorang adalah hasrat dari Yang Lain” juga digunakan untuk menjelaskan hubungan hasrat dengan hasrat. Pernyataan tersebut dipahami bahwa hasrat seseorang adalah hasrat orang lain, bahwa hasrat seseorang adalah menjadi hasrat dari orang lain juga. Kelahiran hasrat ini dimulai pada tahap cermin (mirror-stage), karena dalam tahap ini seseorang (anak) mengalami identifikasi untuk mengenali dirinya. Selanjutnya, Lacan menyebut bahwa objek a adalah penyebab hasrat. Objek a dipahami sebagai objek dalam pengalaman nyata, dipahami sebagai suatu kondisi yang diingini oleh subjek dalam pembentukannya. Objek a dapat berubah-ubah dan menjadi simbol yang membawa subjek masuk dari tatanan simbolik ke tatanan riil. Objek a dapat juga dipahami sebagai objek hasrat (object of desire) atau hasrat Yang Lain. Dalam penjelasan selanjutnya, Lacan menyebut bahwa objek hasrat adalah penyebab hasrat itu sendiri dan objek yang menjadi penyebab hasrat adalah objek pendorong (object of drive). Hal itu disebabkan hasrat dan dorongan tidak sama, hasrat bersifat lebih esensial daripada dorongan, dan hasrat adalah sesuatu yang menggerakkan dorongan dalam diri manusia, sehingga Lacan menyebut hasrat adalah esensi manusia (Lacan: 1977:168282).
33 Pemahaman Lacan terhadap Oedipus Complex dalam pemikiran Freud merupakan hasrat yang paling awal dari seorang anak, yaitu hasrat anak akan ibunya dan juga sebaliknya, hasrat ibu kepada anaknya. Hasrat ibu kepada anaknya berhubungan dengan Hukum Ayah (Name of the Father) dijelaskan Lacan sebagai hasrat ibu demi kepentingan dan berada dalam sang ayah (misal sistem penamaan anak yang mengikuti nama ayah, di mana anak adalah milik ayahnya dalam kebudayaan atau masyarakat) dengan kata lain hasrat ibu/liyan adalah simbol dalam hukum sang Ayah. Hukum Ayah dalam pemahaman Lacan merupakan simbol bagi kebudayaan dan hukum, bagi masyarakat, dan membawa seseorang keluar dari keadaan alamiahnya untuk masuk ke dalam masyarakat atau kebudayaan (Roudinesco, 1990:284). Mengenai hasrat, Lacan mengaitkannya dengan kebutuhan (need) dan tuntutan (demand). Kebutuhan (need) dipahami sebagai kebutuhan alami manusia sebagai makhluk biologis, sedangkan tuntutan (demand) dipahami sebagai ucapan. Kebutuhan memiliki kemungkinan untuk dipuaskan, sedangkan tuntutan tidak mungkin untuk dapat dipuaskan, sehingga akan terjadi jarak antara kebutuhan dan tuntutan. Jarak antara pemenuhan kebutuhan dan tuntutan inilah yang disebut sebagai hasrat. Tuntutan berbeda dari hasrat; tuntutan lebih bersifat penguasaan (want to have), sedangkan hasrat bersifat pengakuan, pengenalan atau identifikasi (want to be)2. Pemenuhan hasrat ini memunculkan kegelisahan, karena hasrat bersifat tidak terbatas dan hanya kematian yang menjadi batas hasrat. Hal ini terjadi karena adanya fantasi sebagai pendukung hasrat. Objek a yang menjadi penyebab hasrat, tetapi hasrat didukung oleh fantasi. Dengan adanya fantasi, seseorang mendapatkan ilusi untuk
Radostin Kaloianov, “Hegel, Kojeve and Lacan — The Metamorphoses of Dialectics Part II”, http://www.academyanaliticarts.org/kalo2.html. 2
34 mendekati objek a. Hasrat muncul dari kehilangan (lack), karena hasrat itu sendiri adalah kehilangan. Selanjutnya, Lacan menyebut bahwa hasrat mengungkapkan diri dalam parole (perkataan), ketika parole menjadi sarana bagi hasrat. Hasrat terungkap dalam mekanisme bahasa, yaitu metafora dan metonimia. Metafora memperlihatkan hasrat sebagai gejala, sedangkan metonimia menstrukturkan hasrat yang terungkap. Hasrat manusia adalah metonimia, yang objeknya disebut Lacan sebagai das Ding (Sesuatu). Sesuatu sebagai objek yang hilang dan terus-menerus dicari, sehingga hasrat tidak pernah berhenti pada satu objek tertentu, tetapi terus bergerak mencari Sesuatu yang lain. Oleh karena itu, hasrat juga dipahami sebagai “yang lain”, hasrat terus menjadi yang lain dan tidak pernah menetap pada satu objek. 1.5.1 Hasrat Menjadi dan Hasrat Memiliki Tafsir kritis atas psikoanalisis-struktural Jacques Lacan menghasilkan tiga simpulan seputar kodrat sang hasrat. Pertama, hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, ia bekerja saat kekurangan biologis tercukupi. Kedua, jauh dari dominasi eco cogito, ia adalah syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri. Ketiga, hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai makhluk yang berkekurangan secara eksistensial (Adian, 2009:xliii). Kekurangan eksistensial ini memicu dua jenis hasrat. Pertama adalah hasrat untuk memiliki (identitas). Hasrat ini bekerja pada ranah pengalaman Imajiner dan Simbolik. Ranah pengalaman yang memberi rasa keutuhan pada kekurangan primordial yang selalu membayangi subjek. Kedua adalah hasrat untuk menjadi. Hasrat ini bekerja pada ranah pengalaman yang riil, praideologis dan nonmakna. Ia adalah potensi resistensi
35 yang selalu mengganjal hasrat untuk memiliki dalam menunaikan hajatnya (Adian, 2009:xliii). Hasrat untuk memiliki berujung pada simbolisasi, sedang hasrat untuk menjadi pada desimbolisasi. Di satu sisi, ego tak pernah menang dan memegang kendali mutlak atas hasrat tak sadar. Di sisi lain, hasrat untuk menjadi selalu berbenturan dengan hasrat untuk memiliki yang senantiasa mengalah pada konstrain-konstrain Simbolik (Adian, 2009:xliii-xliv). Pemetaan hasrat atas kekurangan eksistensial dalam diagram berikut ini.
Kekurangan Biologis (Biological Lack)
Kebutuhan (Need)
Tak Terpuaskan
Hasrat Memiliki (anaclitic desire)
Terpuaskan (Imajiner, Simbolik)
Hasrat Menjadi (narsistic desire)
Tak Terpuaskan (Riil)
Kekurangan Eksistensial (Eksistensial Lack)
Bracher (2009:30) mengutip pernyataan Lacan bahwa hasrat adalah hasrat Liyan yang menunjuk pada tiga landasan pembedaan dalam bidang hasrat. Pertama, berdasarkan bentuk, hasrat yang dibedakan atas hasrat menjadi dan hasrat memiliki, yang menurut Lacan, hal ini sesuai dengan pembedaan Freud antara libido narsistik dan libido anaklitik. Bentuk hasrat yang bersifat narsistik memanifestasikan dirinya dalam cinta dan identifikasi, sedangkan hasrat yang berbentuk anaklitik terkait dengan hasrat untuk mendapatkan kesenangan yang secara mendasar berbeda (dan bahkan sering tidak disukai) dengan kesejahteraan baik diri sendiri maupun orang lain. Kedua, Lacan menjelaskan bahwa Liyan itu bisa menjadi subjek atau objek hasrat (dan pembedaan) ini
36 dirumuskan oleh Freud sebagai perbedaan antara tujuan hasrat yang aktif atau pasif. Ketiga, “Liyan” bisa berupa citra orang lain yang ada dalam tatanan imajiner, atau kode yang membentuk tatanan Simbolik, atau Seks Liyan dan/atau objek a (fantasi) dari Riil. Tiap-tiap objek hasrat dalam ketiga tatanan ini adalah penanda, citra, dan fantasi. Menurut Lacan, peranan yang dimainkan oleh identifikasi dan hasrat dalam tatanan dan berfungsinya subjektivitas memberikan landasan untuk menghadapi kekurangan. Bila identifikasi dikaitkan dengan hasrat, maka akan terjadi pertentangan di antara keduanya. Bila identifikasi menjadi identitas, maka ia akan bertindak merepresi semua hasrat yang tidak sejalan dengan identitas ini. Akan tetapi, menurut Lacan, identifikasi juga berfungsi baik sebagai sebab maupun akibat dari hasrat. Peranan sebuah hasrat bisa dilihat dalam cara Subjek untuk sepenuhnya mengaktualisasikan kualitas-kualitas identifikasi, sedangkan pengaruhnya sebagai akibat dari hasrat bisa dilihat dari kenyataan bahwa identifikasi selalu memberikan motivasi—yaitu bahwa Subjek selalu menanggapi keinginan untuk menjadi (want-of-being). Berdasarkan penjelasan Lacan tersebut, Bracher (2009:33) lebih lanjut memutuskan untuk memperlakukan identifikasi sebagai satu modus bekerjanya hasrat, karena aspek identifikasi yang aktif dan dinamis inilah yang memiliki peran penting dalam proses interpelasi penanda utama, citra, dan fantasi. (1) Penanda Utama Lacan menyebutkan kata-kata pembawa identitas sebagai “penanda utama” (master signifiers). Cara penanda-penanda itu berfungsi sebagai pembawa identitas kita agar bisa dengan mudah dilihat adalah reaksi kita saat seseorang mencoba untuk merusak salah satu penanda pembawa identitas kita, misalnya dengan menyebut kita
37 seorang perempuan meskipun kita adalah seorang lelaki atau sebaliknya. Dengan demikian,
untuk
mendapatkan
identitas
lelaki
atau
perempuan,
seseorang
mengidentifikasi dirinya dengan menghasrati “yang lain” dalam penanda utama. Lelaki akan berusaha melepaskan semua hal yang akan membuatnya menjadi perempuan atau sebaliknya, sehingga akan melahirkan rasa aman secara eksistensial pada seseorang yang mencari identitas. Identitas yang dibentuk oleh penanda simbolik dapat membuat seseorang mengenali dirinya dan dikenali orang lain. Hasrat yang diinginkan oleh Liyan simbolik ini selanjutnya akan menuntut hasrat untuk mengidentifikasi diri dengan yang lain atau disebut sebagai hasrat narsistik aktif. Hasrat ini menempatkan Subjek yang ingin mendapatkan pengakuan dan identitas akan melakukan identifikasi diri dan berusaha mewujudkan penanda-penanda yang bernilai menurut Liyan (Bracher, 2009:33-44). (2) Citra Lacan menjelaskan bahwa citra mendapatkan kekuatan mereka dari tatanan imajiner, yang didasarkan atas perasaan dan pandangan akan identitas praverbal ragawi. Tatanan imajiner tersusun atas skema makna yang bangkit dari pengalaman ragawi kita saat masih kecil, sebelum kita berbicara (berbahasa). Oleh karena itu, tatanan Imajiner memainkan peranan penting dalam membentuk struktur identitas dan hasrat, dan wacana bisa mempengaruhi hasrat dan identitas seseorang dengan bekerja pada tingkatan Imajiner. Selanjutnya, ketika wacana yang bekerja pada tatanan imajiner memberikan citra visual tentang kenyamanan dan kenikmatan dan berkebalikan dengan citra yang bekerja pada identitas tubuh (ragawi) seseorang, maka akan menimbulkan kekurangan atau membangkitkan ketidaksenangan dan kecemasan mendasar. Misal keberadaan iklan mode dan kosmetik akan membangkitkan hasrat pemakainya agar citra
38 tubuh (ragawi) mirip dengan model dalam iklan tersebut dan kecemasan akan muncul pada pemakai bila tidak mengikuti atau menggunakan mode dan kosmetik tersebut (Bracher, 2009:44-57).
(3) Fantasi Lacan menyebut fantasi sebagai objek a, sebuah objek yang berharga atau bahan yang terkait dengan tubuh dari Yang Riil. Objek a yang berfungsi sebagai objek utama yang menjadi pusat dorongan dan tempat dibangunnya fantasi, dalam hal ini fantasi terletak pada tatanan riil dan merupakan hasil represi dalam tatanan simbolik. Fantasi merupakan dorongan yang tersusun dari yang riil atas tubuh seorang subjek melalui rantai penanda tak-sadar yang dibentuk oleh tuntutan Liyan yang berlangsung simbolik (Bracher (2009:58-59). Ketika subjek mengidentifikasi diri—baik sebagai lelaki maupun perempuan—demi strukturasi dan interpelasi penanda serta demi kenyamanan eksistensialnya, pada saat bersamaan muncul larangan (represi) yang tidak sesuai dengan kehendak penanda Simbolik. Hasrat yang direpresi ini akan tetap berada di dalam diri subjek dan muncul dalam bentuk lain, yang selanjutnya akan membentuk fantasi yang memberikan hasrat terhadap kesenangan.
2. Bahasa sebagai Sarana Penyampai Subjektivitas Pemikiran Ferdinand de Saussure mengenai konsep “penanda” dan “petanda” mempengaruhi pemikiran Lacan dalam psikoanalisis. Lacan berpendapat bahwa “penanda” terlepas dari makna dan bahwa subjek tidak menyadari hal tersebut. “Penanda” dan “petanda” adalah dua jaringan hubungan yang berbeda. “Penanda”
39 adalah struktur sinkronis bahasa, tempat setiap elemen digunakan secara berbeda oleh setiap orang, sedangkan “petanda” adalah keseluruhan diakronis suatu wacana (Lemaire, 1977:38-39). Lacan menggunakan teori strukturalisme lingustik dalam usaha melawan anggapan yang meyakini bahwa wilayah ketaksadaran dapat dikendalikan, dan bahwa ada pemahaman terhadap subjek yang akurat, dan subjek dapat meraih kepastian tentang dirinya (Lemaire, 1977:40). Bagi Lacan, kepastian diri adalah suatu kemustahilan. Subjek hanya bergerak mencari kepastian diri tanpa dapat meraihnya. Lacan mengatakan bahwa subjek bersifat tidak pasti karena ia terpecah oleh efek dari bahasa. Keterpecahan subjek oleh bahasa ini selalu membuat subjek menemukan kelebihan dirinya pada yang Lain. Selanjutnya Lacan menjelaskan bahwa linguistik telah memperkenalkan perbedaan struktur sinkronis dan diakronis dalam bahasa, sehingga membuat seseorang dapat memahami lebih baik makna perkataan seseorang berkaitan dengan hal-hal yang disembunyikannya. Lacan juga menjelaskan bahwa bahasa memiliki dua unsur, yaitu “penanda” dan “petanda”. “Penanda” adalah sebuah kata, atribut material dari sebuah bahasa, sedangkan “petanda” adalah suatu konsep dari benda tertentu. Lebih lanjut Lacan memperluas pengertian “petanda” a la Saussure ini. Jika dalam konsep Saussure, “petanda” adalah konsep dari suatu objek, maka Lacan memahami “petanda” sebagai makna sosial, norma dan anggapan yang ada dalam suatu komunitas masyarakat (Lacan, 2001:113). Hubungan antara “penanda” dan “petanda” digambarkan sebagai berikut.
Sd sr
40 Lacan menyebutkan bahwa pada rumus tersebut, bagian atas (S) dan bagian bawah (s) berhubungan secara paralel, dan memiliki keseluruhan (strukturnya) sendirisendiri (hubungan horisontal). Selanjutnya, dalam proses penandaan, “penanda” memasuki “petanda”, yaitu hubungan antara “penanda” dan “petanda” (secara vertikal) ini tidaklah tetap dan mendapat pengaruh dari aspek kebudayaan, sejarah, dan sosial. Lacan menyebutkan bahwa struktur “penanda” adalah bahasa itu sendiri, “penanda” ditentukan oleh tata bahasa dan leksikologi suatu bahasa. Makna didapat dalam rantai penanda-penanda dalam suatu konteks tertentu, sehingga “penanda” ada di atas “petanda”. Oleh karena itu, Lacan menyebutkan bahwa segala sesuatu muncul dari struktur “penanda”. Konsep penanda-petanda ini misalnya dalam suatu konteks tertentu muncul penanda kursi akan memunculkan petanda k-u-r-s-i atau memunculkan petanda kekuasaan dalam konteks yang berbeda. Lebih lanjut Lacan menjelaskan bahwa langue berbeda dari parole. Lacan lebih menekankan parole (ujaran) daripada langue (sistem bahasa) karena bagi Lacan parole mengandung kebenaran mengenai kenyataan saat ini, melalui bahasa wilayah ketaksadaran “berbicara”. Lacan menjelaskan hubungan antara parole (ujaran) dan langue (bahasa) dalam tiga golongan. Pertama, dalam kasus psikosis, subjek mengalami objektivikasi, seseorang menjadi objek dari langue, dan parole tidak hadir. Kedua, dalam kasus neurosis, perkataan subjek terlepas dari konteks kesadaran subjek dan mengekspresikan diri dalam bentuk lain, dalam suatu bahasa simbolik. (Dalam kasus ini, Freud berhasil memahami bahasa simbolik dan menemukan wilayah ketaksadaran). Ketiga, dalam kasus biasa, seseorang kehilangan identitasnya karena terbawa lingkungan, subjek kehilangan makna dalam objektivikasi dari wacananya. Bahasa
41 menciptakan kenyataan secara terus-menerus. Tidak ada pemikiran tanpa bahasa. Pengetahuan mengenai dunia, yang Lain, dan subjek juga ditentukan oleh bahasa. Lacan menjelaskan bahwa seorang manusia dilahirkan ke dalam bahasa, pada saat itu jugalah hasrat menjadi manusia. Manusia dimiliki oleh suatu bahasa. Bahasa mendahului kelahiran seseorang, dan masuk ke dalam diri melalui wacana, membentuk keinginankeinginan dan fantasi-fantasi seseorang. Tanpa bahasa, tidak ada hasrat; tanpa bahasa, tidak ada Subjek. Tahap simbolik dimulai ketika seseorang masuk ke dalam struktur bahasa. Manusia menemukan diri sebagai Subjek hanya karena bahasa yang merumuskan konsep Subjek dalam kenyataan. Subjek dan parole tidak dapat dilepaskan. Parole muncul ketika Subjek mengalami kehilangan atau kekurangan diri. Misal, tangisan bayi muncul ketika ada keinginan membuat orang lain (ibu) memenuhi kehilangan atau kekurangannya. Lacan menyebut manusia sebagai “Subjek yang berbicara” dan subjek menjadi
“penanda”.
Lacan
mendefinisikan
“penanda”
sebagai
apa
yang
merepresentasikan Subjek bagi “penanda” lainnya, sehingga terjadi suatu rantai penanda-penanda (Lacan, 2001:131). Dalam teori ini Lacan menghubungkan subjektivitas dengan bahasa. Lacan mengatakan “bahasa sebagai sebuah tanda”. Fungsi bahasa bukan untuk menginformasikan, tetapi memanggil. Pernyataan tersebut dipahami bila seseorang berbicara kepada orang lain, maka lawan bicara akan terpengaruh. Pengaruh yang ditunjukkan dapat berupa sikap menjawab atau sikap mendiamkan. Dalam hal ini, Lacan menyebutkan bahwa seseorang mengidentifikasi diri dalam bahasa, tetapi justru kehilangan diri dan menjadi sebuah objek. Dengan kata lain, Lacan menjelaskan bahwa
42 melalui bahasa seseorang masuk ke dalam proses pembentukan identitasnya (Lacan 2001:131). Dalam bahasa, ujaran selalu melibatkan bukan saja yang mengucapkan, melainkan juga kepada siapa ujaran tersebut dimaksudkan, karena “ujaran mengikat penuturnya dengan melibatkan orang yang dituju oleh ujaran tersebut dengan suatu kenyataan baru.” Lebih lanjut, Lacan ketika manusia berkata, ia teralienasi dari dirinya, karena yang Lain adalah tujuan dari perkataannya, dan ada jarak antara Subjek dengan yang Lain. Dalam hubungannya dengan wilayah ketaksadaran, Lacan menjelaskan bahwa “wilayah ketaksadaran memiliki struktur sama seperti suatu bahasa” dan bahwa wilayah ketaksadaran terbentuk melalui bahasa. Struktur suatu bahasa inheren dalam wilayah ketaksadaran, yang terjadi karena wilayah ketaksadaran merupakan akumulasi dari efek perkataan Subjek, sehingga wilayah ketaksadaran Subjek memiliki struktur seperti sebuah bahasa. Menurut Lacan, Subjek ditentukan oleh bahasa dan perkataan, di mana Subjek merealisasikan diri melalui perkataan dan bahwa setiap perkataan adalah suatu keinginan/hasrat, yang merupakan perwujudan dari simbolik dan pertentangan dengan imajiner, yang selanjutnya melahirkan subjektivitas. Subjektivitas subjek dapat dilacak melalui penanda utama, citra, fantasi, atau mekanisme metafora dan metonimia dalam bahasa. 2.1 Metafora dan Metonimia Mengacu pada pemikiran Freud, dijelaskan bahwa bentuk wilayah ketaksadaran sebagai pemadatan (condensation) dan penggantian (displacement), yang khususnya terjadi dalam mimpi, ketika wilayah ketaksadaran melepaskan sebagian ingatannya dan
43 digantikan oleh pemahaman yang lain. Selanjutnya, Lacan mendefinisikan pemadatan dan penggantian (condensation dan displacement) dalam konsep Freud dengan meminjam konsep Roman Jakobson, yaitu konsep metafora (kias) dan metonimia (majas), yang kedua hal tersebut juga terjadi dalam mimpi. Jakobson menyebut bahwa simbolisasi adalah bentuk metafora, sedangkan pemadatan dan penggantian adalah bentuk aktivitas metonimia. Metafora dipahami sebagai suatu kata yang mewakili kata lainnya yang sering digunakan dalam karya sastra. Metafora tidak mengacu pada makna sebenarnya, tetapi menjadi suatu bentuk simbolisasi dari arti yang ingin disampaikan, sedangkan metonimia memuat hubungan langsung antara ungkapan verbal dan isinya dalam satu kalimat (Roudinesco, 1999: 271-272). Selanjutnya seperti telah dijelaskan dalam konsep bahasa Lacan bahwa suatu penanda selalu menandakan penanda lain, maka tidak ada kata yang bebas dari metafora. Lacan berbicara tentang glissement (ketergelinciran) dalam rantai penandaan, dari penanda yang satu ke penanda yang lain, karena setiap penanda dapat menerima pemaknaan, maka tidak pernah ada makna yang tertutup, makna yang memuaskan (Sarup, 2011: 10). Lacan juga menyebut bahwa suatu gejala berkaitan dengan metafora ketika gejala tersebut menjadi penanda bagi penanda lainnya yang tersembunyi; sedangkan metonimi merupakan hasrat tak-sadar muncul sebagai hasrat akan hasrat yang tidak terpenuhi (ever-unsatisfied desire for desire). Metafora dan metonimia sebagai ekspresi bahasa subjek untuk menyampaikan hasrat melalui simbol. Simbol yang disampaikan subjek pada tuturan mewujud dalam full speech pada bahasa (parole), sedangkan sistem simbol untuk menyampaikan tuturan subjek mewujud pada empty speech pada bahasa (langue). Subjek teralienasi pada
44 tahap empty speech ketika menggunakan bahasa, tetapi dengan menggunakan metafora dan metonimia subjek dapat menyampaikan hasrat melalui full speech. Melalui full speech, subjek dapat menyampaikan hasrat tersembunyi pada tatanan bawah sadarnya. (Chiesa, 2007: 38-39)
3. Karya Sastra sebagai Ekspresi Subjektivitas Subjek Berawal dari munculnya premis bahwa ketaksadaran sesungguhnya terstruktur seperti bahasa, psikoanalis Perancis, Jacques Lacan telah memberikan orientasi baru pada teori dan praktik Freudian. Lacan merevisi lebih lanjut pendapat Freud dalam psikoanalisis klasiknya bahwa teks sastra –seperti halnya mimpi– adalah suatu bentuk kompromi antara intensi ketaksadaran dan kesadaran. Ketaksadaran tidak saja berada di dalam teks, tetapi juga berada dalam pikiran penulis dan pembacanya, sebuah pandangan yang mengarah pada psikobiografi dan teori respons-pembaca (Noland dalam Makaryk, 1993:321). Selanjutnya, Lacan menjelaskan bahwa teks sastra hadir melalui bahasa dan mengenai konsep ketaksadaran, tubuh, dan sejarah seksualitas subjek manusia berlawanan dengan seluruh produksi kesadaran (Camden dalam Makaryk, 1993:163), sehingga bahasa mengungkapkan hal lain dari apa yang dikatakannya, berlawanan dengan wacana kesadaran. Dengan demikian dalam kerangka Lacanian, psikoanalisis bukan merupakan wacana terpisah di luar karya sastra. Subjektivitas mewujud dalam karya sastra melalui bahasa yang digunakan manusia (subjek). Subjek mewujud dalam bahasa dan diwakili oleh bahasa melalui tuturan (parole). Faruk (2012:196) mengungkapkan bahwa bahasa
45 merupakan sebuah tatanan kultural yang menanamkan subjektivitas bagi manusia, membuat manusia menemukan identitas atau dirinya. Namun apa yang dilakukan bahasa pada subjek itu bersifat mendua: di satu pihak memberikan rasa subjektivitas, di lain pihak menjauhkan subjek dari diri asalinya. Bahasa, dengan demikian, justru memperkuat rasa kurang dan rasa kehilangan dalam alam bawah sadar manusia. Karya sastra hadir dalam masyarakat melalui bahasa dalam wujud kata, frasa, kalimat maupun paragraf yang merupakan perwakilan dari sang penulis untuk menyampaikan keinginan, pemikiran, pendapat atau gagasan pada pembaca (masyarakat). Bahasa yang digunakan oleh penulis sebagai subjek diperoleh sejak ia berada dalam masa-masa pembentukan subjek hingga ia menjadi makhluk sosial yang menyerap bahasa sebagai wacana sosial untuk mendukung eksistensi diri sebagai subjek dalam masyarakat melalui bahasa. Begitu pula dengan bahasa dalam karya sastra (termasuk teks, yang berupa gambar, foto, dan lukisan) merupakan sarana sang penulis untuk menyampaikan subjektivitasnya dalam masyarakat. Dengan demikian, memahami bahasa dalam karya sastra dengan menggunakan konsep Lacanian sesungguhnya menemukan kondisi bawah sadar subjek yang penuh kekurangan dan kehilangan. Sebuah kondisi yang tidak mungkin bagi penelaah sastra untuk mengakses kondisi bawah sadar penulis karya sastra, tetapi pemahaman yang dilakukan dalam kerangka psikoanalisis Lacanian meliputi kondisi yang terjadi pada bahasa karya sastra, bagaimana bahasa karya sastra itu bergerak, serta penggunaan metafora dan metonimia dalam bahasa karya sastra. Melalui bahasa, sang penulis karya sastra mewujudkan diri dan menyampaikan subjektivitas (identitas) serta menyampaikan hasrat (keinginan) agar diakui keberadaannya sebagai subjek dalam masyarakatnya. Hal
46 ini penting karena bahasa akan menentukan subjektivitas yang mengada dan hadir dalam masyarakat. Selanjutnya, melalui ekspresi bahasa subjek dapat ditemukan kecenderungan kondisi psikis penulis karya sastra termasuk ke dalam tipe neurosis atau psikosis. Tipe neurosis ditandai dengan kekacauan proses ketiga tatanan, sedangkan tipe psikosis ditandai dengan perbedaan yang radikal dan orisinal dalam pemakaian tanda-tanda bahasa. Pengalaman subjek psikosis terhadap kenyataan selamanya dirusak oleh halhal tersebut (Lemaire, 1977: 227). Pada psikosis, wilayah kesadaran dan ketidaksadaran menjadi satu, sedangkan pada neurosis, perpecahan yang disebabkan oleh bahasa tidaklah pernah terjadi (Fink, 1997: 45). Selanjutnya Lacan juga menjelaskan bahwa ketidakmampuan ego menerima dialektika ini disebabkan oleh karena ego bukanlah subjek, melainkan objek yang berhubungan dengan psikosis. Psikosis ini dapat terjadi apabila seseorang mengalami ketidakmampuan untuk keluar dari tahap cermin dan ketidakmampuan mengenali liyan sebagai liyan, sehingga Lacan menggolongkan psikosis sebagai bagian dari dasar subjektivitas manusia. Psikosis dalam Lacan tidak saja dipahami sebagai kekurangan yang dialami subjek yang terjebak dalam tahap cermin, tetapi juga adanya kemungkinan dialami oleh seluruh manusia (Chiesa, 2007: 17). Lacan juga menjelaskan bahwa tatanan imajiner merupakan tatanan ketika tidak ada perantara antara diri dan benda, antara diri dan objek hasrat, antara diri dan ide atau konsep. Subjek masuk ke dalam tatanan simbolik dan mengenal penanda, yang selanjutnya menjadi perantara yang absen dalam tatanan imajiner. Dengan menamai benda, subjek memiliki perantara antara dirinya dengan yang lain. Hal ini menciptakan
47 individualitas pada diri subjek dengan cara membawanya keluar dari tatanan imajiner. Dengan menamai benda, subjek menjadi berjarak terhadap sang benda (liyan), menempatkan benda terlepas dari dirinya dan bukan dirinya. Benda adalah yang lain. Penanda dan efek pembedaan simbol inilah yang dibutuhkan dalam pembentukan subjek (Lemaire, 1977: 227) Selanjutnya menurut Lacan, pembentukan subjek dipengaruhi oleh keberhasilan subjek memasuki tatanan simbolik. Subjek neurosis dipengaruhi oleh transisi ke tatanan simbolik, sedangkan subjek psikosis tidak pernah mengalami hal itu secara utuh. Subjek neurosis kehilangan hubungan simbolik dari penanda yang menghasilkan inti struktur dari kelainannya. Subjek neurosis menekan gejala-gejala (penanda) dari yang ditandakan, subjek neurosis menekan makna dari yang ditandakan. Hal ini menyebabkan subjek neurosis selalu kembali pada tatanan imajiner, pada ketiadaan akan perantara diri dan ide. Subjek tidak mampu masuk ke dalam simbolik dari gejala-gejalanya, Subjek tidak mampu membedakan antara subjek, simbol-simbol, dan kenyataan. Dalam hal ini, Subjek neurosis membangun pengalaman imajinernya dalam tatanan riil. Subjek neurosis juga ditandai oleh kekacauan dalam penggunaan umum terhadap hubungan yang penting. Hubungan yang dimaksud adalah tanda-tanda yang saling memunculkan (Lemaire, 1977: 227). Mengenai psikosis, Lacan mengacu pada Freud yang membedakan psikosis dari neurosis dengan pemahamannya bahwa neurosis menekan kenyataan pada wilayah taksadar, sedangkan psikosis menutupi kenyataan tersebut. Bagi psikosis, penanda adalah sesuatu dan bukan perantara, tidak ada jarak antara dirinya dan segala sesuatu di dunia ini. Bagi psikosis, segala sesuatu di dunia ini adalah imaji, bahkan kenyataan itu sendiri
48 hanyalah sebuah imaji, sehingga tidak ada perbedaan antara penanda dengan yang ditanda. Lacan beranggapan bahwa dalam psikosis, penanda tertutup, penandapenanda yang mempresentasikannya tidak berkaitan dengan wilayah tak-sadar Subjek, tetapi masuk ke dalam kenyataan dan termanifestasi melalui perkataan dan pandangan Subjek dalam bentuk halusinasi atau delusi (Lacan, 1988: 89-106) F. Metode Penelitian Untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoretik diperlukan datadata empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian dianalisis sehingga ditemukan hubungan
antardata
yang
dianggap
merepresentasikan
hubungan
antarfakta
sebagaimana yang dinyatakan di dalam teori dan hipotesis (Faruk, 2012: 22). Untuk membuktikan hipotesis ditentukan terlebih dahulu kodrat keberadaan objek yang diteliti. Dalam hal ini, pertama ditentukan objek material dan objek formal yang bersangkutan (Faruk, 2012: 23). 1. Objek Penelitian Objek
formal
penelitian
ini
adalah
subjek
dalam
karya
sastra
yang
mengindikasikan subjektivitas, sedangkan objek material dalam penelitian ini adalah karya-karya DMA, terutama yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan MainMain (Dengan Kelaminmu), Nayla, dan Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek. 2. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini, maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi bahasa (teks) karya sastra beserta fenomena metafora dan metonimia yang terdapat di dalamnya. Data-data yang ada selanjutnya dipilah dan dipilih berdasarkan pembacaan karya sastra dalam kerangka
49 psikoanalisis Lacanian sesuai dengan rumusan masalah penelitian, yaitu menemukan subjektivitas subjek penulis dalam karya sastra yang ditulisnya melalui keberadaan metafora dan metonimia di dalamnya. Sesuai dengan data yang digunakan dalam penelitian ini yang berupa deskripsi bahasa (teks) karya sastra yang merupakan teks-teks yang bersifat verbal dan intensional, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik simak (Sudaryanto, 1993: 136) sebagai cara terbaik yang dapat digunakan untuk memperoleh data verbal dan intensional, karena teknik ini dapat disetarakan dengan observasi atau wawancara. Teknik simak ini dilakukan pada sumber data melalui studi kepustakaan yang berisi data-data tekstual dengan langkah-langkah sebagai berikut, (1) menyimak data secara intensif dan berulang-ulang; (2) melakukan penyeleksian data; (3) mencatat data-data tekstual yang relevan dengan masalah penelitian; (4) melakukan analisis data-data tekstual yang relevan dengan teori yang digunakan dalam penelitian; (5) menulis laporan penelitian. 3. Populasi dan Sampel Penelitian ini menggunakan karya-karya DMA sebagai sumber data, yang populasi datanya tersebar di berbagai media massa dan dibukukan dalam tujuh buku, yaitu Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu), Nayla, Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-Laki, T(w)ITIT!, dan SAIA. Dari populasi tersebut, dipilih empat karya sebagai sampel dalam penelitian ini, yaitu Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu), Nayla, dan Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, yang kemudian disebut “4in1 Djenar”. Karya-karya
tersebut
dijadikan
sebagai
sampel
penelitian
dengan
beberapa
50 pertimbangan, yaitu (1) DMA merupakan salah satu perempuan pengarang yang termasuk dalam pro dan kontra generasi sastra wangi dalam sejarah sastra di Indonesia, karena kemunculan karya-karyanya yang menggunakan bahasa vulgar dan sarat dengan isu-isu seksualitas; (2) isu-isu seksualitas yang diangkat DMA dalam karya-karyanya memiliki ciri khas sebagaimana disebut oleh Katrin Bandel yang mengangkat tentang trauma masa kecil, hubungan problematis seorang gadis dengan orangtuanya, pelecehan seksual, seksualitas, moralitas, dan gender; dan (3) karya-karya DMA yang termasuk dalam “4in1 Djenar” merupakan karya-karya yang mendapat banyak tanggapan dari pembaca dengan adanya beberapa kali cetak ulang, desain ulang sampul buku-buku dengan foto DMA di bagian sampulnya, dan adanya transformasi film dari karya yang ditulis oleh DMA. 4. Metode Analisis Data Dalam teori psikoanalisis Lacan, alam bawah sadar manusia selalu berada dalam kondisi kekurangan/kehilangan, sehingga manusia memiliki hasrat dan usaha berkelanjutan untuk memenuhi kekurangan/kehilangan tersebut untuk menjadi manusia yang memiliki identitas secara utuh. Begitu pula dengan manusia sebagai penulis karya sastra yang juga memiliki hasrat untuk memenuhi kekurangan/kehilangan melalui bahasa yang digunakan dalam karya-karyanya. Akan tetapi, bahasa sebagai sebuah tatanan kultural yang menanamkan subjektivitas bagi manusia, membuat manusia menemukan identitas atau dirinya. Namun, keberadaan bahasa dalam diri subjek bersifat mendua, di satu pihak memberi rasa subjektivitas, sekaligus menjauhkan subjek dari diri asalinya di pihak lain, sehingga bahasa memperkuat rasa kehilangan dan kekurangan. Bahasa tidak pernah secara penuh menanamkan identitas pada subjek karena dua hal. Pertama,
51 bahasa bersifat formal-relasional sehingga identitas diri selalu berada dalam hubungan dengan yang lain. Bahasa tidak substansial atau referensial, sehingga identitas yang terbentuk melalui bahasa sekaligus berlangsung melalui dialektika antara identifikasi dan rekognisi yang bisa disalahtafsirkan. Kedua, bahasa sendiri merupakan serangkaian penanda dengan kedudukan petanda yang tidak pernah stabil, sehingga dalam bahasa dapat terjadi kemungkinan tergelincirnya petanda kepada penanda lain sebagaimana yang berlaku pada metafora dan metonimia sebagai cara kerja prinsipil bahasa dalam psikoanalisis Lacan. Dengan demikian, penanaman subjek dalam bahasa membuka kemungkinan bagi kemunculan bawah sadar yang berupa rasa kehilangan, bagi gerakan keluar diri dan keluar dari bahasa. Karya sastra memperlihatkan dengan kuat kecenderungan yang demikian (Faruk, 2012: 196-197). Sejalan dengan teori yang digunakan, maka metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode psikoanalisis Lacanian. Faruk menjelaskan bahwa memahami karya sastra menggunakan perspektif Lacanian merupakan sebuah usaha untuk menemukan kondisi bawah sadar yang dipenuhi oleh rasa kurang dan rasa kehilangan yang sekaligus menyertai hasrat untuk kesatuan diri di atas. Bagi penelaah sastra, kondisi bawah sadar merupakan kondisi yang tidak mungkin sepenuhnya dimasuki, sehingga penelaahan sastra sepenuhnya diarahkan pada bahasa karya sastra melalui fenomena metafora dan metonimia yang ada di dalamnya (2012: 197). Selanjutnya, Faruk menjelaskan bahwa dalam konsep Lacan, metafora dipahami sebagai prinsip kondensasi dalam pengertian bahwa di dalam bahasa terjadi penjajaran penandapenanda sehingga terjadi pergeseran makna, sedangkan metonimia bekerja dengan prinsip “pemlesetan” atau pengalihan yang salah satunya berfungsi untuk mengalihkan
52 perhatian atau sensor (2012: 197). Melalui fenomena metafora dan metonimia yang digunakan sebagai dasar analisis kebahasaan dalam karya bertujuan untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan bahasa yang memungkinkan untuk mengidentifikasi subjektivitas dan kecenderungan psikologis subjek agar selanjutnya dapat ditentukan ekspresi hasrat anaklitik atau hasrat narsistik serta neurosis atau psikosis yang diekspresikan subjek melalui tokoh-tokoh cerita pada karya “4in1Djenar”.
G. Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dalam empat bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut. Bab I memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II memuat analisis mengenai bahasa pada karya “4in1 Djenar” sebagai ekspresi subjektivitas subjek. Analisis ini dimaksudkan sebagai sarana menemukan kondisi bawah sadar penulisnya yang diekspresikan melalui penggunaan bahasa, yang di dalamnya terdapat fenomena metafora dan metonimia untuk dapat menentukan subjektivitas subjek penulisnya. Bab III membahas subjektivitas subjek perempuan melalui tokoh cerita pada “4in1 Djenar” karya DMA yang selanjutnya dapat menjelaskan kecenderungan psikis yang dialami subjek. Selanjutnya, bab IV merupakan bab yang memuat temuan atas hasil penelitian yang telah dilakukan.
53